Anda di halaman 1dari 16

Nama : Diana Oktaviani

NIM : 1831411007

Prodi : Pendidikan Matematika (semester 1 )

BIOGRAFI IBNU ARABI

1. Riwayat Hidup

Ibnu ‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-
Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah
Muhammad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali
Muhyidin atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan
nama Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi. Muhammad Ibn ‘Ali
Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia Spanyol bagian Utara lahir pada
tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada pemerintahan Muhammad Ibn Said
Ibn’ Mardanisy. Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab berasal dari keluarga yang soleh.
ayahnya, menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di
bidang politik dan pendidikan, keluarganya juga sangat religius, karena ketiga pamannya
menjadi pengikut jalan sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhyi al-Din (penghidup
agama) dan al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena gagasan-gagasannya yang besar
terutama dalam bidang mistik.

2. Pendidikan

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisbon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama
Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam
dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf. Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang
waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30
tahun.

Di kota di Sevilla inilah Pendidikan Ibnu ‘Arabi dimulai ketika ayahnya menjabat di
istana dengan pelajaran yang umum pada saat itu al-Qur’an dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan
Filsafat Skolastik, Ilmu Kalam. keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga
kedudukan ayahnya mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia belasan. Yang
perlu dicatat bahwa kota Sevilla pada saat itu selain sebagi kota ilmu pengetahuan juga
merupakan kegiatan Tasawuf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal disana. Kondisi
keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibnu ‘Arab
sebagai tokoh sufi yang terpelajar, apalagi ia telah masuk Thariqat diusia yang masih 20
tahun.

Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan kunjungan berbagai
kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana
terkemuka. salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd
(1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu ‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf peripatetik ini dalam
perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan
luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. juga menunjukan adanya hubungan yang kuat antara
Mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibnu ‘Arabi. Pengalaman pengalaman
visioner mistiknya berhubungan dan didukung oleh pemikiran filosofisnya yang ketat, Ibnu
‘Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosuf paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan
pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan Dunia Metafisis yang maha besar
sebagaimana dilihat dari gagasan-gagasannya.

Di kota Sevilla inilah Ibnu ‘Arabi Pendidikannya berhasil karena dia kemudian
memperoleh pekerjaan menjadi seorang sekretaris gubenur Sevilla. Dan setelah itu Ia
menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik benama Maryam. secara beruntung istri
barunya ini juga mengenal baik sejumplah Manusia yang Soleh dan jelas sama-sama
mempunyai keinginan seperti suaminya untuk menempuh jalan Sufi.

Ibnu ‘Arabi disamping terus belajar ia adalah seorang yang sangat haus akan ilmu. ia
tidak merasa puas dengan ulama’ yang ada di daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka
memperluas ilmu pengetahuanya, tatkala menginjak usia 30 tahun ia mulai melakukan
pengembaraan ke berbagai negeri Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko dan Aljazair.
Tahun 598H/1202M Ibnu ‘Arabi tiba di Mesir bersama murid dan pembantunya, Abdullah al-
Habasyi. di negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari Mesir ia terus berkelana ke Timur,
mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di mana ia juga mengajar untuk waktu
tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua kali, ia juga ke Aleppo dan asia kecil. di setiap
tempat yang di kunjungi, ia selalu menerima penghargaan besar dan diberi banyak hadiah
yang kemudian selalu di berikannya kepada para fakir miskin.

Ibnu’ Arabi selama proses spiritualnya, Dia mengkaji banyak pelajaran tentang
hakekat Mistik, diantaranya adalah doktrin-doktrin metafisis kaum sufi, Kosmologi,
penafsiran esoterik, dan barang kali ilmu pengetahuan yang lebih ghoib bersifat astrologi dan
al-kimia. Tentu banyak bukti yang berkaitan dengan materi-materi semacam ini ditemukan
dalam karya-karyanya. Selain sisi jalan mistik yang lebih teoritis, Ibnu ‘Arabi dan murid-
muridnya tidak diragukan, didorong oleh para gurunya untuk menguatkan dan
mempraktekkan pelbagai ritus dan metode tarikat. Ini meliputi do’a, sholat, puasa, tahajud,
iktikaf malam, pengasingan diri, dan meditasi. Pembelajaran semacam ini sering
mengantarkan pada pengalaman diluar panca indra, banyak di klaim Ibnu ‘Arabi telah
dialaminya dalam kehidupannya. Untuk mendorong semacam ini. Ibnu ‘Arabi ketika masih
muda di Sevilla sering menghabiskan waktu berjam-jam di kuburan untuk bercakap-cakapan
dengan arwah orang yang sudah meninggal.

