Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TAFSIR FAKHRUDDIN AR-RAZI, RASYID RIDHA


DAN QURTHUBI

A. Riwayat Hidup
1. Fakhruddin Ar-Razi
Nama lengkap Ar-Razi adalah Abdullah Muhammad bin Umar
bin Husain Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri al-Habarastani ar-Razi,
penganut faham Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 544 H.,1 tepatnya di
kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota
Khurasan.2 Beliau adalah anak cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a., yang bernasab suku bangsa Quraisy.3 Adapun dalam kitab
"Manna Khalil al-Qaththan" menyebutkan ar-Razi lahir tahun 543.
H.4
Fakhruddin ar-Razi adalah ulama yang sangat terkenal dan
besar pengaruhnya yang tiada tandingannya pada saat itu, yang
menguasai berbagai disiplin keilmuan baik di bidang ilmu-ilmu
sosial maupun bidang ilmu-ilmu alam (eksakta) al- Razi juga
seorang sastrawan, penyair, ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli
ilmu kalam, dan seorang dokter medis dan sebagainya. Sehingga
tidak diragukan lagi banyak para ilmuwan yang belajar kepada
beliau baik para ilmuwan dalam negeri maupun para ilmuwan luar
negeri.

1
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al- Mufassirun, Dar al- fikr, Beirut, Juz I,
t.th. hlm. 290
2
Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al- Kabir, Juz I, Dar al- Fikr, Beirut, 1990, hlm. 3
3
Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam, Gema Insani, Jakarta, 1998
4
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu al- Qur’an, terj. Mudzakir. AS., Litera Antar
Nusa, Jakarta, 1992, hlm. 529

28
29

Pendidikan awal diterima dari orang tuanya yang bernama


Dziya’uddin Umar, seorang ulama dan pemikir yang dikagumi
masyarakat Ray. Selanjutnya, ar-Razi belajar kepada ulama-ulama
besar lainnya. Filsafat dipelajarinya dari dua ulama besar bernama
Muhammad al-Baghawi dan Majdin al-Jilli, ilmu kalam
dipelajarinya dari Kamaluddin al-Samawi.5
Imam ar-Razi menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan
yang melingkupinya yang berhubungan langsung dengannya,
sehingga terpantul padanya pribadi yang istimewa, sehingga
terbentuklah pribadinya itu sebagai pribadi ilmiah yang dicetak
dengan cetakan ilmu pengetahuan. Maka Imam ar-Razi adalah
seorang sastrawan, penyair, ahli fikih, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli
ilmu kalam, dan seorang dokter medis. 6
As-Subuki mengomentari keberadaan Imam Fakhruddin ar-
Razi ini dengan mengatakan, “Ia adalah imamnya para mutakallim,
ahli ilmu kalam, luas pandangannya dalam mengomentari berbagai
bidang ilmu, mendalam pengetahuannya tentang hakikat manthuq
(dalil yang tertulis) dan mahfum (pemahamannya), sangat tinggi
kasih sayangnya, dengan kemampuannya yang tinggi maka
tersusunlah untaian agama Islam yang terulang dalam berbagai
pembahasan dan disiplin ilmunya “7
Adapun karya-karya yang terpenting adalah :
1. Bidang Tafsir
At-Tafsir al-Kabir li al-Qur’an al-Karim (Mafatihul Ghaib);

5
Sirajuddin, Ak., dkk., Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Howe, Jakarta, 1993,
hlm. 327
6
Muhammad al-Hilawi, op. cit, hlm. 17.
7
Ibid., hlm. 18
30

Miftah al-Ulama, surat al-Fatihah


2. Bidang Fiqih
Al-Mahshal fi al-Fiqhi;
Syarh al-Wajiz Fi al-Fiqhi li al-Ghazali.
3. Bidang Ushul Fiqih;
Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqhi;
Al-Ma’alim fi Ushul al-Fiqhi.
4. Bidang Ilmu Kalam:
Al-Qadha’ wa al-Qadar;
Al-Mahshul fi Nihayati’Uqul fi Ilmi al-Ushul;
Al-Bayan wa al-Burhan Fi ar-Radd ‘ala Ahliz Zaigh wa ath-
Thughyan;
5. Bidang Filsafat:
Al Mabahits al-Masyraqiyyah;
Al- Mulakhkhsh fii-Filsafah
Al-Mathalib al-’Aliyah fil-Hikmah
6. Bidang Kedokteran
Masail fi ath-Thibb;
Al-Jami’ul Kabir fi ath-Thibb;
At-Tasyrih Minar Ra’si il al-Halqi
7. Bidang Ilmu Bahasa dan Balaghah
Nihyatal-‘Ijaz fi Dirasat al- I’ jaz;
Syarh al-Mufhashal liz- Zamakhsyari.
8. Bidang biografi dan Zuhud:
Fadhlush shahabah ar-Rasyidin;
Manaqib al-Imam asy-Syafi’i
Dzamm ad-Dunya.
31

Ia juga menyusun ensiklopedi ilmu pada tahun 574 Hijriyah.


Seandainya Imam Fakhrudddin ar-Razi tidak meninggalkan karya
tulisnya, selain Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib, maka hal itu
sudah menunjukkan kehebatan dan keilmuannya.8
Ar-Razi wafat pada hari senin 1 Syawal 606 H menurut
pendapat ash-Subhi, sedang menurut pendapat al-Qifthi, ar-Razi
meninggal pada bulan Dzulhijjah pada tahun yang sama.9 Dan
dalam kitab “Mana al-Qaththan” disebutkan bahwa, ar-Razi wafat
di Harah pada tahun 606 H.10
2. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah salah seorang tokoh pembaharu di dunia
Islam pada masa modern ini, yang ide-idenya dapat ditelusuri dari
berbagai karya tulis dan riwayat perjuangannya, terutama melalui
majalah al-Manar yang dipimpinnya. Nama lengkapnya adalah
Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syans, al-Dien al-
Qalamuny. 11
Ia lahir di suatu desa bernama al-Qalamun, daerah di Syiria
(Syam) pada tanggal 27 Jumad al-Ula 1282 H ( 1865 ),12 yaitu suatu
kampung sekitar 4 KM dari Tripoli, Libanon. Dia adalah seorang
bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari
Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri
Rasulullah SAW.13 Oleh karena itulah menurut suatu keterangan,

8
Ibid., hlm. 20-21
9
Imam Fakhruddin ar-Razi, op. cit, hlm. 10
10
Manna Khalil al-Qaththan, op. cit, hlm. 529
11
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Binbaga Islam dan SPTA/
IAIN Jakarta, 1992/ 1993, hlm. 992
12
Ibid.
13
M. Quraisy Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1994, hlm.
69
32

Rasyid Ridha memakai as-Sayyid di depan namanya.di masa


kecilnya oleh orang tuanya, Rasyid Ridha dimasukkan ke madrasah
tradisional di desanya al-Qalamun untuk belajar membaca al-Qur’an
disamping belajar menulis dan berhitung. Kemudian di tahun 1882
M ia meneruskan studinya di Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah
di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh Syaik Husain al- Jisr seorang
alim yang pemikiran-pemikiran keagamaanya dalam islam telah
dipengaruhi oleh perkembangan dan ide-ide modern. Di sekolah
inilah Ridha selain mendapat pelajaran dalam bidang ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern. Ia juga
mempelajari berbagai ilmu bahasa asing sseperti bahasa Perancis dan
bahasa Turki sebagaimana ia mempelajari bahasa Arab sendiri. 14
Rasyid Ridha juga mempunyai karya tulis yang cukup banyak,
di antaranya: Tarikh al-Ustad al-Imam asy-Syaikh Abduh, Nida uli
al-Jinsi al-Latif, al-Wahyu al-Muhammadiy, Yusr al-Islam wa Ushul
al-Tasyri al-Am. Al-Khilafat, al-Wahabiyah wa al-Hijaz, Muhawarat
al-Muslih wa al-Muqallid, Dzikra al-Maulid al-Nabawiy, Syuhbat
al-Nashara wa Hujaj al-Islam. Sebagaimana Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha juga berpendapat bahwa dalam bidang agama perlu
dilakukan ijtihad, terutama dalam bidang muamalat.15
Selain dari itu, Rasyid Ridha juga berhasil mendirikan sekolah,
yang pada dasarnya ditujukan untuk menandingi sekolah-sekolah
missionaris Kristen. Sekolah itu diberi nama al-Madrasah al-Da’wah
wa al-Irsyad, berdiri pada tahun 1912 di Kairo, sayang umur sekolah
itu tidak panjang, karena sewaktu pecah perang dunia I terpaksa di
tutup. 16

14
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, op. cit., hlm. 992
15
Ibid.
33

Meskipun di masa tuanya Rasyid Ridha sering tergangu


kesehatannya, namun ia tidak senang diam, dan ia selalu aktif dalam
perjuangan. Akhirnnya tokoh pembaharu ini wafat pada bulan
Agustus 1935, sewaktu ia baru saja kembali dari mengantarkan
pengeran Su’ud ke kapal di Suez.17
3. Qurthubi
Imam al-Qurthubi nama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Bakr Abi Bakr bin Faraj al-Qurthubi,
seorang ahli tafsir yang terkenal yang banyak dikutif oleh ahli tafsir
seperti Abu Bakar Yahya ibnu Tafsir Sa’du al-Qurthubi. Beliau lahir
di Cordova ( Spanyol ) tahun 486 H ( 1093 M ) tahun 486 H ( 1093
M) dan wafat di Maushul tahun 567 h ( 1172 ).18
Al-Qurthubi adalah seorang ulama besar yang terkenal sebagai
Hamba Allah SWT. yang saleh dan warak. Ia termasuk ulama fiqih
besar yang memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia berperilaku zahid
(tidak menjadikan kesenangan dan kemewahan dalam kehidupan
keduniaan sebagai cita-cita), harapan dan dambaan untuk
menggambarkan kezuhudannya para penulis biografinya
menyebutkan bahwa Imam al-Qurthubi senantiasa meninggalkan
atau menghindari kesenangan duniawi. Ketika berjalan ia merasa
cukup dengan hanya mengenakan sehelai kain dan memakai kopiah.
Selain sebagai faqih Imam al-Qurthubi juga di kenal sebagai
mufassir yang andal. Bahkan tafsir merupakan karyanya yang
terbesar. Dari buku tafsirnya banyak diketahui pemikiran tentang
hukum. Sebagai seorang ulama al-Qurthubi termasuk faqih dari

16
Ibid., hlm. 994
17
Ibid.
18
Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2001, hlm.
71
34

kalangan mazhab Maliki. Ia meninggalkan sikap fanatisme jauh-jauh


serta menghargai setinggi-tingginya perbedaan pendapat Imam al-
Qurthubi tidak senantiasa sependapat dengan Imam Mazhabnya dan
ulama lain, baik di dalam maupun di luar mazhabnya.
Dalam beberapa biografinya tercatat nama guru-gurunya
antara lain Abu al- Abbas bin Umar al- Qurthubi (578 H / 1173 M-
656 H 1259 M). Seorang ahli fiqih. Dan Abu Ali al-Hasan bin
Muhammad bin Muhammad al- Bakri ahli hadits. 19
Al-Qurthubi memiliki beberapa buah karya. Di antara
karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jami’ li Ahkam al- Qur’an (himpunan hukum-hukum al-
Qur’an ); menurut penilaian kebanyakan ahli tafsir, buku tafsir
karya Imam al-Qurthubi ini termasuk salah satu dari buku tafsir
yang mempunyai pembahasan luas dan memberikan manfaat
cukup besar bagi peminat dan pengkaji bidang tafsir.
2. Syarh at- Taqsa (penjelasan yang mendalam)
3. Al-Asna fi Syarh Asma’ al-Husna (uraian luas mengenai nama-
nama yang baik Allah SWT. ).
4. At-Tizkar fi Afdal al-Azkar (peringatan tentang zikir yang paling
afdal )
5. At-Tazkirah bi Umur al-Akhirah (peringatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan hari akhirat )
6. Qam’ al-Hirs bi az-Zuhd wa al-Qana’ah wa radd zill as-Su’al bi
al-Kutub wa Asy-Syafa’ah (memerangi ketamakan dengan
perilaku zuhud dan mudah cukup dan menjawab pertanyaan yang
buruk dengan al-Qur’an dan syafaaat)

19
D. Sirojuddin Ar, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996,
hlm. 1462
35

7. Urjuza (buku yang menghimpun nama-nama Nabi Muhammad


Saw.).20

B. Metode Dan Corak Tafsir


1. Fakhruddin Ar- Razi
Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib merupakan karya
monumental ar-Razi, dalam menafsiri surat al-Fatihah yaitu berisi
sanggahan-sanggahan dan pendapat-pendapat ahli.
Al-Shofwadi dalam kitabnya al-Wafi bi al-Wafiyat berkata:
ar-Razi dalam membahas suatu permasalahan dalam kitabnya
menggunakan metode yang belum pernah dijumpai sebelumnya,
karena beliau mulai menulis dengan menyodorkan masalah.
Kemudian mengklasifikasikan masalah tersebut lalu membahasnya
dengan beberapa dalil, maka tidak ada satupun masalah yang tidak
dibahas, kemudian mengemukakan kaidah-kaidah dengan menarik
kesimpulan dari masalah tersebut. Sesungguhnya Imam ar-Razi
dalam menulis kitabnya adalah sarat ilmu hikmah dan ilmu filsafat,
mengupas satu persatu masalah sampai timbul kekaguman orang
yang membacanya. 21
Terhadap hadits, ar-Razi sangat sedikit menggunakannya
sebagai pedoman dalam menafsirkan sampai diskusi masalah fiqh,
beliau hanya menggunakan pendapat-pendapat ahli fiqh.
Syair banyak digunakan untuk memecahkan masalah bahasa,
balaghah dan kesesuaian bacaan. Ini menunjukkan bahwa ar-Razi
sangat pandai bahasa Arab.
Asbab al-nuzul banyak dikemukakan oleh ar-Razi dalam kitab
tafsirnya, baik itu asbab al-nuzul yang bersanad maupun tidak,
20
Ibid., hlm. 1464
21
Imam Fakhr ar-Razi, op. cit., hlm. 8-9.
36

namun kebanyakan beliau menggunakan asbab al-nuzul yang


bersanad kepada sahabat atau tabi’in.22
Dalam menjelaskan munasabah antara satu ayat dengan ayat
yang lain dan antara satu surat dengan surat yang lain sangat berbeda
dengan ahli tafsir yang lain ar-Razi tidak cukup menyebutkan satu
kesesuaian, tetapi disebut beberapa korelasi bahkan lebih banyak. 23
Ar-Razi dalam kitab tafsirnya banyak membahas ilmu-ilmu
yang baru berkembang pada saat itu seperti ilmu eksakta, fisika,
falaq, filsafat dan kajian-kajian masalah ketuhanan menurut metode
dan argumentasi para filosof yang rasional.24 Imam Ibnu Athitah
berkata: “dalam kitab Imam ar-Razi, segalanya ada, kecuali tafsir itu
sendiri”. Namun sesungguhnya Imam ar-Razi banyak berbicara
tentang masalah-masalah ilmu kalam dan tinjauan-tinjauan terhadap
alam semesta, beliau telah berrbicara tentang tafsir al- Qur’an.25
2. Rasyid Ridha
Tafsir Al- Manar yang bernama Tafsir Al- Qur’an al- Hakim
memperkenalkan dirinya sebagai, kitab tafsir satu-satunya yang
menghimpun riwayat-riwayat yang shalih dan pandangan akal yang
tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah, serta sunnatullah
(hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan
fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap
waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan
keadaan kaum muslimin dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang
telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula)

22
Ibid.
23
Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit, hlm. 294
24
Manna Khalil Qaththan, op. cit., hlm. 301
25
Manna Basunni, Tafsir-Tafsir al-Qur’an, t.tp., Bandung, 1997, hlm. 80
37

dengan keadaan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan


tali hidayah itu.
Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga
orang tokoh islam, yaitu Sayyid Muhammad Al-Afghani, Syaikh
Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. 26
Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an yang di
tuangkan dalam tafsir Al-Manar menggunakan metode yang dikenal
dengan metode tahlili yang bercorak al-adabi al-ijma’i atau corak
sastra budaya kemasyarakatan 27
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna
yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat
sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti
pengertian kosakata konotasi kalimatnya, latar belakang turunya
ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain.28
Tafsir Al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh dengan
pendapat para pendahulu umat ini, shabat dan tabi’in dan penuh pula
dengan uslub-uslub berbahasa arab dan penjelasan tentang
sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia. Ayat-ayat
al-Qur’an di tafsirkan dengan gaya bahasa menarik dengan makna
yang di ungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami. Berusaha
menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis. Sehingga dapat
dimengerti oleh orang-orang tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-
orang khusus (cendikiawan).
Syekh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa tujuan pokok
tafsirnya adalah untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran

26
Quraish Shihab, op. cit., hlm. 67.
27
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 86.
28
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, hlm. 31
38

agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagian hidup di


dunia dan akhirat29.
3. Qurthubi
Kitab tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur’an yang di cetak
dalam 10 jilid diakui sebagai salah satu buku tafsir baku dan diterima
oleh berbagai golongan. Sistematika pembahasannya menampakkan
kepiawaian dan posisinya di bidang tafsir dan pengambilan hukum
dari ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam
Sistematika pembahsannya yang digunakan oleh Imam al-
Qurthubi dalam tafsirnnya adalah sebagai berikut :
1. Menulis ayat yang akan ditafsirkan
2. Memberi komentar dan penjelasan
3. Menjelaskan arti kosakata yang rumit
4. Memberikan ulasan kedudukan (al-i’rab) kata-kata yang
diperlukan untuk mencapai kejelasan
5. Mengemukakan qiraat (bacaan)
6. Mengemukakan pendapat ulama-ulama yang ada dengan
menyebutkan nama yang pencetus pendapat tersebut dan
sekaligus menolak (jika ada ) pendapat yang dianggapnya keliru.
7. Mencantumkan hadits-hadits yang berkaitan dengan pembahasan
serta menyebutkan periwayatnya. Hal ini sering dilupakan oleh
ulama/ pengarang lain pada zaman itu.
8. Membatasi penampilan kisah atau cerita tentang umat terdahulu;
ia menampilkan kisah atau cerita yang betul-betul dibutuhkan
demi kejelasan suatu masalah, sehingga tafsirnya sesuai dengan
namanya, betul-betul padat dengan penjelasan-penjelasan hukum

29
Manna Khalil Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, terj. Mudzakir As, Pustaka Litera,
Antar nusa, Bogor, 1992, hlm. 506
39

9. Mencantumkan nomor urut bagi setiap masalah yang terdapat


dalam suatu ayat yang sedang dibahas. 30
Al-Farmawi dalam bukunya mengelempokkan al-Jami’ fi Ahkam al-
Qur’an ke dalam deretan tafsir bi ar-ra’yi yang bernuansa fikih.31

C. Penafsiran Ketiga Mufassir tentang Sihir


Di antara ayat-ayat al-Qur'an yang membahas sihir, surat al-
Baqarah: 102 dan al-A'raf: 107-122. Oleh karenanya untuk melihat
sejauhmana sihir ditafsirkan oleh yang berkompetent di dalamnya,
penulis berusaha memaparkan pemikiran ketiga mufassir terkemuka,
yaitu: al-Qurthubi, Rasyid Ridla dan ar-Razi.
Adapun sebagai kajian dari sihir tersebut, penulis memaparkan
kedua ayat, yaitu surat al-Baqarah: 102 dan al-A'raf: 107-122, di mana
masing-masing ketiga penafsir menjelaskan dengan gamblangnya.
1. Ar-Razi
‫ﻥ‬
 ِ‫ﹶﻟﻜ‬‫ﻥ ﻭ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬
 ‫ﺎ ﹶﻜ ﹶﻔﺭ‬‫ﻭﻤ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬ ‫ﺴﹶﻠ‬
 ‫ﻙ‬
ِ ‫ﻤ ﹾﻠ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬
 ‫ﻥ‬
 ‫ﺎﻁِﻴ‬‫ﺎ ﹶﺘ ﹾﺘﻠﹸﻭ ﺍﻟﺸﱠﻴ‬‫ﻭﺍ ﻤ‬‫ﺒﻌ‬ ‫ﺍ ﱠﺘ‬‫ﻭ‬
‫ل‬
َ ِ‫ﺎﺒ‬‫ﻴﻥِ ِﺒﺒ‬ ‫ﹶﻠ ﹶﻜ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﹾﻟﻤ‬
 ‫ل‬
َ ِ‫ﺎ ُﺃ ﹾﻨﺯ‬‫ﻭﻤ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺤ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﺱ ﺍﻟ‬
 ‫ﻥ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻌﱢﻠﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻥ ﹶﻜ ﹶﻔﺭ‬
 ‫ﺎﻁِﻴ‬‫ﺸﻴ‬
‫ﺍﻟ ﱠ‬
‫ﺭ‬ ‫ﻥ ِﻓ ﹾﺘ ﹶﻨ ﹲﺔ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ﹾﻜ ﹸﻔ‬
‫ﺤ‬
 ‫ﺎ ﹶﻨ‬‫ﻴﻘﹸﻭﻟﹶﺎ ِﺇ ﱠﻨﻤ‬ ‫ﺤﺘﱠﻰ‬
 ٍ‫ﺩ‬‫ﻥ َﺃﺤ‬
 ‫ﻥ ِﻤ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﻌﱢﻠﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻤ‬ ‫ﺕ‬
‫ﻭ ﹶ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻤ‬‫ﺕ ﻭ‬
‫ﻭ ﹶ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻫ‬
‫ﻥ ِﺒ ِﻪ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻡ ِﺒﻀ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻤ‬ ‫ﺠ ِﻪ‬
ِ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺭ ِﺀ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻥ ﺍ ﹾﻟ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻥ ِﺒ ِﻪ‬
 ‫ﺭﻗﹸﻭ‬ ‫ﻴ ﹶﻔ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﻤ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻥ ِﻤ ﹾﻨ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻌﱠﻠﻤ‬ ‫ﻴ ﹶﺘ‬ ‫ﹶﻓ‬
ِ‫ﻥ‬‫ﻭﺍ ﹶﻟﻤ‬‫ﻋِﻠﻤ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ﹶﻟ ﹶﻘ‬‫ﻡ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻴ ﹾﻨ ﹶﻔ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻀﺭ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﺎ‬‫ﻥ ﻤ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻌﱠﻠﻤ‬ ‫ﻴ ﹶﺘ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬
ِ ‫ﺩٍ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺒِﺈ ﹾﺫ‬‫ﻥ َﺃﺤ‬
 ‫ِﻤ‬
‫ﻭ ﻜﹶﺎﻨﹸﻭﺍ‬ ‫ﻡ ﹶﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﺍ ِﺒ ِﻪ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔ‬‫ﺭﻭ‬ ‫ﺸ‬
‫ﺎ ﹶ‬‫ ﻤ‬‫ﹶﻟﺒِ ْﺌﺱ‬‫ﻕ ﻭ‬
ٍ ‫ﺨﻠﹶﺎ‬
‫ﻥ ﹶ‬
 ‫ﺭ ِﺓ ِﻤ‬ ‫ﺨ‬
ِ ‫ﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺂ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻩ ﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺸ ﹶﺘﺭ‬
‫ﺍﹾ‬
(102)‫ﻥ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﻴ‬
"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
30
Sirojuddin, op. cit, hlm.1464
31
Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudlu’i, terj. Suryan A. Jamrah.,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 20
40

mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir


(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan
apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu
Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka
mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir
itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat
dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan
mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui".
(Q.S: al-Baqarah: 102)

Penafsiran yang disampaikan oleh ar-Razi bahwa surat al-


Baqarah: 102 terkait dengan tiga periode, yaitu: orang Yahudi
semasa Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi terdahulu, dan orang-
orang yang semasa Nabi Sulaiman.32 Hal tersebut terkait karena
kebanyakan kaum Yahudi tidak mempercayai kenabian Sulaiman
karena mereka beranggapan bahwa kenabian dan singgasana yang
diperolehnya adalah lantaran sihir. Ar-Razi menandaskan bahwa
ayat ini membuktikan bahwa sebagian kaum Yahudi lebih cenderung
pada warisan kitab yang ditulis Ashif, seorang sekretaris Sulaiman
yang menulis ilmu sihir sebagaimana yang diajarkan setan. Sehingga
ketika Rasulullah datang dan mendapatkan aduan tentang perihal
Nabi Sulaiman yang disangkakan sebagai seorang penyihir, maka al-
Qur’an membantah bahwa yang ingkar dan menggunakan sihir
adalah setan yang membuat tipu daya.
Propaganda yang dibuat setan (walaupun masih debatable
siapa yang dimaksud dengan lafadh syayathin, setan dari jenis jin
32
Fakhruddin al-Razy, Tafsir al-Kabir, Jil. III., Dar ll-Fikr, Beirut, t.th
41

atau jenis manusia) tersebut dapat dilihat dalam kelicikannya dan isu
yang dihembuskan kepada masyarakat bahwa: aktivitas yang
dilakukan oleh setan adalah mencuri berita dari langit dan
mentransfer apa-apa yang didengarnya ke dalam bentuk tulisan
dalam satu kitab, akan tetapi ada yang disembunyikan, yaitu sesuatu
yang mengarah kepada kebenaran dan diubah menjadi berita bohong.
Termasuk juga dengan ilmu Allah yang disampaikan kepada
Sulaiman, yang berupa mu’jizat. Oleh setan informasi tersebut
disulap dan dijadikan komoditi isu yang merupakan ilmu baru.
Akhirnya setan menyebarluaskan serta mengajarkan bahwa kami
(setan) telah mengetahui berita-berita gaib. Adapun kekuasaan
Sulaiman yang berhsail menguasai kerajaan serta menundukkan jin,
manusia, angin dan sebagainya tidak lain adalah karena ilmu yang
ini, sebagaimana yang ada dalam kitab ini, karena kami telah
mengetahui pemberitaan langit sebelumnya.
Ayat di atas menampik segala upaya atau bentuk keingkaran
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yang tidak percaya tentang
kenabian Sulaiman, bahwa orang-orang Yahudi memperoleh ilmu
sihir dari Sulaiman serta kekuasaan yang diperoleh Sulaiman tidak
lain adalah dari ilmu sihir tersebut. Akhirnya Allah
merehabilitasikan reputasi Sulaiman yang telah dicemarkan oleh
orang-orang Yahudi dengan firman yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang ingkar
dan mempraktekkan ilmu shir tersebut adalah setan supaya manusia
tergelincir dan mengikuti jejak setan.
Lebih detail ar-Razi menyatakan bahwa sihir secaar
etimologis adalah segala sesuatu yang disandarkan pada sesautu
yang halus serta sebabnya tersamarkan. Akan tetapi secara sya’ri
dipahami sebagai sesuatu yang tidak jelas sebabnya, tidak sesuai
42

dengan hakekat aslinya yang mempunyai unsure azimat (benda-


benda yang mempunyai kekuat gaib) serta menipu.
Menurut ar-Razi perkembangan sihir terbagi dalam beberapa
bentuk, yaitu:
1. Sihir Kildanin dan Kisdanin, yaitu mereka sebagai generasi
pertama yang menyembah bintang dan mereka menganggapnya
sebagai dzat yang mengatur alam raya ini. Darinya akan
terpancarkan sesutu yang baik dan buruk, kebahagiaan dan nasib
celaka. Melihat masyarakat penyembah bintang tersebut Allah
mengutus Ibrahim untuk memberikan penjelasan kepada umatnya
supaya mengikuti apa yang diajarkan. Dengan kata lain sihir
macam ini adalah sihir yang mengandalkan warta dari langit,
mulai dari konfigusari bintang maupun sinyalemen yang lain,
semisal cuaca.
2. Sihir yang berdasarkan pada pemilik prasangka/ firasat serta
kekuatan nafsu. Sihir ini lebih ditekankan pada kekuatan insting
atau nafsu yang sudah terkondisikan sehingga mampu membuat
atau merubah sesuatu tanpa gerakan.
3. Sihir yang menggunakan bantuan ruh yang tenang, akan tetapi
dari genarasi mutaakhirin dan mu'tazilah tidak percaya akan hal
ini, karena pada dasarnya ruh terbagi menjadi dua, yaitu ruh baik
(jin yang mukmin) dan ruh serta setan jahat (jin dan setan yang
ingkar). Adapun yang dimaksudkan dengan kekuatan ruh di sini
adalah kekuatan inti yang terdapat pada alam raya ini. Semisal
matahari diibaratkan dengan nyala api, laut dikaitkan dengan
hujan, kekuasaan dikaitkan dengan rakyat. Oleh karenanya untuk
bisa membuat hujan atau api, seseorang harus mengusai inti dari
kekuatan-kekuatan (ruh) dari alam tersebut.
43

4. Sihir yang mengadalkan kekuatan khayali dan tipuan inderawi


terutama indera mata. Hal tersebut dapat dilihat ketika seseorang
yang sedang naik kapal, seolah-olah yang bergerak maju adalah
lautnya sedangkan kapalnya berhenti. Ini menujukkan
bahwasanya sesuatu yang berhenti (diam) akan terlihat bergerak
dan yang bergerak akan terlihat diam. Hal ini menujukkan bahwa
kekuatan inderawi (mata) adalah sangat lemah, sehingga data
yang diterima dari saraf sensorik bisa jadi salah atau keliru,
sehingga antara realitas dengan apa yang dilihat dan rasakan
adalah tidak sama.
5. Sihir yang didasarkan pada tindak atau perilaku yang aneh atau
luar biasa yang ditonjolkan dari beberapa susunan peralatan yang
dapat bergerak karena sebuah tipuan/ trik. Hal ini dapat dilihat
pada zaman Fir'aun, bahwa dengan tali-tali yang dilemparkan
seolah-olah hidup.
6. Sihir yang disandarkan pada peralatan khusus, semisal rokok
yang dapat membuat orang tidak sadarkan diri
7. Sihir yang disandarkan pada pengetahuannya terhadap ismul
a'dham sehingga bangsa jin akan tunduk terhdap segala perkara
orang tersebut
8. Sihir yang dikaitkan dengan usaha mengadu domba.
Oleh karenanya ar-Razi lebih cenderung bahwa ilmu sihir
pada hakekatnya adalah tidak jelek dan tidak dilarang. Hal tersebut
sesuai dengan kesepakatan ahli hakekat bahwa hakekat ilmu adalah
mulia.33
Akan tetapi bagi paraktisi sihir yang menyatakan bahwa
segala kekuatan yang mengatur alam raya ini adalah kekuatan-

33
Baca Q.S: al-Zumar: 9
44

kekuatan bintang-bintang/ langit atau yang sejenisnya yang mampu


membuat baik buruknya keadaan dengan mengesampingkan
kekuatan Tuhan adalah termasuk kafir. Artinya sihir yang yang
mengarah pada kemusyrikan dan tidak sesuai dengan ajaran Tuhan
adalah kafir. Adapun mempercayai bahwa ilmu sihir memang ada,
maka itu tidak menjadi permasalahan, karena semua ilmu adalah
milik dan dari Tuhan, sedangkan mempelajarinya adalah tidak ada
larangan. Adapun yang dilarang adalah pelaksanaan dari ilmu
tersebut. Kalau tidak melanggar dengan syariat Tuhan dan logika
kemanusiaan maka itu tidak dilarang akan tetapi sebaliknya jika
menerjang bahkan ingkar kekuasaan Allah dan melanggar hak asasi
manusia maka itu dilarang. Padahal semua sihir kebanyakan adalah
dilakukan untuk tujuan buruk dan menipu.
Sedangkan hukuman bagi seorang muslin yang mendatangi
penyihir dan mempercayai bahwa kekuatan langit dan bintang-lah
yang mengatur dan memberikan semua informasi baik ataupun
buruk yang dapat menyebabkan kebahagiaan hidup dan
kesengsaraan hidup dan orang mukmin tersebut percaya maka orang
tersebut dianggap sebagai orang kafir, sebagaimana orang murtad
dan hukuman terhadap orang ini adalah dihukum bunuh.34
Pengertian kafir terhadap para penyihir dan pemuja sihir sebenarnya
disandarkan pada makna tekstualitas (ma'na al-khariji) dari ayat
bahwa: "Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi setanlah yang kafir".
Setan mendapat predikat kafir karena telah menyihir, yaitu merubah
kebenaran menjadi kebatilan, sehingga menyesatkan manusia.
Artinya apa yang diberitakan dan dipraktekkan setan adalah tipuan

34
Untuk melihat perbedaan hukuman terhdap penyihir dan yang mendatanginya dapat
dilihat dalam pembahasan sebelumnya.
45

belaka supaya manusia tergelincir dan menjadi teman abadi bagi


setan.35
Ar-Razi ketika menjumpai surat al-A’raf: 113-122:
‫ل‬
َ ‫( َﻗ ﺎ‬113)‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ﺎِﻟﺒِﻴ‬
ُ ‫ﺤ‬
ْ ‫ن ُآ ﱠﻨ ﺎ َﻧ‬
ْ ‫ﺟﺮًا ِإ‬
ْ ‫ن َﻟ َﻨ ﺎ َﻟ َﺄ‬
‫ن َﻗ ﺎﻟُﻮا ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻋ ْﻮ‬
َ ‫ﺤ َﺮ ُة ِﻓ ْﺮ‬
َ ‫ﺴ‬
‫َوﺟَﺎ َء اﻟ ﱠ‬
‫ن‬
َ ‫ن َﻧ ُﻜ ﻮ‬
ْ ‫ﻲ َوِإ ﱠﻡ ﺎ َأ‬
َ ‫ن ُﺗ ْﻠ ِﻘ‬
ْ ‫ﺱ ﻰ ِإ ﱠﻡ ﺎ َأ‬
َ ‫( َﻗ ﺎﻟُﻮا یَﺎﻡُﻮ‬114)‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﻘ ﱠﺮﺏِﻴ‬
َ ‫َﻧ َﻌ ْﻢ َوِإ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ َﻟ ِﻤ‬
‫ﺱ َﺘ ْﺮ َهﺒُﻮ ُه ْﻢ‬
ْ ‫س وَا‬
ِ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ﺎ‬
َ ‫ﻋ ُﻴ‬
ْ ‫ﺤﺮُوا َأ‬
َ ‫ﺱ‬
َ ‫ل َأ ْﻟ ُﻘ ﻮا َﻓَﻠ ﱠﻤ ﺎ َأ ْﻟ َﻘ ﻮْا‬
َ ‫( َﻗ ﺎ‬115)‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠﻘِﻴ‬
ُ‫ﺤ‬
ْ ‫َﻧ‬
‫ﻲ‬
َ ‫ك َﻓ ِﺈذَا ِه‬
َ ‫ﺼﺎ‬
َ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻖ‬
ِ ‫ن َأ ْﻟ‬
ْ ‫ﺱ ﻰ َأ‬
َ ‫ﺡ ْﻴ َﻨ ﺎ ِإَﻟ ﻰ ﻡُﻮ‬
َ ‫( َوَأ ْو‬116)‫ﻈ ﻴ ٍﻢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﺤ ٍﺮ‬
ْ ‫ﺴ‬
ِ ‫َوﺟَﺎءُوا ِﺏ‬
‫( َﻓ ُﻐِﻠ ُﺒ ﻮا‬118)‫ن‬
َ ‫ﻞ َﻡ ﺎ َآ ﺎﻧُﻮا َی ْﻌ َﻤُﻠ ﻮ‬
َ ‫ﻄ‬
َ ‫ﻖ َو َﺏ‬
‫ﺤ ﱡ‬
َ ‫( َﻓ َﻮ َﻗ َﻊ ا ْﻟ‬117)‫ن‬
َ ‫ﻒ َﻡ ﺎ َی ْﺄ ِﻓﻜُﻮ‬
ُ ‫َﺗ ْﻠ َﻘ‬
‫( َﻗ ﺎﻟُﻮا ءَا َﻡ ﱠﻨ ﺎ‬120)‫ﻦ‬
َ ‫ﺟﺪِی‬
ِ ‫ﺱﺎ‬
َ ‫ﺤ َﺮ ُة‬
َ ‫ﺴ‬
‫ﻲ اﻟ ﱠ‬
َ ‫( َوُأ ْﻟ ِﻘ‬119)‫ﻦ‬
َ ‫ﻏﺮِی‬
ِ ‫ﻚ َوا ْﻧ َﻘَﻠﺒُﻮا ﺹَﺎ‬
َ ‫ُهﻨَﺎِﻟ‬
(122)‫ن‬
َ ‫ب ﻡُﻮﺱَﻰ َوهَﺎرُو‬
‫( َر ﱢ‬121)‫ﻦ‬
َ ‫ب ا ْﻟﻌَﺎَﻟﻤِﻴ‬
‫ِﺏ َﺮ ﱢ‬
“Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir`aun mengatakan:
"(Apakah) sesungguhnya kami akan mendapat upah, jika kamilah
yang menang?" (113). Fir`aun menjawab: "Ya, dan sesungguhnya
kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat
(kepadaku)" (114). Ahli-ahli sihir berkata: "Hai Musa, kamukah
yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan
melemparkan?" (115) Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih
dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap
mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka
mendatangkan sihir yang besar (mena`jubkan) (116). Dan kami
wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!" Maka
sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan
(117). Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu
mereka kerjakan (118). Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah
mereka orang-orang yang hina (119). Dan ahli-ahli sihir itu serta
merta meniarapkan diri dengan bersujud (120) Mereka berkata:
"Kami beriman kepada Tuhan semesta alam (121), "(yaitu) Tuhan
Musa dan Harun (122)".

Ar-Razi berpendapat bahwa ketika Musa diturunkan sebagai


pembawa petunjuk dan peringatan kepada umatnya, maka Fir'uan

35
Muhammad Fakhr al-Din bin ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, jil. XIII,
Dar al-Fikr, Beirut, t.th. hlm. 184-dst
46

yang keras kepala serta kaumnya meminta dan mempermasalahkan


apa yang menjadikan bukti bahwa Musa adalah seorang nabi.
Dengan ijin Allah tongkat yang dibawa nabi Musa menjadi ular yang
besar serta keluarnya sinar yang putih dari tangan nabi Musa.36
Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan
keingkaran para ahli fisika/ ahli alam terhadap perubahan bentuk dari
sebuah tongkat menjadi ular besar. Oleh karenanya apa yang
ditampilkan (didemonstrasikan oleh nabi Musa adalah perkara yang
batil (tidak dapat diterima oleh akal). Hal tersebut disandarkan pada
argumentasi bahwa perubahan satu wujud ke bentuk yang lain tanpa
ada sebab musabab adalah sangat tidak mungkin, apalagi hanya dari
sebuah tongkat kecil dapat menjadi ular yang sangat besar. Kalau hal
tersebut dipercaya, maka bisa jadi anak muda dilahirkan dari sebuah
adopsi tanpa pembuahan dari sepasang antara laki-laki dan
perempuan. Demikian juga bisa juga sebuah gunung berubah
menjadi emas. Artinya apa yang dibawa nabi Musa dan yang percaya
terhadapnya berarti ia menerima kebatilan (sesuatu yang tidak
diterima oleh akal).
Masyarakat Fir'aun yang sudah bergelut dengan dunia sihir
dan tidak menjadikan asing ilmu sihir di mata masyarakat, sehingga
ketika Musa dengan segala mu'jizatnya kebanyakan dari masyarakat
Fir'aun (terutama para pemukanya) menyatakan bahwa apa yang
dibawa Musa adalah ilmu sihir dan sebagai puncak ilmu sihir, karena
mempunyai tujuan pada kekuasaan dan kepemimpinan. Inilah
mengapa sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan hukum alam
dan akal tidak menerimanya, masyarakat Fir'aun menyebutnya
sebagai sihir.

36
Ibid., hlm. 157-dst
47

Hal tersebut dapat dimaklumi karena kehinaan dan


ketidakberdayaan Fir'aun dalam menguak dan menandingi mu'jizat
Nabi Musa, sehingga ia meminta pertolongan para penyihir untuk
dapat memenangkan hujah Musa. Akan tetapi ketika para penyihir
datang kepada Fir'aun dan mereka meminta bayaran/ imbalan yang
tinggi, Fir'aun dengan bahasa diplomatisnya mengatakan bahwa ia
akan memberikan imbalan yang besar jika para penyihir berhasil
dalam mengalahkan mu'jizat Nabi Musa. Inilah kelemahan sihir,
bahwa mengapa para penyihir tidak mau merubah debu menjadi
emas, sehingga mereka dapat kaya mendadak, mengapa hal tersebut
tidak dilakukan ?. Para penyihir sadar bahwa sihir mereka adalah
tipuan belaka dan tidak ada kenyataan sama sekali. Inilah kelemahan
sihir.37
Akhirnya permalalahan tersebut (ketidakpercayaan/ keraguan
masyarakat Fir'aun) dijawab dengan argumentasi bahwa apa yang
terjadi pada nabi Musa adalah sebuah pengecualian, oleh karenanya
bagi mereka yang tidak mengetahui landasan teorinya, mereka akan
menolaknya. Apa yang terjadi pada diri nabi Musa adalah sesuatu
yang sangat rahasia dan inilah anugerah dari Tuhan untuk
melumpuhkan keangkuhan para tukang sihir. Oleh karenanya jika
ada sesuatu yang di luar akal sebagaimana yang terjadi pada masa
kenabian, maka hal tersebut adalah sesuatu kemuliaan (karomah).
Artinya apa-apa yang terjadi pada diri nabi dan orang-orang mukmin
adalah hal yang lazim, kalau ada orang buta yang berjalan dari
Andalusia dalam kegelapan malam dan ia melihat kanan kiri dan
yang terjadi di sekitarnya, apakah hal tersebut adalah sesuatu yang
tidak masuk akal, padahal itu fenomena yang terjadi.

37
Ibid., hlm. 164
48

Akan tetapi bagi mereka (ahli fisika) akan menolak bahwa hal
tersebut adalah sebuah khayalan dan tidak masuk akal. Inilah yang
menyebabkan bahwa apa yang dibawa para nabi bagi yang ingkar
adalah sihir belaka. Padahal itu terjadi karena atas ijin Allah.
Oleh sebab itulah kaum mu'taziah percaya dan yakin bahwa
perubahan dari bentuk ke bentuk yang lain tanpa adanya sebab
adalah sesuatu yang mungkin karena atas ijin Allah, sehingga segala
sesuatu yang terbentuk tidak harus dari salah satu elemen pembentuk
dasar. Inilah yang terjadi ketika tongkat nabi Musa berubah menjadi
ular yang besar.
Bagi mereka yang menolak terhadap yang terjadi pada diri
nabi terutama mu'jizat, maka langkah yang perlu ditanamkan adalah
keyakinan dan pengikisan keraguan dan prasangka. Karena yang
demikian adalah di luar kemampuan akal dan bagi mereka yang
sudah mengetahuinya akan menyatakan bahwa hal tersebut adalah
hal yang biasa yang merupakan anugerah dari Tuhan yang tertinggi.
Inilah yang membedakan antara anugerah Allah yang
diberikan kepada para Nabi, yang berupa mu'jizat karena kedekatan
dan pengabdian kepada Tuhan secara murni, sehingga sesuatu yang
luar biasa yang terjadi pada diri Nabi adalah pertolongan Allah
bukan karena bantuan setan atau kekuatan lain yang melingkupi
manusia (baca: jimat), karena sihir datanganya bukan dari Tuhan
akan tetapi kemahiran dari penyihir dalam mengelabui mata para
tersihir bahkan kebanyakan dari penyihir menggunakan kekuatan
setan sebagai partner atau mediasi.38

38
Ibid., hlm. 168
49

2. Rasyid Ridla
Demikian juga dengan Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar-
nya, ia lebih cenderung bahwa apa yang disampaikan dalam al-
Qur’an berkaitan dengan sihir, sebagaimana yang tersuratkan dalam
al-Baqarah: 102 adalah dijadikan i’tibar atau pelajaran bahwa yang
benar adalah benar dan yang batil adalah batil, sehingga Ridla tidak
mempersoalkan apakah kedua orang tersebut dari jenis malaikat, jin
atau manusia. Ia lebih sepakat dengan apa yang tertera dalam redaksi
bahwa Sulaiman adalah tidak menggunakan kekuatan sihirnya dalam
memperoleh dan menjalankan roda pemerintahan kerajaan yang
besar tersebut. Hal tersebut dapat dilihat statement al-Qur’an yang
menyatakan negasi atau sanggahan terhadap tuduhan orang-orang
kafir dan Yahudi yang menyatakan bahwa Sulaiman adalah praktisi
sihir, yang bisa dibuktikan bahwa pasca kematian Sulaiman di
bawah tempat singgasananya terdapat kitab yang berupa tulisan
tentang sihir, padahal itu semua adalah tipu daya setan, supaya
manusia terlena dan tertipu sehingga akan tergelincir dalam bujuk
rayunya serta jauh dari menyembah Tuhan karena yang diagungkan
adalah bintang-bintang dan berita-berita dari setan. Inilah yang
dimaksudkan dengan pernyataan al-Qur’an bahwa yang kafir
(menggunakan sihir) adalah setan bukanlah Sulaiman. Artinya
Sulaiman bersih dan tidak terlibat (jauh) dari tuduhan orang-orang
kafir dan Yahudi.
Lebih lanjut Rasyid Ridla menjelaskan bahwa sihir secara
harfiyah adalah menipu, yaitu segala sesuatu yang lembut, samar
tempat pengambilannya, sehingga orang yang melihat tidak merasa
atau melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Hal tersebut dapat
dilihat bahwa kegunaan sihir adalah untuk mengelabuhi pandangan
(panca indera). Oleh karenanya apa yang dibawa oleh kedua orang
50

tersebut yang bernama Harut dan Marut adalah sangat berbeda


dengan apa yang telah dipelajari oleh masyarakat pada waktu itu,
yaitu sihir (yang mengandalkan kekuatan setan), karena yang dibawa
oleh kedua orang tersebut adalah bersifat ruhani yang lebih
cenderung kepada sifat ilmu Tuhan. Walaupun demikian ilmu yang
dibawa kedua orang tersebut juga bisa berakibat buruk, (semisal
yang dulunya sayang menjadi marah dan jauh, yang dulunya pisah
sekarang menjadi lengket bahkan bisa juga mencerai beraikan
hubungan suami istri yang sudah bahagia), tergantung pada niat yang
mempelajarinya dan menggunakannya. Hal inilah mengapa
keduanya mengatakan kepada mereka yang berkeinginan
mempelajarinya dengan ujaran bahwa: kami adalah ujian bagi kamu,
oleh karenanya setelah kalian mempelajarinya jangan menjadikan
ingkar, sebab antara manfaat dan madlaratnya lebih banyak
madlaratnya, sehingga harus hati-hati dan keyakinannya harus
diperkuat bahwa segala sesuatu hanyalah kekuatan Tuhan.
Akhirnya Rasyid Ridla mengajak pada umat Islam supaya
menyandarkan segala urusan kepada Allah bukan kepada setan
dengan segala tipu dayanya dan kembali kepada kitab induk, yaitu
al-Qur’an sebagai buku petunjuk dan rujukan segala sesuatu serta
apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Inilah yang akan
menyelamatkan manusia.39
Ridla ketika menjumpai surat al-A’raf: 113-122 berpendapat
bahwa: inilah fungsi sihir yang membawa kebohongan dan penipuan.
Hal tersebut dapat dilihat ketika para penyihir Fir'aun yang
mengelabui mata manusia pada waktu itu sehingga mereka
berfantasi bahwa apa yang dilihat dan yang dikatakan oleh ahli sihir

Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz I, Mesir, 1958, hlm. 396-dst


39
51

tersebut benar adanya. Oleh karenanya ketika para penyihir tersebut


melemparkan tali-tali mereka, maka mendadak seolah-olah tali
tersebut menjadi ular yang sedang membuka mulutnya sembari
menjulurkan lidahnya.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah, di atas yang
menyatakan bahwa karena kekuasaan Fir'aun dengan bantuan tukang
sihirnya yang mampu menyulap sesuatu bentuk ke bentuk lainnya
menjadikannya keras kepala dan menyatakan sebagai figur yang
harus disembah. Oleh sebab itu ketika ada salah seorang pemuka
Fir'aun mengatakan bahwa: apakah engkau tidak takut dengan
ancaman Musa bagi siapa saja yang membuat keonaran dan
mengaku Tuhan di muka bumi ini ?. Dengan lantangnya Fir'aun
menjawab, aku akan membunuh dan membuat malu bagi para
perempuan mereka, karena kita dapat memaksakan kehendak untuk
membuat orang lain tunduk kepada kita semua.
Oleh karenanya ketika Musa datang dengan mu'jizatnya, yaitu
tongkatnya yang dilempar dan akhirnya melahap habis ular-ular
kelamaan penyihir fir'aun, mereka (para pembesar fir'aun dan para
penyihir mengatakan bahwa Musa adalah penyihir profesional. Hal
tersebut dapat dilihat bahwa kata yang digunakan al-Qur'and alam
mendampingi kata sihir adalah 'alim, yang ditafsirkan sebagai orang
yang ahli di bidangnya.40 Padahal yang terjadai pada diri nabi Musa
adalah atas pertolongan bukan setan/ jin sebagaiamna para penyihir
yang mempraktekkan sihri mereka supaya mendapatkan
kemenangan atas Musa.
Dengan mengetahui perbedaan antara mu'jizat dengan sihir,
diharapkan umat akan sadar bahwa apa yang dilakukan oleh tukang-

40
Rasyid Ridla, hlm. 60
52

tukang sihir adala tipu muslihat belaka. Ridla menyatakan bahwa


perbedaan antara mu'jizat dengan sihir adalah: kalau mu'jizat hanya
dimiliki oleh para nabi yang benar adanya, baik ditinjau dari aspek
eksentrik maupun insintriknya. Jadi tidak ada perbedaan antara
hakekat dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Bagi mereka yang
menentangnya tidak akan dapat mengalahkan atau merubahnya.
Sedangkan keanehan-keanehan yang terdapat dalam sihir adalah
sesuatu yang bersifat fatamorgana dan tipu muslihat belaka, karena
antara bentuk asli dan dengan apa yang dilihat dan dirasakan adalah
sangat berlawanan.41
Hal tersebut dapat dilihat pada masa Sulaiman, bahwa
kekuatan sihir adalah terdapat pada diri penyihir dan bantuan dari
setan, sehingga dengan kecerdikan setan, yaitu apa-apa yang
dilakukan (terutama berkaitan dengan mantra, setan mengakaburkan
nama-nama Tuhan sebagai kambing hitam) adalah tidak jauh dari
ajaran Tuhan, karena ada sebagaian mantra yang yang menyebut
nama Tuhan. Inilah penggeelinciran setan terhadap manusia yang
kurang imannya.42
Akhirnya Ridla menjelaskan bahwa komponen sihir terdiri
atas tiga elemen, yaitu;
1. Merupakan tipuan dan imajinasi (gambaran dalam angan-
angan/fantasi) yang tidak punya realitas/ kenyataan.
2. Membutuhkan bantuan setan atau sesuatu yang dapat
mendekatkan pada realitas setan, sehingga apa yang diinginkan
oleh penyihir akan terkabulkan/terjadi dengan bantuan setan.

41
Ibid., hlm. 59
42
Ibid., hlm. 54
53

3. Merupakan penutupan sesuatu dari aslinya, sehingga kekuatan


dari penyihir dalam merubah bentuk manusia menjadi binatang
himar sangat diutamakan. Inilah yang dimaksudkan dengan
kekuatan menutp bentuk asli manusia dalam merubah pandangan
mata tersebut menjadi himar.43
Dengan mengetahui perbedaan antara mu'jizat dengan sihir,
diharapkan umat akan sadar bahwa apa yang dilakukan oleh tukang-
tukang sihir adala tipu muslihat belaka. Ridla menyatakan bahwa
perbedaan antara mu'jizat dengan sihir adalah: kalau mu'jizat hanya
dimiliki oleh para Nabi yang benar adanya, baik ditinjau dari aspek
eksentrik maupun insintriknya. Jadi tidak ada perbedaan antara
hakekat dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Bagi mereka yang
menentangnya tidak akan dapat mengalahkan atau merubahnya.
Sedangkan keanehan-keanehan yang terdapat dalam sihir adalah
sesuatu yang bersifat fatamorgana dan tipu muslihat belaka, karena
antara bentuk asli dan dengan apa yang dilihat dan dirasakan adalah
sangat bertentangan.44

3. Qurthubi
Menurut al-Qurthubi ayat di atas mempunyai beberapa
komponen, yaitu:

1. Pembahasan sihir tidak akan terlepas dari cerita perjalanan Nabi


Sulaiman, di ceritakan bahwa suatu ketika ada golongan Yahudi
yang berpaling dari kitabnya dan mengikuti apa yang disebut
dengan sihir. Akhirnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh as-
Suddai bahwa orang yahudi tersebut akhirnya membandingkan
Taurat dengan al-Qur'an, yang pada akhirnya orang tersebut

43
Ibid., 47
44
Ibid., hlm. 59
54

berpaling dari kitab Tauratnya dan beralih mengikuti apa yang


tertulis dalam kitab Ashif dan sihirnya Harut dan Marut. Ketika
Rasulullah mendiskusikan tentang Sulaiman sebagai salah satu
utusan Allah, di antara pendeta Yahudi mengatakan bahwa
Sulaiman tidak lain hanyalah seorang penyihir. Akhirnya
turunlah ayat: wa ma kana….
2. Al-Kalabi menyatakan bahwa setan telah menuliskan sihir serta
ilmu yang berkaitan dengannya pada Ashif, seorang juru tulis
Sulaiman dan dipendam di bawah tempat shalat Sulaiman sampai
ajal menjemputnya dan semasa hidupnya Sulaiman tidak
menyadari akan hal tersebut, di mana di bawah tempat ia shalat
ternyata ditanam buku yang berkaitan dengan sihir. Pasca
kematian Sulaiman, para setan tersebut membongkar kitab sihir
tersebut dan mengatakan kepada manusia bahwa: sesungguhnya
raja kalian seperti ini (seorang penyihir), maka belajarlah
kepadanya. Akhirnya ulama' dari bani Israil mengatakan: aku
berlindung kepada Allah, apakah ini (sihir) ilmunya Sulaiman ?.
Adapun orang-orang awam mengatakan bahwa ini adalah
ilmunya Sulaiman. Akhirnya masyarakat pada waktu
mempelajari dan mengikuti apa yang ada dalam kitab sihir
tersebut dan meninggalkan kitab atau risalah keNabiannya
Sulaiman, yang berupa suhuf-suhuf sampai pada akhirnya
diutuslah Nabi Muhammad sebagai pembenar dan meluruskan
apa yang telah terjadi, bahwa Sulaiman tidaklah seorang penyihir
akan tetapi seorang Nabi. Adapun berita yang selama ini
menyatakan bahwa Nabi Sulaiman seorang penyihir adalah tidak
benar, sebagaimana ayat: wattaba'u….
Al-Qurthuubi menafsirkan ''…'ala mulki sulaiman..", bahwa yang
dimaksudkan dengan rakyatnya tidak mengikuti kerajaan
55

Sulaiman adalah apa-apa yang diajarkan (kitabnya), yang berupa


syariat (jalan menuju Tuhan) serta hakekat keNabiannya.
Pemahaman ini berdasarkan pada gaya bahasa yang digunakan
al-Qur'an yang menggunakan kata 'ittaba'u… yang berarti
melebihkan atau mengalahkan sesuatu yang satu dengan yang
lain. Sehingga kitab Sulaiman yang berisi syari'at dan keNabian
dijadikan sebagai second line dan yang menjadi pegangan serta
rujukan hidup adalah kitab sihir.
Dari ayat tersebut akhirnya Allah memutihkan nama Nabi
Sulaiman yang telah dicemarkan oleh setan, yaitu: wa ma kafar
sulaiman..wala kinna al-syayatahina kafaru…. . Melalui ayat
inilah Allah menetapkan bahwa mereka yang menyatakan bahwa
Sulaiman adalah penyihir dan mempelajari sihirnya setan adalah
kafir. Pemahaman ini dapat dilihat dari pendapat al-Qurthubi
bahwa lafadh lakinna mengandung pengertian bahwa: kata
tersebut menegasikan obyek kedua/ terakhir (setan) dan
menetapkan obyek pertama (Sulaiman). Hal tersebut disebabkan
kata tersebut terdiri atas tiga huruf, yaitu la, kaf dan inna. La
mengandung makna nafi (negasi), kaf merupakan khitab (obyek
yang diajak bicara) dan inna sebagai penetapan dan pengukuhan.
Huruf hamzah yang terdapat pada lafadh lakinna dibuang karena
terlalu berat dalam mengucapkannya.
3. Sihir, secara bahasa mempunyai makna asal sebagai sesuatu
penangkal, azimat dan bersifat khayalan, sesuatu yang
tergambarkan/ terbayangkan/ seolah-olah. Sehingga jika ada
seorang penyihir yang melakukan sesuatu berarti ia membuat
khayalan atau gambaran seolah-olah apa yang dilihat oleh yang
tersihir adalah nyata adanya, padahal yang dilihat adalah sangat
bertentangan atau tidak sesuai dengan wujud aslinya (berbeda
56

dengan realitas sesungguhnya). Hal tersebut identik dengan orang


yang ketika melihat fatamorgana dari kejauhan yang diikiranya
air akan tetapi setelah didekati ternyata tidak ada sama sekali.
Dengan demikian yang disebut dengan sihir adalah sesuatu yang
dapat memalingkan dari arah tujuan (sesungguhnya) sesuatu.
Artinya setiap orang yang membuat orang lain condong /
cenderung pada sesuatu yang tidak semestinya pada hakekatnya
adalah terkena sihir, yang berarti tertipu, karena unsur lain dalam
sihir adalah menipu atau mengelabui.45
Demikian juga sihir mempunyai elemen yang penting lainnya,
yaitu aktifitas pengambilan, yang dimaksudkan adalah setiap
sesuatu yang tempat pengambilannya adalah dengan lembutnya
(tidak terasa) dan sangat tipis (tidak kentara secara inderawi/
hissiyah).
4. Perselisihan tentang hekekat sihir benar-benar ada atau tidak.
Al-Ghaznawi al-Hanafi dalam kitab "Uyun al-Ma'ani
menerangkan bahwa sihir oleh kaum mu'tazilah adalah sesuatu
yang menipu dan tidak ada asal usulnya. Sedangkan versi
golongan Syafi'i mengatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang
menimbulkan keraguan dan dapat menimbulkan sakit. Al-
Qurthubi sendiri berpendapat bahwa sihir adalah sesuatu azimat
atau tulisan tukang sihir terhadap berita-berita langit atau bintang.
Oleh karenanya sihir merupakan yang benar adanya, karena bagi
Allah menciptakan segala sesuatu adalah mungkin. Sebagaimana
sihir yang ada ada sesuatu yang rahasia/ samar yang berada di
balik tangan, seperti layaknya sulap.

45
Baca Q.S: al-Syu'ara': 153
57

5. Keindahan dan kekuatan bahasa. Unsur sihir yang tak kalah


penting adalah pilihan kata (diksi) dalam penyusunan kata
(mantra), sehingga apa yang dibaca seolah-olah benar.
Inilah fungsi sihir yang membawa kebohongan dan penipuan. Hal
tersebut dapat dilihat46 ketika para penyihir Fir'aun yang
mengelabui mata manusia pada waktu itu sehingga mereka
berfantasi bahwa apa yang dilihat dan yang dikatakan oleh ahli
sihir tersebut benar adanya. Oleh karenanya ketika para penyihir
tersebut melemparkan ali-tali mereka, maka mendadak seolah-
olah tali tersebut menjadi ular yang sedang membuka mulutnya
sembari menjulurkan lidahnya.
6. Hukum sihir bagi mereka yang melakukannya adalah termasuk
kategori kafir. Abu 'Amr mengatakan bahwa barang siapa
menyangka bahwa seorang penyihir yang berhasil merubah/
memutarbalikkan hewan ke bentuk hewan yang lain bahkan
merubah manusia menjadi hewan himar dan sejenisnya dan
mempunyai kemampuan untuk merubah bentuk fisik, entah
dirusaknya atau diganti rupa.47 Oleh karenanya kalau yang
melihat seperti orang di atas maka lebih baik dibunuh karena ia
termasuk kafir, terutama ingkar terhadap para Nabi. Akan tetapi
jika ada orang yang mengira bahwa sihir adalah suatu tipuan,
sesuatu yang tidak lumrah/ menyalahi hukum alam, maka tidak

46
Q.S: al-A'raf: 115-117
47
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Q.S: al-A'raf: 127-128 yang menyatakan
bahwa karena kekuasaan Fir'aun dengan bantuan tukang sihirnya yang mampu menyulap sesuatu
bentuk ke bentuk lainnya menjadikannya keras kepala dan menyatakan sebagai figur yang harus
disembah. Oleh sebab itu ketika ada salah seorang pemuka Fir'aun mengatakan bahwa: apakah
engkau tidak takut dengan ancaman Musa bagi siapa saja yang membuat keonaran dan mengaku
Tuhan di muka bumi ini ?. Dengan lantangnya Fir'aun menjawab, aku akan membunuh dan
membuat malu bagi para perempuan mereka, karena kita dapat memaksakan kehendak untuk
membuat orang lain tunduk kepada kita semua.
58

ada hukum bunuh bagi mereka, kecuali bagi mereka yang dengan
sihirnya membunuh orang, maka ia wajib dibunuh.
7. Golongan ahli Sunnah berpendapat bahwa sihir merupakan
sesuatu yang lazim dan ada. Sedangkan kaum Mu'tazilah
menyatakan bahwa sihir adalah khayalan atau tipuan sesuatu atas
sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat dalam sulapan.48
8. Hukuman sihir, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa orang yang melakukan sihir atas diri dan perkataannya
sendiri adalah kafir dan dihukum bunuh serta taubatnya tidak
diterima karena termasuk kafir zindiq dan zina. Hukum bunuh
tersbeut berlandaskan pada riwayat Umar, Utsman, Ibnu Umar,
Hafshah, Abu Musa, Qois bin Sa'd bahwa: Hukum penyihir
adalah di dera (dipukul) dengan pedang. Akan tetapi Ibnu al-
Mundzir berpendapat jika orang tersebut tidak mau bertaubat
maka ia wajib dibunuh.49

Oleh karenanya ketika Qurthubi menjumpai surat al-A’raf:


113-122, ia menjelaskan bahwa ketika para penyihir berkumpul yang
menurut Ibnu Abd al-Hikam bahwa mereka berjumlah 12 golongan
dan setiap satu golongan terdapat 20 ahli dan setiap pengawasan
orang ahli tersebut terdapat 1000 penyihir. Sebagai pemimpin
mereka adalah Syam'un. Akan tetapi mengenai jumlah terdapat
perbedaan, ada yang mengatakan 70 orang, ada juga 73 orang.
Mereka membuat perjanjian dengan fir'aun jika seandainya
pertunjukan tersebut dimenangkan oleh para ahli sihir yaitu dengan

48
Untuk menguatkan pendapat ini aliran Mu'tazilah berpegang pada Q.S: Thaha: 66 dan
al-A'raf: 116
49
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkam al-
Qur'an, Dar al-Kutub al-Almiyah, Beirut, Libanon, t.th., Jilid I, hlm. 30-dst
59

meminta imbalan. Akhirnya permintaan tersebut dikabulkan oleh


Fir'aun dengan catatan kalau mereka memenangkan laga tersebut.

Akhirnya pertandingan tersebut dimulai dengan para ahli sihir


yang melemparkan tali-tali dan tongkat mereka yang seketika itu
menjadi ular hidup. Ahli sihir tersebut menyulap mata orang di
sekitar bahwa apa yang dilihatnya adalah nyata, pada hakekatnya
adalah tipuan belaka, sehingga tali-tali yang dilemparkannya seolah-
olah hidup dan bergerak-gerak, padahal tali tersebut pada hakekatnya
masih berupa tali dan tidak bergerak sama sekali.

Inilah mengapa redaksi yang digunakan al-Qur'an sebagai


padanan kata sihir adalah kata 'adhim, yang berarti sangat besar
sekali untuk tidak mendekati pada kenyataan aslinya (realitas),
sehingga jauh dari hakekat sesuatu tersebut. Oleh karenanya apa
yang dilemparkan oleh para penyihir Fir'aun, yang berupa tali-tali
dan tongkat, pada dasarnya adalah tipuan belaka, karena tidak ada
keasliannya atau kebenarannya.

Akhirnya atraksi yang dilakukan para penyihir Fir'aun


membuat rasa takut para pengunjung. Akan tetapi karena kekuasaan
Allah dengan perantara nabi Musa dengan tongkatnya yang berubah
menjadi ular besar dan melahap ular-ular jelmaan para penyihir
Fir'aun menjadikan masyarakat mana yang disebut sihir dan mana
yang disebut dengan mu'jizat sebagai salah satu bukti kenabian
Musa. Akibat kekalahan tersebut, para penyihir akhirnya bertekuk
lutut dan mengakui kehebatan Musa dan mengakui kekuatan Tuhan
sebagai pengatur alam ini.50

50
Ibid., hlm. 165-166
60

Anda mungkin juga menyukai