Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR AL-MANAR

KARYA MUHAMMAD ABDUH


DAN MUHAMMAD RASYID RIDHA
PENGANTAR
Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot,
terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan
asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin AlAfghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan Muslimin. Muridnya
yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia yang
mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia
menghubungkan

ajaran-ajaran

agama

dengan

kehidupan

modern,

dan

membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,


kehidupan serta apa yang bernama kemajuan.
Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan
menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu sebagai
langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan
seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama tafsir al-Manar, kitab tafsir
yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia
berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Quran dengan kehidupan masyarakat, di
samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal,
umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.1
Tafsir al-Manar yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dar alManar di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini bersumber dari perkuliahan
Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Quran yang disampaikan di Universitas alAzhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha
dengan judul Tafsir al-Quran al-Hakim. Kemudian kitab ini lebih populer
dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan
periodik.

Ahmad Asy-Syirbashi, Terj. Sejarah Tafsir Quran, (Jakarta: Pustaka Firdous, 1985), hal. 161.

Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17


Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk
menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya
dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad
Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata
mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab
sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.2
Tafsir

Al-Manar

yang

bernama

Tafsir

Al-Quran

Al-Hakim

memperkenalkan dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun


riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan
hikmah syariah, serta Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia,
dan menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di
setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan
keadaan kaum Muslimin pada masa diterbitkannya yang berpaling dari petunjuk
itu, serta membandingkan dengan keadaan

para salaf yang berpegang teguh

dengan tali hidayah itu.


Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha
menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang
awam, tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan). Tafsir alManar pada dasarnya merupakan hasil karya 3 (tiga) orang Tokoh Islam, yaitu:
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.3
Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa
gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan diolah
yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari Muhammad
Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan
gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

(Keterangan tentang Tafsir al-Manar ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa
Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan Ulum al-Quran karya Ahmad Von
Denffer). Lihat di http://www.psq.or.id/tafsir_detail.asp?mnid=36&id=8
http://www.penulislepas.com/v2/?p=177

BIOGRAFI MUFASSIR DAN KARYA-KARYANYA


Tokoh utama corak penafsiran ini yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya
adalah Muhammad Abduh, dan kemudian di kembangkan oleh murid sekaligus
sahabatnya, Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Abuh
Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Ia di lahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada
tahun 1849M.4 Pada tanggal 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal di Kairo
Mesir.5 Ia pernah diasingkan ke Syuriah karena keterlibatannya dalam
pemberontakan Arabi sebagai gerakan pembaharuan. Dalam pemikirannya, ia
mengikuti Ibn Taimiyah yang mencela tahayul dan bidah yang telah mencemari
iman. Kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati dan
pikirannya. Gagasan-gagasannya meliputi pembaharuan intelektual dan politik
agama, serta unifikasi politik di bawah satu pimpinan utama. Menurutnya bahwa
pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan.
Bahkan ia menafsirkan beberapa ayat Al-Quran secara rasional dan mengakui
kekurangan skolastisisme6 Islam.7
Karya-karyanya :
1. Ulasan ( syarah ) buku al- Bashairun Nasiriah, karangan al- Qadhi
Zainuddin, tahun 1898.
2. Risalah at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897
3. Al-Islam wa an-Nashraniyat maa al-Ilm wa al-Madaniyat tahun 1902.8
4. Risalah al-'Aridat (1837),
5. Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil Aqaid adh-Adhudhiyah (1875)
6. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali bin Abi Thalib)
7. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, ArRaddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak
mempercayai wujud Tuhan); dan
4
5
6

7
8

M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
Ibid, hal. 17
Skolastisisme: teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafah
Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 1079
Plihip K. Hitti, History of The Arabs (terj), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 966.
http://alimanjogja.blogspot.com/2008/02/muhammad-abduh.html

8. Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut


bahasa dan sastra Arab).
9. Tafsir al-Quran al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan
oleh Rasyid Ridha);
10. Khasyiah Ala Syarh ad-Diwani li al-Aqaid adh-Adhudhiyat9
Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmn yang terletak disisi laut
Atlantik di bukit Libanon pada 27 Jumd al-Tsani tahun 1282 H/ 18 Oktober
tahun 1865 M dan meninggal di usia + 70 tahun karena kecelakaan dalam
perjalanan ke Kairo pada malam Kamis tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H/22
Agustus 1935 M.10 Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad
Syamsuddin Ibn Muhammad Bahuddn Ibn Manl Ali Khalifah. Dalam
pembentukan intelektual dan keilmuan ia lebih cenderung pada materi-materi
klasik. Setelah membaca buku Hujjat al-Islam Abu Hmid al-Ghazali, Ihya
Ulmuddin yang membuat ia mengenal zuhud, tasawuf serta ubudiyah dan
kemudian bergabung dalam suluk Tarekat Naqsyabandiah. Di tahun 1310 H/
1892M terjadi perubahan yang besar dalam orientasi pemikirannya, setelah
membaca majalah Al-Urwah al-Wustqa milik ayahnya yang diterbitkan di Paris
(1301 H/1884 M) oleh Jamluddin al-Afghni (1254-1314 H/1838-1897M) dan
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M). Ia berubah dari sifat zuhud
(Tarekat Naqsyabandiyah) di dunia serta perbaikan politik dan kemasyarakatan
menuju sifat keislaman yang moderat yang di pelopori oleh al-Afghani dan
muhammad Abduh yaitu saling menyeimbangkan antara jiwa dan raga, dunia dan
akhirat, antara kebebasan pribadi dan kebebasan publik, antara kemuliaan manusia
dan kepentingan umat Islam dalam tatanan mondial11.12
9
10

http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid=37&id=9
Anton H. Sultonan, Syaikh Sayyed Muhammad Rasyid Ridha (Makalah ini di presentasikan pada
acara tri wulan Pwk PERSIS oleh Bid. Taklim tanggal 18 Oktober 2003 di sekretariat Pwk PERSIS, Kairo.
Keterangan tentang ini merujuk pada Sayyed Yusuf, Rasyid Ridla wal Audah ila Manhaj as-Salaf,
hal.11, Cet. I Merit lin Nasyr wal Maklumat, Kairo, tahun 2000). Lihat

http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/
Mondial : berkaitan dengan seluruh dunia. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 753.
12
Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam (Diterjemahkan dari buku Al-Masyru
al-Hadhari al-Islami: Muhammad Yasar dan Muhammad Hikam), (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 1-5.
11

Karya-karyanya:
1). Al-Hikmah Asy-Syariyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifaiyyah,
buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di
Tripoli negeri Syam. Dikarenakan sebagai jawaban terhadap kitab yang
dikarang oleh Ali Abi al-Huda ash-Shayadi yang mengemukakan Syaikh Sufi
Sayyed Abdul Qadir Jailani.
2). Majalah al-Manar, yang pertama kali terbit pada tahun 1315 H/1898 M dan
akhir terbitnya itu pada edisi 35 tanggal 29 Rabiuts Tsani 1354 H/1935 M. Di
tiap edisi banyak mencantumkan pendapat-pendapat beliau dalam
pembaharuan agama dan politik.
3). Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, terdiri 3 jilid.
4). Nida al-Jins al-Latif (Huqq an-Nis fi al-Islm).
5). Al-Wahyu al-Muhammady
6). Al-Manr wa al-Azhar
7). Dzikr al-Maulid an-Nabawy
8). Al-Wihdatu al-Islmiyyah
9). Yusru al-Islm wa ushl al-Tasyri al-m
10). Al-Khilafatu au al-Imamah al Udma
11). Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz
12). Haqiqatu ar-Riba
13). Muswatu ar-Rajul bi al-Marah
14). As-Sunnah wa asy-Syiah
15). Manasik al-Haj, ahkamuhu wa Hukmuhu
16). Tafsir al-Manar, terdiri 12 jilid dan beliau hanya menafsirkan 12 juz
kemudian sisanya yang 5 juz di susun oleh Syaikh Muhammad Abduh.
17). Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali
18). Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah
19). Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam
20). Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida
21). Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al-Mashry
22). Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.13
METODE DAN CORAK PENAFSIRANNYA
Pandangan Muhammad Abduh tentang kitab tafsir dan penafsiran; 1) ia
menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain
kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda yang pada
akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Quran. 2) untuk bidang
penafsiran, ia menyatakan bahwa dialog Al-Quran bukan saja di peruntukkan
13

Anton H. Sultonan, Syaikh Sayyed Muhammad Rasyid Ridha (Makalah ini di presentasikan pada
acara tri wulan Pwk PERSIS oleh Bid. Taklim tanggal 18 Oktober 2003 di sekretariat Pwk PERSIS, Kairo.
Keterangan tentang ini merujuk pada Sayyed Yusuf, Rasyid Ridla wal Audah ila Manhaj as-Salaf,
hal.152-153, Cet. I Merit lin Nasyr wal Maklumat, Kairo, tahun 2000). Lihat
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/

bagi masyarakat Arab yang tidak tahu baca tulis tetapi berlaku umum untuk setiap
masa dan generasi.14
Jalan pikiran Muhammad Abduh itu menghasilkan dua landasan pokok
menyangkut pemahaman dan penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Quran, yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial. Menurutnya ada masalah keagamaan
yang tidak dapat di yakini kecuali melalui pembuktian logika, ia pula mengakui
bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami oleh akal namun tidak
bertentangan dengan akal. Wahyu harus dipahami dengan akal, tetapi ia pun
menyadari keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi
(wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa
masalah ibadah. Secara umum ajaran agama menurutnya terbagi dalam dua bagian
yaitu rinci dan umum. Untuk yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan
Nabi-Nya yang tidak mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang
umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah
penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.15
Ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran Al-Quran. Dr.
Abdul-Hay Al-Faramawi dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah fi Al-tafsir AlMawduiy membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat:
analisis, komparatif, global, dan tematik (penetapan topik). Metode analisis
tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu di antaranya adalah corak adabi
ijmai (budaya kemasyarakatan). Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat
Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Quran
bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia
tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang
sangat dibutuhkan.16

14
15
16

M. Quraish Shihab, hal. 22-23


Ibid, hal. 23-24
Ibid, hal. 25

Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Abduh


1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
Dalam pandangan ini Muhammad Abduh menjalin hubungan yang serasi
antara satu ayat dengan ayat yang lain, dalam satu surah. Menurutnya,
pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surah tadi
secara keseluruhan, sebagai contoh adalah:

z\zk[

(demi

fajar dan malam yang sepuluh). Kata layalin Asyr (Al-Fajr: 2) misalnya,
tidak mungkin terlepas pengertiannya dari kata Wal-Fajr (Al-Fajr: 1). Kata
Al-Fajr di sini tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu sehingga dipahami
secara umum. Bila bermaksud menjelaskan tentang hari atau waktu tertentu,
maka hari dan waktu itu dijuluki dengan sifat atau cirinya seperti Yaum alQiyamah, Lailat al-Qadri, dan sebagainya, tapi jika tidak maka bersifat
umum. Kata Al-Fajr di sini berarti umum, terjadi setiap hari dan dalam arti
bahwa fajar tersebut adalah fajar ketika cahaya siang menjelma di tengahtengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian mengusik kegelapan
tersebut. Demi keserasian ayat pertama dan kedua, maka layalin Asyr harus
ditafsirkan dengan malam-malam yang serasi keadaannya dengan pengertian
yang dikandung oleh kata Al-Fajr, yakni sepuluh malam yang terjadi pada
setiap bulan yang di dalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam.
Maka terjadilah keserasian antara keduanya, yakni masing-masing mengusik
kegelapan walaupun yang pertama mengusiknya hingga terjadi terang yang
merata, dan yang kedua mengusik namun akhirnya terjadi kegelapan yang
merata. Sedangkan tokoh utama mufasir yang berbicara tentang keserasian
adalah Ibrahim bin Umar Al-Biqai (808 H) dalam bukunya Nazhm Al-Durar
fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Sedangkan keistimewaan Abduh adalah ia
menjadikan keserasian tersebut sebagai salah satu faktor penetapan arti serta
tolak ukur dalam menilai pendapat yang berbeda. Dan juga banyak
menerapkan ide ini dalam penafsiran hal-hal yang kurang mendapat perhatian
dari pendahulunya.
2. Ayat Al-Quran bersifat umum
Pada ciri ini berintikan bahwa petunjuk ayat Al-Quran berkesinambungan,
tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang
tertentu. Walaupun sejalan dengan kaidah ilmu tafsir yang berbunyi