3. Karya-Karya Ibnu Arabi

Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibnu ‘Arabi adalah tokoh yang memberi
konstribusi besar terhadap tradisi intelektual secara tertulis. Separoh akhir dari kehidupannya
telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spiritual yang
tidak ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya
dibanding pemikir lain.

Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas
karya-karya Ibnu ‘Arabi. Berbagai angka telah disebutkan oleh para sarjana. L. Massignon,
seorang orientalis Perancis mengemukakan, Ibnu ‘Arabi menulis sekitar 300 karya.
Sementara C. Brockelmann mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya dalam karya
bibliografinya yang berbahsa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa
hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibnu ‘Arabi sendiri dalam Ijazah
li al Malik al Muzaffar menyebutkan 289 judul.

Menurut SH. Nash, karya-karya Ibnu ‘Arabi beragam ukuran dari isinya: dari uraian-
uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya
ensiklopedik besar; dari risalah metafisis yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang
mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu
mencakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi, penafsiran terhadap Al Qur’an dan
semuanya bertujuan menjelaskan makna-makna isoterik.

Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu ‘Arabi menulis tidak kurang dari 350 buku. Karya-
karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak 30 buah, termasuk didalamnya master piece
Futūĥātul al Makkiyyah dan magnum opus Fushūsh al Ĥikam.

Futūĥāt al Makkiyyah (pembukaan Makkah) adalah karya Ibnu ‘Arabi yang menjadi
perdebatan di parlemen Mesir. Berisi tentang kehidupan spiritual para sufi beserta ajaran-
ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir atas Al Qur’an,
hadist dan fiqih. Menurut pengakuan Ibnu ‘Arabi, karya ini merupakan hasil pendiktean dari
Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H) setelah Ibnu
‘Arabi menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi
pertama dan pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi lama kitab ini setebal
2.580 halaman. Dan atas prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Mesir
diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam 4 jilid dengan pentahqiq
Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour.

Karya monumental kedua adalah Fushūsh al Hikam (untaian permata kebijaksanaan).


Diakui Ibnu’Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW untuk diajarkan pada
umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang
dimiliki setiap nabi, dimulai dari nabi Adam dan ditutup dengan Nabi Muhammad. Secara
keseluruhan mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju
kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muhammad. Karya ini dianggap sebagai
intisari dari ajaran Ibnu ‘Arabi, yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di Damaskus, sekitar 10
tahun sebelum ia wafat.

Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun
dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada tiga buah,
yaitu Insya’al Dawair (lingkaran yang meliputi) Uqlah al Mustawfiz dan Tadbirah al
Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyyah).
Suatu kumpulan karya Ibnu ‘Arabi yang berisi tentang pengalaman-pengalaman
spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani,
tergabung dalam Rasa’il Ibnu al Arabi. Diantaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut :

a. Kitab Al Isra’ (Perjalanan malam)


Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan
dengan realitas spiritual nabi di tujuh langit.

b. Hilyah al Abdāl (perhiasan para pengganti)


Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu :
penyendirian, diam,lapar dan terjaga.

c. Risalah al Anwār (risalah cahaya-cahaya)


Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat.
Mendiskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non stop melalui berbagai
tingkatan menuju kesempurnaan manusia.

d. Kitab Al Fana’ fi al Musyahadah (fana’ dalam kontemplasi)


Ditulis di Bagdad pada tahun 1212 (608 H). Merupakan pemikiran mendalam atas surat
ke 98. Mendiskripsikan mengalaman visi mistik dan perbedaan orang-orang berpengetahuan
riil dengan orang-orang intelek.

e. Istilah al Shufiyyah (istilah sufi)


Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Malatya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi
penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah.

Karya-karya mengenai biografi para sufi yang hidup di zamannnya adalah Ruĥ al
Quds (Ruh-ruh suci) dan Al Durrah al Fakhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu
buku oleh R.W.J Austin dan di beri judul Sufis of Andalusia.

Turjumān al Asywāq adalah karya Ibnu ‘Arabi yang mengundang penafsiran negatif
tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk
Nizam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap
Tuhan, Ibnu ‘Arabi menulis Dzakha’ir al Alāq.
Kitab Al Alif, kitab Al Ba’, kitab Al Ya’, adalah seni karya-karya ringkas,
menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H). Seri
kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyyah yang berbeda-beda seperti : ketunggalan
(ahadiyyah), kasih (Rahman) dan cahaya (Nūr).

