Abstrak
Hamka dalah seoarang aktivis dan ulama yang sangat terkenal, salah satu karyanya yang
terkenal adalah tafsir al-Azhar, yang pada mulanya hanya berbentuk uraian dalam kuliah
subuh, kemudian dipublikasikan dalam bentuk kitab yang terdiri dari 15 jilid. Adapun
metode yang digunakan Hamka dalam tafsirnya adalah metode tahlili menafsirkan sesuai
dengan susunan surah yang ada dalam mushaf dengan pendekatan sastra dan bercorak
adab ijtima’i.
PENDAHULUAN
Tafsir al-azhar merupakan salah satu medium bagi Hamka mengomunikasikan
ide-ide barunya dalam menafsirkan al-Qur’an. Ide-ide pembaruannya sebagi hasil
intraksinya dalam bidang agama, sosial budaya dan politik itu telah memperkaya
nuansa penafsirannya.
Terdapat karakter umum bahwa tafsir Alquran berbahasa non Arab, dalam
tahapan penafsirannya senantiasa merujuk pada tafsir berbahasa Arab. (al-Zahabi:
1976). Perujukan ini dapat menimbulkan dua kemungkinan. pertama, terjadi
pemindahan isi, ide, atau gagasan buku tafsir Alquran berbahasa Arab ke dalam
penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir berbahasa ‘ajami. Kedua,
penerapan metode tafsir atau dasar penafsiran tafsir sumber dalam penafsiran
Alquran yang dilakukan mufassir.
Untuk meneliti penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar dan kemungkinan
keterpengaruhannya oleh tafsir-tafsir berbahasa Arab sebagai sumber yang dirujuk.
Penulis ingin melihat pola Hamka dalam mengolah gagasan tafsir dari sumber
rujukan pada kitab tafsirnya. Selain itu juga ingin melihat pola Hamka dalam
menerapkan metode penafsiran sesuai tafsir sumber sehingga mampu membuahkan
hasil penafsiran yang orisinil.
Penelusuran ini dilakukan mendapat dorongan psikologis pula dari Hamka
lewat pengakuannya pada bagian awal tafsir al-Azhar bahwa tafsir yang
mempengaruhinya adalah Fi Zilal al-Qur’an. Selain itu tafsir berbahasa Arab yang
banyak mempengaruhi tafsir al-Azhar adalah Tafsir al-Manar. (Hamka: 1984)
BIOGRAFI HAMKA
Hamka nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik bin Abd Karim (Amrullah),
dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1362 H bertepatan 16 Februari 1908, di desa
Tanah Sirah termasuk daerah Sungai Batang di tepi Danau Kaninjau. (Yunan Yusuf:
1990) Pendidikan yang ia terima dimulai di rumah, sekolah diniyah dan surau.
Dalam pendidikannya hasrat orang tuanya yaitu Syekh Abd Karim Amrullah
berpengaruh dalam proses pendidikannya. Keinginan ayahnya menjadikan Hamka
seorang ulama, bisa dilihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap kegiatan belajar
ngajinya. Waktu kecil ia belajar ilmu-ilmu alat seperti gramatik (nahwu), morfologi
(sarf), fiqh dan tafsir al-Qur’an. (Deliar Nur: 1978). Ilmu itu diperoleh ketika belajar
di tawalib School. Buku tafsir yang ia kaji di tingkat pemula adalah tafsir jalalain.
Tafsir diperdalam ketika pada usia 17 tahun bertemu Ki Bagus Hadikusuma, tokoh
yang pernah mondok di pesantren Wonokromo Yokyakarta.
Ilmu-ilmu perangkat penafsiran (ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu balagah, ilmu ushul
fiqh, ilmu mustalah hadis dan sebagainya), telah dimilikinya. (Hamka: 1984)
Bermodalkan ini menjadikan ia bisa dengan mudah mengomunikasikan ide-ide di
bidang tasawuf dan sastra secara serasi. (Syafi’i Ma’arif: 1993).
Dalam peta pemikiran Islam, Hamka menempati posisi penting. Dia mulai
menjelajahi belantara pemikiran keislaman pada periode masa penjajahan 1900-1945
dan berlanjut pada masa kemerdekaan atau kebebasan ke II (1966-1985).
Kesempatan dia untuk mengembangkan intelektualitas keislamannya menjadi
terbuka lebar ketika dia berangkat ke Jakarta pada tahun 1949 dengan diterima
sebagai anggota Koresponden Surat Kabar Merdeka dan Majalah Pemandangan.
Sejarah hidupnya kemudian mengarah ke dunia politik praktis, dengan terpilih
sebagai anggota konstituante dari partai masyumi pada pemilu 1955. Meskipun
demikian, Hamka tetap mengambil posisi penting dalam mendalami bidang kajian
keagamaan, sosial budaya dan politik. Salah satu hasil karya ilmiah keislamannya
dipublikasikan adalah kitab Tafsir al-Azhar.
Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, filosof dan aktivis
Muhammadiyah yang amat terkenal. Hamka aktif dalam gerakan Muhammadiyah,
dan mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk memberantas
khurafat, bid’ah dan tarekat kebatinan sesat di Padang Panjang. Kemudian Hamka
terpilih menjadi Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatra Barat, oleh komfrensi
Muhammadiyah menggantikan S.Y.Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun
1953, Hamka dipilih sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an Hamka menjadi
wartawan beberapa buah berita seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1982, dia menjadi editor majalah kemajuan masyarakat,
pada tahun 1932, Hamka menerbitkan Majalah al-Mahdi di Makassar, juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka wafat pada tanggal 24 Juli 1981, jasa dan pengaruhnya masih terasa
hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Hamka tidak saja sebagai tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya tapi juga di negara lain seperti Malaysia,
Singapur dan lain-lain.
2. Dalam setiap surah dicantumkan sebuah pendahuluan dan pada bagian akhir dari
tafsirnya, Buya HAMKA senantiasa memberikan ringkasan berupa pesan nasehat agar
pembaca bisa mengambil ibrah-ibrah dari berbagai surah dalam al-Qur'an yang ia
tafsirkan.
4. Penyajiannya ditulis dalam bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat –
satu sampai lima ayat– dengan terjemahan bahasa Indonesia bersamaan dengan teks
Arabnya. Kemudian diikuti dengan penjelasan panjang, yang mungkin terdiri dari satu
sampai limabelas halaman.
Artinya: dan buah-buahan serta rumput-rumputan (31) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang- binatang ternakmu (32).
b. Tafsir al-Manar
Dalam penafsirannya, Hamka berorintasi untuk memberikan bimbingan demi
kepentingan umat. Orientasi ini mengikuti Muhammad Abdu dan dilanjutkan oleh
Rasyid Ridha yang sama-sama mengorientasikan penafsirannya dalam memberikan
bimbingan dan arahan bagi pembangunan masyarakatnya. Dengna orientasi ini
menjadikan tafsir al-azhar bercorak tafsir adab ijtima’iy. Dalam wacana penafsiran
tafsit adab ijtima’iy yakni tafsir yang membahas permasalahan yang hidup di tengah
masyarakat dan diungkapkan dalam bahasa yang populer, mudah dipahami dan
menarik untuk dibaca oleh masyarakat umum. ( Abd.Hay al-Farmawi: 1977).
Beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan bahwa dapat disimak dalam
gagasan Tafsir al-Azhar secara metodologis maupun isinya dipengaruhi oleh Abdu
dan Rasyid Ridah yang penafsiran surah al-Nisa ayat 59. Hamka menafsirkannya
sebagai orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di
antara kamu atas dari pada kamu. Kata minkum mempunyai dua arti, pertama, di
antara kamu, kedua, dari pada kamu. Maksudnya yaitu mereka yang berkuasa itu
adalah dari pada kamu juga, yang naik atau terpilih atau yang kamu akui
kekuasaannya, sebagai suatu kenyataan. (Hamka: 1984) Supaya ketaatan kepada ulil
amri itu dapat dipertanggungjawabkan, urusan-urusan duniawi hendaklah
dimusyawarahkan. Bahkan perintah Allah sendiripun agar pelaksanaannya lancar.
Hamka mengelaborasikan makna ulul amri dengan uraian subtansial bahwa
ulul amri mengalami proses perkembangan, tidak lepas dari tinjauan ahli pikir Islam,
terutama ulama ahli fiqh dan ahli ushuluddin. Pendapat mereka dipengaruhi suasana
ketika mereka hidup, oleh karena itu dalam memaknai ulul amri menggunakan redaksi
yang berbeda-beda. Dengan redaksi yang berbeda, Hamka mengutip pendapat Abdu
bahwa beragam profesi di zaman modern ini seperti direktur penguasa besar, Professor,
sarjana di berbagai bidang dan lain-lain yang terkemuka di masyarakat adalah ahlu
Yalli wa al-aqdi berhak diajak bermusyawarah. Penafsiran ini sesuai dalam Q.S.al-
Nisa/4:59
ِ ُردُّوهُ إِلَى هَّللاRَ ْي ٍء فRشَ ا َز ْعتُ ْم فِيRRَإِنْ تَنRَ ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فRو َل َوأُولِي اأْل َ ْمRس ُ وا ال َّرRRوا هَّللا َ َوأَ ِطي ُعRRوا أَ ِطي ُعRRُا الَّ ِذينَ آ َمنRRا أَيُّ َهRRَي
سنُ تَأْ ِوي ًل ٰ
َ سو ِل إِنْ ُك ْنتُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َوا ْليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوأَ ْح
ُ َوال َّر
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Depatermen
AgamaRI: 1977)
Dalam tafsir al-Manar dijelaskan bahwa taat kepada Allah swt, berarti
menjalankan Kitab-Nya, taat kepada Rasul dengan melaksanakan apa yang
diturunkan kepada Rasul. Agar ajaran itu sampai kepada manusia dan tetap terjaga
menuntut adanya ketaatan kepada Rasul agar memperoleh kejelasan tentang agama
dan aturan syariah.
