Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR AL-AZHAR KARYA HAMKA

(Metode dan Corak Penafsirannya)

Faishal Nabigh Aghna ( 2018080082 )


Umi Maysaroh ( 2018080087 )

Abstrak
Hamka dalah seoarang aktivis dan ulama yang sangat terkenal, salah satu karyanya yang
terkenal adalah tafsir al-Azhar, yang pada mulanya hanya berbentuk uraian dalam kuliah
subuh, kemudian dipublikasikan dalam bentuk kitab yang terdiri dari 15 jilid. Adapun
metode yang digunakan Hamka dalam tafsirnya adalah metode tahlili menafsirkan sesuai
dengan susunan surah yang ada dalam mushaf dengan pendekatan sastra dan bercorak
adab ijtima’i.

Kata-kata Kunci: metode, tafsir al-azhar, Hamka

PENDAHULUAN
Tafsir al-azhar merupakan salah satu medium bagi Hamka mengomunikasikan
ide-ide barunya dalam menafsirkan al-Qur’an. Ide-ide pembaruannya sebagi hasil
intraksinya dalam bidang agama, sosial budaya dan politik itu telah memperkaya
nuansa penafsirannya.
Terdapat karakter umum bahwa tafsir Alquran berbahasa non Arab, dalam
tahapan penafsirannya senantiasa merujuk pada tafsir berbahasa Arab. (al-Zahabi:
1976). Perujukan ini dapat menimbulkan dua kemungkinan. pertama, terjadi
pemindahan isi, ide, atau gagasan buku tafsir Alquran berbahasa Arab ke dalam
penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir berbahasa ‘ajami. Kedua,
penerapan metode tafsir atau dasar penafsiran tafsir sumber dalam penafsiran
Alquran yang dilakukan mufassir.
Untuk meneliti penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar dan kemungkinan
keterpengaruhannya oleh tafsir-tafsir berbahasa Arab sebagai sumber yang dirujuk.
Penulis ingin melihat pola Hamka dalam mengolah gagasan tafsir dari sumber
rujukan pada kitab tafsirnya. Selain itu juga ingin melihat pola Hamka dalam
menerapkan metode penafsiran sesuai tafsir sumber sehingga mampu membuahkan
hasil penafsiran yang orisinil.
Penelusuran ini dilakukan mendapat dorongan psikologis pula dari Hamka
lewat pengakuannya pada bagian awal tafsir al-Azhar bahwa tafsir yang
mempengaruhinya adalah Fi Zilal al-Qur’an. Selain itu tafsir berbahasa Arab yang
banyak mempengaruhi tafsir al-Azhar adalah Tafsir al-Manar. (Hamka: 1984)

