Anda di halaman 1dari 14

ATTAWABI’

Makalah ini sebagai salah satu tugas Mata kuliah Nahwu,

dipresentasikan dalam perkuliahan di kelas

Oleh:

MUHAMMAD ABDUL AGESSALAM

NIM:2002030056

Dosen Pembimbing

PROGRAM STUDI BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

( IAIN) PALOPO

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat, karunia, taufik, dan hidayahNya yang
diberikan kepada kita semua sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Shalawat dan salam semoga tetap mengalir kepada pejuang kita yang namanya
popular diseluruh dunia yaitu Nabi besar Muhammad SAW yang dengan perjuangan beliau
lah kita tetap berada dalam cahaya iman dan islam.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan banyak kekurangan,sehingga penulis sangat menyarankan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Akhirnya pemakalah berdo’a semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan pada pembaca pada umumnya.

Palopo, 14 Juni 2021

Muh.Abdul Agessalam
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Arab merupakan bahasa yang sangat penting dipelajari terutama oleh kalangan
umat Islam, dengan mempelajari bahasa Arab berarti kita sedang mempelajari al- Qur’an dan
al-Hadits karena Al Qur’an dan al Hadits di sajikan dalam bahasa Arab. Dengan menguasai
bahasa Arab kita akan mudah berkomunikasi dengan warga dunia terutama di dunia Islam.
Belajar bahasa Arab tidak bisa dilepaskan dari qaidah- qaidah nahwu karena merupakan
grammer untuk bahasa Arab.

Ilmu nahwu merupakan salah satu cabang ilmu bahasa arab yang sangat penting karena
dalam ilmu tersebut seorang muslim dapat memahami warisan nabi yang tak ternilai
harganya,tuntunan dan pedoman hidup di dunia dan akhirat yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang
dengan memahami nya memerlukan ilmu Nahwu salah satunya mengenai tawabi’. Seseorang
akan bisa mengucakan kalimat –kalimat Arab dengan baik dan benar jika bisa menguasai
nahwu dan shorof.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Attawabi’secara bahasa dan istilah?
2. Bagaimana pembagian dalam Attawabi’?
3. Apa itu Na’at,Athaf,Badl,dan Taukid serta seluk beluknya?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Attawabi’secara bahasa dan istilah
2. Mengetahui pembagian dalam Attawabi’
3. Mengetahui seluk beluknya yang berkaitan dengan Na’at,Athaf,Badl,dan Taukid
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Attawabi’

Attawabi’ secara bahasa adalah bentuk Plural dari kata Attaabi’, yaitu isim fail dari
kata taba’a yatbau,yang berarti mengikuti,sedangkan pengertian Attawabi’ secara istilah
banyak di jelaskan oleh Ulama Bahasa Arab, berikutdi antara pengertian Attawabi’secara
istilah.

1. Dalam Mulakhos Qawa’idul Lughatil ‘Arabiyyah, Fu’ad Ni’mah menjelaskan:


“Tawabi’ adalah kalimat-kalimat yang ketentuan i’rabnya mengikuti i’rab kalimat
sebelumnya baik itu marfu’, manshub atau majrur.” 1
2. Dalam Al-Muyassar fiI Iilmin Nahwi, Aceng Zakariya menjelaskan:
“Tawabi’ adalah isim-isim yang ketentuan i’rabnya tergantung i’rab isim yang lain.
Jika isim yang lain marfu’, maka ia ikut marfu’. Demikian pula dalam hal mansub dan
majrurnya.”2
Dari pengertian di atas, bisa diambil pengertian paling sederhana yaitu, “Tawaabi’
(lafadz yang mengikuti) adalah isim yang mengikuti i’rab lafadz sebelumnya secara mutlak.

B. Pembagian Attawaabi’

At-tawabi terbagi menjadi empat macam, yaitu: na’tun, ‘athfun, taukiidun, dan
badlun. Adapun penjelasan secara komprehensif sebagai berikut: 

1. An-Na’tu
a. Definisi
secara bahasa berarti sifat. Jamaknya adalah nu’uutun, sedangkan sinonimnya
adalah shifatun.3
Para ulama dan pakar bahasa Arabpun banyak yang mendefinisikan na’at,
diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
Na’at yaitu tabi’ yang menyempurnkan makna lafazh yang diikutinya dengan
menjelaskan salah satu diantara sifat-sifatnya, atau dengan menjelaskan sebagian
dari lafazh yang berta’alluq kepadanya, sedangkan ia menjadi penyebabnya.4

1
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats- Tsaqaafat Al-
Islamiyyah), hlm. 51.
2
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam, 1417 H), hlm. 112.
3
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997 M), hlm. 1436.
4
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011 M), hlm. 626.
2) Aceng Zakaria
Na’at atau disebut juga shifat adalah isim yang mengikuti isim yang lain dengan
fungsi untuk menjelaskan sifat dari isim sebelumnya.5
3) Syamsul Ma’arif
Na’at adalah tabi’ yang menjelaskan matbu’nya.6
b. Ketentuan Na’at
Na’at atau sifat wajib mengikuti mausufnya dalam empat hal yaitu sebagai
berikut:
1) Dalam i’rab,contoh:

2) Dalam mudzakkar dan muannats, contoh:

3) Dalam ma’rifat dan nakirah, contoh:

4) Dalam mufrad, mutsanna dan jama’, contoh:

c. Pembagiaan Na’at
Na’at terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Na’at haqiqi
yaitu na’at yang menjelaskan salah satu sifat kata yang diikutinya. Atau na’at
yang menjelaskan salah satu sifat kata yang diikutinya (man’utnya).7
Contoh:

Melihat definisi na’at diatas, na’at itu adakalanya menjelaskan sebagian


keadaan man’ut dan adakalanya menjelaskan keadaan kata lain yang berhubungan
dengan man’utnya, na’at haqiqi inilah yang menjelaskan sebagian keadaan
man’ut.8

5
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam, 1417 H), hlm. 113.
6
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas, (Bandung:
Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 884.
7
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-Ajurumiyyah,
(Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 137.
8
Ibid., hlm. 137-134.
Catatan:
Na’at haqiqi ini merafakan dhamir mustatar atau dhamir yang tersimpan yang
kembali kepada man’ut.
Na’at haqiqi harus mengikuti man’utnya empat hal dari 10 hal, maksudnya
satu dari (i’rab rafa, nashab dan khafdh), satu dari (mufrad, tatsniyah dan jama’),
satu dari (ma’rifat dan nakirah) dan satu dari (mudzakkar dan muannats).

Contoh:
 Khalid yang ahli sastra telah datang
 Murid yang rajin telah datang
Pada contoh tersebut na’at menjelaskan keadaan man’ut (kata menjelaskan dan
menjelaskan ). Kedua na’at tersebut merafakan dhamir yang tersimpan yang
kembali pada man’ut, yaitu . Dhamir tersebut mahal-nya rafa’ karena
berkedudukan sebagai fa’il. Ada juga yang berkedudukan sebagai naibul fa’il,
misalnya kalau na’atnya berupa isim maf’ul seperti . Pada contoh , kata
digolongkan na’at haqiqi karena na’at tersebut menjelaskan sifatnya man’ut dan
merafa’kan dhamir yang kembali pada man’ut. Karena, termasuk na’at haqiqi
maka harus mengikuti man’utnya dalam empat hal dari sepuluh hal. Oleh sebab itu
maka karena kata (selaku man’ut) i’rabnya rafa’, maka ikut rafa’, kata mufrad,
maka ikut mufrad, kata ma’rifat maka ikut ma’rifat, dan kata mudzakkar, maka ikut
mudzakkar.
2. Na’at sababi
Yaitu na’at yang disebut setelahnya, 9 atau na’at yang menjelaskan salah satu
sifat dari kata yang mempunyai hubungan dan pertalian dengan kata yang
diikutinya (man’utnya).10
Contoh:

Dengan demikian na’at sababi ini tidak menjelaskan sifatnya man’ut tetapi
menjelaskan sifatnya kata lain yang berhubungan dengan man’ut.
Contoh:

Kata menjadi na’at dan menjadi man’ut.

Pada contoh tersebut na’atnya tidak menjelaskan keadaan man’ut, tetapi


menjelaskan kata lain yang berhubungan dengan man’ut. Pada contoh pertama,

9
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004 M), hlm. 175.
10
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-Ajurumiyyah,
(Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 139
yang bagus bukan tetapi tulisannya.Pada contoh kedua yang bagus bukan tetapi
bacaannya.11
Catatan:
Na’at sababi ini merafa’kan isim zhahir yang memuat dhamir yang kembali kepada
man’ut. Pada contoh pertama, kata merupakan isim zhahir yang dirafa’kan oleh
kata (kata menjadi fa’ilnya ). Kata memuat dhamir ha yang kembali kepada
man’ut, yaitu kembali kepada .
Na’at sababi yang merafa’kan isim zhahir yang memuat dhamir yang kembali
pada man’ut itu harus mengikuti man’utnya dalam dua hal dari lima hal,
maksudnya satu dari (i’rab rafa, nashab, dan khafdh) dan satu dari (ma’rifat dan
nakirah). Pada contoh pertama misalnya, kata (selaku man’utnya) i’rabnya rafa’,
maka ikut rafa’, kata maka kata ikut ma’rifat. 12

d. Faidah Na’at
Na’at memiliki faidah yang sangat penting untuk diketahui, sebagaimana
Behaud Din Abdullah bin ‘Aqil, beliau menyebutkan beberapa faidah na’at
diantaranya sebagai berikut:
1) Untuk takhsish (mengkhususkan)
Aku telah bersua dengan Zaid tukang jahit.
2) Untuk memuji
Aku telah bersua dengan Zaid yang dermawan.

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Faatihah[1]: 1)
3) Untuk mencela
Aku telah bersua dengan Zaid yang fasik (pendurhaka).

Hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
(QS. An-Nahl: 98)
4) Untuk ungkapan belas kasihan
Aku telah bersua dengan Zaid yang miskin.

5) Untuk ta’kid (pengukuhan)


Kemarin yang lewat tidak akan kembali.

“Maka apabila sangkakala ditiupsekali tiup.” (QS. Al-Haaqqah: 13)

11
Ibid., 140
12
Ibid., hlm. 140-141.
2. Al-Athfu

a. Definisi
Secara bahasa athaf berarti condong atau cenderung. Para ulama dan pakar bahasa
Arabpun banyak yang mendefinisikan athaf, diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
“Athaf adakalanya untuk menjelaskan atau untuk merentetkan; Athaf bayan adalah
tabi’ yang menyerupai sifat, dengan melaluinya makna yang dimaksud dapat
terungkapkan.13
2) Aceng Zakaria
“Athaf adalah isim yang mengikuti isim lainnya dengan perantara huruf athaf.”14
3) Syamsul Ma’arif
“Athaf adalah tabi’ dengan perantaraan huruf.”15
4) Muhammad bin Muhammad bin Dawud bin Abu ‘Abdillah as- Shanhaji
“ Athaf nasaq (al-Ma’thuf bil-harfi) adalah tabi’ yang mengikuti matbu’ yang antara
keduanya diselai-selai oleh salah satu dari beberapa huruf ‘athaf.16
b. Huruf dan Contoh Athaf
Adapun huruf-huruf athaf itu adalah:
1) Dan, contoh:
2) Maka, contoh:
3) Kemudian, contoh:
4) Atau, contoh:
5) Ataukah, contoh:
6) Sehingga, contoh:
7) Tetapi, contoh:
8) Tidak, contoh:
9) Melainkan, contoh:
c. Ketentuan Athaf
Apabila mengathafkan (menghubungkan) dengan huruf athaf pada ma’thuf ‘alaih
yang beri’rab rafa’ maka ma’thufnya dirafa’kan, jika pada ma’thuf ‘alaih yang beri’rab
nashab maka ma’thufnya dinashabkan, jika pada ma’thuf ‘alaih yang beri’rab khafazh
maka ma’thuf ‘alaihnya dikhafadhkan dan jika ma’thuf ‘alaih yang beri’rab jazm maka
ma’thufnya dijazmkan. Misalnya kau katakan:
Dengan demikian, ketika ma’thuf dihubungkan pada ma’thuf ‘alaih dengan huruf
athaf maka i’rabnya mengikuti i’rabnya ma’thuf ‘alaih.

13
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011 M), hlm. 656.
14
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004 M), hlm. 176.
15
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas, (Bandung:
Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 95.
16
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-Ajurumiyyah,
(Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 147.
Catatan:
“Huruf athaf berfungsi bukan saja mangatafkan isim kepada isim, tetapi juga berlaku
dalam mengathafkan fi’il kepada fi’il.”
“Lafadznya adalah majzum karena didahului huruf jazm. sedangkan lafazh menjadi
majzum karena athaf kepada fi'il majzum sebelumnya dengan huruf athaf.”
Demikian pula lafazh – – dst adalah manshub karena athaf kepada yang manshub .
Perbedaan antara dan adalah terletak pada kalimat setelahnya, kalau setelahnya tidak
berupa jumlah biasanya dibaca , sedangkan jika setelahnya jumlah maka dibaca .
Contoh: (Farid fakir tetapi anaknya kaya, Hasan tidak tidur tetapi Husain)
3. Al-Badlu
a. Definisi
Badal secara bahasa berarti merubah atau mengganti.17Para ulama dan pakar bahasa
Arab pun banyak yang mendefinisikan badal, diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
Badal adalah tabi’ yang mempunyai maksud sama (dengan mathbu’nya), tanpa
memakai perantara.18
2) Aceng Zakaria
Badal adalah isim yang mengikuti isim lain dan berfungsi untuk menggantikan
mubdal minhu (yang digantikannya).19
3) Syamsul Ma’arif
Badal adalah tabi’ yang menjadi sasaran dengan tanpa perantara.20
b. Ketentuan Badal
Ketika kalimat isim digantikan oleh kalimah isim yang lain atau kalimah fi’il
digantikan oleh kalimah fi’il yang lain, maka badal harus mengikuti mubdal minhu
dalam semua i’rabnya. I’rabnya badal itu mengikuti mubdal minhu. Apabila mubdal
minhunya rafa’ maka badalnya ikutnya rafa, apabila mubdal minhunya nashab maka
badalanya ikut nasab.21
c. Macam-Macam Badal
Badal terbagi menjadi empat macam, yaitu badal syai minasysyai atau badal kul
minal kul, badal ba’dh minal kul, badal isytimal, dan badal ghalath.
Misalnya seseorang hendak mengatakan,
“ Dia hendak mengatakan tapi keliru mengatakan , lalu kata dia ganti dengan .
1) Badal kul minal kul,
yaitu badal yang mencakup sesuatu yang lainnya. Atau badal yang cocok dan sesuai
dengan mubdal minhunya dalam hal makna.
Contoh:
17
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997 M), hlm. 65.
18
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011 M), hlm. 675
19
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam, 1417 H), hlm.
123.
20
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas, (Bandung:
Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 104.
21
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-Ajurumiyyah,
(Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 157-158.
Zaid, yakni saudara laki-lakimu
telah berdiri Ibuku, yakni Bu Khadijah telah datang

Kata menjadi badal dari mubdal minhu dan kata menjadi badal dari mubdal minhu
Kata digolongkan badal syai minasysyai karena maknanya sama dengan mubdal
minhunya. Kalau dicermati, Zaid = saudaramu dan saudaramu = Zaid. Dua kata
tersebut tidak berbeda orang. Demikian juga kata , kata ini juga digolongkan badal
syai minasysyai karena maknanya sama dengan mubdal minhunya, karena yang
dimaksud Ibuku adalah Bu Khadijah.

2) Badal Ba’dh minal kul,


yaitu badal sesuatu yang mencakup sesuatu yang lain. Atau badal yang merupakan
bagian dari mubdal minhu.
Contoh:
Kacanya sudah pecah, yakni setengahnya

Kata i’rabnya marfu’ karena menjadi fa’il. I’rab marfu’nya ditandai dhammah
karena isim mufrad. Kata i’rabnya ikut marfu’ karena menjadi badal dari kata .
Adapun ha yang ada pada kata adalah dhamir yang kembali pada kata . Kata itu
dinamakan badal ba’dh minal kul karena merupakan bagian dari mubdal minhunya.
Pahami baik-baik! Sepertiga itukan bagian dari roti.
3) Badal Isytimal
Yaitu badal sesuatu mencakup sesuatu yang lainnya. Atau badal yang termuat
dalam mubdal minhu, dengan syarat badal tersebut bukan juz (bagian) dari mubdal
minhunya. Contoh:
Zaid bermanfaat bagiku, yakni ilmunya

Kata itu digolongkan badal isytimal karena termuat dalam mubdal minhunya.
Artinya, Zaid memuat ilmu. Ilmu itu bukan juz (bagian), tetapi ilmu termuat pada diri
Zaid.
4) Badal ghalath
Adalah badal yang salah penyebutan. Dimana seseorang terlanjur menyebutkan
sesuatu yang salah lalu diikuti lagi dengan penyebutan yang sebenarnya. Atau badal
yang digunakan untuk menggantikan mubdal minhu yang keliru.
Contoh:
Zaid telah datang, yakni kuda

Pada contoh diatas, sesorang hendak mengatakan (kuda telah datang), tapi dia
keliru mengucapkan (Zaid telah datang), kemudian dia mengatakan untuk
menggantikan yang keliru ucap, sehingga menjadi.
D. Taukid
a. Definisi
Definisi Taukid secara bahasa adalah mengokohkan dan menguatkan.Para ulama dan
pakar bahasa Arabpun banyak yang mendefinisikan taukiid, diantaranya sebagai berikut:
1) Aceng Zakaria
“Taukid adalah isim yang mengikuti isim lain yang berfungsi untuk menguatkan
arti (pengeras arti) dan menghilangkan keraguan si pendengar.”
2) Syamsul Ma’arif
“Taukid adalah tabi’ yang menguatkan mathbu’nya.”
b. Ketentuan Taukiid
Taukid itu mengikuti muakkad dalam lafazh, nashab, khafadh dan ma’rifatnya.48 c.
Pembagian Taukid Taukid terbagi kepada dua bagian, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Adapun
penjelasnnya
1) Taukid lafzhi
yaitu taukid yang lafazhnya diulangi sebanyak dua atau tiga kali, baik isim atau fi’il,
atau taukid dengan mengulang lafazh muakkad atau lafazh lain.
Contoh:
yang mengulang lafazhnya: Sulaiman, Sulaiman telah datang Ahmad sedang puasa,
Ahmad sedang puasa
Contoh:
yang mengulang lafazh lain: Khalil sudah datang, sudah datang
2) Taukid ma’nawi
yaitu taukid dengan menggunakan lafazh tertentu, diantaranya: dan kata-kata yang
mengikuti.
Contoh:
Zaid telah berdiri
Bakr telah datang sendiri
Fatimah telah pergi sendiri
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. At-tawaabi’ secara bahasa adalah bentuk plural dari At-taabi’, yaitu isim faa’il dari taba’a-
yatba’u yang berarti yang mengikuti. Sedangkan secara istilah tawaabi’ (lafadz yang
mengikuti) adalah isim yang mengikuti i’rab lafadz sebelumnya secara mutlak.
2. At-tawabi terbagi menjadi empat macam, yaitu: na’tun, ‘athfun, taukiidun, dan badlun
3. Na’tu secara bahasa berarti sifat. Jamaknya adalah nu’uutun, sedangkan sinonimnya
adalah shifatun. Secara istilah na’at atau disebut juga shifat adalah isim yang mengikuti
isim yang lain dengan fungsi untuk menjelaskan sifat dari isim sebelumnya. Na’at atau
sifat wajib mengikuti mausufnya dalam empat hal:
a. i’rab,
b. mudzakkar dan muannats,
c. ma’rifat dan nakirah, dan
d. mufrad, mutsanna dan jama’.
4. Secara bahasa athaf berarti condong atau cenderung. Sedangkan secara istilah athaf adalah
isim yang mengikuti isim lainnya dengan perantara huruf athaf.
5. Badal secara bahasa berarti merubah atau mengganti. Sedangkan secara istilah badal
adalah isim yang mengikuti isim lain dan berfungsi untuk menggantikan mubdal minhu
(yang digantikannya). Badal terbagi menjadi empat macam, yaitu:
a. badal syai minasysyai atau badal kul minal kul
b. badal ba’dh minal kul
c. badal isytimal
d. badal ghalath
6. Taukid secara bahasa adalah mengokohkan dan menguatkan.Taukid adalah isim yang
mengikuti isim lain yang berfungsi untuk menguatkan arti (pengeras arti) dan
menghilangkan keraguan si pendengar. Taukid itu mengikuti muakkad dalam lafazh,
nashab, khafadh dan ma’rifatnya. Taukid terbagi kepada dua bagian, yaitu lafzhi dan
ma’nawi.
7. Taukid lafzhi, yaitu taukid yang lafazhnya diulangi sebanyak dua atau tiga kali, baik isim
atau fi’il, atau taukid dengan mengulang lafazh muakkad atau lafazh lain.
8. Taukid ma’nawi, yaitu taukid dengan menggunakan lafazh tertentu, diantaranya: dan kata-
kata yang mengikuti.

DAFTAR PUSTAKA

Ni’mah Fuad, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-


Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 51.
Zakaria Aceng, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 112.
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M), hlm. 1436.
Abdullah Ibnu ‘Aqil Din Behaud, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 626.
Zakaria Aceng, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 113.
Ma’arif Syamsul, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 884.
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-
Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 137.
Ibid., hlm. 137-134.
Zakaria Aceng, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press,
2004 M), hlm. 175.
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-
Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 139
Ibid., 140
Ibid., hlm. 140-141.
Abdullah Ibnu ‘Aqil Behaud Din Behaud, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 656.
Zakaria Aceng, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press,
2004 M), hlm. 176.
Ma’arif Syamsul, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 95.
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-
Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 147.
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M), hlm. 65.
Abdullah Ibnu ‘Aqil Din Behaud, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 675
Zakaria Aceng, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 123.
Ma’arif Syamsul, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 104.
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab Al-
Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 157-158.

Anda mungkin juga menyukai