Anda di halaman 1dari 118

Dalam memahami Islam, masyarakat dituntut untuk

tidak melihat pada substansi agama secara langsung,


tetapi mereka harus membe-kalinya dengan ilmu
tentang agama itu sendiri. Hal tersebut sangat penting
mengingat sering terjadinya ketidaksesuaian antara
pemahaman dan praktik yang dihasilkan dengan tujuan
syari‟at, bahkan tanpa disadari akan berujung pada
sikap ketidakmampuan dalam mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupan, serta terjadinya perselisihan
di kalangan umat itu sendiri.
Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita
untuk memahami kerangka dasar dari agama. Adapun
kerangka dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut;
pertama, apakah agama itu? konsep ini sangat penting
dalam meyakinkan bahwa Islam sebagai agama yang
benar, sehingga akan berpengaruh kepada pelaksanaan
agama yang sungguh-sungguh. Kedua, di mana
sumber agama itu? Konsep ini sangat penting dalam
melihat apa saja sumber agama Islam itu. Ketiga, Apa
saja ruang lingkup agama Islam itu? Konsep ini sangat
penting dalam melihat apa saja perkara dalam Islam,
sehingga memberikan kejelasan setiap permasalahan
yang muncul akan dirujuk kepada sumber agama Islam
(al-Quran dan al-Hadits) atau ilmu pengetahuan yang
berkembang dalam kehidupan dewasa ini.

Apakah agama itu?


Dalam kehidupan, terdapat perbedaan keyakinan
dalam memahami agama, sehingga muncullah agama-
agama selain Islam, ada Yahudi, Kristen, Hindu, Budha,

2
dan Konghucu. Sebuah fakta yang tidak dapat
dipungkiri, tetapi harus dijelaskan dengan mencari
jawaban. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan yang
harus dikedepankan dalam meyakinkan masyarakat
akan kebenaran bahwa agama hanyalah Islam.
Pertama, apakah maksud dari agama itu sendiri?
kedua, siapa yang membawa risalah agama? Ketiga,
apa saja yang terkandung di dalam agama?
Muhammadiyah melihat masalah agama
merupakan masalah besar yang harus diselesaikan.
Karena jika dibiarkan akan menciptakan permasalahan
besar di kalangan umat. Berawal dari kebingungan
masyarakat karena banyaknya agama dan setiap
agama menganggap paling benar hingga munculnya
perpecahan di kalangan umat Islam itu sendiri seperti
yang terjadi dewasa ini.
Karena itulah Muhammadiyah merumuskan
makna agama sebagaimana yang termaktub pada bab
masalah yang lima dalam Kitab Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah. Dalam hal ini, makna agama
secara umum dan makna agama secara khusus.
Adapun makna agama secara umum sebagai berikut,

ِ‫ظالَح‬
َ ِ‫ان ِدٍَُْ هُىَ يَا شَسَعَ اهللُ عَهًَنِسَاٌِ َأَْثَُِائِهِ يٍَِ األَوَايِسِ َوانّنَىَاهًِ وَاإلِزْشَادَاخِ ن‬

ْ‫انعِثَادِ ُدََُْا ُهىْ َوُأخْسَا ُهى‬


“Agama ialah apa yang disyariatkan Allah dengan
perantara nabi-nabi-Nya berupa perintah-perintah dan

3
larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akhirat”1
Jika agama merupakan syariat Allah yang
disampaikan kepada para nabi, maka akan ditemukan
jawaban dalam menilai keberadaan agama-agama yang
ada dewasa ini, misalnya agama Hindu, Budha, dan
Konghucu tidaklah disebut sebagai agama karena
mereka tidak berasal dari syariat yang disampaikan
kepada para Nabi Allah Swt, bahkan jelas-jelas mereka
menyandarkan keyakinannya kepada para dewa.
Sementara keberadaan agama Kristen dan Yahudi
berkeyakinan bahwa agama mereka berasal dari salah
satu Nabi (Nabi Isa dan Musa). Di sinilah titik
permasalahan yang harus diselesaikan. Pertanyaannya,
apakah betul mereka (baca: Nabi Isa dan Musa)
membawa ajaran selain Islam?
Secara umum, Allah mewasiatkan agama kepada
rasul-rasul-Nya. Itu artinya setiap rasul membawa
agama yang sama, sekalipun mereka mendapatkan
kitab yang berbeda-beda. Misalnya, Musa mendapat
kitab Taurat, Daud mendapat kitab Zabur, Isa
mendapat kitab Injil, dan Muhammad mendapat kitab
al-Quran), sebagaimana yang termaktub dalam surat
al-Syura (43) ayat 13,

1
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
(Jogjakarta: PP. Muhammadiyah, 1967), 275-277.

4
َ‫شَسَعَ نَكُى يٍَِ ان ِدٍَِ يَا َوطًَ تِهِ َُىحاً َوانَرٌِ أَ ْوحَُّْنَا إِنَُْكَ َويَا وَطَُّْنَا تِهِ إِتْسَاهُِى‬

ْ‫َويُىسًَ وَعُِسًَ أٌَْ أَقًُُِىا ان ِدٍََ وَنَا ذََرفَسَقُىا فُِهِ كَثُسَ عَهًَ انًُْشْسِكِنيَ يَا ذَدْعُى ُهى‬

ُ‫إِنَُْهِ انهَهُ ََجْرَثٍِ إِنَُْهِ يٍَ ََشَاءُ وََهْدٌِ إِنَُْهِ يٍَ َُّنُِة‬
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.2
Secara khusus, para Rasul sendiri berkata kepada
kaumnya bahwa mereka adalah Rasul Allah (utusan
Allah) sebagaimana termaktub dalam surat al-Shaf (61)
ayat 5,

‫َوِإذْ قَالَ يُىسًَ ِنقَ ْىيِهِ ََا قَ ْىوِ ِنىَ ذُ ْؤ ُذوَّنٍِ وَقَد ذَعْهًَُىٌَ َأٍَِ زَسُىلُ انهَهِ إِنَُْ ُكىْ فَهًََا‬

َ‫سقِني‬
ِ ‫شَاغُىا أَشَاغَ انهَهُ قُهُىَتُهىْ َوانهَهُ نَا ََهْدٌِ اْنقَ ْىوَ اْنفَا‬
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku,

2
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya.

5
sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu?" Maka tatkala mereka
berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati
mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
kaum yang fasik”
Dari ayat di atas, Musa as menyatakan kepada
kaumnya bahwa dia adalah Rasul Allah (utusan Allah)
dan dapat dipastikan yang disampaikan Nabi Musa
kepada kaumnya adalah agama Allah.3 Namun bukan
sebaliknya, Musa dianggap membawa agama Yahudi
sebagaimana yang diyakini pengikutnya dewasa ini.
Setelah Nabi Musa terdapat Nabi Isa yang
memberikan pernyataan yang sama kepada kaumnya
bahwa dia adalah Rasul Allah (utusan Allah), bahkan
Isa as memberikan kabar akan kedatangan seorang
utusan Allah berikutnya yaitu Ahmad (Muhammad
Saw).4 Dalam hal ini sebagaimana tertulis dalam surat
al-Shaf (61) ayat 6 sebagai berikut,

3
Sebagai penjelas coba lihat surat al-Syura (43) ayat 13
sebagaimana dijabarkan sebelumnya.
4
Al-Nasai dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Ahmad merupakan
satu dari lima nama Nabi Muhammad lainnya, sebagaimana sabda
beliau Saw sebagai berikut,
‫ أَا‬,‫ يل مخسح أمساء‬:‫و‬.‫ قال زسىل اهلل ص‬:‫ عٍ انصهسٌ عٍ حمًد تٍ جثري تٍ يطعى عٍ أتُه قال‬,‫ حدشّنا يانك‬:‫أخربَا عهٍ ٍَ شعُة قال‬

.‫ وأَا انعاقة‬,‫ وأَا املاحٍ انرٌ ميحى اهلل تٍ انكفس‬,ٍ‫حمًد و أمحد و احلاشس انرٌ حيشس انّناض عهً قدي‬
“Ali bin Syuaib mengabarkan kepada kami katanya Malik
menceritakan kepada kami, dari al-Zuhriy, Muhammad bin Jubayr bin
Muth‟im, dan bapaknya berkata: Rasulullah Saw bersabda: Aku
memiliki lima nama, Aku adalah Muhammad, Ahmad, al-Hasyir, al-
Mahiy, dan al-„Aqib. “

6
ٍََُْ‫َوِإذْ قَالَ عُِسًَ اتٍُْ يَ ْسََىَ ََا تَّنٍِ إِسْ َسائُِمَ ِإٍَِ زَسُىلُ انهَهِ إِنَُْكُى يُظَدِقاً نًَِا ت‬

ِ‫ََدٌََ يٍَِ انرَىْزَاجِ َويُثَشِساً تِسَسُىلٍ ََ ْأذٍِ يٍِ تَعْدٌِ اسًُْهُ َأحًَْدُ فَهًََا جَاءهُى تِانْثَُِّنَاخ‬

ٌ‫قَانُىا هَرَا سِحْسٌ يُثِني‬


“Dan (ingatlah) ketika 'Isa ibnu Maryam berkata:
"Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu
Taurat, dan memberi khabar gembira dengan
(datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka
tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini
adalah sihir yang nyata."
Berpijak dari ayat-ayat di atas, baik Nabi Musa,
Isa, maupun Muhammad adalah Rasul Allah yang diberi
wasiat agama. Agama yang dimaksud adalah agama
Islam dan bukan agama lainnya (seperti: Yahudi dan
Kristen) sebagaimana yang difahami oleh kebanyakan
manusia dewasa ini. secara langsung surat al-Shaf ayat
6 menunjukan peristiwa memutarbalikan fakta kebe-
naran dengan menyebutnya sebagai sihir yang nyata.
Namun dalam ayat selanjutnya, Allah menjawab
dengan melontarkan kalimat bertanya “Siapakah yang
lebih dzalim daripada orang yang mengada-adakan

Lebih jelasnya, lihat dalam Abi „Abd al-Rahman Ahmad Ibn Syuaib bin
„Ali al-Nasa‟I, Tafsir al-Na‟sai, (Beirut: Mu‟assasah al-Kutub al-
Tsaqafiyah, 1990), Juz ke-2, 423-424.

7
kebohongan?” sebagaimana tersirat dalam surat al-
Shaf ayat 7 di bawah ini,

َ‫َويٍَْ أَظَْهىُ يًٍَِِ افْرَسَي عَهًَ انهَهِ انْكَرِبَ وَهُىَ َُدْعًَ إِنًَ انْئِسْهَاوِ َوانهَهُ نَا ََهْدٌِ اْن َق ْىو‬

َ‫انّظَانًِِني‬
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang
yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia
diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang zalim.”
Sebagai dalil tambahan dalam memperkuat
pendapat di atas, Allah menegaskan kembali pada ayat
selanjutnya bahwa Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya
dengan membawa petunjuk dan agama yang benar
yaitu agama Islam. bukan agama yang lainnya. Dalam
hal ini sebagaimana yang tersirat dalam surat al-Shaf
ayat 8,

َ‫هُىَ انَرٌِ أَزْسَمَ زَسُىنَهُ تِاْنهُدَي َوِدٍَِ انْحَّقِ نُِ ّْظهِسَهُ عَهًَ ان ِدٍَِ كُهِهِ ونَىْ كَسِه‬

ٌَ‫انًُْشْسِكُى‬
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia
memenangkannya di atas segala agama-agama
meskipun orang musyrik membenci”
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa Islam adalah
agama yang dibawa oleh seluruh Rasul Allah yang
ditutup oleh Muhammad Saw sebagai rasul yang

8
terakhir. Dengan demikian sangat dibutuhkan sebuah
rumusan agama yang lebih khusus guna memberikan
pemahaman yang komferehensif dan integral tentang
agama dewasa ini. Karena itulah, Persyarikatan
Muhammadiyah merumuskan definisi agama yang lebih
khusus sebagaimana yang termaktub dalam himpunan
putusan tarjih sebagai berikut,5

