Anda di halaman 1dari 10

LKM

“PENGANTAR STUDI ISLAM”

Disusun Oleh : Zeinul Arifin


Sihafudin

Dosen Pembimbing : Drs. Masfuk, M.Si

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


STAI MUHAMMADIYAH PROBOLINGGO
TAHUN 2020

Islam di China
A. Pendahuluan
Tidak sebagaimana muslim minoritas di berbagai negara lainnya, muslim
minoritas di negri Cina memiliki keunikan dan problematika tersendiri. Sampai
saat ini, umat muslim di Cina merepresentasikan suatu grup minoritas dengan
kondisi demografis yang berceceran di seluruh belahan negri Cina. Pada saat yang
sama, sebagian mereka juga merupakan komunitas urban yang turut menjadi
bagian integral dari seluruh aspek kehidupan di negara tirai bambu tersebut.
Terdapat sekitar 30 juta penduduk muslim yang tersebar di seluruh kawasan Cina 1
atau sekitar 3 % dari total penduduk Cina yang mencapai 1,3 miliar jiwa.
Islam di Cina merupakan suatu fenomena khas yang memiliki distingsi
tersendiri yang membedakan mereka dengan grup muslim minoritas lainnya.
Tidak hanya berbicara relasi mayoritas-minoritas, Islam di Cina juga harus
berhadapan dengan beberapa konvergensi. Berbeda dengan grup muslim
minoritas lainnya, muslim di Cina pada dasarnya terbagi ke dalam dua grup etnis
besar; Hui yang merupakan perwakilan penduduk Cina tulen (China Proper) yang
tersebar di beberapa kawasan urban di Cina dan Uyghur yang merupakan etnis
keturunan Turki lama (old Turkic) yang tersebar terutama di kawasan barat laut
Cina. Selain di kawasan Xinjiang, komunitas muslim Cina tidak berkonsentrasi di
suatu kawasan tertentu, mereka tersebar di seluruh belahan negara tersebut. Fakta
ini telah memunculkan suatu diversifikasi yang cukup besar bagi muslim di Cina.2
Dalam perjalanannya, Islam di Cina telah mengalami beberapa episode
sejarah yang cukup penting, termasuk konfrontasi dengan pemerintah Cina itu
sendiri pada masa komunis sampai perkembangan yang cukup membaik pada
periode Cina baru. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa episode
penting dalam perjalanan sejarah Islam di Cina sampai dengan perkembangan
terkini, arti penting Islam di Cina berikut makna relasionalnya dalam konteks
Islam Indonesia.
B. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Cina
Sepanjang perjalananya di negeri Cina, Islam memiliki banyak sebutan
nama dalam setiap periode historis tertentu. Pada masa dinasti Tang (618-907 M.),
Islam disebut dengan “Dashi Jiao,” (Agama Dashi), Dashi sendiri merupakan
sebuah sebutan bagi negara Arab, pada masa Dinasti Ming (1368-1644), Islam
1
Dari 55 etnis minoritas yang secara resmi dikenal oleh pemerintah Cina, 10 di antaranya
merupakan etnis yang mayoritas beragama Islam, yaitu Hui, Uyghur, Kazak, Dongxiang, Kirghiz,
Salar, Tajik, Uzbek, Bonan dan Tatar. Lihat Jacqueline Armijo, “Islam in China”, dalam John L.
Esposito, John O. Voll dan Osman Bakar (ed.), Asian Islam in 21st Century, (Oxford University
Press, 1998), hlm. 197

2
Raphael Israeli, “Islam in China” dalam Jurnal Politic and Religion, vol. 6, no. 2, tahun
2012
disebut dengan “Tianfang Jiao,” atau “Hui Hui Jiao,” masyarakat muslim yang
berasal dari berbagai etnis di China ketika itu dikenal dengan sebutan Hui Hui.
Pada masa akhir Dinasti Ming dan permulaan Dinasti Qing (1616-1911 M.), Islam
disebut dengan “Qingzhen Ziao,” (agama yang benar nan suci). Pada masa
republik (1912-1949), Islam dikenal dengan nama “Hui Jiao.” Pasca tahun 1949,
setalah Cina memasuki era baru (New China), pemerintah kemudian
mengeluarkan suatu kebijakan nomenklatur terkait penyebutan nama Islam.
Peraturan itu menyebutkan bahwa Islam merupakan nama bagi sebuah agama
resmi secara internasional. Dengan demikian, sejak itu Islam merupakan nama
yang resmi diakui oleh pemerintah Cina.
1. Fase Pertama: Kedatangan dan Periode Formatif
Permulaan masuknya agama Islam ke Cina masih diperdebatkan oleh
para ahli sejarah. Mereka masih berselisih pendapat terkait kapan pertama kali
Islam diperkenalkan di negeri tersebut. Salah satu teori yang paling populer
terkait hal ini adalah tesis yang dikemukakan oleh seorang sejarawan Cina
kontemporer, Chen Yuan, yang mengatakan bahwa Islam pertama kali datang
ke bumi Cina pada tahun kedua periode Yonghui (650-655 M.) di masa
Dinasti Tang (618-907 M.). Yuan mendasarkan argumentasinya kepada
3
beberapa data sejarah yang ditemuinya dalam manuskrip “Cefu Yuangui”
yang menyatakan bahwa pada tahun kedua periode Yonghui (651 M.) di masa
kekuasaan kaisar Gaozong dari Dinasti Yang, Penguasa Arab Ketiga, Utsman
bin ‘Affan telah mengutus delegasinya ke Chang’an yang ketika itu
merupakan ibu kota Dinasti Tang untuk memenuhi panggilan resmi kaisar
yang ingin mengatahui lebih dalam terkait sang Khalifah, budaya Arab, dan
agama Islam.4
Dinasti Tang yang berkuasa selama 148 tahun tercatat memiliki
banyak kontak dengan dunia Arab. Kontak tersebut terutama berkaitan dengan
urusan niaga dan militer. Tercatat sekitar 4000 pelaku bisnis yang bekerja di
Chang’an yang didomiasi oleh orang Arab dan Persia. Selain itu, kontak
militer antar keduanya juga sering terjadi. Semenjak masa Kaisar Gozaong
sampai masa Kaisar Dezong (798 M.) Kunjungan utusan Arab terhitung
sebanyak 37 kali. Selain itu, pada masa pertengahan Dinasti Tang, ketika
terjadi pemberontakan An dan Shi, pemerintah Tang juga diberitakan telah
meminta bantuan militer kepada imperium Arab. Para tentara Arab diizinkan

3
Cefu Yuangui merupakan salah satu ensiklopedia (leishu) Cina terbesar yang
dikompilasi pada masa Dinasti Song (960-1279 M.) dan merupakan seri terakhir dari empat buku
ensiklopedia terkenal dari Dinasti Song (Four Great Books of The Song).
4
Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in China, terj. Min Chang, (Beijing: China
Intercontinental Press, tth.), hlm. 1-2
untuk menetap di China setelah pemberontakan selesai.5 Dengan demikian,
Islam pada dasarnya telah diperkenalkan terutama di belahan barat laut Cina
oleh para pedagang, delegasi, dan para tentara yang berasal Arab dan Persia.
Sejak diperkenalkan pertama kali pada masa Dinasti Tang, Islam memulai
petualangannya di negeri tirai bambu.
Setelah Dinasti Tang runtuh pada tahun 907 M. dan digantikan oleh
Dinasti Song (960-1279 M.), Islam masih tetap memiliki peran pemerintahan
dan masyarakat Cina. Ketika itu, komunitas muslim di Cina terdiri dari para
pedagang, diplomat pemerintahan dan tentara yang berasal dari Arab, Persia
dan negara lainnya. Mereka hidup dalam suatu komunitas yang teratur dan
menjalankan praktek keberagamaan mereka dengan suatu cara yang unik.
Ketika itu, tujuan kedatangan mereka ke Cina lebih kepada kepentingan
berbisnis sehingga mereka tidak mendapat perlawanan dari pemerintah di sana
dan diizinkan untuk menikah dengan penduduk setempat.6 Selain itu,
hubungan militer keduanya juga semakin erat terutama ketika Kaisar
Shenzong dari Dinasti Song mengajak 5.300 tentara Arab muda di bawah
komandi Amir Sayyid So-fei-er dari Bukhara untuk ikut berperang
menaklukan Dinasti Liao pada tahun 1070 di daerah barat laut Cina.7
2. Fase Kedua: Awal Penyebaran Ekstensif
Persebaran agama Islam di Cina mulai terlihat ekstensif terutama pada
masa Dinsati Yuan (1206-1368 M.). Ketika Genghis Khan (1162-1227 M)
besterta anak dan cucunya melakukan ekspansi besar besaran, mereka berhasil
menaklukan Asia Tengah dan Cina. Dalam beberapa generasi, mereka berhasil
membuat suatu imperium terbesar dalam sejarah yang terbentang di seluruh
belahan Eurasia, termasuk mayoritas wilayah kekuasaan imperium Islam
ketika itu.
Ketika Kubilai Khan (1215-1294 M.), cucu Genghis Khan berperang
melawan Dinasti Song Selatan untuk me-reunifikasi Cina, banyak tentara
Arab, Persia dan Asia Tengah yang beragama Islam berpartisipasi di
dalamnya. Ketika perang berakhir, mereka memilih untuk tinggal di daerah
peperangan yang tersebar di beberapa wilayah, terutama di barat laut. Banyak
di antara mereka yang kemudian menikahi penduduk setempat. Di pihak lain,
puluhan ribuan orang Islam yang berdomisili di Asia Tengah dan Barta
terpaksa bermigrasi ke Cina dan kemudian direkrut oleh pemerintahan

5
Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in China, … hlm. 3

6
Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in China, … hlm. 4-5

7
Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm. 251
Mongol dalam berbagai sektor pemerintahan untuk mengembangkan
imperium.8 Salah satu panglima perang Kubilai Khan adalah seorang muslim
dari Bukhara yang bernama Sayyid-i Adjall yang juga menjabat sebagai
gubernur provinsi Yunnan di Cina Tenggara.9 Hal inilah yang kemudian
menjadikan penyebaran umat muslim di Cina menjadi lebih ekstensif. Banyak
orang Islam yang mendapat kepercayaan untuk menempati beberapa jabatan
di pemerintahan.10 Meski demikian, di level akar rumput, kaum muslim Cina
(dan seluruh penduduk Han/Cina Proper), sesungguhnya mengalami
penindasan. Pemerintah Yuan, misalnya, dikabarkan telah melarang beberapa
praktek keagamaan, seperti membatasi diri dengan makanan “halal” dan
praktik lainnya.
11
Setelah kekuasaan beralih kepada Dinasti Ming (1368-1644) yang
merupakan keturunan Han (China Proper), persebaran Islam juga semakin
meluas. Populasi umat Islam berkembang sangat pesat di Nanjing, ibukota
Dinasti Ming. Periode ini merupakan salah satu fase terpenting dala sejarah
Islam di Cina. Fokus utama Dinasti ini adalah merestorasi budaya Cina yang
sempat hancur di masa Yuan. Enam jendral Zhu Yuanchang merupakan orang
muslim. Pada masa inilah muncul Cheng Ho, seorang laksamana muslim yang
sangat terkenal dan merupakan seorang diplomat Dinasti Ming.
Pada masa ini umat muslim diberikan kebebasan dalam menjalankan
praktik agama masing masing sebagai warga sipil normal. Hanya saja ketika
itu, dalam rangka integrasi etnis minoritas, pemerintah memberlakukan
perkawinan paksa bagi etnis minoritas. Hal inilah yang kemudian mereduksi
status sosial Hui Hui secara etnikal. Hal ini mengingat persebaran populasi
mereka yang berceceran di beberapa wilayah.
Pada dinasti ini pula terjadi proses sinkretisasi baik dalam agama
maupun budaya. Beberapa kata dalam bahasa Arab dan Persia misalnya,
banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pertemuan kedua kultur Cina

8
Lihat Shoujiang dan You Jia, Islam in China, … hlm. 13-14, Jacqueline Armijo, “Islam
in China”, … hlm. 200

9
Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm. 254

10
Hal ini kemudian menjadikan umat muslim Cina menempati posisi kelas teratas kedua
dalam stratifikasi masyarakat Cina pada waktu itu.

11
Salah satu kontribusi utama umat Islam di Cina adalah dalam peralihan dari Dinasti
Yuan ke Ming. Pada tahun 1357-1366, dua jenderal umat Islam, Saif al-Din dan Amir al-Din
memimpin suatu pemberontakan melawan pemerintah Yuan. Na yang dikenal dengan
pemberontakan Ispah. Selain itu, Seorang jenderal muslim lainnya yang bernama Lan Yu
bergabung dengan Zhang Yuanchang dari etnis Han. Pemberontakan tersebut akhirnya bisa
mengalahkan pemerintahan Yuan dan menandakan berdirinya Dinasti Ming dengan Yuanchang
sebagai Kaisar pertamanya. Lihat Dru Gladney, Muslim Chinese: Ethnic Nationalism in The
People’s Republic, (Council on East Asian Studies, Harvard University, 1991), hlm. 234,
www.iranicaonline.org/articles/chinese-iranian-vii, diakses 12 Desember 2014.
dan Arab tersebut melahirkan makna baru bagi istilah Hui Hui yang
sebelumnya digunakan mengidentifikasi orang Cina yang memeluk Islam,
namun juga berarti etnis minoritas yang memiliki beberapa distingsi kultural
dengan Cina.12
3. Fase Ketiga: Periode Konfrontatif
Memasuki Dinasti Qing (1644-1912), umat muslim Cina menghadapi
suatu fase yang diisi dengan beberapa insiden pemberontakan dan konflik
berdarah. Insiden pertama terjadi pada tahun 1644, ketika Milayin dan
Guodong, seorang loyalis muslim Dinasti Ming dari Gansu yang beragama
menyerang Dinasti Qing yang berusaha merebut singgasana kekaisaran.
Selain itu, konfik sektarian juga terjadi di daerah Cina barat laut yang
melibatkan tiga sekte Islam, Gedimu, Khafiya dan Jahriya. Hal ini disebabkan
karena perbedaan pendapat yang terjadi antara umat Islam setempat dengan
faham baru yang dibawa oleh beberapa sarjana muslim yang belajar Islam di
luar Cina.13
Insiden besar lainnya adalah beberapa pemberontakan berdarah di
14
Yunnan yang disebabkan penindasan dari pihak Qing. Dua insiden yang
paling populer adalah pemberontakan Panthay (1855-1873) dan Dungan
(1862-1877). Pemerintah Qing akhirnya bisa meredamkan semua
pemberontak dan memerintahkan untuk mengeksekusi seluruh pemberontak
dengan membunuh jutaan orang. Pada tahun 1895, insiden berdarah juga
terjadi di Dungan yang melibatkan para loyalis muslim untuk pemerintah
Qing melawan kaum pemberontak muslim.
4. Fase Keempat: Islam di Masa Republik dan Komunis
Setelah revolusi 1911 terjadi, Islam memasuki suatu babak baru di
negara tirai bambu. Memasuki fase ini, mulai bermunculan wajah wajah Islam
yang baru yang mulai menggeliat dengan perkembangan dalam berbagai
sektor, terutama pendidikan. Selain itu, muslim Cina juga berperan aktif
dalam pergerakan kutural, reformasi agama dan pengembangan pendidikan.
Salah satu semangat baru yang melandasi setiap perkembangan tersebut
adalah nasionalisme, bahwa semuanya berada di atas satu prinsip dasar “
saving country, saving nation and saving Islam.”15

12
Lihat Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm. 255-256

13
Jacqueline Armijo, “Islam in China”,.. hlm. 201

14
Di Yunnan sempat berdiri sebuah daerah islam independen (Islamic State) yang dikenal
dengan Dali Sultanate. Asal usul pendirian “kekhalifahan” ini adalah kekecewaan terhadap
pemerintahan Qing yang tidak memperjuangkan hak hak mereka. Lihat Jacqueline Armijo, “Islam
in China”,.. hlm. 202
15
Shoujiang dan You Jia, Islam in China, … hlm. 120
Memasuki masa Komunis, Islam dikenal sebagai kaum minoritas
secara nasional oleh pemerintah. Sebagaimana pemeluk agama lainnya, pada
masa pengekangan ideologi (dekade 50-60), umat Islam juga mengalami
“penganiayaan” secara nasional. Beberapa mesjid dihancurkan dan orang
Islam dipaksa mengikuti pendidikan Marxis atas tuduhan anti-sosialis. Namun
semenjak pemerintahan Deng Xiaoping pada tahun 1979 dan keterbukaan
Cina kepada dunia internasional, perlahan beberapa kebijakan tersebut ditinjau
kembali dan dihilangkan. Banyak muslim Cina yang diizinkan menunaikan
ibadah haji, beberapa mesjid juga kembali dibangun di Ibu kota.16

C. Beberapa Aspek Religius Dalam Islam Cina


1. Fase Ideologis
Para ahli sejarah Cina, biasanya membagi periode Islam di Cina
berdasarkan orientasi ideologis ke dalam tiga fase:17
a) Fase adaptif yang berusaha menempatkan keberagamaan mereka di
tengah komunitas baru. Ketika itu komunitas muslim Cina awal yang
mayoritas menganut Syafi’iyah dan Hanafiyyah mencoba membangun
akulturasi seperti membangun mesjid tanpa menara.
b) Fase masuknya ideologi sufistik. Ketika ajaran sufi mulai masuk
pertama kali ke Cina pada abad ke-13, tertama ajaran naqsyabandi, ia
segera menjadi suatu basis dalam ajaran Islam Cina yang kemudian
melahirkan “mesjid-mesjid” baru.
c) Fase pembaruan (tajdid) yang digagas oleh seorang ulama Cina yang
bernama Mingxin yang mendirikan kelompok Xinjiao (Ajaran Baru)
pada abad ke-18. Ia mengajarkan beberapa ritual baru, misalnya
pembacaan zikir dan al-Qur’an dengan suara keras (jahr). Ideologi
tersebut menjadi trend di kalangan muslim Cina.
2. Sektarianisme
Muslim di Cina juga terpecah ke dalam beberapa sekte (jiaopai).
Dalam hal ini, sektarianisme yang banyak terjadi adalah dalam hal tarikat.
Beberapa pakar telah menyadari adanya sektarianisme tersebut. Broomhal
misalnya telah mengidentifikasi adanya kelompok yang ia sebut sebagai white
and black worn, D’Ollone juga pernah melakukan studi terkait kelompok
pemuja kuburan (tomb-worshipping cult) di Gansu dan Sichuan Utara.18

16
Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm. 261
17

Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm.


18
Raphael Israeli, “Islam in China” , … hlm.
Salah satu hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah
signifikansi dari kuburan (makam) dan seorang yang keramat (saint). Kedua
hal tersebut berdasarkan peneitian beberapa pakar memiliki suatu nilai yang
signifikan dan konstruksi keberagamaan Islam di Cina. Dru Gladney,
sebagaimana dinyatakan Azyumardi Azra menyatakan, pusat sosial-
keagamaan Muslim Cina selain masjid adalah kuburan pendahulu. Hal
terakhir ini terkait dengan tradisi budaya masyarakat Cina secara keseluruhan
yang sangat menghormati para leluhur.19
3. Relasi Dengan non-Muslim
Semenjak kedatangannya, umat muslim Cina merepresentasikan
sebuah komunitas yang mempraktekan toleransi antar umat beragama.
Seorang Jendral muslim, Ma Bufang, misalnya mengizinkan penganut
politheis untuk menjalankan ibadahnya dengan terbuka. Selain itu ia
mengizinkan para missionaris Kristen berpangkal di Qinghai. Beberapa
jenderal muslim juga biasa mengikuti upacara Kokonur Lake, yang di
dalamnya terdapat ritual penyembahan terhadap Tuhan dan danau tempat
acara diselenggarakan.20
4. Potret Terkini: Islamic Association of China
Islamic Association of China didirikan pada tanggal 11 Mei 1953 di
Beijing. Ia merepsentasikan bagaimana Islam telah menjadi suatu agama
minoritas yang diakui secara nasional di Cina. Ia juga merupakan representasi
dari nasionalitas 10 etnis minoritas di negara tersebut. Lembaga nasional ini
bertujuan untuk memfasilitasi penyebaran Al-Quran di Cina dan menekan laju
ekstrimisme agama. Lembaga tersebut berada di bawah kendali 16 ulama
terkemuka yang bertugas merumuskan beberapa fatwa resmi dan otoritatif.
Di antara kebijakan yang telah dikeluarkan adalah:
a. Kaum muslim Cina diizinkan untuk menunaikan ibadah haji
b. Kaum muslim Cina diizinkan untuk memiliki pemakaman terpisah
c. Pekerja muslim diperbolehkan berlibur pada hari raya
keagamaan.21
D. Arti Penting Islam di Cina dan Relevansinya Dengan Islam Indonesia
Salah satu perbedaan kontras antara Islam Cina dan Islam Indonesia
adalah dalam hal relasi mayoritas-minoritas. Jika di Indonesia muslim adalah
minoritas, maka di Cina adalah sebaliknya. Kedua negara sama sama kaya akan
etnis, budaya dan bahasa. Pengalaman muslim di Cina yang telah mengalami
19
www.republika.com

20
www.wikipedia.com

21
www.wikipedia.com
suatu pasang surut semenjak kedatangannya pada abad ke 7 M. merupakan
reperesentasi grup minoritas yang berusaha mencari posisinya di tengah dominasi
pribumi yang mayoritas.
Islam di Cina pada dasarnya merupakan suatu fenomena unik yang
citranya juga dipengaruhi oleh persepsi yang berasal dari dunia eksternal. Sebagai
grup minoritas, ia telah mengalami sebuah episode yang cukup kelam, terutama
pada fase konfrontatif masa Dinasti Qing di mana muslim Cina, atas alasan
represi pemerintah, berusaha membela dirinya dengan membuat suatu gerakan
separtis yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Dali Sultanate merupakan eksponen
kelompok tersebut. Meski ia dicap sebagai “teroris” di masa Dinasti Qing,
sejatinya mereka adalah pejuang kebebasan dan keadilan. Hal semacam inilah
yang juga harus diwaspadai Indonesia dalam menyikapi grup muinoritas.
Hal menarik yang dilakukan pemerintah Cina dalam kaitannya dengan
umat muslim adalah toleransi keberagamaan. Meski sempat memburuk terutama
pada masa Dinasti Qing, sejatinya pemerintah Cina bersikap terbuka dengan umat
Muslim. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penduduk muslim Cina yang
menghiasai daftar nama-nama pejabat di pemerintahan Cina dari Dinasti ke
Dinasti, sampai masa modern. Dalam hal ini, pemerintah Cina menekankan
profesionalitas daripada latar agama seseorang.
Meski demikian, di tenga h relasinya dengan pemerintah yag cukup
kooperatif, Islam Cina pada faktanya memiliki dua citra baik dan buruk sekaligus.
Di samping telah dibangunnya Islamic Asocoation in Cina, di negara tersebut juga
terbentuk sebuah organisasi teroris yang dikenal dengan ETIM (East Turkistan
Islamic Movement). Terlepas apakah ia terbentuk dengan latar internal negara atau
hanya sekedar perpanjangan dari kondisi geo-politik terutama di timur tengah,
organisasi tersebut merupakan bagian dari obyek Cina dalam dukungannya
terhadap “war against terror”-nya Bush yang dideklarasikan pasca 9/11. Dalam
hal ini, yang menjadi titik aksentuasi adalah ketika Islam lokal bersentuhan
dengan Islam global yang seringkali mendatangkan suatu ideologi “impor” yang
cenderung merusak ideologi genuin dari daerah tertentu.

Daftar Pustaka

Esposito, John, John O. Voll dan Osman Bakar (ed.). Asian Islam in 21st Century.
Oxford University Press. 1998
Israeli, Raphael. “Islam in China” dalam Jurnal Politic and Religion, vol. 6, no. 2,
tahun 2012

Shoujiang, Mi dan You Jia, Islam in China, terj. Min Chang. Beijing: China
Intercontinental Press. Tth.

Gladney, Dru. Muslim Chinese: Ethnic Nationalism in The People’s Republic.


Council on East Asian Studies: Harvard University. 1991

www.republika.com , diakses 10 Desember 2014

www.wikipedia.com, diakses 12 Desember 2014

www.iranicaonline.org, diakses 12 Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai