Kel :2
Kelas : IAT 20 B
Tafsir secara terminologi adalah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan pengambilan makna serta hikmah-hikmahnya.
Sebagian ahli tafsir juga ada yang mendefinisikan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
tentang Al-Qur‟an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia. Sedangkan Tabi‟in adalah orang yang bertemu atau berjumpa dengan sahabat Nabi
Saw., dalam keadaan ia beriman kepada Nabi meskipun tidak melihat Beliau dan ia mati di atas
keislamannya.
Setelah berakhirnya masa tafsir sahabat yang ditandai dengan wafatnya tokoh-tokoh
mufassir sahabat yang dulunya juga merupakan guru tabi‟in hingga kemudian dilanjutkan
dengan tafsir pada masa tabi‟in. Penafsiran yang dibawakan Nabi Muhammad Saw dan para
sahabat tidaklah mencakup seluruh ayat-ayat Al-Qur‟an tetapi hanya menafsirkan bagian-bagian
ayat-ayat Al-Qur‟an yang sulit dipahami pada masa itu, sehingga pada masa tabi‟in muncullah
problem-problem baru yang harus diselesaikan.
Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya perkembangan tafsir pada masa tabi‟in
adalah meluasnya wilayah islam yang semakin pesat, karena ekspansi islam yang semakin
menyebar luas sehingga hal yang demikian menjadikan para tokoh sahabat berpindah ke daerah-
daerah dengan membawa ilmu. Yang dimiliki oleh masing-masing sahabat. Kemudian dari hal
itu para tabi‟in menimba ilmu dengan mereka. Penaklukan yang dilakukan para tentara islam ke
wilayah atau Negara sekitanya menghasilkan para sahabat yang pandai dalam bidang Tafsir Al-
Qur‟an harus berpindah ke wilayah atau Negara tersebut.
Dari situlah kajian tafsir Al-Qur‟an mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat di
kalangan tabi‟in. Para sahabat juga mendirikan madrasah yang menyebar ke wilayah-wilayah
lain. Madrasah-madrasah sahabat itu kemudian terhimpunlah tafsir bil matsur yang disandarkan
pada Nabi, dan disandarkan juga kebanyakan di sahabat seperti Ibnu Masud dan Ibnu Abbas.
Akan tetapi, himpunan tafsir tersebut tercampur oleh israilliyat. Para sahabat mentransfer dalam
menafsirkan Al-Qur‟an dengan cara tallaqi (mengajari secara langsung) seperti halnya
mempelajari hadis.
Pada masa tabi‟in, sekolah-sekolah yang dibuka telah membuahkan hasil. Banyak sekali
pendapat dari ahli al-kitab yang sudah masuk islam, sehingga mewarnai tafsir Al-Qur‟an. Para
mufassir pada masa tabi‟in berpegang teguh pada kitabbullah dan sumber-sumber lainnya
sebagai rujukan bagi tafsir mereka tentang Al-Qur‟an. Nah sumber-sumbernya, yaitu :
1. Ayat Al-Qur‟an yang menjadi penafsir bagi ayat lainnya yang masih universal.
2. Hadis Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.
3. Informasi-informasi yang didengar oleh tabi‟in baik dari Rasulullah ataupun sahabat.
4. Informasi dari ahli kitab selama tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan tidak yang
mengandung syariat.
5. Ijtihad dengan pemikiran dan perenungan para mufassir tabi`in terhadap Al-Qur‟an
sebagaimana yang dilakukan para sahabat.1
Metode yang dipakai para tabi‟in sama dengan para sahabat, tetapi perbedaannya para
tabi‟in sudah dimasuki israiliat yang diwarnai oleh kalangan Yahudi dan kaum Nasrani. Israiliat
yang diwarnai kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Hal itu disebabkan kaum Yahudi lebih
diidentikkan karena dari mereka banyak yang masuk islam.2 Serta lebih lama berinterkasi dengan
kaum umat Islam. Metode ijtihad masih digunakan pada masa tabi‟in di latarbelakangi oleh :
1. Penafsiran yang dilakukan para sahabat belum semua mencakup ayat-ayat Al-Qur‟an.
2. Jarak pusat studi hadis sangat jauh dari sebagian tempat mereka, sehingga ketika tidak
mendapatkan hadist atupun qaul sahabat maka mereka menggunakan ra`yu untuk
berijtihad dalam memahami al-qur`an bahkan hal itu berdampak pada corak tafsir yang
berbeda.3
1
Mahmud Basuni Fuadah , Tafsir- tafsir al-qur`an, hal.48
2
Raihanah, Jurnal Israiliyat dan pengaruhnya terhadap al-qur`an, hal.12
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Tafsir Al-Qur‟an, hal.81
Jika dilihat dari sumber-sumber tersebut pada umumnya tafsir pada masa tabi‟in
berbentuk al-matsur seperti halnya pada masa sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran
maka secara umum tafsir tersebut menggunakan metode ijmali. Sehingga mulai timbullah
perbedaan penafsiran pada masa sahabat dengan masa tabi‟in yang kemudian diikuti dengan
adanya tafsir bir ra‟yu.
Dengan berakhirnya masa sahabat, urusan tafsir berpindah tangan kepada para tabi‟in.
Dan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun
meningkat. Seiring dengan bermunculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah
pembukuan tafsir.
Di masa ini corak tafsir bil riwayah masih mendominasi penafsiran para tabi‟in. Karena
para tabi‟in meriwayatkan tafsir dari sahabat sebagaimana juga para tabi‟in sendiri saling
meriwayatkan satu sama lain. Meskipun sudah muncul ra‟yu dalam menafsirkan Al-Qur‟an,
tetapi unsur periwayatan lebih dominan.
Pada dasarnya tafsir tabi‟in tidak jauh berbeda dengan tafsir di masa sahabat, namun ada
beberapa perbedaan tafsir di masa tabi‟in dengan tafsir di masa sahabat, yaitu:
Tafsir yang disepakati oleh para tabi‟in dapat dijadikan hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang
lainnya. Banyak para ulama yang masih berbeda pendapat tentang penggunaan tafsir tabi‟in yang
dijadikan sebagai hujjah, atau pegangan untuk menjawab salah satu problem manusia. Sebagian
ulama ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Di antara para ulama yang menerima
tafsir tabi‟in untuk dijadikan hujjah adalah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata: “Boleh
mengambil dari perkataan tabi‟in jika tidak menemukan penafsiran Al-Qur‟an di hadis Nabi
Saw atau di pendapat para sahabat, karena hakikatnya para tabi‟in itu bertalaqqi langsung
dengan sahabat ketika menafsirkan Al-Qur‟an, dan para tabi‟in pun hadir di majlis sahabat,
mereka pun banyak mengambil ilmu dan mendengar banyak dari sahabat”.4 Seperti halnya
Mujahid pernah bertanya perihal penafsiran ayat Al-Qur‟an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga
kali.
4
Muhammad bin Ali bin Ahmad Ad-Dawuudi, Thobaqhatu Al-Mufassirin, (Kairo: Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1983), jilid: 2, hlm.43
Adapun ulama yang tidak menerima penafsiran tabi‟in diantaranya, Ibnu A‟qil Syu‟bah
bin al-Hajjaj serta versi lain dari pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, mereka menolak
penfsiran tabi‟in disebabkan karena :
1. Mereka tidak pernah menyaksikan secara langsung bagaimana kronologi dan keadaan
ketika turunnya Al-Qur‟an, yang mana ini bisa menjadikan tabi‟in salah atau keliru ketika
memahami makna ayat dan juga hanya menebak yang tidak didasarkan oleh dalil.
2. Tabi‟in tidak pernah bertemu dan mendengar tafsir Nabi Saw secara langsung sehingga
mereka tidak bisa mengatakan bahwa tafsir mereka berasal dari Nabi Saw tidak seperti
halnya para sahabat.
3. Keadilan yang ada pada diri para tabi‟in masih diragukan tidak seperti sahabat.
Pendapat yang paling kuat adalah Ibnu Taimiyyah beliau mengatakan jika para tabi‟in
sepakat atas suatu pendapat maka kita wajib mengambilnya, dan tidak diperbolehkan untuk
meniggalkannya atau memilih jalan lain yang masih diragukan kesahihannya. Menurutnya,
tafsir tabi‟in pun bertentangan dengan yang lainya maka jangan di terima dan tidak dijadikan
hujjah, dan kembali lagi kepada lughatul Qur‟an atau sunah atau kaidah bahasa arab atau
kembali ke pendapat para sahabat.
Notulensi Kelompok 2
Pertanyaan: