Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ILUMINATI (MISTISISME) DALAM KONSEP IBN ARABI

Disusun Oleh :

Juwita

Juwita Julianti

Kevin Jodi

Khoerotunnisa

Khoerunnisa N. Arifa

Laili Nuri Meinarti Putri

Lina Mustakimah

TASAWUF PSIKOTERAPI/III/B
USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu tentang
Iluminati (mistisisme) dalam Konsep Ibn Arabi.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami sampaikan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susuan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata dari kami, semoga makalah ini dapat menambah


khazanah pemikiran kita tentang filsafat ilmu dan dapat memberikaan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bandung, 02 Nopember 2015

Penyusun,
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemikiran iluminasi Ibn Arabi merupakan salah satu di antara sekian banyak varian
pemikiran yang hidup dalam tradisi mistik Islam. Pandangan lminasinya dikenal rumit dan
sangat elitis. Dalam mengartikulasikan pemikiran mistisnya yang tertuang dalam dua
magnum opus-nya Futuhat al-Makiyyah dan Fushus al-Hikam, ia cenderung memadukan
kemampuan nalar dan kedalaman dzauqiyah, sehingga tidak semua orang bisa menjangkau
ungkapan-ungkapan metaforisnya. Pemikiran ilminasi Ibn Arabi sering dikaitkan dengan
istilah Wihdat al-Wujud. Dalam konteks ini pada dasarnya ia mencoba menyeimbangkan
pemahaman antara imanensi (tasybih) dan transendensi (tanzih).

Di antara sekian banyak pemikiran filsafat mistik (tasawuf falsafi) dalam Islam,
pemikiran Ibn Arabi merupakan salah satu model yang unik karena kepiawaiannya
memformulasikan pengalaman mistisnya ke dalam bahasa filsafat, atau juga merupakan
pemaduan unsur-unsur mistis ke dalam filsafat, sehingga filsafat yang disajikan tidak murni
rasional, tetapi sudah dilengkapi dzauqiyyah (intuitif). Keunikan lain dari pemikiran Ibn
Arabi, karena tidak kurang hebatnya dalam mengundang kontroversi di kalangan pemikir
keagamaan (Islam) lainnya. Pemikiran Ibn Arabi yang banyak mendapat perhatian adalah
tentang Wihdat al-Wujud (Kesatuan Wujud). Sehingga menarik perhatian kami untuk
membuat makalah yang berjudul Iluminati (mistisisme) dalam Konsep Ibn Arabi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Ibn Arabi?


2. bagaimana konsep Ibn Arabi tentang iluminati?
3. Bagaimana metodologi Ibn Arabi tentang sumber ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Ibn Arabi

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi
al-thaI al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhamad
Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali Muhyidin atau
al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan nama Ibnu
Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al -Arabi. 1

Muhammad Ibn Ali Muhammad Ibnu Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia
Spanyol bagian Utara lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada
pemerintahan Muhammad Ibn Said Ibn Mardanisy. Ibnu Arabi berasal dari keturunan
Arab berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya, menteri utama Ibn Mardanisy, jelas
seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di bidang politik dan pendidikan, keluarganya
juga sangat religius, karena ketiga pamannya menjadi pengikut jalan sufi yang
masyhur, dan ia sendiri digelari Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al Syaikh al
-Akbar (doktor maximus) karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam
bidang mistik.

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu Arabi
meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini
ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Quran
dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.

Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi
Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun. Di kota di Sevilla inilah
Pendidikan Ibnu Arabi dimulai ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran
yang umum pada saat itu al-Quran dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan Filsafat
Skolastik, Ilmu Kalam. keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga
kedudukan ayahnya mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia
belasan. Yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla pada saat itu selain sebagi kota ilmu
pengetahuan juga merupakan kegiatan Tasawuf dengan banyak guru sufi terkenal yang
tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat
pembentukan Ibnu Arabi sebagai tokoh sufi yang terpelajar, apalagi ia telah masuk
Thariqat diusia yang masih 20 tahun.

Selama menetap di Sevilla Ibnu Arabi muda sering melakukan kunjungan


berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh
sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan yang paling mengesankan
adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu Arabi
mengalahkan tokoh filosuf peripatetik ini dalam perdebatan dan tukar pikiran,
sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual
sufi muda ini. juga menunjukan adanya hubungan yang kuat antara Mistisisme dan
filsafat dalam M.fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya,
(Surabaya :Risalah Gusti, 2000), hal 101. Kesadaran metafisis Ibnu Arabi.
Pengalaman pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan didukung oleh pemikiran
filosofisnya yang ketat, Ibnu Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosuf
paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu
pandangan Dunia Metafisis yang maha besar sebagaimana dilihat dari gagasan-
gagasannya.

Di kota Sevilla inilah Ibnu Arabi Pendidikannya berhasil karena dia


kemudian memperoleh pekerjaan menjadi seorang sekretaris gubenur Sevilla. Dan
setelah itu Ia menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik benama Maryam. secara
beruntung istri barunya ini juga mengenal baik sejumplah Manusia yang Soleh dan jelas
sama-sama mempunyai keinginan seperti suaminya untuk menempuh jalan Sufi.

Ibnu Arabi disamping terus belajar ia adalah seorang yang sangat haus akan ilmu.
ia tidak merasa puas dengan ulama yang ada di daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka
memperluas ilmu pengetahuanya, tatkala menginjak usia 30 tahun ia mulai
melakukan pengembaraan ke berbagai negeri Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko
dan Aljazair. Tahun 598H/1202M Ibnu Arabi tiba di Mesir bersama murid dan
pembantunya, Abdullah al-Habasyi. di negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari
Mesir ia terus berkelana ke Timur, mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di
mana ia juga mengajar untuk waktu tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua
kali, ia juga ke Aleppo dan asia kecil. di setiap tempat yang di kunjungi, ia selalu
menerima penghargaan besar dan diberi banyak hadiah yang kemudian selalu di
berikanya kepada para fakir miskin. Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus
pada tanggal 28 Rabiulakhir 638 H. (16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi
oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus
dipinggiran kota Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras
dengan berakhirnya norma imanennya, karena tepat dimana Ibnu Arabi dikubur
dimana jasadnya beristirahat bersama dua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam
pandangan kaum Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, dan terutama oleh Nabi
Khidr.

Pada abad ke 16 Salim II Sultan Kontantinopel membangun suatu


Mausoleum dan Madrasah diatas makam Ibnu Arabi. Ibnu Arabi waktu hidup
sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti Suhrowardi, Najmuddin ar Razi,
Muslihuddin, Sadi, Abu al-Hasan al-maghrib asSyadzili, Jalaluddin Rumi dan Ibnu
Faridh, dan dari pemikiran Ibnu Arabi banyak mempengaruhi para filsuf dan sufi
lainnya.

2.2 Konsep Iluminati (mistisisme) dalam Pandangan Ibn Arabi

Bertitik tolak dari pemikiran IbnArabi tentang Wihdat al-Wujud, Ibn Arabi
mengembangkan pemikiran ketuhanannya lewat kreasi intelektual serta kedalaman
penghayatan mistisnya, hal ini tentunya sangat berbeda dengan model pemikiran yang
dikembangkan oleh para teolog muslim (sunni) yang lebih cenderung memahami Tuhan
lewat proses dialektis yang bersandar pada nash-nash al-Quran serta diperkuat oleh
argumen-argumen yang bersifat rasional. Pemikiran ketuhanan yang bercorak teologis
kadang-kadang bersifat apologetis jika dilihat dari cara pandang masing-masing alirannya,
serta lebih menekankan truth claim berdasarkan kekuatan argumen dan berbagai kepentingan
yang tersembunyi dibalik selubung nama kelompok atau golongan. Kadang-kadang
pemikiran model teologis dianggap kering karena lebih menekankan transendensi Tuhan,
sehingga manusia yang mengandalkan model rasional ansich tidak menyadari akan fungsi
batinnya dalam memahami Yang Batin. Inilah yang membedakan pemikiran model teolog
rasional dengan para filsuf mistis, khususnya seperti Ibn Arabi yang mencoba memahami
Tuhan sebagai yang imanen di samping yang transenden.

Melalui pendekatan imanensi, Tuhan tidak hanya berada pada wilayah perbincangan,
tetapi diresapkan pada tataran spritualitas manusia. Tuhan dipahami sebagai Yang Hadir
dalam batin manusia. Ibn Arabi dalam Tradisi Mistis Islam Tak disangsikan lagi Ibn Arabi
merupakan salah satu puncak kecemerlangan dalam bidang filsafat mistis pada zamanya dan
pengaruhnya terus mengalir dari waktu ke waktu. Ibn Arabi tidak hanya sebagai seorang sufi
besar tetapi sekaligus sebagai seorang filsuf mistis. Penguasaan ilmunya melampaui bidang
mistis, ia juga menguasai filsafat peripatetik serta merupakan salah satu guru pada bidang
tersebut. Dan latar belakang penguasaan disiplin ilmu yang luas (antara mistis dan filsafat),
Ibn Arabi mampu memformulasikan pandangan-pandangannya yang bercorak mistis dengan
bahasa, filsafat, dengan kata lain pengalaman-pengalaman mistis yang bersifat batini itu telah
difilsafatkan dan menjadi sebuah pandangan metafisis yang khas. Itulah yang lebih terkenal
dengan sebutan Wihdat al-Wujud. Metode dan Pendekatan Mistis Ibn Arabi Secara umum,
para mistikus memiliki pengalaman yang sama pada tataran batin, meskipun tidak pada
tingkat kedalaman yang persis sama.
Pengalaman batin para mistikus adalah suatu peristiwa yang melampaui pengalaman
manusia biasa, karena obyek yang dijumpai dalam wilayah batin adalah sesuatu yang sama
sekali berbeda dengan obyek yang sudah dikenali di dunia nyata. Di sinilah kadang-kadang
peran bahasa mengalami kemacetan karena tidak mampu menyatakan apa yang telah terserap
dalam wilayah batin. Pengalaman batin para mistikus kadang-kadang dianggap berlawanan
dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan atau apa yang merupakan sebuah kewajaran dalam
pandangan umum, hal yang sering mengundang kontroversi dari para mistikus ini adalah
syatahat-syatahat yang keluar pada saat mereka mengalami ekstase mistis. Umumnya
syatahat itu keluar pada saat keadaan batin si mistikus sedang mengalami puncaknya, yaitu
dalam tahap menyatu dengan Tuhan, sehingga tidak lagi berada dalam tingkat kesadaran
biasa, tetapi merupakan kesadaran supra-manusiawi, dimana kesadaran manusia terserap ke
dalam kesadaran ketuhanan.
Problem yang dialami oleh para mistikus ketika kesadaran mereka tidak berada pada
level manusiawi adalah ketidakmampuan memformulasikan pengalaman terdalam yang
disebabkan keterbatasan sarana pengungkapan, sehingga ungkapan-ungkapan yang lahir dari
pengalaman mistis menjadi tidak bermakna dan dianggap menyesatkan bagi kalangan awam.
Kendala utama dalam memformulasikan pengalaman mistis, kemungkinan bisa juga
disebabkan tidak bekerjanya nalar secara seimbang dalam memahami pengalaman hasil
penerapan batin, untuk itulah Ibn Arabi mencoba memadukan pendekatan mistis dan filsafat
dengan harapan bisa menerjemahkan bahasa batin dalam mengungkapkan Tuhan, meskipun
hal itu tak kurang rumitnya serta mengandung kontroversi. Pendekatan yang digunakan untuk
memahami pengalaman mistis (khususnya dalam konteks kebersatuan dengan Tuhan)
tergantung pada jenis pengetahuannya.
Pemikiran Ketuhanan Ibn Arabi 1. Wujud Tuhan dalam filsafat mistis Ibn Arabi
adalah Dzat tunggal yang tidak ada sesuatu yang mewujud selain Dzatnya. Dzat Tuhan
sebagai satu-satunya yang ada dinamai dengan Wujud. Ia tidak terbagi, dan bersifat mandiri.
Wujud juga dikenal sebagai realitas absolut, pada pemahaman lain, wujud dianggap sebagai
bentuk kesadaran yang dialami oleh Tuhan sendiri dalam menemukan diri-Nya, lebih tegas
istilah wujud dalam konteks pemikiran Ibn Arabi hanya diperuntukkan untuk Tuhan, sesuatu
yang lainnya tidak berhak menyandang istilah itu (masiwallah). Namun tidak bisa disangkal,
Ibn Arabi tetap menggunakan istilah wujud untuk menyebut yang selain Tuhan, tetapi
konteksnya dalam pengertian yang bersifat metaforis (majazi). Perlu diingat penggunaan
istilah wujud untuk selain Tuhan bukan berarti melepaskan kepemilikannya dari wujud yang
sebenarnya, yaitu Tuhan, dengan ungkapan lain wujud yang ada pada benda-banda
merupakan wujud pinjaman dari Tuhan (aksidens).
Lebih lanjut, sebutan wujud dibedakan pula dengan adam (ketiadaan), namun istilah
adam tidak berlaku bagi Tuhan karena Dia adalah Wujud Hakiki, sedangkan wujud dan adam
untuk yang selain Tuhan bersifat nisbi. 2. Dzat Secara umum istilah dzat digunakan untuk
berbagai konteks misalnya untuk menyebut orang ataupun benda, atau juga sebagai esensi
atau substansi suatu benda. Dalam kaitannya dengan pemikiran ketuhanan istilah dzat
digunakan untuk menyebut diri Tuhan, sedangkan wujud merupakan penegasan akan
adanya Dzat Tuhan. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa keberadaan Tuhan
bersifat mandiri, Ia mengada dengan Dzat-Nya dan karena Dzat-Nya, sedangkan sesuatu
selain diri-Nya (alam semesta) mengada karena sebab diri-Nya. Ia sebagai dzat yang mandiri
bebas menentukan diri sendiri, dan dari penentuan diri itu, melahirkan perbedaan-perbedaan
dalam Dzat-Nya. Ada beberapa tahapan bagi Tuhan dalam menentukan dan mengatur diri,
dan kedua tindakan itu memiliki efek bagi keberadaan yang lain. Yang pertama, Dzat
mengatur diri-Nya, pada tahapan ini Dzat disebut sebagai Ahadiyyah (Kesatuan mutlak).
Kedua, Dzat merenungkan diri dan menyingkapkannya bagi diri-Nya sendiri, maka
muncullah perbedaan batin pada Dzat-Nya.
Kemudian muncullah gagasan-gagasan tentang sesuatu (tentang dunia) dalam pikiran
Tuhan dengan segala bentuk idealnya (al-ayan al-tsabitah), yaitu gambaran-gambaran buku
tentang segala sesuatu sebelum mewujud di dunia. Gambaran-gambaran ideal itu tidaklah
menjadi terlepas dari Tuhan, melainkan tunduk dengan Dzat-Nya, tahapan ini dinamakan
Wahdah (Ketunggalan). Ketiga Dzat menentukan keberadaan (eksistensialitas) terhadap
objek-objek yang menyangkut gambaran ideal dalam pikiranTuhan (al-ayan al-tsabitah)
dengan pengetahuan yang ada pada Dzat-Nya sendiri, tahapan ini dinamakan Wahidiyyah.
Kemudian ada tiga tahapan penentuan lagi yang diajukan dalam konteks pemikiran ketuhan
Ibn Arabi yaitu, yang disebut taayyun ruhi, atau penentuan dari Dzat terhadap roh, adalagi
yang disebut taayyun mitsali, penentuan Dzat terhadap bentuk simbolis, selanjutnya ada
yang disebut taayyun jasadi, penentuan Dzat terhadap jasad.
Bentuk penentuan dari Dzat terhadap diri-Nya, yang kemudian memunculkan sesuatu
yang lain, sebagaiman dalam uraian di atas, adalah berupa kehendak Dzat Tunggal untuk
menampakkan diri melalui sesuatu yang lain (alam), atau yang disebut dengan tajali. 3.
Imanensi dan Transendensi Membicarakan imanensi dan transendensi Tuhan tidak bisa
dipisahkan begitu saja dengan hanya menekankan pada salah satu aspek yang menjadi
kecenderungan, apakah itu bersifat individual ataupun aliran. Harus diakui, bahwa dua aspek
ketuhanan (imanen dan transenden) adalah dua kutub yang saling berlawanan (coincidentia
oppositorum). Pada satu sisi Tuhan dipahami sebagai Yang Zhahir, atau Yang Tampak, tetapi
sekaligus sebagai Yang Bathin, Yang Tersembunyi. Tuhan sebagai Ynag Zhahir memiliki
keserupaan (tasybih) dengan yang selain-Nya, tetapi sebagai Yang Bathin menunjukkan
ketidakserupaan, ketakterbandingan (tanzih).
Pengertian yang dimaksud dari dua istilah di atas menurut Chittick terkait dengan
penampakan Tuhan sejauh bisa diserap, misalnya dalam konteks tasybih, al-Zhahir, Dia
sebagai Yang Maha Tampak, memiliki makna bahwa Tuhan memperlihatkan diri-Nya lewat
manifestasi nama-nama-Nya, yang merupakan kualitas yang melekat pada wujud-Nya.
Sedangkan dalam konteks tanzih, pengertian al-Bathin, Dia Yang Maha Tersembunyi
mencerminkan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang tidak terjangkau, berada di luar
persepsi dan pemahaman. Penegasan tentang tanzih dalam pemikiran Ibn Arabi disebutkan
dalam Futuhat, sebagaimana yang dikutip Nurcholish Madjid, yaitu :
Barangsiapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan
diri-Nya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak
ada yang tahu tentang Allah, kecuali Allah sendiri, maka waspadalah. Melalui pengertian di
atas bisa diambil suatu pengertian, bahwa transendensi Tuhan menegaskan adanya jarak yang
tidak terhingga jauhnya antara Dia dengan hamba-Nya, berarti menerangkan adanya
demokrasi antara Tuhan dengan hamba-Nya. Meskipun demikian, konsep imanensi dan
transendensi merupakan suatu yang tidak terpisahkan dalam pemikiran Ibn Arabi, walaupun
mengandung pertentangan.
Bentuk pertentangan ini bisa dimengerti sejauh untuk menerangkan Tuhan menurut
konteksnya. Menurut Abdul Haq Ansari, pemikiran Ibn Arabi tentang imanensi berfungsi
untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu sangat dekat sejauh Ia menyatu dengan dunia ataupun
dalam ukuran secara mikro menyatu pada manusia. Kemudian aspek transendensi berfungsi
menjelaskan bahwa Tuhan bersifat transenden sejauh Ia berbeda dengan dunia.
Perbedaan Tuhan dengan sesuatu yang selainnya tergambar dari sifat yang dikandung-
Nya seperti Tidak Terbatas, Maha Pencipta, dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam
bagian transenden. 4. Tuhan Bertajalli Konsep tajalli dianggap memiliki posisi sentral dalam
pandangan Ibn Arabi, khususnya dalam membangun doktrin Wihdat al-Wujud, bahkan
secara lebih luas keseluruhan filsafat-filsafat Ibn Arabi tak terlepas dari teori tajalli. Istilah
tajalli memiliki beberapa pengertian menurut Chittick kadang-kadang dipahami sebagai self
disclosure (penyingkapan diri) ataupun self-manifestation (penampakan diri). Tajalli atau
penyingkapan merupakan bentuk imanensi Tuhan, yang dengan cara itu Ia bisa didekati oleh
hamba-Nya dan sekaligus Ia sendiri mendekati hamba-Nya.
Tajalli Tuhan dalam pemikiran Ibn Arabi terarah pada dua hal, yaitu alam dan
manusia, dalam tajalli-Nya Tuhan sebagai Yang Maha Tunggal menampakkan diri-Nya dalam
keanekaragaman, atau dengan istilah lain dikenal dengan Wahdah dan Katsrah. Mengenai
tajalli dalam relasi alam semesta digambarkan sebagai wujud kerinduan Tuhan yang ingin
menyaksikan keindahan diri-Nya melalui cermin alam semesta, maka bisa dipahami bahwa
alam semesta mengada karena ia adalah mazhar Tuhan (tempat penampakan Tuhan). Maksud
lain dari penampakan Tuhan melalui penciptaan alam semesta, tidak sekedar ingin melihat
citra diri-Nya, tetapi ingin memperlihatkan diri-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya, khususnya
manusia.
Menurut Sachiko Murata Ibn Arabi melengkapi argumennya dengan menggunakan
hadits Nabi yaitu: . Aku adalah Khazanah
tersembunyi dan aku ingin diketahui, karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar aku
bisa diketahui. Penjelasan lain tentang tajalli diulas pula oleh Schimmel, menurutnya dalam
hal ini Ibn Arabi mengembangkan mitos mengenai nama-nama Tuhan yang memancarkan
kerinduan serta mencerminkan kesepian-Nya dalam kesunyian. Nama-nama itu bersifat non-
existen, yaitu belum teraktualisasi dalam kedalaman Ilahi. Pada tingkat aktualitasnya
nama-nama yang merindukan eksistensi itu meledak keluar dan dibarengi oleh suatu
tindakan, yaitu penghembusan nafas Ilahi. Setelah itu nama-nama itu mewujudkan diri di
alam raya, kemudian seluruh makhluk mengalami sentuhan dari Nama rabb-Nya untuk
memperoleh eksisntensinya.
Lebih lanjut dikemukakan, mengadanya alam semesta atau seluruh ciptaan adalah
hasil manifestasi cinta kasih Tuhan terhadap diri-Nya dan selain diri-Nya, dengan kata lain
tajalli bisa dipahami sebagai manifestasi hembusan nafas al-Rahman yang menebarkan
wangi-wangi kerinduan pada seluruh sendi-sendi raga ciptaan-Nya. Keseluruhan manifestasi
Tuhan dalam segala bentuk ciptaan-Nya adalah cermin yang memantulkan gambar-Nya,
dan dari keseluruhan ciptaan-Nya, hanya manusialah yang mampu menjadi cermin paling
sempurna dalam menerima pantulan gambar Tuhan, karena diri manusia mengandung
Shurah (bentuk) ketuhanan dan dengan sendirinya dalam diri manusia terkandung karakter-
karakter ketuhanan. Tajalli Tuhan pada manusia diawali dalam sosok Adam, yang padanya
dipancarkan serta diresapkan keseluruhan nama-nama Tuhan. Sedangkan puncak
kesempurnaan cermin manusia terkandung pada diri Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam, atau yang disebut al-mirah al-muhammadiyyah (cermin Muhammad).
Oleh sebab itulah Muhammad merupakan gambaran manusia sempurna yang pada
dirinya terkandung manifestasi Tuhan paling penuh dan sempurna. Secara umum manusia
adalah himpunan gambaran keseluruhan ciptaan dalam bentuk miniatur yang sekaligus
memantulkan kesempurnaan sifat-sifat Ilahiah. Sifat-sifat Ilahiah yang melekat pada manusia
adalah bentuk potensial untuk memahami tajalli pada dirinya. Melalui tiupan ruh ilahiah
dalam diri manusia, memungkinkan lahirnya energi cinta sebagai bentuk reaksi terhadap
kerinduan Tuhan pada ciptaan-Nya, sehingga mewujudkan bentuk aktualnya yaitu, antara al-
Haqq dan al-Khalq terjadi kerinduan timbal balik yang mengarah pada penyatuan,
sebagaimana menyatunya cahaya dengan matahari.
Pada tataran pemahaman seperti ini Ibn Arabi dengan sangat berani menyatakan
bahwa al-Khalq itu tidak lain adalah al-Haqq sendiri, tetapi pada saat bersamaan ia
menyatakan bahwa al-Khalq itu bukanlah al-Haqq, karena al-Khalq diumpamakan cahaya
yang memiliki keragaman warna-warni. Sedangkan sumber cahaya (al-Haqq) hanya memiliki
satu warna saja. Konsep tentang penyatuan dalam pemikiran Ibn Arabi, khususnya Wihdat
al-Wujud tampaknya bisa dipahami sebagai puncak dari dua bentuk kerinduan yang ingin
kembali bersenyawa.
Manusia yang memiliki potensi untuk merindukan serta menyatu dengan sumber
kerinduan selalu berhajat pada penyaksian Wajah Ilahi dalam penyingkapan (unveling).
Untuk sampai pada level itu, manusia harus memulainya dengan memahami diri sendiri agar
bisa menangkap manifestasi sifat-sifat Ilahiah dalam cermin kesadarannya, dalam hal ini Ibn
Arabi mengemukakan pendapatnya yaitu: Pengenalan manusia tentang dirinya merupakan
muqaddimah atas marifahnya terhadap Tuhannya, sesungguhnya marifahnya terhadap
Tuhannya merupakan natijah (hasil kesimpulan logis) dari marifahnya terhadap dirinya,
sebagaimana sabda Nabi, barangsiapa yang mengenal tentang dirinya, maka sesunguhnya ia
mengenal akan Tuhannya. Mengacu pada uraian di atas, jelaslah bahwa untuk sampai kepada
Tuhan harus melalui tahapan pengenalan diri, karena mustahil manusia bisa sampai pada
tujuan tertingi tanpa melihat pantulan sifat-sifat Tuhan pada cermin dirinya. Pengenalan diri
bisa juga merupakan salah satu cara melepas hijab (tabir) satu dari hal-hal yang bersifat
khayali, sehingga ruh bisa menerima pencerahan serta bisa bertatapan dengan realitas
ketuhanan.
Dengan kata lain pengenalan bisa juga merupakan upaya menuju istidad (kesiapan)
dalam menerima setiap tajalli Tuhan yang tiada berkesudahan. Secara keseluruhan dapat
ditarik satu kesimpulan, bahwa inti dari tajalli (penampakan) Tuhan adalah pengungkapan
gambaran diri-Nya dalam keanekaan dan munculnya keanekaan adalah refleksi dari Nama-
nama yang dimiliki-Nya. Kemudian memilih manusia sebagai majla dan mutajalla yang
paling sempurna. Pemikiran ketuhanan yang bercorak filosofis sekaligus mistis dari Ibn
Arabi tidak terlepas dari rangkaian pemikiran masa lalu, secara umum pemikiran filosofis
yang bercorak mistis dalam Islam memiliki jalinan yang sangat erat dengan tradisi pemikiran
Yunani. Begitu juga halnya dengan pemikiran Ibn Arabi tak bisa lepas dari pengaruh Neo-
Platonisme, sebagaimana diketahui filsafat Neo-Platonisme selalu menghubungkan Tuhan
dengan prinsip kesatuan yang menekankan aspek imenensi dan transendensi, kesatuan dan
keragaman, dan pada sisi yang lain filsafat Neo-Platonis juga mengandung unsur-unsur
religius mistis.
Menurut Manzhoor Ahmad, konsep al-Ayan al-tsabitah merupakan pengaruh dari
pemikiran Yunani, yang jelas-jelas bercorak platonis. Selain itu Ibn Arabi tak dapat
dipisahkan dari tradisi intelektual Andalus yang sangat kaya dengan berbagai kajian filosofis
dan mistis, nama-nama seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufayl merupakan filsuf mistis yang
mendahului model pemikiran yang bercorak Neo-Platonis dalam membangun pandangan
mistisnya. Sebagai contoh, pada saat Ibn Thufayl berpaling ke disiplin rohani, Ia
berkeyakinan bahwa kebenaran tertinggi tidak lagi dicapai lewat proses deduksi dan induksi,
tetapi bisa diperoleh secara langsung melalui kemampuan intuitif. Salah satu pandangan Ibn
Thufayl yang bercorak mistis adalah tentang adanya Yang satu dan melahirkan Yang Banyak,
hal ini diumpamakan seperti cahaya matahari yang menyentuh permukaan cermin, dan dari
cermin itu memantulkan cahaya yang beraneka warna, akan tetapi keragaman warna cahaya
itu akan lenyap kalau pandangan dialihkan pada sumbernya, yang ada hanyalah satu cahaya.
Model pemikiran Ibn Thufayl yang bercorak mistis itu paling tidak meberikan pengaruh bagi
generasi sesudahnya, maka tidak mengherankan jika Ibn Arabi memiliki kesamaan
pendekatan dalam mengkostruksikan pengalaman mistis menjadi sebuah pemikiran filsafat
mistis. Tokoh lain yang memiliki kesamaan model pendekatan dalam pemikiran ketuhanan
adalah Farid al-Din Attar, ia menguraikan pemikiran ketuhanannya secara metaforis melalui
sosok Si-murgh (tiga puluh burung) yang merindukan perjumpaan dengan raja burung
(Simurgh). Dalam karyanya Manthiq al-Thayr diceritakan bahwa pada puncak pencariannya,
para salik yaitu si-murgh (tiga puluh burung) mengalami penyingkapan, maka pada saat
itulah mereka menyaksikan wajah Simurgh (raja burung), dengan rasa takjub yang luar biasa,
mereka tidak bisa lagi membedakan apakah diri mereka masih si-murgh atau sudah menjadi
Simurgh. Ternyata apa yang mereka saksikan tentang Simurgh tidak lain adalah gambaran
diri mereka sendiri. Saat itulah Simurgh memberitahukan rahasianya, bahwa ia
menyingkapkan dirinya dalam citra tiga puluh burung, seandainya yang datang melebihi
jumlah yang ada maka sejumlah itu pula ia menampakkan diri. Gambaran tentang kerinduan
si-murgh tidak lain merupakan personifikasi kerinduan manusia terhadap keindahan, wajah
Tuhannya, maka tidak mengherankan jika Ibn Arabi menumpahkan kerinduan dalam
doanya yaitu, Wahai Tuhan tenggelamkan-lah daku dalam samudera ketunggalan-Mu yang
tiada berhingga. Pada sudut pandangan yang berlawanan, pengalaman mistis, atau
pengalaman batin dalam penyaksian tentang Tuhan, tidak kurang hebatnya dalam
mengundang kontroversi, khususnya pemikiran Ibn Arabi.
Dalam hal ini Iqbal dengan sangat keras menentang pemikiran Ibn Arabi, meskipun
tidak menolak segala bentuk pengalaman batinnya. Kritik dari Iqbal ini berada pada tataran
konseptual, yang menurutnya tidak ada Wahdah dan Katsrah, yang ada hanyalah Tauhid yang
lawannya adalah Syirk. Pandangan kritis Iqbal ini bisa dipahami sebagai pengaruh kuat
sebelumnya, yaitu Ahmad Sirhindi yang juga menolak konsep Wihdat al-Wujud. Satu hal
yang menjadi sorotan, ketika Iqbal dengan sangat keras mengkritik Ibn Arabi, ia tidak
pernah menyinggung Rumi, padahal menurut Nasr, karya Rumi Matsnawi dianggap sebagai
Futuhat yang berbahasa Persia, dan Rumi sendiri tidak kurang dipengaruhi oleh pemikiran
Ibn Arabi melalui Shadr al-Din Qunyawi. Penolakan terhadap pandangan ketuhanan Ibn
Arabi sebagaimana telah dikemukakan hanya pada tataran konseptual, karena bagi sebagian
yang tidak setuju dengan pandangannya, menganggap bahwa ungkapan bahasa yang
digunakan untuk menerjemahkan pengalaman batin seperti wahdah dan katsrah terlalu riskan.
Terlepas dari berbagai kontroversi, pemikiran filsafat mistis Ibn Arabi merupakan sebuah
hasil kreasi yang ingin memadukan pengalaman religius mistis dengan kemampuan nalar.
Melalui daya nalar sebagian pengalaman batin itu bisa diartikulasikan, walaupun penuh
dengan segala kerumitannya.

2.3 Metodologi Sumber Ilmu Pengetahuan Ibn Arabi

Menurut William Chittick, Ibn Arabi membagi dua macam dasar pengetahuan yaitu,
pengetahuan yang diperoleh melalui kemampuan rasional, sedangkan pengetahuan yang
lainnya adalah diperoleh melalui praktek spritual, yang biasanya disebut gnosis (marifah).
Jenis pengetahuan yang kedua ini bisa juga disebut pengetahuan dengan penyingkapan
(Kasyf), atau juga dekat dengan istilah-istilah seperti dzauq, fath, basyirah, shuhud dan
musyahadah.
Pendekatan yang diperkenalkan oleh Ibn Arabi tidak jauh berbeda dengan
pendekatan para mistikus sebelumnya, yaitu sama-sama menekankan pendekatan kasyfi,
hanya saja yang membedakan Ibn Arabi dengan para mistikus lainnya adalah ia mampu
memanfaatkan basic filsafatnya untuk menjabarkan pengalaman mistisnya, sehingga apa
yang mungkin untuk dideskripsikan sejauh itu bisa dipahami dan ditangkap maknanya oleh
pikiran. Upaya mendeskripsikan pengalaman mistis bukanlah hal yang mudah tanpa bantuan
nalar aktif, tidak mengherankan jika aliran teosofi Ibn Arabi selalu berusaha untuk
menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistis, khususnya tentang
Tuhan dalam pengertian yang secara simultan mengarah pada transendensi dan imanensi-
Nya.
Meskipun upaya penggambaran itu dilakukan secara samar-samar, akan tetapi paling
tidak, bisa memberitahukan kepada kita tentang adanya perwujudan Ilahi yang menyelubungi
esensi-Nya. Pendekatan bergaya mistis yang dilakukan Ibn Arabi tidak lain merupakan
bentuk pemindahan gambaran ketuhanan dalam visi batin (penyaksian) sebagai salah satu
cara untuk mendekatkan Tuhan, yang tidak hanya bertumpu pada pemikiran semata, tetapi
jauh pada tingkat kedalaman samudera batin yang tiada berhingga. Menurut Mehdi Hairi
Yazdi, kecemerlangan Ibn Arabi dalam mentransfer pengalaman batinnya menjadi sebuah
kebenaran mistis tidak terlepas dari kepiawaiannya menggunakan metode irfan, yang ia
sendiri sebagai pelopornya.
Dalam konteks ini Hairi Yazdi memahami irfan sebagai ilmu bahasa kesadaran
mistis. Pendekatan irfan yang dikemukakan Ibn Arabi dibedakan dengan metode
pengetahuan intelektual biasa, menurut Chittick dalam Futuhat Ibn Arabi, diperkenalkan tiga
klarifikasi pendekatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan intelektual (Ilm al-Aql, The
Science of reason). Yaitu diperoleh melalui pendekatan investigatif serta bersifat
demonstratif. Pengetahuan jenis ini bisa merujuk pada objek empiris atau objek yang sudah
dikenal oleh akal. Kedua, pengetahuan tentang kesadaran akan keadaan-keadaan batin (The
Science of States, Ahwal). Jenis pengetahuan ini lebih menekankan pada kemampuan merasa
oleh sebab itulah tidak ada jalan untuk mengkomunikasikan keadaan-keadaan yang sudah
melampaui batas-batas nalar selain merasakan sendiri jenis keadaan-keadaan tersebut.
Sehubungan dengan jenis pengetahuan model yang kedua ini, akal tidak bisa dijadikan acuan
untuk membuktikan kebenaran keadaan-keadaan dalam penyaksian batin.
Secara sederhana dicontohkan seperti rasa manis madu atau pahitnya sari cendana,
yang tidak bisa mengalami manis dan pahit itu seperti apa, bukan untuk menghadirkan
wujud manis dan pahit dalam bentuk kongkritnya yang bersifat bendawi. Ketiga,
pengetahuan tentang yang gaib (Knowledge is The Sciences of The Mysteries. ilm al-asrar),
pengetahuan model ini bercorak intelektual transenden, bentuk mengetahui lebih tergantung
pada pencerahan yang bersumber dari cahaya Ilahiah atau pancaran ruh suci kedalam pikiran.
Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqam tertinggi
seperti para Nabi ataupun orang-orang suci. Jenis pengetahuan model ketiga (ilm al-asrar)
lebih mendapatkan prioritas dalam pendekatan Ibn Arabi untuk memperoleh pemahaman
tentang Tuhan melaui visi batin. Menurut Hairi Yazdi pengetahuan intelektual transenden
(ilm al-asrar) merupakan kebalikan pengetahuan representasional fenomenal yang berlaku
bagi objek-objek lahir yang bisa teramati oleh indera manusia.
Sedangkan pengetahuan transenden merupakan pengetahuan tentang dunia yang
ghaib, yang pada level-level tertentu tak terkatakan, karena nalar dan bahasa tak mampu
menjangkau objek-objek batin yang asing bagi pikiran karena terbiasa dengan objek-objek
lahir, dengan kata lain objek-objek batin tanpa campur tangan nalar dan bahasa. Meskipun
demikian bukan berarti nalar dan bahasa terkesampingkan dalam upaya berpartisipasi pada
wilayah batin, hanya saja bagi Ibn Arabi pendekatan kasyfi lebih diutamakan. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Hairi Yazdi tentang peranan akal dalam relasi pandangan mistis
Ibn Arabi sebagai berikut: Tetapi, akal bisa, dan punya kemampuan untuk, begitu
keyakinan Ibn Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan
membawanya ke dalam dunia fenomena.
Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali
serta menerjemahkan pengetahuan yang tidak bia diterangkan ke dalam kerangka bentuk
pengetahuan secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan
intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan
biasa dipahami, dan karenanya, bisa dibicarakan dalam bahasa sehari-hari dengan mudah.
Karena itu, kemampuan akallah kata Ibn Arabi yang bisa melakukan transisi dari
pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intekelektual dunia fenomena seperti itu.
Jelaslah bahwa peranan akal tetap memiliki kedudukan penting dalam rangka menjembatani
atau mengkomunikasikan pengalaman di dunia gaib menurut cara pandang yang bisa
diterapkan pada realitas empiris.
Penggunaan akal dalam konteks ini adalah, berupaya melihat celah-celah mana saja
yang penting untuk diterjemahkan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dunia gaib
ke dalam pernyataan-pernyataan, dengan jalan meminjam berbagai terminologi yang
umumnya sudah dikenal. Penerjemahan mistis via akal adalah dalam rangka menciptakan
keseimbangan kesadaran yang bersifat relasional antara fakultas intelektual dan ketajaman
intuisi, sehingga memungkinkan transeksistensiasi dari pengetahuan mistis melalui kahadiran
ke pengetahuan fenomenal melalui representasi.
Rangkaian selanjutnya dalam konteks pendekatan mistis Ibn Arabi adalah
menyangkut sarana atau instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan
yang bersifat Ilahiah. Pada umumnya dalam tradisi mistis dikenal apa yang disebut sebagai
instrumen batin. Menurut Nicholson, kaum sufi membedakan tiga jenis organ sebagai alat
komunikasi rohaniah yaitu hati (qalbu), roh (ruh) dan jiwa terdalam (sirr), masing-masing
organ itu memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Hati (qalbu) untuk mengetahui Tuhan, roh (ruh)
untuk mencintai-Nya, bagian jiwa terdasar (sirr) untuk merenungi-Nya. Berdasarkan
fungsinya, maka hati merupakan instrumen penting untuk mengetahui realitas Ilahiah. Hati
dalam pengertian ini bukanlah yang bersifat jasmaniah (yang terdiri dari daging dan darah),
walaupun demikian ia memiliki jalinan misterius dengan hati yang melekat pada jasmani
manusia.
Sehubungan dengan gambaran tentang hati, menurut Purwadaksi, Ibn Arabi
mengumpamakannya seperti cermin berkilau, dan pada suatu saat bisa berubah kabur, untuk
itulah, hati setiap seorang perlu dibersihkan atau disucikan melalui ibadah. Perumpamaan hati
seperti cermin berkilau memiliki kesamaan dengan pendapatnya Al-Ghazali, bahwa layar
batin itu seperti kaca yang jernih dan dengan kejernihannya mampu menangkap rahasia-
rahasia tersembunyi. Melalui kejernihan hati itulah tuntunan berupa ilham Tuhan menyertai
hamba-Nya. Dalam konteks ini menurut Schimmel, Ibn Arabi menegaskan bahwa dalam
menulis masterpiece-nya yang terkenal yaitu, Futuhat al-Makkiyyah, tidak ada sehuruf pun
yang tergores selain dalam bimbingan ilham Tuhan. Pada level batin yang lebih tinggi, hati
tidak hanya dapat menerima ilham Tuhan saja, tetapi melalui tingkat kejernihannya sanggup
menyaksikan tajalli Tuhan ( Tuhan hadir dalam visi batin ), dimana tabir atau selubung yang
menghalangi pandangan batin terangkat, tak ada realitas lain selain realitas ketuhanan.
Menurut Nurcholish Majid mengungkapkan bahwa ketika realitas alam gaib disingkapkan,
semua tampak jalas, tak ada beda antara mata melek dan terpejam, penyaksian tidak lagi
tergantung pada mata lahir, inilah yang dinamakan Kasyf.
BAB III
KESIMPULAN