Fihrist al mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu ‘Arabi sendiri untuk
karya-karyanya yang memuat 248 karya. Di tulis pada tahun 1229/1230 (627 h) di Damaskus
untuk muridnya Sadruddin al Qunawi.

Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya Ibnu ‘Arabi yang akan memakan
tempat jika dituliskan semua. Di bawah ini adalah karya-karya yang dapat kami sebutkan :
1. Mashasid al Asrar al Qusdsiyyah (kontemplasi misteri kudus)
2. Anqa’Mughrib (burung anqa’ di barat)
3. Misykat al Anwār (relung cahaya)
4. Mawaqi’ al Nujūm (letak bintang-bintang)
5. Taj al Rasa’il (mahkota surat-surat)
6. Kitab Jalāl wa al Jamāl (keagungan dan keindahan)
7. Kitab Tajalliyah (kitab teofani)
8. Awrat al Usbu’ (doa’ untuk seminggu)

4. Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir filsuf yang paling penting dan berpengaruh dalam
sejarah pemikiran Islam serta tokoh sufi pada abad 13. filsafat mistiknya, yang disebut
wahdatul wujud (kesatuan wujud), dan insan kamil (Manusia sempurna) sangat mendominasi
pemikiran tokoh berikutnya di Dunia Muslim seperti Hamzah Fansuri yang mempunyai
pemikiran sama tentang wahdatul wujud, begitu juga dengan muridnya al-Jilli yang
melanjutkan pemikiran nya tentang insan kamil, maka dari itu kita perlu menguraikan
kontribusi pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdatul wujud, insan kamil, dan juga
tajalli, konsep cinta, serta beberapa tingkatan maqam untuk mencapai derajat ma’rifat.

1. Pemikiran Tentang Wahdatul Wujud

Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan
pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada,
walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang
Pencipta. Yang tampak hanya bayangbayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan,
yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh
alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata
lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya
merupakan bayang-bayang.

2. Pemikiran Tentang Insan Kamil

Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk
menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada keperingkat tinggi, yaitu peringkat
seorang yang telah sampai pada fana’ fillah (sirna di dalam Allah). Manusia menurut Ibnu
‘Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena Dia
adalah al-kaun al-jamil, atau manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil
(mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar kepadanya
sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah manusia di angkat sebagai kholifah. pada diri
manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat
dan asma-Nya tampak padanya. dia dalam sebuah cermin yang menyingkapkan wujud
Allah SWT.

3. Pemikirannya tentang Tajalli

Menurut Ibnu ‘Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Allah tapi wujud dzat yang
mutlak belum belum bisa disebut sebagai Tuhan karena untuk mengetahui dzat yang azali
dan qodim sebagai Tuhan hanya setelah ada wujud yang lain yaitu makhluk agar dzat yang
mutlak dapat diketahui dan dikenali maka dzat yang mutlak bertajalli, menampakkan
dirinya melalui makluknya.dengan bertajjali tidak mempengaruhi kemutlakkannya. Menurut
konsepsi ini wujud mutlak bertajjali melalui tahapan martabat – martabat sebagai berikut :

1. Martabat ahadiyyah yaitu dzat dalam keadaan mutlak tunggal (ahad) atau
kesatuan mutlak yang disebut martabat dzatiyah dalam citranya yang demikian.

2. Martabat wahdah juga di sebut martabat tajjali dzat atau faydh aqdas yakni ketika dzat
yang tunggal bertajalli melalui sifat dan asma.

3. Martabat wahidiyah yaitu ketika dzat yang menentukan sendiri eksitensialitas dalam
obyek-obyek berkenaan dengan protetif idealnya, yakni a’yan sabit pada dirinya
tidak muncul di dunia atau keluar meninggalkan pengetahuan dari pikiran dzat dan
tetap ada seperti sebelumnya, dalam keadaan substansi subut, yang apabila di
bandingkan dengan keperiadaan adalah ke-ada-an yang relatif tiada (ma’dum)
ketiadaan.

4. Martabat ta’ayaun ruhi dan 5. Ta’ayun jasadi, yaitu tajalli penentuan rohaniah yang
juga di sebut ta’ayun mistali, dan penetuan ragawi yang sudah eksitensial dan
tertentu sebagai kebalikan dari penentuan ideal yang tiada terbatas.
4. Pemikirannya tentang Cinta.

