Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Islam di negeri Tirai Bambu(Cina).

Cina yang sebelumnya terkenal dengan nama RRC (Republik Rakyat China ) terletak
di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara tetangga Korea Utara,
Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan, Nepal, Pakistan dan negaranegara lainnya. Agama Islam telah tersebar di China selama lebih 1300 tahun.

Di China, terdapat 10 suku bangsa yang beragama Islam, termasuk etnik Huizu,
Uygur, Kazakh, Kirgiz, Tajik, Uzbek, Tatar dan lain-lainnya. Penduduk Islam tinggal di
merata tempat di seluruh China, terutamanya di bagian barat laut China, termasuk
provinsi Gansu, Qinghai, Shanxi, Wilayah Autonomi Xinjiang dan Wilayah Autonomi
Ningxia. Agama Islam sudah tidak asing bagi penduduk di negara ini. Ia telah
menjadi salah satu agama yang penting di China.

Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina.
Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para
sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke
Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah.
Mereka antara lain : Ruqayyah (anak perempuan Nabi), Ustman bin Affan (suami
Ruqayyah), Saad bin Abi Waqqas (paman Rasulullah SAW) dan sejumlah sahabat
lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha
Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke
tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina
pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Saad
Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M.
Setelah sampai di Cina, Saad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi
ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran. Ada pula yang menyebutkan, ajaran
Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M kurang lebih 20 tahun setelah
Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan
Saad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Saad
meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys
Mazars.
Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang
pada tahun 651 M. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng
atau masjid Memorial di Canton masjid pertama yang berdiri di daratan Cina.
Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi

kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal
masyarakat Tiongkok.

Pada zaman Dinasti Song, agama Islam dianggap lebih mulia oleh rakyat China,
agama Islam telah mulai berkembang di China dan kawasan kediaman penduduk
beragama Islam lebih luas. Banyak orang asing yang beragama Islam tinggal di
bandar Guangzhou di provinsi Guangdong dan bandar Quanzhou di provinsi Fujian
secara berkumpulan. Masjid pada zaman Dinasti Song yang masih ada sekarang
sudah tidak banyak, yang paling terkenal ialah masjid Qing Jing Si dibandar
Quanzhou.

Zaman Dinasti Yuan merupakan zaman yang paling penting bagi perkembangan
agama Islam di China, karena Agama Islam di China berkembang paling pesat dan
paling makmur pada zaman itu dan mempunyai kedudukan yang penting, arena
politik dan kehidupan masyarakat. Penduduk yang menganut agama Islam
bertambah pesat, dan warga Islam China banyak mengadakan perhubungan
dengan dunia Arab. Masjid di China pada zaman itu bertambah banyak. Selain
bercirikan seni Arab, reka bentuknya telah menerima seni China, karena banyak
menggunakan kayu yang diukir.

Pada zaman Dinasti Ming, perkembangan agama Islam di China telah menghadapi
rintangan, maharaja pertama Dinasti Ming memandang rendah terhadap agama
Islam. Baginda mengeluarkan perintah untuk melarang rakyat menyembelih lembu
secara tersendiri dan beberapa dasar yang mendiskriminasi umat Islam, termasuk
orang Islam tidak boleh menjadi pegawai kerajaan dan lain-lainnya. Ini telah
mencetuskan kemarahan umat Islam di China dan penduduk Islam mengadakan
pemberontakan di ibu kota negara.

Masjid dan Perkembangan Islam di Cina

Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti agama yang
murni. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha
Ma-hia-wu (Nabi Muhammad SAW). Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak
di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali
memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian
bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai
industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal
pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah
mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu
sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan
serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban,
kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina
ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan
`Middle Kingdom julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina,
para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya
samudera. Mereka `angkat layar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk
Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka
dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di
pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou
merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak
orang Arab yang menetap di Cina.

Kebudayaan Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan China,


umat Islam di China pernah memberi sumbangan yang besar terhadap
perkembangan sains dan teknologi China. Kalender yang dicipta oleh umat Islam
pernah digunakan di China dalam waktu yang panjang. Alat pandu arah angkasa
yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada Dinasti
Yuan sangat populer di China. Ilmu matematik yang dikembangkan dari Arab telah
diterima oleh orang China. Ilmu perobatan Arab juga menjadi sebagian daripada
ilmu perobatan China. Umat Islam juga terkenal dengan pembuatan meriam di
China, Dinasti Yuan menggunakan sejenis meriam yang dikenali sebagai meriam
etnik Huizu yang diciptakan oleh orang Islam China. Meriam itu tidak menggunakan
bahan letupan, tetapi menggunakan batu sebagai peluru, dan meriam itu sangat
populer di China pada zaman itu. Selain itu, orang Islam juga terkenal dengan
teknik pembinaan dan menenun.

Untuk menunjukkan kekaguman dan penghormatannya terhadap Islam, kaisar


lantas mendirikan masjid pertama di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque)
sampai saat ini masih berdiri tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah
saksi bisu perkembangan Islam di negeri tirai bambu itu. Setelah itu, hubungan
Islam dan Cina berkembang pesat hingga muncul perkampungan Muslim. Yang
pertama dibangun adalah Cheng Aan.

Pada tahun ke 133 Hijriah terjadi pertempuran besar yang menentukan sejarah
Islam di Asia Tengah. Pasukan Muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa
korbannya, Cina mengalami kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali ini.
Setelah kemenangan itu, Muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia
Tengah. Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.

Pada tahun 138 Hijrah, Jenderal Lieu Chen melakukan pemberontakan melawan
Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas pemberontakan itu kaisar memohon
pertolongan Khalifah Al Mansur dari dinasti Abbasiyah. Al Mansur menyanggupi
dengan mengirim 4 ribu tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat kaisar bisa
menghadapi para pemberontak.

Itulah mula pertama hingga tentara Turki mulai hadir di Cina. Mereka menetap dan
lantas menikahi perempuan Cina. Saat ini ulama Cina berkembang baik dalam
bidang ilmu agama maupun filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit yang ikut
mewarnai filsafat Confusius. Namun belakangan umat Islam menghadapi banyak
masalah. Kehidupan yang sangat keras dialami saat dinasti Manchu berkuasa
(1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras di mana terjadi lima kali
perang yakni Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan dan Shansi. Muslim
mengalami kekalahan dalam pertempuran kali ini. Korban yang jatuh tak terhitung
dan mengakibatkan menyusutnya jumlah Muslim hingga sepertiganya saja.

Setelah kekalahan menyakitkan itu jumlah Muslim kembali berkembang.


Diperkirakan ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori tapi juga
praktik. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram dan sempat
memimpin peradaban di Cina. Umat Islam punya babak baru pada masa Mao Tse
Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan khusus dengan umat
Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat Islam Cina mendukungnya
penuh. Bahkan sebagian Musilm ikut bergabung dalam tentara Merahnya meski
sebagian menyembunyikan agama asli.

Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan untuk melakukan shalat, upacara ritual
dan budaya serta sosial sendiri. Sebagai perbandingan terhadap etnis minoritas
lainnya, mereka juga diberi kebebasan terutama menjalin hubungan dengan muslim
lain di dunia. Belakangan memang pemerintah Cina memberi perlakuan khusus bagi
mereka. Caranya dengan memberikan otonomi atau provinsi khusus buat mereka.
Pemerintah Cina memberi hak khusus kepada etnik minoritas. Sebagai bukti, di luar
dari 22 provinsi ada lima daerah otonomi penuh yang didasarkan pada pengakuan
atas hak warga minoritas bukan saja Muslim tapi juga etnik lain.

Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ningxia


Huizu, Uygurs di Xinjiang Uygurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus
Mongol. Wilayah khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris seperti
Hongkong yang telah dikembalikan secara resmi.

Kental Dengan Muatan Lokal

Islam di Cina kental dengan muatan lokal. Kondisinya mirip dengan di Indonesia
terutama wilayah Jawa. Desain masjid atau rumah-rumah hunian Muslim Cina
mengambil budaya setempat. Warna merah, kuning dan bahkan kepercayaan
terhadap unsur yin dan yang juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih
menghormati dan bahkan meyakini kepercayaan leluhur.

Arsitektur masjid misalnya. Kubahnya dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat
tabir tipis dari plastik sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang pintu
yang menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika langsung
menghadap depan akan ada tirai yang menghalangi. Sebuah perbedaan yang bisa
disaksikan secara kasat mata adalah bahwa Muslim tinggal berkelompok. Ini
memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya di perkampungan Muslim kita
bisa mendapatkan daging dan makanan halal lain. Di tempat lain makanan halal
sulit ditemukan. Buku-buku agamapun ditulis dalam bahasa Han. Hadis, fikih, ahlak
dan sejarah diterbitkan dalam bahasa lokal.

Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse dan Chang Chung (1500-1700 Masehi) adalah tokoh
yang berjasa menerjemahkan teks Arab dan Parsi kedalam bahasa lokal. Bahkan di
antara buku-buku tersebut ada yang ajarannya bercampur dengan pengajaran
filsafat Confusius. Penerjemahan Alquran pertama dilakukan pada abad 19. Ma Pu
Shu mencoba menerjemahkan lima juz saja. Meski belum lengkap, apa yang ia
kerjakan sangat berjasa bagi Muslim lokal. Abad 20 adalah masa sukses bagi umat
Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan langkah Ma Pu Shu. Bukan saja
Alquran, penerjemahan juga dilakukan terhadap teks agama lain seperti hadis
Arbain an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai dan Yang Shi Chian yang berjasa
melakukannya.

Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial lainnya adalah keuntungan yang diperoleh dari
ulama Islam Cina. Telaah yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa Dinasti
Ming dan Chend sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat Islam tapi
juga pemikiran filsafat Cina.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria
Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona
penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang
Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka
dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias So-Fei Er. Dia bergelar `bapak komunitas
Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di
Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan
kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han.Bangsa Mongol
menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan
keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode
Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender.
Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan,
Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di
lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal
Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan
Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana
Cheng Ho seorang pelaut Muslim andal.

Masa Surut Islam di Daratan Cina

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan
dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina
pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti
tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu
hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti
Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan
masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai
kegiatan Keislaman.Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang.
Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing
juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Taktik adu domba pun diterapkan penguasa
untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol.
Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif
Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari
1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina.
Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah
Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam
kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma. Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk
ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya
kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai
dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina. (Erni/berbagai
sumber).

Sumber Islamic Center

http://blog.its.ac.id/syafii

Negara pertama yang mengalami pertumbuhan penduduk Muslim terpesat adalah


Republik Rakyat China (RRC). Menurut data sensus lima tahun lalu, penduduk
Muslim di China sudah menembus 50 juta jiwa, tiga kali lipat dibanding sensus
tahun 2000.

Warga etnis Uighur, Hui, dan Kazakh, merupakan mayoritas penduduk Islam di
China. Namun sayang, kebebasan beragama di China tak berbanding lurus dengan
perkembangan penduduk Muslim di sana. Setiap tahunnya, warga etnis Uighur di
Provinsi Xinjiang mengalami penindasan rutin dari pemerintah pusat Beijing.

Anda mungkin juga menyukai