ajaran-ajaran
agama
dengan
kehidupan
modern,
dan
Ahmad Asy-Syirbashi, Terj. Sejarah Tafsir Quran, (Jakarta: Pustaka Firdous, 1985), hal. 161.
Al-Manar
yang
bernama
Tafsir
Al-Quran
Al-Hakim
(Keterangan tentang Tafsir al-Manar ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa
Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan Ulum al-Quran karya Ahmad Von
Denffer). Lihat di http://www.psq.or.id/tafsir_detail.asp?mnid=36&id=8
http://www.penulislepas.com/v2/?p=177
7
8
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
Ibid, hal. 17
Skolastisisme: teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafah
Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 1079
Plihip K. Hitti, History of The Arabs (terj), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 966.
http://alimanjogja.blogspot.com/2008/02/muhammad-abduh.html
http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid=37&id=9
Anton H. Sultonan, Syaikh Sayyed Muhammad Rasyid Ridha (Makalah ini di presentasikan pada
acara tri wulan Pwk PERSIS oleh Bid. Taklim tanggal 18 Oktober 2003 di sekretariat Pwk PERSIS, Kairo.
Keterangan tentang ini merujuk pada Sayyed Yusuf, Rasyid Ridla wal Audah ila Manhaj as-Salaf,
hal.11, Cet. I Merit lin Nasyr wal Maklumat, Kairo, tahun 2000). Lihat
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/
Mondial : berkaitan dengan seluruh dunia. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 753.
12
Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam (Diterjemahkan dari buku Al-Masyru
al-Hadhari al-Islami: Muhammad Yasar dan Muhammad Hikam), (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 1-5.
11
Karya-karyanya:
1). Al-Hikmah Asy-Syariyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifaiyyah,
buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di
Tripoli negeri Syam. Dikarenakan sebagai jawaban terhadap kitab yang
dikarang oleh Ali Abi al-Huda ash-Shayadi yang mengemukakan Syaikh Sufi
Sayyed Abdul Qadir Jailani.
2). Majalah al-Manar, yang pertama kali terbit pada tahun 1315 H/1898 M dan
akhir terbitnya itu pada edisi 35 tanggal 29 Rabiuts Tsani 1354 H/1935 M. Di
tiap edisi banyak mencantumkan pendapat-pendapat beliau dalam
pembaharuan agama dan politik.
3). Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, terdiri 3 jilid.
4). Nida al-Jins al-Latif (Huqq an-Nis fi al-Islm).
5). Al-Wahyu al-Muhammady
6). Al-Manr wa al-Azhar
7). Dzikr al-Maulid an-Nabawy
8). Al-Wihdatu al-Islmiyyah
9). Yusru al-Islm wa ushl al-Tasyri al-m
10). Al-Khilafatu au al-Imamah al Udma
11). Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz
12). Haqiqatu ar-Riba
13). Muswatu ar-Rajul bi al-Marah
14). As-Sunnah wa asy-Syiah
15). Manasik al-Haj, ahkamuhu wa Hukmuhu
16). Tafsir al-Manar, terdiri 12 jilid dan beliau hanya menafsirkan 12 juz
kemudian sisanya yang 5 juz di susun oleh Syaikh Muhammad Abduh.
17). Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali
18). Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah
19). Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam
20). Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida
21). Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al-Mashry
22). Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.13
METODE DAN CORAK PENAFSIRANNYA
Pandangan Muhammad Abduh tentang kitab tafsir dan penafsiran; 1) ia
menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain
kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda yang pada
akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Quran. 2) untuk bidang
penafsiran, ia menyatakan bahwa dialog Al-Quran bukan saja di peruntukkan
13
Anton H. Sultonan, Syaikh Sayyed Muhammad Rasyid Ridha (Makalah ini di presentasikan pada
acara tri wulan Pwk PERSIS oleh Bid. Taklim tanggal 18 Oktober 2003 di sekretariat Pwk PERSIS, Kairo.