Ibnu ’Arabi membagi cinta atas tiga bentuk: cinta kudus (al-hubbal illahi), cinta
spiritual (al-hubbal-ruhani), dan cinta alami (al-hubb al-thabi’i). Cinta kudus ialah cinta
esensial dan abadi dari yang maha Esa, yang merupakan sumber dari segala cinta. cinta ini
berasal dari Allah terhadap diri-nya sendiri di dalam ke-mujarradan-nya, di luar batas ruang
dan waktu. Kemudian atas dasar itu Ia rindu untuk melihat citra dirinya dan rindu agar dapat
dikenal, maka diciptalakan-nya alam semesta. Jadiadanya alam yang serba ganda ini adalah
tidak lain sebagai akibat cinta kudus itu. akan tetapi, kata Ibnu ‘Arabi justru cinta kudus
yang primordial itu pula yang telah melahirkan cinta pada Insan, yang bermula ketika (esensi
potensial) mereka mendengar kata ciptaan kun di dalam asma. Karena itu kata afifi faktor
yang mendasari semua menifestasi realitas tunggal adalah cinta kudus. bahkan cinta kudus
itulah yang menjadi prinsip primordial dalam tiap yang terjadi pada alam.

5. Pemikirannya tentang Maqom untuk mencapai Ma’rifat .

Maqam adalah tingkat-tingkat kerohanian jama’nya dari maqamat. dalam perjalanan


melalui tingkat-tingkat kerohanian itu seoarang sufi akan mengalami berbagai keadaan batin.
Di dalam Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ’Arabi menyebutkan enam puluh maqam yang di
tempuh seorang sufi untuk bermujahadah kepada Allah, dan ia berusaha menjelaskan akan
tetapi Ibnu ’Arabi tidak menulisnya secara sistematis tahap- tahap tiap maqam yang harus di
lalui seorang sufi. Dalam menempuh maqamat itu seorang sufi harus senantiaa melakukan
bermacam-macam ibadah (mujahadah) dan kontemplasi yang sesuai dengan ajaran agama
sehingga tiap maqam satu persatu dapat dilaluinya.

5. Latar Belakang Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu Arabi tokoh filosuf dan sufi pada abad 12, di dalam pemikirannya tentang
tasawuf lewat pengalaman mistisnya ia menjelaskan dengan pemahaman rasional atau
filsafat, maka tasawuf Ibnu ‘Arabi dinamakan tasawuf falsafi. Adapun sumber-sumber yang
mempengaruhi pemikirannya dari hasil yang telah diteliti terbagi menjadi dua kelompok
besar yakni:

1. Sumber Islam

- Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi

- Sufi-sufi terdaulu seperti Al Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami, Junayd, Shibli, Tustari,
Abdul Qodir al Jailani, dan lainnya

- Asetik-asetik Muslim Theologia Skolastik: Ash’ari dan Mu’tazilah

- Carmathian dan Isma’ilian (terutama ikhwanus-safa)

- Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibn Sina dan Ibn’ Rusyh

- Aliran Ishraqi
2. Sumber non Islam

- Filsafat helleinistik, terutama neoplatonik dan filsafat pilo dan stocs tentang logos
Ibnu ’Arabi selalu mencari dari al-Qur an dan Hadits-hadits Nabi yang berkaitan
dengan perkataan-perkataannya. prosedur umumnya digambarkan oleh Nicholson, Ibnu
‘Arabi seringkali mengambil suatu ayat Qur’an dan Hadits, Ibnu ‘Arabi dapat memperoleh
segala yang diinginkan dari al-Qur’an. ia dapat juga menghasilkan kesimpulan yang sama
dengan yang diambilnya apabila diadopsilkan menjadi metode interpretasi yang sama.

Dia memahami beberapa ayat secara harfiah yang maknanya cocok dengan
Pantheisme, dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an banyak berisi tentang ayat-ayat itu.
Tuhan dari Qur’an digambarkannya sebagai suatu Tuhan yang mutlak Transenden yang
tidak ada bandingannya. dipihak lain sebagimana layaknya orang mendengar, melihat punya
tangan kaki dan wajah dia adalah cahaya dari Langit dan Bumi, Dia bersama kita dimanapun
kita berada, Dia lebih dekat dari pada urat nadi kita sendiri.

Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638
H. (16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan
murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah, di kaki
Gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan berakhirnya norma
imanennya, karena tempat dimana Ibnu ‘Arabi. dikubur dimana jasadnya beristirahat bersama
dua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam pandangan kaum Muslim telah disucikan
oleh semua Nabi, dan terutama oleh Nabi Khidr. Pada abad ke 16 Salim II Sultan
Kontantinopel membangun suatu Mausoleum dan Madrasah diatas makam Ibnu ‘Arabi.10
Ibnu ‘Arabi waktu hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti Suhrowardi,
Najmuddin ar Razi, Muslihuddin, Sa’di, Abu al-Hasan al-maghrib asSyadzili, Jalaluddin
Rumi dan Ibnu Faridh, dan dari pemikiran Ibnu ‘Arabi banyak mempengaruhi para filsuf dan
sufi lainnya.
Biografi Mulla Hadi Sabzawari

1. Biografi Mulla Hadi Sabzawari


Mulla Hadi dilahirkan pada tahun 1212/1797-98 di Sabziwar, Khurasan, kota yang
terkenal karena banyak dikenal Sufinya dan juga karena aliran-aliran Syi’ah, bahkan sebelum
periode Safawi. Beliau adalah seorang filsuf muslim terkenal Iran, seorang mistikus, teolog dan
penyair. Beliau lahir dari keluarga pedagang dan pemilik lahan. Beliau menyelesaikan
pendidikan awalnya dalam bidang gramatika dan bahasa Arab, beliau telah menulis sebuah
risalah kecil di usia tujuh tahun. Pada usia sepuluh tahun, ayahnya meninggal dan beliau
berangkat ke Masyhad untuk melanjutkan Studi dalam bidang fiqh, logika, matematika,
dan Hikmat selama sepuluh tahun berikutnya dengan Mulla Husay. Semenjak itu, kecintaanya
terhadap ilmu-ilmu intelektual menjadi begitu besar dan untuk ini Haji meninggalkan Masyhad
menuju Isfahan, seperti yang dilakukan Mulla Shadra dua ratus lima puluh tahun sebelumnya,
untuk bertemu dengan otoritas agung masa itu di bidang Hikmat. Di kota ini, beliau
menghabiskan delapan tahun belajar di bawah Mulla Isma’il Isfahan dan Mulla ‘Ali Nuri,
keduanya adalah otoritas terkemuka dalam madzhab Akhund (panggilan Mulla Shadra).
Setelah selesai pendidikan formalnya, beliau kembali ke Masyhad danmulai mengajar
meskipun para ulama di Masyhad tidak memiliki minat yang sama dalam filsafat sebagaimana di
Isfahan. Beliau mengajar selama lima tahun, dan setelah itu beliau berangkat Haji ke Mekkah.
Setelah beliau kembali ke Persia, yang telah ditinggalkan tiga tahun, beliau kemudian tinggal
setahun di Kirman dimana beliau menikah dan menetab di Sabziwar untuk mendirikan sekolah
sendiri. Popularitasnya menjadi semakin besar sehingga memiliki para murid dari seluruh Persia,
India dan arab. Disini beliau mengisi hidupnya selama empat puluh tahun untuk mengajar,
menulis dan melatih murid-muridnya. Beliau hidup dengan sangat sederhana dan
spiritualitasnya banyak menyerupai guru Sufi ketimbang sekedar Hakim yang terpelajar. Beliau
wafat pada tahun 1289/1878. Beliau menjadi tokoh spiritual dan intelektual yang paling terkenal
dan terbesar, dan semenjak itu dianggap sebagai salah seorang tokoh yang dominan dalam
kehidupan intelektual di dunia syiah.
2. Karya-karyanya
Beliau mengarang sejumlah Syair yang dikumpulkan dalam Diwannya yang terdiri dari
syair-syair penuh inspirasi gnoistik dalam bahasa Persia dan syair-syair dalam bahasa Arab
tentang Hikmah dan Logika. Berikut karya-karyanya:

1. Al-La’ali, syair berbahas Arab tentang Logika.


2. Ghurar al-Fara’idh atau Syarh-I Manzumah, Syair berbahasa arab dengan syarah
tentang Hikmah.
3. Diwan ditulis dalam Bahasa Persia dengan nama samaran Asrar.
4. Du’ai Kabir, syarah atas Du’ai Shabah.
5. Asrar al-Hikam, ditulis atas permintaan Nashir al-Din Syah, tentang Hikmat:
6. Komentar atas karya-karya Mulla Shadra seperti, Asfar, Mafatih al-Ghayb, al-Mabda ‘wa
al-Ma’ad Dan Syawahid al-Rububiyya.
7. Syarah atas komentar al-Syuhuti terhadap alfiyyah karya Ibn Malik, tentang tata bahas.
8. Syarah atas Matsnawi karya Jalal-al-Din Rumi.
9. Syarah atas Nibras, tentang rahasia-rahasia ibadah.
10. Syarah atas nama-nama Tuhan.
11. Syarah atas Syarh-I Tajrid Karya Lahiji.
12. Rah Qarah dan Rahiqdalam retorika.
13. Hidayat al-Thalibin, risalah dalam bahasa Persia tentang kenabian dan Imamah yang belum
diterbitkan.
14. Pertnyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tentang Irfan.
15. Risalah tentang perdebatan antara Mulla Muhsin Faidh dan Syakh Ahmad Ahsha’i.
Diantara tulisan-tulisan ini, yang paling terkenal adalah Syarh-I Manzumah yang,
bersama asfar karya Mulla Shadra, al-Syifa’ karya Ibn-Sina dan Syarh al-Isyarat Karya al-Din
Thusi, menjadi teks-teks penting tentang Hikmat. Karya ini terdiri dari serangkaian syair
tentang masalah-masalah penting Hikmat yang disusun pada 1239/1823, yang komentar dan
Syarahnya ditulis Beliau sendiri pada tahun 1260/1844. Buku tersebut berisi ringkasan lengkap
tentang Hikmat dalam bentuk yang jelas dan sistematis. Buku ini begitu popular selama ratusan
tahun sehingga semenjak masa penulisanya telah banyak melahirkan komentar atasnya,
termasuk komentar Muhammad Hidaji dan Mirza Mehdi Asytiyani, di samping sarah
Muhammad Taqi Amuli berjudul Durar al-Fawa’id yang merupakan syarah yang paling
komprehensif. Tulisan beliau yang lain, khususnya Asrar al-Hikam, menarik perhatian khusus
karena, seperti dikemukakan beliau sendiri dalam pendahuluan, buku ini
membahas Hikamat yang diambil dari wahyu Islam (Hikmat-I imani) dan bukan sekedar dari
filsafat Yunani (Hikmat-I yunanai). Meskipun komentar atas mustnawi juga sangat penting,
popularitas Haji terutama karyanya Syarh-I Manzumah.

3. Sumber-Sumber Pemikirannya.
Haji Mulla Hadi Sabzavari tidak dapat disebut sebagai pendiri madzhab baru; sebaliknya
dia memperluas dan memperjelas ajaran-ajaran Mulla Shadra tanpa menyimpang dari sifat-sifat
dasar ajaran-ajaran Akhund. Karena itu sumber-sumber tulisan beliau sama dengan sumber-
sumber yang telah diuraikan dalam Studi tentang Mulla Shadra, yaitu ajaran-ajaran gnoistik yang
kebanyakan diambil dari ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi, para imam Syi’ah, teosofi Israqi dan filsafat
paripatetik.
Dalam tulisan-tulisannya, beliau banyak bersandar pada Asfar karya Mulla
Shadra, Qabasat Karya Mir Damad, komentar atas Hikmat al-Isyraq karya Suhrawardi oleh
Quthb al-Din al-Syirazi, Syarh al-Isyarat karya Nashir al-Din Thusi dan Syawariq karya Lahiji.
Secara umum beliau tidak banyak bersandar pada pembacaan terhadap berbagai teks sebanyak
pada meditasi dan perenungan terhadap aspek-aspek metafisika. Sumber utama pengetahuanya
seperti Mulla Shadra, adalah imam batin atau malaikat pembimbingnya beliau tercerahkan
dengan pengetahuan alam ma’qulat (intelligibles). Tentang sumber-sumber formal ajaran-
ajaranya, seseorang pertama-tama harus menyebut Akhund dan, kedua, guru-guru dan murid-
murid Akhund yang sebagian diantaranya telah disebutkan.
4. Filasfat Sabzawari
Filsafat yang dibawa oleh beliau bukanlah filsafat yang tergolong baru dan menjadi
pemikiran dengan mazhab filsafat tersendiri, melainkan beliau hanya menjelaskan dan
mensistemasikan apa yang sudah di bawa oleh Mulla Sadra. Namun dia bukan hanya
membawakan apa yang telah tertulis dari karya-karya Mulla sadra, beliau menjadikan apa yang
dibawa oleh Mulla Sadra menjadi pemikiran yang ringan yang mampu dikaji oleh para pemikir
dijamannya. Karena seperti yang kita ketahui bahwasanya, karya Mulla Sadra tegolong masih
sangat rumit bagi masyarakat umum atau para pelajar yang ingin mengkajinya. Tidak hanya itu,
ada dua hal yang dikritik oleh beliau dari filsafat Mulla Sadra yaitu:

– pertama tentang hakekat pengetahuan yang dalam sebagian tulisanya Akhund


menganggapnya sebagai kualitas jiwa manusia, sedangkan beliau menganggap masuk edalam
esensinya, seperti wujud itu sendiri, yang melampaui katagori-katagori Aristoteles seperti
kualitas, kuantitas dan sebagainya.

– Dan kedua adalah tentang kesatuan yang memikirkan (aqil) dan yang
dipikirkan (ma’qul) yang diterima oleh beliau, tapi megkritik metode untuk menunjukkan
validitasnya.
Selebihnya pemikiran beliau tentang Filsafat atau Hikamah bisa ditemukan dalam tulisan –
tulisan Akhund.

5. Metafisika Sabzawari
Seperti yang kita ketahui bahwasanya Suhrawardi membedaka seseorang pencari
pengetahuan atau kebenaran itu kedalam tiga golongan, yang pertama adalah Mereka yang
memiliki kecakapan nalar diskusif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup
mendalam, yang kedua adalah Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam –
seperti para sufi – tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalaman itu
secara diskusif, dan yang terakhir adalah mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik
yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskusif. Dan
perpaduan yang sempurna antara pengalaman mistis dan pemikiran analitis menjadi jalan yang
ditempuh oleh surahwardi dalam membangun filsafatnya. Ia merumuskanhubungan timbal balik
yang esensial antara pengalaman mistis dan penalaran logis sebagai prinsip paling dasar bagi
mistisisme dan filsafat.

Orang akan melakukan kesalahan besar, tegasnya, jika ia menduga bahwa “seorang
dapat menjadi seorang filosof (secara literal ; anggota dari orang-orang yang memiliki
kebijaksanaan) hanya dengan mengkaji buku-buku, tanpa menempuh jalan kesucian (via
mystica) dan tanpa memiliki pengalaman langsung akan cahaya – cahaya spiritual. Seperti
halnya penempuh (jalan kesucian), yakni sufi yang tidak memiliki daya berpikir analitis
hanyalah sufi yang tidak sempurna, begitu juga peneliti (kebenaran) yakni filosof yang tidak
memiliki pengalaman langsung tentang misteri-misteri pengetahuan hanyalah filosof yang tak
sempuran dan tak berarti.
Gagasan pemikiran Suhrawardi ini memiliki pengaruh penting dalam pembentukan
filsafat Hikmah. Jika Suhrawardi menganggap “eksistensi (wujud) hanyalah konsep, sesuatu
yang hanya mental yang merupakan hasil dari sudut pandang pikiran manusia yang subjektif, dan
tak terkait sekali dengan yang nyata di dunia luar, memiliki perbedaan pandangan dengan Mulla
Sadra dan Sabzawari, yang bagi mereka “eksistensi”, dalam pengertian actus essendi, sebenarnya
adalah realitas. Namun, melalui perenungan, kita menemukan pertentangan itu hanyalah formal
dan superfisual. Itu hanyalah masalah rumusan-rumusan yang berbeda, atau agaknya metode-
metode pengalaman yang berbeda tentang realitas yang sama. Karena Suhrawardi menempatkan,
di tempat “eksistensi”, Cahaya (nur) spiritual dan metafisis sebagai sesuatu yang benar-benar
“nyata”, yaitu realitas yang satu dan tunggal yang mempunyai jumlah tingkatan dan tahapan
yang tak terbatas dan kaitanya dengan intensitas dan kelemahan, tingkat tertinggi adalah sumber
Cahaya (nur al-anwar) dan yang terendah adalah kegelapan (zhulmah).
Dapat di peroleh disini pandangan akhund mengenai kefundamentalan wujud dan gradasi wujud

