Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang
berkenaan dengan hadits saja, tetapi kita juga perlu mempelajari tokoh-tokoh yang
telah berjasa besar dalam memelihara dan menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang
merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-
hadits Nabi saw sampai di tangan kita. Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama
yang menempati posisi khusus dalam umat ini.
Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan
peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam.Inilah
keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah
para pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah
Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu
agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama,
yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.
Dalam gambaran biografi tersebut secara garis besar dikelompokkan ke dalam
dua kelompok besar. Pertama, para sahabat yang mendapat predikat Al-Mukatsirun fi
Al-Riwayah, yakni para tokoh atau ulama yang banyak meriwayatkan hadis.Para ahli
hadis telah mengurutkan kelompok ini mulai dari rawi yang paling banyak
meriwayatkannya, yaitu AbuHurairah (5.347 buah hadis), Abdullah ibn Umar (2.630
buah hadis), Anas ibn Malik (2.286 buah hadis), Siti ‘Aisyah (2.210 buah hadis),
Abdullah ibn Abbas (1.660 buah), Jabir ibn Abdillah (1.540 buah) dan Abu sa’id Al-
Khudri (1.170 buah).
Sementara kelompok kedua adalah kelompok para ulama hadist yang berhasil
mentadwin hadist, yaitu mengumpulkan, membukukan hadist. Mereka adalah Umar
ibn Abd Al-Aziz, Muhammad ibn Abu Bakr ibn Hazm,
Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, Al-Ramahurmuzi, Imam Al-Bukhari,Imam Muslim,
Imam Al-Nasa’i, Imam Abu Daud, Imam Al-Tirmidzi,dan Ibnu Majah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Siapa nama-nama para tokoh Hadist?
2. Bagaimana kaidah-kaidah pemahaman Hadits?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui nama-nama para tokoh Hadits.
2 Untuk mengetahui kaidah-kaidah pemahaman Hadits.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nama-nama para tokoh Hadits

A. Imam Malik Bin Anas (94-179 H)


Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin ‘Amr
bin Harits Al – Ashbahi. Terkenal juga dengan dengan sebutan Imam Dar Al –Hijrah. 1
Ia lahir pada tahun tahun 94 H /712M di kota Madinah daerah Hijaz. Dari riwayat
ini,ia adalah keturunan Arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Hamyar.
Semenjak kanak – kanak, ia terdidik dalam suasana lingkungan yang kondusif
dan mendukung.Hidup di tengah – tengan sahabat yang cerdik dan para hukum
agama, sebagai anak yang cerdas cepat menerima pelajaran yang kuat dalam berpikir
dan memiliki daya kritis yang tinggi.
Pada saat tumbuh dewasa, ia mengayuhkan langkahnya ke kota Madinah, guna
menimba ilmu pengetahuan.Tampaknya ia yakin bahwa sudah cukup baginya
kotaMadinah sebagai pusat menimba ilmu. Oleh karena itulah, ajaran islam lahir yang
kemudian diikuti oleh para sahabatnya dan tabiin.
Kesungguhannya dalam menekuni agama islam telah menjadikan Imam Malik
sebagai seorang panutan di bidang fiqih dan hadis.Bahkan,dalam bidang fiqih, ia
dikenal sebagai pendiri salah satu mazhab fiqih,yaitu Mazhab Maliki.
Sebagai sosok ulama besar yang memiliki pengaruh sangat luas,Imam Malik
memiliki budi pekerti yang luhur,sopan santun,lemah lembut,mengasihi fakir miskin,
dan gemar memberikan bantuan kepada orang lain.
Mengenal sikap pribadi dan kepandaian Imam Malik, beberapa tokoh terutama
oleh An-Nasa’I mengatakan bahwa, ”Pada sisiku tidak ada orang lebih pandai dari
Malik.Dia orang yang mulia yang dapat dipercaya serta paling jujur.”Bahkan ,Imam
Syafi’I mengatakan bahwa Malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya sesudah tabiin.
Setelah 60 tahun mencurahkan tenaga, harta benda, dan pikirannya kepada
khalayak ramai tentang ilmu Islam , pada hari Ahad tanggal 10 Rabiul Awwal 179
H/798 M, Imam Malik kembali ke rahmatullah dengan tenang,dalam usia 87 tahun.
Kita Al-Muwaththa’ merupakan karya monumental Imam Malik dalam bidang
hadis.Karena itu, kitab ini memiliki lebih dari 80 versi.Lima belas di antaranya lebih

1
Endang soetari. Ibnu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustak.2005. hlm. 281

3
terkenal, dan kini hanya tinggal versi Yahya yang bias diperoleh dalam bentuk
orisinal,lengkap,dan tercetak.Versi ini berisi hadis nabi,atsar sahabat,dan atsar ulama
kemudian.Jumlah total hadis yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa ‘ adalah
1.726,yang terdiri dari 600 hadis marfu’, 613 hadis mauquf , 285 hadis maqtu, dan 28
hadis mursal.
Selain Al-Muwaththa’, Imam malik juga banyak menghasilkan karya –karya
lainnyak, di antaranya Risalah ila Ibnu Wahb fi Al-Qadr, Kitab An- Nujum, Risalah fi
Al- Aqdhiyah, Tafsir Gharib Al –Qur’an,Risalah ila Al-Laits bin sa’d, Risalah ila Abu
Ghassan, KitabAl-Siyar, Kitab Al- Manasik.
Nasib kebanyakan kitab ini tidak diketahui. Namun, Imam Malik
termashyurkarena mazhab pemikirannya, kepribadiannya, keulamaan, dan kitab Al-
Muwaththa-nya.
B. Ahmad bin Mihammad bin Hanbal (164 – 241 H)
Imam ahmad, (nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
bin Hilal bin Asad Asy- Syaibani Al – Marwazi, dikenal juga sebagai Imam Hambali)
lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan,utara Afganistan dan utara
Iran) pada tanggal 20 rabi’ul awal 164 H / 781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota
Baghdad, Irak.
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun sebuah Musnad, yang di dalamnya
terdapat hadis – hadis yang tidak ditemukan oleh orang lain. Musnad Ahmad bin
Hanbal ini terdiri dari 6 jilid yang memuat tidak kurang dari 30.000 – 40.000 hadis
yang telah ia seleksi dari 75.000 hadis.2
Selain Al – Musnad, Imam Ahmad juga menulis banyak kitab, di antaranya At-
Tafsir,An- Nasikh wa Al- Mansukh , At –tarikh, Hadits Syu’bah, Al- muqaddam wa Al
– Mu’akkhar fi Al –Qur’an, fawabah Al- Qur’an, Al – Manasik Al- Kabir, Al –
Manasik Ash – Shaghir, Al-‘Ilal, Al – Manasik, Az-Zuhd, Al – Imam, Al – Asyribah,
Al – Fadha’il, Tha’ah Ar – Rasul, Al-Fara’idh, Ar- Radd ala Al – Fahmiyyah.
C. Imam an- nasa’i
Nama lengkapnya adalah abu abdurahman ahmad ibn Syu’aib bin ‘Ali ibn Abi
Bakar ibn Sinan An – Nasa’i. Ia terkenal terkenal dengan nama An- nasi’I karena
dinisbatkan dengan kota Nasa’I, salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun

2
Soetari. Hlm. 301.

4
215 H demikian menurut Adz –Dzahabi, dan meninggal dunia pada hari senin tanggal
13 Shafar 303 H di Palestina, kemudian dikuburkan di Biatul Maqdis.3
Para gurunya yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah, antara lain
Qutaibah bin Sa’id, ishaq bin Ibrahim, Ishak bin Rahawiah, Al – Harits bin Miskin,
Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun sunan Abi Daud), dan Imam Abu Isa
At – Tirmizi (penyusun Al- jami’ atau sunan at –Tirmidzi).
Karangan – karangan imam An – Nasa’i yang sampai kepada kita dan telah
diabadikan oleh pena sejarah antara lain As- Sunan Al – kubra, As- Sunan Al –
Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab As – Sunan Al – kurba),
Al- khashais, Fadhail Ash- Shahabah, dan al – Manasik. Manurut sebuah keterangan
yang diberikan oleh Imam Ibnu Al – Atsir Al – Jazairi dalam kitabnya jami Al- Ushul,
kitab ini disusun berdasarkan pandangan – pandangan fiqh mazhab Syaf’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan An – Nasa’I, kitab ini
dikenal dengan As- Sunan Al – Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, ia kemudian
menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda
penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada An – Nasa’I, “Apakah kitab ini
seluruhnya berisi hadis sahih ?’ ia menjawab dengan kejujuran,” Ada yang sahih,
hasan, dan adapula yang hamper serupa dengannya.”
Amir berkata kembali, “kalau demikian halnya, pisahkanlah hadis yang sahih –
sahih saja.”Atas permintaan Amir ini, An – Nasa’I kemudian menyeleksi dengan ketat
semua hadis yang telah tertuang dalam kitab As- Sunan Al – kubra. Akhinya,ia
berhasil melakukan perampingan terhadap As – Sunan Al – Kubra sehingga menjadi
As – Sunan Al – Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab
yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab pertama.
Imam An –Nasa’I sangat teliti dalam menyeleksi hadis – hadis yang termuat
dalam kitab pertama. Oleh karena itu, benyak ulama berkomentar, “ Kedudukan kitab
As –Sunan Al – Sughra di bawah derajt Shahih Al – Bukhari dan Shahih Muslim. Fi
dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat didalamnya.” Karena
hadis – hadis yang termuat dalam kitab kedua (As –Sunan Al – Sughra) merupakan
hadis – hadis pilihan yang telah diseleksi dengan ketat, kitab ini juga dinamakan Al –
Mujtaba . pengertian Al –Mujtaba . bersinonim dengan Al - Maukhtar (yang terpilih)
karena memang kitab ini berisi hadis – hadis pilihan hasil seleksi dari kitab As –
Sunan Al – kubra.
3
Soetari. Op.cit.hlm.313.

5
D. Abu dawud ( 202 – 275 H)
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al – Asy’ats bin
ishaq bin Basyir bin Amar bin ‘Amran al – Azdi As – Sijistani.
Abu daud adalah seorang perawi hadis yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadis
lalu memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud .
Untuk mengumpulkan hadis, ia bepergian ke Saudi Arabia, Irak, Khurasan, Mesir,
Nishabur, Marv, dan tempat – tempat lain, menjadikannya sebagai salah seorang
ulama’ yang paling luas perjalanannya.
Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah
syariat, jadi kumpulan hadisnya berfokus murni pada hadis tentang syari’at. Setiap
hadis dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al – Qur’an, begitu pula
sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada imam ahmad untuk
meminta saran perbaikan.4
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia muslim sebagai salah satu
kitab hadis yang paling otentik. Namun, diketahui bagwa kitab ini mengandung
beberapa hadis lemah ( yang sebagian ditandai oleh imam Abu Dawud dan sebagian
tidak).
Imam abu dawud adalah imam dari imam – imam ahlusunnah wal jamaah yang
hidup di bashrah, kota berkembangnya kelompok Qadariyah dan pemikiran Khawarij,
Mu/tazilah,Syi’ah Rafidhah, Jahmiyah, serta lain – lainnya. Walaupun demikian, ia
tetap dalam keistiqamahan di atas sunnah dan membantutah Qadariyah dengan
kitabnya Al – Qadar. Demikian pula, bantahannya atas Khawarij dalam kitabnya
Akhbar Al khawarij dan membantah pemahaman yang menyimpang dari kemurnian
ajaran islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Tentang hal itu bias dilihat pada
kitabnya As – sunan yang di dalamnya terdapat bantahan – bantahannya terhadap
Jamiyah,Murji’ah, dan Mu’tazilah.
E. Abu Sa’id Al-Khudri (12 Seb. H-74 H)
Dia adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan ibn ‘Ubaidibn Tsa’labah ibn ‘Ubaid ibn al-
Abjar, yaitu Khudrah ibn ‘Auf Ibn al-Harits ibn al-Kharraj al-Anshari. Pada usia 13
tahun, dia dibawa serta oleh ayahnya menghadap Rasul saw. agar diizinkan untuk
turut dalam peperangan Uhud, tetapi rasulullah saw. menganggapnya masih terlalu
muda untuk berperang waktu itu, dan selanjutnya beliau menyarankan untuk dibawa
pulang kembali. Dalam peperangan berikutnya , dia telah dibenarkan untuk
4
Azami. Op.cit.hlm.168

6
berpartisipasi sehingga selama hidupnya dia telah mengikuti sejumlah 12 kali
peperangan.5
Selain langsung dari Rasulullah saw., Abu Sa’id al-Khuduri mendapatkan hadis
melalui ayahnya, yaitu Malik ibn Sinan, dari saudara seibunya, yakni Qatadah ibn
Nu’man, dari Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zaid ibn Tsabit, Abu Qatadah al-
Anshari, ‘Abd Allah ibn Salam, Ibn ‘Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’awiyyah, Jabir
ibn ‘Abd Allah, dan lain-lain. Hadis-hadis koleksi Abu Sa’id selanjutnya diriwayatkan
oleh anaknya, ‘Abd al-Rahman, istrinya, yakni Zainab binti Ka’ab ibn ‘Ajrah, Ibn
‘Abbas, Ibn ‘Umar, Jabir, Zaid ibn Tsabit, Abu ‘Umamah ibn Sahal, Ibn Musyayab,
Tharib ibn Syihab, dan lain-lain.
Dari 1170 hadis yang merupakan koleksi Abu Sa’id al-Khuduri, sejumlah 111
hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 43 hadis disepakati oleh keduanya, 16
hadis diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 52 hadis diriwayatkan oleh Muslim saja.
Hadis-hadisnya yang lain dijumpai di dalam Al-Kutub al-Sittah.Abu Sa’id al-Khuduri
meninggal dunia pada tahun 74 H di Madinah, dalam usia 86 tahun.
F. Imam At-Tirmidzi
Nama lengkap Imam al-Tirmidzi adalah : Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah
bin Musa bin al-Dlahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi, ada dua nama nasab bagi
Imam al-Tirmidzi. Para sejarawan tidak menyebutkan dengan pasti kapan al-Imam al-
Tirmidzi lahir tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa al-imam lahir pada tahun
207 H, mendekati tahun 120 H. Para ulama juga berbeda pendapat apakah al-Imam
terlahir dalam keadaan tunanetra ataukah bisa melihat, Dr.Nuruddin dengan mengutif
pernyataan dari al-Dzahaby, Ibn Katsir, dan Ibn Hajar, mengungkapkan bahwa
mereka cenderung mengemukakan alas an sebagai berikut :
1. Ulama ahli hadis meriwayatkan, bahwa al-Imam al-Tirmidzi pernah mendatangi
seorang ulama dengan tujuan meneliti beberapa hadis yang diterimanya melalui
perantara, ternyata hadis (yang dihafal dan ditulisnya) itu banyak terdapat
perbedaan, setelah memperbaharuinya al-Imam menjadikan hadis tersebut sebagai
hujjah.
2. Hafizh bin ‘Alak (w. 325 H), ia termasuk ulama yang mengetahui dari sumber
pertama bahwa al-Imam al-Tiemidzi terlahir dalam keadaan bisa melihat, hanya
pada akhir hayatnya karena mengalami sakit mata yang tidak bisa disembuhkan
beliau mengalami kebutaan hingga masa wafatnya.
5
Sohari sahrani , ulumul hadits .(bogor ,2010) hal. 225

