Anda di halaman 1dari 11

USAHA BAHASA ARAB DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

Yuangga Kurnia Yahya


Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Email: yuangga4@gmail.com

Abstrak: Makalah ini membahas tentang problematika yang dihadapi Bahasa


Arab di era globalisasi ini, khususnya terkait istilah dalam ilmu pengetahuan,
teknologi dan sistem informasi modern. Derasnya arus globalisasi semakin
menggerus peran Bahasa Arab di mata masyarakat tuturnya sendiri seiring
tergantikan dengan bahasa asing. Sebelum berbicara tentang modernisasi,
perlu diketahui berbagai problematika yang dihadapi Bahasa Arab di era
modern ini, baik tercampurnya ragam ‘amiyah dalam forum resmi,
penggunaan huruf latin dalam penulisan, masuknya bahasa asing dalam
pengajaran dan publikasi institusi pendidikan, klaim bahwa kaidah nahwu
dan sharf terlalu sulit untuk diterapkan, klaim bahwa diglosia Bahasa Arab
merupakan sebuah bencana maupun ketidakpercayaan diri masyarakat tutur
Bahasa Arab akan kredibilitas bahasa ini dalam menjawab tantangan zaman.
Selanjutnya dipaparkan berbagai usaha individu maupun institusi dalam
menghadapi tantangan zaman, baik melalui konferensi, seminar, penerbitan
buku-buku, penyederhanaan kaidah Bahasa Arab maupun berbagai usaha
pembentukan istilah-istilah baru. Terakhir, dicantumkan berbagai upaya
pengayaan kosakata Bahasa Arab dengan pembentukan istilah-istilah baru.

Kata kunci: Arabisasi, Derivasi. Globalisasi, Modernisasi

Pendahuluan
Abad XXI merupakan abad kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem
informasi. Kemajuan yang ada dalam abad ini berimplikasi besar dalam kehidupan umat
manusia di berbagai belahan dunia. Dalam beberapa dekade terakhir saja, kemajuan di
bidang teknologi dan sistem informasi mampu merubah pola hidup hingga pola pikir
manusia. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa berbagai hasil cipta dan karsa umat
manusia yang dikenal sebagai budaya memiliki perubahan seiring berkembangnya
pemikiran dan kebiasaan manusia.
Bahasa merupakan salah satu unsur budaya universal yang memiliki peran
penting menurut Koentjoroningrat. Tanpa adanya bahasa, sistem pengetahuan, sistem
pencaharian, sistem teknologi, sistem kepercayaan, sistem organisasi masyarakat dan
seni dalam satu masyarakat akan terganggu dan tidak dapat berjalan dengan baik.
Karenanya, perhatian para ahli terhadap perkembangan bahasa tidak dapat dipandang
sebelah mata dan merupakan kunci kemajuan dan perkembangan budaya suatu
masyarakat, dimana telah diketahui bersama bahwa manusia merupakan makhluk sosial
yang membutuhkan proses interaksi dengan manusia lainnya. Proses interaksi tersebut
membutuh bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah dan medium komunikasi yang paling
komunikatif dan efektif.
Dalam tulisan berikut, penulis mencoba menyingkap perkembangan Bahasa
Arab di abad ini, baik kemajuan maupun kemundurannya dengan faktor masing-masing,
problematika yang dihadapi di era ini dan berbagai usaha untuk mengatasi problematika
tersebut. Hal tersebut semata-mata dalam rangka meneliti implikasi perkembangan ilmu
pengetahuan modern, teknologi dan sistem informasi dalam budaya Arab dan

38
perkembangan budaya Arab dalam menghadapi era globalisasi ini dengan menyoroti
unsur budaya terpenting, yaitu bahasa.

Pembahasan
Bahasa Arab dan Perkembangan Pemikiran
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa diantara beragam bahasa yang ada di
dunia. Bahasa ini juga mengalami perkembangan sebagaimana bahasa-bahasa umat
manusia lainnya. Terlebih, setelah Allah SWT memilih bahasa ini sebagai bahasa
turunnya wahyu dan menjadi bahasa pengantar kitab suci umat Islam, al-Qur‟an,
menjadikan bahasa ini memiliki posisi penting sebagai salah satu bahasa dunia. Dengan
dipilihnya Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‟an, secara tidak langsung memperluas
penggunaannya dan mempertahankan eksistensinya selama kitab suci tersebut dibaca
dan dijadikan rujukan bagi seluruh muslim. Karenanya, Bahasa Arab tidak hanya milik
orang Arab atau negara-negara di kawasan Timur Tengah yang menjadikannya bahasa
resmi, namun milik seluruh muslim di dunia (Khalifah, 2003: 12-13).
Bahasa diciptakan manusia berdasarkan jenis, warna kulit, tempat asal, dan
keberadaan manusia itu sendiri. Bahasa juga memberikan manusia kekhasan agar dapat
dikenali. Kemampuan manusia dalam mengekspresikan bahasa dengan jelas, teliti, dan
teratur harus sesuai dengan pikiran karena bahasa saling terkait dengan pikiran manusia.
Jika dilihat sejarah bahasa yang berkembang di peradaban negara-negara yang berbeda,
maka didapati bahwa bahasa menjadi peran penting bagi sejarah karena bahasa
digunakan untuk menghasilkan budaya, sastra, seni, dan ilmu. Beberapa ahli
berpendapat: “Pada dasarnya, seprimitif apapun suatu bahasa dari suku paling barbar
sekalipun, telah menunjukkan tingkat intelegensi yang tinggi dan peradaban yang maju.
Kemajuan tingkat intelegensi ini dapat dilihat dari susunan kata yang digunakan saat
berkomunikasi satu sama lain, dibandingkan masa-masa prasejarah dimana bahasa dan
tulisan belum ditemukan”. Pendapat tersebut tentu saja diutarakan oleh ahli yang telah
mendalami “struktur bahasa” dan hubungannya dengan tingkat intelegensi manusia
(Lyons, 1987: 38-39 dan 42). Pendek kata, bahasa adalah cermin pola berpikir
(Soenjono, 2004: 340).
Bahasa akan berkembang seiring dengan perkembangan suatu bangsa dan juga
akan hilang seiring dengan kehancuran bangsa tersebut. Bahasa dapat hilang secara
wujud maupun penggunaannya,seperti yang terjadi pada Bahasa Latin. Bahasa Latin
terurai menjadi bahasa yang berbeda-beda, diantaranya Bahasa Perancis, Bahasa
Portugal, Bahasa Italia, dan Bahasa Spanyol. Begitupula bahasa Arab juga termasuk
dari akar bahasa yang hilang dari perjalanan sejarah. Bahasa Arab bercabang menjadi
bahasa Kan‟an, bahasa Arami, dan bahasa Ibrani sampai sebelum al-Quran turun
dengan menggunakan bahasa Arab. Sejak al-Quran diturunkan dengan medium Bahasa
Arab, Bahasa Arab menjadi bahasa yang berdiri sendiri dan berpisah dari bahasa yang
lain. Bahasa Arab menjadi bahasa wahyu Tuhan yang diturunkannya kepada Nabi
Muhammad. Bahasa Arab akan kekal abadi sebagaimana Alquran kekal hingga
penghujung waktu (Hazm, 1979: 32).
Sebagai bahasa yang memiliki sejarah panjang dan penutur yang luas, Bahasa
Arab merupakan bahasa yang konsisten dari segi morfologis, sintaksis dan
pengucapannya dan juga bahasa yang berkembang dari segi istilah, kosakata dan
makna. Sejak zaman dahulu, bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa resmi negara
(zaman Umayyah misalnya), bahasa resmi agama bahkan bahasa kehidupan. Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan dan pemikiran, Bahasa Arab juga berperan aktif

39
dalam perkembangan istilah-istilah ilmiah. Dahulu bila Bahasa Arab hanya meminjam,
menerjemahkan dan menyerap (arabisasi) istilah-isitlah ilmiah, beralih untuk
menciptakan dan menemukan istilah-istilah ilmiah dan perkembangan pemikiran. Karya
al-Kindi, Ibn Sina, al-Biruni, al-Farobi, Ibn Rusyd, Ibn Zahir dan ilmuwan muslim
lainnya dalam berbagai disiplin ilmu merupakan contoh nyata andil besar Bahasa Arab
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Alasan ini pula yang mendasari penulis buku
“Rasa’il Ikhwani’s-Shafa” sekitar Abad IV H tidak menemukan instrumen yang tepat
untuk menjelaskan istilah dalam filsafat, pemikiran ilmiah dan ilmu sosial selain dalam
istilah Bahasa Arab, dengan kekayaan susunan kata dan aspek semantiknya yang luas,
baik prosa maupun sya‟ir (Khalifah, 2003: 15).
Gerakan keilmuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Arab mencapai
puncaknya pada Abad IV dan V H. Dalam masa dua abad tersebut, Bahasa Arab
menjadi bahasa ilmu yang paling utama dengan segala bidang dan cabang-cabangnya
yang tedapat pada pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan: di Baghdad, Bashrah,
Asfahan, Jarjan, Damaskus, Kairo, Qairawan, Aleppo, Tlemcen (Algeria), Fez
(Morocco), Cordoba (Mesir), Seville (Spanyol) serta di kota-kota lain yang
membentang dari belahan dunia timur, sekitar wilayah China hingga ke belahan dunia
Barat, sekitar wilayah Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa para ilmuan yang tinggal di
daerah kekuasaan Islam (Daar al-Islam). Ilmuwan-ilmuwan tersebut memang berasal
dari bangsa dan kelompok yang berbeda akan tetapi mereka memiliki agama dan bahasa
yang sama. Sehingga teori-teori keilmuan yang mereka miliki masih dapat disampaikan
secara jelas dan akurat karena masih menggunakan bahasa yang sama (Khalifah, 2003:
15-17).

Problematika Bahasa Arab di Era Modern


Seiring runtuhnya kekuasaan Islam di berbagai belahan bumi, perkembangan
ilmu pengetahuan dan pemikiran dalam Islam mengalami kelesuan selama berabad-
abad. Masa inilah yang disebut masa kemunduran Bahasa Arab dan kemunduran Umat
Islam. Keadaan ini diperparah dengan gencarnya gerakan kolonialisme Barat di
berbagai negeri Arab, yang menginvasi berbagai segi kehidupan, termasuk
perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Posisi Bahasa Arab sebagai bahasa
utama ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan, bahkan oleh penuturnya sendiri. Namun
posisinya dalam agama Islam tetap tidak tergantikan, dan ditakutkan menjadi satu-
satunya wilayah otoritas Bahasa Arab.
Era modern yang ditandai dengan perkembangan pesat dalam hal ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi, informasi, dan berbagai bidang lainnya. Sistem
pasar bebas yang diterapkan juga mempengaruhi penyebaran budaya asing, termasuk
bahasa. Perkembangan berbagai bidang yang dipelopori negara-negara Eropa dan
Amerika melazimkan masuknya bahasa dan istilah-istilah asli mereka ke berbagai
negara. Akibatnya, ideologi nasionalisme akan semakin terkikis dengan pengaruh asing.
Masyarakat tutur Arab merasa bahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, dll) lebih modern
dan lebih maju dibandingkan Bahasa Arab. Penggunaan Bahasa Arab di dunia teknologi
dan akademik dianggap sebuah kemunduran dan ketinggala zaman. Bahkan Muhammad
Hasan Ibn Abdul Aziz, Professor Bahasa Arab Daaru-l-‘Ulum Universitas Kairo yang
juga merupakan anggota Majma’ Lughah Kairo menyebutkan bahwa negara-negara
Arab dan budayanya seolah tidak memiliki strategi yang jelas dalam menghadapi efek
globalisasi ini dan tampak kewalahan menghadapinya sehingga mau tidak mau harus
mengakui kekalahannya (Aziz, 2011: 161-163).

40
Masalah yang dihadapi Bahasa Arab pun beragam, mulai dari penyebaran
penggunaan bahasa non-Arab, banyaknya istilah asing yang tidak tesedia dalam
kosakata Bahasa Arab, penyebaran berbagai dialek (lahjah) yang semakin kompleks,
hingga semakin minimnya kepedulian akan penggunaan ragam fuscha dalam forum
resmi (at-Taujiry, 2004: 64). Kondisi inilah yang membuat Bahasa Arab semakin
termarjinalkan, baik penggunaannya dalam forum-forum ilmiah dan internasional
maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tutur Arab. Lebih jauh lagi, seorang
bahasawan Arab menegaskan bahwa kemunduran Bahasa Arab merupakan sebab
terbesar dari kemunduran bangsa dan kebudayaan Arab, bahkan Islam (al-Hamad, 2005:
211-212 juga Moussa, 1964 : 7).
Menurut Prof. Dr. Abdul Karim Khalifah, ketua Majma’ Lughah Yordania,
dalam bukunya “al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala madariji’l Qarni’l Wahid wa’l ‘Isyrin”,
masalah-masalah yang dihadapi Bahasa Arab di era modern ini dapat terangkum dalam
poin-poin berikut (Khalifah, 2003: 85-89):
1) Pemakaian bahasa Amiyah pada tulisan-tulisan resmi penulisan maupun
pembacaan berita, penulisan jurnal, majalah, pengumuman, dan lain-lain.
Diglosia Bahasa Arab disamping mengandung keunikan di satu sisi, juga
memiliki resiko yang besar di sisi lain. Banyaknya kosakata dan kaidah yang
berlainan antara satu sama lain ditengarai membingungkan para penuturnya
(Aziz, 2001: 186 juga al-Hamad, 2005: 186). Keadaan ini diperparah dengan
keinginan beberapa kelompok untuk menjadikan ragam „amiyah sebagai ragam
resmi dan menggantikan alphabet Arab dengan alfabet latin demi mensejajarkan
diri dengan bahasa latin (Aziz, 2001: 174 dan 181 juga al-Hamad, 2005: 183
dan 187).
2) Penggunaan bahasa asing dalam publikasi tulisan dan hasil penelitian di
beberapa perguruan tinggi negeri hingga sekolah-sekolah dasar sehingga
menggeser kedudukan Bahasa Arab resmi (fuscha). Berbagai sekolah dan
perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah yang berbahasa resmi Arab, yang
diisi oleh murid-murid bertutur Arab, yang diajar oleh orang-orang Arab, dan
berada di lingkungan Arab dalam pelajaran kedokteran, arsitektur, teknik dan
berbagai disiplin ilmu lainnya menggunakan bahasa pengantar asing. Mayoritas
perguruan tinggi di Arab sebelah Timur menggunakan Bahasa Inggris sebagai
pengantar ilmu-ilmu tersebut dan di sebelah Barat menggunakan Bahasa
Prancis.
3) Adanya klaim-klaim bahwa belajar bahasa Arab itu sulit. Menghafalkan kaidah-
kaidah Bahasa Arab, baik fuscha maupun „amiyah membuat penuturnya merasa
kesulitan untuk menggunakannya sebagai bahasa teknologi, komunikasi dan
pengetahuan umum (Aziz, 2001: 194-195).
4) Klaim bahwa Bahasa Arab merupakan bahasa agama Islam dan bahasa al-
Qur‟an sehingga bersifat suci dan tidak menerima pembaharuan dan
modernisasi dalam istilah dan kaidahnya (al-Hamad, 2005: 208).
5) Penggunaan ‘Google Translate’ dalam penerjemahan bahasa Arab. Penggunaan
teknologi modern memang sangat membantu. Akan tetapi, jika aplikasi yang
ada di teknologi itu tidak mendukung bahasa Arab, seperti cara penulisan dan
huruf, maka teknologi itu akan menjadi bahaya bagi bahasa Arab itu sendiri
karena aplikasi tersebut dibuat untuk melayani bahasa lain yang berbeda dari
bahasa Arab secara tulisan, huruf, dan gramatikalnya. Oleh karena itu,
penggunaan ‘Google Translate’ menjadi tidak berguna bagi bahasa Arab dan

41
bahkan menjadi sumber masalah karena hasil dari penerjemahan tidak sesuai
dengan gramatika Arab.
Setidaknya itulah beberapa masalah yang dihadapi Bahasa Arab untuk kembali
mensejajarkan diri dengan bahasa pemikiran dan ilmu pengetahuan dunia atau bahkan
kembali menjadi bahasa ilmu pengetahuan, minimal di kawasan berpenutur Bahasa
Arab. Keadaan tersebut diperparah dengan sikap inferior masyarakat tutur Arab yang
beranggapan bahwa Bahasa Arab tidak dapat bersaing dengan bahasa internasional
lainnya di era modern ini (Aziz, 2011:199).

Usaha-Usaha Mengatasi Problematika Bahasa Arab


Kemunduran perkembangan Bahasa Arab dan ilmu pengetahuan berbahasa Arab
telah disadari berbagai pihak. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa bahasa akan
berkembang seiring dengan perkembangan suatu bangsa dan juga akan hilang seiring
dengan kehancuran bangsa tersebut. Perkembangan bahasa amat erat hubungannya
dengan perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Perkembangan bahasa juga
merupakan sebuah keniscayaan dikarenakan bahasa merupakan salah satu unsur budaya
yang selalu mengikuti sifat budaya yang dinamis. Berikut akan dipaparkan berbagai
usaha ilmuwan, baik secara individual maupun secara instansi, dalam mengembangkan
Bahasa Arab di abad ini, yang secara garis besar dapat dituangkan dalam 3 usaha besar,
yaitu penerjemahan istilah (Arabisasi), Pendirian Majma’ Lughah dan Pengadaan
Konferensi Arabisasi.
Abad XIX merupakan titik tolak penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam
bahasa Arab. Hal ini bermula pada seperempat pertama dalam abad ini, ketika Mesir
mengutus sejumlah ilmuwan ke Eropa. Setelah kembali dari Eropa, para ilmuwan
tersebut mengajar ilmu pengetahuan modern dan teknik dengan menggunakan Bahasa
Arab. Pada saat itu Bahasa Arab menjadi bahasa untuk mengajar ilmu kedokteran,
teknik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penerjemahan ilmu pengetahuan modern
ke dalam Bahasa Arab (Arabisasi) yang komprehensif sangat diperlukan untuk
menjembatani dan menghubungkan bangsa Arab dengan peradaban bangsa Eropa
modern, menerjemahkan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknik ke dalam bahasa Arab, serta
mengembangkan bahasa Arab dalam pengajaran, administrasi, dan seluruh aspek
kehidupan.
Di Kairo, ilmu kedokteran diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab. Hingga
pada tahun 1882 M, ketika militer Inggris menyerbu Mesir, Bahasa Arab
dikesampingkan dan bahasa Inggris menjadi bahasa wajib dalam proses pengajaran.
Pada tahun ini, pengajaran ilmu kedokteran yang semula menggunakan Bahasa Arab
diganti dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Perang terus berlanjut antara Arab dan Inggris di wilayah Arab sebelah Timur,
antara Arab dan Perancis di wilayah Arab sebelah Barat, antara Arab dan Italia serta
antara Arab dan Spanyol di wilayah Arab lainnya. Meskipun penjajahan telah terjadi
dan meskipun kebijakan atau politik tentang kebahasaan yang zalim, yang telah
menghapus bahasa Arab dari aspek-aspek keilmuwan dan menggantinya dengan bahasa
asing, akan tetapi rupanya al-Qur’an al-Karim dan hadits-hadits nabi telah menjadi
benteng yang tidak dapat ditaklukkan. al-Qur’an al-Karim dan hadits-hadits nabi ini
telah menjaga Bahasa Arab tetap ada, dan tetap hidup di hati dan lisan umat Muslim. al-
Qur’an al-Karim dan hadist-hadist nabi telah menjadi tanda kemuliaan dan memulihkan
identitas nasional, peradaban, dan kebudayaan bangsa Arab.

42
Pada seperempat pertama Abad XX, tepatnya pada tahun 1919, di Damaskus
(Suriah) terdapat gerakan besar untuk penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam Bahasa
Arab (Arabisasi) yang komprehensif. Universitas Suriah mewajibkan Bahasa Arab
sebagai bahasa dalam pengajaran ilmu kedokteran dan seluruh mata kuliah yang
diajarkan di fakultas hukum. Pada saat itu, Bahasa Arab menggantikan posisi bahasa
Turki, dan pengajaran menjadi satu-satunya faktor pergantian tersebut. Perkembangan
Arabisasi yang komprehensif pada saat itu dibuktikan dengan penggunaan Bahasa Arab
secara resmi di setiap lini kehidupan, seperti dalam pengajaran, penelitian ilmiah,
administrasi, ekonomi, perdagangan, industri, undang-undang, pengadilan, dan setiap
berita, baik koran, radio, ataupun televisi (Khalifah, 2003: 95).
Para ilmuwan melihat Arabisasi sebagai identitas kebudayaan dan jalan untuk
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah dan teknik. Pada saat itu para pengajar
di fakultas kedokteran dan hukum bersinergi dengan pusat ilmu pengetahuan Arab.
Awal mula Arabisasi mereka lakukan dengan bersandar pada buku-buku turats, buku di
Mesir pada masa supremasi Arab di fakultas kedokteran dan teknik, dan buku-buku
yang ditulis oleh para orientalis di American University di Beirut. Ketika Bahasa Arab
menjadi bahasa pengajaran di fakultas kedokteran hingga tahun 1882, para pengajar
menerjemahkan dan menulis sendiri buku-buku tersebut ke dalam bahasa Arab.
Penjajahan Prancis atas Suriah selama seperempat abad tidak dapat menghapus
Bahasa Arab sebagai bahasa pengajaran, baik di fakultas kedokteran maupun hukum.
Setelah kemerdekaan Suriah, Universitas Suriah melengkapi fakultasnya, baik dalam
ranah science-tech, sastra, maupun profesi. Universitas-universitas lainnya pun mulai
didirikan di Suriah. Sehingga Bahasa Arab menjadi bahasa pengajaran dan penelitian
ilmiah di seluruh fakultas dan universitas di Suriah hingga saat ini.
Pasca Perang Dunia II, Aljazair mencapai kemerdekaannya. Arabisasi pun menjadi
hal yang krusial di negara ini, sebagaimana hubungan tak terpisahkan antara Arabisme
dan Islam. Sebuah kemerdekaan tidak akan lengkap kecuali dengan pemulihan Bahasa
Arab, yang dengan bahasa tersebut berbagai macam ilmu pengetahuan dapat diraih.
Tidak salah jika mengatakan bahwa Arabisasi pada setengah pertama Abad XX adalah
tahapan dasar dalam membangkitkan ilmu pengetahuan Arab.
Pada tahun 1919 telah didirikan pusat ilmu pengetahuan Arab di Damaskus, pusat
Bahasa Arab di Kairo (pusat bahasa pertama) pada tahun 1934, dan pusat ilmu
pengetahuan orang Irak di Baghdad tahun 1947 M sebagai lembaga yang bertujuan
menjadikan Bahasa Arab sesuai dengan tuntutan zaman, baik dalam ilmu pengetahuan,
kesenian maupun sastra. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan Konferensi Arabisasi
untuk pertama kalinya pada 3-7 April 1961 di Rabat. Konferensi ini diikuti oleh
beberapa delegasi dari Universitas Arab, Negara Yordania, Aljazair, Republik Uni Arab
(pada saat itu Mesir dan Suriah), Libya, Sudan, Tunisia, dan Maroko.
Menindaklanjuti hasil konferensi tersebut, dibentuk berbagai lembaga Arabisasi di
setiap negara Arab dan institusi pusat ilmu pengetahuan yang terintegrasi dengan
Bahasa Arab. Selain itu, konferensi serupa juga diadakan sebagai lanjutan dari
konferensi pertama, seperti konferensi Arabisasi di Yordania pada 1961, Konferensi
Arabisasi Kedua pada 1973, seminar ilmiah terkait penerjemahan ilmiah dan teknologi
di Beirut pada 1979, seminar penetapan istilah ilmiah baru pada 1981 di Rabat dan
seminar perkembangan sistem penetapan istilah Arab dan kajian akan penyebarannya di
Oman pada 1993. Selain konferensi dan seminar besar yang disebutkan, berbagai usaha
individu dan institusi dari tiap-tiap negara Arab dan universitas turut menekuni berbagai
usaha demi tujuan awal konferensi Arabisasi pada 1961 (Khalifah, 2003: 97-102).

43
Urgensi pembentukan persatuan pusat-pusat bahasa ilmiah Arab sangat mendesak
agar menjadi pusat bahasa yang aktif dan utama untuk Bahasa Arab dan keputusannya
diikuti oleh pusat-pusat bahasa regional. Pusat bahasa Arab yang terintegrasi juga
diharapkan dapat membentuk kantor pusat untuk penelitian Bahasa Arab. Adapun untuk
melengkapi kebangkitan Bahasa Arab dan istilah-istilahnya, harus pula didirikan
institusi di setiap negara Arab yang menyediakan “Rancangan Penyediaan Bahasa
Arab” dan “Kamus Historis Bahasa Arab” Kedua hal ini adalah hal mendasar untuk
penetapan istilah Arab.
Apabila merujuk pada pemikiran yang ditorehkan oleh Presiden Aljazair, Houari
Boumedienne pada tahun 1973, ia menyatakan bahwa organisasi tertinggi Arab yang
melingkupi raja-raja dan pemimpin-pemimpin Arab haruslah organisasi Bahasa Arab,
yang menjadi bahasa Arabisme (nasional) dan Islam. Ia menyerukan pada Arabisasi
yang komprehensif, menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa pengajaran dalam setiap
jenjang pendidikan, dan menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa penelitian ilmiah dan
teknik modern.
Usaha lainnya dalam menghadapi berbagai problematika tersebut adalah
menanggulangi berbagai ide dan pikiran untuk menjadikan ragam ‘amiyah sebagai
ragam resmi dan nasional karena hanya berpotensi memecah belah persatuan bangsa-
bangsa Arab sendiri. Tak sedikit bahasawan yang mencoba mengikis perbedaan
mencolok antara fuscha dan ‘amiyah, salah satunya dengan menyederhanakan berbagai
kaidah-kaidah nahwu dan sharf (at-Taysiiraat an-Nahwiyyah wa’sh Sharfiyyah)
sehingga lebih mudah dipahami. Di samping itu, perlu diadakan berbagai pengayaan
istilah dalam Bahasa Arab sendiri dengan berbagai cara dalam rangka menjaga bahasa
al-Qur‟an tersebut tetap bertahan di era globalisasi ini (Aziz, 2011: 207 - 208).

Pembentukan Istilah-Istilah Baru


Sebagai bentuk perkembangan dan menjaga sifat asli bahasa yang merupakan
produk budaya yang dinamis, perlu adanya penambahan kosakata, istilah dan pemerian
makna baru dalam tatanan suatu bahasa. Tidak berhenti disitu, perubahan tatanan
bahasa juga lazim terjadi baik dari segi gramatikal maupun segi semantik seiring
perkembangan zaman. Dari sinilah terbagi dua pendapat bahasawan dalam
perkembangan suatu bahasa, pendapat pertama menyetujui penyerapan dan akomodasi
istilah-istilah dari bahasa lain, sehingga kosakata bahasa tersebut tidak terbatas. Adapun
pendapat kedua berpegang teguh pada sistem bahasa yang telah mapan, baik segi
fonologis, morfologis, sintaksis maupun semantik sesuai kaidah-kaidah yang telah
berlaku demi eksistensi sistem bahasa tersebut. Bila sistem dan kaidah bahasa tersebut
dilanggar, maka akan menghilangkan kekhasan bahasa tersebut dan dapat menyebabkan
bahasa tersebut kehilangan jati diri dan identitasnya. Yang menjadi pertanyaan adalah
sejauh mana batasan kaidah yang perlu dijaga dan istilah dan struktur baru dapat
dikembangkan?
Dewasa ini banyak ditemukan istilah-istilah ilmiah yang tidak dapat ditemukan
dalam setiap bahasa. Ini merupakan fenomena yang wajar dan lazim karena kosakata
suatu bahasa berbeda-beda dengan bahasa lainnya sesuai kondisi sosial dan aspek-aspek
lainnya. Oleh karena itu, bila seseorang ingin memahami kosakata di luar bahasanya, ia
perlu mempelajari bahasa asalnya atau minimal melihat arti istilah tersebut dalam
bahasa asalnya. Dalam istilah medis misalnya, banyak istilah diutarakan menggunakan
Bahasa Inggris atau Perancis, maka perlu bagi peneliti untuk mengetahui kosakata yang
diperlukan dalam kedua bahasa tersebut. Banyaknya kosakata ilmiah yang digunakan

44
dari suatu bahasa tidaklah menunjukkan bahwa bahasa tersebut kaya dengan kosakata
ilmiah dan bahasa lainnya lebih miskin istilah karena tidak memuat kosakata tersebut.
Seperti telah disinggung sebelumnya, kebutuhan kosakata bahasa suatu penutur berbeda
dengan bahasa lainnya karena kebutuhan dan kondisi sosial yang berbeda, yang secara
otomatis juga akan berkembang mengikuti zaman sesuai kebutuhan penuturnya baik
dengan meminjam istilah dari bahasa lain maupun menciptakan istilah sendiri
(Khalifah, 2003: 17).
Dengan menguatnya fakta-fakta dan pendapat bahwa tidak ada suatu bahasa
yang lebih unggul dari bahasa lain, berarti semua bahasa memiliki posisi yang sama
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran. Bagaimanapun, perkembangan
bahasa tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran, bagaikan satu tubuh.
Suatu pikiran tidak dapat disampaikan tanpa medium bahasa, dan mengutarakan sesuatu
dengan bahasa juga membutuhkan suatu pikiran. Lebih jauh, bahasa juga menjadi
sarana berpikir ilmiah. Karenanya, kelancaran atau ketedasan bahasa yang disampaikan
berbanding lurus dengan kualitas pikiran yang baik. Sebaliknya, kualitas berpikir yang
buruk menyebabkan bahasa yang disampaikan tidak tedas, dan makna yang dimaksud
tidak tersampaikan kepada mitra tutur atau pembaca.
Dalam pembentukan istilah-istilah baru, Bahasa Arab mengenal beberapa metode,
yaitu Isytiqaq (derivasi), Ta’rib (arabisasi), Nacht (akronim) dan ath-Tathowwur ad-
Dilaaly (pergeseran semantis) (Stitkevich, 2013: 33 dan 123 dan Darkazalli, 2006: 66
dan 86). Adapun Stitkevich membagi Isytiqaq menjadi tiga macam, yaitu al-Isytiqaq
ash-Shaghir (small derivation), al-Isytiqaq al-Kabiir (Metathesis/large derivation) dan
al-Isytiqaq al-Akbar/al-Ibdaal (the root transformation/the largest derivation)
(Stitkevich, 2013: 33).
Disamping pendapat tersebut, jauh sebelum Stitkevich dan Darkazalli merumuskan
bentuk modernisasi dalam pembentukan istilah Bahasa Arab, M.H. Bakalla, Professor
dari King Saud University telah menjelaskan bentuk modernisasi yang mau tidak mau
harus dilakukan dalam rangka menjaga eksistensi Bahasa Arab sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ia membagi proses pembentukan istilah tersebut ke dalam
dua tataran, yaitu tataran semantik dan tataran morfologi.
Dalam tataran semantik, ia mengenalkan adanya ath-Tathowwur ad-Dilaaly,
majaaz (metafora), dan pemerian makna melalui penerjemahan dari bahasa Asing
(Bakalla, 1984: 12). Contoh yang dapat ditemukan seperti sayyara yang dahulu
bermakna „karavan unta‟ sekarang bermakna „mobil‟ (ath-Tathowwur ad-Dilaaly), barq
yang bermakna „telegram‟ dan juga bermakna „kilat‟ (majaaz) dan penyebutan wakalat
al-Anba’ sebagai terjemahan dari „news agency‟.
Adapun dalam tataran morfologis, ia mengenalkan adanya derivasi, nacht
(akronim) dan ta’rib (arabisasi kata-kata asing) (Bakalla, 1984: 12-13). Contoh yang
dapat ditemukan adalah kata hilaaqah „tukang cukur‟ yang berwazn fi’alah yang berarti
„profesi‟ (derivasi), akronim qubtaariikh „pre-history‟ (nacht) dan tilfiziyyun „televisi‟
yang merupakan kata serapan dari bahasa asing. Semua bentuk modernisasi itu, baik
semantik maupun morfologis, semata-mata sebagai bukti bahwa Bahasa Arab siap
menyikapi perkembangan zaman dan era globalisasi ini. Bahasa Arab bukanlah bahasa
yang statis dan tidak menerima perkembangan.
Sebenarnya, pembentukan istilah-istilah baru dalam Bahasa Arab bukanlah hal
baru. Para ilmuwan Islam abad IV dan V H telah banyak melakukan hal tersebut.
Contoh pembentukan istilah yang cukup berpengaruh dalam keilmuan adalah
sebagaimana yang diterapkan oleh Ibn Haitsam (w. 430 H/ 1039 M) dan al-Khawarizmi

45
(w. 387 H) dalam karya mereka yaitu “Kitab al-Manadzir”karya Ibn Haitsam dan
“Mafaatihu’l ‘Uluum” karya al-Khawarizmi (Khalifah, 2003: 117-118). Dalam
penciptaan istilah dan Arabisasi istilah, mereka merujuk pada pendapat Aristotles dalam
bukunya “The Categories” , yaitu substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu,
posisi, kondisi, aksi atau tindakan (aktif) dan atribut/dikenai aksi atau tindakan (pasif).
Adapun salah satu metodenya adalah mengambil istilah yang banyak dipakai, bukan
sekedar diketahui segelintir orang saja.
Metode yang diterapkan oleh al-Khawarizmi dan Ibn Haitsam juga dipraktikkan
oleh ilmuwan-ilmuwan dan para penulis buku di zaman itu (Abad IV H) dan ilmuwan
sebelumnya (Abad II dan III H), baik di Timur hingga di Maghrib dan Andalusia. Ibn
Sina (w. 428 H), Ar-Razi (w. 340 H), al-Biruni (w.440 H), Jabir Ibn Hayyan (w. 210
H), Ibn Juljul Abu Daud Sulaiman (w. 372 H), Ibn Yunus (w. 399 H) dan al-Farabi (w.
339 H) adalah segelinti kecil ilmuwan yang memiliki karya dari berbagai disiplin ilmu
dan menciptakan istilah-istilah ilmiah dalam Bahasa Arab yang digunakan hingga saat
ini. Adapun salah satu ilmuwan ahli terjemah, Hunain Ibn Ishaq memiliki metode
khusus yang disetujui oleh banyak bahasawan dalam proses Arabisasi istilah asing,
yaitu memahami makna dan konteks kata/kalimat dari bahasa asal dan
mengungkapkannya dalam Bahasa Arab yang fasih dan jelas. Namun bilamana kata
tersebut sulit dipahami dan diungkapkan dalam Bahasa Arab (dari Bahasa Yunani
misalnya), maka ia menjelaskan makna tersebut dengan susunan kata yang mudah
dipahami pembaca dengan mempertahankan keilmiahan istilah tersebut dan berusaha
menonjolkan kata dari Bahasa Yunani tersebut bukan berasal dari Bahasa Arab
(Khalifah, 2003: 122).
Setelah berbagai usaha bahasawan Arab dalam modernisasi Bahasa Arab di era
modern ini, nampaknya tidak akan memberikan efek signifikan terhadap kemajuan
Bahasa Arab bila tidak diawali dengan rasa optimisme dan kepercayaan diri masyarakat
tutur Arab. Rasa optimisme dan kepercayaan diri masyarakat tutur Arab ini yang akan
mendukung semua gerakan modernisasi dalam Bahasa Arab dalam rangka menghadapi
era globalisasi ini. Tanpa rasa optimis dan kepercayaan diri mereka akan kredibilitas
Bahasa Arab dalam ranah pengetahuan, teknologi dan informasi modern, maka tak
ubahnya semua usaha Arabisasi hanya akan menjumpai jalan buntu.
Kesadaran akan bahasa ini penting karena akan menunjang berbagai unsur-unsur
budaya lainnya seperti telah dijelaskan di atas. Berbagai ahli Bahasa Arab, baik dari
negara Arab maupun negara non-Arab, turut menunjukkan optimisme mereka akan
kemampuan Bahasa Arab untuk berdiri sejajar, bahkan menyaingi, peran Bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional. Tokoh-tokoh seperti Prof. A. Ghuwaidi dari Italia, Prof.
Richard Kochhel dari Columbia University, Lemans ahli budaya Timur dari Jesuit,
Prof. William Labov dari Amerika, Khalil Mutran sastrawan Mesir-Suriah, Muhammad
Kurd Ali dari Damaskus dan Prof. Jabr Dumit dari American University of Beirut dalam
buku “Fataawa Kibaari’l Kuttab wa’l Udabaa fi Mustaqbali’l lughah al-‘Arabiyyah”
menyatakan bahwa Bahasa Arab merupakan bahasa yang lintas budaya dan lintas
negara. Sebagian besar negara-negara di Asia Barat dan Afrika Utara (± 26 negara)
menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara mereka dengan dialek masing-
masing (Bengrad, 2003: 24 - 43). Secara lebih luas, seluruh umat muslim di dunia
menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pengantar keagamaan mereka. Karenanya,
bahasa yang menjadi salah satu bahasa resmi PBB ini sangat mungkin sekali untuk
kembali meraih kredibilitasnya dalam ranah pengetahuan, teknologi dan informasi
modern.

46
Kesimpulan dan Saran
Bahasa Arab yang dahulu menjelma menjadi bahasa pemikiran dan ilmu
pengetahuan di abad pertengahan masehi kini mulai banyak ditinggalkan dan digantikan
oleh Bahasa Eropa, seperti Bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan di kalangan penuturnya
sendiri, Bahasa Arab mengalami kejumudan dan kelesuan dalam perkembangannya
hingga tak ubahnya hanya menjadi bahasa agama Islam. Hal ini dikarenakan terjangan
bahasa dan budaya asing yang dibarengi dengan hilangnya kepercayaan masyarakat
tutur Arab dengan kredibilitas Bahasa Arab dalam bidang pengetahuan, teknologi dan
informasi. Karenanya, berbagai pihak mulai menyadari dan melakukan berbagai
gerakan guna mengembalikan kejayaan Bahasa Arab seperti dahulu kala.
Gerakan modernisasi Bahasa Arab di era modern mulai muncul pada kisaran
Abad XIX M bermula di Mesir. Para bahasawan mulai menyerap istilah-istilah ilmiah
dari bahasa asing dan menjelaskan maknanya dengan susunan kalimat Bahasa Arab
yang mudah dipahami. Bentuk susunan kata pun beragam, mulai dari penggunaan kata
derivatif, majaz, penerjemahan, pembentukan akronim maupun Arabisasi istilah
tersebut dengan mengambil istilah tersebut dengan kaidah kata dan kalimat dalam
Bahasa Arab. Bahkan tidak jarang, proses arabisasi istilah tersebut mencakup arabisasi
makna.
Penciptaan istilah ilmiah ini bukan merupakan suatu yang baku dan statis.
Perkembangan istilah tersebut selalu berkembang seiring berjalannya waktu dan
semakin berkembangnya pemikiran dan kesesuaian dengan kondisi di era tertentu. Hal
ini dikarenakan pintu ijtihad dalam usaha penciptaan istilah ini terbuka lebar.
Kejumudan istilah-istilah tersebut hanya akan menguburkan harapan Bahasa Arab
menjadi bahasa pengantar dalam kuliah ilmu kedokteran, tekonologi, dan komunikasi
yang makin hari makin berkembang di abad ini. Karenanya, dibutuhkan usaha yang
tidak sedikit dari para bahasawan, para penerjemah dan ilmuwan dari berbagai disiplin
ilmu untuk selalu menciptakan istilah ilmiah dalam Bahasa Arab yang up to date.
Sebuah usaha besar untuk menghadang tantangan era globalisasi, komputerisasi,
elektronik dan komunikasi yang terkesan semakin mengukuhkan Bahasa Inggris sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan peradaban modern.
Akhir kata, perlu dukungan berbagai pihak, baik akademisi maupun pemerintah,
untuk menjaga eksistensi Bahasa Arab dalam kancah ilmu pengetahuan modern.
Semakin gencarnya komputerisasi, internet dan teknologi bukanlah kendala yang harus
dikeluhkan, namun dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian identitas Bahasa
Arab yang pernah berjaya dan menjadi bahasa ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka
Al-Hamad, Ghanim Qadwuri. 2005. Abchaats fi’l Arabiyyah al-Fuscha. Amman: Daar
„Amaar.
At-Taujiry, Abdul Aziz Ibn Utsman. 2004. Mustaqbalu’l Lughah al-‘Arabiyyah. Rabat:
ISESCO Publishers.
Aziz, Muhammad Hasan Abdul Aziz. 2011. Al-‘Arabiyyah al-Fuscha al-Muaashirah:
Qadhaya wa Musykilaat. Kairo: Maktabatu‟l Adab.
Bakallah, M.H. 1984. Arabic Culture: Through its Language and Literature. London:
Keegan Paul International Ltd.
Bengrad, Sa‟id. 2013. Fataawa Kibaari’l Kuttab wa’l Udabaa fi Mustaqbali’l lughah
al-‘Arabiyyah. Qatar: Wizaaratu‟ts Tsaqaafah wa‟l Funuun wa‟t Turaats.

47
Darkazalli, Abdur Rahman. 2006. al-Dzawahir al-Lughawiyyah al-Kubra fi’l - ‘
Arabiyyah. Syiria: Daar al-Qalam al-„Araby.
Hazm, Abi Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‟iid Ibn. 1979. Al-Ihkaam fii Ushuuli’l
Ahkaam. Tahqiq Syeikh Achmad Muhammad Syakir, Jilid 1. Beirut: Daaru‟l
Aafaaq al-Jadiidah.
Khalifah, Abdul Karim. 2003. al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala madariji’l Qarni’l Wahid
wa’l ‘Isyrin. Amman: Daar al-Gharb al-Islamy.
Lyons, John. 1987. Al-Lughah wa Ilmu’l Lughah (Language and Lingustistics) Terj.
Musthofa at-Tauny. Kairo: Daaru‟n Nahdhah al-„Arabiyyah.
Moussa, Salama. 1964. Al-Balaghah al’Ashriyyah wa’l Lughah al-‘Arabiyyah
(Eloquence and The Arabic Language). Kairo: Salama Moussa Publishers.
Stitkevich, Yaroslav. 2013. Al-‘Arabiyyah al-Fuscha al-Hadiitsah: Buchuuts fi
tathawwuri’l alfaadz wa’l asaaliib. Terj. Muhammad Hasan Abdul Aziz. Kairo:
Daar as-Salaam li‟thiba‟ah wa‟n nasyr.

48

Anda mungkin juga menyukai