I)
Filed under: Aqidah by D&H — Tinggalkan komentar
3 November 2010
Belakangan ini muncul beberapa ajaran dan aliran sesat di tengah masyarakat dan komunitas
islam. Dan tak henti-hentinya kita mendengar adanya komuniti ajaran sesat di dalam berita,
akhbar, siaran, majalah dan media masa lainnya, yang tentunya ajaran tersebut sangat
meresahkan dan membimbangkan serta mengganggu proses kehidupan agama.
Bukan saja di negara-negara Asean seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, bahkan ajaran sesat
ini banyak dijumpai di negara-negara Arab, sehingga timbul beberapa pertanyaan apakah
ajaran-ajaran yang muncul saat ini merupakan kontinuitas daripada ajaran-ajaran sesat yang
sudah ada sebelumnya, atau merupakan ajaran baru yang tiada hubungan dengan ajaran-
ajaran sesat dalam aliran teologi islam. Inilah yang melatar belakangi penulisan artikel ini,
dengan tujuan untuk mengkaji dan melacak sejarah ajaran-ajaran sesat yang tercatat dalam
kitab-kitab klasik.
Sebelum menguraikan ajaran-ajaran sesat dalam teologi Islam, ada baiknya kalau dipaparkan
faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ajaran-ajaran sesat. Sejauh penilaian penulis ada
beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya ajaran-ajaran sesat, di antaranya:
Bodoh tentang agama ()اَ ْل َج ْه ُل بِال ِّديْن. Perkara ini terjadi disebabkan karena beberapa hal, seperti,
ketidak inginan seseorang mepelajari hakikat syari’at Islam dan aqidah Islam. Adakalanya
belajar agama tapi tidak tamat, dalam artian setengah-tengah atau tanggung-tanggung,
sehingga terjadi kesamaran dan tidak jelas dihadapannya yang hak dari yang batil, maka ia
menganggap yang hak adalah batil dan yang batil adalah hak.
ْ sebagaimana yang terjadi
ِ َ)ال ِخالَفُ ال ِّسي
Konflik politik dan Politisasi Agama (َاس ُي َوتَ ْسيِيْسُ ال ِّد ْين
dalam sejarah penubuhan sekte-sekte teologi Islam).
Unsur kesengajaan ( ْ)اَلتَّ ْخ ِريْب, alias mempunyai niat jahat untuk menghancurkan sendi-sendi
agama sehingga melakukan ”sabotase”. Usaha semacam ini identik dengan usaha yang
dilakukan oleh kalangan sekuler dan liberal, melalui berbagai propaganda, seperti
menamakan diri sebagai gerakan: rasionalis (al-‘Aqlaniyah), pencerahan (at-Tanwir),
kebangkitan (an-Nahdhah), dan terminologi-terminologi lain yang mungkin dapat membuat
sebagian orang merasa tertarik dan terpengaruh. Sebab slogan-slogan tersebut mengandung
semangat kemoderenan (sprit of the times). Namun pada hakikatnya adalah “Tazwir ad-Din
wa al-Afkar” (Mengaburkan agama, baik yang berkaitan dengan syari’at ataupun aqidah).
Atau sekurang-kurangnya dengan bahasa yang lebih halus ”Reformasi Wacana keIslaman”,
yang di dunia arab dikenal dengan istilah: ”Tajdid al-Din atau al-Khitab al-Islami”. Ada juga
istilah yang baru-baru ini muncul, yaitu: ”Tathwir ad-Din” (Mengembangkan agama), yang
kesemuanya ditopang dengan konsep barat yang dikenal dengan: ”Hermeneutika”. Pada
23/01/2010-eramuslim.com. penulis telah menulis sebuah artikel dengan judul ”Konsep
Ta’wil Bathiniyah & Pengaruhnya Terhadap Hermeneutika (Liberal)”,
Keliru dalam memahami konsep agama atau metode istinbat ( )خَ طَأ ُ ْالفَه ِْم َع ِن ال ِّدي ْْن, seperti
kurangnya pengetahuain tentang kaedah-kaedah dalam berbagai disiplin ilmu Islam, ilmu
ushul fiqh, ilmu tafsir dan ilmu hadits. Sebagaimana yang terjadi dalam syi’ah Isma’iliyah
dan Syi’ah Imamiyah, mereka tidak membedakan ayat muhkamat ataupun ayat mutasyabihat,
oleh karena itu seluruh ayat al-Qur’an bagi mereka dapat dita’wilkan sesuai pemahaman dan
tuntunan mazhab mereka.[1]
Berlebih-lebihan atau menganggap remeh ajaran agama (ُ )اَ ِإل ْف َراطُ َوالتَّ ْف ِر ْيطatau dengan kata lain:
ekstrim dan radikal, sehingga menimbulkan sifat ta’assub (merasa paling benar). Sifat ini
telah digambarkan oleh Qur’an dalam beberapa firman Allah Swt:
( َوا بَلْ نَتَّبِ ُع َما أَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَاءنَا أَ َولَوْ َكانَ آبَا ُؤهُ ْم الَ يَ ْعقِلُونَ َشيْئا ً َوالَ يَ ْهتَ ُدون
ْ ُ)وإِ َذا قِي َل لَهُ ُم اتَّبِعُوا َما أَنزَ َل هّللا ُ قَال
َ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka
menjawab: “(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”. (al-Baqarah:170).
Pada ayat lain Allah menegur Ahlu Kitab atas perbuatan ekstrim yang dilakukan oleh
mereka:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (an-Nisa:171).
Imam at-Thabari dalam tafsir ”Majma’ al-Bayan”, menyebutkan bahwa ayat di atas ditujukan
kepada kaum Yahudi dan Nasrani, di mana Allah swt mengecam berbagai ideologi mereka,
Nasrani mengatakan bahwa Isa as adalah anak Allah, sebagian mengatakan bahwa Isa adalah
Tuhan dan terlebih lagi dengan konsep Triniti yang dicipta sendiri oleh mereka. Begitu
halnya dengan Yahudi yang melekatkan sifat-sifat bagi Allah, namun tidak layak bagi-Nya,
seperti anggapan bahwa Allah hanyalah sekedar zat yang fakir, tangan Allah terbelenggu dan
sebagainya.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah saw melarang umatnya bersikap ekstrim terhadap dirinya:
(ُ َع ْب َد هللاِ َو َرسُوْ لَه: فَقُوْ لُوْ ا،ُ فَإِنَّ َما أَنَا َع ْب ُده،صا َرى ا ْبنَ َمرْ يَم ْ )والَ ت
ِ َطرُوْ نِي َك َما أَطَ َر
َ َّت الن َ
“Janganlah kamu sekalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana umat Nasrani memuji
Isa, sebab saya hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah bahwa saya ini hamba Allah
dan utusan-Nya”. (Riwayat Bukhari).
Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kesesatan berpikir dan bid’ah-bid’ah yang
ditimbulkan oleh golongan Khawarij bukanlah karena mengingkari agama atau menolak
kebenaran agama, tetapi karena kebodohan dan kesesatan dalam memahami makna-makna
al-Qur’an. Di tempat lain Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa: ”Penyebab terjadinya kesesatan
pada sebagian kalangan pengamal tasawwuf adalah karena keyakinan mereka yang
mendalam dan berlebihan (ekstrim) terhadap para nabi dan para ulama shaleh
(Waliyullah)”[2] .
(ًق َونَسْرا َ )وقَالُوا اَل تَ َذر َُّن آلِهَتَ ُك ْم َواَل تَ َذر َُّن َو ّداً َواَل ُس َواعا ً َواَل يَ ُغ
َ وث َويَعُو َ -23:نوح-.