1. Dalil Isolatul wujud :


 Setiap kuiditas berbeda dari kuiditas yang lain. Dan tidak mungkin terjadi kesatuan wujud
yang hakiki. Seperti; kuiditas pohon berbeda dengan kuiditas hijau, kuiditas air berbeda
dengan kuiditas buah, begitupun kuiditas daun berbeda dengan kuiditas akar, padahal semua
itu tergabung dalam satu realitas wujud yang bernama pohon. Ketidaksamaan ini
mengakibatkan mustahil terjadinya wujud potensial materi sebelum menjadi realitas wujud
di alam eksistensi. Sehingga solusinya adalah, untuk mencapai kesatuan wujud dengan
kuiditas yang beraneka ragam dapat ditempuh dengan menegaskan kehakikian eksistensi
yang merupakan hakikat wujud yang majazi
 Setiap Qua-wujud selalu melahirkan efek, dan sesuatu akan kita anggap memiliki efek
karena eksistensinya nyata atau dapat dirasakan. Karena bagaimana mungkin benda yang
tidak berwujud dapat melahirkan efek. Maka dari itu, “yang asasi adalah eksistensi bukan
kuiditas”
 Kuiditas itu netral dalam hal intensitas dan kelemahan, prioritas dan posterioritas. Artinya,
terlepas dari eksistensi, kuiditas tidak intens dan tidak lemah, tidak prioritas dan tidak
posterioritas. Padahal dalam setrata wujud, setiap realitas memiliki tingkatan yang berbeda
seperti, sensible, berakal, berperasaan, kasar, lunak dan lain sebagainya. Maka jika esistensi
tidak dianggap asasi dan real, maka atribut-atribut (sifat aksidental) itu tidak mungkin
terjadi, karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak memiliki atribut melahirkan realitas-
realitas yang beratribut.
 Para filosof meyakini bahwa Tuhan tidak memiliki mahiyah, karena dia adalah wujud
murni. Dia-lah yang memeberikan wujud terhadap semua selainya. Oleh karena itu, jika
mahiyah yangmemiliki realitas eksternal secara objektif, maka akan kelaziman Tuhan pun
memiliki mahiyah. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa tidak mungkin Tuhan memiliki
mahiyah karena akan meniscayakan keterbatasan.
2. Gradasi wujud
Yang dimakud dengan gradasi wujud adalah sebuah konsep wujud yang walaupun wujud
bersifat uivokal, akan tetapi korespondensinya dengan misdak-misdaknya berbeda-beda. Misdaq
wujud satu dengan yang misdaq qujud lainnya berbeda-beda; ada yang lebih awal, lebih akhir,
lebih kuat, lebih lemah, dan seterusnya.

6. Esensi Dan Eksistensi


Seperti halnya filsafat pada umumnya, filsafat Hikmah adalah filsafat yang mencari
kebenaran dari realita yang ada. filsafat yang membahas wujud sebagaimana wujud. Kita
berpikir bahwa kita ada, maka apa yang kita saksikan juga ada dari itu kita merespon karena kita
menganggap ada. Filsafat secara umum mencoba menjelaskan sesuatu yang nyata.
Filsafat ini ingin mengenali wujud yang bermuara kepada satu wujud. Wujud-wujud ini
memiliki rangkaian sebab yang berakhir kepada sebab pertama (kausaprima). Dan kausaprima
ini adalah Allah SWT. Dan karena itu ujung dan akhir dari semua ini adalah Allah. Maka dari itu
filsafat ini disebut al-Hikmah al-Illahiyah.

Alhikmah al ilahiyah membahas wujud dan semua hal yang berhubungan dengan wujud
maupun maujud. Hikmah al-Ilahiyah itu membahas wujud tanpa kaitan apapun. Contohnya
adalah meja itu ada, dan disini filsafat itu tidak membahas mejanya melainkan membahas
adanya. Maka dari itu filsafat bersifat Universal, yaitu tentang ada yang Universal, bukan
membahas sesuatu yang particular seperti; meja, kursi dll

Pembahasan tentang wujud atau yang biasa kita sebut dengan eksistensi tidak akan
pernah terpisah dengan pembahasan tentang esensi. Kedua pembahasan ini merupakan salah satu
tesis filosofis yang paling mendasar dalam pemikiran Islam, pembedaan itu dapat dikatakan
sebagai langkah awal dalam pemikiran metafisika ontologis di kalangan muslim; ia menjadi
dasar bagi bangunan seluruh struktur metafisika Muslim.
Segala sesuatu mengandung dua lapis prinsip ontologis, masing masing benda yang kita
temui di dunia sebenarnya terdiri dari “esensi”/ “quiditas” dan eksistensi. Segala sesuatu berbeda
dengan yang lain , tidak ada sesuatu didunia ini yang sam dengan yang lainya. Contohnya sebuah
pohon, dia adalah sebuah poho, dia bukan dan tidak dapat menjadi kambing. Namun semua
benda yang berbeda ini memiliki satu kesamaan yaitu mengenai eksistensinya, bahwa benda-
benda itu semua ada. mereka semua sama-sama ada meski memiliki subjek-subjek proposisi
yang berbeda-beda.

Jadi apapun yang ditemukan di dunia, seperti di katakana Sabzawari adalah zawj
tarkibi, atau dualitas yang terdiri dari esensi dan eksistensi, yang pertama adalah sesuatau yang
dengannya setiap benda dibedakan dengan benda yang lain, dan yang kedua adalah factor
dimana semua benda sama-sama dan tanpa kecuali ambil bagian. Kenyataan fundamental tentang
dua factor ontologis inilah yang disebut Sabzawari ketika beliau mengatakan bahwa “eksistensi”
adalah prinsip kesatuan, sedangkan “esensi” hanya menimbulkan debu keberagaman.

Anda mungkin juga menyukai