A. Riwayat Hidup
1. Fakhruddin Ar-Razi
Nama lengkap Ar-Razi adalah Abdullah Muhammad bin Umar
bin Husain Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri al-Habarastani ar-Razi,
penganut faham Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 544 H.,1 tepatnya di
kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota
Khurasan.2 Beliau adalah anak cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a., yang bernasab suku bangsa Quraisy.3 Adapun dalam kitab
"Manna Khalil al-Qaththan" menyebutkan ar-Razi lahir tahun 543.
H.4
Fakhruddin ar-Razi adalah ulama yang sangat terkenal dan
besar pengaruhnya yang tiada tandingannya pada saat itu, yang
menguasai berbagai disiplin keilmuan baik di bidang ilmu-ilmu
sosial maupun bidang ilmu-ilmu alam (eksakta) al- Razi juga
seorang sastrawan, penyair, ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli
ilmu kalam, dan seorang dokter medis dan sebagainya. Sehingga
tidak diragukan lagi banyak para ilmuwan yang belajar kepada
beliau baik para ilmuwan dalam negeri maupun para ilmuwan luar
negeri.
1
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al- Mufassirun, Dar al- fikr, Beirut, Juz I,
t.th. hlm. 290
2
Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al- Kabir, Juz I, Dar al- Fikr, Beirut, 1990, hlm. 3
3
Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam, Gema Insani, Jakarta, 1998
4
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu al- Qur’an, terj. Mudzakir. AS., Litera Antar
Nusa, Jakarta, 1992, hlm. 529
28
29
5
Sirajuddin, Ak., dkk., Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Howe, Jakarta, 1993,
hlm. 327
6
Muhammad al-Hilawi, op. cit, hlm. 17.
7
Ibid., hlm. 18
30
8
Ibid., hlm. 20-21
9
Imam Fakhruddin ar-Razi, op. cit, hlm. 10
10
Manna Khalil al-Qaththan, op. cit, hlm. 529
11
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Binbaga Islam dan SPTA/
IAIN Jakarta, 1992/ 1993, hlm. 992
12
Ibid.
13
M. Quraisy Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1994, hlm.
69
32
14
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, op. cit., hlm. 992
15
Ibid.
33
16
Ibid., hlm. 994
17
Ibid.
18
Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2001, hlm.
71
34
19
D. Sirojuddin Ar, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996,
hlm. 1462
35
22
Ibid.
23
Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit, hlm. 294
24
Manna Khalil Qaththan, op. cit., hlm. 301
25
Manna Basunni, Tafsir-Tafsir al-Qur’an, t.tp., Bandung, 1997, hlm. 80
37
26
Quraish Shihab, op. cit., hlm. 67.
27
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 86.
28
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, hlm. 31
38
29
Manna Khalil Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, terj. Mudzakir As, Pustaka Litera,
Antar nusa, Bogor, 1992, hlm. 506
39
atau jenis manusia) tersebut dapat dilihat dalam kelicikannya dan isu
yang dihembuskan kepada masyarakat bahwa: aktivitas yang
dilakukan oleh setan adalah mencuri berita dari langit dan
mentransfer apa-apa yang didengarnya ke dalam bentuk tulisan
dalam satu kitab, akan tetapi ada yang disembunyikan, yaitu sesuatu
yang mengarah kepada kebenaran dan diubah menjadi berita bohong.
Termasuk juga dengan ilmu Allah yang disampaikan kepada
Sulaiman, yang berupa mu’jizat. Oleh setan informasi tersebut
disulap dan dijadikan komoditi isu yang merupakan ilmu baru.
Akhirnya setan menyebarluaskan serta mengajarkan bahwa kami
(setan) telah mengetahui berita-berita gaib. Adapun kekuasaan
Sulaiman yang berhsail menguasai kerajaan serta menundukkan jin,
manusia, angin dan sebagainya tidak lain adalah karena ilmu yang
ini, sebagaimana yang ada dalam kitab ini, karena kami telah
mengetahui pemberitaan langit sebelumnya.
Ayat di atas menampik segala upaya atau bentuk keingkaran
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yang tidak percaya tentang
kenabian Sulaiman, bahwa orang-orang Yahudi memperoleh ilmu
sihir dari Sulaiman serta kekuasaan yang diperoleh Sulaiman tidak
lain adalah dari ilmu sihir tersebut. Akhirnya Allah
merehabilitasikan reputasi Sulaiman yang telah dicemarkan oleh
orang-orang Yahudi dengan firman yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang ingkar
dan mempraktekkan ilmu shir tersebut adalah setan supaya manusia
tergelincir dan mengikuti jejak setan.
Lebih detail ar-Razi menyatakan bahwa sihir secaar
etimologis adalah segala sesuatu yang disandarkan pada sesautu
yang halus serta sebabnya tersamarkan. Akan tetapi secara sya’ri
dipahami sebagai sesuatu yang tidak jelas sebabnya, tidak sesuai
42
33
Baca Q.S: al-Zumar: 9
44
34
Untuk melihat perbedaan hukuman terhdap penyihir dan yang mendatanginya dapat
dilihat dalam pembahasan sebelumnya.
45
35
Muhammad Fakhr al-Din bin ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, jil. XIII,
Dar al-Fikr, Beirut, t.th. hlm. 184-dst
46
36
Ibid., hlm. 157-dst
47
37
Ibid., hlm. 164
48
Akan tetapi bagi mereka (ahli fisika) akan menolak bahwa hal
tersebut adalah sebuah khayalan dan tidak masuk akal. Inilah yang
menyebabkan bahwa apa yang dibawa para nabi bagi yang ingkar
adalah sihir belaka. Padahal itu terjadi karena atas ijin Allah.
Oleh sebab itulah kaum mu'taziah percaya dan yakin bahwa
perubahan dari bentuk ke bentuk yang lain tanpa adanya sebab
adalah sesuatu yang mungkin karena atas ijin Allah, sehingga segala
sesuatu yang terbentuk tidak harus dari salah satu elemen pembentuk
dasar. Inilah yang terjadi ketika tongkat nabi Musa berubah menjadi
ular yang besar.
Bagi mereka yang menolak terhadap yang terjadi pada diri
nabi terutama mu'jizat, maka langkah yang perlu ditanamkan adalah
keyakinan dan pengikisan keraguan dan prasangka. Karena yang
demikian adalah di luar kemampuan akal dan bagi mereka yang
sudah mengetahuinya akan menyatakan bahwa hal tersebut adalah
hal yang biasa yang merupakan anugerah dari Tuhan yang tertinggi.
Inilah yang membedakan antara anugerah Allah yang
diberikan kepada para Nabi, yang berupa mu'jizat karena kedekatan
dan pengabdian kepada Tuhan secara murni, sehingga sesuatu yang
luar biasa yang terjadi pada diri Nabi adalah pertolongan Allah
bukan karena bantuan setan atau kekuatan lain yang melingkupi
manusia (baca: jimat), karena sihir datanganya bukan dari Tuhan
akan tetapi kemahiran dari penyihir dalam mengelabui mata para
tersihir bahkan kebanyakan dari penyihir menggunakan kekuatan
setan sebagai partner atau mediasi.38
38
Ibid., hlm. 168
49
2. Rasyid Ridla
Demikian juga dengan Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar-
nya, ia lebih cenderung bahwa apa yang disampaikan dalam al-
Qur’an berkaitan dengan sihir, sebagaimana yang tersuratkan dalam
al-Baqarah: 102 adalah dijadikan i’tibar atau pelajaran bahwa yang
benar adalah benar dan yang batil adalah batil, sehingga Ridla tidak
mempersoalkan apakah kedua orang tersebut dari jenis malaikat, jin
atau manusia. Ia lebih sepakat dengan apa yang tertera dalam redaksi
bahwa Sulaiman adalah tidak menggunakan kekuatan sihirnya dalam
memperoleh dan menjalankan roda pemerintahan kerajaan yang
besar tersebut. Hal tersebut dapat dilihat statement al-Qur’an yang
menyatakan negasi atau sanggahan terhadap tuduhan orang-orang
kafir dan Yahudi yang menyatakan bahwa Sulaiman adalah praktisi
sihir, yang bisa dibuktikan bahwa pasca kematian Sulaiman di
bawah tempat singgasananya terdapat kitab yang berupa tulisan
tentang sihir, padahal itu semua adalah tipu daya setan, supaya
manusia terlena dan tertipu sehingga akan tergelincir dalam bujuk
rayunya serta jauh dari menyembah Tuhan karena yang diagungkan
adalah bintang-bintang dan berita-berita dari setan. Inilah yang
dimaksudkan dengan pernyataan al-Qur’an bahwa yang kafir
(menggunakan sihir) adalah setan bukanlah Sulaiman. Artinya
Sulaiman bersih dan tidak terlibat (jauh) dari tuduhan orang-orang
kafir dan Yahudi.
Lebih lanjut Rasyid Ridla menjelaskan bahwa sihir secara
harfiyah adalah menipu, yaitu segala sesuatu yang lembut, samar
tempat pengambilannya, sehingga orang yang melihat tidak merasa
atau melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Hal tersebut dapat
dilihat bahwa kegunaan sihir adalah untuk mengelabuhi pandangan
(panca indera). Oleh karenanya apa yang dibawa oleh kedua orang
50
40
Rasyid Ridla, hlm. 60
52
41
Ibid., hlm. 59
42
Ibid., hlm. 54
53
3. Qurthubi
Menurut al-Qurthubi ayat di atas mempunyai beberapa
komponen, yaitu:
43
Ibid., 47
44
Ibid., hlm. 59
54
45
Baca Q.S: al-Syu'ara': 153
57
46
Q.S: al-A'raf: 115-117
47
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Q.S: al-A'raf: 127-128 yang menyatakan
bahwa karena kekuasaan Fir'aun dengan bantuan tukang sihirnya yang mampu menyulap sesuatu
bentuk ke bentuk lainnya menjadikannya keras kepala dan menyatakan sebagai figur yang harus
disembah. Oleh sebab itu ketika ada salah seorang pemuka Fir'aun mengatakan bahwa: apakah
engkau tidak takut dengan ancaman Musa bagi siapa saja yang membuat keonaran dan mengaku
Tuhan di muka bumi ini ?. Dengan lantangnya Fir'aun menjawab, aku akan membunuh dan
membuat malu bagi para perempuan mereka, karena kita dapat memaksakan kehendak untuk
membuat orang lain tunduk kepada kita semua.
58
ada hukum bunuh bagi mereka, kecuali bagi mereka yang dengan
sihirnya membunuh orang, maka ia wajib dibunuh.
7. Golongan ahli Sunnah berpendapat bahwa sihir merupakan
sesuatu yang lazim dan ada. Sedangkan kaum Mu'tazilah
menyatakan bahwa sihir adalah khayalan atau tipuan sesuatu atas
sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat dalam sulapan.48
8. Hukuman sihir, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa orang yang melakukan sihir atas diri dan perkataannya
sendiri adalah kafir dan dihukum bunuh serta taubatnya tidak
diterima karena termasuk kafir zindiq dan zina. Hukum bunuh
tersbeut berlandaskan pada riwayat Umar, Utsman, Ibnu Umar,
Hafshah, Abu Musa, Qois bin Sa'd bahwa: Hukum penyihir
adalah di dera (dipukul) dengan pedang. Akan tetapi Ibnu al-
Mundzir berpendapat jika orang tersebut tidak mau bertaubat
maka ia wajib dibunuh.49
48
Untuk menguatkan pendapat ini aliran Mu'tazilah berpegang pada Q.S: Thaha: 66 dan
al-A'raf: 116
49
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkam al-
Qur'an, Dar al-Kutub al-Almiyah, Beirut, Libanon, t.th., Jilid I, hlm. 30-dst
59
50
Ibid., hlm. 165-166
60