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi al-thaI
al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhamad Bin Ali
Ahmad Bin Abdullah. Bertitik tolak dari pemikiran IbnArabi tentang Wihdat al-Wujud, Ibn
Arabi mengembangkan pemikiran ketuhanannya lewat kreasi intelektual serta kedalaman
penghayatan mistisnya, hal ini tentunya sangat berbeda dengan model pemikiran yang
dikembangkan oleh para teolog muslim (sunni) yang lebih cenderung memahami Tuhan
lewat proses dialektis yang bersandar pada nash-nash al-Quran serta diperkuat oleh
argumen-argumen yang bersifat rasional.
Pemikiran Ibn Arabi telah menyebar begitu luas melintasi batas-batas regional
ataupun kontinental, jejak-jejak pemikirannya ada pada tiap-tiap generasi, bahkan pada saat
ini pemikiran Ibn Arabi diapresiasi secara luas di Barat, yaitu Amerika dan Eropa, sehingga
memunculkan himpunan Ibn Arabi Society, yaitu suatu himpunan yang bertujuan
menyelenggarakan riset, seminar dan penerbitan mengenai sejarah dan pemikiran Ibn Arabi,
serta pengaruhnya dalam filsafat mistik. Meluasnya pengaruh Ibn Arabi pada zaman ini
seiring dengan terjadinya degradasi dan dehidrasi spritual dalam alam modern. Manusia yang
telah terlepas dari akar kediriannya ingin menemukan kembali roh kesadaran yang
merupakan pancaran dari pusat lingkaran ketuhanan. Kegelisahan tidak lain dari kerinduan
yang tersumbat, saluran menuju Tuhan kembali menjadi pencarian, setiap hamba yang rindu
ingin berkomunikasi dalam bahasa Tuhannya, yaitu komunikasi roh dengan pemilik roh.
Pada zaman ini dibutuhkan sebuah pemikiran yang bisa menghantarkan organisasi pada
kehadiran Tuhan, oleh sebab itulah manusia pada zaman ini ingin melacak kembali
berbagai pemikiran ketuhanan yang tidak hanya bersifat teologis transendental, tetapi juga
yang bercorak mistis, di antaranya seperti pemikiran ketuhanan Ibn Arabi.
`
Daftar Pustaka

Al fayadl Muhammad, Teologi negatif Ibn Arabi (Bandung: Lkis, 2012)


Noer Kaustar Azhari, Tasawuf Perenial (Jakarta : Searambi,2013)
A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat,hal 139
Ibnarabi, Fusus Al-Hikam:Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta:
Islamika, 2004)
http://digilib.uinsby.ac.id/8697/6/bab%203.pdf

Anda mungkin juga menyukai