Perkara ta’assub (fanatisme) ini sebenarnya sudah dinafikan oleh para ulama. Imam Abu
Hanifah berkata: ”tidak sah bagi seseorang mengikuti pendapat kami selama ia tidak
mengetahui dari mana sumbernya” [3]. Dengan nada yang sama pendiri mazhab Maliki, yaitu
imam Malik dengan tegas menyatakan: ”Saya hanyalah manusia biasa, pandangan saya boleh
salah dan betul, oleh karena itu teliti terlebih dahulu pandangan saya, kalau pandangan saya
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka silahkan ambil, namun kalau ternyata tidak sesuai
maka silahkan tinggalkan pandangan tersebut” .
Sedangkan pernyataan imam Syafi’i dalam hal ini: ”segala masalah yang memiliki sandaran
dari Rasulullah Saw, namun bertentangan dengan pandanganku, maka saya akan tarik
kembali pandangan tersebut, baik ketika saya masih hidup atau sesudah aku mati” [5].
Tidak ketinggalan imam Ahmad bin Hanbal menyikapi segala bentuk ta’assub mazhab dan
menyerukan untuk kembali kepada sandaran pendapat bagi masing-masing mazhab. Beliau
berkata: ”jangan engkau mengikuti pandanganku, begitupun pandangan Malik, Syafi’i,
Auza’i dan at-Thauri, tapi ambillah pandangan mereka dari sumber aslinya” [5]
Ini sebahagian dari faktor dan motif timbulnya ajaran sesat, dan merupakan sentral kesesatan
yang beredar dan berkembang dari zaman klasik sehingga zaman sekarang (kontemporari).
Oleh karena itu penulis tidak menafikan adanya faktor lain selain 5 point yang telah
disebutkan di atas.
Ajaran adalah sebuah aqidah dan ideologi, atau sering disebut dan dinamai sebagai
kepercayaan. Dari segi etimologi ”Aqidah” berasal dari perkataan arab: “َ” َعقَد, yang artinya
mengikat, ikatan dan simpul, diartikan juga sebagai kontrak, transaksi dan perjanjian”.
Disebutkan dalam kamus ”Syawarifiyyah” perkataan ’Aqada’ disinonimkan dengan: ”َ” َع ِهد
dan ”7]7[. ”ََوثَق
Oleh karena itu Aqidah diartikan sebagai “Ikatan yang erat kokoh dan pegangan yang kuat”.
Dikatakan demikian, karena aqidah tidak menerima hal-hal yang menimbulkan keragu-
raguan.
Dalam agama Islam, aqidah berbentuk keyakinan, dan bukan berbentuk amalan (Practical)
atau perbuatan. Seperti seseorang berkeyakinan tentang eksistensi (keberadaan) Allah swt,
dan keyakinan tentang diutusnya seorang Nabi dan Rasul. Bentuk plural daripada Aqidah
adalah (Aqaa`id) [8].
Adapun dari segi terminologi, aqidah bermakna: “Perkara-perkara yang dibenarkan dan
diakui sepenuhnya oleh hati manusia, dan merasa tenang dengan keyakinan tersebut, oleh
karena itu tidak timbul sama sekali keraguan dalam hatinya”. Dengan demikian, Aqidah itu
adalah suatu ajaran yang diyakini oleh seseorang dengan penuh keyakinan, sama halnya
keyakinan itu baik ataupun buruk.
Aqidah Islam adalah keimanan dan kepercayaan yang penuh dan mantap terhadap Allah swt,
para Malaikat, Kitab-Kitab, para rasul,hHari kiamat, qadha dan qadar (takdir ilahi), percaya
sepenuh hati terhadap kejadian-kejadian di alam ghaib serta pokok-pokok ajaran agama, dan
tunduk terhadap perintah dan segala keputusan yang ditetapkan oleh Allah, juga mengikuti
ajaran agama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam bahasa arab, terdapat beberapa penamaan tentang ajaran-ajaran sesat, diantaranya:
“al-’Aqaa`id az-Zaighah”, “al-‘Aqaa`id ad-Dhaalah” dan ”al-’Aqaa`id al-Munharifah”. Dan
istilah terakhir ini yang banyak digunakan oleh ulama, dan kesemuanya bermaksudkan ajaran
sesat, yaitu segala ajaran atau amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam, namun pada
hakikat dan intinya berlawanan dan tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.
Dan istilah “ad-Dhalaalah atau ad-Dhaalah” sendiri sering digunakan oleh Ibnu Hazam dalam
kitabnya “al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal” [9], terutama ketika mengkritisi
pandangan-pandangan Syi’ah dan Mu’tazilah.
Sementara para ulama nusantara, memberikan pengertian yang sama tentang ajaran sesat
sebagai ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau orang-orang bukan
Islam yang mendakwa bahwa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam, atau
berdasarkan kepada ajaran Islam; sedangkan pada hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa
itu bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah, serta
bertentangan dengan ajaran ahli Sunnah Wal Jamaah” [10].
Perlu diungkapkan di sini bahwa ajaran sesat sebenarnya sangat erat dengan masalah bid’ah,
sebab bid’ah itu sendiri memiliki makna dan haluan kepada kesesatan. Dan definisi bid’ah
adalah sebagi berikut:
Bid’ah menurut etimologi, berasal dari kata “bada’a” yang berarti menciptakan, Abda’tu
Assyai’: menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan kata “Abda’a, Ibtada’a dan Tabadda’a”
berarti mendatangkan sesuatu yang baru. Dan kata Badi’ adalah bermakna hal-hal baru yang
aneh [11]. Sesuatu yang baru tidak selamanya berarti baru secara mutlak, karena bisa jadi dia
adalah hasil dari pembaharuan dan pengembangan apa-apa yang telah ada sebelumnya yang
ditampilkan dalam bentuk dan gaya atau style yang baru.
Dari segi terminologi, para ulama berselisih faham tentang konsep Bid’ah, yaitu:
Pertama:
Imam Nawawi memperluas pemahaman bid’ah. Menurutnya, bid’ah adalah segala sesuatu
yang belum dan tidak pernah wujud serta terjadi pada zaman Nabi saw. Dan dia berpendapat
bahwa bid’ah terbagi kepada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah [12]. Pengertian
dan pembagian ini telah disuarakan sebelumnya oleh salah seorang ulama mazhab Syafi’i,
yaitu imam Izzuddin bin Abdul as-Salam. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum
dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw adalah Bid’ah.
Dan menurut pendapatnya bid’ah itu terbagi kepada lima bagian, yaitu: Bid’ah Wajibah
(Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah Makruhah (Makruh), Bid’ah Mandubah
(Sunnah) dan Bid’ah Mubahah (boleh). Dan untuk mengetahuinya, maka bid’ah tersebut
haruslah diukur berdasarkan Syari’at. Apabila bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu
yang diwajibkan oleh syari’at berarti bid’ah itu wajib, apabila termasuk ke dalam perbuatan
yang diharamkan berarti haram, dan seterusnya [13] .
Dalam kitab Manaqib Assyafi’i, menurut riwayat Baihaqi, Imam Syafi’i berkata: “Segala hal
baru (bid’ah) ada dua macam, pertama: bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah,
atsar dan ijma’ inilah bid’ah Dhalaalah (sesat). Kedua: Apa-apa yang baru (bid’ah) yang baik
yang tidak bertentangan dengan al-Quran maupun as-Sunnah, atsar dan Ijma’, maka hal itu
tidak tercela.
Dalam nada yang sama Ibnu Atsir mengatakan: “Bid’ah itu terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dhalalah. Jika bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka
bid’ah itu termasuk golongan sesat dan tercela, namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang
telah dianjurkan oleh agama maka bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang terpuji. Bahkan
menurut beliau, bid’ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah”[14] .
Kedua:
Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali dalam penjelasannya tentang pengertian bid’ah adalah: hal-
hal yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam dalil syari’at. Adapun jika bid’ah itu sesuai
dengan syara’ berarti ia tidak digolongkan sebagai Bid’ah meskipun secara etimologi
bermaknakan bid’ah [15]. Pengertian ini menunjukkan artian yang sempit terhadap bid’ah,
sebab baginya, bid’ah adalah perihal baru yang tercela saja, maka dari itu tidak ada
penamaan-penamaan bid’ah (hasanah, sayyi`ah, wajib, makruh dll) seperti pengertian di atas.
Jadi yang dikategorikan sebagai bid’ah adalah perkara yang haram saja.
Pada hakikatnya, kedua pandangan di atas tidak kontradiktif antara satu dengan yang lainnya.
Sebab tujuannya sama, yaitu bahwa bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada landasan
dalam syari’at. Dan yang membedakan hanyalah bagaimana cara untuk membuat gambaran
bahwa bid’ah yang tercela adalah perbuatan atau amalan yang tidak berdasarkan kepada
syari’at, dan tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama [16].
Di samping itu, perkara yang dilakukan mendatangkan mudharat dalam kehidupan agama.
Itulah yang dimaksud dengan hadis Rasulullah saw. “Kullu Bid’atin Dhalaalah”, atau semua
bid’ah sesat. Jadi kesimpulannya, tidak semua bid’ah itu dilarang atau diharamkan, yang
dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan agama .
Adapun argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ulama yang membagi bid’ah kepada
hasanah dan sayyi`ah, adalah sebagi berikut:
( َو َم ْن َس َّن فِي،َم ْن َس َّن فِي ا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً َكانَ لَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه الَ يُ ْنقَصُ َذلِكَ ِم ْن أُجُوْ ِر ِه ْم َش ْيئًا
ِ َ)ا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه الَ يُ ْنقَصُ َذلِكَ ِم ْن أَوْ ز
ار ِه ْم َش ْيئًا
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik dalam Islam, maka ia sendiri akan
mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang yang melakukan kebaikan itu setelahnya,
tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka. Begitu juga, barang siapa yang membuat perkara
buruk, maka ia sendiri akan memperoleh balasannya serta balasan orang yang melakukan
keburukan itu setelahnya, tanpa sama sekali dikurangi dosa-dosa orang-orang tersebut”.
(Riwayat Muslimim).
( َو َم ْن َس َّن ُسنَّةً َسيِّئَةً فَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا إِلَى،َم ْن َس َّن ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهُ َو أَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا إِلَى يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة
)يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang yang melakukan perkara baik itu sampai hari kiamat, dan barang siapa
membuat perkara buruk, maka ia akan mendapatkan balasannya dan balasan orang yang
melakukan perkara buruk itu sampai hari kiamat”. (Riwayat Muslim)
Masih banyak lagi hadits yang senada dan seirama dengan hadits-hadits yang telah
dipaparkan diatas, dan kesemuanya menunjukkan tentang adanya pembagian bid’ah kepada
hasanah dan sayyi`ah.
2) Ibnu Umar menamakan shalat Dhuha secara berjamaah di mesjid dengan nama Bid’ah,
padahal hal itu merupakan perbuatan yang terpuji. Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata:
saya dan ‘Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di
kamar Aisyah ra., sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara
berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau
menjawab “Bid’ah”.