Tentang ulul amri telah terjadi perbedaan pemahaman di kalangan ulama,
sebagian menafsirkan ulul amri adalah umara dengan syarat mereka tidak
memerintahkan terhadap hal yang diharamkan. Sebagian ulama menafsirkan ulul
amri adalah para hakim ataupun para ulama.
Muhammad Abdu berpendapat bahwa ulul amri adalah Ahlu Halli wa al-Aqdi
yaitu panutan masyarakat dari kalangan umat Islam. Mereka terdiri atas pemerintah,
para hakim, ulama, pemimpin dan para pembesar yang menjadi tempat merujuk umat
dalam memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umum. Mereka apabila telah sepakat
tentang sesuatu masalah dan hukum, maka wajib ditaati dengan syarat mereka dari
kalangan muslim, tidak melawan perintah Allah swt, dan sunnah Rasul dantergolong
orang-orang pilihan yang punya kemampuan tatkala membahas hal-hal yang penting.
(Muh.Rasyid Ridha: 1973).
Dengan prinsip penafsiran yang dinamis, maka Hamka dalam penghujung
komentarnya tentang ulul amri menggaris bawahi bahwa Islam memberikan
lapangan yang luas tentang siapa yang patut dianggap ulul amri yaitu yang patut
diajak musyawarah. Di tempat lain pengaruh Rasyid Ridha terhadap tafsir al-manar
dapat dilihat pada saat menjelaskan atau menafsirkan surah al-Taubah ayat 103.
Hamka mempertegas bahwa persoalan harta dan manusia merupakan
persoalan besar. (Hamka: 1984). Hamka membedakan konsep hak milik menurut
Islam dengan konsep hak milik menurut idiologi Marxisme. Dalam pembahasannya
kata ¡adaqah dan zakat diuraikan secara bahasa. Pada bagian akhir penjelasannya,
Hamka mengutip 14 poin pendapat Rasyid Ridha mengenai konsep pokok-pokok
perbaikan mengenai soal harta benda dalam Islam. Ke 14 poin itu adalah:
1. Islam mengakui hak milik, dan melarang memakan harta dengan jalan batil.
2. Dilarang riba dan segala bentuk perjudian.
3. Dilarang harta benda beredar hanya pada orang kaya saja.
4. Orang-orang bodoh yang tidak pandai mengatur harta benda sendiri, tidak
boleh memegang harta sendiri.
5. Wajib mengeluarkan zakat.
6. Islam mengatur zakat harta tertentu.
7. Nafkah istri dan keluarga adalah wajib.
8. Wajib membela orang yang mengalami kesukaran.
9. Menjadi kaffarah yaitu denda keagamaan karena berbuat dosa tertentu.
10. Dianjurkan memperbanyak ¡adaqah, hibah, hadiah dan lain-lain.
11. Dilarang boros, royal dan tabzir.
12. Dibolehkan berhias dengan rezki yang halal dengan syarat jangan berlebih
13. Bersikap ekonomis dan sederhana
14. Orang kaya yang bersyukur dipandang lebih utama dari pada orang miskin yang sabar.
Hamka menggaris bawahi 14 poin perbaikan ekonomi umat dengan menekankan himbauan
moral. Diyakini bahaya besar tidak akan terulang lagi apabila umat Islam dengan sadar
menjalankan dan mempraktekkan 14 pokok ajaran agama yang tersebut di atas.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut:
1. Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya Hamka yang utama, terbesar dan gemilang
yang terdiri dari 15 jilid.
2. Hamka berinisiatip menulis tafsir al-azhar ketika menghayati perjalanan hidup
ketika menerima pelajaran tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo, dan adanya niat
Hamka yang ingin meninggalkan pusaka yang bisa bermanfaat bagi umat ketika
menghadap ke hadirat Allah swt.
3. Metode Tafsir al-Azhar atau metode yang digunakan Hamka dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’ān adalah metode tahlili dengan corak adabi ijtima’i.
-----
DAFTAR PUSTAKA