Disusun oleh :
Muhammad Daud Ibrahim (221105071343)
Rafid Haidar Mahdi (221105071339)
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul " Kaidah Fiqhiyah ".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Syarifah Gustiawati,
M.E.I selaku dosen mata pelajaran Ushul Figh yang telah memberikan kepercyaan kepada kami
untuk menyusunan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca. Sekali lagi terima kasih. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting
peranan Qawaid Fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah
persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu Qawaid Fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh
yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah
fiqh tersebut. Melalui Qawaid Fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan
peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh
dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu
ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara
kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam.
Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi
persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia
dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi
kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
"القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
“Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i
yang banyak".1
العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد ويحتاج
فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-
dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan".2
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang
dimaksud dengan Qawaid Fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Tajjudin as-Subki:
االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
1
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (iskandariyah muassasah tsaqofah al- Jamiiyah
.1983). hal.4
2
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975). hal. 25
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".3
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat
umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’
yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup
kaidah tersebut.4
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah
dengan Qawaid Fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum.
Sementara Qawaid Fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum
yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang
bersifat umum, sedangkan qawaidul fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang
bersifat umum. Perbedaan al-Qawaid Fiqhiyah dan kaidah Ushul Fiqh secara lebih rinci
dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:5
3
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976). hlm. 11
4
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Amzah : Jakarta) hal. 13
5
Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih. (Semarang: Dina Utama.1994) hlm. 45
bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian Qawaid Fiqhiyah selalu
menyangkut perbuatan mukallaf.
d. Qawaid Ushuliyah ada sebelum ada Furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah
digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (Furu’). Sedangkan Qawaid Fiqhiyah muncul
dan ada setelah ada Furu’ (fiqh). Sebab, Qawaid Fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah
masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
e. Dari satu sisi Qawaid Fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah.
Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya,
keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara
perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi
tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan Qawaid
Fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang
berada di bawah cakupannya semata.
C. Kaidah-kaidah Pokok
Sebagian ulama telah mengembalikan segala kaidah kepada lima kaidah yang mereka
pandang sebagai dasar dan sendi bagi segala hukum fiqih. Lima kaidah tersebut semula
dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqih yang ada. Sebab
segala permasalahan-permasalahan Furu’iyah dapat diselesaikan dengan kaidah pokok
yang lima tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar
hukum tafsili.6
6
Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 37
Al-Qadli Abu Sa’id mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah mengembalikan seluruh
ajaran Imam Syafi’i kepada empat kaidah. Dan ini didukung oleh Shahib al-Majami yang
mengembalikan segala kaidah itu kepada empat saja, yakni:
c. الضرريزال
d. العادةمحكمة
e. األموربمقاصدها
a. Dasar-dasar pengambilan
َ اب الدُّ ْنيَا نُؤْ تِ ٖه ِم ْن َه ۚا َو َم ْن ي ُِّر ْد ث َ َو
اب َ ّٰللاِ ِك ٰتبًا ُّم َؤ اج ًل ۗ َو َم ْن ي ُِّر ْد ث َ َو
َو َما َكانَ ِلنَ ْف ٍس ا َ ْن ت َ ُم ْوتَ ا اَِّل بِ ِا ْذ ِن ه
سنَجْ ِزى ال ه
َش ِك ِريْن ْٰ
َ اَّل ِخ َرةِ نُؤْ تِ ٖه ِم ْن َها ۗ َو
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia,
niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ( Q.S Ali Imran 3:145)
الز ٰكوة َ َو ٰذلِكَ ِدي ُْن ْالقَ ِيّ َم ۗ ِة
ص ٰلوة َ َويُؤْ تُوا ا
صيْنَ لَهُ ال ِدّيْنَ ەۙ ُحنَفَ ۤا َء َويُ ِق ْي ُموا ال ا َو َما ٓ ا ُ ِم ُر ْٓوا ا اَِّل ِليَ ْعبُدُوا ه
ِ ّٰللاَ ُم ْخ ِل
7
Imam Musbakin, Qawaid al-Fiqhiyyah, opcit., hlm. 38
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”( Q.S Al-Bayyinah 98:5)
اعب ِِد ا ّللَ ُ م ْ ِخل ًصا ل ْ ِال َ اب ب ِكتَ ْ َ يْك ال
ُ ْف ِ ّ َل ِ ْنَا إ َنزَ ل إ ِ هُ الدّ َ ين ِناا أ ا َح
َ ق
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
Hadits Nabi Saw:
وان [ًِ ماالمرى انّمااألعمال بنّيّات مانوى]اخرجه البخارى
ّ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhori dari Umar bin Khatthab)
2. Kaidah kedua: اليقين اليزال بالش ّك
“Hadits Abi Said Al-Khudri berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “jika
salah seorang dari kamu ragu dalam shalatnya maka buanglah keragu-raguan dan
8
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, ( Jakarta: Bulan Bintang) ,1976.
