Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGANTAR STUDI ISLAM


“MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM”

Dosen Pembimbing : Drs. Masfuk, M.Si


Disusun oleh : Zeinul Arifin (mtk) Ahmad Fauzi
Nurhayati (mtk) M. Lutvi Hidayatullah
Siti Nur Hidayati (mtk) Siti Aisyah B
Sihafudin (mtk) Islamia
Mas Hasani

PROGRAM STUDI PGMI & TADRIS MATEMATIKA


STAI MUHAMMADIYAH PROBOLINGGO
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera bagi kita semua. Puji syukur atas karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang mana berkat tuntunan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Mengembangkan Metode Pemikiran Islam” ini
tanpa halangan yang berarti.

Penyusunan makalah ini didasarkan atas pemenuhan tanggung jawab tugas


dan ditujukan sebagai sarana penampung informasi berdasarkan judul yang kami
tinjau secara lugas. Makalah ini terinterpretasi oleh usaha maksimal yang tidak
luput dari kontribusi para anggota Kelompok, bantuan para kerabat dan teman,
serta bimbingan Dosen Mata Kuliah. Oleh karena itu, kami menyampaikan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam proses pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari hal tersebut, kami menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki kekurangan dari berbagai segi. Kritik dan saran akan sangat kami
perlukan agar makalah ini dapat disempurnakan.

Probolinggo, 5 Juni 2020

Penyusun

Zeinul Arifin i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................2
A. Pendekatan Bayani..................................................................................2
B. Pendekatan Irfani....................................................................................5
C. Pendekatan Burhani................................................................................8
BAB III : PENUTUP.........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13

Zeinul Arifin ii
BAB I

PeNDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn
Manszur, menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat
pengertian, yakni pemisahan , keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat
pengertian tersebut dapat diklasifikasikan Secara etimologis, al-burhan
dalam bahasa Arab, adalah argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-
bayyinat). Dalam inggris, al-burhan disebut demonstration, berasal dari
bahasa latin demonsrate yang berarti isyarat, sifat, keterangan, dan
menampakkan.Al-Burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang
tegas (decisive proof) dan keterangan yang jelas.
Menjadi dua kelompok: al-bayan sebagai metodologi, yang berarti
keterpisahan dan jelas. Irfan dengan bahasa Arab merpakan masdar dari
‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab,
al-‘irfan diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata’irfan
dipergunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang
dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf atau ilham. Hanya saja, istilah
ini berkembang penggunaanya dikalangan sufi, kecuali pada masa-masa
belakangan ini saja.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan Bayani?
2. Apa yang dimasud dengan pendekatan Irfani?
3. Apa yang dimaksud dengan pendekatan Burhani?

Zeinul Arifin 1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Bayani
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn
Manszur, menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat
pengertian, yakni pemisahan , keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat
pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: al-bayan
sebagai metodologi, yang berarti keterpisahan dan jelas.

Namun, pada wilayah konotasi teoretis konseptual, al-bayan


sebagai sistem epistemologi mencakup tiga pasangan konsep dasar: lafal
ma’na, ashl-far, dan substansi-aksidensi. Pasangan konsep pertama dan
kedua mencakup aspek aspek metodologis, sedangkan pasangan konsep
ketiga mencakup aspek pandangan dunia.

Pendekatan bayani ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqoha’,


mutakallimun, dan ushulliyun. Tujuan pendekatan bayani adalah :

1. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau


mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafazh.
Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan
makna zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Quran
khususnya.

Makna yang dikandung dalam hadis, dikehendaki oleh, dan


diekspresikanmelalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan
antara makna dan lafazh dapat dilihat dari segi :

1) Makna wad’i;untuk apaa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna


khas, ‘am, dan mustarak;

Zeinul Arifin 2
2) Makna isti’mali; makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna
haqiqoh (sarihah dan mukniyah)dan makna majaz (sarih dan kinayah);
3) Darajat al-wudhuh; sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar,
nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan
4) Turuqu ad-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi adalah
dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass, dan dalalah al-
iqtida’ (menurut hanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-
mafhum, al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut
Syafi’iyyaah).

Untuk itu, pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen)


berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta ashab an-nuzul,
dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara kunci (keywords)
yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl-far’-lafz ma’na
(mantuq al-fughah dan muskhilah ad-dalalah; dan nizanm al-kitab dan
nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-
qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya tiga macam:

1. Al-qiyas berdasarkan ukuran ukuran kepantasan antara asl- dan far’


bagi hukum tertentu; yang meliputi:
a. Al-qiyas al-jali;
b. Al-qiyas fi ma’na an-nash; dan
c. Al-qiyas al-khafi;
2. Al-qiyas berdasarkan ‘illat terbagi menjadi:
a. Qiyas al-‘illat dan
b. Qiyas al-dalalah;
3. Al-qiyas al-jama’i tehadap ashl dan far ‘.

Dalam pendekatan bayani dikenal 4 macam bayani:


1) Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala
sesuatu, yang meliputi:
a. Al-qiyas al-bayani, baik al-fiqhy, an-nahwy dan al-kalamy; dan
b. Al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
2) Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang
meliputi makna haq, makna muayabbih fih, dan makna batil;

Zeinul Arifin 3
3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari:
a. Al-bayan az-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan
b. Al-bayan al-batin yang yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal
dan khabar;
4) Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat
da pemikiran dari katib khat, katib ‘aqd, katib hukm, dan katib tadbir.

Dalam pendekatan bayani, karena dominasi teks sedemikian kuat,


peran akal hanya sebatas sebagai akal alat pembenaran atau justifikasi atas
teks yang difahami atau diinterpretasi. Namun, menggunakan pendekatan
bayani saja, tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat penjelasan
teks (nash) Al-quran maupun Al-Hadis yang berkaitan dengan seni tradisi.
Misalnya, jika mencari teks atau nash Al-Quran dan Al-Hadis yang
berkaitan dengan seni trdisi hadrah, tahlilan, shalawatan, berjanji atau seni
tradisi dlam bentuk upacara seperti sekaten, ruwatan, tingkeban (tujuh
bulan bagi yang hamil), selametan atau haul hari ke-3, 7, 40, 100,dan ke-
1000, sampai kapan puntidak akan ditemukan.

Demikian juga, tidak rerdapat teks atau nash yang menjelaskan


seni budaya dalam bentk seni musik(pop, rock, dangdut) seni model Sulis
dan Hadad Alwi, Bimbo, nasyid serta banyak lagi seni tradisi atau seni
budaya lainya seperti dalam bentuk arsitektur , seni gamelan, wayang,
ludruk, jaipongan, dan sebagainya.

Di samping itu, terkadang sekalipun terdapat nash atau teks


normatif Al-Quran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan seni budaya sepeti
larangan menggambar (seni lukis) dalam sejumlah hadis bukhari, Musim
dan Ahmad, penjelasan teks tersebut sangat berkaitan erat dengan konteks
historis dan sosiologisnya, sehingga tidak cuup dengan hanya
menggunakan pendekatan bayan saja cenderung melahirkan pndangan
keagamaan yang binnar opposition (hitam-putih, halal-haram, sunah-
bid’ah), tertutup kaku dan intoleran.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang


lebih bersikap terbuka, luwes, dan toleran, yaitu pendekatan burhani dan

Zeinul Arifin 4
irfani.Melalui pendekatan burhani (penerapan analis rasiona-ideologis),
kita dapat mengungkapkan konteks dari suatu risalah keagamaan dan
mengungkapkan realitas sejarah dari suatu seni tradisi, baik geonologi
pemikiran, nilai-nilai spiritualitas dan regiliusitasnya maupun kandungan
filosofis, local wisdom (kearifan lokal) serta visi pencerahan dan kritik
sosialnya.

B. Pendekatan Irfani
‘Irfan dengan bahasa Arab merpakan masdar dari ‘arafa yang
semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab, al-‘irfan
diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata ’irfan dipergunakan
untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan
dalam qalbu dengan cara kasyf atau ilham. Hanya saja, istilah ini
berkembang penggunaanya dikalangan sufi, kecualipada masa-masa
belakangan ini saja.

Ketika irfan diadopsi kedalam islam, para ahli al-‘irfan


mempermudahnya menjadi pembicaraan mengenai al-tawzif, dan upaya
menyingkap wacani Qur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk
memperbanyak makna. Jadi, pendekatan Irfani merupakan sebuah
endekatan yang dikembangkan oleh kaum arif untuk mengeluarkan makna
batin dari batin lafz dan ‘ibarah; ia juga merupakan Istinbat al-ma’rifah al-
qalbyah dari Al-Quran.

Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu


pada instrumen pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah, dan instuisi.
Metode yang dipergunakan , meliputimanhajkashfi dan manhajiktishafi.
Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah ‘rfani yang tidak
menggunakan indra atau akal, tetapi menggunakan kashf dengan riyadah
dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi),
yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan
melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencangkup:
a. Analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8 , dst;
b. Tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan
c. Surah dan ashkal.

Zeinul Arifin 5
Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan
bukan manhaj kashfi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari
mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berurusan dengan mitodologi, bahkan
justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama. Dengan irfani
pula, mereka lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak
dibalik shari’ah, dan yang batin (ad-dalalah al-lughawiyyah). Dengan
memperhatikan dua metode diatas, kita mengetahui bahwa sumber
pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari
makna batinnya melalui ta’wil).

Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘rfani, meliputi


tanzil-ta’wil, haqiqi-majazi mumathilah an zaahi-batin. Hubungan zahir-
batin terbagi menjadi 3 segi: 1) siyasi mubashar, yaitu memalingkan
makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafazh kepada pribadi
tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkn makna-makna yang
disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni
memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkkaitan
dengan al-ilah al-mut’aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.

Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam takwil. Takwil


‘irfai terhadap Al-Quran bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan
pula kashf, tetapi ia merupakan upaya mendekati lafazh-lafazh Al-Quran
lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani
yang ada sebelum Islam, dengan tujuan menangkap makna batinnya.

Contoh konkret dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah


ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah)
harus dipadsecara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-
hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut, pengetahuan yang
diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai
al-hikmah al-haqiqah.

Pengalaman batin Rasulullah SAW. Dalam menerima wahyu Al-


Quran merupakanontoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun, dengan

Zeinul Arifin 6
keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan ‘irfangi akan
dikembangkan dalam kerangka ittiba’ ar-rasul.

Dapat dikatakan, meskipun pengetahuan ‘irfani bersifat subjektif,


semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, validitas
kebenarannya bersifat partisifatif. Sifat intersubjektif tersebut dapat
dformulasikan dalam tahap- tahap sebagai berikut. Pertama,tahapan
persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu
yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”.
Selanjutnya, tahapan pencerahan dan terakhir tahap kontruksi. Tahap
terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik saat diperlukan,
dalam bentuk uraian, tulisan, dan struktur yang dibangun, sehingga
kebenaran yang diperoleh dapat diakses oleh orang lain.

Imlikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran


keislaman, adalah mengampiri agama-agama pada tataran substantif dan
esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran
akan adanya pengalamannya dengan keagaman orang lain (the otherness)
yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan
esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang
transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan
simpati pada orang lain secara elegan setara. budaya dan peradapan yang
disinari oleh pancaran fitnah ilahiyah.

Melalui pendekatan irfani (penerapan analisis esoterik-intuitif),


makna hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks dapat
diketahui. Jika asmsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks
sebagai sebuah fenomena kebahasaan,sementara paradigma burhani lebih
melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, paradigma
irfani lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat (al-ramiyat wa
al-ima’) yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam
(bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan
kecerdsan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Dalam
konteks dialektik agama dan pluralitas seni tradisi atau budaya lokal,

Zeinul Arifin 7
pendekatan ‘irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani, memiliki dua
tugas penting. Pertama,membaca makna-makna terdalam dari simbol-
simbol dan isyarat-isyarat teks-keagamaan (nushush ad-ddiniyat). Kedua,
membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat
yng terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.

Ketiga pendekatan diatas, saling berkait erat antara satu dan yang
lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis):
memahami teks (bayani), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman
konteksnya (burhani); pemahaman konteks (burhani) tidakdapat erlepas
dari pemahaman teks itu sendiri (bayani); sementara pemahaman makna
terdalam (irfani); membutuhkan pemahaman teks dan konteks sekaligus.

C. Pendekatan Burhani
Secara etimologis, al-burhan dalam bahasa Arab, adalah
argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-bayyinat). Dalam inggris, al-
burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonsrate yang
berarti isyarat, sifat, keterangan, dan menampakkan.Al-Burhan dapat juga
diartikan sebagai pembuktian yang tegas (decisive proof) dan keterangan
yang jelas.

Dalam Al-Mu’jam Al-falsafi dijelaskan bahwa burhan adalah


penjelasan terhadap sesuatu hujjah secara transparan, atau merupakan
hujjah itu sendiri, yang mengharskan adanya tashdi (pembenaran) terhadap
suatu persoaan karena kebenaran argumentasinya. Adapun menurut terma
logika, burhan adalah analogi yang disususn dari beberapa premis untuk
mendapatkan hasil yang menyakinkan.

Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indra, percobaan


dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentasif
adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui
instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, smbolik, proses, dll.) dan
metode diskursif (bathiniyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun
teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang
dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah

Zeinul Arifin 8
(tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah), dan realitas budaya
(tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan realitas (konteks) berada
dalam satu daerah yang saling memengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia
selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya
sekaligus dari mana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Di dalamnya ada
maqulat (kategori-kategori), meliputi kully-juz’iy, jauhar-‘arad, ma’qulat-
alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.

Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber


kajian, dalam pendekatan ini, ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan
ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan,
dan rangkainnya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk
menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia.
Tujuannya adalah menjaga lafazh ad-dalalah yang difahami dan
menetapkan aturan-aturan mengenai lafazh tersebut. Adapun yang kedua
membahas maslah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat
menyampaikan segala sesuatu yang bersifat indrawi dan hubungan yang
tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk
mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.

Tujuannya adalah menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk


menentukan cara kerja akal cara mencapai kebenaran yang mungkin
diperoleh darinya . ‘Ilmu al-mantiq juga meruakan alat (manahij al-
adillah) yang menyampaikan kiya pada pengetahuan tentang maujud, baik
yang wajib atau mumkin, dan maujud fi-adhhan (rasionalisme) atau
maujud fi al-a’yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq
mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhat al-qadaya), dan
mantiq al-istidlal (mbhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern,ilmu
mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah
al-istidlal.

Dalam tradisi burhani, kita mengenal sebutan falsafat al-ula


(metafisika) dan falsafat al-tsani. Flsafat al-ula membahas hal-hal yang
berkaitan dengan wujud al-‘arady, wujud al-jawahir ula (jawahir ula atau

Zeinul Arifin 9
ashkas dan jawahir thaniyah atau al-naw), maddah dan surah, dan asbab
yang terjadi pada :
a) Maddah, surah, fa’il, dan ghayah;
b) Ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta);dan
c) Hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).

Adapun falsafat ath-thaniyah atau disebut juga ilmu al-


tabi’ah,mengkaji masalah:
a. Hukum-hukum yang berlau secara alami, pada alam semesta (as-
sunnah al-alamiyah) maupun manusia (as-sunnah al-insaniyah);
b. Taghayyur, yaitu gerak, baik azali (harakah qadimah) maupun gerak
maujud (harakah haditsah) yang bersifat plural (muttanawwi’ah).

Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad),
jumlah (berkembang atau berkurang ), perubahan (istihalah), dan tempat
(sebelum dan sesudah).

Dalam perkembangan keilmuan modern, fasafah al-ula(metafisika)


dimaknai sebagi pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan
mendalam (abstract and profound reasoning).Sementara itu, pembahasan
mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi
ilmu-ilmu sosial (al-‘ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji
interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan
sebagainya.

Oleh karena itu ,untuk memahami realitas kehidupan sosial-


keagamaan dan sosial-keislaman,lebih baik apabila digunakan pendekatan-
pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah),
kebudayaan (tsaqafiyyah), dan sejarah (tarikhiyyah).

Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran islam untuk


memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara
anggota masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial suatu perilaku
keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.Dengan metode ini
pula,kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.Pendekatan
antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan

Zeinul Arifin 10
dalam rangka melakukan reka cipta budaya islam.Tentu saja,untuk
melakukan reka cipta budaya islam juga dibutuhkan pendekatan
kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi
pemikiran,ajaran-ajaran,dan konsep-konsep,nilai-nilai dan pandangan
dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim.Agar
reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat,strategi
ini menghendaki kesinambungan historis.Untuk itu,dibutuhkan juga
pendekatan sejarah (tarikhiyyah).Hal ini agar konteks sejarah masa
lalu,kini,dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan
yang utuh (kontinuitas dan perubahan).Ini bermanfaat agar pembaharuan
pemikiran Islam tidak kehilangan jejak historis.Ada kesinambungan
historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya
pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burhani, keempat pendekatan-tarikhiyyah,
sosiulujiyyah, thaqafiyyyah dan antrufulujiyyah berada dalam posisi yang
saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan
keilmuan.

Zeinul Arifin 11
BAB Iii

PeNutup

A. Kesimpulan
Pendekatan Bayani sumbernya didasarkan dari teks yaitu Al.Qur’an dan
Hadits.Tujuan pendekatan bayani adalah:
1. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau
mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafazh.
Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan
makna zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Quran
khususnya.

Pendekatan Irfani bersumber dari pengalaman yaitu pengalaman-


pengalaman spiritual. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman
yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah,
dan instuisi. Metode yang dipergunakan , meliputimanhaj kashfi dan
manhaj iktishafi.

Pendekatan Burhani bersumber pada rasio,analisis dan akal. Pendekatan


sosiologis digunakan dalam pemikiran islam untuk memahami realitas
sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota
masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial suatu perilaku
keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.

Zeinul Arifin 12
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2011. Pengantar Studi Islam. Pustaka Setia: Bandung.

Rozak, Abdul. 2001. Metodologi Studi Islam. Gema Media pustakatama:


Bandung

Zeinul Arifin 13

Anda mungkin juga menyukai