Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerajaan Inderagiri merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah


berdiri, sekarang dengan wilayahnya berada pada Kabupaten Indragiri
Hilir dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia. Sebelumnya
kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) dari Kerajaan Pagaruyung dan sekaligus
merupakan kawasan pelabuhan. Kemudian kerajaan ini diperebutkan
oleh Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak, dan Kesultanan Aceh.

Inderagiri berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Indera yang bermaksud


sama dengan raja dan Giri yang berarti bukit atau kedudukan yang tinggi,
sehingga kata inderagiri secara harfiah berarti Raja Bukit. Sampai tahun 1515,
berdasarkan catatan perjalanan Tomé Pires dalam Suma
Oriental kawasan Indragiri masih disebutkan sebagai kawasan pelabuhan
raja Minangkabau, namun kerajaan ini diberi kebebasan mengatur urusan dalam
dan luar negerinya sendiri. Wilayah kerajaan ini dilalui oleh Batang Kuantan (atau
disebut juga Sungai Indragiri pada kawasan hilirnya), di mana hasil bumi dari
kawasan pedalaman Minangkabau dulunya didistribusikan melalui sungai ini yang
berhulu pada Danau Singkarak (sekarang masuk wilayah Provinsi Sumatera
Barat) dan bermuara pada kawasan pesisir timur Pulau Sumatera.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal muasal kerajaan di Indragiri
2. Bagaimana kesultanan Indragiri pada era colonial belanda
3. Bagaimana kesultanan Indragiri bergabung dengan negara Indonesia
4. Bagaimana sil-silah raja di Indragiri
5. Bagaimana wilayah kekuasaan kesultanan Indragiri
C. Tujuan

Tujuan dari dilakukannya penulisan makalah ini selain sebagai tugas mata
kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara adalah untuk :
1. Untuk mengetahui asal muasal kerajaan di Indragiri
2. Untuk mengetahui kesultanan Indragiri pada era colonial belanda
3. Untuk mengetahui kesultanan Indragiri bergabung dengan negara
Indonesia
4. Untuk mengetahui silsilah raja di Indragiri
5. Untuk mengetahui wilayah kekuasaan kesultanan Indragiri
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Muasal Kerajaan Indragiri

Kabupaten Indragiri merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Riau


yang berbatasan dengan propinsi Jambi, Sumatra Barat dan Selat Berhala.Keadaan
tanahnya berawa-rawa, dan di bagian timur berbukit-bukit. Daerah Indragiri
dialiri sebuah sungai berhulu di Danau Singkarak.Hulu sungainya dinamakan
Batang Ombilin, kemudian batang tengahnya dinamakan Batang Kuantan.Kedua
sungai tersebut nyaris bermuara kesungai bernama Sungai Indragiri. Adapun
daerah yang dianggap daerah cikal bakal kerajaan Indragiri adalah daerah
Keritang.

Ada yang berpendapat bahwa Keritang berasal dari kata "Akar Itang", di
ubah menjadi "Akaritang".Selanjutnya disebut "Keritang".Itang adalah jenis
tumbuhan yang banyak terdapat disepanjang anak sungai Gangsal.Sedangkan
pendapat lain mengatakan, nama "Keritang" diambil dari nama Siput Kitang yang
banyak di hulu sungai.Didaerah Keritang inilah dianggap sebagai cikal bakal
tempat berdiri Kerajaan Indragiri.

Kerajaan Indragiri merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah


berdiri, sekarang dengan wilayahnya berada pada Kabupaten Indragiri Hilir, dan
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia.Sebelumnya kerajaan ini
merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung dan sekaligus sebagai kawasan
pelabuhan. Kemudian kerajaan ini diperebutkan oleh Kesultanan Jambi,
Kesultanan Siak, dan Kesultanan Aceh.