condongkan kepada kepastian, apabila telah yakin shalatnya sempurna maka segeralah
melakukan sujud (sahwi) dua kali, maka jika shalatnya sempurna rakaat yang diulangnya
tadi dan dua kali sujud yang dilakukaknnya terhitung sebagai sunnah, akan tetapi jika
rakaat shalatnya kurang maka rakaat yang belum dilakukannya terhitung sempurna
shalatnya, dan dua kali sujud yang dilakukannya tadi untuk menjauhkan dari godaan
setan”
Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari
syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah
segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan
pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang
mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam
keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia berhadats, maka yang
diunggulkan adalah dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang
menyebutkan dia sudah berhadats.
a. Dasar-dasar pengambilan
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”(
QS. Al-Hajj ayat 78)
ً ّٰللاُ ن َۡف
سا ا اَِّل ُو ۡس َع َها ف ه ُ ََّّل يُ َك ِل
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”( QS. Al-
Baqarah ayat ayat 286)
“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah)
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”. (HR. Bukhori dari Anas)
a. Dasar-dasar pengambilan
“Tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain dan tak boleh membalas kemudharatan
dengan kemudharatan di dalam Islam.” (HR. Malik, Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)
a. Dasar-dasar pengambilan
“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang
yang bodoh.”[45]
Menurut As-Suyuthi seperti dikutip Syaikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf pada
ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud
di sini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap
lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al-‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka
sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks
dakwah yang telah dilakukan Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras
dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.9
“Barang siapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain
jalan orang-orang Mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka jahanam. Dan
jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisa’:115)
Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam bahasa
Indonesia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil al-mukmin di sini dapat
diejawantahkan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam
pandangan kaum muslimin, serta sudah menjadi langganan budaya sehari-hari mereka
Hadits Nabi Saw :
“Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Makkah, sedangkan
ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah” (HR: Abu Dawud).
Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli Makkah, karena
kebiasaan penduduk Makkah adalah pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas (isi) yang
digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk Madinah, karena kebanyakan
9
A.Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
mereka bergerak dibidang pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka
ukuran tersebut yang dipakai pada zaman nabi.
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah”. (HR.
Ahmad dari Abi Mas’ud)
Para Imam Madzhab dalam mengistinbathkan suatu hokum memiliki pola pikir
tertentu yang dapat dijadikan aturan pokok, sehingga hasil istinbath-nya dapat dievaluasi
secara objektif oleh para pengikutnya. Kaidah-kaidah dasar merupakan acuan dalam
beristinbath. Dengan demikian pada dataran epistemology, kaidah fiqhiyyah berfungsi
sebagai alat untuk mengetahui dan menelusuri pola dan kerangka berpikir para imam
dalam beristinbath, sekaligus dapat diketahui titik relevansi antara ijtihad yang satu dengan
yang lain. Akhirnya dapat diketahui metode yang digunakan oleh para imam madzhab
dalam beristinbath hokum.
Pertama, pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan
mujtahid dalam mengistinbathkan hokum yang bersesuaian dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia, karena dengan adanya kaidah tersebut, para mujtahid dapat
menggolongkan masalah serupa dalam lingkup suatu kaidah.
Kedua, dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat mengistinbathkan
hokum-hukum syara dengan baik dan benar, orang tidak akan dapat menetapkan hokum
dengan baik apabila tidak mengetahui kaidah fiqih.
Ketiga, qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk membina hokum Islam. Hal ini
ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang menyatakan bahwa qawaid al-
fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh Islam dalam membina hokum, mewujudkan ide-
ide yang tinggi, baik mengenai hak keadilan persamaan, maupun dalam
memelihara maslahat, menolak mafsadat serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Keempat, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau mengekang
furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’ itu dalam satu kandungan
umum yang lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah adalah himpunan hokum-
hukum syara yang serupa atau sejenis, lantaran adanya titik persamaan atau adanya
ketetapan fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut.10
10
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, h 125-127
Bab 3
Kesimpulan
Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah
mempuyai beberapa arti.
Ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan Qawaid Fiqhiyah. Qawaid
ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara Qawaid Fiqhiyah merupakan
kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah
membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaidul fiqhiyyah
membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Sebagian ulama telah mengembalikan segala kaidah kepada lima kaidah yang mereka
pandang sebagai dasar dan sendi bagi segala hukum fiqih. Lima kaidah tersebut semula
dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqih yang ada.
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-ahkam, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al
Ilmiyah)
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Prespektif Fiqqih, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2004)
Anwar, Syahrul, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010