3) Perkataan Umar ra. tentang shalat tarawih secara berjamaah di mesjid pada bulan
ramadhan:” “ نِ ْع َمةُ ْالبِ ْد َع ِة هَ ِذ ِه, diriwayatkan dari Abdurahman bin Abdu al-Qari, ia berkata: Suatu
malam pada bulan ramadhan, saya keluar bersama Umar bin al-Khattab ra. ke mesjid di mana
orang-orang terpecah dan terbagi-bagi dalam melaksanakan shalat tarawih sendiri-sendiri,
Umar ra. berkata:”saya melihat jika orang-orang tersebut dikumpulkan dibelakang seorang
imam pastilah sangat indah”. Maka beliaupun menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk melakukan
shalat tarawih secara berjamaah. Pada malam yang lain ketika saya keluar kembali bersama
Umar ra., orang-orang telah shalat tarawih secara berjamaah di mesjid, maka umar ra. pun
berkata:”Ni’mat al-bid’ati hazihi”.
Oleh karena itu, Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, seperti Izzuddin bin Abdu Assalam
dari mazhab Syafi’i, an-Nawawi dan abu Syamah dari mazhab Maliki, al-Qarafi dan az-
Zarqani dari mazhab Hanafi, Ibnu Abidin dari mazhab Hambali, Ibn Al Jauzi serta Ibnu
Hazam dari mazhab ad-Dzahiriah, kesemuanya sependapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi
dua bahagian, yaitu : bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran sesat terkait erat dengan “bid’ah” dalam
agama Islam. Dan memiliki tiga kriteria, yaitu: membuat hal baru, menciptakan permasalahan
dalam agama, dan bertentangan dengan syari’at Islam.(Bersambung)
catatan:
[1] Lihat: Kamaluddin Nurdin, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahlu Sunnah Min al-Aqidah al-
Isma’iliyah Wa Falsafatiha, hal: 114-137, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiyah. 2009.
[7] DR. Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 427.
[8] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, 4/86-87. Ibnu Mandzur, 9/309.
[10] http://www.mymasjid.net.my/koleksi-artikel/display/636.
[13] Izzuddin bin Abdul Salam, Qawa’idu Alahkam fi Mashalihi al-Anam hal:204
1 document_comment_errors
4gen
ee68c89331859d7724295e126971bff2598cca6e
doc
Islam
Uncategorizable-Uncategorizable
Education-School-Publications
kanun keseksaan
aurad muhammadiah
(more tags)
onemahmud
Related Documents
PreviousNext
1.
p.
p.
p.
2.
p.
p.
p.
3.
p.
p.
p.
4.
p.
p.
p.
5.
p.
p.
p.
6.
p.
p.
p.
7.
p.
p.
p.
8.
p.
p.
p.
9.
p.
p.
p.
10.
p.
p.
p.
11.
p.
p.
p.
12.
p.
p.
p.
13.
p.
p.
p.
14.
p.
p.
p.
15.
p.
p.
p.
16.
p.
1.
4 p.
8 p.
3 p.
2.
2 p.
3 p.
3 p.
3.
3 p.
3 p.
3 p.
4.
2 p.
3 p.
7 p.
5.
4 p.
2 p.
6 p.
6.
2 p.
5 p.
1 p.
7.
6 p.
4 p.
2 p.
8.
3 p.
1 p.
3 p.
9.
1 p.
Recent Readcasters
Add a Comment
ee68c89331859d7724295e126971bff2598cca6e
Submit
share:
Characters: 400
document_comment_errors
4gen
1 day ago
Reply
Report
http://www.scribd.com/full/2764156?ac...
08 / 27 / 2010
Reply
Report
08 / 23 / 2010
Reply
Report
libra_gurl82@yahoo.com.my
08 / 12 / 2010
Reply
Report
tenkiu
07 / 09 / 2010
Reply
Report
ee68c89331859d7724295e126971bff2598cca6e
public - locked
Upload a Document
Follow Us!
scribd.com/scribd
twitter.com/scribd
facebook.com/scribd
About
Press
Blog
Partners
Scribd 101
Web Stuff
Scribd Store
Support
FAQ
Developers / API
Jobs
Terms
Copyright
Privacy