Anda di halaman 1dari 23

1

A. Konteks Penelitian
Berbicara tentang bahasa Arab dalam konteks sejarah tidak
bisa lepas dari perjalanan penyebaran islam. Sejarah mencatat
bahwa bahasa Arab mulai menyebar keluar jazirah Arabia sejak
abad ke-1H atau abad ke-7M, karena bahasa Arab selalu terbawa
kemana pun Islam terbang.1 Penyebaran itu meliputi wilayah
Byzantium (sekarang Turki) di utara, Persia (Irak) di timur, dan
Afrika sampai Andalusia (Spanyol) di barat. Hingga pada masa
khilafah Islamiyah, bahasa Arab menjadi bahasa resmi yang
dipergunakan untuk sosialisasi agama, budaya, administrasi, dan
ilmu pengetahuan. Mereka berbicara, menulis surat-surat pribadi,
bahkan mengarang syair-syair dengan bahasa Arab. Dari sini tidak
diperoleh

referensi

yang

memadai

bagaimana

bahasa

Arab

dipelajari oleh orang-orang non Arab itu. Fenomena ini dikuatkan


dengan pendapat Ahmad Fuad Effendy yang pasti adalah melalui
interaksi langsung dengan penutur asli bahasa Arab yang datang
ke negeri mereka, dan kepergian mereka ke pusat-pusat Islam di
jazirah Arab.2

1 Pencetus gagasan dan sosialisasi bahasa Arab ini membawa pengaruh


yang sangat besar dan terus menggelinding bak bola salju hingga mencapai
wilayah yang jauh sekali. Tentu saja, perkembangan ini sangat menjanjikan
bagi masa depan bahasa Arab yang kelak menjadi bahasa agama dan
kebudayaan bagi dunia Islam. Sebelum abad tujuh masehi, bahasa Arab
adalah "bahasa statis" dan terkungkung oleh batas-batas kesukuan. Ia tidak
lain hanya merupakan bahasa orang-orang badui yang bermukim di bagian
utara semenanjung Arabia, dan sebagian tersebar di sebagian daerah Syam
dan Irak, serta menjadi bahasa bagi penduduk kota-kota di daerah utara
sumenanjung Arabia.
2 Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Malang:
Misykat, 2012), 26. Dia juga menambahkan, melalui hipotesanya, bahwa
cara belajar mengajar bahasa Arab pada masa itu kurang lebih sama
dengan cara belajar mengajar bahasa Latin yang berlaku saat itu.

Melalui analisis sejarah, dapat diketahui bahwa adanya


interaksi yang intens antara bangsa Arab dan Eropa dalam
pewarisan ilmu pengetahuan Yunani kuno melalui penerjemahan
dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, kemudian dari bahasa
Arab ke bahasa Latin, sehingga dalam megkaji teks-teks sastra dan
keagamaan memungkinkan terjadinya kesamaan tujuan belajar
mengajar antara kedua bahasa tersebut.
Dengan demikian, dapat diduga adanya kesamaan cara
belajar-mengajar bahasa Arab dengan bahasa Latin yang berlaku
saat itu, yaitu grammar-translation method (thariqah al-qawa'id wa
al-tarjamah), yang merupakan metode pembelajaran bahasa asing
yang dianggap paling tua. Perkembangan metodologi pembelajaran
bahasa-bahasa Latin di Eropa, dan bahasa Inggris di Eropa dan
Amerika

banyak

berjasa

dalam

memajukan

perkembangan

metodologi pembelajaran bahasa Arab.


Secara historis, inovasi dan perubahan pandangan dalam
studi pembelajaran bahasa telah dimulai sejak tahun 1880 yang
lalu. Ada empat fase penting yang bisa diamati dari perkembangan
dan inovasi dalam bidang pembelajaran bahasa sejak tahun 1880
hingga 1980-an. Fase pertama, antara tahun 1880-1920. Pada fase
ini terjadi rekonstruksi atau pengembangan ulang bentuk-bentuk
metode langsung (al-thariqah al-mubasyarah/ direct method) yang
pernah dikembangkan pada zaman Yunani dulu. Selain itu juga
dikembangkan metode bunyi (al-thariqah al-shautiyyah/phonetics
method), yang juga berakar pada tradisi Yunani.
Fase kedua, antara tahun 1920-1940. Pada fase ini di Amerika
dan Canada dibentuk forum studi bahasa asing, yang kemudian
menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi (althariqah

al-ittifaqiyyah/

compromise

method)

membaca (al-thariqah al-qiraah/ reading method).

dan

metode

Fase ketiga, antara tahun 1940-1970. Pada fase ini ada tiga
periode yang dapat diamati, yaitu tahun 1940-1950, adalah periode
lahirnya metode efisien dan praktis dari dunia ketentaraan. Metode
ini terkenal dengan sebutan American Army Method (al-thariqah aljundiyyah al-amrikiyyah), yakni metode yang lahir dari markas
tentara Amerika untuk kepentingan ekspansi perang. Tahun 19501960 adalah periode munculnya metode audiolingual (al-thariqah
al-samiyyah al-syafawiyyah) di Amerika dan audiovisual (althariqah al-bashariyyah) di Inggris dan Prancis, sebagai akibat
langsung dari sukses army method. Tahun 1960-1970, adalah
periode munculnya keraguan dan kaji ulang terhadap hakikat
belajar bahasa. Periode ini merupakan awal runtuhnya metode
audiolingual, dan populernya analisis kontrastif, yang berupaya
membantu mencari landasan teori dalam dalam pembelajaran
bahasa.
Fase keempat, antara tahun 1970-1980. Fase ini dipandang
sebagai titik balik dan merupakan periode yang paling inovatif
dalam studi pemerolehan bahasa kedua dan asing. Hasilnya adalah
pada tahun 1980-an muncul apa yang sekarang dikenal dengan
pendekatan komunikatif (al-madkhal al-ittishali/ communicative
approach) dalam belajar bahasa.3
Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak
kapan

studi

bahasa

Arab

di

Indonesia

mulai

dirintis

dan

dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa


bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam
dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara
meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka
usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad.
Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu
3 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), 40-42.

paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian,


bahasa Arab di Indonesia jauh lebih tua dan senior dibandingkan
dengan bahasa asing lainnya, seperti Belanda, Inggris, Portugal,
Mandarin, dan Jepang.
Bahasa Arab masuk kewilayah nusantara dapat dipastikan
bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena bahasa Arab
sangat erat kaitannya dengan berbagai bentuk peribadatan dalam
agama Islam disamping kedudukannya sebagai bahasa kitab suci
Al-Quran.

Maka

pengajaran

bahasa

Arab

yang

pertama 4

dinusantara adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim


dalam menunaikan ibadah khususnya Shalat. Sesuai dengan
kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan adalah doa-doa salat
dan surat-surat pendek Al-Quran yaitu juz yang terakhir yang lazim
disebut

juz

Amma,

atau

dikenal

dengan

sebutan

turutan.

Didalamnya termuat pula materi pelajaran membaca huruf AlQuran dengan metode abjadiyah (alphabetic method).5
Dari beberapa literatur diperoleh data bahwa sejak zaman
penjajahan

Belanda,

banyak

sekali

pelajar

Indonesia

yang

melanjutkan sekolah di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah.


Mereka pada umumnya, mempelajari bahasa Arab bukan sematamata sebagai alat, melainkan sebagai tujuan. Karena itu, setelah
4 Ada beberapa perkembangan bahasa Arab di tanah air Indonesia, yakni
sebagai berikut: bahasa Arab sebagai bahasa agama verbal, bahasa Arab
sebagai media memahami agama, bahasa Arab sebagai media komunikasi,
bahasa Arab bentuk Integrasi. Effendy, Metodologi., 28-32.
5 Akan tetapi pengajaran bahasa Arab verbalistik ini dirasa tidak cukup,
karena Al-Quran tidak hanya dibaca sebagai sarana peribadatan, melainkan
pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaranajarannya. Demikian pula doa-doa atau bacaan-bacaan dalam shalat perlu
dipahami dan dihayati maknanya agar shalat benar-benar berfungsi sebagai
media komunikasi dengan sang pencipta. Maka muncullah pengajaran
bahasa Arab untuk kedua dengan tujuan pendalaman ajaran agama Islam,
yang tumbuh dan berkembang dipondok pesantren.

studi mereka berhasil, banyak diantara mereka yang tergolong ahli


bahasa Arab dan mampu menggunakan bahasa Arab secara aktif
karena menguasai empat segi kemahiran bahasa, yaitu menyimak,
berbicara, membaca dan menulis.
Setelah mereka pulang ke tanah air, mereka mengusahakan
pembaharuan metode untuk pengajaran bahasa Arab. Dengan
metode

tersebut,

mereka

berhasil

menumbuhkan

pengertian

bahwa bahasa Arab (Fusha) perlu -untuk tidak menyebut harusdipelajari juga sebagai tujuan, yakni untuk membentuk ahli-ahli
bahasa Arab dan menghasilkan alumni yang mampu menggunakan
bahasa Arab secara aktif sebagai alat komunikasi untuk berbagai
keperluan. Setelah pengertian dan kesadaran tersebut meluas,
para ahli bahasa arab di Indonesia terdorong untuk segera
mengajarkan bahasa Arab untuk melalui metode yang waktu itu
dianggap terbaru dan paling sesuai agar bahasa Arab dipelajari
juga sebagai tujuan dan kebutuhan, selain sebagai alat. Pengertian
bahasa Arab dengan metode dan untuk tujuan tersebut sudah
mulai dilaksanakan dibeberapa madrasah, baik di Sumatra, seperti
madrasah al-Thawalib dan di Jawa, seperti pondok Darussalam
Gontor (Ponorogo).6
Bertolak dari uraian di atas, penulis ingin untuk mengeksplor
lebih jauh tentang perkembangan metode pembelajaran bahasa
Arab di Jawa, dengan alas an sebagai berikut:
1. Belum ditemukannya literatur dan referensi yang memadai
tentang perkembangan disini metode pembelajaran bahasa Arab,
khususnya di Jawa.
2. Urgensitas metode.

Dari

historisitas

metode

ini,

dapat

dirumuskan sebuah metode baru yang pas dan sesuai dengan


perkembangan ilmu pengetahuan sekarang, dengan bertolak dari
6 Ahmad Izzan, Metodologi Pembelaran Bahasa Arab (Bndung: Humaniora,
2009), 43-44.

kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode-metode


yang telah lalu.
3. Dapat diketahui falsafah, prinsip, asas dan bentuk-bentuk
metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
Dikarenakan sangat pentingnya historisitas sebuah, maka di
sini penulis sangat tertarik untuk menelitinya, dan dalam hal ini
penulis merumuskannya dalam judul Metode Pembelajaran
Bahasa Arab di Jawa (Sebuah Tinjauan Historis).
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Untuk menjaga agar pembahasan tidak terlalu luas sehingga
tidak terarah, maka perlu dilakukan pembatasan masalah supaya
tujuan utama penelitian ini bisa tercapai. Sebagai batasan,
penelitian ini dilakukan seputar historisitas metode pembelajaran
bahasa Arab di Jawa. Fokus kajian penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut
1. Bentuk penggunaan metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
2. Model, falsafah, prinsip dan orientasi metode pembelajaran
bahasa Arab di Jawa.
3. Pengaruh metode-metode yang muncul di dunia barat terhadap
metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
Apabila pemaparan tentang historisitas metode di atas
dihubungkan bahasa Arab di Jawa sebagai lapangan penelitian
maka masalah-masalah yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Bagaimanakah bentuk penggunaan metode pembelajaran
bahasa Arab di Jawa.
2. Bagaimanakah model, falsafah, prinsip dan orientasi metode
pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
3. Bagaimanakah pengaruh metode-metode yang muncul di dunia
barat terhadap metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini


secara

umum

adalah

menemukan,

mengembangkan

dan

membuktikan pengetahuan tentang metode pembelajaran bahasa


Arab di Jawa. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendiskripsikan bentuk penggunaan metode pembelajaran
bahasa Arab di Jawa.
2. Untuk mendiskripsikan model, falsafah, prinsip dan orientasi metode
pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
3. Untuk mendiskripsikan pengaruh metode-metode yang muncul di
dunia barat terhadap metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa.
D. Kegunaan Penelitian
Banyak kegunaan yang diharapkan penulis dapat lahir dari
penelitian ini, diantaranya adalah penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih yang nyata bagi perkembangan metode pembelajaran
bahasa Arab pada umumnya, sehingga semua pihak yang terkait
merasa perlu untuk menjadikan penelitian ini sebagai salah satu
rujukan bagi historisitas perkembangan metode pembelajaran
bahasa Arab di Jawa.
Adapun

kegunaan

lain

yang

diharapkan

penulis

dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk guru: Penelitian ini dapat dijadikan bahan pemikiran dan
pertimbangan oleh guru untuk lebih memberikan perhatian pada
metode yang pas dan sesuai dalam pembelajaran supaya dapat
lebih meningkatkan kualitas hasil yang didapat.
2. Untuk siswa: Penelitian ini dapat mereka gunakan sebagai
motivasi untuk lebih giat lagi dalam mempelajari bahasa Arab,
sehingga mereka mampu memperoleh hasil belajar sesuai yang
mereka harapkan.
3. Untuk penulis: Penelitian ini dapat menambah pengetahuan
penulis dalam hal perkembangan metode pembelajaran bahasa
Arab dalam proses belajar mengajar khususnya di Jawa, sehingga

penulis dapat memberikan bahkan merumuskan sebuah metode


baru yang lebih efektif dan efisien.
E. Penegasan Istilah
Metode

adalah

cara

yang

digunakan

untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan


nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. 7 Ini
berarti metode digunakan untuk merealisasikan proses belajar
mengajar yang telah ditetapkan. Menurut Abdurrahman Ginting,
metode pembelajaran dapat diartikan cara atau pola yang khas
dalam memanfaatkan berbagai prinsip dasar pendidikan serta
berbagai teknik dan sumberdaya terkait lainnya agar terjadi proses
pembelajaran pada diri pembelajar.8 Dengan kata lain metode
pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai oleh seorang
guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada murid di dalam
kelas baik secara individual atau secara kelompok agar materi
pelajaran dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh murid
dengan baik.9
Dalam kenyataannya, cara atau metode pembelajaran yang
digunakan untuk menyampaikan informasi berbeda dengan cara
yang ditempuh untuk memantapkan siswa dalam menguasai
pengetahuan, keterampilan dan sikap.
F. Paradigma Penelitian
Ilmu Bahasa Arab terdiri dari beberapa cabang ilmu, antara
lain: Nahwu, Sharaf, Balaghah, Muthalaah, Mufradat, Nushus Adab,
7 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 147.

8 Abdurrahman Ginting, Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran (Bandung:


Humaniora, 2008), 42

9 Abu Ahmadi dan Joko Tri Prastya, Strategi Belajar Mengajar (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2005), 52.

dan lain-lain. Suatu system pembelajaran bahasa Arab yang ideal,


di samping mampu mengantarkan siswa menguasai cabangcabang ilmu tersebut di atas, juga harus mampu mengantarkan
siswa

mampu

menguasai

keterampilan-keterampilan

bahasa.

Pembelajaran Bahasa Arab secara garis besar dapat diklasifikasikan


menjadi dua sistem:
1. Sistem pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan bahasa
sebagai ujaran secara langsung (percakapan).
Sistem pembelajaran Bahasa Arab ini didasarkan pada
asumsi bahwa bahasa adalah gejala alami manusia untuk
menyampaikan ide kepada orang lain atau menerima ide dari
orang lain. Dengan kata lain manusia sebagai makhluk sosial
menggunakan

bahasa

sebagai

alat

komunikasi

dalam

berinteraksi dengan sesamanya. Sistem pembelajaran bahasa


Arab

ini

menguasai

lebih

cepat

bahasa

(lebih

Arab

efektif)

sebagai

alat

mengantarkan
komunikasi

siswa
apabila

didukung oleh komunitas sosial yang menggunakan bahasa Arab


sebagai alat komunikasi sehari-hari. Artinya, komunitas sosial
yang menuntut setiap orang yang ada di dalamnya untuk selalu
berkomunikasi dengan bahasa Arab secara aktif. Akan tetapi
pembelajaran Bahasa Arab menjadi tidak efektif apabila tidak
didukung

oleh

lingkungan

masyarakat

yang

menggunakan

Bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari.


Para pengajar yang menerapkan sistem pembelajaran
Bahasa Arab ini

dituntut untuk

selalu menyajikan materi

pelajaran Bahasa Arab secara dinamis seiring dengan dinamika


perkembangan bahasa yang digunakan oleh penutur asli (native
speaker) dari waktu ke waktu.
2. Sistem pembelajaran Bahasa Arab yang berorientasi pada
gramatika (tata bahasa).

10

Sistem pembelajaran Bahasa Arab yang didasarkan pada


asumsi bahwa bahasa adalah merupakan kaidah-kaidah atau
peraturan-peraturan bahasa yang diambil dari teks-teks yang
sudah baku. Dalam bahasa Arab teks-teks itu adalah Al-Quran,
AlHadits, dan kitab-kitab keilmuan yang sudah baku dari segi
gramatikanya. Menurut asumsi ini barang siapa yang ingin
mengkaji Al-Quran, Al-Hadits, atau kitab-kitab keilmuan yang
mempunyai

konsentrasi

kuat

terhadap

gramatika,

maka

penguasaan gramatika Arab adalah suatu keharusan baginya.


Bahasa Arab adalah bahasa al-Quran, bahasa umat Islam
secara keseluruhan, dan bahasa internasional ketiga setelah
bahasa Inggris dan Perancis. Dikatakan demikian karena mafhum,
bahwa al-Quran sebagai kitab suci ditulis dalam bahasa Arab,
dengan demikian ia tidak dapat dipisahkan dari medium ekspresi
linguistiknya. Secara makro, bahasa Arab adalah bahasa mayor
umat Islam di dunia, dimana ia digunakan sebagai alat komunikasi
dan informasi dalam keseharian, baik secara langsung maupun
melalui media cetak dan elektronik. Banyak buku, majalah, koran,
dan media cetak lainnya ditulis dalam bahasa Arab, demikian
halnya tidak sedikit siaran radio, televisi, website, CD, dan media
elektronik lainnya menggunakan bahasa Arab.
Dalam konteks Indonesia, idealita entitas bahasa Arab di atas
ternyata tidak dibarengi dengan realitasnya dalam pembelajaran.
Sebuah

keironisan

barangkali

ketika

melihat

kompleksitas

permasalahan yang bergayut dalam proses pembelajaran bahasa


(taallum al-lughah, language learning) Arab dari tingkat madrasah
ibtidaiyah hingga perguruan tinggi. Kemampuan berbahasa Arab
yang telah diyakini sebagai syarat bagi setiap individu yang
melakukan kajian keilmuan umum maupun keislaman sampai saat
ini tidaklah menggembirakan. Pembelajaran bahasa Arab jauh

11

tertinggal; baik dari segi substansi kajian, metode pembelajaran,


maupun minat pebelajarnya.
Pengajaran bahasa Arab (fusha) yang dipelajari di Indonesia
dimaksudkan untuk mencapai dua tujuan, pertama, sebagai alat
untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan Islam seperti
di madrasah-madrasah (negeri atau swasta), pondok pesantren,
dan Perguruan Tinggi Agama Islam (negeri atau swasta); kedua,
sebagai tujuan, yaitu membentuk tenaga-tenaga ahli bahasa arab
atau untuk menghasilakan alumni yang mampu menggunakan
bahasa Arab secara aktif sebagai alat komunikasi untuk berbagai
keperluan.
Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan
bahasa Arab sebagai berikut:
1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan
memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqr).
Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar
dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif
(berbicara dan menulis).
2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan
memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istim,
kalm,

qirah,

dan

kitbah).

Orientasi

ini

cenderung

menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek


studi yang harus

dikuasai secara

akademik. Orientasi ini

biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan


bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program
Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa
Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti
mampu berkomunikasi lisan (muhdatsah) dalam bahasa Arab
untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk
melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.

12

4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab


untuk memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai
media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme,
dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa
lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.
G. Metode Penelitian
1. Penelitian Kualitatif
Untuk mengurai masalah dan mencapai tujuan penelitian,
peneliti akan

menggunakan

penelitian

kualitatif (qualitative

recearch) dengan pendekatan historis (historical approach). Bogdan


dan Taylor mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu
prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif beberapa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang
diamati10 untuk menghasilkan teori yang bersifat substantif.
Sementara itu pendekatan historis yakni meneliti peristiwaperistiwa yang telah berlalu. Peristiwa-peristiwa sejarah direkaulang dengan menggunakan sumber data primer kesaksian dari
pelaku sejarah yang masih ada, kesaksian yang tidak disengaja
yang tidak dimaksudkan untuk disimpan, sebagai catatan atau
rekaman, seperti peninggalan-peninggalan sejarah, dan kesaksian
sengaja berupa catatan dan dokumen-dokumen. Salah satu ciri
khas dari pendekatan historis adalah periode waktu: kegiatan,
peristiwa, karakteristik, nilai-nilai kemajuan bahkan kemunduran
dilihat dan dikaji dalam konteks waktu.
Berdasarkan ekplanasinya, penelitian ini tergolong kategori
deskriptif

(descriptive

research)11

dikarenakan

penelitian

ini

dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status


suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala apa adanya pada saat

10 Lexy, J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,


2012, Edisi Revisi), 4.

13

penelitian

dilakukan.12

Penelitian

deskriptif

digunakan

untuk

mempelajari masalah-masalah yang terjadi dalam suatu kelompok,


serta tata cara yang berlaku di dalamnya serta situasi-situasi
tertentu,

termasuk

tentang

hubungan-hubungan,

kegiatan-

kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses


yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
Alasan peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif
kualitatif

dengan

pendekatan

historis

pada

penelitian

ini

dikarenakan tujuan penelitian inilah untuk memperoleh gambaran


yang mendalam mengenai objek penelitian, yaitu bentuk-bentuk
metode pembelajaran bahasa Arab di Jawa. Dalam penelitian ini,
peneliti akan melakukan wawancara mendalam terhadap pihakpihak

terkait

serta

melakukan

observasi

partisipan

untuk

mengetahui perilaku komunikasi guru dalam kelas pembelajaran


bahasa Arab. Hasil dari wawancara dan observasi partisipan akan
dianalisis sehingga dapat menjawab pertanyaan pemelitian. Oleh
karena itu peneliti memilih desain penelitian deskriptif kualitatif
dalam penelitian ini.
2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian tidak lain adalah tempat dimana proses
studi yang digunakan untuk memperoleh pemecahan masalah
penelitian berlangsung. Ada beberapa macam tempat penelitian,
tergantung bidang ilmu yang melatarbelakangi studi tersebut.
Untuk bidang ilmu pendidikan maka tempat penelitian tersebut
11 Penelitan yang dilakukan untuk mengetahui nilai variable mandiri, baik satu variable atau
lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variable yang
lain. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung:
ALFABETA, 2012) h. 13
12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik ( Jakarta: Rineka Cipta,
2013) h. 234.

14

dapat berupa kelas, sekolah, lembaga pendidikan dalam satu


kawasan. Lokasi penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian,

oleh

karena

itu

pertimbangan-pertimbangan

hendaklah

tertentu

guna

dipilih

berdasarkan

memperoleh

hasil

penelitian yang valid.


Adapun tempat yang akan dijadikan lokasi penelitian pada
penilitian kali ini ialah madarasah, pondok pesantren, perguruan
tinggi tertentu yang dianggap mempunyai saksi kunci, dokumendokumen

penting

mengenai

sejarah

perkembangan

metode

pembelajaran bahasa Arab di Jawa.


3. Kehadiran peneliti
Pada penelitian kualitatif, peneliti adalah key informan.
Kehadiran peneliti adalah mutlak dikarenakan dalam penelitian
kualitatif, peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian yang
berkedudukan sebagai perencana, pelaksana pengumpul data,
analis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya.13
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, maka peneliti
disini akan melakukan obsevasi, wawancara dan pengambilan
dokumen. Kehadiran peneliti di lokasi penelitian dapat menunjang
keabsahan data sehingga data yang didapat memenuhi orisinalitas.
Dalam

memasuki

lapangan

peneliti

akan

bersikap

hati-hati,

terutama dengan informan kunci agar tercipta suasana yang


mendukung keberhasilan dalam pengumpulan data. Peneliti harus
dapat segera membangun komunikasi yang baik terhadap semua
yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.
4. Jenis dan sumber data

13 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian . h. 168

15

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data


dapat diperoleh.14 Sumber data pada penelitian ada dua jenis yaitu
sumber data primer15 dan sumber data sekunder16. Lofland (dalam
Moleong) mengatakan bahwa sumber utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata atau tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain.17 Pada penelitian ini,
penulis akan memperoleh data dari tiga sumber sebagaimana yang
telah diklasifikasikan oleh Suharsimi yaitu: people (orang), place
(tempat) dan paper (kertas).18
a. People (orang), yaitu para guru bahasa Arab dan siswa yang
diajar. Melalui sumper data people peneliti akan mencari data
berupa kata-kata melalui wawancara.
b. Place (tempat), yaitu sumber data yang menyajikan data
berupa keadaan diam bergerak (tindakan). Diam misalnya:
ruangan, kelengkapan alat dan lain sebagainya. Bergerak
misalnya: aktifitas kegiatan, kegiatan belajar mengajar dan lain
sebagainya. Keduanya merupakan subjek untuk observasi.
Untuk sumber data place berasal dari segala sesuatu yang
berkaitan dengan proses pembelajaran di dalam kelas.
c. Paper (kertas) yaitu sumber data yang akan diambil langsung
dari

dokumen, foto, rekaman, dan sebagainya, yang ada

kaitannya dengan proses perilaku komunikasi guru dalam


14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian...... h.129
15 Sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Lihat Sugiyono,
Metode Penelitian..h. 225
16 Sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Ibid.
17 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian ...h. 157
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian .h.107

16

pembelajaran bahasa Arab. Peneliti akan menggunakan data


dari

sumber

paper

untuk

memperkuat

penemuan

dan

melengkapi informasi yang telah dikumpulkan dari sumber


people dan place.
5. Teknik pengumpulan data
Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada
kondisi yang alamiah (natural setting). Sumber data primer dan
teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan
serta (participant observation), wawancara mendalam (in depth
interview), dan studi dokumentasi.19 Berdasarkan teori tersebut,
maka pengumpulan data yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah:
a. Observasi partisipan (participant observation)
Observasi adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan
data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan
yang sedang berlangsung. Pengumpulan data dilakukan dengan
pengamatan

dan

pencatatan

secara

sistematis

peristiwa dari objek yang diteliti. Observasi

terhadap

yang dipilih

peneliti adalah observasi terus terang atau tersamar dimana


peneliti dalam

melakukan pengumpulan data menyatakan

terus terang kepada sumber data bahwa peneliti sedang


melakukan penelitian.20
Tujuan
memperoleh

dari

penggunaan

informasi

tentang

teknik
ruang

ini

ialah

(tempat),

untuk

perilaku,

perkembangan, dan sebagainya terkait perilaku komunikasi


guru dalam pembelajaran bahasa Arab, sewaktu kejadian
19 Sugiyono, Metode Penelitian .h. 225
20 Sugiyono, Metode Penelitian. h. 312

17

tersebut berlaku sehingga tidak menggantungkan data dari


ingatan seseorang.
b. Wawancara (interview)
Esterberg (dalam Sugiyono), mendefinisikan interview
sebagai berikut: A meeting of two persons to exchange
information and idea through question and responses, resulting
in communication and joint construction of meaning about a
particular topic.21
Wawancara

mendalam

(in

depth

interview)

dalam

penelitian ini akan ditujukan kepada perwakilan dari seluruh


komponen pendidikan dipihak yang

mengetahui

hubungannya

dengan

penelitian

dengan

mendapatkan

informasi

secara

kongkret

dan

tujuan
mengenai

ada
untuk
objek

penelitian.
c. Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data dengan cara menghimpun dan menganalisis dokumen
yang sesuai

dengan tujuan

tersebut digunakan

dalam

dan

fokus

penelitian

masalah. Dokumen

sebagai sumber data

yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk


meramalkan.22 Pada penelitian kualitatif, pelibatan instrument
ini sangat penting, karena dapat meningkatkan kredibilitas hasil
penelitian.
Dengan

studi

dokumentasi

ini,

peneliti

akan

mengumpulkan berbagai dokumen terkait perilaku komunikasi


guru dalam pembelajaran bahasa Arab. Dokumen-dokumen
21 Ibid. h.231
22 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian .... h. 217

18

tersebut nantinya akan digunakan sebagai data pelengkap


terhadap hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan
terlebih dahulu.
6. Informan penelitian
Dalam penentuan informan, peneliti akan

menggunakan

teknik proposive sampling,23 artinya informan yang diperlukan


adalah beberapa orang yang memang bergelut dengan hal yang
akan dijadikan obyek penelitian, dalam hal ini para guru pengampu
mata pelajaran ahasa Arab di MTsN Model Trenggalek beserta
siswanya yang diajar. Selain itu, perlu diketahui bahwasanya teknik
proposive sampling tersebut menggunakan target informan yang
akan menjadi sumber data/diwawancarai, sehingga pada suatu
praktik di lapangan akan menjadi kemungkinan penelitian ini juga
diikuti atau diiringi dengan teknik yang selanjutnya yaitu teknik
snowball sampling.24 Karena dengan teknik ini penelitian ini akan
bisa mendapatkan informan yang berantai yang kemungkinan akan
dapat memberikan informasi yang lebih banyak juga lebih lengkap.
Dengan teknik ini pula peneliti akan bisa mengembangkan
informasi-informasi yang awalnya kurang jelas menjadi lebih jelas
dan rinci dengan adanya banyak informan yang memberikan
informasi, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi informasi
yang kurang relevan atau kurang dibutuhkan bisa dibiarkan,
sedang pencarian informasi ini akan tetap berjalan sehingga pada
informan yang terakhir, maka dari sanalah akan ditemukan
berbagai informasi tentang apa yang diteliti.
7. Prosedur pengumpulan data
23 Yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu. Lihat Sugiyono,
Metode Penelitian. h. 300
24 Yaitu teknik pengambilan sampel yang pada awalnya jumlah sumber data sedikit lama-lama
menjadi banyak hingga tidaka lagi terdapat variasi informasi (jenuh) Ibid.

19

Terdapat

prosedur

tahapan

pengumpulan

data

pada

penelitian kualitatif fenomenologi yang harus diikuti oleh peneliti


sebagaimana yang dianjurkan oleh Creswell yang dikenal dengan
istilah A Data Collection Circle, yaitu dimulai dari penentuan
lokasi atau individu, kemudian membangun akses dan rapport,
memilih sampling secara purposive, pelaksanaan pengumpulan
data itu sendiri di lapangan, mencatat informasi, memecahkan isiisu lapangan, menyimpan data serta kembali lagi pada langkah
awal.
8. Teknik analisa data
Analisis

data

adalah

proses

mengorganisasikan

dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar


sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis
kerja seperti yang disarankan oleh data. 25 Aktifitas analisis data
pada

penelitian

kualitatif

dilakukan

secara

interaktif

dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas hingga datanya


sudah jenuh.
Aktifitas analisis data yang akan digunakan pada penelitian
ini berpedoman kepada alur analisis data fenomenologi Creswell
yaitu sebagai berikut:
a. Peneliti memulai dengan mendeskripsikan secara menyeluruh
pengalaman yang telah diperolehnya.
b. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara)
tentang bagaimana orang-orang memahami topik, rinci-rinci
pertanyaan-pertanyaan
perlakuan
kembangan

setiap

tersebut

pernyataan

rincian

(horisonalisasi

memiliki

tersebut

dengan

pengulangan atau tumpang tindih.


25 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian h. 280

nilai

data)

setara,

tidak

dan
serta

melakukan

20

c. Pengelompokan data ke unit-unit bermakna (meaning unit),


peneliti merinci unit-unit tersebut dan menuliskan sebuah
penjelasan teksi (textual descriprtion) tentang pengalamannya,
termasuk contoh-contoh secara seksama.
d. Merefleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi imajinatif
(imaginative variation) atau deskripsi struktural (structural
description), mencari keseluruhan makna yang memungkinkan
dan melalui perspektif yang divergen (divergent perspectives),
mempertimbangkan kerangka rujukan

(phenomenom), dan

mengkontruksikan bagaimana gejala tersebut dialami.


e. Mengkontruksikan seluruh penjelasannya tentang makna dan
esensi (essence) pengalamannya.
f. Proses

tersebut

mengungkapkan

merupakan

langkah

pengalamannya

dan

awal

peneliti

kemudian

diikuti

pengalaman seluruh partisipan. Setelah semua itu dilakukan,


kemudian

menuliskan

deskripsi

gabungannnya

(composite

description).26
9. Keabsahan data
Untuk selanjutnya, data yang telah terkumpul akan di cek
ulang oleh peneliti pada subjek data yang terkumpul dan jika
kurang sesuai peneliti mengadakan perbaikan untuk membangun
derajat kepercayaan pada informasi yang telah diperoleh.27
Untuk uji keabsahan data secara umum dalam menelitian
kualitatif

ada

kriteria

yaitu

credibility28

pada

aspek

nilai

26 Engkus Kuswarno, Tradisi Fenomenologi .h. 55


27 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian .. h. 175
28 Merupakan validitas internal dalam penelitian kualitatif, Validitas internal
berkenaan dengan derajat akurasi antar desain penlelitian dan hasil yang

21

kebenaran, transferability29 ditinjau dari aspek penerapannya, dan


dependability30 pada aspek konsistensi serta confirmability31 pada
aspek naturalis. Pada penelitian kualitatif, tingkat keabsahan data
lebih ditekankan pada data yang diperoleh. Melihat hal tersebut
maka kepercayaan data hasil penelitian dapat dikatakan memiliki
pengaruh signifikan keberhasilan sebuah penelitian.
Data yang valid pada penelitian kualitatif dapat diperoleh
dengan melakukan uji kedibilitas (credibility) terhadap data hasil
penelitian sesuai prosedur uji kredibilitas kualitatif. Sugiyono
mengemukakan beberapa cara untuk melakukan uji kredibilitas
antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, ketekunan
dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat,
analisis kasus negative dan member check.32
10. Tahapan penelitian

dicapai. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian. h. 270


29 Merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas
eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil
penelitian ke populasi dimana sampel tersebut diambil. Nilai transfer
berkenaan dengan kenyataan, hingga mana hasil penelitian dapat
diterapkan atau digunakan dalam situasi lain . Ibid. h 276
30 Disebut juga dengan rebilitas. Suatu penelitian yang reliable adalah
apabila orang lain dapat mengulangi atau merefleksi proses penelitian
tersebut. Dalam penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan
mengaudit terhadap keseluruhan proses penelitian. Ibid. h. 368
31 Disebut juga dengan uji objektifitas. Penelitian dikatakan objektif bila
hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Confirmability berarti
menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil
penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan maka penelitian tersebut
telah memenuhi standar Confirmability. Ibid. h. 368
32 Ibid h. 270

22

Langkah-langkah/tahapan pada penelitian kualitatif secara


garis besar ada tiga bagian yaitu Tahap persiapan/pra lapangan,
Tahap pelaksanaan/ lapangan dan Tahap laporan.
Adapun tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan/Pra Lapangan, meliputi:
1) Menyusun perencanaan penelitian,
2) Menentukan desain penelitian,
3) Menetukan peran peneliti.
b. Tahap Pelaksanaan/Lapangan, meliputi:
Pada tahap pelaksanaan, peneliti akan mengikuti prosedur
pengumpulan data desain Creswell yang disebut A Data
Collectoin Circle yang meliputi:
1) Locating Site/Individual (Penentuan lokasi dan individu),
2) Gaining Acces and Making Rapport (Proses pendekatan),
3) Purposefully

Sampling

(Strategi

penentuan

pemilihan

informan),
4) Collecting Data (Teknik pengumpulan data),
5) Recording Information (Prosedur pencatatan data),
6) Resolving Field Issues (Isu-isu lapangan),
7) Storing Data (Penyimpanan data).
c. Tahap Laporan, meliputi:
1) Analisis Data (mengikuti analisis fenomenologi Creswell),
2) Meningkatkan keabsahan data,

23

3) Narasi hasil.

Anda mungkin juga menyukai