Anda di halaman 1dari 14

Makalah Studi Naskah Bahasa Arab

Semantik atau Ilmu al-Ma’na (‫)علم المعنى أو الداللة‬

OLEH :

Ghita Ramadhayanti Nim. 2002042011


Alfi Rahmi HS Nim. 2002042002

Dosen;

Dr. Akhyar Hanif. M.Ag

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2020 M / 1442 H

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Semantik merupakan cabang linguistik yang fokus kajiannya tentang makna.


Linguistik merupakan ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bahasa
merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi dalam komunikasi
baik secara lisan maupun tulisan. Pada umumnya bahasa yang digunakan dalam
suasana formal akan berbeda jika dibandingkan dengan suasana tidak formal dan
bahasa tertulis sering berbeda pula dengan bahasa lisan. Namun, baik bahasa formal
maupun tidak formal atau bahasa lisan maupun tertulis terdapat satu komponen yang
sangat penting di dalamnya. Komponen penting ini disebut “makna”. Dalam tataran
ilmu linguistik, makna diberi istilah semantik.
Di dalam bahasa Arab istilah semantik lebih dikenal dengan Ilm al-dalalah.
Permasalah makna adalah sesuatu yang kompleks, sehingga dikenal adanya beberapa
istilah fenomena bahasa yang berkaitan dengan permasalahan makna bahasa, seperti
sinonim, antonim dan homonimi. Makna bahasa tidak hanya dapat diketahui melalui
apa yang terdapat di dalam sebuah kata ataupun kalimat, lebih jauh dari itu makna
bahasa juga dapat dipahami dan dikaji melalui cabang cabang ilmu lainnya, oleh
karena itu ilm ad-dalalah (semantik) tidak bisa dipisahkan dengan cabang ilmu
lainnya, karena dengan cabang cabang ilmu tersebut kita bisa mengerti makna apa
yang terkandung di dalam kata tersebut.
Jadi Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang baru, membahas tentang
dalalah bahasa dan tunduk apada aturan-aturan bahasa dan simbol-simbolnya tanpa
selainnya. Bahasannya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata (mufradaat) dan
kalimat-kalimat (taraakiib). Adapun tujuan pokok makalah semantik adalah agar
pembaca memahami dengan baik makna yang dimaksud dari perkataan/pembicaraan
lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Semantik
Secara etimologi, dalam bahasa Arab, ‘ilm- ad-dilalah terdiri atas dua
kata: ‘ilm yang berarti ilmu pemgetahuan, dan al-dilalah, yang berarti
penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu
pengetahuan tentang makna. Semantik dalam bahasa arab dikenal dengan
ilmu dilalah berupa fi’il mashdar ‫ داللة‬yang mempunyai arti memberi
petunjuk, yaitu memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Haidar, 2005: 11).
Menurut John Loyns dan Fodor ‫ الداللة هي دراسة المعنى‬yang artinya ilmu yang
mempelajari tentang makna. Dalam buku ilm al-Lugoh al-‘amm yaitu
‫علم الداللة هو علم يبحث في معاني المفردات والعالقات بين‬
Ilmu dilalah adalah ilmu yang membahas tentang makna dan yang berkaitan
dengan makna. (Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiah, 2001: 344)
Dalam pengertian terminologi, semantik adalah sebuah sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
(Kridalaksana,2001: 193) Verhaar Mengemukakan bahwa semantik berarti
teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki
makna atau arti. (Verhaar, 2010: 385)
Pengertian yang sama juga ditemukan dalam Encyclopedia Britanica,
sebagaimana dikutip oleh Pateda, “Semantik adalah studi tentang hubungan
antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau symbol
dalam aktivitas bicara. Menurut Ahmad Mukhtar ‘Umar mendefinisikan ‘ilm
ad-dilalah sebagai berikut:
‫دراسة املعىن أو العلم الذي يدرس املعىن أو ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول نظرية املعىن أو ذلك الفرع‬

‫الذي يدرس الشروط الواجب توافرها ىف الرمز حىت يكون قادرا على محل املعىن‬

yang artinya: “Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang
makna, atau cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang
linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.” (Pateda,
2001: 7)
Memperhatikan beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa
semantik adalah bagian dari kajian linguistik yang menjadikan makna sebagai
obyek kajiannya. Sekali lagi, obyek kajian semantik adalah makna.

3
B. Sejarah Berkembangnya Ilmu Dalalah
Sejarah pertumbuhan semantik dalam sejarahnya terdapat 2 (dua) masa,
yaitu masa klasik dan masa moderen berikut penjelasannya.
1. Masa Klasik 
Secara historis, kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani Kuno,
Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan istilah
makna melalui definisinya bahwa kata adalah satuan terkecil yang
mengandung makna. Aristoteles juga membedakan antara makna yang
hadir dari kata itu sendiri secara otonom dan makna kata yang hadir akibat
hubungan gramatikal. Selain Aristoteles, Plato (429-347 SM) juga
membicarakan tentang makna. Dalam Cratylus ia mengungkapkan bahwa
bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna
tertentu. Hanya saja, pada masa itu belum jelas batas antara etimologi,
studi makna, maupun studi makna kata.
Di India, pembahasan tentang semantik tidak kalah dari Yunani. Para
ahli bahasa India semenjak dahulu telah membahas kajian tentang
pemahaman karakteristik kosakata dan kalimat. Bahkan tidak berlebihan
bila dikatakan mereka telah membahas sebagian besar apa yang kita sebut
sekarang sebagai linguistik terutama semantik.
Di antara kajiannya adalah tentang perkembangan bahasa, hubungan
antara lafaz dan makna, dan makna-makna kata. Adapun di dunia Arab,
studi tentang kajian ini sudah banyak dilakukan oleh para linguis Arab.
Adanya perhatian terhadap kajian ini muncul seiring dengan adanya
kesadaran para linguis dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan
menjaga kemurnian bahasa Arab. Perhatian mereka itu terlihat pada
usaha-usaha, di antaranya:
a. pencatatan makna-makna yang asing dalam Al-Qur’an 
b. pembicaraan mengenai kemukjizatan Al-Qur’an
c. penyusunan al-wujah wa al-Nazha’ir dalam Al-Qur’an
d. penyusunan kamus, dan 
e. pemberian harakat pada mushaf Al-Qur'an. 
Mengenai yang terakhir ini, telah diketahui bersama bahwa dalam
bahasa Arab, perubahan harakat menimbulkan perubahan i’rab yang pada
akhirnya menimbulkan perubahan makna. Perhatian terhadap ‘ilm al-
dilalah ini telah mengantarkan kepada perkembangan kamus dalam
bahasa Arab, dan karena itu pembahasan tentang perkamusan dalam
bahasa Arab sangat erat dengan ‘ilm al-dilalah. Sehingga dapat dikatakan

4
bahwa perkamusan dan ‘ilm al-dilalah kelahirannya hampir bersamaan
dan merupakan dua kajian yang saling melengkapi. Hal ini dapat dipahami
karena salah satu fungsi perkamusan adalah memberikan pemaknaan atau
pengertian terhadap suatu kata atau kalimat, sedangkan pemaknaan itu
sendiri merupakan bagian ‘ilm al-dilalah.
Perhatian terhadap Ilm al dilalah dibuktikan oleh para ulama Arab,
baik dari kalangan luqhawiyyin, ushuliyyin, falasifah, maupun
baldghiyyin pada masa berikutnya, di antaranya:
1) Dari kalangan lughawiyyin, di antaranya:
a) Ibn Faris, yang telah berupaya mengaitkan makna-makna
juz’iyyah dengan makna umum yang dikumpulkannya. Beliau
disebut sebagai perintis (al-Re’id) ‘ilm dilalah dan ma’ajim
(semantik dan leksikologi). Karyanya adalah al Maqayis.
b) Al-Zamakhasyari, yang telah berupaya membedakan makna
hakiki atau denotatif dengan majazi atau konotatif. Beliau
dianggap sebagai penyempurnaan (al-najih) ‘ilm al-dilalah.
Karyanya adalah Asds al-Balaghah.
c) Ibn Jinni, yang berupaya mengaitkan kebalikan-kebalikan
unsur kata (fonem) menjadi satu makna yang saling terkait.
Misalnya kata-kata yang dibentuk dengan huruf-huruf
memiliki arti kekuatan. Dari huruf-huruf tersebut dapat
dibentuk-kata.
d) Kajian-kajian semantik yang telah memenuhi khazanah buku-
buku kebahasaan, misalnya al-Maqayis dan al-Shahibi fi Fiqh
al-Lughah karya Ibn Faris, al-Khasha’ish karya ibn Jinni, dan
al-Muzhhir karya al-Suyfithi.
2) Dari kalangan ushaliyyin, seperti al-Syaji’i dengan kitabnya al
Risalah, mengelompokkan bab-bab ushul fiqh kepada tema-tema
berikut: dilalah al-lafzhi, dilalah al-manthuq, dilalah al-mafhum
taqsim al-lafzhi bihasabi al-zhuhur wa al-khafa’, al-taradaf, al-
isytirak, al-umam wa al-khushush, al-takhshish wa al-taqyid, dan
sebagainya.
3) Dari kalangan falasifah, seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd,
Ibn Hazm, al-Ghazali, al-Qadi 'Abd. al-Jabbar, banyak membahas
tentang kajian makna.
4) Dari kalangan balaghiyyin, mereka mengkaji makna hakiki dan
majazi, uslub amar, nahi, istifham, dan sebagainya, seperti ‘Abd.

5
al-Qahir al-Jurjani (w. 421 H) dalam kitabnya Dala’il al-I’jaz, al-
Jahizh (160-255) dengan al-Bayyan wa al-Tabyin, dan
sebagainya.”

Dari hasil tersebut dapat kita lihat dari dua aspek; pertama, pada
tataran teoretis. Pada tataran ini sudah diperlihatkan adanya kajian secara
teoretis dengan adanya hubungan semantis antar kosakata. Kedua, pada
tataran sintaksis. Pada tataran ini tampak terlihat adanya bahas upaya
penyusunan kamus yang membahas sebuah bentuk baru dalam kajian
bahasa.
2. Masa Modern 
Kegiatan para ilmuwan di masa klasik dalam mengkaji makna
sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai kajian semantik sebagai ilmu
yang berdiri sendiri yaitu cabang dari linguistik, seperti apa yang kita
pahami sekarang. Akan tetapi, kajian mereka itu merupakan embrio dari
kelahiran semantik. Baru di akhir abad ke-19, istilah "semantik" di Barat,
sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dimunculkan dan dikembangkan oleh
ilmuwan Perancis, Michael Breal (1883), melalui karyanya Les Lois
Intellectuelles du Langage dan Essai de Semantique. Meskipun saat itu
Breal menganggap semantik sebagai ilmu baru, ia masih menyebut
semantik sebagai ilmu yang murni-historis, dalam arti masih berkaitan
erat dengan unsur-unsur di luar bahasa, seperti latar belakang perubahan
makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi, budaya,
dan sebagainya. Oleh karena itu, Breal dianggap sebagai orang pertama
yang mengkaji makna secara ilmiah, modern, dan spesifik. Dalam
kajiannya tersebut Breal meneliti makna kata yang terdapat dalam bahasa-
bahasa klasik yang terhimpun dalam rumpun bahasa India-Eropa seperti
bahasa Yunani, Latin, dan Sanskerta.
Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah
tampilnya Ferdinand de Saussure dengan karyanya. Course de
Linguistique Generate (1916). la dijuluki sebagai Bapak linguistik
modern. Pada masa itu diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa,
yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan
diakronis yang bersifat historis. Menurutnya, bahasa merupakan satu
kesatuan dan ia merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang
saling berkaitan atau berhubungan. Pandangan inilah yang kemudian
mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Kajian de

6
Saussure itu selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga
berdasarkan analisis sosial, psikologis, dan pemikiran.
Setelah de Saussure, ada juga ilmuwan yang dianggap cukup
memberikan corak, warna, dan arah baru dalam kajian bahasa, yaitu
Leonard Bloomtield. Dalam bukunya Language, ia banyak dipengaruhi
oleh aliran Behaviorisme yang terdapat dalam psikologi, karena ia
menganggap bahwa bahasa merupakan tingkah laku, dan makna
merupakan suatu kondisi yang di dalamnya orang mengungkapkan
sebuah kata atau kalimat dan direspons oleh pendengar. Sehingga makna
menurutnya adalah kondisi dan respons. Ia juga mengatakan bahwa kita
dapat mendefinisikan arti secara tepat apabila arti tersebut berhubungan
dengan hal-hal yang kita ketahui secara ilmiah.
Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan linguistik khususnya
semantik adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata bahasa
transformasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsur pokok
dalam analisis bahasa. Kajian semantik ini tidak hanya menarik perhatian
para ahli bahasa, akan tetapi juga menarik perhatian para ahli di luar
bahasa untuk mengkajinya. Salah satu yang memberikan perhatian
terhadap kajian ini adalah Odgen dan Richard, dengan karya berjudul The
Meaning of Meaning, yang membahas kompleksitas sebuah makna.
Selain Odgen dan Richard, perhatian pada semantik juga dilakukan oleh
Bridgman (ahli perundang-undangan) dan Thurman Arnold (ahli
administrasi).
Dalam perkembangan selanjutnya istilah semantik pun menjadi
bermacam-macam, akan tetapi orang lebih banyak menggunakan istilah
semantik, seperti halnya Palmer (1976), Lyons (1977), dan Leech (1974).
Tokoh lainnya, Lehrer mengatakan bahwa semantik merupakan bidang
yang sangat luas karena di dalamnya melibatkan unsur-unsur struktur dan
fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi,
dan sosiologi. Antropologi berkepentingan dengan semantik antara lain
karena analisis makna dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya
pemakai bahasa secara praktis. Filsafat berhubungan erat dengan
semantik karena persoalan makna tertentu hanya dapat dijelaskan secara
filosofis (misalnya makna ungkapan tertentu dan peribahasa). Psikologi
berhubungan erat dengan semantik karena psikologi memanfaatkan gejala
kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal.

7
Demikian juga halnya sosiologi memiliki kepentingan dengan
semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat menandai
kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Selain para tokoh di atas,
masih ada Max Miller dengan dua bukunya the Science of Language
(1862) dan The Science of Thought (1887). Demikian juga, Adolf Noreen
(1854-1925) dengan bukunya “Lughatuna”, yang mengkaji makna secara
khusus dalam bab-bab bukunya dengan menggunakan istilah semology.
Berikutnya muncul seorang filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, dengan
karyanya Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to
The English Language (1931). Stem, dalam kajian itu, sudah melakukan
studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni
bahasa Inggris.
Dari kalangan linguis Arab, muncul nama Ibrahim Anis, guru besar
bidang linguistik di Universitas Cairo, dengan kitabnya yang berjudul
Dilalah al-Alfazh. Kitab ini mencakup 12 bab. Dalam kitab tersebut,
antara lain dibahas tentang sejarah perkembangan bahasa manusia dan
bagaimana hubungan antara lafaz dan maknanya serta jenis hubungan
keduanya. Dibahas pula media makna yaitu lafaz, penjelasan tentang
macam-macam makna (yang dibaginya menjadi empat, yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksiologi). Demikian juga dijelaskan dalam
kitab tersebut bagaimana pendapat para linguis tentang hubungan antara
lafaz dan makna, apakah hubungan itu bersifat alamiah (thabi’iyyah)
ataukah hubungan itu bersifat kebudayaan pemakainya (urfiyyah
ishthildhiyyah). Demikian juga masalah-masalah lainnya yang berkaitan
dengan makna.
Sebagai bentuk konkret dari perhatian ulama Arab terhadap semantik
adalah upaya penyusunan kamus. Penyusunan kamus Arab berlangsung
melalui beberapa fase. Pertama, tahap penyusunan kata-kata atau lafaz-
lafaz dengan penjelasannya yang belum disusun secara teratur.
Pengumpulan ini terjadi sekitar akhir abad pertama Hijriyah, dengan
sumber pokoknya Al-Qur’an, Hadits, dan syair Arab lahili, misalnya kitab
Nawadir fi al-Lughah karya Abu Zaid al-Anshari. Kedua, tahap
pembukuan lafaz-lafaz secara teratur, akan tetapi berbentuk risalah-
risalah yang terpisah-pisah dengan materi yang terbatas, contohnya kitab
al-Mathar karya Abu Zaid al-Anshari dan al-Ibil karya al-Asmu’i. Ketiga,
tahap penyusunan kamus secara komprehensif dan sistematis, yang
dipelopori oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farehidi. Dialah yang

8
memberikan inspirasi bagi para ahli bahasa lainnya untuk menyusun
kamus.
Pada akhir abad ke-19, semantik menjadi disiplin ilmu yang berdiri
sendiri sebagai cabang linguistik, dan yang memeloporinya adalah
Michael Breal, kemudian disempurnakan oleh Ferdinand de Saussure.
Sementara di kalangan bangsa Arab, kajian ‘ilm al-dalalah sudah ada
sejak zaman sahabat, meskipun masih sangat umum. Perhatian ulama
Arab terhadap 'ilm al-dalalah tidak hanya muncul dari kalangan
lughawiyyin saja, akan tetapi juga muncul dari kalangan ushaliyyin,
falasifah, dan balaghiyyin. Perhatian mereka ini, salah satunya, dipicu
oleh semangat memelihara dan memurnikan Al Qur’an dari segala bentuk
lahn dan inhiraf. Usaha mereka ini secara konkret terlihat pada upaya
yang dilakukan oleh ushulliyyin, falasifah, maupun balaghiyyin. (Matsna,
2016)
C. Ruang Ligkup dan Metode Semantik.

Adapun Ruang Lingkup Kajian ‘Ilm Al-Dalalah Berkisar Pada:

1. Al-Dal (Penunjuk, Pemakna) Lafadz dan Al-Madlul (yang ditunjuk,


dimaknai, makna) serta hubungan simbolik diantara keduanya. Lafadz
dalam bahasa arab dapat dikategorikan dalam 4 macam:
a. Monosemi (al-tabayyun) yaitu, satu lafadz menunjukkan satu makna.
b. Hiponimi (al-isytimal) yaitu, satu lafadz yang menunjukkan makna
umum yang mencangkup beberapa arti yang menjadi turunanya.
Dalam pengertian lain disebutkan, hiponimi adalah hubungan semantik
antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercangkup dalam makna
bentuk ujaran lain.
c. Sinonimi (al-taroduf) yaitu, beberapa lafadz yang menunjukkan satu
makna meskipun tidak sama persis. Dalam pengertian lain disebutkan
pula, sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lain.
d. Polisemi (ta’addud al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung
lebih dari satu makna; jika dua makna itu tidak saling berlawanan,
maka disebut al-musytarok al-lafdzi dan jika saling berlawanan, maka
disebut al-tadhadh (antonimi).
2. Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan kontekstual
dan situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni. Perubahan makna kata
disebabkan oleh:

9
a. Faktor kebahasaan.
b. Faktor kesejarahan.
c. Sebab Sosial.
d. Faktor psikologis.
e. Pengaruh bahasa asing.
f. Karena kebutuhan akan kata-kata baru.
3. Majaz (kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan stilisiknya.
Majaz dibedakan dari gaya. Arti majazi diperoleh jika denotasi kata
atau ungkapan dialihkan dan mencangkupi juga denotasi lain bersamaan
dengan tautan pikiran lain. Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik
adalah agar pendengar memahami dengan baik makna yang dimaksud dari
perkataan/pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang
dibacanya. Dan juga untuk menghindari pengguna bahasa arab dari
kesalahan semantik menyangkut pemilihan dan penggunaan kosa-kata yang
tepat sesuai dengan struktur dan konteks kalimat. Termasuk juga kesalahan
penggunaan istilah dan idiom dan ungkapan kinayah, isti’arah dan majaz
(Abdul Wahab, 2008). Dalam kajian makna semantik bahasa Arab, dikenal
tiga metode kajian, yaitu:
a. Metode historik atau diachronic, yaitu suatu metode kajian yang
meneliti arti kata-kata bahasa Arab, bagaimana kedudukan bahasa
Arab di wilayah lain yang bahasanya terpengaruh oleh bahasa Arab.
b. Metode deskriptif atau synchronik, yaitu metode kajian yang meneliti
makna kata-kata bahas Arab pada kurun waktu dan tempo tertentu.
c. Metode komparatif, yaitu metode kajian yang megadakan penelitian
kajian makna kata-kata bahasa Arab dengan membandingkan dengan
salah satu bahasa yang serumpun, yaitu dengan bahasa Ibrani, bahasa
Aramani, bahasa Akadi, bahasa Habsy, dan sebagainya yang termasuk
rumpun bahasa Semit. Kajian semantik komparatif ini bias mengambil
bentuk kajian mengenai sejarah kata dan asal-usulnya (suaraedu,2016)
D. Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, Dan Sintaksis

Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan fonologi
(ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu). Fonologi
merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari fungsi
bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-
Wasilah, 1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
pembentukan kata (Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu

10
bahasa yang mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa
(Levinson, 1992), yakni hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya
dalam suatu kalimat.

Semantik sebagai cabang ilmu bahasa memiliki hubungan yang erat


dengan ketiga cabang ilmu bahasa di atas (fonologi, morfologi, dan sintaksis).
Ini berarti, bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh unsur bunyi
(tekanan suara dan atau nada suara atau yang lebih umum adalah
suprasegmental), bentukan kata (perubahan bentuk kata), maupun susunan
kata dalam kalimat. Dengan demikian, tidak mungkin semantik dipisahkan
dari cabang linguistik lainnya atau sebaliknya (Umar, 1982). Perhatikan
contoh berikut ini.

Contoh 1:

(1) ‫انت تكنس البالط‬.

(2) ‫انت تكنس البالط؟‬

Apabila kalimat (1) dan (2) pada contoh 1 tersebut diungkapkan secara
lisan dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna
yang sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda,
maka kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1)
bernada informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada
introgatif (bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang
berbeda karena perbedaan nada. Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada)
mempengaruhi makna. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982)
menyatakan bahwa tanghim (nada suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk
kalimat (jumlah).

Contoh 2:

(1) ‫غفر اهلل ذنوبنا‬

(2) ‫استغفرنا اهلل‬

(3) ‫جلس علي على الكرسي‬

(4) ‫أجلس علي الطفل على الكرسي‬

Kata yang digaris bawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2) berasal
dari akar kata yang sama, yaitu ‫ ر‬- ‫ ف‬- ‫غ‬. Akan tetapi, setelah mengalami
proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata pada
kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa kita),

11
sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith- thalab).
Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ‫ ت‬- ‫ س‬-‫ا‬pada awal kata
mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti Kami (telah) meminta
ampun kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang digaris
bawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata yang sama
(‫س‬-‫ل‬-‫)ج‬.
Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata
tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digaris bawahi pada kalimat
(3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4)
disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti
‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan
anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat
disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.

Contoh 3:

(1) ‫الثعلب السريع البين كاد يقتنص األرنب‬.

(2) ‫الثعلب البين الذي كاد يقتنص األرنب كان سريعا‬.

(3) ‫الثعلب السريع الذي كاد يقتنص األرنب كان بنيا‬

Kalimat (1), (2), dan (3) pada contoh 3 di atas pada dasarnya memiliki
pesan yang sama. Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang
hampir menangkap kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya
tidak sama, maka pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda
(Umar, 1982). Pesan kalimat (1) pada contoh A3 lebih menekankan pada
serigala yang cepat dan berwarna coklat (kecepatan berlari dan warna
serigala), pesan kalimat (2) pada contoh A3 lebih menekankan identitas warna
serigala (coklat), sedangkan pesan kalimat (3) lebih menekankan pada
kecepatan lari serigala.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah semantik dalam kajian linguistik yaitu, sejarah semantik atau makna
telah digunakan oleh Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa
384-322 SM. Ia adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah ‘makna’ lewat
batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang
mengandung makna. Bahkan Plato pada masa 429-347 SM dalam Cratylus
mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung
makna-makna tertentu.
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis), dan semantik. Semantik
diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah
makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu,
bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam
bahasa. Semantik tidak bisa dipisahkan dari cabang-cabang ilmu bahasa lain.
Karena dalam menganalisis, ilmu-ilmu bahasa lain memerlukan bantuan
semantik. 

B. Saran
Setelah penulis memaparkan panjang lebar hal-hal yang berklaitan dengan
sejarah ilmu ad-Dilalah (semantik) ini, penulis mengharapkan kritik dan masukan
dari segenap pembaca dan pemerhati makalah ini. Selain itu penulis juga
menyarankan agar pembaca mengkaji ulang hal yang berkaitan dengan tema ini
dalam berbagai sumber yang ilmiah.

13
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
Haidar, Farid Iwad, 2005. Ilmu dilalah, Jami’ah al-Qohiroh.
Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiah. 2001. Ilm al-Lugoh al-‘Amm. kitabul Maddah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik Cetakan ke-5. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Moh Matsna. 2016. Kajian semantik Arab. Jakarta: Prenamedia Grup.
Nasution, Dr. H. Sahkholid, S.Ag, MA. 2017. Pengantar Linguistik Bahasa Arab
Cetakan 1. Sidoarjo : CV. LISAN ARABI
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal Cetakan ke-1. Jakarta: Rineka Cipta.
Suaraedu. Tinjauan Sejarah Ilmu Dilalah. Diakses Pada
https://suaraedu.blogspot.com/2016/12/tinjauan-sejarah-ilmu-dilalah.html (Tanggal 1
Desember 2020)
Verhaar. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

14

Anda mungkin juga menyukai