Anda di halaman 1dari 14

Madzahibut Tafsir Nama : Sopia Azizah

Dosen Pengampu : Dr. Norhidayat, S. Ag, MA Nim : 200103020024

Kel :2

Kelas : IAT 20 B

Pengertian Tafsir dan Tabi’in

Tafsir secara terminologi adalah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan pengambilan makna serta hikmah-hikmahnya.
Sebagian ahli tafsir juga ada yang mendefinisikan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
tentang Al-Qur‟an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia. Sedangkan Tabi‟in adalah orang yang bertemu atau berjumpa dengan sahabat Nabi
Saw., dalam keadaan ia beriman kepada Nabi meskipun tidak melihat Beliau dan ia mati di atas
keislamannya.

Para Mufassir dari Kalangan Tabi’in

1. Ahli Tafsir dari Golongan Mekkah


a. Mujahid
Beliau adalah Mujahid bin Jabr al-Makky, Mawla as-Sa`ib bin Abi as-Sa`ib al-
Makhzumy, lahir pada tahun 21 H. Beliau mentransfer tafsir Al-Qur‟an dari Ibn
„Abbas ra., Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah
menyodorkan Mushaf kepada Ibn „Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya
hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan
tentangnya kepadanya.” Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang
kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.” Asy-Syafi‟i dan al-
Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya
di dalam kitab Shahih-nya. Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat
bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.” Beliau wafat pada
tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun.
b. Atha bin Aby Rabbah
Beliau dilahirkan pada tahun 27 H dan wafat pada tahun 114 H. Ia hidup di
Mekkah sebagai ahli fatwa dan ahli hadis bagi penduduknya. Ia seorang Tabi‟in yang
tergolong tokoh-tokoh ahli fiqh. Ia sangat percaya dan mantap kepada riwayat Ibnu
Abbas. Imam besar Abu Hanifah An-Nu‟man berkata : “Aku belum pernah jumpa
dengan seorang yang lebih utama daripada Imam Atha bin Aby Rabbah.” Qatadah
mengatakan: “Tabi‟in yang paling pandai itu ada empat, yaitu : Atha bin Aby Rabbah
seorang yang paling pandai tentang manasik, Sa‟id bin Jubair orang yang paling
pandai tentang tafsir dan seterusnya”, Ia meninggal dunia di kota Mekkah dan
dikebumikan juga di kota itu dalam usia 47 tahun.
c. Ikrimah Maula Ibnu Abbas
Beliau lahir pada tahun 25 H dan wafat pada tahun 105 H. Imam Syafi'i pernah
mengatakan tentang dia, “Tidak ada seorang pun yang lebih pintar perihal Kitabullah
daripada Ikrimah”, ia adalah maula (hamba) Ibnu Abbas ra., ia menerima ilmunya
langsung dari Ibnu Abbas, begitu juga Al-Qur'an dan Sunnah. Tentang otobiografinya
dalam kitab Al-I‟lam disebutkan sebagai berikut, “Ikrimah bin Abdullah Al-Barbary
Al-Madany, Abu Abdillah seorang hamba Abdul1ah bin Abbas, adalah Tabi‟in yang
paling pandai tentang tafsir dan kisah-kisah peperangan, ia sering merantau ke
negara-negara luar. Diantara tiga ratus orang yang meriwayatkan tafsir daripadanya
tujuh puluh lebih adalah golongan tabi‟in. Ia pernah juga ke Maghrib untuk
mengambil ilmu dari penduduknya kemudian ia kembali ke Madinah Al-
Munawwarah. Setelah ia kembali di Madinah ia dicari Amirnya, tetapi ia menghilang
sampai mati. Kewafatannya di kota Madinah bersamaan dengan kewafatan seorang
penyair tenar Kutsayyir Azzah dalam hari yang sama, sehingga dikatakan orang,
“Seorang ilmiawan dan seorang penyair meninggal dunia.”
d. Thawus bin Kaisan Al-Yamany
Beliau lahir pada tahun 33 H dan wafat pada tahun 106 H, ia terkenal sebagai
penafsir Al-Qur‟an. Kemahirannya menunjukkan tentang hafalan, kecerdasan, dan
ketakwaannya serta jauh dari keduniawian, dan ahli islah, ia menjumpai sekitar lima
puluh orang sahabat. Banyak orang-orang yang menerima ilmu pengetahuan
daripadanya, ia seorang ahli ibadah serta tidak terpengaruh pada dunia. Dituturkan
orang ia menunaikan ibadah haji di tanah haram sebanyak empat puluh kali. Kalau ia