`_~[s^[^z_[

yang maknanya: Pemahaman

arti suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum, bukan pada
sebab turunnya yang khusus, dalam hal ini ia memperluas pengertiannya
sehingga selama satu ayat dinilainya dapat bersifat umum, maka keumuman
itu dinyatakannya, walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah bahasa.
Misalnya pada surah Al-lail ayat 15-18, yang terjemahannya:
Tidak ada yang masuk ke dalamnya (neraka) kecuali orang yang paling
celaka, yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari iman. Dan kelak
akan dijauhkan dari neraka orang yang paling bertakwa, yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya.

Kata Asyqa dan Atqa dalam kedua ayat ini olehnya di anggap mencakup
semua orang pada segala masa selama ia memiliki sifat-sifat tersebut.
Sehingga Al-Asyqa bukan ditujukan kepada Umayyah bin Khalaf sebagaimana
petunjuk sebab turunnya, tetapi ia mencakup orang-orang yang berdosa
walaupun dia berpredikat mukmin karena kelemahan imannya mengakibatkan
ia melakukan dosa yang tidak dilakukan oleh seorang mukmin. Sebaliknya,
kata Al-Atqa yang disepakati oleh ulama Asbab Al-Nuzul ditujukan pada Abu
Bakar Al-Shiddiq, itu dinyatakan oleh Abduh yaitu mencakup semua orang
mukmin yang Istiqamah, bahkan juga mereka yang pernah melakukan dosadosa tertentu. Sedangkan menurut Al-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi
Ulum Al-Quran menyatakan bahwa ayat 17 surah Al-Lail bersifat tidak
umum karena dalam ayat tersebut tidak ada redaksi yang bersifat umum, sebab
Alim dan Lam hanya memberikan arti umum bila ia maushulah atau
maarrafah atau mufrad selama ia tidak bersyarat dan alif-lam-nya (Al) bukan
dalam arti telah dikenal (Ahd). Sedangkan Alif Lam dalam Al-Atqa buka
maushulah, karena yang maushulah tidak dapat dirangkaikan dengan afal
tafdhil. Dengan demikian, kata Al-Atqa bukan jamak sehingga tidak dapat
diartikan secara umum.
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
Penjelasan Abduh yang dimaksud dengan ciri ini adalah: Al-Quran dijadikan
sumber yang kepadanya disandarkan segala mazhab dan pandangan
keagamaan; bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat
Al-Quran dijadikan penukung untuk mazhab-mazhab tersebut. Misalnya
pendapat Abduh tentang tayamum di Surah Al-Nisa ayat 43 yang
terjemahannya adalah
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
(Janganlah pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
kecuali sekadar berlalu saja, sehingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Menurutnya ini menunjukkan bahwa: 1) seorang yang sakit atau 2) yang
dalam perjalanan, sama hukumnya dengan 3) seorang yang berhadats kecil
atau 4) seorang yang berhadats besar yang tidak mendapatkan air. Ini berarti
bahwa perintah ... maka bertayamumlah kamu... bukan merupakan syarat
bagi keempat macam keadaan di atas, tetapi ia berlaku bagi keadaan ke-3 dan
ke-4 dari yang tersebut di atas. Sedangkan Menurut Muhammad Ali Al-Sais
dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam bahwa seorang musafir biasanya tidak memiliki
air, atau sangat membutuhkannya sehingga perlu disebutkan secara tegas
seakan-akan ia tidak memiliki air. Adapun orang yang sakit, keadaan dan sifat
penyakitnya itulah yang merupakan penyebab dibolehkannya bertayamum.
Dengan demikian, ditegaskannya kedua kalimat itu lm ayat ini adalah untuk

menggarisbawahi bahwa tidak semua orang diperbolehkan bertayamum


kecuali jika memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran
Seperti
dalam
menafsirkan
ayat
255
Surah
Al-Baqarah:

_[o[[[[ kesimpulan bahwa arti, Tiada Tuhan selain Dia,


adalah bahwa tiada dalam wujud ini pemilik kekuasaan yang sebenarnya
terhadap jiwa (kecuali Dia) sehingga jiwa terdorong untuk mengagungkan dan
tunduk kepada-Nya serta meyakini bahwa dalam genggaman kekuasaanNyalah penganugerahan kebajikan atau keterhindaran dari keburukan. Al-Hay,
Maha hidup berarti Dia pemilik hidup dan sumber pengetahuan, kekuasaan
dan kehendak.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang kelihatannya sukar di pahami maka
seseorang, menurutnya dapat menakwilkan ayat-ayat tersebut atau tidak
membahasnya selain itu bagi ulama terdahulu yang dilakukan yaitu
menyerahkan pengertiannya kepada Allah. Sedangkan menurut Sayyid Quthb
dalam Tafsir Juz Amma menyatakan bahwa menggunakan akal sebagai tolok
ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash Al-Quran tentang peristiwaperistiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal ghaib, berarti menggunakan
sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah yang Maha
mutlak lagi Tidak terbatas. Sedangkan M. Quraish Shihab berpendapat bahwa
penggunaan akal secara bebas sering menjadikan seseorang mengabaikan halhal yang bersifat supranatural atau melupakan bahwa akal itu sendiri
mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Dan seharusnya prinsip ini selalu
dikaitkan dengan prinsip ke-3 Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
bahkan sebagai sumber segala sesuatu sehingga kita harus menerima nash AlQuran sebagaimana adanya, kemudian membentuk keyakinan dan
pemahaman kita sesuai dengan nash, bukannya menakwilkannya sesuai
dengan jalan pikiran kita.
5. Menentang dan memberantas taqlid
Dalam hal ini muhammad Abduh menggunakan setiap ayat yang mengecam
taqlid, walaupun ayat itu menyangkut sikap kaum musyrikin dan juga
mengecam bagi yang berpengetahuan bahwa mengikut pendapat ulama
terdahulu tanpa memperhatikan hujjahnya. Karena keinginan tersebut, ia
mengecam melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat yang sama sekali tidak
mempunyai hubungan dengan taqlid misalnya dalam surah Abasa ayat 38-42:
Banyak muka pada hari itu (kiamat) berseri-seri, tertawa dan gembira ria,
dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh
kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang kafir lagi durhaka. Muhammad
Abduh berpendapat bahwa yang berseri-seri wajahnya adalah mereka yang
menuntut kebenaran dengan hujjah sehingga tidak mempercayai sesuatu
kecuali berdasarkan dalil bukan karena pendapat terdahulu (kecuali pandapat
Rasulullah saw.) kemudian keyakinan itu diamalkan dengan sebenarnya.
Adapun yang mengecilkan akalnya dan rela mengikuti orang-orang tuanya

atau pemimpin-pemimpin pendahulunya, maka di hari kemudian wajah-wajah


mereka dipenuhi dengan debu serta ditutupi oleh kegelapan.
Apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh ini jelas merupakan suatu
cara yang terbaik guna mendapatkan hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan
yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran, sekaligus sejalan dengan
perkembangan masyarakat. Tapi sikap yang mengecam taqlid melalui ayatayat yang tidak mengandung kecaman tersebut, bukanlah sesuatu yang wajar
untuk ditiru.
6. Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak
jelas), atau sepintas lalu oleh Al-Quran
Dalam Al-Quran, sering ditemui lafal yang cukup jelas artinya walaupun tidak
terperinci, seperti anjing yang Ash-habul Kahfi (Al-Kahfi ayat 18). Sementara
mufasir menguraikannya dengan terperinci dimana perincian yang pada
umumnya tidak mempunyai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan,
contohnya tafsir Ats-Tsalabi, An-Naisabur, Al-Baghawi dan Al-Khazin.
Terkadang Muhammad Abduh tidak berusaha menjelaskan arti suatu kata ayat
Al-Quran apabila ia menganggap pembahasan arti tersebut tidak banyak
gunanya atau selama makna yang dikandung ayat itu telah dipahami secara
baik.
7. Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits Nabi saw.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang
meriwayatkan/mengantarkan satu teks) belum tentu dapat dipertanggung
jawabkan. Banyak hadits menurut ulama sebagai hadits Shahih tapi ditolak/
diabaikan olehnya karena dinilainya tidak sesuai dengan pemikiran logis atau
tidak sejalan dengan redaksi ayat al-Quran. Tapi juga sebaliknya walaupun
hadits tersebut dhaif menurut para ulama, justru dikukuhkan oleh Abduh,
hanya karena kandungannya dinilai sejalan dengan pemikiran logis, sebagai
contoh pengabaiannya terhadap hadits Bukhari dan Muslim masalah wahyu
pertama turun (Iqra) dan pengukuhannya terhadap riwayat-riwayat dhaif yang
dinisbahkan kepada Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa Al-Fatihah
adalah wahyu pertama.
8. Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat
Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat
sahabat, tapi dengan kehati-hatiannnya bukan berarti menolak semua tafsir
sahabat jika dianggapnya sejalan dengan pemikiran logis.
9. Mengaitkan penafsiran Al-Quran dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama tafsir menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak
dasar-dasar penafsiran yang bercorak adabi ijtimai (budaya dan
kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan
keadaan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan an kedangkalan
pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal. Dari segi ini
pula Abduh berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan

10

penafsiran-penafsiran ilmiah, baik yang berhubungan dengan ilmu alam


maupun dengan sosiologi. Selain itu juga mengarahkan pandangannya kepada
perbaikan gaya bahasa Arab.17
Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha
Bahwa pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya
yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Quran bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat18
Perbedaan-perbedaan antara Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad
Abduh
1. Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan haditshadits Nabi Saw.
Misalnya ketika Rashid Ridha menafsirkan ayat pertama surah Al-Maidah:

v\^[[[[x[\[\

(Wahai orang-orang yang beriman,

tunaikanlah secara sempurna akad-akad(perjanjian)), ia mengutip pendapatpendapat para sahabat dan tabiin tentang arti v[ serta macam-macamnya,
lalu dijelaskannya bahwa perintah menunaikan akad/perjanjian dalam ayat
tersebut adalah secara umum dan mutlak sehingga segala macam perjanjian
pada dasarnya mubah. Dalam hal ini ia tidak menemukan dalil tetapi banyak
hadits yang menukung kemutlakan tadi.19

17
18
19

Ibid, hal. 26-56


Ibid, hal. 70-91
Penjelasan tentang Muhammad Rasyid Ridha dalam banyaknya hadits yang mendukung
masalah ini. Banyak hadits yang ia tolak dengan berbagai alasan yang dikemukakannya, yang
akhirnya ia mengutip dari hadits-hadits untuk menguraikan persoalan perjanjian tersebut.
Dimulai dari hadits Aisyah r.a. dalam kasus Burairah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, lalu untuk lebih lengkapnya lihat di M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar
Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), hal. 94-98.

11

2. Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan


masyarakat
Ada 4 hal yang menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat yaitu
dalam bidang hukum, perbandingan agama, hukum-hukum Allah dalam
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang hukum yang
dicontohkannya pada penafsiran misalnya tentang makanan Ahlu Al-Kitab,
pada perbandingan agama juga di bahas panjang lebar dalam mengemukakan
pandangan agama selain Islam. Di bidang Sunnatullah menurutnya merupakan
sebagian dari hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya ini, agar
pandangan kaum muslimin terarah kepada dasar-dasar kebangkitan dan
keruntuhan suatu masyarakat.20
3. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat
Didalam usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an Muhammad Rasyid Ridha
mengikuti jejak Ibnu Katsir yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan
ayat-ayat lainnya. Ada 2 bentuk penafsiran yang ditempuhnya: a] menafsirkan
kandungan suatu ayat dengan kandungan ayat-ayat yang lain, misalnya pada
ayat 165 surah Al-Anam yang kemudian ia menjelaskan arti ayat tersebut
dengan Al-Araf 168, Hud 7, Al-Mulk 2, Al-Kahfi 7, Al-Furqan 20, Alu Imran
186, Al-Baqarah 155, Muhammad 31, Al-Ankabut 1-2, dan An-Naml 40. Dan
juga ia mengemukakan ayat-ayat yang mendukung uraiannya, ayatnya adalah
Al-Jin 16-17, Al-Isra 20-21, Az-Zukhruf 32-35. b] menafsirkan arti satu kata
dalam rangkaian satu ayat dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain.
Dalam hubungan keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat
ini ada beberapa hal perlu digarisbawahi bahwa: a) walaupun tidak sebanyak
ayat yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, namun jumlah ayat-ayat yang
dikemukakan sebagai penafsiran terhadap ayat yang ditafsirkan lebih banyak
dibandingkan dengan Ibnu Katsir. b) Apa yang dikemukakannya menyangkut
penjelasan arti satu kata dengan menelusuri kata-kata yang sama dalam alQur'an merupakan cara yang terbaik untuk menetapkan pengertian kata yang
dimaksud.
4. Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Muhammad Rasyid Ridha berusaha menjelaskan
pengertian yang dikandung oleh satu kata, atau rahasia yang dapat ditarik dari
susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat yang lain
juga berbicara tentang persoalan yang sama.21
KESIMPULAN
Al-Manar adalah salah satu kita tafsir yang berorientasi pada sastra budaya
dan kemasyarakatan yaitu suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan
ayat Al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun
20
21

Ibid, hal 98-105


Ibid, hal 105-111

12

kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan


tujuan utama turunnya Al-Quran yakni membawa petunjuk dalam kehidupan
kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.22 Dua tokoh Tafsir AlManar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari
Muhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu
dicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat alQur'an dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang
disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Dalam penulisan makalah tentang kajian kitab Tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, pada metode, corak/aliran,
keistimewaan dan kelemahan tafsirnya disajikan pada ciri-ciri penafsirannya yang
kami bahas di bagian sebelumnya. Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan
tujuan utama dari kehadiran Al-Quran, yakni sebagai petunjuk serta pemberi
jalan keluar bagi problema-problema umat manusia. Karena itu ia tidak merinci
hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, khususnya dalam bidang metafisika,
sebagaimana juga tidak merinci hal-hal yang tidak dibutuhkan oleh kaum
Muslimin dalam kaitannya dengan kebahagiaan hidup mereka di di dunia dan
akhirat.23
Setiap manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangandan di setiap
hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat
intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya. Memahami
hal tersebut adalah mutlak guna memahami hasil pemikiran seseorang, dan pada
gilirannya dapat mengantar kepada penilaian pendapat yang dikemukakan itu,
serta batas-batas kewajarannya untuk dianut atau ditolak.24

22
23
24

Ibid, hal 11
Ibid, hal 144
Ibid, hal 9

13

DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Quran. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985.
Bahasa,Tim penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.
Hitti, Plihip K.. History of The Arabs (terj), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006.
http://alimanjogja.blogspot.com/2008/02/muhammad-abduh.html
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/
http://www.penulislepas.com/v2/?p=177
http://www.psq.or.id/tafsir_detail.asp?mnid=36&id=8
http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid=37&id=9
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha, cet. I. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.
Imarah, Muhammad. Mencari Format Peradaban Islam (Diterjemahkan dari buku Al-Masyru alHadhari al-Islami: Muhammad Yasar dan Muhammad Hikam). Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai