Anda di halaman 1dari 10

Biografi Imam Ibnu Arabi

Ibn Arabi , lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad ibn Al-‘Arabi Al-Th ai
Al-Tamimi, lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M,
pada masa pemerintahan Abu Ya’kub Yusuf I (1163–1184 M) Dari dinasti Muwahhidun
(1121–1269 M). Namun, tokoh ini harus dibedakan Dengan Ibn Arabi yang lain yang juga
berasal dari Spanyol, yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi
Al-Ma`afi ri (1076–1148 M). Ibn Arabi yang kedua ini bukan tokoh sufi , melainkan ahli
hadis di Sevilla yang Kemudian menjadi hakim di sana. Menurut Affi fi, Ibn Arabi berasal
dari keluarga keturunan Arab yang Saleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah
tokoh sufi yang masyhur, Dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-
Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang luar biasa dalam
bidang Tasawuf. Menurut Arberry, belum ada seorang tokoh Muslim yang mencapai Posisi
sebagaimana kedudukannya dalam tasawuf sehingga ia juga diberi gelar “Th e greatest
mystical genius of the Arab”. Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Sevilla, ketika ayahnya
menjabat di istana Dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu Al-Quran, hadis, fi qh,
teologi, Tasawuf, dan fi lsafat skolastik. Saat itu, Sevilla merupakan kota ilmu pengetahuan
Dan pusat kegiatan sufi sme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal di sana. Di Antara guru
tasawuf Ibn Arabi yang sangat dikagumi adalah dua orang wanita, Yaitu Yasmin Mursaniyah
dari Murcia dan Fatimah Qurtubiyah dari Kordoba. Keduanya berpengaruh besar dalam
pembentukan (pengarahan) kehidupan Spiritualnya. Menurut Kautsar, kondisi keluarga dan
lingkungan yang kondusif Ini mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufi yang
terpelajar, Apalagi ia telah masuk tarekat sejak usia 20 tahun.8Selama menetap di Sevilla, Ibn
Arabi muda sering melakukan kunjungan ke Berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan
bertukar pikiran dengan para tokoh Sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan
yang paling mengesankan Adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126–1198 M), saat itu
Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Aristotelian ini dalam perdebatan dan tukar pikiran
sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi
muda ini. Menurut Kautsar, kenyataan tersebut juga menunjukkan adanya hubungan yang
kuat antara tasawuf dan fi lsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-
pengalaman visioner tasawufnya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya
yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang sufi sekaligus filosof yang dapat memfilsafatkan
pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana
yang dapat dilihat dalam gagasannya tentang wahdah al-wujud.Selanjutnya,
pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis
(1193 M) untuk berguru pada Husein ibn Qasi (l. 1151 M), tokoh sufi yang melakukan
pemberontakan pada dinasti Murabitun ; kemudian pergi ke Fez dan tinggal di sana selama 4
tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia, dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pulang
ke Kordoba pada 1199 M guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan
ini, ia sempat menulis beberapa karya, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawâ`ir dan
lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di
Spanyol ataupun di Afrika utara sehingga pergi ke Makkah (1201 M). Di Makkah sekitar 3
tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Di sini
ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al-Futûhât al-Makkiyah,13 di
samping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke
berbagai kota: Madinah, Yerusalem, Baghdad, Mosul, Konya, Damaskus, Hebron, Kairo, dan
kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk
ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiah.14
Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya,
kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Umar Suhrawardi Al-Zanzani
(1144–1234 M), seorang tokoh sufi penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.Akhirnya, tahun 1224 M,
Ibn Arabi menetap di Damaskus. Kecuali Kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi
tidak lagi melakukan Pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca,
menulis, Dan mengajar. Di sini ia menyelesaikan karya monumentalnya, al-Futûhât al-
Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal, Fushûsh al-Hikam.15 Ibn Arabi Meninggal
di Damaskus dan dimakamkan di sana pada 22 Rabi al-Tsani 638 H/November 1240 M
dalam usia 78 tahun.Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman
Yahia ,Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 Buah yang
masih ada, meliputi metafi sika, kosmologi, psikologi, tafsir, dan Hampir setiap cabang
keilmuan, yang semuanya bertujuan menjelaskan makna Esoterisnya. Karyanya yang terbesar
adalah al-Futûhât al-Makiyah, yang terdiri Atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi
Osman Yahio. Yang lain Adalah Fushûsh al-Hikam, yang menurutnya diterima langsung dari
Rasul Saw. Dalam mukaddimah kitab ini dikatakan, “Aku mimpi melihat Rasul dalam
Kegembiraan pada hari-hari sepuluh terakhir bulan Muharram, tahun 627 H, di pinggiran
kota Damaskus dan di tangannya ada sebuah kitab. Beliau Berkata, ‘Ini kitab Fushûsh al-
Hikam. Ambillah... Sampaikan kepada masyarakat Agar mereka memanfaatkannya.’18 Kitab
Fushûsh al-Hikam ini dianggap sebagai Wasiat keruhanian, berisi 27 bab yang masing-
masing terspesialisasi untuk satu Akidah kebatinan asasi menurut Islam. Meski relatif
pendek, karya ini paling Banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling
berpengaruh, dan Paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku telah ditulis untuk
mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut. Di antara yang terkenal, menurut Husain Nasr,
Adalah komentar dari Shadruddin Qunawi (1210–1274 M), Abdurrazaq Kasyani (w. 1329
M), Daud Qaishari (1260–1350 M), Nuruddin Abdurrahman Jami (1414–1492 M), dan Abdul
Ghani Al-Nablusi (1641–1731 M)

 Pemikiran Ibnu Arabi

Wahdah al-Wujûd

Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktualisasi entitas-entitas Permanen


yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi , seluruh realitas yang Ada ini, meski
tampak beragam, adalah satu adanya, yakni Tuhan sebagai satu-Satunya realitas dan realitas
yang sesungguhnya. Apa pun yang selain Dia tidak Bisa dikatakan wujud dalam makna yang
sebenarnya. Jika demikian, bagaimana Kedudukan ontologis al-khalq (alam ciptaan)? Apakah
ia identik dengan Tuhan Atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali, padahal
kenyataannya alam Dan kita ada secara konkret? Menghadapi persoalan tersebut, seperti
sistem berpikirnya yang paradoksal, Jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa alam adalah
Tuhan (al-Haqq) Sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah
“Dia tetapi bukan Dia” (Huwa lâ Huwa).29 Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah
Penampakan (tajalli) Tuhan dan, dengan demikian, segala sesuatu dan segala Yang ada di
dalamnya tidak lain adalah perwujudan-Nya. Karena itu, Tuhan Dan semesta, keduanya tidak
bisa dipahami kecuali sebagai satu kesatuan antara Kontradiksi-kontradiksi ontologis.
Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya Bersifat horizontal tetapi juga vertikal, sebagaimana
diuraikan dalam Al-Quran Bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathîn) sekaligus
Yang Tampak (al-Dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd) sekaligus Yang Banyak (al-Katsîr), Yang
Terdahulu(al-Qadîm) sekaligus Yang Baru (al-Hadîts), Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus Yang
Tiada (al-`Adam). Dalam pandangan Ibn Arabi , realitas yang ada adalah satu tetapi
mempunyai sifat yang berbeda: sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal
sekaligus abadi, permanen sekaligus nisbi, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang
bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam. Di sini
Ibn Arabi menggunakan prinsip al-jam’u bayn al-addâd (kesatuan di antara pertentangan-
pertentangan), atau yang dalam fi lsafat Barat disebut coincidentia oppositorum. Untuk
menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi , antara lain,
menggunakan simbol cermin, di mana alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini,
pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni bahwa penciptaan ini adalah
sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia
adalah “harta yang tersimpan” (kanz makhfi ) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam,
sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu. ‘Kuntu kanzan makhfi yyan fa ahbabtu
‘an u`rafa fa khalaqtu al-khalq likay u`rafa’ (Aku adalah Perbendaraan yang tersembunyi dan
Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat dikenali). Kedua, untuk
menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni
bahwa Tuhan yang becermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam
sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia
sendiri, sama sekali bukan selainnya, tetapi gambar-gambar tersebut bukan Dia yang
sesungguhnya.Penggambaran di atas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan
tanzîh yang digunakan Ibn Arabi . Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam
tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segi tanzîh Tuhan berbeda
dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan
mutlak. Meski demikian, yang penting harus dicatat adalah alam bukanlah Tuhan dan Tuhan
bukan alam, keduanya tetap entitas yang berbeda. Secara tegas, Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa
la Huwa’ (Diabukan Dia yang kita saksikan dan kita bayangkan). Karena itu juga, sedekat-
dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, sesungguhnya ia tetap tidak pernah benar-
benar menyatu dengan Tuhan, tetapi hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu
dengan “bayangan-Nya”, bukan dengan Zat-Nya. Bagi Ibn Arabi, Tuhan terlalu tinggi untuk
dicapai oleh nalar dan pengalaman batin manusia sehingga segala uraian tentang-Nya
hanyalah kebohongan, pengerdilan, dan pembatasan.

Wujud dan ‘Adam

Kata wujud yang berasal dari kata ‘wujîda’ yang memiliki arti Mendasar ‘ditemukan’,
secara etimologi sebenarnya tidak dapat diartikan Dengan being atau existence. Kelebihan
bahasa Melayu adalah mengadopsi Secara langsung sebuah kata yang dikira tidak ditemukan
padanannya Sehingga dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, kata ‘wujud’ telah
Menjadi bagian kosa katanya. Dikatakan ‘ditemukan’ karena manusia dalam Perjalanan
suluknya berhasil menyingkap tabir sehingga dapat menemukan Tuhan. Dalam pandangan
Ibn ‘Arabi dan Hamzah Fansuri, wujud hanyalah Milik Tuhan. Selainnya adalah ‘adam
(ketiadaan). Segala selain Allah hanya Baru dapat dikatakan wujud ketika telah memasuki
wujud. Wujud Dianalogikan dengan cahaya, sementara ‘adam dianalogikan sebagai
Kegelapan. Pengertian lain antara wujud dengan ‘adam adalah hubungan atau Tambahan
dalam konteks penegasan dan penafian. Bila si Fulan ada di A maka Dia tidak ada di B.
Penjelasan lainnya tentang wujud dan ‘adam adalah entitas. Suatu entitas dapat dikatakan ada
sekalipun dia tiada dan dapat dikatakan Tiada sekalipun ia ada. Dan semua ini hanya berlaku
pada wujud selain Tuhan Karena semua itu bukan wujud hakiki. Ibn ‘Arabi membagi
ketiadaan menjadi empat. Pertama adalah Ketiadaan yang mesti, seperti sekutu Tuhan. Kedua
adalah ketiadaan yang Wujudnya mesti secara lebih kuat dan pilihan dan bukan secara mesti,
seperti Differensia-differensia dari genus. Ketiga adalah ketiadaan yang wujudnya Adalah
mungkin, seperti manisnya air laut. Dan keempat adalah ketiadaan Yang wujudnya mustahil
secara pasti dan pilihan kecuali wujud differensia Tertentu dari suatu genus. (Kautsar Azhari
Noer:1995: 45),Sementara kategori wujud dibagi tiga. Pertama, adalah wujud dengan Zatnya
sendiri dalam entitasnya dan wujud tersebut mustahil tiada. Wujud di Maksud adalah Allah.
Kedua adalah wujud yang diwujudkan, memiliki wujud Dari Tuhan. Ini adalah alam material.
Ketiga adalah tidak wujud, tidak pula ‘adam. Dia ada bersama Tuhan sejak azali. Dia adalah
Tuhan dan alam Sekaligus bukan Tuhan dan bukan alam. Posisinya berada antara yang
Mewujudkan dengan yang diwujudkan. Dia adalah materi pertama. Adapun Kedahuluan yang
pertama dengan yang kedua bukan dalam kategori waktu Tetapi menurut urutan logika.

Al-Haqq dan Khalik

Al-Haqq tentunya merujuk kepada Allah sementara khalik adalah alam. Ibn 'Arabi
mengatakan khalik adalah Al-Haqq sekaligus bukan al-Haqq.Analoginya seperti makanan
dan memakan. Pada satu sisi al-Haqq adalah Makanan bagi khalik, pada sisi yang lain khalik
adalah makanan bagi al-Haqq. Hal ini terjadi secara bersamaan. Dianalogikan dengan
makanan karena Makanan itu merasuk seluruh badan dan pada seluruh badan adalah dari
Makanan. Demikian juga al-Haqq memenuhi seluruh khalik sebagai analogi Khalik memakan
al-Haqq. Eksistensi khalik dapat terlaksana ketika al-Haqq Memberinya wujud sebagai
analogi al-Haqq memakan khalik. Klalik adalah adalah cermin bagi al-Haqq. Sekaligus
secara serentak al-Haqq adalah cermin bagi khalik. Dan cermin paling bening sehingga al-
Haqq Menjadi semakin jelas adalah insan kamil.
Tajali

Para komentator Ibn ‘Arabi mengatakan, tajali (tajallî) adalah sumbu Atau tiang ajaran
Wahdatul Wujud Ibn ‘Arabi. Tajali al-Haqq kepada setiap Makhluk tidak dua kali dalam satu
individu dan tidak pula satu kali dalam dua Individu. Tajali itu terjadi terus-menerus sehingga
makhluk adalah sesuatu Yang terjadi terus-menerus. Tajali terjadi tergantung kesiapan
makhluk. Misalnya matahari memiliki cahaya yang sama tetapi bagi orang yang sedang
Kedinginan cahaya itu menentramkannya dan bagi yang sedang kepanasan Cahaya itu
mengganggunya. Analogi ini berlaku juga bagi kesiapan masing-Masing orang dalam
memahami Al-Qur’an. Sebab itulah masing-masing orang Memiliki pemahaman yang
berbeda atas Al-Qur’an. Kesiapan itu telah Ditentukan sejak azali di dalam entitas-entitas
permanen (a’yan tsabithah).Selain memakai istilah tajali, Ibn ‘Arabi juga menggunakan
istilah faydYang biasanya diartikan dengan emanasi. Tetapi maksudnya berbeda dengan
Teori emanasi Plotinus. Bila dalam emanasi Plotinus linpahan dari yang Satu Bersifat
rangkaian, tetapi dalam makna fayd Ibn ‘Arabi bermaksud sebagai Penampakan al-Haqq
secara langsung dalam bentuk yang berbeda-beda, dari Yang kurang konkrit sampai yang
lebih konkrit (Kautsar Azhari Noer, 1995, h. 61-62)Terdapat dua tipe utama fayd. Pertama
fayd al-aqdas dan kedua adalah Fayd al-muqaddas. Tipe fayd al-aqdas lebih dahulu daripada
tipe kedua yang Hanya dalam urutan logika, bukan realitas. Pada yang pertama, disebut
Dengan al-tajallî al-dzatî karena adalah penampakan diri esensial atau tajalli Al-ghaybi
karena adalah penampakan diri gaib. Disebut awan tebal (al-‘ama) Karena pada tahap ini Dia
tidak menampakkan Diri pada sesuatu yang lain Kecuali pada Diri-Nya sendiri. Disebut pula
tajallî al-dzat al-ahadiyah karena Adalah penampakan Dzat esa Mutlak. Disebut pula al-
ahadiyat al-ahad karena Potensi pluralitas dalam ketunggalannya saja belum, sebab masih
dalam Status asli. Sementara saat mengandung potensi keberagaman dalam Ketunggalan baru
disebut wahidiyyah karena baru dalam taraf pertama dalam Akal, yang belum menjadi al-
a’yan al-hissiyyah yakni belum terinderai tetapi Masih bersifat sebagai penerima wujud saja
sehingga disebut al-a’yan al-Tsabitah. Sementara pada fayd al-muqaddas, disebut juga tajalli
al-wujudî atau Tajallî al-syuhudî, al-Haqq telah menampakkan dirinya mulai dari pikiran
Hingga indera. Tajalilli al-Haqq kepada hati sufi adalah tergantung pada kesiapan hati Yang
telah disiapkan sejak azali. Hati ini selalu berubah, tidak pernah tetap Sehingga bentuk
tajalinya tidak pernah tetap. ‘’Setiap saat Dia dalam Kesibukan’’

Zahir dan Batin


Al-Haqq dalam pandangan Wahdatul Wujud hanya dapat dipahami Dengan ambiguitas. Dia
adalah yang Zahir (al-Zahir) dari sisi manifertasinya Pada alam sekaligus Dia adalah Batin
(al-Batin). Ibn ‘Arabi menganalogikan Dua aspek ini sebagai satu kesatuan persis seperti
manusia dengan ruhnya. Bila yang ada hanya jasadnya, itu bukan manusia tetapi hanya
bentuk Manusia. Ibn ‘Arabi mengatakan al-Haqq menjadi zahir melalui sifat-sifat Makluk
dan makhluk menjadi menjadi zahir melalui sifat-sifat al-Haqq.Ibn ‘Arabi memakai analogi
kain wol yang meresapi air untuk Menggambarkan hubungan zahir dengan batin, sekaligus
antara al-Haqq Dengan makhluk. Subjek yang meresapi menjadi hilang sehingga yang
tampak Adalah yang diresapi. Tujuannya adalah untuk menggambarkan bila al-Haqq
Meresapi makhluk maka berarti yang tampak adalah makhluk dan bila Makhluk yang
meresapi al-Haqq maka yang tampak adalah al-Haqq. Dan hal Ini terjadi sekaligus. Sifat-sifat
yang meresapi menjadi tampak pada yang Diresapi. Afirmasi dan negasi berlaku sekaligus
adalah prinsip utama ajaran Wahdatul Wujud sebagaimana diajarkan oleh Ibn ‘Arabi.

Kesatuan dan Pluralitas

Dalam prinsip kesatuan dan pluralitas, Ibn ‘Arabi menganalogikannya Dengan angka.
Bahwasanya segala jumlah angka pada hakikatnya adalah satu (al-wahid). Bilangan
(al-‘adad) statusnya hanya pada realitas pikiran (mental, Intelligible, ma’qulah), sementara
yang dihitung/dibilang (al-ma’dudû), bisa Memiliki realitas eksternal, bisa tidak. Ini adalah
prinsip utama pandangan Kesatuan dan pluralitas Ibn ‘Arabi.Antara satu, bilangan dengan
yang dibilang dianalogikan Ibn ‘Arabi Dengan a-Haqq, a’yan al-tsabitah dan alam. Di
samping itu untuk Menggambarkan hubungan al-Haqq dengan makhluk, Ibn ‘Arabi juga
Memakai analogi universal manusia dengan partikular individu-individu. Dia Juga
menggunakan analogi air yang menghidupkan bumi sehingga tumbuhlah Aneka ragam
tumbuhan. Keragaman nuncul dari yang satu adalah karena Karakteristik lokus. Lokus ini
ketika dihadapkan pada yang satu maka yang Satu itu akan tampak beragam. Ibn ‘Arabi yang
menjadi penegas bahwa keberagaman itu statusnya Hanya pada mental atau pikiran sehingga
pernyataan-pernyataan para Komentator yang menyatakan pemikiran Ibn ‘Arabi tidak murni
Wahdatul Wujud tidaklah benar. Sebab keberagaman itu adalah dalam status epistemologi,
sementara dalam bagian ontologi, secara jelas bahwa pandangan Ibn 'Arabi adalah Wahdatul
Wujud.

Tanzih dan Tasybih


Tanzih bermakna mensucikan Allah dari segala sifat kemakhlukan. Sebab tidak ada sesuatu
apapun yang menyerupai Dia. Sementara tasybihadalah pernyataan bahwa sifat-sifat Allah
adalah identik dengan makhluk sebab wujud maupun sifat makhluk adalah pinjaman dari
Allah. Dalam pandangan Ibn 'Arabi, tanzih dan tasybih berlaku sekaligus. Demikianlah cara
ideal mengenal Allah. Harus diketahui bahwa pada segi Dzat-Nya, Allah tidak mengerupai
apapun, tetapi pada segi nama dan sifat, Dia menyerupai makhluk. Tetapi keserupaan ini
bukanlah dalam bentuk, sebab Allah tiada berbentuk, tetapi keserupaan pada nama dan sifat.
Pada tanzih terkandung tasybih, tetapi pada tasybih tidak terkandung tanzih. Seperti pada al-
Qur'an terkandung al-Furqan, tetapi pada al-Fur'qan tidak terkandung al-Qur'an. Pengetahuan
dan penyembahan kepada Allah harus melalui hati dan pikiran, melalui tanzih dan tasybih

. Zat dan Nama-nama

Ibn 'Arabi menegaskan bahwa Zat Allah sama sekali lepas dari pengetahuan dan imajinasi
manusia. Antara Zat dengan Nama-nama-Nya tidak berhubungan. Sebab hubungan
meniscayakan ketergantungan atau kebutuhan. Padahal Zat itu sama sekali tidak butuh
apapun termasuk Nama-nama. Ketuhanan juga tidak berhubungan dengan Zat, sebab
ketuhanan itu membutuhkan makhluk sebagai penyembah. Sementara Zat tidak
membutuhkan apapun. Tetapi beberapa Nama adalah Zat itu sendiri. Maksudnya, Nama-
nama dimaksud itu hanya identik dengan Zat karena makhluk sama-sekali tidak memilikinya.
Misalnya al-Ghani. Ibn 'Arabi mengatakan bahwa makhluk membutuhkan Nama-nama secara
terus menerus. Dalam hal ini beliau menganalogikan Sifat seperti ayah. Ayah adalah
perantara bagi keberadaan dan keberlangsungan eksistensi anak. Karena itu Ibn 'Arabi
mengatakan Nama-nama sebagai barzakh, yakni perantara. Sebagaimana ditegaskan
sebelumnya, bahwa Nama-nama adalah sesuatu yang hanya pada alam mental. Sehingga
Nama-nama adalah bukan berada pada status ontologis tetapi dalam status epistemologis.
Setiap nama memiliki tingkatan-tingkatan berbeda. Perbedaan ini ditinjau dari tiga aspek.
Pertama adalah kebersyaratan, seperti al-Qadir membutuhkan al-Murid, al-Murid
membutuhkan Al-'Alim dan al-‘Alim membutuhkan al-Hayy sebab kuasa mustahil tanpa
keinginan, keinginan mustahil tanpa pengetahuan dan pengetahuan mustahil tanpa kehidupan.
Aspek kedua adalah kemencakupan, seperti, Al-Hayy mencakup al-'Alim, al-Murid dan al-
Qadir, al-'Alim mencakup al-Murid dan al-Qadir. Al-Murid mencakup al-Qadir. Aspek ketiga
adalah keterkaitan. Al-Qadir terkait dengan al-Hayy. Al-Hayy terkait dengan al-'Alim dan al-
Qadir kaitannya adalah dengan al-Murid