Cikal-bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bisa dipisahkan dari


keberadaan Kerajaan Keritang.Asal-muasal Kerajaan Kerintang berawal dari
keruntuhan Kerajaan Sriwjaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-
13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain
dari Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari arah utara dan kemudian ekspedisi
Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang
ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini
sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah.
Salah satunya kerajaan yang menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang
yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri. Sama seperti Sriwijaya, Keritang
adalah kerajaan yang bercorak Buddha.1

B. Dari Keritang ke Indragiri

Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakartagama karya Mpu Prapanca,


nama Indragiri disebut dengan nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di
wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan bahwa
Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri.
Mengenai nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang pernah
menyebutnya. Kamus Malay-English Dictionary yang disusun Richard James
Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam kamus yang
diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan sebagai Indra‘s Mountain: an East
Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name atau “Gunung Tempat Dewa
Indra: Suatu kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama
sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.

Dalam Nieuw Malaeisch-Nedelandsch Woordenboek – Met Arabisch


Karakter, kamus susunan Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan
tahun 1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai
Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu. Ada pula
yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Indra”
yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri,
sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.2

1
Halobisnis, Asal Muasal Sejarah Kerajaan di Kabupate Indragiri Hulu-Riau,[google],
tersedia:http://halobisnis.com/news/detail/1019/asal-muasal-sejarah-kerajaan-di-kabupate-
indragiri-hulu-riau.
2
Cortesão, Armando.(1944).The Suma Oriental of Tomé Pires.London:Hakluyt Society, 2 vols.
Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang
(1298-1337) yang berturut-turut dilanjutkan oleh Naja Singa I (1337-1400)
sebagai Raja Keritang ke-2 kemudian Raja Merlang II (1400-1473). Pada era
berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang
selanjutnya, yakni Nara Singa II (1473- 1508) diketahui telah memeluk agama
Islam. Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4, mendirikan Kesultanan Indragiri
sejak tahun 1508 dan berkuasa hingga tahun 1532 sebagai sultan pertama
Indragiri.Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan
Majapahit. Seiring Islam masuk ke nusantara, wilayah Keritang dikendalikan oleh
Kesultanan Malaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang
diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi, setelah
Keritang dikuasai Kesultanan Malaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi
tetap menetap di Keritang, melainkan dibawa ke Malaka. Kebijakan ini sangat
menguntungkan bagi Malaka karena dengan demikian Keritang lebih mudah
diawasi.Dominasi Malaka terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang
dikawinkan dengan Putri Bakal, anak perempuan Sultan Mansyur Syah,
pemimpin Kesultanan Malaka. Ikatan perkawinan itu, di samping mengokohkan
kedudukan Sultan Malaka di daerah jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar
Raja Merlang betah tinggal di Malaka. Dari perkawinan dengan Putri Malaka itu,
Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan
dibesarkan di lingkungan Kesultanan Malaka. Ketika Kesultanan Malaka
dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I (1488-1511), Nara Singa diambil menantu
oleh Sultan. Ketika Nara Singa dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak
diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja
penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga
kemudian Nara Singa II (1473- 1508).Selama keluarga Kerajaan Keritang berada
di Malaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk Temenggung
Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan
Kerajaan Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan
antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi
di antara kedua menteri itu adalah soal agama yang merembet ke ranah politik.
Datuk Temenggung Kuning telah memeluk agama Islam, sementara Datuk Patih
masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah, apabila ada orang yang
berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu dipersilahkan
untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya,
semakin lama orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk Patih kian
berkurang karena semakin banyak pula orang yang memeluk Islam.

Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan


yang tidak adil dari orang-orang Malaka terhadap rakyat Keritang, membuat Nara
Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan alasan
mencari hiburan bersama istri tercintanya, Nara Singa II akhirnya diperbolehkan
kembali ke Keritang. Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan
segera menyusun rencana dengan para pengikutnya. Ketika sudah berhasil
meninggalkan Malaka, terdengarlah kabar bahwa Nara Singa II diculik. Kabar
penculikan ini sengaja dihembuskan sebagai bagian dari taktik agar Nara Singa II
dapat melepaskan diri dari Malaka.

Selanjutnya, Nara Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat


kerajaan dari Keritang ke Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri. Perpindahan
tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa suatu tempat yang telah ditinggalkan
tidak baik untuk dijadikan pusat pemerintahan. Keritang merupakan kota yang
diambil-alih Malaka sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan magic
religious, kota atau kraton yang telah dikalahkan itu harus ditinggalkan. Nara
Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah tanda
bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan
Indragiri, gelar untuk Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin
Iskandar Syah Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan
menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.

Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan
dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota Lama,
yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantua dengan Kota Lama
kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan
Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari
kemungkinan serangan Portugis dan ancaman gerombolan perompak. Belum
diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas, waktu
pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana
Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Nara Singa II meninggal
dunia dan dimakamkan di Kota Lama. Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan
Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.

Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim


(1784-1815), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota Indragiri pindah ke Rengat.
Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis Belanda,
pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura ke Rengat juga dikarenakan
tersedianya biaya untuk pembangunan istana baru yang lebih megah.Sultan
pertama Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya
yakni tahun 1532. Setelah itu, pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut
dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-
2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan
gelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri
yang ke-3, hingga Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era
pemerintahan pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa
datang dan lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.

C. Wilayah Kekuasaan

Sultan Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar
Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa
daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan
yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang
membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai
selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk
Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raka di Rantau yang menguasai tempat-
tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti
desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
3

3
Wikipedia,kerajaanIndragiri,[google],tersedia:https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Indragiri,
(diakses pada 12 desember 2019, pukul 11:28).
Pada masa Sultan Hasanuddin (1735-1765), terdapat pembagian wilayah
kekuasaan Kesultanan Indragiri, meliputi:

1. Daerah Cenaku, terdiri atas 3 daerah perbatinan, meliputi Pungkil, Pulau


Serojan, dan Sanglap;
2. Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye Belimbing, Riye Tanjung, dan
Pemuncak di Rantau Langsat;
3. Daerah Tiga Balai, terdiri dari Dian Cacar, Parit, dan Perigi;
4. Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi Igal, Mandah, Pelanduk, Bantaian,
Pulau Palas, serta Batang Tuaka;
5. Daerah Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan, Ujung Tanah
Minangkabau, dan Kerajaan Tua Gadis.

Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat van Vrindchaap


(perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara Kesultanan Indragiri dengan
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menghasilkan keputusan bahwa
Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur (semacam daerah otonomi) dan
berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan seorang controlleur (pengawas
dari pemerintah kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang membawahi 6 daerah yang
berupa wilayah keamiran, yaitu antara lain: Amir Tembilahan di Tembilahan,
Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir
Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, serta Amir Reteh di
Kotabaru.

Sejak 31 Maret 1942, tentara Jepang berhasil masuk Indragiri melalui


Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April 1942 Jepang menerima penyerahan
tanpa syarat dari pihak Belanda atas Indragiri. Pada masa pendudukan Jepang ini,
Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan
dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu: Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di
Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho
Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat di Indragiri, telah dikumandangkan
lagu Indonesia Raya yang dipelopori oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang di
Indragiri bertahan sampai bulan Oktober 1945, yakni lebih kurang selama 3,5
tahun.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu dan Hilir)
masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu
Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan Indragiri
Hulu beribu kota Rengat, dan Kawedanan Indragiri Hilir beribu kota Tembilahan.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1965 tanggal 14 Juni
1965, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan
Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri
Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965

D. Sistem Pemerintahan

Kesultanan Indragiri memiliki sistem pemerintahan khas yang dibangun


oleh orang-orang Melayu secara turun-temurun. Model pemerintahan yang
berlaku di dalam Kesultanan Indragiri yang bercirikan Islam telah memperkuat
pertumbuhan dan perkembangan budaya Melayu. Upacara-upacara keagamaan di
Indragiri tidak bisa dilepaskan dari Islam dan diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.Sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Indragiri mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam menjalankan pemerintahannya,
pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Indragiri, Nara Singa II atau Maulana
Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan, didampingi bendahara kerajaan
bernama Tun Ali dan diberi gelar “Raja di Balai”. Posisi bendahara kerajaan pada
masa itu adalah jabatan yang prestisius karena hanya orang terdekat dan yang
paling dipercaya oleh Sultan sajalah yang bisa menduduki posisi ini.Sultan
Alauddin Iskandar Syah Johan masih memiliki sejumlah hamba setia, antara lain
Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning serta beberapa orang lainnya.
Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan berada di Malaka karena tidak
diperkenankan tinggal di Indragiri oleh Sultan Malaka, pemerintahan di Kerajaan
Keritang/Kesultanan Indragiri dijalankan oleh hamba-hamba setia tersebut.

Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep sejak masa pemerintahan


Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan ditingkatkan dan disempurnakan menjadi
Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasanuddin (1735-1765).
Undang-Undang Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat Kerajaan
Indragiri, Peradilan Adat Kerajaan, Panji-Panji Raja, serta Menteri Kerajaan.

Undang-Undang Kesultanan Indragiri diuraikan sebagai berikut:

Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga Undang-Undang Adat, yang terdiri


dari Beraja nan Berdua, meliputi:

1. Yang Dipertuan Besar Sultan


2. Yang Dipertuan Muda

Berdatuk nan Berdua yang meliputi:

1. Datuk Temenggung;
2. Datuk Bendahara.
Menteri nan Delapan, yaitu Menteri-menteri Kesultanan Indragiri atau sebagai
Pembantu Datuk Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain: Sri Paduka,
Bentara, Bentara Luar, Bentara Dalam, Majalela, Panglima Dalam, Sida-Sida, dan
Panglima Muda.Tiga Datuk di Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya sebagai
berikut: Orang Kaya Setia Kumara di Lala, Orang Kaya Setia Perkasa di
Kelayang, serta Orang Kaya Setia Perdana di Kota Baru.

Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas:

1. Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir;


2. Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; dan
3. Dana Lela, di Pematang.

Kepala Pucuk Rantau, mencakup:

1. Tun Tahir di Lubuk Ramo;


2. Datuk Bendahara di sebelah kanan; serta
3. Datuk Temenggung di sebelah kiri
Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat Kesultanan Indragiri yang
mengurusi hukum pidana maupun perdata. Peradilan Adat Kesultanan Indragiri
meliputi dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar, dengan keanggotaan
yang terdiri dari Yang Dipertuan Muda, Datuk Bendahara, dan beberapa anggota
lain yang dipilih oleh Sultan Indragiri. Setiap keputusan Mahkamah Besar
disampaikan oleh Datuk Bendahara kepada Sultan Indragiri.

Mahkamah kedua adalah Mahkamah Kecil yang mencakup wilayah di


desa-desa di bawah kendali seorang Penghulu. Pada perkembangannya,
Mahkamah Kecil ini kemudian dikepalai oleh Amir atau Camat pada masa
sekarang. Di samping itu ada pula Hukum Pidana Adat yang dikuasai Raja dan
Orang Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo (damai), pengaduan
tentang kerugian, dan batas putusan Penghulu.

E.Silsilah Raja-Raja

Berikut silsilah raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan


Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku Sejarah Kesultanan Indragiri
(1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni Ishaq:

1. Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1.
2. Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2.
3. Raja Merlang II (1400-1473).
4. Nara Singa II (1473-1508), Raja Keritang ke-4 yang kemudian mendirikan
Kesultanan Indragiri atau Raja Indragiri ke-1 dengan gelar Sultan Iskandar
Alauddin Syah (1508-1532).
5. Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan Indragiri ke-2.
6. Raja Ahmad atau Sultan Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3.
7. Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan
Indragiri ke-4.
8. Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5.
9. Sultan jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6.
10. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7.
11. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8.
12. Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9.
13. Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10.
14. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11.
15. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-
1735), Sultan Indragiri ke-12.
16. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), Sultan
Indragiri ke-13.
17. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan Indragiri ke-14.
18. Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15.
19. Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16.
20. Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan Indragiri ke-17.
21. Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18.
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan Indragiri ke-19.
23. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan Indragiri ke-20.
24. Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan Indragiri ke-21.
25. Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan Indragiri ke-
22.

F. Kesultanan Indragiri pada Era Kolonial Belanda

Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda
Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu,
Kerajaan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang
menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan Portugis dan Aceh serta
Patani. Kerajaan Johor-Riau kemudian mengajak Belanda bekerjasama untuk
melawan musuh-musuhnya itu.

Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan jejaring niaganya di Selat


Malaka, kompeni Belanda mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan
Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat
itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan harapan akan
dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri. Namun, harapan Sultan Jamaluddin
Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan dari
pedagang-pedagang Cina, Portugis, dan Inggris. Sementara Belanda sendiri
kurang mampu berkonsentrasi menangani perdagangannya di Indragiri karena
sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada 1622 kantor
dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.

Karena kerjasama dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri


mengalihkan jalinan niaganya ke Minangkabau. Namun, hubungan itu
menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya, hasil lada
dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku Pariaman,
dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh Aceh, menjadi berkurang.
Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Aceh Darussalam menyerang
Indragiri dan Johor pada 1623. Selain itu, Aceh juga menyerbu wilayah lainnya
yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru,
Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam waktu yang berdekatan.

Tujuan utama penyerbuan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk


memutuskan hubungan perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan
Minangkabau. Ketika akhirnya Aceh Darussalam dapat mewujudkan tujuannya
itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri
tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah kekuasaan
Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh
Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan
sisanya harus dijual sesuai dengan harga yang ditetapkan Aceh.Karena
perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Aceh Darussalam,
Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan
Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van Dieman, Gubernur
Jenderal Belanda di Batavia, pada 1641. Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin
Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka kembali kantor dagang di
Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jamaluddin
Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage, utusan Belanda
dari Batavia, ke Indragiri.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah


(1658-1669) sebagai Sultan Indragiri ke-5, disepakati perjanjian dengan Belanda
tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian yang
ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage
tersebut dikenal dengan nama Renovatie van het Contract van 27 October 1664,
sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil perundingan.

Isi dari perjanjian itu antara lain:

(1) Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada; dan

(2) Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam
wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali


kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada 1679, kantor
dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah
pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor
dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.

Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era


pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian
lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya ketika Indragiri di
bawah pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai campur tangan
dalam urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang
berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah dari Hilir hingga Japura.

Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir, Sultan


Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang
berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi
tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri
mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara dakwah
agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah
tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara
dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hukum yang diberlakukan oleh
pemerintah colonial.
G. Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus


1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum
berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran.
Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat
Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani
menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri sudah
mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk
membicarakan hal tersebut.

Selanjutnya, kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk


menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan Indonesia. Sultan menjawab
tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan
dan merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan
bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan
kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang tuan-tuan perbuat saya
sangat mendukung.” Bahkan, Sultan Mahmudsyah menyarankan agar bendera
Merah Putih segera dikibarkan di Indragiri. Dengan demikian jelas sudah bahwa
Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen
terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Indragiri merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang awalnya
bernama kerajaan Keritang.Diperkirakan pembangunan kerajaan Kritang ini pada
abad ke XIII. Kemudian kerajaan berpindah pindah setelah berganti pusat
kuasa.Sebelumnya kerajaan Indragiri merupakan bawahan (vazal) kerajaan
Pagaruyung dan sekaligus sebagai kawasan pelabuhan. Kemudian kerajaan ini
diperebutkan oleh Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak, dan Kesultanan Aceh.
Raja yang pertama adalah raja Kecik Mambang, memerintah 1298– 1337.
Pada saat pemerintahan Raja Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri
Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alam(Sultan Indragiri IV) yaitu
tahun 1473, ibu kota kerajaan berlokasi di Pekan Tua sekarang.Pada tahun 1815,
dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat. Dalam masa
pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda mulai campur tangan terhadap kerajaan
dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas
wilayah ke Hilir sampai dengan batas Japura.Sultan terakhir yang yang
memerintah di Indragiri adalah Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah.Ia
memerintah pada tahun 1912 sampai dengan 1963 dan merupakan Sultan
Indiragiri ke duapuluh lima.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dari segala
aspek, untuk itu Penulis berharap kepada pembaca agar senantiasa dapat
memberikan saran kepada penulis. Dan penulis berharap, semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Halobisnis, Asal Muasal Sejarah Kerajaan di Kabupate Indragiri Hulu-Riau,[google],


tersedia:http://halobisnis.com/news/detail/1019/asal-muasal-sejarah-kerajaan-di-
kabupate-indragiri-hulu-riau.html#.XfUybv8rLIV,(diakses pada 14 desember 2019, pukul
11:14).

Cortesão, Armando.(1944).The Suma Oriental of Tomé Pires.London:Hakluyt Society, 2


vols.

Wikipedia,kerajaanIndragiri,
[google],tersedia:https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Indragiri, (diakses pada 12
desember 2019, pukul 11:28).

Anda mungkin juga menyukai