Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FILSAFAT IBNU ARABI

jjjjjjjjjj

DI SUSUN OLEH :

NAMA : JULAIHA SILLIA

PRODI : PAI

SEMESTER : IV (EMPAT)

RUANG : I (SATU)

M.K : FILSAFAT ISLAM

DOSEN M.K : SAMSUDIN BUAMONA B.,S.fil.,M.Ag

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

BABUSSALAM SULA MALUKU UTARA

TAHUN AKADEMIK 2021-2022


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh


Puji syuku kia panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
hidayahnya karena Rahmat dan Karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.
Salawat dan Salam kita hanturkan kepada nabiullah Muhammad SAW
yang telah memimbing kita di jalan yang baik. dan makalah ini penulis buat
atas tugas yag diberikan dosen pada mata kuliah Perencanaan Pendidikan,
yang berjudul “Filsafat Ibnu Arabi”.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan, untuk
itu penulis mengucapkan banyak terima kasih, dan tak lupa penulis juga sadar
makalah ini masih banyak kekurangan maka penulis sangat mengharapkan
kritikan maupun saran yang sifatnya membangun untuk kesmpurnaan
penyusunan Makalah selanjutnya.

Sanana, 24 Maret 2022

Penyusun
Julaiha Sillia

2
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar ...................................................................................................i

Daftar Isi ............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Arabi........................................................................... 4


B. Karya-karya Ibnu Arabi ....................................................................5
C. Konsep Ajaran Ibnu Arbai................................................................ 6
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya
dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf
besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul
Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota
Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama
lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah
bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan
Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin,
dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang
Kibritul Ahmar.
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong
seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme,
menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak
ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu 'Araby. Sementara
ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari
Marsia ke Isybilia.
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan
intelektualisme 'Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan
kepribadian Ibnu 'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan
sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli
dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan
kosmologi.
Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin
Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin
Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin
Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im
al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu

4
Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka.
Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan
Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para
pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran
teosofik yang sangat cemerlang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas , penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi Ibnu ‘Arabi ?
2. Bagimana Karya-karya Ibnu Arabi?
3. Bagaimana Konsep dan Ajaran Ibnu ‘Arabi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu ‘Arabi
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu arabi
3. Untuk mengetahui Konsep dan Ajaran Ibnu ‘Arabi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu ‘Arabi


Muhyi-d-din Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi
ath-Tha’i al-Andalusi, yang telah terpilih untuk menjadi simbol kesucian
Muhammad yang dilahirkan di Murcle, Andalusia, Spanyol. Pada abad 27
Ramadhan 560 atau 7 Agustus 1165 di lingkungan keluarga yang
berketurunan Arab. Dan kegiatan duniawi beliau yang amat banyak jumlahnya
dan berakhir pada 28 Rabi’utsani 638 atau 16 November 1246. Dan dia dalam
suatu perjalanannya panjang dia telah membawa beliau dari Sevilla, tempat
keluarganya bermukim pada 568/1173 sampai di Damas, tempat peristirahatan
terakhir beliau sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang peziarah. Pada
tahun 578 Ibn al-Arabi mulai belajar agama dengan usia yang masih muda.
Beliau mempelajari al-Qur’an di bawah bimbingan Ibn Safi al-Lakhimi
(meninggal 589/1189) yang mengajarkan haditsnya. 1
Selama menetap di Seville, Ibn al-Arabi dengan memanfaatkan
perjalanannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu
kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn
Rusyd (w. 595 / 1198) di Cordova. Percakapannya dengan filsuf besar ini
membuktikan kecermelangannya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan
intelektual. Di antara guru-guru spiritual Ibn al-Arabi terdapat dua wanita
lanjut usia : Yasamin (sering pula disebut dengan Syams) dari Marchena dan
Fatimah dari Cordova. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui
jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Pada perjalanannya
tahun 590/1193 dia mengadakan perjalanan itu pertama kali Ibn al-‘Arabi ke
semenanjung Iberia. Di sana dia belajar Khal al-Na’ Laya (melepas dua
sandal) oleh Ibn Qasi, pemimpin sufi yang melakukan pemberontakan
terhadap dinasti al-Munabbitin di Algerve. Ia kemudian menulis karya dengan
berbagai komentar. Dan yang sama ia juga mengunjungi ‘Abd al-Aziz al-
1
Ibn ‘Arabi, Relung Cahaya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988, hlm. 1-3