BIOGRAFI HAMKA
Hamka nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik bin Abd Karim (Amrullah),
dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1362 H bertepatan 16 Februari 1908, di desa
Tanah Sirah termasuk daerah Sungai Batang di tepi Danau Kaninjau. (Yunan Yusuf:
1990) Pendidikan yang ia terima dimulai di rumah, sekolah diniyah dan surau.
Dalam pendidikannya hasrat orang tuanya yaitu Syekh Abd Karim Amrullah
berpengaruh dalam proses pendidikannya. Keinginan ayahnya menjadikan Hamka
seorang ulama, bisa dilihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap kegiatan belajar
ngajinya. Waktu kecil ia belajar ilmu-ilmu alat seperti gramatik (nahwu), morfologi
(sarf), fiqh dan tafsir al-Qur’an. (Deliar Nur: 1978). Ilmu itu diperoleh ketika belajar
di tawalib School. Buku tafsir yang ia kaji di tingkat pemula adalah tafsir jalalain.
Tafsir diperdalam ketika pada usia 17 tahun bertemu Ki Bagus Hadikusuma, tokoh
yang pernah mondok di pesantren Wonokromo Yokyakarta.
Ilmu-ilmu perangkat penafsiran (ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu balagah, ilmu ushul
fiqh, ilmu mustalah hadis dan sebagainya), telah dimilikinya. (Hamka: 1984)
Bermodalkan ini menjadikan ia bisa dengan mudah mengomunikasikan ide-ide di
bidang tasawuf dan sastra secara serasi. (Syafi’i Ma’arif: 1993).
Dalam peta pemikiran Islam, Hamka menempati posisi penting. Dia mulai
menjelajahi belantara pemikiran keislaman pada periode masa penjajahan 1900-1945
dan berlanjut pada masa kemerdekaan atau kebebasan ke II (1966-1985).
Kesempatan dia untuk mengembangkan intelektualitas keislamannya menjadi
terbuka lebar ketika dia berangkat ke Jakarta pada tahun 1949 dengan diterima
sebagai anggota Koresponden Surat Kabar Merdeka dan Majalah Pemandangan.
Sejarah hidupnya kemudian mengarah ke dunia politik praktis, dengan terpilih
sebagai anggota konstituante dari partai masyumi pada pemilu 1955. Meskipun
demikian, Hamka tetap mengambil posisi penting dalam mendalami bidang kajian
keagamaan, sosial budaya dan politik. Salah satu hasil karya ilmiah keislamannya
dipublikasikan adalah kitab Tafsir al-Azhar.
Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, filosof dan aktivis
Muhammadiyah yang amat terkenal. Hamka aktif dalam gerakan Muhammadiyah,
dan mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk memberantas
khurafat, bid’ah dan tarekat kebatinan sesat di Padang Panjang. Kemudian Hamka
terpilih menjadi Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatra Barat, oleh komfrensi
Muhammadiyah menggantikan S.Y.Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun
1953, Hamka dipilih sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an Hamka menjadi
wartawan beberapa buah berita seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1982, dia menjadi editor majalah kemajuan masyarakat,
pada tahun 1932, Hamka menerbitkan Majalah al-Mahdi di Makassar, juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka wafat pada tanggal 24 Juli 1981, jasa dan pengaruhnya masih terasa
hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Hamka tidak saja sebagai tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya tapi juga di negara lain seperti Malaysia,
Singapur dan lain-lain.

LATAR BELAKANG PENULISAN TAFSIR AL-AZHAR


Kitab tafsir al-Azhar merupakan karya gemilang Hamka. Penulisan tafsir al-
Azhar di mulai sejak tahun 1958, yang berbentuk uraian dalam kuliah subuh bagi
jama’ah mesjid Agung al-Azhar. (Yunan Yusuf: 1990) Yang dimuat dalam majalah
Gema Islam sejak tahun 1969. Penulisan hingga juz XXX pada tanggal 11 Agustus
1964 di rumah tahanan politik Mega Bandung. Penyempurnaan dan perbaikan
terhadap penafsirannya dilakukan sejak dibebaskan dari pemerintah Orde Baru pada
tanggal 21 Januari 1966 di rumahnya di Kebayoran Baru hingga bulan Agustus 1975.
Hamka memulai aktivitas menafsirkan al-Qur’an (tafsir al-Azhar) berasal dari
penghayatan terhadap perjalanan hidup sejak dia menerima pelajaran tafsir al-Qur’an
dari KI Bagus Hadikusumo di Yokyakarta tahun 1924-1925. Dari pertemuan itu
mengantar Hamka tampil sebagai intelektual dan pengajar Islam baik lewat
organisasi, dakwah dan tulisan-tulisan. Di samping itu, salah satu niat Hamka adalah
hendak meninggalkan pusaka yang bermanfaat atau punya nilai bagi bangsa dan
umat muslim Indonesia jika kelak kembali ke hadirat Allah swt. (Hamka: 1984). Dan
niat itu sejak pertama kali menafsirkan atau menulis tafsirnya. Salah satu hasil karya
ilmiah keislamannya dipublikasikan yang sangat berharga adalah Kitab Tafsir al-
Azhar yang terdiri dari 15 jilid.

Sistematika Kitab Tafsir Al-Azhar

Dalam menyusun Tafsir al-Azhar, HAMKA menggunakan sistematika tersendiri yang


akan dijelaskan sebagai berikut, yaitu:

1. Menurut susunan penafsirannya, Buya HAMKA menggunakan metode tartîb


utsmânî yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan penyusunan Mushaf Utsmânî,
yang dimulai dari Surah al-Fâtihah sampai Surah al-Nâs. Metode tafsir yang demikian
disebut juga dengan metode tahlîlî.