Keterangan tentang ini merujuk pada Sayyed Yusuf, Rasyid Ridla wal Audah ila Manhaj as-Salaf,
hal.152-153, Cet. I Merit lin Nasyr wal Maklumat, Kairo, tahun 2000). Lihat
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/
bagi masyarakat Arab yang tidak tahu baca tulis tetapi berlaku umum untuk setiap
masa dan generasi.14
Jalan pikiran Muhammad Abduh itu menghasilkan dua landasan pokok
menyangkut pemahaman dan penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Quran, yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial. Menurutnya ada masalah keagamaan
yang tidak dapat di yakini kecuali melalui pembuktian logika, ia pula mengakui
bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami oleh akal namun tidak
bertentangan dengan akal. Wahyu harus dipahami dengan akal, tetapi ia pun
menyadari keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi
(wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa
masalah ibadah. Secara umum ajaran agama menurutnya terbagi dalam dua bagian
yaitu rinci dan umum. Untuk yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan
Nabi-Nya yang tidak mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang
umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah
penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.15
Ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran Al-Quran. Dr.
Abdul-Hay Al-Faramawi dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah fi Al-tafsir AlMawduiy membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat:
analisis, komparatif, global, dan tematik (penetapan topik). Metode analisis
tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu di antaranya adalah corak adabi
ijmai (budaya kemasyarakatan). Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat
Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Quran
bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia
tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang
sangat dibutuhkan.16
14
15
16
z\zk[
(demi
fajar dan malam yang sepuluh). Kata layalin Asyr (Al-Fajr: 2) misalnya,
tidak mungkin terlepas pengertiannya dari kata Wal-Fajr (Al-Fajr: 1). Kata
Al-Fajr di sini tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu sehingga dipahami
secara umum. Bila bermaksud menjelaskan tentang hari atau waktu tertentu,
maka hari dan waktu itu dijuluki dengan sifat atau cirinya seperti Yaum alQiyamah, Lailat al-Qadri, dan sebagainya, tapi jika tidak maka bersifat
umum. Kata Al-Fajr di sini berarti umum, terjadi setiap hari dan dalam arti
bahwa fajar tersebut adalah fajar ketika cahaya siang menjelma di tengahtengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian mengusik kegelapan
tersebut. Demi keserasian ayat pertama dan kedua, maka layalin Asyr harus
ditafsirkan dengan malam-malam yang serasi keadaannya dengan pengertian
yang dikandung oleh kata Al-Fajr, yakni sepuluh malam yang terjadi pada
setiap bulan yang di dalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam.
Maka terjadilah keserasian antara keduanya, yakni masing-masing mengusik
kegelapan walaupun yang pertama mengusiknya hingga terjadi terang yang
merata, dan yang kedua mengusik namun akhirnya terjadi kegelapan yang
merata. Sedangkan tokoh utama mufasir yang berbicara tentang keserasian
adalah Ibrahim bin Umar Al-Biqai (808 H) dalam bukunya Nazhm Al-Durar
fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Sedangkan keistimewaan Abduh adalah ia
menjadikan keserasian tersebut sebagai salah satu faktor penetapan arti serta
tolak ukur dalam menilai pendapat yang berbeda. Dan juga banyak
menerapkan ide ini dalam penafsiran hal-hal yang kurang mendapat perhatian
dari pendahulunya.
2. Ayat Al-Quran bersifat umum
Pada ciri ini berintikan bahwa petunjuk ayat Al-Quran berkesinambungan,
tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang
tertentu. Walaupun sejalan dengan kaidah ilmu tafsir yang berbunyi
`_~[s^[^z_[
arti suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum, bukan pada
sebab turunnya yang khusus, dalam hal ini ia memperluas pengertiannya
sehingga selama satu ayat dinilainya dapat bersifat umum, maka keumuman
itu dinyatakannya, walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah bahasa.
Misalnya pada surah Al-lail ayat 15-18, yang terjemahannya:
Tidak ada yang masuk ke dalamnya (neraka) kecuali orang yang paling
celaka, yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari iman. Dan kelak
akan dijauhkan dari neraka orang yang paling bertakwa, yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya.
Kata Asyqa dan Atqa dalam kedua ayat ini olehnya di anggap mencakup
semua orang pada segala masa selama ia memiliki sifat-sifat tersebut.
Sehingga Al-Asyqa bukan ditujukan kepada Umayyah bin Khalaf sebagaimana
petunjuk sebab turunnya, tetapi ia mencakup orang-orang yang berdosa
walaupun dia berpredikat mukmin karena kelemahan imannya mengakibatkan
ia melakukan dosa yang tidak dilakukan oleh seorang mukmin. Sebaliknya,
kata Al-Atqa yang disepakati oleh ulama Asbab Al-Nuzul ditujukan pada Abu
Bakar Al-Shiddiq, itu dinyatakan oleh Abduh yaitu mencakup semua orang
mukmin yang Istiqamah, bahkan juga mereka yang pernah melakukan dosadosa tertentu. Sedangkan menurut Al-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi
Ulum Al-Quran menyatakan bahwa ayat 17 surah Al-Lail bersifat tidak
umum karena dalam ayat tersebut tidak ada redaksi yang bersifat umum, sebab
Alim dan Lam hanya memberikan arti umum bila ia maushulah atau
maarrafah atau mufrad selama ia tidak bersyarat dan alif-lam-nya (Al) bukan
dalam arti telah dikenal (Ahd). Sedangkan Alif Lam dalam Al-Atqa buka
maushulah, karena yang maushulah tidak dapat dirangkaikan dengan afal
tafdhil. Dengan demikian, kata Al-Atqa bukan jamak sehingga tidak dapat
diartikan secara umum.
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
Penjelasan Abduh yang dimaksud dengan ciri ini adalah: Al-Quran dijadikan
sumber yang kepadanya disandarkan segala mazhab dan pandangan
keagamaan; bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat
Al-Quran dijadikan penukung untuk mazhab-mazhab tersebut. Misalnya
pendapat Abduh tentang tayamum di Surah Al-Nisa ayat 43 yang
terjemahannya adalah
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
(Janganlah pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
kecuali sekadar berlalu saja, sehingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Menurutnya ini menunjukkan bahwa: 1) seorang yang sakit atau 2) yang
dalam perjalanan, sama hukumnya dengan 3) seorang yang berhadats kecil
atau 4) seorang yang berhadats besar yang tidak mendapatkan air. Ini berarti
bahwa perintah ... maka bertayamumlah kamu... bukan merupakan syarat
bagi keempat macam keadaan di atas, tetapi ia berlaku bagi keadaan ke-3 dan
ke-4 dari yang tersebut di atas. Sedangkan Menurut Muhammad Ali Al-Sais
dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam bahwa seorang musafir biasanya tidak memiliki
air, atau sangat membutuhkannya sehingga perlu disebutkan secara tegas
seakan-akan ia tidak memiliki air. Adapun orang yang sakit, keadaan dan sifat
penyakitnya itulah yang merupakan penyebab dibolehkannya bertayamum.
Dengan demikian, ditegaskannya kedua kalimat itu lm ayat ini adalah untuk
10
v\^[[[[x[\[\
tunaikanlah secara sempurna akad-akad(perjanjian)), ia mengutip pendapatpendapat para sahabat dan tabiin tentang arti v[ serta macam-macamnya,
lalu dijelaskannya bahwa perintah menunaikan akad/perjanjian dalam ayat
tersebut adalah secara umum dan mutlak sehingga segala macam perjanjian
pada dasarnya mubah. Dalam hal ini ia tidak menemukan dalil tetapi banyak
hadits yang menukung kemutlakan tadi.19
17
18
19
11
12
22
23
24
Ibid, hal 11
Ibid, hal 144
Ibid, hal 9
13
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Quran. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985.
Bahasa,Tim penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 2. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.
Hitti, Plihip K.. History of The Arabs (terj), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006.
http://alimanjogja.blogspot.com/2008/02/muhammad-abduh.html
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/syaikh-sayyed-muhammad-rasyid-ridla/
http://www.penulislepas.com/v2/?p=177
http://www.psq.or.id/tafsir_detail.asp?mnid=36&id=8
http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid=37&id=9
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha, cet. I. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.
Imarah, Muhammad. Mencari Format Peradaban Islam (Diterjemahkan dari buku Al-Masyru alHadhari al-Islami: Muhammad Yasar dan Muhammad Hikam). Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2005.
14