berdo‟a selalu dikabul, sehingga Ibnu Abbas pernah berkata, “Aku menduga Thawus
adalah ahli surga.”
2. Ahli Tafsir dari Golongan Madinah
a. Zaid bin Aslam
Nama lengkap beliau adalah Zaid bin Aslam al-Qarasyi al-„Adwi. Nama
kuniyahnya adalah Abu Usamah. Beliau budak dari Umar Abu Abdullah. Beliau
merupakan thabaqat yang ketiga yakni golongan pertengahan tabi‟in. Abu Ja‟far
berkata beliau wafat pada tahun 136 H pada bulan Dzulhijjah. Beliau seorang ahli
fiqh. Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya (Aslam), Ibnu Umar, Abi Hurairah,
Aisyah, Jabir, Rabi‟ah bin „Ibad al-Dili, Salamah bin al-Akwa, Basir bin Sa‟id,Anas
bin Malik, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Aslam (saudaranya), Abdullah bin Umar
bin Khattab, Abdullah bin Abi Qatadah, Atha‟ bin Yasir, Ali bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib, dll. Dan yang meriwayatkan darinya yakni ketiga anaknya (Usamah,
Abdullah, Abdurrahman), Malik, Ibnu „Ajlan, Ibnu Jarij, Sulaiman bin Bilal,
Muhammad bin Ja‟far bin Abi Katsir, Ma‟mar, Hasyim bin Sa‟id. Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal, Abu Zur‟ah, Abu Hatim, Muhammad bin Sa‟ad, dan An-Nasa‟i,
mereka berkata beliau tsiqah. Ya‟qub bin Syaibah berkata beliau tsiqah, ahli fiqh dan
ilmu. Yahya bin
Ma‟in berkata beliau shaduq. Al-„Ajali berkata beliau orang Kuffah tsiqah.
b. Abu al-Aliyah
Rufai bin Mihraan yang dijuluki Abu al-Aliyah termasuk ulama di antara ulama
kaum muslimin, tokoh di antara tokoh-tokoh penghafal Al-Qur‟an dan muhadditsin
(ahli hadis). Beliau termasuk tabi‟in yang paling tahu tentang Kitabullah, paling
paham terhadap hadis Rasulullah Saw., paling banyak kadar pemahamannya terhadap
Al-Qur‟an al-Aziz dan paling mendalami maksud dan rahasia yang terkandung di
dalamnya. Sejarah hidupnya penuh dengan sikap teladan dan kemuliaan, melimpah
dengan nasihat dan pelajaran yang berharga. Rufai bin Mihraan lahir dan tumbuh di
Persia, Ketika kaum muslimin masuk ke negeri Persia untuk mengeluarkan
penduduknya dari kegelapan menuju cahaya. Rufai termasuk salah satu pemuda yang
jatuh ke tangan kaum muslimin yang penyayang. Kemudian beberapa saat dia dan
juga yang lain memperhatikan keluhuran Islam, lalu membandingkan dengan apa
yang mereka anut sebagai penyembah berhala, akhirnya mereka masuk ke dalam
agama Allah dengan berbondong-bondong.
c. Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazhy
Beliau adalah Muhammad bin Ka‟ab bin Salim Al-Quradhi Al-Madani. Beliau
dinisbatkan kepada suku Quraidhah sebuah suku yang terkenal dari Yahudi. Ahli
sejarah memasukan beliau ke dalam tingkatan kedua dari tabi‟in. Beliau tinggal di
Kufah, kemudian berpindah ke Madinah. Beliau adalah seorang yang terpercaya,
yang banyak hafalan haditsnya, dan seorang yang wara‟. Beliau wafat pada tahun 108
H, adapun tentang sebab wafatnya beliau maka Adz-Dzahabi berkata di dalam
kitabnya, “Muhammad bin Ka‟ab mempunyai majelis ahli tafsir, yang mana mereka
berkumpul di masjid Ar-badzah, kemudian terjadi gempa maka runtuhlah masjid itu
dan menimpa mereka semua, dan mereka meninggal di bawah reruntuhan tersebut.”
3. Ahli Tafsir dari Golongan Kuffah
a. Qatadah
Beliau adalah Qatadah bin Di‟amah as-Sadusy al-Bashary, terlahir dalam keadaan
buta pada tahun 61 H. Beliau giat menuntut ilmu dan memiliki hafalan yang kuat.
Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara
panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya
tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang
kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang
yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan „ada yang seperti dia‟ maka ini
bisa saja terjadi.” Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling
hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidaklah ia mendengarkan sesuatu melainkan
langsung hafal.” Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H
dalam usia 56 tahun.
b. Al-Qamah bin Qais
Beliau adalah Abu Syibil Al-qamah bin Qais bin Abdullah An-Nakha‟I Al-Kufi.
Dia adalah paman dari Al-Aswad bin Yazid, saudara Abdurrahman, paman dari ahli
fiqh dari Irak, Ibrahim An-Nakha‟i. Dia dikenal sebagai ahli fiqh, ulama, qari‟ Kufah,
imam yang hafizh, dermawan, mujtahid dan terpandang. Al-Qamah dilahirkan pada
masa kerasulan Muhammad Saw., dan termasuk seorang Mukhadhram. Lalu dia
pindah dari Kufah untuk mencari ilmu dan berjihad. Setelah itu ia menetap di Kufah,
berguru kepada Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu, sehingga dia menguasai ilmu dan
amal sampai para ulama belajar fiqh darinya dan ia pun menjadi tokoh terkenal. Dia
belajar Al-Qur‟an dari Ibnu Mas‟ud ra. Selain itu banyak para imam yang belajar
darinya, diantaranya Ibrahim dan Asy-Sya‟bi. Dia di tawari untuk menjadi imam dan
mufti setelah Ali dan Ibnu Mas‟ud. Dia juga disejajarkan dengan Ibnu Mas‟ud dalam
memberikan petunjuk, bimbingan, penjelasan, dan kepribadiannya. Murid-muridnya
dan beberapa orang sahabat sering bertanya kepadanya dan belajar fiqh darinya.
Beliau meninggal dunia pada tahun 62 H.
c. Asy-Sya‟bi
Amir bin Syurahbil atau yang lebih dikenal dengan Asy Sya‟bi, merupakan
seorang ulama tabi‟in yang terkemuka, seorang imam ilmu, penghapal hadits, dan ahli
dalam bidang fiqh. Ia meriwayatkan hadits dari Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah,
Ibnu abbas, Aisyah, Ibnu Umar dan lain lainnya. Ia mengendalikan pengadilan Kufah
beberapa lama masanya, fatwa fatwanya telah berkembang di masa sahabat sendiri,
hal ini menunjukan bahwasanya beliau mempunyai ilmu yang luas dalam bidang
hadits dan fiqh. Para ulama sepakat bahwa asy-Sya‟bi adalah seorang imam dan
seorang yang tsiqah dan semua ulama memujinya karena keluasan ilmu dan
keutamaannya. Amir bin Syurahbil asy-Sya‟bi lahir dari keluarga muslim, enam
tahun setelah masa khilafah al-Farruq radhiyallahu „anhu. Tubuhnya begitu kurus dan
mungil. Karena saudara kembarnya lebih banyak mendapatkan jatah di Rahim ibunya
sehingga dia tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan tubuhnya. Namun,
kelak tak ada yang mampu menyamainya baik saudara kembarnya maupun orang lain
dalam hal ilmu. Dialah Amir bin Syurahbil al-Humairi yang lebih dikenal dengan
panggilan asy-Sya‟bi, seorang tokoh muslimin pada zamannya. Beliau lahir dan
dibesarkan di kota Kufah pada pemirintahan Khalifah Umar bin Khaththab yaitu pada
tahun 17 H. Dalam mencari ilmu beliau sering mondar-mandir ke kota Madinah al-
Munawarah dari para sahabat Rasulullah, sebagaimana para sahabat juga sering
bepergian ke Kufah yang menjadi pangkalan untuk jihad fii sabilillah maupun tempat
untuk bermukim. Beliau mendapat kesempatan untuk bertemu sebanyak kurang lebih
500 sahabat yang mulia. Beliau meriwayatkan dari sahabat-sahabat utama seperti Ali
bin Abi Thalib, Sa‟ad bin Abi Waqash, Zaid bin Tsabit, Ubadah bin Shamit, Abu
Musa al-Asy‟ari, Abu Sa‟id al-Khudri, Nu‟man bin Basyir, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas, Adi bin Hatim, Abu Hurairah, Ummul Mukminin Aisyah ra.,
dan lain-lain. Asy-Sya‟bi dikenal sebagai pemuda yang cerdas, lembut hatinya, tajam
analisanya, bagus pemahamannya dan kuat daya hafal dan ingatannya diriwayatkan
bahwa dia berkata, “Tiada aku menulis di lembaran putih atau aku dengan hadis dari
seorang melainkan aku mampu menghafalnya, dan tiada pernah aku mendengar
perkataan dari orang melainkan aku tak ingin dia mengulangi ucapannya.” Usia asy-
Sya‟bi mencapai lebih dari 80 tahun, Ia wafat pada tahun 104 H. Ketika berita tentang
wafatnya sampai kepada Hasan al-Bashri, ulama Bashrah, beliau berkata, “Semoga
Allah merahmati beliau, sungguh beliau memiliki ilmu yang luas, lapang dada, dan
memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam.”

