Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

223
12 Jumada al-Ula 1443 H
17 Desember 2021 M

MODERASI AGAMA:
DARI PLURALISME HINGGA
NATAL BERSAMA

I
su moderasi agama makin menguat. Kemenag di bawah
Yaqut adalah di antara pihak yang paling gencar mengkam-
panyekan moderasi agama akhir-akhir ini. Isu ini terus
diangkat sebagai isu yang seolah penting. Tentu sejalan de-
ngan isu radikalisme yang juga terus-menerus diciptakan dan
digembar-gemborkan. Padahal jelas, isu radikalisme tak jelas
juntrungannya. Apa dan siapa yang disebut kelompok radikal,
masih samar. Yang tidak samar, isu radikalisme hanyalah ke-
lanjutan dari isu terorisme yang sudah usang dan sudah tidak
laku.
Sebagaimana isu terorisme, isu radikalisme selalu menyasar
kalangan Muslim. Terutama tentu mereka yang berpegang
teguh pada agamanya, yang selalu berusaha terikat dengan

01
syariahnya, bahkan yang menginginkan penerapan syariah
Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Lalu pada
saat yang sama, diangkatlah moderasi agama sebagai antite-
sisnya.

Motif Politik
Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham
keagamaan yang moderat. Moderat sering dilawankan de-
ngan radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi
cenderung merupakan istilah politis. Kedua istilah ini memiliki
maksud dan tujuan politik tertentu. Sebabnya, moderat ada-
lah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat. Sesuai
dengan nilai-nilai Barat yang notabene sekuler (memisahkan
agama dari kehidupan). Sebaliknya, radikal adalah paham kea-
gamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Is-
lam yang anti Barat. Mereka adalah pihak yang menolak keras
sekularisme. Mereka inilah yang menghendaki penerapan sya-
riah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejak peledakan Gedung WTC 11 September 2001, AS telah
memanfaatkan isu terorisme sebagai bagian dari skenario
globalnya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim. Untuk
itu, para peneliti kemudian menganjurkan beberapa pilihan
langkah bagi AS. Salah satunya adalah mempromosikan jari-

02
ngan ”Islam moderat” untuk melawan gagasan-gagasan “Is-
lam radikal”.
Lebih dari itu, dalam Dokumen RAND Corporation 2006
bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks" disebutkan
bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai keti-
ka ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas pen-
duduk di tempat tinggal mereka. Salah satunya dengan labeli-
sasi “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis”, dll.
Mantan Presiden AS George W Bush pernah menyebut
ideologi Islam sebagai “ideologi para ekstremis”. Bahkan oleh
mantan PM Inggris Tony Blair, ideologi Islam dijuluki sebagai
“ideologi setan”. Hal itu ia nyatakan di dalam pidatonya pada
Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris (2005).
Blair lalu menjelaskan ciri-ciri “ideologi setan” yaitu: (1) Meno-
lak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariah
adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim harus menjadi
satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi
nilai-nilai liberal dari Barat.
Inilah yang dianggap sebagai paham keagamaan kelompok-
kelompok radikal. Jika demikian, sikap keagamaan moderat
adalah yang sebaliknya, yakni: (1) Menerima legitimasi Israel;
(2) Memiliki pemikiran bahwa syariah bukanlah dasar hukum
Islam; (3) Kaum Muslim tidak harus menjadi satu-kesatuan

03
dalam naungan Khalifah; (4) Mengadopsi nilai-nilai liberal dari
Barat.

Pluralisme Agama dan Natal Bersama


Di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah
keterbukaan terhadap pluralisme. Pluralisme adalah paham
yang cenderung menyamakan semua agama. Semua agama
dianggap benar oleh para pengusung pluralisme. Sebabnya,
kata mereka, semua agama sama-sama bersumber dari “mata
air” yang sama. Sama-sama berasal dari Tuhan.
Karena itu tidak aneh jika kaum pluralis rajin mempromo-
sikan toleransi beragama yang sering kebablasan. Wujudnya
antara lain seperti: ucapan Selamat Natal kepada kaum Nasra-
ni, Perayaan Natal Bersama, doa bersama lintas agama, shala-
watan di gereja, dll. Semua itu tentu telah melanggar batas-
batas akidah seorang Muslim. Telah mencampuradukkan yang
haq dengan yang batil. Semua itu bisa membuat seorang
Muslim murtad (keluar) dari Islam.

Waspada!
Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya
untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan
dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut aga-
ma lain. Beliau antara lain bersabda:

04
ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﻻَ ﺗَـ ُﻘﻮم اﻟ ﱠﺴﺎﻋﺔُ ﺣ ﱠﱴ ﺗَﺄْﺧ َﺬ أُﱠﻣ ِﱵ ﺑِﺄ‬
ً ‫ ﺷْﺒـًﺮا ﺑِﺸ ٍْﱪ َوذ َر‬،‫َﺧﺬ اﻟ ُﻘ ُﺮون ﻗَـْﺒـﻠَ َﻬﺎ‬
‫اﻋﺎ‬ ْ ُ َ َ ُ
‫ﱠﺎس إِﱠﻻ‬ ِ ِ ِ ‫ ﻳﺎ رﺳ َ ﱠ‬: ‫ ﻓَِﻘﻴﻞ‬،‫ﺑِ ِﺬر ٍاع‬
ُ ‫ َوَﻣ ِﻦ اﻟﻨ‬: ‫س َواﻟﱡﺮوم؟ ﻓَـ َﻘ َﺎل‬ َ ‫ َﻛ َﻔﺎر‬،‫ﻮل اﻟﻠﻪ‬ َُ َ َ َ
‫ﻚ؟‬ ِ
َ ‫!أُوﻟَﺌ‬
“Hari Kiamat tak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-
generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah seperti Persia
dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia mana lagi selain
mereka itu?” (HR al-Bukhari No. 7319).

Beliau pun bersabda:


‫ َﺣ ﱠﱴ ﻟَ ْﻮ َد َﺧﻠُﻮا‬،‫اﻋﺎ ﺑِ ِﺬ َر ٍاع‬ ِ ِ ِ
ً ‫ ﺷْﺒـًﺮا ﺷْﺒـًﺮا َوذ َر‬،‫ﻟَﺘَْﺘﺒَـﻌُ ﱠﻦ َﺳﻨَ َﻦ َﻣ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻜ ْﻢ‬
ِ َ ‫ ﻳﺎ رﺳ‬: ‫ ﻗُـ ْﻠﻨَﺎ‬، ‫ﺐ ﺗَﺒِﻌﺘُﻤﻮﻫﻢ‬
‫ﱠﺼ َﺎرى؟ ﻗَ َﺎل‬ ُ ‫ اﻟﻴَـ ُﻬ‬،‫ﻮل اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ﻮد َواﻟﻨ‬ َُ َ ُْ ُ ْ ‫ﺿ ﱟ‬ َ ‫ﺟ ْﺤَﺮ‬: ُ
‫!ﻓَ َﻤ ْﻦ؟‬
“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum
kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan
andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti
mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasra-
nikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mere-
ka?” (HR al-Bukhari No. 7320).

05
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fath al-
Bari, menerangkan bahwa Hadis No. 7319 berkaitan dengan
ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam
masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat. Adapun
Hadis No. 7320 berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam
karena mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.
Dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian
Muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan
Selamat Natal kepada kaum Nasrani, bahkan kebolehan me-
ngikuti Perayaan Natal Bersama. Padahal jelas, segala bentuk
ucapan selamat dan apalagi mengikuti perayaan hari-hari be-
sar orang kafir adalah haram.
Dasarnya antara lain: Pertama, firman Allah SWT yang
menyatakan salah satu sifat hamba-Nya (‘Ibâd ar-Rahmân):
‫ﻳﻦ َﻻ ﻳَ ْﺸ َﻬ ُﺪو َن اﻟﱡﺰ َور‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫َواﻟﺬ‬
…dan mereka tidak menyaksikan kepalsuan… (QS al-Furqan
[25]: 72).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi (w. 671 H)


menyatakan, “Maknanya adalah tidak menghadiri dan
menyaksikan setiap kebohongan dan kebatilan. Az-Zûr adalah
setiap kebatilan yang dihiasi dan dipalsukan. Zûr yang paling

06
besar adalah berlaku syirik dan mengagungkan berhala. Ini ada-
lah penafsiran Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas ra.
Dalam pandangan Islam, Peringatan Natal adalah
kebatilan/kebohongan. Alasannya, Peringatan Natal adalah
peringatan atas kelahiran Nabi Isa as. sebagai salah satu
oknum Tuhan. Jelas, majelis yang di dalamnya ada pengakuan
bahwa Isa as. adalah anak Tuhan adalah majelis yang batil.
Kedua, Rasulullah saw. bersabda:
‫إِ ﱠن ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ﻗَـ ْﻮٍم ِﻋْﻴ ًﺪا َوَﻫ َﺬا ِﻋْﻴ ُﺪﻧَﺎ‬
Sungguh setiap kaum mempunyai hari raya dan ini (Idul Adha
dan Idul Fitri) adalah hari raya kita (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari sini dapat dipahami bahwa setiap umat mempunyai


hari raya sendiri-sendiri, Karena itu umat Islam tidak perlu ikut-
ikutan merayakan hari raya umat yang lain.
Selain itu Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. pernah
berkata:
‫إِ ْﺟﺘَﻨِﺒُـ ْﻮا أ َْﻋ َﺪاءَ اﷲِ ِ ْﰲ ِﻋْﻴ ِﺪ ِﻫ ْﻢ‬
Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah (kaum kafir) pada hari
raya mereka (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).

Karena itu Imam Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafii (w. 911 H)


berkata:

07
‫ﲔ َﻣ ْﻦ ﻳُ َﺸﺎ ِرﻛِ ِﻬ ْﻢ‬ ِِ ِ ‫ﻒ اﻟ ﱠﺴﺎﺑِِﻘ‬
ِ َ‫و ْاﻋﻠَﻢ أَﻧﱠﻪُ َﱂ ﻳ ُﻜﻦ َﻋﻠَﻰ َﻋ ْﻬ ِﺪ اﻟ ﱠﺴﻠ‬
َ ْ ‫ﲔ ﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬
َْ ْ َْ ْ َ
ِ ٍ
َ ‫ِﰲ َﺷ ْﻲء ِﻣ ْﻦ َذﻟ‬
‫ﻚ‬
Ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa
generasi salaf dari kaum Muslim yang ikut serta dalam hal apa
pun dari perayaan mereka (Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah,
hlm. 125).

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah—ulama mazhab Hanbali—


juga berkata:
‫ﺎق ِﻣﺜْ َﻞ أَ ْن‬ ِ ‫ﺼ ِﺔ ﺑِِﻪ ﻓَﺤﺮام ﺑِ ِﺎﻻﺗﱢـ َﻔ‬
ٌ ََ ‫َوأَﱠﻣﺎ اﻟﺘـ ْﱠﻬﻨِﺌَﺔُ ﺑِ َﺸ َﻌﺎﺋِِﺮ اﻟْ ُﻜ ْﻔ ِﺮ اﻟْ ُﻤ ْﺨﺘَ ﱠ‬
‫ أ َْو ﺗَـ ْﻬﻨَﺄُ ِﻬﺑَ َﺬا‬،‫ﻚ‬ ِِ
َ ‫ ِﻋﻴ ٌﺪ ُﻣﺒَ َﺎرٌك َﻋﻠَْﻴ‬: ‫ﻮل‬َ ‫ ﻓَـﻴَـ ُﻘ‬،‫ﺻ ْﻮِﻣ ِﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﻳـُ َﻬﻨﱢﺌَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺄ َْﻋﻴَﺎدﻫ ْﻢ َو‬
‫ َوُﻫ َﻮ‬،‫ﺎت‬ ِ ‫ ﻓَـﻬ َﺬا إِ ْن ﺳﻠِﻢ ﻗَﺎﺋِﻠُﻪ ِﻣﻦ اﻟْ ُﻜ ْﻔ ِﺮ ﻓَـﻬﻮ ِﻣﻦ اﻟْﻤﺤﱠﺮﻣ‬،‫ وَْﳓﻮﻩ‬،‫ﻴﺪ‬ ِِ
َ َ ُ َ َُ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ‫اﻟْﻌ‬
‫ﻴﺐ‬ِ ِ‫ﺼﻠ‬ ‫ﻮدﻩِ ﻟِﻠ ﱠ‬ ِ ‫ِﲟَْﻨ ِﺰﻟَِﺔ أَ ْن ﻳـﻬﻨﱢﺌﻪ ﺑِﺴﺠ‬
ُ ُ َُ َُ
Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran
yang khusus bagi kaum kafir adalah sesuatu yang diharamkan
berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Contohnya ada-
lah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, “Semoga hari ini adalah hari yang berkah
bagimu.” Bisa juga dengan ucapan selamat pada hari besar
mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengu-
capkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, dia tidak akan lolos

08
dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti
ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat
atas sujud yang mereka lakukan pada salib.” (Ibnul Qayyim al-
Jauziyah, Kitab Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, 1/441).

Dari semua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa kaum


Muslim dilarang ikut dalam Perayaan Natal, apalagi yang
dilakukan di dalam gereja, termasuk sekadar mengucapkan
Selamat Natal kepada kaum Nasrani. Karena itu fatwa MUI
tanggal 7 Maret 1981, yang mengharamkan umat Islam
merayakan Hari Natal sudah tepat. WalLâhu a’lam bi ash-
shawâb. []

HIKMAH:

Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii (w. 974 H) berkata:

‫ﱠﺸﺒﱡ ِﻪ‬ ِِ ِِ ِ
َ ‫ﱠﺼ َﺎرى ِ ْﰲ أ َْﻋﻴَﺎدﻫ ْﻢ ﺑِﺎﻟﺘ‬ َ ‫ﲔ اﻟﻨ‬َ ‫َوﻣ ْﻦ أَﻗْـﺒَ ِﺢ اﻟْﺒِ َﺪ ِع ُﻣ َﻮاﻓَـ َﻘﺔُ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬
‫ﻮل َﻫ ِﺪﻳﱠﺘِ ِﻬ ْﻢ ﻓِْﻴ ِﻪ‬
ِ ‫ﺑِﺄَ ْﻛﻠِ ِﻬﻢ وا ْﳍ ِﺪﻳﱠِﺔ َﳍﻢ وﻗَـﺒ‬
ُ َ ُْ َ َ ْ
Di antara bid’ah yang paling buruk adalah kaum Muslim mengikuti
kaum Nasrani dalam hari raya-hari raya mereka, meniru-niru mereka
dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka
dan menerima hadiah dari mereka.”
(Al-Fatawâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, 9/357). []

09

Anda mungkin juga menyukai