Penerbit:
BILDUNG
Jl. Raya Pleret KM 2
Banguntapan Bantul Yogyakarta 55791
Telpn: +6281227475754 (HP/WA)
Email: bildungpustakautama@gmail.com
Website: www.penerbitbildung.com
Anggota IKAPI
v
Kontranarasi Melawan Kaum Khilafers
vi
KATA PENGANTAR
vii
viii
ix
xi
xii
Keempat, akan seru bila ada film yang dibuat dari data
sejarah semisal kitab Tarikh Al Khulafa,Tarikh Tabari, Al
Bidayah wan Nihayah, Al Kamil fi al-Tarikh, Al Muntazam fi
Tarikh Al Muluk wal Umam dan kitab tarikh lainnya seperti
yang dirujuk oleh Prof Nadirsyah Hosen dalam Islam Yes,
Khilafah, No? Apa gunanya? sebagai penyeimbang dan
penjelas bahwa pada masa khilafah Umayyah, Abbasiyyah
dan dinasti lain ada jejak perilaku pemimpin yang baik, adil,
terdidik tapi juga ada pemimpin yang urakan, peminum
berat, sadis, raja tega dan kepemimpinannya diperebutkan
dengan pertumpahan darah, serta pelanjutnya adalah anak
turunnya, jadi yang bukan nasabnya tidak bisa menjadi
khalifah. Itulah khilafah era dahulu yang mewujud dalam
sejarah. []
Lalu saya juga baca status milik Doni Riw yang isinya,
walaupun filmnya diblokir, tapi berhasil berkelit dalam tiga
kali pemblokiran dan itu menurutnya adalah kemenangan
perang gerilya cyber yang bahkan medan pertempurannya
adalah milik kapitalis sendiri (kata Kang Rozan mantan
aktivis Hizbut Tahrir, maling biasanya lebih pintar). Lalu
si Doni mengatakan, film itu sekaligus menjadi tanda
kekalahan peradaban sekuler yang sebentar lagi akan
menjadi nyata.
Dua hal akan saya tanggapi tentang jejak dan
demokratis. Pertama, masalah jejak khilafah yang ingin
dikoarkan sampai berbusa-busa hingga perut lapar dan
hampir pingsan itu andaikan benar ada jejak, tapi hal itu
bukan dalil perintah wajib agar NKRI diubah menjadi
khilafah. Bahkan dalam kitab mutabannat (kitab otoritatif
milik HT, yang bila dalam BM: Bahtsul Masail NU disebut
dengan kutub mu'tabarah) dijelaskan bahwa dalam fiqih,
tarikh atau sejarah tidak boleh dijadikan sumber hukum
(lihat kitab Nizam al-Islam karya Taqiyuddin An-Nabhani).
Kedua, nampaknya logika demokrasi HT adalah
demokrasi liberal ala Barat dan sejenisnya dimana
kebebasan total terjadi. Saya sudah kritik nalar saklek HT
yang dipakai HT saat memahami demokrasi (baca artikel
saya di Jurnal Islamica Pasca UINSA DOI: https://doi.
org/10.15642/islamica.2013.8.1.28-58 ).
Demokrasi di Indonesia tentu beda dengan Barat.
Perbedaan inilah yang menjadi ciri khas sebagai negara
yang punya agama dan budaya adiluhung. Agama dan
budaya adiluhung inilah yang menghasilkan kesepakatan
bernegara yang disebut NKRI. Tentu kalau sudah
10
11
12
13
14
liqo-muharram-mubalighoh-1442-h-tak-bisa-ditolak-
islamnya-nusantara-karena-ada-peran-khilafah/).
Kalau kita jujur, klaim berupa keislaman kita karena
adanya khilafah seperti acara yang diadakan emak-emak
khilafers di atas adalah klaim sepihak dan tidak adil. Karena
memang masuknya Islam di Indonesia ada beragam
penjelasan.
Buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto menjelaskan
hal itu. Atau buku Peran Dakwah Habaib/Alawiyin di Nusantara
yang di antara kontributornya adalah Habib Luthfi Yahya,
Azyumardi Azra, Engseng Ho, Frode F. Jacobsen dan lain-
lain, di mana dalam buku tersebut dipaparkan ada lebih 20
penelitian tentang sejarah diaspora “Habaib Hadramaut” di
nusantara seperti karya Aboe Bakar Atjeh, Edward Alpers,
A Gwyn Campbell and Michael Salman, Kazuhiro Arai,
Naquib Al Attas, Azyumardi Azra, Van Den Berg, Michael
Feener, Ulrike Freitag, Michael Gilsenan, Alwi jin Thahir Al
Haddad, Engseng Ho, dan lain-lain.
Choirul Anam dalam karyanya KH. Abdul Wahab
Chasbullah Hidup dan Perjuangannya mengatakan, “Untuk
mengetahui sejak kapan Islam masuk dan menguasai
nusantara Indonesia? Jawabannya hingga kini masih
beberapa versi. Para sejarawan merasa resah jika ditanya:
Kapan Islam masuk ke Nusantara Indonesia? Siapa yang
membawa, wirausahawan (pedagang) atau guru-guru sufi.
Dari mana asal mereka, dan daerah mana yang pertama
kali menerima ajaran Islam? Problem kapan masuknya
Islam ke Indonesia sangat sulit dipastikan oleh karena
Indonesia sangat luas, dan letak geografis Nusantara berada
di persimpangan jalan laut niaga antara Arab, India dan
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
KISAH INI saya tulis atas izin Sang Suami dengan harapan
bisa dijadikan pelajaran. Siang itu pada 19 November 2019,
setelah melihat perbaikan jalan di depan rumah, saya
mendapat WA dari seseorang (sebut saja Sang Suami) yang
berasal dari Jatim bagian timur.