Perkembangan Tafsir Tabi’in

Setelah berakhirnya masa tafsir sahabat yang ditandai dengan wafatnya tokoh-tokoh
mufassir sahabat yang dulunya juga merupakan guru tabi‟in hingga kemudian dilanjutkan
dengan tafsir pada masa tabi‟in. Penafsiran yang dibawakan Nabi Muhammad Saw dan para
sahabat tidaklah mencakup seluruh ayat-ayat Al-Qur‟an tetapi hanya menafsirkan bagian-bagian
ayat-ayat Al-Qur‟an yang sulit dipahami pada masa itu, sehingga pada masa tabi‟in muncullah
problem-problem baru yang harus diselesaikan.

Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya perkembangan tafsir pada masa tabi‟in
adalah meluasnya wilayah islam yang semakin pesat, karena ekspansi islam yang semakin
menyebar luas sehingga hal yang demikian menjadikan para tokoh sahabat berpindah ke daerah-
daerah dengan membawa ilmu. Yang dimiliki oleh masing-masing sahabat. Kemudian dari hal
itu para tabi‟in menimba ilmu dengan mereka. Penaklukan yang dilakukan para tentara islam ke
wilayah atau Negara sekitanya menghasilkan para sahabat yang pandai dalam bidang Tafsir Al-
Qur‟an harus berpindah ke wilayah atau Negara tersebut.

Dari situlah kajian tafsir Al-Qur‟an mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat di
kalangan tabi‟in. Para sahabat juga mendirikan madrasah yang menyebar ke wilayah-wilayah
lain. Madrasah-madrasah sahabat itu kemudian terhimpunlah tafsir bil matsur yang disandarkan
pada Nabi, dan disandarkan juga kebanyakan di sahabat seperti Ibnu Masud dan Ibnu Abbas.
Akan tetapi, himpunan tafsir tersebut tercampur oleh israilliyat. Para sahabat mentransfer dalam
menafsirkan Al-Qur‟an dengan cara tallaqi (mengajari secara langsung) seperti halnya
mempelajari hadis.

Sumber Tafsir Tabi’in

Pada masa tabi‟in, sekolah-sekolah yang dibuka telah membuahkan hasil. Banyak sekali
pendapat dari ahli al-kitab yang sudah masuk islam, sehingga mewarnai tafsir Al-Qur‟an. Para
mufassir pada masa tabi‟in berpegang teguh pada kitabbullah dan sumber-sumber lainnya
sebagai rujukan bagi tafsir mereka tentang Al-Qur‟an. Nah sumber-sumbernya, yaitu :

1. Ayat Al-Qur‟an yang menjadi penafsir bagi ayat lainnya yang masih universal.
2. Hadis Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.
3. Informasi-informasi yang didengar oleh tabi‟in baik dari Rasulullah ataupun sahabat.
4. Informasi dari ahli kitab selama tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan tidak yang
mengandung syariat.
5. Ijtihad dengan pemikiran dan perenungan para mufassir tabi`in terhadap Al-Qur‟an
sebagaimana yang dilakukan para sahabat.1

Metode yang dipakai para tabi‟in sama dengan para sahabat, tetapi perbedaannya para
tabi‟in sudah dimasuki israiliat yang diwarnai oleh kalangan Yahudi dan kaum Nasrani. Israiliat
yang diwarnai kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Hal itu disebabkan kaum Yahudi lebih
diidentikkan karena dari mereka banyak yang masuk islam.2 Serta lebih lama berinterkasi dengan
kaum umat Islam. Metode ijtihad masih digunakan pada masa tabi‟in di latarbelakangi oleh :

1. Penafsiran yang dilakukan para sahabat belum semua mencakup ayat-ayat Al-Qur‟an.
2. Jarak pusat studi hadis sangat jauh dari sebagian tempat mereka, sehingga ketika tidak
mendapatkan hadist atupun qaul sahabat maka mereka menggunakan ra`yu untuk
berijtihad dalam memahami al-qur`an bahkan hal itu berdampak pada corak tafsir yang
berbeda.3

1
Mahmud Basuni Fuadah , Tafsir- tafsir al-qur`an, hal.48
2
Raihanah, Jurnal Israiliyat dan pengaruhnya terhadap al-qur`an, hal.12
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Tafsir Al-Qur‟an, hal.81
Jika dilihat dari sumber-sumber tersebut pada umumnya tafsir pada masa tabi‟in
berbentuk al-matsur seperti halnya pada masa sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran
maka secara umum tafsir tersebut menggunakan metode ijmali. Sehingga mulai timbullah
perbedaan penafsiran pada masa sahabat dengan masa tabi‟in yang kemudian diikuti dengan
adanya tafsir bir ra‟yu.

Karakteristik Penafsiran pada Masa Tabi’in

Dengan berakhirnya masa sahabat, urusan tafsir berpindah tangan kepada para tabi‟in.
Dan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun
meningkat. Seiring dengan bermunculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah
pembukuan tafsir.

Di masa ini corak tafsir bil riwayah masih mendominasi penafsiran para tabi‟in. Karena
para tabi‟in meriwayatkan tafsir dari sahabat sebagaimana juga para tabi‟in sendiri saling
meriwayatkan satu sama lain. Meskipun sudah muncul ra‟yu dalam menafsirkan Al-Qur‟an,
tetapi unsur periwayatan lebih dominan.

Pada dasarnya tafsir tabi‟in tidak jauh berbeda dengan tafsir di masa sahabat, namun ada
beberapa perbedaan tafsir di masa tabi‟in dengan tafsir di masa sahabat, yaitu:

1. Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para tabi‟in dalam penafsiran. Walaupun


terdapat pula di zaman sahabat, namun tidak begitu banyak seperti di zaman tabi‟in.
2. Pada masa sahabat, tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat. Sedangkan tafsir di
masa tabi‟in sudah mulai menjadi suatu disiplin ilmu, meskipun masih dalam bentuk
riwayat. Bentuk periwayat di masa tabi‟in mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu
periwayatan terjadi antara tokoh aliran tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya.
3. Pada masa ini telah muncul benih-benih perbedaan mazhab. Sebagian tafsir tampak
cenderung mempertahankan pendapat ulama mazhab-mazhabnya secara berlebihan.
4. Tafsir pada zaman dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaqqi dan riwayat, akan
tetapi pada zaman tabi‟in metode dalam periwayatannya dengan metode global sehingga
tidak sama seperti di zaman Rasulullah dan sahabat.
5. Terkontaminasinya tafsir pada masa ini dengan masuknya Israiliat dan Nasraniyat yang
bertentangan dengan akidah Islamiyah. Yang dibawa masuk ke dalam kalangan umat
Islam dari para ahli kitab yang masuk Islam, padahal pikiran mereka masih melekat pada
ajaran-ajaran kitab suci mereka. Juga para tabi‟in yang begitu mudahnya menerima
informasi dari para ahli kitab tanpa melakukan seleksi dan kritik.
Misalnya cerita Israiliat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka‟ab al-Akhbar,
Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul „Aziz bin Juraij. Cerita Israiliat tersebut
biasanya berhubungan dengan penciptaan alam, rahasia-rahasia makhluk yang ada di
alam dan cerita-cerita Nabi dengan umatnya terdahulu. Sehingga untuk mendapat
informasi yang mendetail mengenai persoalan-persoalan tersebut, maka para tabi‟in
cenderung mengambil cerita-cerita tersebut untuk dimasukkan dalam tafsirnya. Akan
tetapi yang menjadi catatan lain adalah dengan banyaknya cerita yang diriwayatkan oleh
ahli kitab tersebut justru menimbulkan silang pendapat mengenai status tafsir tabi‟in yang
banyak diwarnai cerita-cerita mereka (ahli kitab yang masuk Islam). Namun demikian,
pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan
satu dengan yang lainnya. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan
perbedaan yang bersifat kontradiktif.

Kedudukan Tafsir Tabi’in

Tafsir yang disepakati oleh para tabi‟in dapat dijadikan hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang
lainnya. Banyak para ulama yang masih berbeda pendapat tentang penggunaan tafsir tabi‟in yang
dijadikan sebagai hujjah, atau pegangan untuk menjawab salah satu problem manusia. Sebagian
ulama ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Di antara para ulama yang menerima
tafsir tabi‟in untuk dijadikan hujjah adalah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata: “Boleh
mengambil dari perkataan tabi‟in jika tidak menemukan penafsiran Al-Qur‟an di hadis Nabi
Saw atau di pendapat para sahabat, karena hakikatnya para tabi‟in itu bertalaqqi langsung
dengan sahabat ketika menafsirkan Al-Qur‟an, dan para tabi‟in pun hadir di majlis sahabat,
mereka pun banyak mengambil ilmu dan mendengar banyak dari sahabat”.4 Seperti halnya
Mujahid pernah bertanya perihal penafsiran ayat Al-Qur‟an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga
kali.

4
Muhammad bin Ali bin Ahmad Ad-Dawuudi, Thobaqhatu Al-Mufassirin, (Kairo: Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1983), jilid: 2, hlm.43
Adapun ulama yang tidak menerima penafsiran tabi‟in diantaranya, Ibnu A‟qil Syu‟bah
bin al-Hajjaj serta versi lain dari pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, mereka menolak
penfsiran tabi‟in disebabkan karena :

1. Mereka tidak pernah menyaksikan secara langsung bagaimana kronologi dan keadaan
ketika turunnya Al-Qur‟an, yang mana ini bisa menjadikan tabi‟in salah atau keliru ketika
memahami makna ayat dan juga hanya menebak yang tidak didasarkan oleh dalil.
2. Tabi‟in tidak pernah bertemu dan mendengar tafsir Nabi Saw secara langsung sehingga
mereka tidak bisa mengatakan bahwa tafsir mereka berasal dari Nabi Saw tidak seperti
halnya para sahabat.
3. Keadilan yang ada pada diri para tabi‟in masih diragukan tidak seperti sahabat.

Pendapat yang paling kuat adalah Ibnu Taimiyyah beliau mengatakan jika para tabi‟in
sepakat atas suatu pendapat maka kita wajib mengambilnya, dan tidak diperbolehkan untuk
meniggalkannya atau memilih jalan lain yang masih diragukan kesahihannya. Menurutnya,
tafsir tabi‟in pun bertentangan dengan yang lainya maka jangan di terima dan tidak dijadikan
hujjah, dan kembali lagi kepada lughatul Qur‟an atau sunah atau kaidah bahasa arab atau
kembali ke pendapat para sahabat.
Notulensi Kelompok 2

Pertanyaan:

1. Putri Widya Ningrum


Pada masa tabi'in ini kenapa ijtihad dijadikan salah satu metode penafsiran?
Apakah tidak dikhawatirkan terjadinya kesalahan?
2. Aisyah
Bagaimana dampak/pengaruh ajaran Israiliyat dan Nasraniyat terhadap
penafsiran Al-Qur‟an?
3. Abdurrahim Khuzairi
Salah satu penyebab ditolaknya tafsir tabi‟in oleh beberapa ulama adalah
karena para tabi‟in dianggap Ghaira Ma‟shum. Nah, jadi menurut pemakalah,
mengapa anggapan tersebut bisa dijadikan alasan diterima atau tidaknya tafsir
tabi‟in? Sedangkan para tabi‟in menuntut ilmu dengan para sahabat secara
talaqqi
Jawaban:
1. Neily Autharina
Kembali lagi kepada ijtihad, bahwa orang yang melakukan ijtihad disebut
sebagai mujtahid. Nah orang yang melakukan ijtihad itu bukan orang yang
sembarangan, tentu ada syarat-syarat dan ketentuannya untuk melakukan
ijtihad. Para mujtahid itu tentu diwajibkan untuk memahami tentang Al-
Qur‟an atau hadis. Jadi, tidak hanya sekedar berpikir atau berpandangan tanpa
adanya dalil. Jika seandainya penafsiran tidak ada dasarnya, tidak bersandar
kepada ayat-ayat Qu‟an yang lain atau hadis yang lain, maka oleh para ulama
kemungkinan besarnya akan ditolak.
2. Sopia Azizah
Israiliyat mempunyai beberapa dampak negatif terhadap penafsiran Al-
Qur‟an, yaitu :
Pertama, Israiliyyat akan merusak aqidah kaum Muslimin, karena
mengandung unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan „ishmah para Nabi dan
Rasul dari dosa, serta mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas
bagi orang adil, apalagi sebagai Nabi.
Kedua, merusak citra agama lslam karena ia mengandung gambaran seolah-
olah Islam agama penuh dengan khurafat dan kebohongan/mitos yang tidak
ada sumbemya.
Ketiga, ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf, baik dari kalangan
sahabat maupun tabi‟in.
Keempat, ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang
terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur‟an.
Rusiana
Contoh Israiliyat yang tidak sejalan dengan agama Islam adalah kisah
Israiliyat tentang perdebatan Nabi Adam dengan Nabi Musa ketika
menafsirkan firmah Allah Ta‟ala yang artinya : Dan telah Kami tuliskan untuk
Musa pada luh-luh(Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan
bagi segala sesuatu; Maka (kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya
dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-
perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti aku akan memperlihatkan
kepadamu negeri orang-orang yang fasik.
Ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat Israiliyyat dari sebagian
sahabat, tabi‟in, Ka‟ib, dan Al-Munabbih. Riwayat-riwayat itu umumnya
berbicara tentang alwah yang dimiliki Nabi Musa, terbuat dari apa, dan berapa
jumlahnya. Salah satu riwayat yang menceritakan tema di atas diterima Ath-
Thabari dari Muhammad bin Sa‟ad, dari bapaknya, dari pamannya, dari
bapaknya, dari Ibnu Abbas. Ia mengatakan bahwa ketika mendekati
kematiannya, Nabi Musa mengeluh, “Allah sebenarnya telah menempatkan
kami di Surga yang tidak ada kematian di sana. Gara-gara kesalahan Nabi
Adam, kita akhirnya diturunkan ke bumi ini.” Menanggapi keluhannya itu
Allah berfirman, “Jika Ku utus Adam akankah kau mendebatnya?” “Ya”,
jawabnya.” Setelah Nabi Adam berada di hadapnnya, terjadilah perdebatan
antara keduanya. “Wahai Musa! Engkau meminta aku datang.” “Jika tidak
karenamu, kami tidak akan ada di dunia ini”. “Bukankah Tuhan telah
memberikan nasihat dan penjelasan bahwa musibah yang terjadi di muka
bumi ini sudah ditentukan-Nya sebelumnya?” Nabi Adam akhirnya
memenangkan perdebatan itu.
Nah, beberapa hal dalam riwayat di atas yang tidak dapat diterima akal, tetapi
tidak dikritik oleh ath-Thabari. Umpamanya, bagaimana mungkin Nabi Musa
mengeluh terhadap kematiannya. Bagaimana mungkin pula ia dapat berjumpa
dengan Nabi Adam padahal jarak antara keduanya tidak memungkinkan untuk
berjumpa.
Istiqamah
Pada masa Tabi‟in, proses periwayatan Israiliyyat semakin aktif. Sering terjadi
penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif, akibatnya banyak muncul
periwayatan dalam penafsiran Al-Qur‟an yang terkena infiltrasi (tasarrub)
israiliyat. Karena di antara beberapa kitab tafsir tidak mencantumkan sanad
secara tegas, maka tercampurlah antara riwayat yang shahih dan yang tidak
shahih. Dalam kondisi seperti inilah akhirnya banyak kitab tafsir yang memuat
kisah-kisah israiliyat. Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya
kecenderungan masyarakat suka mendengarkan kisah-kisah masa lampau.
Kecenderungan ini akhirnya dapat terpenuhi dengan keberadaan kisah-kisah
Israiliyyat. Sehingga pada masa ini menjamurlah para tukang kisah yang biasa
disebut al-Qashshahsh, yaitu para penyampai berita yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lambat laun pengaruh cerita
Israiliyyat mulai berpengaruh dalam penafsiran Alquran. Para Tabi‟in dengan
serta merta menerima apa saja yang datang dari para Yahudi yang masuk
Islam tadi dengan anggapan tidak mungkin mereka berdusta. Para mufassir
tidak mengoreksi terlebih dahulu kutipan cerita-cerita Israiliyyat yang mereka
kutip, padahal diantaranya terdapat yang batil dan tidak benar. Seperti Al-
Thabari, ia lebih menekankan kepada pencatatan semua hal yang berhubungan
dengan suatu ayat meskipun itu cerita Israiliyyat.
Neily Autharina
Cerita Israiliyat adalah cerita-cerita pada zaman Nabi-Nabi dan Rasul sebelum
Rasulullah Saw., yang kadang terlalu berlebihan atau tidak masuk akal.
Pengaruhnya tersebut sangat besar karena ketika para pendakwah yang tidak
mengkaji sama sekali tentang cerita-cerita dibaliknya dan disampaikan kepada
masyarakat sehingga akhirnya akan menimbulkan akibat buruk buat citra
Islam.
Rusiana
Dari beberapa refensi, tidak ada yang menyatakan alasan bahwasanya
kesalahan para Tabi‟in itu dianggap menjadi tolak ukur bahwa tafsir tabi‟in
bisa diterima atau tidak. Referensi yang ditemukan, bahwasanya alasan yang
menyebabkan tafsir tabi‟in tidak bisa dijadikan hujjah, yaitu :
Pertama, para tabi‟in tidak pernah secara langsung menyaksikan kronologi
dan keadaan ketika turunnya Al-Qur‟an yang mana hal itu dianggap bahwa
para tabi‟in bisa saja salah atau keliru dalam memahami makna ayat dan
hanya menebak yang tidak didasarkan oleh dalil.
Kedua, yang kita ketahui bahwasanya para tabi‟in tidak pernah bertemu
dengan Nabi. Sehingga mereka mengatakan karena para tabi‟in yang tidak
pernah bertemu dan mendengar tafsir Nabi secara langsung, maka mereka
tidak bisa mengatakan tafsir tabi‟in itu berasal dari Nabi. Tidak seperti para
sahabat yang mendengat tafsir langsung dari Nabi.
Ketiga, keadilan yang ada pada diri para tabi‟in masih diargukan. Mereka
menganggap bahwa para tabi‟in ini masih tidak cukup adil.

Anda mungkin juga menyukai