Al-‘Yan al-Tsabitah

A’yan berarti ‘sumber’ dan tsabitah berarti ‘tetap’. Al-a’yan al-tsabitah Berarti ‘sumber tetap’
atau disebut juga ‘entitas permanen’. Al-‘Yan al-Tsabitah terkandung di dalam ilmu Tuhan.
Dianya berada pada posisi antara Tuhan dengan makhluk. Karena itu sifatnya menjadi
ambigu. Dia kekal Sekaligus baharu. Kekal karena telah ada sejak azali bersama ilmu Tuhan,
Tetapi baharu dalam penjelmaannya. Al-‘Yan al-Tsabitah adalah sumber segala Realitas yang
menjelma.

Insan Kamil

Al-insan Al-kamil yang dimaksud Ibn ‘Arabi terbagi dua yakni insan Kamil dalam makna
universal yang berati manusia sempurna secara abstrak Dan insan kamil dalam makna
partikular yakni para nabi dan orang-orang Suci. Insan kamil dianalogikan sebagai cermin
yang paling bersih sehingga dia Menjadi tempat yang paling sempurna yang memancarkan
Nama-nama Ilahi. Pada insan kamil, Nama-nama Ilahi terpancar secara menyeluruh.
Makhluk-Makhluk adalah pancaran Nama-nama Ilahi. Mineral adalah makhluk yang Paling
rendah dalam menerima pancara Ilahi, disusul tumbuhan dan Selanjutnya hewan. Sementara
pada insan kamil adalah makhluk paling Sempurna yang menghimpun Nama-nama Ilahi
yakni secara menyeluruh, Malampaui yang dimiliki semua makhluk lainnya. Sebab itu insan
kamil pada Satu sisi disebut mikro-kosmos karena terhimpun segala Nama-nama yang Dapat
dipancarkan segenal makhluk di dalam kosmos. Di samping itu, alam Disebut sebagai mikro-
kosmos karena segala Nama-nama yang dihimpun Segenap kosmos dan melampauinya
terkandung dalam makhluk kecil yakni Insan kamil. Insan kamil juga disebut dengan biji
mata bagi Tuhan sebab manusia Adalah cermin yang paling bersih sehingga Tuhan dapat
melihat Diri-Nya Dengan jelas melalui insan kamil. Disebut juga insan kamil sebagai fass
yang Berarti segel surat. Sebab bagi alam, manusia adalah kesempurnaannya. Maka Alam itu
tunduk kepada insan kamil. Dengan demikian, bila tidak demikian dia Tidak disebut insan
kamil tetapi al-insan al-hayawan. Syariat dalam pandangan Ibn ‘Arabi adalah landasan insan
kamil. Menjadi insan kamil berarti menghilangkan wujud diri dan menjalankan Segala sifat
Allah. Upaya ini disebut thakhalluq. Pembahasan Wahdatul Wujud di sini adalah supaya
dapat mengenal Ajaran ini dengan baik supaya dapat menemukan perbedaannya sebab
Perbedaan itu adalah landasan menemukan kesamaan. Kesamaan yang Dimaksud adalah
kesamaan-kesamaannya dengan ajaran-ajaran lain seperti Pancasila, Hindu, Tao, Kristen,
Panteisme dan lainnya. Uniknya, kalangan tertentu dalam Islam menganggap semua ajaran
Ini sesat. Memang ada dua tipe manusia, pertama adalah yang mencari Perbedaan untuk
menciptakan kebencian dan permusuhan. Kedua adalah Yang melihat dan menemukan
persamaan dalam perbedaan. Perbedaan memang perlu ditegaskan, sebab tanpa perbedaan
persamaan takkan ada kecuali penyamaan semata.

Anda mungkin juga menyukai