7
Al-Imam al-Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu Isa yang ternyata san tebagian
ulama tidak menyenangi sebutan tersebut, karena ada hadis yang dikeluarkan oleh Ibn
Abi Syaibah bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama
Abu ‘Isa yang berarti ayah dari ‘Isa, seperti yang diketahui bahwa Isa tidak punnya
ayah.
Al-Imam al-Tirmidzi adalah orang yang cinta ilmu, maka beliau sangat tekun
dalam mencarinya, beliau banyak belajar dari ulama-ulama di negerinya, kemudian
beliau juga menimba ilmu ke negeri lainnya seperti : Khurasan, Iraq, Hijaz, dalam
sejarahnya Imam al-Tirmidzi belum pernah pergi ke Mesir dan Syam, beliau
menerima riwayat hadis dari ulama-ulama negeri tersebut dengan perantara, dan
beliau juga belum pergi ke Baghdad, karena situasi dan kondisi yang kacau dinegeri
tersebut sehingga al-Imam al-Tirmidzi tidak dapat mendengar langsung hadis dari
Imam Ahmad Ibn Hambal, bahkan al-Khatib al-Baghdady tidak mencantumkan al-
Imam al-Tirmidzi dalam bukunya “Tarikh Bagdad”.
Mengenai tahun wafatnya, para ulama mengatakan bahwa beliau meninggal pada
hari Senin malam 13 Rajab 279 H. pada usia 70 tahun.

G. Imam Ibnu Majah


Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang
kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai
pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini,
pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam
nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang
shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana
pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar
kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-
Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal
22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar.
Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan
Abdullah serta putranya, Abdullah.
1. Pengembaraan Imam Ibnu Majah

8
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari
ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk
mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan
lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam,
Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui
dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-
murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam
terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
2. Aktifitas Periwayatan Ibnu Majah
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin
Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari,
Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin
Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
3. Penghargaan Para Ulama Kepada Imam Ibnu Majah
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang
kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan
argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak
menghafal hadith.”
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith
besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan
negerinya. Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam
Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan
yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan
pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith
dan usul dan furu’.”
H. Imam Bukhari
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih
terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling
terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu’minin fil-Hadith
(pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai

9
Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang
Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama
kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-
Yaman al Ja’fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya.
Kerana itulah ia dikatakan “al-Mughirah al-Jafi.”
Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan
ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn
Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam
kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-
Tarikh al-Kabir.
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara’
(menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa
ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat
sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah
bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat
beragama dan wara’. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari
ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum’at. Tak lama setelah bayi yang baru
lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat
bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo’a ke hadapan Tuhan,
memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu
bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:
“Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah
dapat melihat kembali, semua itu berkat do’amu yang tiada henti-hentinya.”
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di
waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup
dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh
ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah
menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan
yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia
sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang
sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama
dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan

10
berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn
Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut faham
rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.

2.2 Kaidah-kaidah Pemahaman Hadis

As-sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah (tuntutan)-nya,
para ahli fiqih merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para
ahli dakwah dan tarbiyahmerujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang
mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk kedalam
sanubari manusia.Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan
perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.6 Sangat perlu bagi kita untuk bisa memahami
hadis dengan metode yang tepat sehingga akan sejalan dengan ajaran Islam dalam konteks
kondisi hadis itu akan diterima periwayatannya yang relevan dipahami dalam konteks
sekarang. Pemahaman demikian tentu memiliki variasi, karena setiap generasi punya peluang
dan hak membuat konsep pemahaman yang sesuai dengan cara pandangnya, baik itu dalam
corak mutakaddimin, mutaakhkhirin, ataupun lainnya seperti kalangan barat.Adapun cara-
cara untuk mendapatkan pemahaman suatu hadis yaitu dengan menggunakan ilmu Ma’ᾱnial-
Ḥadiṡdan pemahaman yang menggunakan beberapa pendekatan.

A. Ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ
 Pengertian Ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ
ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memahami hadis Nabi Saw dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari konteks semantis dan struktur linguistik teks
hadis, konteks munculnya hadis (baik mikr o maupun makro, posisi dan kedudukan Nabi Saw
ketika menyampaikan hadis, konteks audienyang menyertai Nabi Saw, serta bagaimana
menghubungkan teks hadis masa lalu dengan konteks kekinian, sehingga dapat menangkap
maksud(maqaṣid) secara tepat, tanpa kehilangan relevansinyadengan konteks kekinianyang
selalu dinamis.
1. Sejarah Perkembangan
Pada zaman Nabi dan sahabat, bahkan tabi’in belum dikenal istilah ilmu Ma’ᾱni al-Ḥadiṡ.
Istilah tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer. Namun, menurut

6
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1993), h.28
11
sejarah, ilmuMa’ᾱnial-Ḥadiṡtelah di aplikasikan pada zaman Nabi, meski mungkin masih
sangat sederhanadan tidak terlalu kompleks masalahnya. Sebab setiap kali Nabi Saw.
menyampaikan hadis, tentu para sahabat terlibat dalam proses pemahaman hadis tersebut.
Jika mereka tidak mengetahui maksudnya, mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi Saw.
Pada awal munculnya ilmu hadis, kajian berkaitan dengan pemahaman matan hadis memang
belum begitu mendapat perhatian khusus. Ketikaitu tradisi ilmu hadis pada generasi ulama
mutaqaddimin lebih pada masalah bagaimana membuktikan otentitas hadis tersebut.Namun
para ulama berikutnya berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai maksud suatu hadis
dengan munculnya berbagai kitab syarahhadis. Misalnya, Syarh al-Muwaṭṭa’ Imam Malik,
karya Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Syarh Fath al-Bari: Syarh Shahih al-Bukhari,
karya Ibn Hajar al-Asqalani, Syarh Shahih Muslim, karya Imam al-Nawawi, ‘Aunu; Ma’bud:
Syarh Sunan Abi Dawud, karya Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-„Azhim, dan
lain-lain.Jauh sebelum munculnya kitab-kitab syarh hadis tersebut, para ulama bahkan telah
meletakkan dasar-dasar ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ,terutama ketika menjelaskan hadis-hadis yang
secara redaksi (matan) memerlukan penjelasan khusus, yang kemudian lahirlah cabang ilmu
hadis tersendiri, semisal Ilmu Garibil Ḥadiṡ,yaitu ilmu tentang hadis-hadis yang redaksinya
terasa asing dan sulit dipahami, terutama bagi generasi pasca para sahabat, ketika Islam mulai
berkembang luas ke dunia luar Arab. Dengan demikian bisa dikatakan jika Ilmu Garibil
Ḥadiṡadalah embrio awal dari ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ
2. Objek Kajian Ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ
Dilihat dari segi objek kajiannya, Ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡmemiliki dua objek kajian, yaitu objek
material dan objek formal.Objek material adalah bidang penyelidikan sebuah ilmu yang
bersangkutan, yaitu redaksi hadis-hadis Nabi Saw.Sedangkan objek formalnyaadalah objek
yang menjadi sudut pandang dari mana sebuah ilmu memandang objek material tersebut.
Yaitu matan atau redaksi hadis itu sendiri.
3. Pendukung Ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ
Sebenarnya ilmu Ma’ᾱnial-Ḥadiṡ tidak bisa diaplikasikan secara mandiri, tanpa dukungan
ilmu lain. Di antara pendukung ilmu Ma’ᾱni al-Ḥadiṡyang
sangat diperlukan adalah:
a) Ilmu Asbabul Wurud
Sebagian ahli menyebut dengan istilah Ilmu Sababul Hadis,yaitu ilmu yang mengkaji latar
belakang disabdakannya suatu hadis.Diantara arti penting ilmu sababul hadis adalah untuk
menjelaskan makna hadis misalnya untuk menentukan mana yang bersifat „amm (umum) dan
mana yang brsifat khashsh (khusus), mana yang muthlaq dan mana yang

12
muqayyad.Disamping itu, untuk menjelaskan aspek hikmah dibalik pensyariatan suatu
hukum dan sebagainya.
b) Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu ini adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah matan hadis. Ilmu Tawarikhul Mutun
bertujuan untuk mengalisis sebuah perkembangan makna kata dalam hadis, sehingga kita bisa
memperoleh informasi secara akurat bahwa suatu kata pada kurun waktu itu memiliki makna
tertentu, sedangkan pada kurun waktu yang lain memiliki makna yang lain. Di antara cara
yang lain untuk dapat memahami hadis denganpemahaman yang benar dan tepat, haruslah
diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai
perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian yang jauh dari
tujuan sebenarnya
B. Pemahaman hadis dengan berbagai pendekatan Hadis atau “sunnah”
adalah segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Nabi SAW baik berupa perkataan (qaul) atau
ketetapan (taqrir) atau sifat (Khuluqiyah) sifat akhlaqnabi atau (Kholqiyah) sifat ciptaan atau
bentuk tubuh nabi sebelum bi’tsah(diutus menjadi rosul) atau sesudahnya. Secara
epistemologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam
kedua setelah al-Qur‟an,sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an yang masih mujmal(global), ‘am(umum) dan mutlaq(tanpa batasan). Bahkan secara
mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqorir)suatu hukum yang belum ditetapkan
oleh al-Qur‟an.Namun demikian untuk memahami maksud suatu hadis secara baik terkadang
relatif tidak “mudah”, khususnya jika menjumpai hadis-hadis yang tampak saling
bertentangan.Terhadap hal yang demikian, biasanya para ulama hadis menempuh tarjih
(pengunggulan) atau nasakh mansukh (pembatalan) dan atau metode Al-Jam’u
(mengkrompomikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadis sampai
ditemukan adanya keterangan hadis manakah yang bisa diamalkan. Sikap mentawaqquf-kan
atau mendiamkan hadis ini, masih bisa diberikan solusi dengan cara memberikan taqwil atau
interpretasi secara rasional terhadap hadis tersebut.Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW.
Sebagai mitra al-Qur‟an secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk
membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer
sekarang.Karena bagaimanapun tampaknya ketika kita sepakat bahwa pembaharuan

13
pemikiran Islam atau aktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi
landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur‟an dan hadis.7
Adapun dalam memahami hadis, terdapat beberapa prinsip dasardi bidang ini:
1. meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis yang di maksud sesuai dengan
acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakniyang
meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi SAW, perbuatannya,
ataupun ketetapannya.
2. dapat memahami dengan benar nash-nashyang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan
pengertian bahasa (Arab) dan dalam konteks hadis tersebut serta sebab
wurud(diucapkannya) oleh beliau.
3. memastikan bahwa nashtersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih
kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Qur‟an, atau hadis-hadis lain yang lebih
banyak jumlahnya, atau lebih sahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul.8
samping itu, dalam diskursus ilmu hadis juga dikenal hadis yang memiliki asbabul
wurudkhusus, ada pula yang tidak. Untukkategori pertama, menggunakan perangkat ilmu
yang disebut asbabul wuruddalam memahami maknanya.Persoalannya kemudian adalah
bagaimana jika suatu hadis itu tidak memiliki asbabul wurudsecara khusus.Disinilah
kemungkinan dilakukannya analisis pemahaman hadis (fiqhul ḥadiṡ)dengan pendekatan
Historis, Sosiologis, Sosio-Historis, Antropologis dan Psikologis.
Dengan pendekatan Historis, Sosiologis, Sosio-Historis, Antropologis dan Psikologis
semacam itu, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat,
apresiatifdan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman sehingga dalam
memahami hadis tidak hanya terpaku pada zhahir teks hadis melainkan harus memperhatikan
konteks sosio-kultural waktu itu.9
1. Pendekatan Bahasa
Mengingat hadis Nabi direkam dan disampaikandalam bahasa, dalam hal ini bahasa yang
digunakan adalah bahasa Arab.Oleh karena itu pendekatan yang harus dilakukan dalam
rangka memahami hadis adalah pendekatan bahasa dengan memperhatikan ghirah
kebahasaan yang ada pada saat Nabi hidup

7
Said Agil Husin Munawir, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 26
8
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1993), h. 26-27
9
M. Alfatih Suryalidaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta:SUKA-Press UIN Sunan
Kalijaga, 2012), h. 63-64
14
2. Pendekatan historis
yang dimaksud di sini adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi
atau peristiwa yang terkait latar belakang munculnya hadis.
3. Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadis adalah memahami
hadis Nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi
masyarakat pada saat munculnya hadis. Kontribusi pendekatan sosiologis bertujuan untuk
menyajikan uraian yang meyakinkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan manusia
dalam berbagai situasihidup dalam hubungannya dengan ruang dan waktu. Dengan melihat
setting sosial yang melingkupi hadis, dari kondisi setting sosial yang terkait dengan hadis
yang dapat diperoleh gambaran yang utuh dalam pemahaman hadis. Pendekatansosiologis
dalam memahami hadis dapat diterapkan misalnya pada hadis tentang persyaratan keturunan
Quraisy bagi seorang imam atau kepala Negara.
4. Pendekatan Antropologis
Adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini Islam tampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya.
5. Pendekatan Hermeneutika
Hermeneutika adalah sebuah instrument yang digunakan untuk mempelajari keaslian teks
kuno dan memahami kandungannya sesuai dengan kehendak pencetus ide yang termuat
dalam teks tersebut dengan pendekatan sejarah. Melalui metode hermeneutik, hadis bisa
diubah menjadi sunnah yang hidup.Dan ini akan membuat kaum muslimin dapat
menyimpulkan norma-norma darinya yakni hadis untuk kepentingan kebutuhan zamannya
melalui suatu teori etika yang memadai dan penumbuhan kembali hukumnya.

BAB II
PENUTUP
a. Kesimpulan
Nama-nama para tokoh Hadits

15
Imam Malik Bin Anas Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin ‘Amr bin Harits Al – Ashbahi

Imam ahmad, (nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hilal
bin Asad Asy- Syaibani Al – Marwazi, dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw
(saat ini bernama Mary di Turkmenistan,utara Afganistan dan utara Iran) pada tanggal 20
rabi’ul awal 164 H / 781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad, Irak.

Imam an- nasa Nama lengkapnya adalah abu abdurahman ahmad ibn Syu’aib bin ‘Ali ibn
Abi Bakar ibn Sinan An – Nasa’i.

Abu dawud Nama lengkap Abu Dawud Sulaiman bin Al – Asy’ats bin ishaq bin Basyir
bin Amar bin ‘Amran al – Azdi As – Sijistani.

Abu Sa’id Al-Khudri Dia adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan ibn ‘Ubaidibn Tsa’labah ibn
‘Ubaid ibn al-Abjar, yaitu Khudrah ibn ‘Auf Ibn al-Harits ibn al-Kharraj al-Anshari.

Imam At-Tirmidzi Nama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin
al-Dlahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi, ada dua nama nasab bagi Imam al-Tirmidzi.

Iman Imam Ibnu Majah atau Ibnu MajahNama lengkap Imam Abu Abdullah Muhammad
bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab
bemanfaat lainnya.

Kaidah-kaidah Pemahaman Hadis

As-sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah (tuntutan)-
nya, para ahli fiqih merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana
para ahli dakwah dan tarbiyahmerujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang
mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk kedalam
sanubari manusia.

b. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat

16
dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran mengenai pembahsan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

17
Endang Soetari. Ibnu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustak.2005.
hlm. 281.
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1993)
Said Agil Husin Munawir, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1993).

M. Alfatih Suryalidaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta:SUKA-Press UIN Sunan


Kalijaga, 2012).

http://iisherlina2903.blogspot.com/2016/12/makalah-hadist-biografi-singkat-para.html?m=1.

18

Anda mungkin juga menyukai