Sang Suami menulis, "Assalamu'alaikum.. mohon
maaf Gus.. izin konsultasi lewat WA. Begini Gus, istri saya
ikut HTI. Saat ini sedang mengajukan cerai gugat karena
saya tidak bisa diajak dan tidak memberi izin ikut kegiatan-
kegiatan HTI-nya"..
Tentu saya kaget, Sang Suami ini adalah teman di FB.
Hal yang membuat trenyuh adalah putra-putrinya hampir
berjumlah semua jari yang ada di dua tangan, kanan dan
kiri. Memang kelompok seperti khilafers dan sejenisnya
seakan berlomba dalam kuantitas anak dengan alasan
penyambung mata rantai dakwah.
Sang Suami alhamdulillah bisa lepas dari "jeratan" HTI.
Sedang istrinya belum bisa lepas karena cintanya kepada
HTI yang masih kuat.
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
istirja'. Belum lagi kalau ada mobil atau truk yang ditulisi
kalimat tauhid akan disebut mobil tauhid atau truk tauhid.
Bid'ahkah? Kalau meminjam logika penstempel
bid'ah (Wahabi), mereka seharusnya menyebut bid'ah.
Bagi mereka, kalau bid'ah tidak ada yang hasanah. Bid'ah
ya sesat alias dhalalah. Namun nampaknya untuk kasus
"bendera tauhid", penstempel bid'ah, atau malah sehaluan.
Apakah saya benci dengan kain yang ditulisi kalimat
mulia? Tentu tidak. Ingat ya sebagian kiai dan para
pendekar di NU adalah pelestari tradisi yang di antara
tradisi tersebut adalah menulis jimat atau rajah. Rajah atau
jimat itu ada yang dibuat dari kain, kertas, kulit dan lain-
lain. Adapun tulisannya juga macam-macam, ada ayat suci,
kalimat mulia huruf arab dan lain-lain. Namun tendensi
kita menggunakannya bukan untuk mensyirikkan Allah.
Juga bukan simbol memberontak terhadap NKRI.
Dalam kesimpulan dari penelitian saya, kalau di NKRI
ada pengibar kain putih atau kain hitam yang ditulisi
kalimat tauhid dengan khat tertentu, maka dia adalah
khilafers. Pemerintah seharusnya melarang pengibaran
bendera itu, karena motifnya adalah politik. Di Saudi
bendera bertuliskan kalimat tauhid juga dianggap
musuh pemerintah (https://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-46121835). []
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
Pendekatan Dialogis
Pembubaran yang dilakukan pemerintah Indonesia
terhadap HTI adalah langkah yang tepat dari sisi
hukum. Hanya saja bagi pemerintah tidak boleh berhenti
di 'stasiun' pembubaran ini. Kalau di Timur Tengah dan
Asia Tengah saat organisasi Hizbut Tahrir dilarang,
maka para pentolan aktivisnya ditangkap, dipenjara,
bahkan diekskusi. Hizbut Tahrir sendiri mengakui banyak
aktivisnya yang dipenjara dan dibunuh seperti dijelaskan
dalam situs, majalah dan buku mereka, semisal buku resmi
Hizbut Tahrir yang berjudul Al-Ta'rif (2010). Pemerintah
Indonesia yang moderat tentu tidak melakukan hal
tersebut, juga tidak membuat peraturan untuk menangkap,
memenjarakan dan mengekskusi aktivisnya, karena bukan
diktator. Walaupun pembela hukum HTI di pengadilan
menulis buku Perjuangan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia
melawan Rezim Diktator Konstitusional (2018). Sudah dapat
dipastikan bila Hizbut Tahrir mempunyai khilafah, maka
penentangnya akan bernasib tragis.
Karena aktivis khilafers masih bebas di seluruh
Indonesia walaupun mereka menentang sistem politik yang
diterapkan di Indonesia, maka penting melakukan strategi
lain sebagai pendekatan. Pendekatan penting kepada
khilafers dari generasi milenial adalah anjuran agar mereka
mau berkontemplasi dan melakukan refleksi terhadap
sepak terjangnya selama ini. Semisal dengan mengalkulasi
apakah tujuan utama penegakan khilafah telah tercapai?
Apa dampak dari upaya penegakan khilafah saat ini? Lihat
di Suriah, Libya, Mesir, dan Indonesia.
200
201
202
203
204
205
206
207
208
SAAT INI terjadi apa yang saya sebut dengan era tebar jala
gagasan di "lautan" media sosial (medsos). Artinya, gagasan
disebar lewat medsos bagai jala yang ditebar ke tengah
lautan. Potensi mendapatkan tangkapannya pasti lebih
banyak walau tidak semua ikan di laut masuk perangkap
jala. Generasi milenial potensial terperangkap ke dalam jala
gagasan, apa pun itu gagasannya.
Era tebar jala gagasan adalah lahan subur untuk
menyemai dan menumbuhkembangkan radikalisme.
Pengemban panji radikalisme menyadari hal tersebut
sehingga terlibat ikut "kontestasi” di dunia maya. Dengan
demikian, tidak aneh bila pada tahun 2019 ini ditemukan
fenomena baru, atau bidah dalam radikalisme, yakni ikrar
kesetiaan atau baiat kelompok radikal yang dilakukan
melalui online.
Radikalisme di Era Disruptif
Kenyataan radikalisme yang mengatasnamakan agama
adalah berbahaya sudah dimaklumi. Potensi bahayanya
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267