Anda di halaman 1dari 14

Biografi Ibn al-‘Arabi

A. Kelahiran sampai Wafat.Ibn al-‘Arabi

Ibn al-‘Arabi adalah ahli metafisika dalam islam dan penulis


paling produktif dan mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk
latihan spiritual.1 Tokoh yang dikenal dengan nama Ibn al-‘Arabi
bernama lengkap: Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Abdullah bin Hatim ath-Tha’i. Ath-Tha’i adalah nama kabilah Ibn
al-‘Arabi. Kabila ath-Tha’i dikenal sebagai kabilah intelek sejak era
pra-islam hingga pasca-islam. Abdullah bin Hatim merupakan pendiri
kabilah ath-Tha’i yang dikenal dengan kepahlawanan, loyalitas pada
nilai, dan kecerdasannyadi bidang ilmu pengetahuan.2 lahir di Murcia
Andalusia Tenggara pada 17 Ramadhan pada tahun 560 H, bertepatan
dengan 28 juli 1165 M. Ayahnya (Ali) adalaah pengikut Syekh Abdul
Qadir Jailani. Di usia yang masih anak-anak, Ibn al-‘Arabi belajar
ilmu-ilmu agama dari dua guru wanita yaitu Yasmin dari Marchena dan
Fatimah dari Cordova. Fatimah lah yang mengajarkan Ibn al-‘Arabi
tentang sufisme. Pada saat Dinasti al-Muwahdin menaklukkan Mursia
pada tahun 567 H/1172 M, Ibn al-‘Arabi dan keluarganya pindah ke
Sevilla , tempat ayahnya bekerja pada dinas pemerintahan. Sejak
beruisa 8 tahun , Ibn al-‘Arabi mulai mengikuti pendidikan formal. Di
kota yang berpusat ilmu pengetahuan, di bawah bimbingan sarjana-
sarjana terkemuka ia mempelajari Al-Qur’an tafsirnya serta 7 bacaan
al-Qur’an dengan Muhammad bin Khalaf bin Shafi al-Lakhmi (wafat

1
Yahya Osman, Histoire et Classification de L’oevre D’Ibn al-‘Arabi,
(Damas: Institute Francais de Damas, 1996), 9.
2
Ibn al-‘Arabi, Syajarah al-Kawn, terj. Zainul Maarif (Jakarta: Turos, 2019),
3.
585 H/1189 M) dan belajar di masjid Qaus al-Haniyah di Sevilla,
kemudian belajar hadist dan fikih dengan Ibn Zarqun, al-Hafizh bin al-
Jad, Abu al-Walid al-Hadhrami dan asy-Syaikh Abu al-Hasan bin
Nashar selanjutnya belajar teologi dan filsafat skolastik. Seville adalah
salah satu pusat sufisme yang penting dalam sejumlah guru sufi
terkemuka yang tinggal di sana seperti Yusuf b Khalaf al-Qomi.
Keberhasilan Ibn al-‘Arabi dalam pedidikannya menghantarkannya
kepada kedudukan sebagai sekretaris Gubernur Sevilla.3

Ibn al-‘Arabi pertama kali menjadi Sufi, pada tahun 580 H/


1184 M, pada usia 20 tahun,namun ini bukan pertama kalinya Ibn
al-‘Arabi masuk ke dalam lingkaran Sufi, karena dia telah melakukan
khalwat dan Ibn al-‘Arabi telah menempuh sufi sejak masa remaja,
yaitu sebelum tahun 580 H/1184 M. Perkenalan Ibn al-‘Arabi dengan
tasawuf tidak terlepas dari latar belakang keluarganya, selain ayahnya,
Ibn al-‘Arabi juga memiliki kerabat yang sufi, yaitu Abu Muhammad
Abd Allah b Muhammad al-‘Arabi al- Tha’i (dari pihak ayahnya), Abu
Muslim al-Khalawaini dan Yahya b. Yughan (keduanya dari pihak
ibunya).4 Ibn al-‘Arabi mengunjungi guru spiritual yaitu, Abu I-‘Abbas
al-‘Uryabi mursyid pertama yang di kunjungin Ibn al-‘Arabi di jalan,
Ibn al-‘Arabi dalam menentukan guru sangat berhati-hati. Abu
I-‘Abbas al-‘Uryabi sering disebutkan di bagian-bagian dzikir di dalam
futuhat tetapi Ibn al-‘Arabi tidak menyebut nama gurunya. Pada suatu
saat Ibn al-‘Arabi menemui orang-orang yang berdzikir dengan lafadz

3
Ida Sajidah Konsep Kesempurnaan Diri Menurut Ibn al-‘Arabi dan
Maslow (Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2017), 86.
4
Iskandar Arnel, “The Conpect of the Perfect Man in the Thought of Ibn
al-‘Arabi and Muhammad Iqbal: A Comprative Study” (Tesis S2., McGill University
Montreal, 1997), 5-6.
Allah tanpa menambahkan apa pun dan Ibn al-‘Arabi menyinggung
tentang dzikir yang di praktikkan oleh gurunya, Abu I-‘Abbas
al-‘Uryabi. Saya bertanya kepada guru ku “beberapa orang berdzikir
dengan kata Allah tanpa menambahkan apa pun lalu mengapa anda
tidak menambahkan la ilaha illa Allah?” Abu I-‘Abbas al-‘Uryabi
menjawab kepada ku: “Anakku, nafas ada di tangan Tuhan. Bukan
miliku. Karena itu aku takut jika Dia memanggilku kembali kepada-
Nya pada saat aku mengucapkan la ilah dan mati.” 5 Ibn al-‘Arabi
menikah dengan Maryam binti Muhammad bin Abdun bin
Abdurrahman al-Baja’I, perempuan yang sempurna secara lahir dan
batin, kemudian menetap di Sevilla dan melakukan perjalanan secara
luas ke seluruh Spanyol dan membangun hubungan baru kepada para
sufi terkemuka dan orang-orang terpelajar lainnya. Ia mengunjungi
Cordova, saat masih remaja, dan berkenalan dengan Ibn Ruysd filsuf
yang saat itu menjadi hakim kota.

Pada 590 H/1194 M, ia mengunjungi Fez kota di Maroko.. 6


Disana Ibn al-‘Arabi menulis buku al-Isra’ pada tahun 594 H/1197-98
M. Pada tahun 595 H/1199 ia menghadiri pemakaman Ibn Rusyd di
Cordova,. Pada tahun yang sama ia pindah ke Almeria, tempat ia
menulis Mawaqi’ al-Nujum. Kemudian setelah mengunjungi Marrakesy
, Fez dan Bugia, ia kembali ke Tunis. Dia tinggal bersama temannya,
al-Mahdawi, yang ia kunjungi dulu sekitar 8 tahun yang lalu. Selama
disana ia menyesaikan karyanya yaitu, Insya al- Dawa’ir. Ketika situasi

5
Claude Addas, Quest for the Red Sulphur the Life of Ibn al-‘Arabi
(Cambridge, The Islamic Texts Society Golden Palm Series, 1993), 50.
6
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of
Other Disciplines and The Modern Renaissaince in Muslim Lands, (:
Kempten :Heimatverlag Gmbh, 1963, Germany) Volume I, 399.
religio-politis yang tidak baik bagi dirinya, Ibn al‘Arabi meninggalkan
negri kelahiranya Andalusia dan Afrika Utara. Di Afrika Utara, para
penguasa Muhawiddun mengancam para sufi karena mereka dicurigai
menggerakkan tarekat-tarekat untuk mengadakan perlawanan terhadap
pemerintahan pada saat itu.7

Seandainya Ibn al-‘Arabi tetap di Spanyol mungkin ia akan


megalami nasib yang sama dengan Ibn Barrajan dan Ibn al-‘Arif , yang
diracun oleh Gubernur Afrika Utara, Ali Ibn Yusuf, setelah dikurung di
penjara selama beberapa tahun, atau seperti Ibn Qasi yang dibunuh
pada 546 H/1151 M. karena pada saat itu pemikiran baru seperti
tasawuf dianggap sesat dan tidak diberikan ruang untuk berkembang
dikarenakan para ulama kalam dan fiqh yang kaku dan fanatik. 8 Setelah
menghabiskan lebih banyak waktu di Tunis dengan Mahdawi, Ibn
al-‘Arabi akhirnya meninggalkan kediamannya dan menuju Mekkah.
Saat perjalanan itu Ibn al-’Arabi berziarah makam Nabi Ibarahim di
Hebron dan Kubah Batu di Yerusalem, sebelum melewati Madinah.
Selama berada di Mekkah Ibn al-‘Arabi menulis sebuah karya yakni
Futuhat al-Makkiyya. Dia juga menulis Ruh al-Quds, pada tahun 600
H/1203 M, untuk membela para Sufi Andalusia, yang teruntuk
Mahdawi. Di Mekkah juga dia bertemu Nizam yang indah, Putri
penjaga tempat suci Ibrahim, yang menjadi inspirasi bagi buku puisinya
yang terkenal, Tarjuman al-Ashwaq.9

7
Mukhlisin Sa’ad, Etika Sufi Ibn al-‘Arabi, (Probolinggo: CV Mandiri,
2019), 51.
8
Mukhlisin Sa’ad, Etika Sufi Ibn al-‘Arabi, 52.
9
Muhyiddin Ibn al-srar al-Qudsiyya wa Matali’ al-Anwar al-Ilahiyya, terj.
Cecilia Twinch dan Pablo Beneito, (Oxford: Anqa Publishing 2001), 9-10.
Pada tahun 601 H/1204 M, Ibn al-‘Arabi meninggalkan
Mekkah dan melakukan perjalanan ke Baghdad di mana dia tinggal
hanya 12 hari sebelum pergi ke Mosul di Irak dan menghabiskan
beberapa waktu untuk belajar. Saat dia berada di Mosul dia bertemu
‘Abdallah b. Jami’. Dia adalah Ali b. ‘Abdullah b. Jami’, seorang
sahabat ‘Ali al-Mutawakkil dan Abu ‘Abdallali Qadib al-Ban, yang
tinggal di luar Mosul. Selama tinggal, dia juga menyusun al-Tanazzulat
al-Mawsilyyah. Kemudian pada tahun 603 H/1206 M, Ibn al-‘Arabi
pergi ke Kairo dan menghabiskan waktunya dengan kelompok-
kelompok sufi di antaranya al-Khayyat dan al-Mawruri. Tetapi orang-
orang Mesir mengkritik dan berusaha membunuhnya tetapi Syekh Abu
al-Hasan dari Bugia dating menyelamatkan Ibn al-‘Arabi. Karena
merasa tertekan, Ibn al-‘Arabi meninggalkan Mesir pada tahun 604
H/1207 M dan kembali ke Mekkah untuk melanjutkan belajar hadits
dan ia tinggal di Mekkah lebih dari setahun dan kemudian berjalan ke
utara menuju Asia kecil. Dalam perjalanan dia berhenti di Aleppo dan
ia memberikan salinan kitab al-tajalliyyat-nya.10

Pada tahun 607 H/1210 M, Ibn al-‘Arabi sampai di Konya


setelah 12 bulan atau lebih melakukan perjalanan darat dari Alepo ke
Asia Kecil. Ibn al-‘Arabi pada saat itu sangat terkenal reputasinya,
sehingga ia diterima dengan sangat hormat dan murah hati oleh
penguasa Konya. Ibn al-‘Arabi diberikan rumah yang sangat mewah
oleh penguasa Konya yakni Kay Kaus, tetapi Ibn al-‘Arabi memberikan
rumah tersebut kepada pengemis sebagai bentuk sedekah. Dalam waktu
singkat orang-orang dan para Sufi di Konya sangat senang hadirnya Ibn

10
R. W. J. Austin, Sufis of Andalusia The Ruh al-quds and al-Durrat al-
fakhirah of Ibn al-‘Arabi, (New York: Routledge, 2008), Cet. I, 39-40.
al-‘Arabi di tempat mereka. Setelah tinggal cukup lama, Ibn al-‘Arabi
melanjutkan perjalanan ke utara melalui Kayseri dan Sivas menuju
Armenia, kembali ke selatan melalui Harran, untuk tiba di Baghdad
sekali pada tahun 608 H/1211 M. Dalam perjalanannya di wilayah utara
Ibn al-‘Arabi menceritakan bahwa dia melihat sungai Efrat membeku
sehingga seluruh caravan dapat dilintasi. Di Baghdad dia mengadakan
pertemuan singkat sekitar satu jam dengan penulis terkenal Ilmu
Pengetahuan Mistik (Anwarif al-m’aarif, “Umar al-Suhrawardi, yang
akhirnya Ibn al-‘Arabi di gambarkan sebagai lautan kebenaran ilahi),
dan Ibn al-‘Arabi menggambarkan Suhrawardi sebagai orang yang
penuh Sunnah.11