2. Dalam setiap surah dicantumkan sebuah pendahuluan dan pada bagian akhir dari
tafsirnya, Buya HAMKA senantiasa memberikan ringkasan berupa pesan nasehat agar
pembaca bisa mengambil ibrah-ibrah dari berbagai surah dalam al-Qur'an yang ia
tafsirkan.

3. Sebelum beliau menterjemahkan beserta menafsirkan sebuah ayat dalam satu


surah, tiap surah itu ditulis dengan artinya, jumlah ayatnya, dan tempat turunnya ayat.
Contoh: Surah al- Fâtihah (pembukaan), surah pertama yang terdiri dari 7 ayat,
diturunkan di Makkah. Dan Surah al-Takâtsur (bermegah-megahan), surah ke-102 yang
terdiri dari 8 ayat dan diturunkan di Makkah.

4. Penyajiannya ditulis dalam bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat –
satu sampai lima ayat– dengan terjemahan bahasa Indonesia bersamaan dengan teks
Arabnya. Kemudian diikuti dengan penjelasan panjang, yang mungkin terdiri dari satu
sampai limabelas halaman.

5. Dalam tafsirnya dijelaskan tentang sejarah dan peristiwa kontemporer. Sebagai


contoh yakni komentar HAMKA terhadap pengaruh orientalisme atas gerakan-gerakan
kelompok nasionalisme di Asia pada awal abad ke-20.
6. Terkadang disebutkan pula kualitas hadis yang dicantumkan untuk memperkuat
tafsirannya tentang suatu pembahasan. Sebagai contoh yakni dalam pembahasan tentang
Surah al- Fâtihah sebagai rukun sembahyang, hadis tentang imam yang membaca Surah
al-Fâtihah dengan jahr, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan.
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. berkata: sesungguhnya iman itu lain
tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu, maka apabila dia telah takbir, hendaklah
kamu takbir.

7. Dalam tiap surah, HAMKA menambahkan tema-tema tertentu dan


mengelompokkan beberapa ayat yang menjadi bahan bahasan. Contohnya dalam Surah
al-Fâtihah terdapat tema antara lain:
a. Al-Fâtihah sebagai rukun sembahyang
b. Di antara jahr dan sirr
c. Dari hal âmîn
d. Al-Fâtihah dengan Bahasa Arab.
Dalam penjelasan tafsirannya, terkadang HAMKA menambahkan syair. Contoh dalam
penafsiran Surah al-Fâtihah ayat 4: ‫ الدِّين يَ ْوم َمالِ ِك‬dijelaskan sebagai berikut:
Di dunia ini tidak ada pembalasan yang sebenarnya dan di sini tidak ada perhitungan
yang adil. Sebagaimana syair yang dicantumkan:
‫ساو يَا‬ ُّ ‫ َك َما أَن َعيْنَ ال‬# ‫ضا عَنْ ُكل َع ْيب َكلِ ْيلَة‬
َ ‫س ْخ ِط ت ْب ِدى ا ْل َم‬ َ ‫َو َع ْين ال ِّر‬
Dan Mata keridhaan gelap tidak melihat cacat
Sebagai juga mata kebencian hanya melihat yang buruk saja.

8. Di dalam Tafsir al-Azhar, nuansa Minang pengarangnya tampak sangat kental.


Sebagai contoh ketika Buya HAMKA menafsirkan surah ‘Abasa ayat 31-32, yaitu:

32 ‫ َمتَاعًا لَ ُك ْم وَأِل َ ْن َعا ِم ُك ْم‬31 ‫ًّا‬RS‫َوفَا ِك َهة َوأًَب‬

Artinya: dan buah-buahan serta rumput-rumputan (31) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang- binatang ternakmu (32).

Buya HAMKA menafsirkan ayat di atas dengan:


“Berpuluh macam buah-buahan segar yang dapat dimakan oleh manusia, sejak dari
delima, anggur, apel, berjenis pisang, berjenis mangga, dan berbagai buah-buahan yang
tumbuh di daerah beriklim panas sebagai pepaya, nenas, rambutan, durian, duku,
langsat, buah sawo, dan lain-lain, dan berbagai macam rumput-rumputan pula untuk
makanan binatang ternak yang dipelihara oleh manusia tadi”.
Dalam penafsirannya itu terasa sekali nuansa Minangnya yang merupakan salah satu
budaya Indonesia, seperti contoh buah-buahan yang dikemukakannya, yaitu mangga,
rambutan, durian, duku, dan langsat. Nama buah-buahan itu merupakan buah-buahan
yang tidak tumbuh di Timur Tengah, tetapi banyak tumbuh di Indonesia.
CORAK DAN METODE PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR
Tafsir al-Azhar layak disebut tafsir al-Qur’an. Karena pemahaman mufasir
(Hamka) memenuhi kriteria penafsiran. Di antara kriteria itu ialah dari segi
penjelasan lafaz, kalimat atau ayat dengan sumber, alat dan satuan kajian dan
pemahaman, mufassir telah menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang berlaku.
Secara umum metode yang digunakan dalam tafsir al-Azhar adalah metode tahlili
dengan pendekatan sastra, dan bercorak adaby ijtima’i.
Dengan metode tahlili (analitis) Hamka menafsirkan al-Qur’an mengikuti
sistem al-Qur’an sebagaimana yang ada dalam mushaf, dibahas dari berbagai segi
mulai dari asbab al-nuzul, munasabah, kosa kata, susunan kalimat dan sebagainya.
Pendekatan yang digunakan Hamka dalam menafsirkan adalah pendekatan
sastra yakni penjelasan dan pembahasan ayat atau lafaz dengan menggunakan
ungkapan sastra. Salah satu buktinya adalah penonjolan munasabah (korelasi) antara
bagian-bagian ayat. Penggunaan munasabah ini menandai kemiripan-kemiripan al-
Azhar dengan Tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang sekaligus membuktikan kebenaran
pengakuan Hamka bahwa tafsir yang mempengaruhinya adalah Tafsir FI Zilal al-
Qur’an.(Hamka 1984).
Ketika Hamka menjelaskan Q.S.Ali Imran/3:28-29 tentang taqiyah dihadapan
penguasa kafir yang zalim, ia menghubungkan dengan makna ayat: 8, 9 dan 60
surah al-mumtahanah. Menurutnya sesuai ayat 8 orang muslim dapat hidup bersama
kalau orang kafir tidak memerangi dan mengusir, namun jika mereka memerangi
seperti dalam ayat 9 surah al-mumtahanah, maka tidak boleh bersahabat dan
berhubungan dengan mereka.

SUMBER TAFSIR AL-AZHAR


Hamka dalam penulisan tafsirnya telah mengakui bahwa tafsir yang
mempengaruhinya sebagai sumber dalam menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’ān
adalah:
a. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’ān
Terdapat bukti yang jelas membenarkan bahwa Hamka terpengaruh oleh
Sayyid Qutub dalam penafsirannya. Terungkap dalam menafsirkan ayat 28 dan 29
surah Ali Imran. Hamka tampaknya menekankan subtansi prinsipil yang sama
dengan uraian Sayyid Qutub saat mengelaborasi sikap taqiyah. Menurut keduanya,
taqiyah diperbolehkan saat umat Islam dalam kondisi terpaksa (darurat) pada suatu
waktu dan di suatu negara. Dalam penjelasannya taqiyah adalah sikap lunak, lemah
lembut kepada musuh atau suatu ketundukan dan menyerah karena musuh itu lebih
kuat. (Hamka: 1984).
Taqiyah merupakan salah satu siasat yang berencana, bukanlah kelemahan.
Oleh sebab itu kalau ada orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir sampai
kerja sama atau membantu mereka, pada hal tidak ada rencana hendak terus
menumbangkan kerajaan kafir itu bukanlah itu taqiyah, namun menggadaikan diri
sendiri kepada musuh.
Jadi taqiyah hanyalah strategi menyembunyikan keimanan yang tertancap di
hati sebagai keringanan dalam agama. Di ayat ini diperingatkan bahwa Tuhan
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam dada dan yang ditampakkan dan
dinyatakan. Prinsip taqiyah seperti itu secara garis besar memiliki kemiripan dengan
pendapat Sayyid Qutub, taqiyah yang diperbolehkan adalah lisan, bukan taqiyah hati
atau taqiyah amal.(Sayyid Qutub: 1971) Taqiyah tidak boleh menumbuhkan rasa
cinta antara orang mukmin dengan orang kafir, karena orang kafir tidak relah
menggunakan hukum kitabullah dalam hidupnya.

b. Tafsir al-Manar
Dalam penafsirannya, Hamka berorintasi untuk memberikan bimbingan demi
kepentingan umat. Orientasi ini mengikuti Muhammad Abdu dan dilanjutkan oleh
Rasyid Ridha yang sama-sama mengorientasikan penafsirannya dalam memberikan
bimbingan dan arahan bagi pembangunan masyarakatnya. Dengna orientasi ini
menjadikan tafsir al-azhar bercorak tafsir adab ijtima’iy. Dalam wacana penafsiran
tafsit adab ijtima’iy yakni tafsir yang membahas permasalahan yang hidup di tengah
masyarakat dan diungkapkan dalam bahasa yang populer, mudah dipahami dan
menarik untuk dibaca oleh masyarakat umum. ( Abd.Hay al-Farmawi: 1977).
Beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan bahwa dapat disimak dalam
gagasan Tafsir al-Azhar secara metodologis maupun isinya dipengaruhi oleh Abdu
dan Rasyid Ridah yang penafsiran surah al-Nisa ayat 59. Hamka menafsirkannya
sebagai orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di
antara kamu atas dari pada kamu. Kata minkum mempunyai dua arti, pertama, di
antara kamu, kedua, dari pada kamu. Maksudnya yaitu mereka yang berkuasa itu
adalah dari pada kamu juga, yang naik atau terpilih atau yang kamu akui
kekuasaannya, sebagai suatu kenyataan. (Hamka: 1984) Supaya ketaatan kepada ulil
amri itu dapat dipertanggungjawabkan, urusan-urusan duniawi hendaklah
dimusyawarahkan. Bahkan perintah Allah sendiripun agar pelaksanaannya lancar.
Hamka mengelaborasikan makna ulul amri dengan uraian subtansial bahwa
ulul amri mengalami proses perkembangan, tidak lepas dari tinjauan ahli pikir Islam,
terutama ulama ahli fiqh dan ahli ushuluddin. Pendapat mereka dipengaruhi suasana
ketika mereka hidup, oleh karena itu dalam memaknai ulul amri menggunakan redaksi
yang berbeda-beda. Dengan redaksi yang berbeda, Hamka mengutip pendapat Abdu
bahwa beragam profesi di zaman modern ini seperti direktur penguasa besar, Professor,
sarjana di berbagai bidang dan lain-lain yang terkemuka di masyarakat adalah ahlu
Yalli wa al-aqdi berhak diajak bermusyawarah. Penafsiran ini sesuai dalam Q.S.al-
Nisa/4:59

ِ ‫ ُردُّوهُ إِلَى هَّللا‬Rَ‫ ْي ٍء ف‬R‫ش‬َ ‫ا َز ْعتُ ْم فِي‬RRَ‫إِنْ تَن‬Rَ‫ ِر ِم ْن ُك ْم ۖ ف‬R‫و َل َوأُولِي اأْل َ ْم‬R‫س‬ ُ ‫وا ال َّر‬RR‫وا هَّللا َ َوأَ ِطي ُع‬RR‫وا أَ ِطي ُع‬RRُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬RR‫ا أَيُّ َه‬RRَ‫ي‬
‫سنُ تَأْ ِوي ًل‬ ٰ
َ ‫سو ِل إِنْ ُك ْنتُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َوا ْليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوأَ ْح‬
ُ ‫َوال َّر‬

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Depatermen
AgamaRI: 1977)
Dalam tafsir al-Manar dijelaskan bahwa taat kepada Allah swt, berarti
menjalankan Kitab-Nya, taat kepada Rasul dengan melaksanakan apa yang
diturunkan kepada Rasul. Agar ajaran itu sampai kepada manusia dan tetap terjaga
menuntut adanya ketaatan kepada Rasul agar memperoleh kejelasan tentang agama
dan aturan syariah.
Tentang ulul amri telah terjadi perbedaan pemahaman di kalangan ulama,
sebagian menafsirkan ulul amri adalah umara dengan syarat mereka tidak
memerintahkan terhadap hal yang diharamkan. Sebagian ulama menafsirkan ulul
amri adalah para hakim ataupun para ulama.
Muhammad Abdu berpendapat bahwa ulul amri adalah Ahlu Halli wa al-Aqdi
yaitu panutan masyarakat dari kalangan umat Islam. Mereka terdiri atas pemerintah,
para hakim, ulama, pemimpin dan para pembesar yang menjadi tempat merujuk umat
dalam memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umum. Mereka apabila telah sepakat
tentang sesuatu masalah dan hukum, maka wajib ditaati dengan syarat mereka dari
kalangan muslim, tidak melawan perintah Allah swt, dan sunnah Rasul dantergolong
orang-orang pilihan yang punya kemampuan tatkala membahas hal-hal yang penting.
(Muh.Rasyid Ridha: 1973).
Dengan prinsip penafsiran yang dinamis, maka Hamka dalam penghujung
komentarnya tentang ulul amri menggaris bawahi bahwa Islam memberikan
lapangan yang luas tentang siapa yang patut dianggap ulul amri yaitu yang patut
diajak musyawarah. Di tempat lain pengaruh Rasyid Ridha terhadap tafsir al-manar
dapat dilihat pada saat menjelaskan atau menafsirkan surah al-Taubah ayat 103.
Hamka mempertegas bahwa persoalan harta dan manusia merupakan
persoalan besar. (Hamka: 1984). Hamka membedakan konsep hak milik menurut
Islam dengan konsep hak milik menurut idiologi Marxisme. Dalam pembahasannya
kata ¡adaqah dan zakat diuraikan secara bahasa. Pada bagian akhir penjelasannya,
Hamka mengutip 14 poin pendapat Rasyid Ridha mengenai konsep pokok-pokok
perbaikan mengenai soal harta benda dalam Islam. Ke 14 poin itu adalah:

1. Islam mengakui hak milik, dan melarang memakan harta dengan jalan batil.
2. Dilarang riba dan segala bentuk perjudian.
3. Dilarang harta benda beredar hanya pada orang kaya saja.
4. Orang-orang bodoh yang tidak pandai mengatur harta benda sendiri, tidak
boleh memegang harta sendiri.
5. Wajib mengeluarkan zakat.
6. Islam mengatur zakat harta tertentu.
7. Nafkah istri dan keluarga adalah wajib.
8. Wajib membela orang yang mengalami kesukaran.
9. Menjadi kaffarah yaitu denda keagamaan karena berbuat dosa tertentu.
10. Dianjurkan memperbanyak ¡adaqah, hibah, hadiah dan lain-lain.
11. Dilarang boros, royal dan tabzir.
12. Dibolehkan berhias dengan rezki yang halal dengan syarat jangan berlebih
13. Bersikap ekonomis dan sederhana
14. Orang kaya yang bersyukur dipandang lebih utama dari pada orang miskin yang sabar.

Hamka menggaris bawahi 14 poin perbaikan ekonomi umat dengan menekankan himbauan
moral. Diyakini bahaya besar tidak akan terulang lagi apabila umat Islam dengan sadar
menjalankan dan mempraktekkan 14 pokok ajaran agama yang tersebut di atas.

KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut:
1. Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya Hamka yang utama, terbesar dan gemilang
yang terdiri dari 15 jilid.
2. Hamka berinisiatip menulis tafsir al-azhar ketika menghayati perjalanan hidup
ketika menerima pelajaran tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo, dan adanya niat
Hamka yang ingin meninggalkan pusaka yang bisa bermanfaat bagi umat ketika
menghadap ke hadirat Allah swt.
3. Metode Tafsir al-Azhar atau metode yang digunakan Hamka dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’ān adalah metode tahlili dengan corak adabi ijtima’i.
-----

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zahabi, Tafsir Wa Mufassirun, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976


Ahmad, Nurwajnah, Pemahaman Mufasir Indonesia Mengenai Ayat-ayat yang
Berkaitan dengan Negara, Sumber Harta dan Ilmu Pengetahuan” Desertasi”
Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1997.
Al-Farmawiy, Abd. Hay, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, Mesir: Maktabah al-
Hadarah al-Arabiyah, 1977
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.I. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
-------, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Maarif, Syafii, Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993
Noer, Deliar, Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, Dalam Risalah,
Bandung: PP.Persisi, 1978
Qutub, Sayyid Fi Ẓilal al-Qurān, Beirut: Ihya al-Tiras al-Arabiy, 1971
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fiqr, 1973
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qurān, bandung: Mizan, 1992
Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1990.

Anda mungkin juga menyukai