6
Mahdawi, dengan dikirimnya ruh al-Quds, al-Kinani, guru al-Mahdawi,
dengan ajaran al-Kumi dan al-Mawruri.
Adapun beberapa fase untuk mengikuti jalan sufi adalah fase-fase yang
mempercepat pemberanian diri untuk menjadi seorang sufi di antaranya yaitu :
1. Fase persiapan dan pembentukan diri
Selama berada di Sevilla, Ibn al-‘Arabi di masa mudanya sering
melakukan perjalanan ke sebuah tempat di Spanyol dan Afrika Utara,
kesempatan tersebut di pergunakan untuk Ibn Rusyd serta dua
gurunya.
2. Fase peningkatan
Pada tahun 1200 ketika di Marrakesi, Ibn al-Arabi menerima perintah
ru’ya yang bertemu Muhammad al-Hasan dan perjalanan dari Tunis ke
Mesir tapi dalam perjalanannya ia meninggal dunia, kemudian ia
melanjutkan perjalanannya sampai ke Makkah pada pertengahan 1202.
yang disambut oleh warga besar perhatiannya Abu Yaja Zahir, Ibn
Rustam dan putrinya.
3. Fase kematangan spiritual dan intelektual
Dengan karya yang monumentalnya al-Futuhat dan al-Makiyyah dia
menyisakan hidupnya dengan melibatkan dalam kehidupan politik
sosial.2
B. Karya-Karya Ibnu Arabi
Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi, sebenarnya sebuah risalah doktrin
yang bersifat metafisis dan ma’rifat (tanpa suatu pengenalan awal lebih
dahulu) yang mengambil al-Qur’an dan sunnah sebagai sumbernya. Karena
penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai penafsiran yang berwenang
menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang terlihat dengan
“Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna. Dan ada karya-karya
yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat” dan “fushush al-hikam”. Dari
keduanya, hanya fushush al-hikam yang diterjemahkan oleh Titus Burckharat,

2
Ruh al-Quds dan al-Durrat al-Fakhirah, Sufi-Sufi Andalusia, cet.1, Mizan, Bandung, 1994, hlm.
39

7
bagi orang-orang berbahasa Arab, teks-teks yang segera bisa didapatkan
adalah kedua karyanya “Klineire Scriften des Ibn al-Arabi” (Leyden, 1849)
yang di cetak dalam Rasa’il Ibn al-Arabi (Hyderabad, 1947). Belakangan ini
“Tarjamun al-Asywaq” yang diterbitkan di Beirut (1961) dan Diwan juga
telah diterbitkan kembali.3
Dan ada salah satu karyanya yang hilang tidak satupun ditemukan
ringkasan (ikhtisharaf), “Bukhari, Muslim, Tirmidzi”. Sedangkan karya kitab
“Miftah as-Sa’adah” itu juga hilang dan kitab yang berjudul “al-Misbah fi
Jam bayna Shihab”. Dalam karangan Misykatul yaitu kitab “al-Arba’ inath-
Thiwalat” pada tahun 599/1202 terminus ad quem dan beberapa hadits yang
masih ada seperti, “Misykat al-Ma’qul al-Muqtabasah Min-nural Manqul”
yang terdiri dari 9 bab. Dan di dalam karya ini ada keistimewaannya
tersendiri, yaitu beliau hanya menekuni hadits-hadits “quds”, yaitu hadits-
hadits di mana Rasul (semoga turun atas berkatnya dan kedamaian abadi),
menyikapi kalimat-kalimat disebutkan berasal dari Allah sendiri.4
C. Konsep dan Ajaran Ibn ‘Arabi
1. Konsep Tentang Wahdatul Wujud
Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan
bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-
Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat
dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah
zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada
sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak
membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang
tidak berhajat pada alam semesta.
Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu
hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam

3
William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi (Kreativitas Imajinasi dan persoalan diversitas
Agama, cet.1, Surabaya, 2001, hlm. 27
4
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman Kesatuan Wujud, cet.1, Muria Kencana, Jakarta, 2001,
hlm. 353

8
ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati
tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak
seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan
lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu
‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah
yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi
cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan
wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka
sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan
berjenis jenis.
Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan
menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence).
Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan
keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya
bayang-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan
sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh a
lam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan.
Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan
yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan
cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat
melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin
kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang
riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin.
Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan
sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi”
yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya
sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak
dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.

9
Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga
masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat
memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa
Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi
menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-
(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama
selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan
potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di
namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya
mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan,
Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara
kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat
horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an
bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-
Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu
(al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus
yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu
tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat
kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi
sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara
bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud
makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan
antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada
yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu
dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul
dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:

10
“Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri
adalah hakikat segala sesuatu itu”
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah
dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim
yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak
ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah).
Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu
hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara
Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu
‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi
yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya
adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka
memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk
hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya,
yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat
diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang
merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia
melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi,
walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya
satu wujud, yaitu al-Haqq.
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi
menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan.
simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa
penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin
memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi)
yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang
menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan
yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah
satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam

11
cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang
sesungguhnya.
Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih
dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi
tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan
dan aktualisasi sifatsifatnya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam,
karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak.
Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang
kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak
akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-
sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi
sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya
yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu
mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan
secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat
berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas
yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang
dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing
individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil
bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada
kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia
seperti Nabi dan para auliya’.
Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos
tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-
Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan
bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain
Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat
Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya
bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil)

12
yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan
keseimbangan secara sempurna.
2. Konsep Tentang Insan Kamil
Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi fisiologisnya, betapa
tidak, bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari ujung Galaksi Bumi
apalagi dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya ukuran Bumi ini, apalah
kita manusia yang ia barat semut yang merayap dipermukaan bola raksasa
Bumi. manusia ibarat sebuah titik kecil yang berlangsung hanya sedetik. Itulah
kakekat manusia juka dilihat dari sudut ruang dan waktu, Maka seharusnya
kita menyadari betapa tidak berartinya kita (manusia) dalam kosmos yang luas
ini jika dilihat dari fisiologisnya.
Namun manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos karena pada
diri manusia mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral
sampai tingkat manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga
mengandung unsur-unsur rohani, karena manusia juga memilki roh yang
berasal dari Tuhan. Maka apabila masing-masing tingkat wujud tersebut
memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang
sempurna yang mampu berpotensi memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi.
disitulah manusia disebut insan kamil, jika manusia dapat mengaktualkan
seluruh potensinya yang ada dalam dirinya dan mampu mencerminkan sifat
sifat Tuhan.
Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh
kaum sufi untuk menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada
keperingkat tinggi, yaitu peringkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah
(sirna di dalam Allah). Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli
(penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun al-
jamil, atau manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil
(mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan
tergambar kepadanya sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah manusia di
angkat sebagai kholifah. pada diri manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa

13
alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat dan asma-Nya tampak
padanya. dia dalam sebuah cermin yang menyingkapkan wujud Allah SWT.
Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai
manusia sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah Roh Nabi Muhammad
SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang
diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-
Nya. Al-Jilli melihat bahwa insan kamil (manusia sempurna) merupakan
nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha rahman." Hadis lain
menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya."
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul
Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut dan Nasut
dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibnu
'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika
menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur
Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang
memopuler-kan konsep insan kamil-nya, sesungguhnya konsep insan kamil ini
sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, insan
kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan
semua sifat dan kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah
sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insan
kamil adalah miniatur dari kenyataan dan yang di maksud insan kamil
menurut Ibnu ‘Arabi seperti yang di jelaskan dalam kitabnya fusus al-hikam
adalah:
a. Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuknya sendiri
dengan segala keesaanya berbeda dengan segala sesuatu yang lain,
meskipun al-Haqq (Tuhan) ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu
bukan ain (zat)-nya karena ia hanya perwujudan sebagian asma-Nya,
bukan Tuhan bertajalli (menampakkan diri) pada sesuatu itu dalam bentuk
zat-nya. Dan apabila kamu berkata insan maka maksudnya adalah manusia

14
sempurna dalam kemanusiaanya, yaitu Tuhan bertajalli (menampakkan)
diri dalam bentuk sifat dan asmanya sendiri itulah yang di sebut dengan
ain-Nya
b. al-insan al-kamil (Manusia sempurna) dalam pandangan Ibnu ‘Arabi tidak
bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad seperti
ditegaskan: ketahuilah bukanlah yang dimaksudkan dengan al-insan kamil
kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang dia tiupkan kepada Adam.
oleh karenaitu Adam adalah esensi kehidupan dan awal kejadian manusia.
katakanlah Nabi Muhammad SAW adalah insane kamil yang paling
sempurna. (Alhaqiqah al Muhammadiyah.) dan dengan hakekat
Muhammad inilah orang bisa mencapai derajat insan kamil.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Muhyi-d-din Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-
Hatimi ath-Tha’i al-Andalusi, yang telah terpilih untuk menjadi simbol
kesucian Muhammad yang dilahirkan di Murcle, Andalusia,
Spanyol. Pada abad 27 Ramadhan 560 atau 7 Agustus 1165 di
lingkungan keluarga yang berketurunan Arab. Dan kegiatan duniawi
beliau yang amat banyak jumlahnya dan berakhir pada 28 Rabi’utsani
638 atau 16 November 1246.
2. Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi, sebenarnya sebuah risalah doktrin
yang bersifat metafisis dan ma’rifat (tanpa suatu pengenalan awal lebih
dahulu) yang mengambil al-Qur’an dan sunnah sebagai sumbernya.
Karena penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai penafsiran yang
berwenang menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang
terlihat dengan “Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna.
Dan ada karya-karya yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat”
dan “fushush al-hikam”. Dari keduanya, hanya fushush al-hikam yang
diterjemahkan oleh Titus Burckharat, bagi orang-orang berbahasa
Arab, teks-teks yang segera bisa didapatkan adalah kedua karyanya
“Klineire Scriften des Ibn al-Arabi” (Leyden, 1849) yang di cetak
dalam Rasa’il Ibn al-Arabi (Hyderabad, 1947). Belakangan ini
“Tarjamun al-Asywaq” yang diterbitkan di Beirut (1961)
dan Diwan juga telah diterbitkan kembali
3. Konsep ajaran filsafat Ibnu Arabi ada dua yaitu :
a. Wahdatul Wujud
b. Insan Kamil

16
DAFTAR PUSTAKA

Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah


Kritik Metodologis. Bandung: Pustaka Hidayah.

Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia


Modern. Malang: UIN-Malang Press.

C. Chittick, William. 2001. The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan


Spiritual Ibnu al-‘Araby. Yogyakarta: Qalam.

17

Anda mungkin juga menyukai