Anda di halaman 1dari 15

BAB III

Problem Manusia Modern dan Konsep Tajalli

A. Problem Manusia Modern

Kehampaan yang dirasakan Manusia modern adalah rasa putus asa,


rasa cemas, itulah yang banyak dirasakan oleh manusia modern,
kemudian kasus-kasus seperti pemerkosaan, aborsi, pembunuhan,
perampokan dan perusakan alam secara terus menerus telah merenggut
ketenangan pada manusia modern. Tawaran-tawaran solusi yang
diberikan untuk mengatasi permasalahan ini hanya bersifat materi,
tentu tidak akan menyelesaikan permasalahan manusia modern dengan
sempurna.1

Manusia modern percaya bahwa mereka akan hidup selamanya di


dunia ini tentu akan berakhir pula disini tanpa tau bahwa ada kehidupan
setelah mati, bagi manusia modern perjalanan spiritual hanya bagaikan
lelucon saja mereka sama sekali tidak percaya dan tidak menganggap
itu ada. Sehingga menyebabkan jiwa-jiwa manusia modern saat ini
terisolasi dalam ruang sempit yang ada di dunia ini.2 Akan tetapi disisi
lain manusia modern memiliki kebanggan tersendiri atas pencapaian
yang telah mereka usahakan, kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan. Tetapi disi lain mereka buta akan dunia spiritual sehingga
mengalami krisis spiritual. Ternyata kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan tidak membuat manusia modern makna kehidupan,
manusia modern saat ini telah kehilangan pengetahuan langsung akan

1
Yusniar Ali, Sufisme dan Pluralisme (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2012), 250.
2
Mulaydhi Kartanegara Menyelami Lubuk Tasawuf, 266.
jati dirinya, kesadaran akan ke-Tuhanan dan merasakan kehadiran-Nya
sudah mulai memudar. Manuia modern bagaikan berkas-berkas cahaya
yang tenggelam dalam kegelapan yang tidak sanggup menghubungkan
dirinya kepada sumber cahaya Tuhan.3

Manusia modern telah mengalami amesia atau lupa dengan jati


dirinya, manusia modern melupakan bahwa mereka adalah makhluk
yang termanifestasi dari zat al-Haq, lalu manusia modern juga hanya
memandang ala mini dari kaca mata sains semata dan tidak mengakui
adanya zat Tuhan serta menafikan sisi spiritual yang hakikatnya sangat
dibutuhkan oleh manusia.4 Maka manusia modern beranggapan bahwa
alam ini hadir dengan sendirinya tanpa ada yang meciptakan, hadirnya
entitas manusia juga sama dengan alam, pandangan materialism ini
telah merasuki jiwa-jiwa manusia modern yang menganggap alam
sebagai materi saja. Maka semakin banyak pula manusia yang haus
akan spiritual dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kehampaan
yang diakibatkan oleh mempresepsikan diri mereka sebagai realitas
materi saja, telah terlihat aneka kerusakan alam, tercemarnya lautan dan
perusakan hutan.5 Gaya hidup materialistik salah satu sebab yang
membuat manusia modern mengalami kehampaan dan haus spiritual
karena gaya hidup hanya mengandalkan materi saja, mencari solusi atas
sebuah problem selalu lewat materi, maka manusia modern saat ini
digolongkan sebagai post industrial society, suatu masyarakat yang
telah mencapai kemakmuran hidup material yang sangat maju, serba

3
Eep Sopwana Nurdin, Penghantar Ilmu Tasawuf, (Bandung: Aslan Grafika
Solution, 2020), 146.
4
Seyyed Hossien Nasr Islam and the Plight of Modern Man, 5.
5
Abdullah Mufid dan Ajriya Ninda, Alam dan Manusia, (Yogyakarta: Jejak
Pustaka), 115.
canggih, tetapi manusia modern juga tidak menemukan ketenangan
batin disaat zaman sangat maju, justru mereka merasakan kehausan
spiritual yang amat sangat dalam.6 Permasalahan manusia modern saat
ini bukan bidang teknologi, ekonomi, teknik bahkan industry, tetapi
lebih jauh lagi ada permasalahan psikologi, spiritual dan kepercayaan.
Pendekatan secara materi dan empiris tidak akan cocok untuk
mengatasi permasalahan kerohanian yang absurd.7sehingga
menimbulkan adanya noda di dalam kehidupan saat ini, mecari
kepuasaan melalui indrawi yang memberikan kesenangan dan
ketenangan sesaat, mencari ketenangan dengan obat-obatan serta
alkohol, semuanya mencerminkan jiwa-jiwa yang kosong dari dimensi
spiritual yang sangat dibutuhkan oleh manusia.8 Teknologi hakikatnya
telah tampak sudah mengangkat harkat manusia melalui ilmu
pengetahuan tetapi nayatanya tidak justru kemajuan teknologi juga
sebenarnya yang telah telah menurunkan harkat manusia, jika dianalisis
gaya hidup materialistis adalah penyebab terjadinya problem manusia
saat ini, yang merasa mereka tidak akan bertanggung jawab atas dunia
ini dan mereka juga selalu beranggapan bahwa tidak ada kehidupan
setelah mereka tiada di dunia ini, berfikir bahwa kehidupan di dunia ini
terus berjalan tanpa ada akhir dan mereka hidup juga tidak mengetahui
bagaimana awal kehidupan di dunia ini. Hidupnya sangat jauh dari
nilai-nilai agama karna agama tidak akan dilibatkan ke dalam
kehidupan sehari-hari manusia modern saat ini.9

6
Syamsun Ni'am, Tasawuf Studies (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 204.
7
Yusniar Ali, Sufisme dan Pluralisme, 250.
8
Seyyed Hosien Nasr A Young Muslim’s Guide to the Modern World, 232.
9
Muksinul Fuad, “ Dakwah Terapetik: Solusi atas Problem Manusia
Modern”.Komunika, vol. 1, no.2 (Desember 2007): 221.
B. Tajalli

Tajalli secara bahasa berarti “tampak dan menyingkapkan”, 10


sedangkan menurut Abu Mansur tajalli adalah “melihat dengan
pengawasan”11, hanya orang-orang pilihan akan menyaksikan
perwujudan diri Tuhan yang nyata.12 Tajalli biasanya diterjemahkan
penulis-penulis modern ke dalam bahasa Inggris dengan “self-
dislcousre” (penyingkapan diri,pembukaan diri), “self-relevation”
(pembukaan diri,penyataan diri), “self-manifestation” (penampakan
diri) dan “theophanie” (penampakan Tuhan), “irradiation”
(pemancaran,bukaan).13 Tajalli menyelusupi kseseluruhan bangunan
pemikiran Ibn al-‘Arabi, bahkan tajalli adalah tiang filsafat dari konsep
wahdat al-wujud karena tajalli adalah ditafsirkan dengan peciptaan,
yaitu munculnya yang banyak dari yang Satu tanpa akibat, Yang Satu
itu menjadi banyak, Ibn al-'Arabi menggunakan isitilah kata tajalli
mengartikan bahwa Tuhan menunjukkan diri-Nya kepada alam semesta
karena wujud hadir dalam nama dan sifat dan sifat-Nya. 14 Dalam istilah
tasawuf tajalli berarti “penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut
dalam bentuk alam yang bersifat terbatas”. Konsep tajalli beranjak dari
pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam)
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam
versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkhendak untuk diketahui, maka
Ia pun menampakkan Diri-Nya melalui penyingkapan diri yang disebut
10
Louwis Ma’luf al-Yassu’I dan Bernard Tottel al-Yassu’I, Kamus al-
Munjid fi al-lughah wa al-a’lam (Beirut: Darul Masyriq, 2008), 99.
11
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid 14,(Beirut: Dar Sader Press), 153.
12
Abu ‘I-Qasim al-Qushayri, Al-Risalah al-Qushayriyya Fi ‘Ilm al-tasawwuf
(Kairo: Darul Jawami’ al-Kalam, 2010), 109.
13
Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud dalam Perdebaatan, 57.
14
William Chittick, Self Disclosure of God (New York: State University of
New York Press, 1998), 52.
dengan tajalli.15 Ibn al-‘Arabi sendiri mengatakan bahwa tajalli adalah
apa yang tersingkap pada hati dari cahaya-cahaya yang gaib dan
memiliki tingkatan yang berbeda beda.16 tajalli ialah lenyap atau
hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan),
lenyapnya segala sesuatu dan nampak wajah Allah. Imam al-Ghazali
pernah mengatakan “tersingkapnya hal-hal yang gaib yang menjadi
pengetahuan kita yang hakiki karena nur dipancarkan Allah ke dalam
hati seseorang”.17

Ibn al-‘Arabi menyebut dirinya salah satu ashab al-tajalli (the


companion of self-disclosure). Nabi mengatakan bahwa Tuhan men-
tajalli-kan diri-Nya sendiri ke dalam bentuk lain dan mengubah diri-
Nya sendiri ke dalam bentuk lain. Tajalli penampakan wujud Tuhan
yang tidak terbatas menjadi bentuk-bentuk tertentu, diantaranya berupa
alam, yang karenanya Tuhan senantiasa dirasakan hadir dalam segala
sesuatu.18 Tuhan hanya dapat dikenal melalui tajalli-Nya pada alam
empiris yang serba ganda dan terbatas ini, tetapi wujud-Nya yang
hakiki tetaplah transenden, tidak dapat dikenal oleh siapapun. Plotinus
melihat hubungan Tuhan dengan alam adala emanasi, sedangkan Ibn
al-‘Arabi melihatnya dalam bentuk tajalli. Perbedaan mendasar antara
emanasi (faidl) dan tajalli adalah bahwa emanasi bersifat vertical,
karena melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awal secara
vertikal dan gradual sehingga menjadi alam semesta yang serba-ganda;
sedangkan tajalli bersifat horizontal, karena segenap fenomena
15
Kholid Al Walid, Filsafat Tasawuf Buku Daras, 61.
16
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyya, jilid 4, (Beirut: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 2010), 171.
17
M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat
Modern”. Jurnal Tribakti, vol.27, no. 1 (Januari 2016): 128.
18
William Chittick, Self Disclosure of God , 52.
maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi dari al-
Haqq. Contoh konkret yang bisa dikemukakan untuk tajalli ialah seperti
biji kacang, jika ditanam akan tumbuh ke atas (batang), ke samping,
dan ke bawah (akar). Sekalipun demikian, Ibn al-‘Arabi juga memakai
kata faydl dalam pengertian tajalli.19 Segala sesuatu juga menerima
tajalli dari Tuhan sesuai kemampuan dari benda-benda tersebut, kita
menjumpai bahwa kayu hanya bisa menerima bentuk kursi, mimbar,
bangku dan pintu. Manusia tidak pernah melihat ada kayu yang bisa
menerima bentuk baju, selendang atau celana. Yang manusia tahu
adalah kain yang menerima bentuk-bentuk tersebut , tetapi kain juga
tidak bisa menerima bentuk pisau atau pedang. Kemudian kita melihat
bahwa air bisa menerima warna wadah-wadahnya dan warna-warna
yang ber-tajalli atau menampakkan diri kepadanya, sehingga ia bisa
disifati dengan warna biru, putih atau merah. Karena itu, ketika Imam
Junayd ra.-semoga Allah merahmati beliau!-ditanya tentang ma’rifah
dan ‘arif beliau berkata, “Warna air sesuai dengan warna wadahnya.”20

Tajalli sendiri tidak hanya bersifat untuk alam, melainkan juga


untuk manusia, sebagaimana Tuhan ber-tajalli kepada al-Hallaj, maka
nama al-Hallaj telah tiada (fana), yang tinggallah nama Tuhan al-Haqq
(Sang Kebenaran). Pada saat itulah al-Hallaj mengatakan ana al-Haqq,
yang berarti “Aku adalah Kebenaran”, atau “Aku adalah Tuhan”.
Menurut penafsiran Rumi yang mengatakan “Aku Tuhan”, tetapi Tuhan
sendirilah yang mengatakannya. Inilah sekedar contoh tajalli yang
terjadi dapa diri al-Hallaj.21 Yang memiliki Wujud hanyalah Allah,
19
Yunasril Ali, Manusia Citra, (Jakarta: Paramadina 1997) Cet I, 50-51.
20
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyya, jilid 1, (Beirut: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 2010), 430.
21
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung: Mizan, 2017), 87.
Esensinya satu tetapi prngungkapan diri-Nya banyak dan tidak bisa
dibandingkan dengan diri-Nya, Allah bertajalli secara sempurna kepada
Insan al-kamil dan insan al-kamil menerima dengan sempurna dari
tajalli Allah yakni melalui tajalli Dzat-Nya dan nama-nama-Nya. tajalli
Tuhan tidak ada hentinya dan tidak pula berulang-ulang, Tuhan
menciptakan segala sesuatu di alam ini adalah bentuk kemurahan dan
belas kasih-Nya. Akan tetapi tajalli Allah yang sempurna hanya kepada
insan al-kamil. Dan insan al-kamil hanya bisa dilihat oleh orang yang
tidak ingkar kepada Allah dan tidak pula munafik.22 Tajalli bukan
sekedar pengalam rohani tentang Allah tetapi juga peciptaan Allah
terhadap alam semesta. Oleh karena itu konsep tajalli erat kaitannya
dengan tanzih dan tasybih. Alam sebagai tajalli haruslah dipahami
bahwa Dia menampakkan keberadaan diri-Nya di alam. Penampakan
Allah dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami dengan pengertian
bahwa penampakkan-Nya tidak secara lansgung, yakni melalui bentuk
akualitas alam. Dia menunjukkan zat, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya,
sementara Dia sendiri tetap berada dibalik dari segala
penampakan/tajalli-Nya itu. Bagi Ibn al-‘Arabi sendiri siapa yang men-
tasybih-kan Allah tanpa men-tanzih-kan maka orang itu adalah jahil
(tidak mengenal Allah), sedangkan orang yang men-tanzih-kan Allah
tanpa men-tasyibih-kan Allah, maka orang itu hanya mengenal Allah
sebahagian saja. Orang-orang yang mengenal Allah secara sempurna
haruslah mengharmoniskan pandangan tanzih dan tasybih. Dengan kata
lain seseorang haruslah men-tanzih-kan apa yang seharusnya menjadi

22
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 30.
tanzih tetapi tidak boleh melupakan yang tasybih dan yang men-
tasybih-kan Allah tidak boleh melupakan yang tanzih.23

Ibn al-'Arabi membedakan tipe emanasi: emanasi paling suci


(al-fayd al-aqdas) dan emanasi suci (al-fayd al-muqaddas). Tipe
pertama lebih dahulu dari pada tipe kedua, emanasi paling suci adalah
disebut juga sebagai penampakkan esensi wujud Tuhan (al-tajalli al-
dzati) dan penampakkan diri gaib (al-tajalli al-ghaybi). Emanasi paling
suci ini adalah tahap pertama yang membentuk dalam penampakan diri
Al-Haq. Ini terjadi pada maqam al-'ama'. Pada maqam ini Al-Haq tidak
menampakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain kecuali diri-Nya
sendiri yakni tajalli al-dzat al-ahadiyyah. Kemudian kedua adalah
emanasi suci (al-fayd al-muqaddas), penampakkan diri eksistensi (al-
tajalli al-wujudi). Emanasi suci adalah penampakkan eksistensi Al-
Haq dalam bentuk-bentuk potensial atau dalam tahapan ini Al-Haq
menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas
dalam wujud alam yang konkrit.24

C. Tajalli Al-Asma' dan Al-Sifat

Tajalli atau penyingkapan diri Tuhan melahirkan keberagaman


Nama dan Sifat yang kemudian Nama dan Sifat itu sendiri menuntut
untuk menimbulkan keberagaman dalam Ta'ayunnat. Beragam hal yang
kemudian muncul sebagai kresasi zhahir tidak lain akibat dari
termanifestasikannya Nama dan Sifat tersebut. Dalam proses Tajalli al-
Haqq memiliki beberapa tahapan sebagai berikut:25

23
Fuad Mahbub Siraj, “ Tasauf dan Kosmologi”. Ilmu Ushuluddin, vol. 2,
no.1 (Januari 2014): 61.
24
Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud dalam Perdebaatan, 63.
25
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis (Jakarta: Sadra Press, 2020), 56.
1. Al-Kanz Al-Makhfi

Biasa disebut dengan Haqiqat Al-Wujud yang "unconditionally


absolute", disitilahkan juga sebagai "al-Kanz al-Makhfi", "al-'Anqa al-
Mughrib", Ghayb al-Ghuyub", Haqiqat dalam esensi-Nya, Ia
transenden dari segala pemahaman dan juga penyaksian (al-
musyahadah). Pada tahapan ini Allah tidak ada nama dan tidak juga
ada defenisi "la isma lahu wa la rasma lahu". Maka itu adalah bentuk
untuk mengekspresikan Haqiqat.26

2. Al-Ta'ayyun al-Awwal: Al-Ahadiyyah

Haqiqat Al-Ghaib ini ketika Allah memanifestasikan diri-Nya ,


tajalli ini dinamakan sebagai "tajalli al-ahadiy al-Zati". Dan Ia juga
sebagai partikularisasi pertama atau "al-ta'ayyun al-Awwal" – "the
Frist Entification" dari , Haqiqat al- Wujud. Ta'ayyun ini adalah
"martabat al-ahadiyah".27 Dimartabat ini, semua Asma' dan Sifat
hilang (al-mustahlak) dan tenggelam asma dan sifat belum dapat
dikenali dalam martabat atau dengan kata lain asma dan sifat di
martabat ini belum menjadi nyata.28

Maqam al-Ahadiyyah dipanggil al-'Ama'. Dan martabat al-


Amaiyyah ini sebernarnya berasal dari hadis Nabi ketika seorang arab
datang kepada Rasul dan bertanya;

26
Seyyed Ahmad Fazeli, Tasybih va Tanzih az Didgah Ibn al-'Arabi, terj
Muhammad Nur Jabir, (Jakarta: Sadra Press, 2016), 93.
27
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, 2020, 57.
28
Kholid Al Walid, Filsafat Tasawuf Buku Daras 2020, 48.
"Dimanakah Rabb kami sebelum Dia mencipta ciptaan? Nabi
menjawab: Dia berada di awan (al-'Ama') yang diatasnya tiada udara
(al-hawa') dan dibawahnya juga tiada udara."29

Para sufi memiliki pandangan yang berbeda mengenai haqiqat


al-'Ama'. Abd al-Razzaq Al-Qashani menyatakan bahwa al-'Ama'
adalah maqam al-Ahadiyyah atau al-ta'yyun al-awwal. Karena maqam
al-Ahadiyyah berada dalam hijab keagungan dan tidak ada sama sekali
akses untuk mengenalinya. Maqam al-Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah
bisa dikatakan sebagai al-'Ama'. Qunawi terkadang menyatakan bahwa
al-Ahadiyyah yaitu al-'Ama' dan terkadang menyatakan bahwa al-
Wahidiyyah yaitu al-'Ama'. Di maqam al-Ahadiyyah, belum ada
"katsrah" secara "distinctive", semua Asma dan Sifat tenggelam secara
sintesis, di sini Al-Haq menyaksikan haqiqat ini dengan syuhud Zati
Ahadi, yakni "Syuhud al-mafassal fi I-mujmal"- witnessing the
differentiated in the undifferentiated) yang dita'birkan juga sebagai
"ru'yat al-mufassal mujmalan"-witnessing the differentiated as the the
undifferentiated) seperti penyikapan "pohon dalam benih". Tajalli ini
dinamakan sebagai "kamal al-Jala" (Kesempurnaan Penyingkapan)
adalah "primordialistik".30

3. Al-Ta'ayyun al-Tsani: Al-Wahidiyyah

Tidak semua kata tunggal atau esa tidak bisa "dikutak katik"
lagi, angka "satu" lewat manipulasi aritmetika bisa menjadi dua, atau
seratus, semiliar, setengah dan seperjuta. Pada aspek ini Allah yang
satu memanifestasikan diri-Nya ke dalam multiplisalitas, dan pada

29
Kholid Al Walid, Filsafat Tasawuf Buku Daras 2020, 48.
30
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, 2020, 60.
aspek inilah,"terjauh" yang dapat manusia ketahui.31 Maqam al-
Wahidiyyah adalah maqam yang terdapat kemajmukan. Dari sini
terwujud a'yan tsabitah, yang merupakan maqam esensi-esensi
penciptaan, yang atasnya semua makhluk tercipta. Sehingga turun ke
semesta alam-alam, mulai dari alam jabarut (ruhani) dan alam malakut
(alam perantara) dan alam fisik (syahada).32

Haqiqat al-Wujud saat memanifestasikan Diri-Nya dalam al-


Asma dan al-Sifat secara jelas (distinctive) dalam maqam al-
Wahidiyyah atau bisa juga disebut sebagai maqam al-Ilahiyyah.
Kemudian pada maqam ini al-asma akan tampak jelas (mazahir al-
Asma) tetapi masih pada wujud ilmiyah karna masih pada tahapan
a'yan tsabitah kemudian termanifestasi secara konkrit sesuai dengan
kesiapan (isti'dad) mereka dari sini mulai al-A'yan dari ilmu hingga
kepada level konkrit, dan ini juga dikenal dengan martabat
Rububiyyah. Samapai di sini sudah dijelaskan bahwa manifestasi al-
Asma dan al-Sifat secara jelas di maqam al-Wahidiyyah. al-Asma'
adalah manifestasi dari Zat Al-Haq, dan bukanlah nama yang disebut,
seperti Al-Rahman dan Al-Ghafur. Karena nama itu hanyalah sebutan
yang mengindikasikan bahwa Allah adalah realitas yang Al-Rahman
dan Al-Ghafur. Maka nama atau Al-Ism dalam metaphysic adalah
realitas atau manifestasi Al-Haq, jadi nama yang disebut hakikatnya
adalam nama bagi Nama.33

4. Al-Ism adalah Al-Musamma

31
Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006), 173.
32
Haidar Bagir, Episemologi Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2018), 74.
33
William Chittick, Self Disclosure of God, 63.
Setiap ada Nama (al-Ism) tentu ada pula yang dinamakan (al-
Musamma'). Nama adalah identik dengan yang dinamakan. Dengan
kata lain, nama adalah satu dengan yang dinamakan. Maksudnya adalah
mereka dari Nama dalam pernyataan ini, bukanlah sebutan tetapi Nama
sebenarnya yaitu manifestasi. Nama adalah sesuatu yang
mengindikasikan atau menggambarkan sebuah objek yang dinamakan.
Setiap gambaran yang ada pada cermin, tentu akan menggambarkan
sebuah objek yang ada di depan cermin tersebut, jika di depan cermin
ada mawar tentu gambaran di cermin juga mawar yang persis dengan
objeknya dan jelas sekali bahwa yang ada di dalam cermin tidak
memiliki identitas sendiri. Identitasnya hanya hasil dari sebuah objek
yang di depan cermin.34

D. Pembagian dan Klasifikasi Al-Asma' dan Al-Sifat


1. Sifat Al-Ijabiyah dan Salbiyah

Qasyari membagi pembagian sifat menjadi Sifat al-Ijabiyah dan


Sifat al-Salbiyah. Kemudian Ijabiyah terbagi menjadi haqiqiyyah dan
Idafiyyah. Sifat Ijabiyah merupakan sifat menguatkan bagi Zat Al-Haq,
sedangkan Idafiyyah berarti ketika mengabstraksi sesuatu dari haqiqat
atau objek lain tanpa mengikut sertakan yang lain dan tanpa
memperhatikan yang lain, sifat ini seperti yang hidup Al-Hayat, ketika
sifat ini diabstraksikan dari Haqiqat al-Wujud pada maqam al-
Wahidiyyah, ia tidak memerlukan perhatian pada selainnya. Cukup
hanya memperhatikan Haqiat, maka sifat ini sudah bisa diabstraksikan
sedangkan Idafiyyah berarti mengabstraksi suatu sifat dari Haqiqat al-

34
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, (Lahore: Suhail Academy, 1983),
99.
Wujud, harus ada perhatian kepada selainnya. Dan perhatian kepada
selain ini bisa terjadi kepada selain sifat itu atau selain Zat sendiri.35

Idafiyyah terbagi menjadi murni seperti al-Awwaliyyah dan al-


Akhiriyyah sifat ini diperhatikan satu sama lain, karena al-awal adalah
awal ketika diperhatikan dengan yang akhir. Kemudian Idafiyyah yang
berelasi dengan lain, relasi-Nya dengan yang mumkinl al-wujud seperti
al-Rububiyyah. Dia tidak akan bersifat rububiyyah jika tidak ada yang
marbub. Kemudian sifat al-Salbiyah merupakan sifat yang mafhum
yang non-eksistensi, seperti Al-Quddusiyyah, yaitu Zat yang tidak ada
kekurangan. Hakikatnya semua sifat al-Salbiyyah kembali kepada arti
positif.36

2. Sifat Jalaliyah dan Jamaliyyah

Sifat Jalaliyah berkaitan keagungan, dan menjatuhkan dengan sifat


.Sedangkan sifat Jamal (Maha Indah) adalah bentuk manifestasi dari
Al-Haq kepada Adam dan sifat ini berkaitan dengan sifat lainnya
seperti kasih sayang dan kelembutan. Sifat Jalaliyah perkasa,
menjatuhkan hukum atas yang bersalah, sebagaimana Tuhan
memberikan hukuman kepada Iblis yang merasa dirinya lebih baik dari
pada Adam.37

3. Sifat yang Meliputi (Al-Muhit) yang Mutlak dan Parsial

Al-Muhit adalah yang meliputi makna terdalam dari dari sifat al-
Haq yang berarti Encompassing, nama Al-Muhit meliputi segala
35
Kholid Al Walid, Filsafat Tasawuf Buku Daras 2020, 53.
36
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, 65.
37
Yunasril Ali, Manusia Citra, 83.
sesuatu yang dan tidak ada yang keluar dari wilayahnya. 38 Dan sifat ini
adalah induk sifat atau disebut Tuan-tuan: Al-Hayat (kehidupan),
Al-'Ilm (ilmu), Al-Iradah (kehendak), Al-Qudrah (kuasa), Al-Qa'il
(perbicaraan), Al-Jawwad (dermawan) kemudian Al-Muqsit dan Al-
Muqsit (adil). Nama Al-Hayat adalah yang paling universal karna nama
yang enam tersebut tidak bisa termanifestasi tanpa dirinya.39

4. Ummahat Al-Asma'

Ummahat Al-Asma' adalah Al-Awwal, Al-Akhir, Al-Zohir dan Al-Batin.


Dan semua empat Nama ini berada dalam satu Nama yaitu Allah atau
Al-Rahman. Seperti yang diisyaratkan dalam firman Ilahi:

‫قُ ِل ْادعُوا اللّه َأ ِو ْادعُوا الرَّمْح َ َن أيًّ َّاماتَ ْدعُوا َفلَهُ اَألمْسَآءُ احلُ ْسىَن‬

"Katakan: serulah Allah atau Al-Rahman. Yang mana saja kamu seru,
maka Dia mempunyai Al-Asma' Al-Husna." (QS 17: 110)

Setiap satu dari nama Allah dan Al-Rahman mempunyai Nama-Nama


dibawah naungannya. Dan setiap nama adalah mazharnya (yaitu tempat
zohirnya) secara azali dan abadi. Maka keazalian-Nya itu nama dari Al-
Awwal, Al-Akhir, Al-Zohir dan Al-Batin.40

5. Al-Asma Al-Zatiyyah, Sifatiyyah dan Af'aliyyah

Ketika Zat Allah termanifestasi dalam Nama-nama, Nama tersebut


adalah al-Asma' al-Zatiyyah. Kemudian ketika sifat yang termanifestasi
38
William Chittick, Self Disclosure of God, 12.
39
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyya, jilid 1, 157.
40
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, 68.
dalam Asma', Nama tersebut adalah al-Asma' al-Sifatiyyah dan ketika
perbuatan yang termanifestasi dalam Asma' itu adalah al-Asma' al-
Af'aliyyah. Jika al-Asma' al-Zatiyyah termanifestasi dalam bentuk
mazhar maka disebut dengan tajalli Zat. Jika al-Asma' al-Sifatiyyah
termanifestasi dalam bentuk mazhar maka disebut dengan tajalli Sifat.
Dan jika al-Asma' al-Af'aliyyah termanifestasi dalam bentuk mazhar
maka disebut tajalli Af'al. Al-Asma' dan al-Sifat merupakan
penyingkapan diri Al-Haqq. Dari Zat yang tidak teridentifikasi hingga
memunculkan maqam Ahadiyat dan Wahidiyat, sehingga dari
keberagaman al-Asma' dan al-Sifat inilah muncul keberagaman di alam
semesta.41

41
Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, 69.

Anda mungkin juga menyukai