Pada tahun 611 H/1214 M, Ibn al-‘Arabi hendak kembali ke


Mekkah, tapi mendapatkan sambutan kurang baik dari para fukaha’
Mekkah sehingga mengurungkan niatnya menetap di Mekkah. Meski
demikian, Ibn al-‘Arabi sempat menulis syarah atas buku Tarjuman al-
Asywaq yang dianggap kontraversial. Syarah tersebut diberi judul
Dzakhair al-A’laq Syarah Tarjuman al-Aswaq. Memasuki masa senja,
Ibn al-‘Arabi berupaya mencari tempat yang nyaman untuk
menghabiskan sisa hidup. Tempat tersebut adalah Damaskus . Ibn
al-‘Arabi mulai menetap di Damaskus tahun 620 H/1223 M, saat
berumur 60 tahun. Selama di Damaskus Ibn al-‘Arabi menyelesaikan
beberapa kitab: Futuhat al-Makkiyah, Fushush al-Hikam 627 H/1230
M, Diwan 628 H/1231 M, Washaya Yusufiyyah, Mafatih al-Ghaib,
Syajarah al-Kawn, dan Tafsir Asy-Syekh al-Akbar. Ketika menulis
tafsir al-Qur’an yang berjudul al-jam’u wa at-Tafshil fi Asrar Ma’ani

11
R. W. J. Austin, Ibn al-‘Arabi The Bezels of Wisdom (America: Paulist
Press, 1980), 9-10.
at-Tanzil, yang tebal 60 jilid, tepatnya di ayat ke 65 surat al-Kahfi yang
berbunyi “wa ‘allamahu min ladunna ilman” (Kami mengajarinya ilmu
dari Kami), Ibn al-‘Arabi menghembuskan nafas terakhirnya. Waktu
itu, malam Jum’at, tanggal 28 Rabiuts Tsani 638 H/16 November 1240
M. tempatnya di rumah Qadli Muhyiddin bin Az-Zanki, di Damaskus.
Jenazah Ibn al-‘Arabi di makam keluarga Qadli Muhyiddin bin Az-
Zanki di Bukit Qasiyun, di Damaskus, Suriah.12

B. Ajaran Sentral Ibn al-‘Arabi

Berbicara konsep-konsep mistik tentu Ibn al-‘Arabi adalah


ahlinya, hampir semua seluruh karyanya ditulis dalam simbol-simbol
dan kaya metafora. Karya-karya Ibn al-‘Arabi, hanya dapat dipahami
oleh orang-orang yang sepaham atas pemikiran tasawufnya. Hal ini
disebabkan karna pengalaman mistis itu sangat rumit untuk
diungkapkan, apalagi yang berhubungan objek sentral Sang Pencipta.
Kemudian pengungkapan penglaman mistik yang ditulis para sufi
menjadi lebih sulit dipahami dan lebih-lebih gaya tulisan mereka
bercampur dengan corak-corak filsafat, yang untuk memahami ini juga
membutuhkan kecermatan tersendiri, Seperti konsep Wahdat al-
Wujud.13

Wahdat al-Wujud dianggap sebagai konsep yang diciptakan


oleh Ibn al-‘Arabi. Namun beberapa tokoh yang mempelajari wahdat
al-wujud menyatakan bahwa istilah wahdat al-wujud tidak pernah
digunakan oleh Ibn al-‘Arabi , tetapi karena gagasan tentang wahdat al-
wujud tertulis dalam keterangan karyanya, seperti, “Eksistensi tidak
12
Ibn al-‘Arabi, Syajarah al-Kawn, terj. Zainul Maarif, 20.
13
Abdullah Mahmud, “Filsafat Mistik Ibn al-‘Arabi Tentang Kesatuan
Wujud”, Suhuf, Vol.24, No.2 (November 2012): 92.
lain adalah al-Haqq karena tidak ada yang berwujud selain Dia”.14 Yang
pertama sekali menggunakan kata wahdat al-wujud adalah Ibn
Taimiyah sebagai kritik, isitilah ini ada pada akhir abad ke 7 H dan
awal abad ke 8 H. Ibn al-‘Arabi banyak membahas teori metafisika
untuk mengungkapkan Tuhan adalah wujud Mutlak (Dia adalah wujud
al-Haqq).15 Istilah wujud biasanya diterjamahkan sebagai “keberadaan”,
“eksistensi” pada dasarnya berarti “menemukan”, “ditemukan”. Biasa
di ujung jalan raya hanya ada Tuhan yang ada “ditemukan.” Maka
wahdat al-wujud bukan hanya kesatuan keberadaan tetapi juga kesatuan
eksistensial dan terkadang menjadi sinonim sbuhud “perenungan”,
“penyaksian” sehingga wahdat al-wujud dan wahdat sbuhud akan
menjadi perbincangan yang menarik.16

Wahdat al-wujud berarti kesatuan Wujud, unity of existence.


Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul. Dalam paham wahdat al-
wujud, nasut ada dalam hulul diubah oleh Ibn al-‘Arabi menjadi khalq
(makhluk) dan lahut (Tuhan). Khalq (makhluk) dan haq (Tuhan) adalah
dua aspek tiap sesuatu. Dalam paham ini setiap makhluk mempunyai
sifat-sifat ketuhanan dan kemakhlukan. Paham ini muncul dari paham
hulul bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh
karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam merupakan cermin bagi
Allah . Di kala Ia ingin melihat diri-Nya. Dari sini timbul paham
kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya

14
Muhammad Anang Firdaus, “Wahdat al-Syuhud: Ahmad Sirhindi’s
Criticism on The Concept of Wahdat al-Wujud Ibn al-‘Arabi”, Milati, Vol 6, No. 2
(Desember 2012): 221.
15
A.E.Affifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn‘Arabi (London:
Cambridge At The University Press, 1939), 1.
16
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (America: The
University of North Carolina Press Chapel Hill, 1973), 267.
itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagaimana orang yang melihat dirinya
dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.17

Ungkapan tentang wujud juga telah ada sebelum Ibn al-‘Arabi,


yakni Ma’ruf al-Karkhi (w.200/815) seorang sufi terkenal di Baghdad
yang dianggap pertama kali mengungkapkan syahdat dengan kata-kata
“Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah.”, ada Abul Abbas
Qassab (4 H) menggunakan istilah wujud yakni “tidak ada sesuatu pun
dalam dunia kecuali Allah. Segala sesuatu yang ada (maujudat) segala
sesuatu selain Wujud-Nya, adalah tiada (ma’dim).” Khawaja Abadallah
Ansari (1006 M-1088M) yang banyak menginspirasi penulis-penulis
selanjutnya, ia mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu selain Dia yang
Esa”.(lasya ghayrahu ahad). Kemudian ada al-Ghazali (1058 M-1111
M) istilah wujud sering digunakan dalam penjelasan makna tauhid.
Dalam Miyskat al-Anwar al-Ghazali menjelaskan bahwa “buah dari
pendakian spiritual adalah mereka melihat melalui kesaksian langsung
bahwa tiada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan dan semua akan
binasa kecuali Wajah-Nya.”18

Wahdat al-wujud sendiri baru ditemukan pada karya murid


utamanya Syaikh Qunawi, karenanya sebagian besar menyebutkan
bahwa Qunawilah yang memperkenalkan ajaran Ibn al-‘Arabi dengan
sebutan wahdat al-wujud. Pandangan wahdat al-wujud merupakan
pandangan wujud atau eksistensi yang hakiki hanyalah satu, hal ini
didasari argument bahwa Wujud tidaklah terbatas dan dibatasi oleh
17
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime Dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 75-76.
18
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan
(Jakarta: Paramadina, 1995), 37.
apapun, makna wujud hanyalah satu karena tidak mungkin memberikan
lebih dari satu makna. Wujud adalah adam atau Ketiadaan, sedangkan
ketiadaan hakikatnya adalah ketiadaan itu sendiri. Wujud itu adalah
yang menampakkan bentuk yang bermanifestasi dari dirinya (Wujud),
seperti halnya cahaya yang memancar, hakikat cahaya hanyalah satu
mekipun memancarkan warna yang benderang dengan kualitas yang
berbeda atau seperti wajah yang tampil di cermin yang banyak bahwa
secara hakikat wajah tersebut satu namun termanifestasi secara plural.19

Ibn al-‘Arabi mengungkapkan tentang wujud dengan


pandangannya yakni: “Dan eksistensi yang hakiki hanyalah Allah
semata dari segi zat dan realitas-Nya”. Ada beberapa argument untuk
membuktikan tentang wahdat al-wujud dan salah satunya yakni ittihad
al-‘Aqil wa al-Maqul menjadi salah satu sandaran argument wahdat al-
wujud. Jika itu terjadi proses pencerapan di antara keduanya terhadap
yang lain pastilah terjadi kesatuan eksistensial di antara keduanya
eksistensi niscaya dan eksistensi mumkin. Dari sini didapatilah bukti
wahdat al-wujud juga dibangun dari konsep ittihad al-‘Aqil wa al-
Maqul.20

C. .Karya-karya Ibn al-‘Arabi

Diwan Tarjuman al-Asywaq buku yang membahas puisi-puisi


yang banyak menggunakan simbol-simbol dan buku ini banyak

19
Kholid Al Walid, Filsafat Tasawuf Buku Daras (Bandung: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LP2M, 2020), 27-28.
20
Kholid Al Walid, Tasawuf Mulla Shadra Konsep ittihad al-‘Aqil wa al-
Maqul dalam Epistemologi Filsafat Islam dan Makrifat Ilahiyah (Bandung:
Muthahhari Press), 179-180.
menimbulkan kontraversi.21 Karya ini banyak prosa-prosa mistik yang
sangat menarik untuk dibahas, buku ini ditulis oleh Ibn al-‘Arabi,
dalam karyanya ini dia membahas 3 wanita yakni, Fakhr Nisa, Qurrah
al’Ain dan Sayyidah Nizam.22 Buku Diwan Tarjuman al-Asywaq terdiri
dari 38 halaman dan 604 bait dan terdiri dari berbagai varian nada dasar
dalam syair arab yang dikenal dengan ilmu arudh. Karya ini sangat
ditentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menganggap bahwa karya
ini adalah bentuk persembunyian cinta sensualnya kepada wanita
dibawah ajaran tasawuf demi melestarikan kesalehannya. Namun
hakikatnya nuansa kecintaan dan kerinduan yang ada di dalam buku
Diwan Tarjuman al-Asywaq tidak tertuju kepada seorang wanita secara
personal melainkan bentuk pujian terhadap pencipta perempuan.23

Ruh al-Quds buku ini berupa surat yang ditunjukkan kepada


sahabat lamanya Abu Muhammad ‘Abd al’Aziz b. Abu Bakar al-
Qusrahi al-Mahdawi yang tinggal di Tunis karya ini disusun di Mekkah
pada tahun 600 H/ 1203-4 M. yang membahas tentang banyaknya
penyelewengan yang buruk dalam praktik tasawuf. Kemudian
membahas tentang kehidupan dan ajaran sekitar 55 sufi yang telah
mengajarinya atau kepada siapa saja bertemu. Tujuan karyanya ini
adalah menunjukkan bahwa, meskipun banyak penyelewengan dalam
praktik tasawuf tetapi masih ada sufi dengan pencapaian spiritual yang
tinggi di dunia islam. Selanjutnya buku ini membahas kesulitan dan

21
Mir’atun Hasanah, “Mistisisme Perempuan dalam Diwan Tarjuman al-
Asywaq Karya Ibn al-‘Arabi”. Adabiyah, Vol. 18, no.1 (2018): 83.
22
Reynold Nicholson, The Tarjuman al-Aswaq A Collection of Mystical
Odes (London: Cambidge University), 1.
23
Umratul Baroroh, “Diwan Tarjuman al-Asywaq dan Apresiasi Ibn
al-‘Arabi Pada Perempuan”. Jurnal Islamic Riview, vol. 2, no.3 (3 Desember 2013
M): 164-165.
hambatan yang akan dilalui di jalan spiritual, digambarkan dengan
deskripsi dari pengalaman penulis sendiri. Karya ini sangat penting
yang banyak membahas kehidupan awal dan perkembangan
spiritualnya.24

Al-Fanal fi al-Musyahadah adalah salah satu dari banyak


risalah pendek Ibn al-‘Arabi yang membahas tema-tema dalam Futuhat
al-Makkiyyah. Topik utama seperti judulnya yakni jalan utama
penyingkapan mistik yang mengarah kepada Tuhan, tetapi mungkin
tampak seperti jawaban terhadap serangan teolog dan ahli fiqh, dan
buku ini memberikan nasihat bagi mereka yang di jalan untuk
menjalani perjalana spiritual dan renungan yakni makna batiniyyah.25

Fushush al-Hikam ditandai oleh beberapa karakteristik, karya


ini memiliki karakteristik eksoterik yang hamper tidak mungkin
dipahami kecuali oleh Ibn al-‘Arabi26, kitab ini terdiri dari dua kata:
Fushush dan al-Hikam, Fushush adalah bentuk plural dari fashsh, yang
berarti “tatakan pada cincin yang berfungsi sebagai tempat batu
permata”, atau, singkatnya, “tatakan batu pertama.” Al-Hikam adalah
bentuk plural dari hikmah, yang berarti “kebijaksanaan.” Fushush al-
Hikam berarti “Tatakan Batu Permata Kebijaksanaan.”27 Fushush al-
Hikam terdiri dari 27 bab mengenai ilmu kenabian, yang diilhami oleh
Nabi. Setiap bab membahas tentang kodrat kemanusiaan dan rohaniah
seorang nabi tertentu; kodrat ini digunakan sebagai wahana segi
24
R. W. J. Austin, Sufis of Andalusia The Ruh al-quds and al-Durrat al-
fakhirah of Ibn al-‘Arabi, 17-18.
25
Layla Shamash dan Stephen Hirtenstein, “Kitab al-Fana al-Mushadadah by
Ibn al-‘Arabi”. The Muhyiddin Ibn Arabi Society, Vol.9 (1991)
26
Kautsar Azhari Noer, Warisang Agung Tasawuf (Jakarta: Sadra Press,
2015), 389.
27
Kautsar Azhari Noer, Warisang Agung Tasawuf, 401.
tertentu dari ilmu pengetahuan ilah yang diwahyukan kepada nabi
tertentu. Buku ini sangat sulit untuk diterjemahkan ke bahasa Barat,
gayanya begitu ringkas, sedikit kata dengan banyak makna, sehingga
indah dibaca dalam bahasa aslinya.28

Al-Futuhat al-Makkiyah sebuah karya yang Ibn al-‘Arabi tulis 2


tahun sebelum kematiannya. Al-Futuhat al-Makkiyah telah mewakili
pemikiran Ibn al-‘Arabi secara lengkap dan komprehensif. Karyanya
ini tidak pernah diabaikan dalam tasawuf faktanya banyak refrensi yang
diambil dari karyanya tersebut.29 Al-Futuhat al-Makkiyah juga sering
disebut rahasia logika yang tersusun dalam karya futuhat yang
didalamnya penuh kekaguman “sebagai karya terbesar yang pernah
disusun dan paling luas cakupannya tentang sufisme” (a’zam al-kutub
al-musannafah fi baza al-‘ilm wa ajallahu ihbatan wa was’an).30 Al-
Futuhat al-Makkiyah adalah ensiklopedia luas ilmu-ilmu Islam dalam
konteks tauhid, pengakuan Keesaan Tuhan yang membentuk Islam.
Buku ini mencakup 506 bab, beberapa diantaranya membahas secara
rinci al-Qur’an, Hadits, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi,
hukum-hukum syariat yang terperinci, prinsip-prinsip hukum melalui
peradilan, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan
dan dunia, struktur alam semesta, susunan manusia, berbagai jenis
manusia, tahap pendakian menuju Tuhan, tingkatan dan jens-jenis

28
Annemarie Schimmel, Mystical Demensions of Islam, 265.
29
Michel Chodkiewicz, “The Futuhat Makkiyya and Its Commentators:
Some Unresolved Enigmas”. The Muhyiddin Ibn Arabi Society, (1999)
30
Michel Chodkiewicz, The Futuhat Makkiyya and its Commentators: Some
Unresolved Enigmas, dalam buku yang berjudul, The Heritage of Sufism The Legacy
of Medival Persian Sufism 1150-1500 Volume II, (Oxford: Oneworld Publications),
222.
malaikat, sifat jin, waktu dan peran politik, dunia, kematian dan
kebangkitan serta surga dan neraka.31

31
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge, (New York: State
Universty of New York Press: 1989), xi.

Anda mungkin juga menyukai