ٌَِ‫ هُىَ يَا َأَْصَلَ اهللُ فٍِ انقُ ْسأ‬.‫ و‬.‫الوُ انَرٌِ جَاءَ تِهِ يُحًََدُ ص‬
َ‫س‬ ْ ِ‫ان ِدٌٍَْ أٌَ ان ِدٍَُْ اإل‬

ِ‫َويَا جَائَدْ تِهِ انسُّنَحُ انظَحُِْحَحُ ( املقثىنح) يٍَِ األَوَايِسِ َوانّنَىَاهًِ وَاإلِزْشَادَاخ‬

ْ‫ظالَحِ انعِثَادِ ُدََُْا ُهىْ َوُأخْسَا ُهى‬


َ ِ‫ن‬
“Agama itu agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw ialah apa yang diturunkan Allah dan
al-Quran dan yang tersirat dalam al-Sunnah yang
shahih (al-Sunnah al-Maqbulah) berupa perintah-
perintah dan larangan, serta petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat.”
Definisi di atas menfokuskan agama itu adalah
agama Islam, serta mempertegas agama Islam yang
dibawa oleh Muhammad Saw. Mengingat setiap rasul
Allah membawa agama Islam, maka harus ditegaskan
bahwa agama Islam yang dimaksud adalah agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dengan
dibekali wahyu Allah yang terangkum dalam al-Quran.
Apalagi kitab al-Quran diturunkan sebagai pembenar

5
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, op.
cit, 278.

9
dari kitab sebelumnya. Dengan kata lain, adanya
kesinambungan antara kitab awal turun (Taurat dan
Injil) dengan kitab yang turun selanjutnya (al-Quran),
sebagaimana tersirat dalam surat Ali Imran ayat 3,

َ‫َصَلَ عَهَُْكَ انْكِرَابَ تِانْحَ ِّق يُظَدِقاً نًَِا تٍََُْ ََ َدَْهِ َوَأَصَلَ انرَىْزَاجَ وَاإلِجنُِم‬
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu
dengan sebenarnya. membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil.”
Sampai di sini, apakah masih tertanam keraguan
dalam diri kita? Sungguh banyak keterangan penjelas
dalam membuktikan bahwa Islam adalah agama yang
benar di antara agama yang lain (Yahudi dan Kristen),
sekalipun mereka mengakui keberadaan Isa dan Musa.
Bahkan secara langsung Allah mempertegas Islam
sebagai agama yang diridhai-Nya sebagaimana yang
tertulis dalam surat Ali Imran ayat 19 (Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam) dan
Allah menolak perbuatan hamba yang tidak berIslam
serta menggolongkan mereka sebagai orang yang
merugi di akhirat kelak sebagaimana yang termaktub
dalam surat Ali Imran ayat 85 (Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi).
Sebagai agama yang benar, Islam sudah
seharusnya dijadikan pedoman oleh manusia, kapan
dan di manapun mereka berada. Setiap perintah,
larangan, dan petunjuk di dalamnya harus diyakini

10
memberikan kemashlahatan (kebahagian) bagi mereka
dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kelak.
Dengan demikian, kita akan membuktikan kebenaran
yang Allah firmankan dalam surat al-Baqarah ayat 286
“tidak akan memberikan beban kepada seorang hamba,
kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Dengan pemahaman seperti ini, mudah-mudahan
kita menjadi orang yang tidak mengeluh ketika
menjalankan perintah Allah (seperti shalat, puasa,
zakat, haji, dan ibadah lainnya) dan tidak mengeluh
ketika menjauhi larangan Allah, serta mengedepankan
petunjuk agama dalam praktik kehidupan.

Sumber Hukum Islam


Menurut ulama fiqih dan ushul klasik kata “sumber
hukum” dikenal dengan istilah masâdir al-ahkâm atau
adilah al-Shar‟iyah oleh ulama sekarang yang diartikan
sebuah wadah yang merupakan tempat penggalian
norma-norma hukum dalam al-Quran dan al-Sunnah.6
Dalam kacamata historis, pembahasan sumber
hukum Islam bukanlah sesuatu hal yang baru.
Realitanya, disamping menggunakan al-Quran dan al-
Sunnah atau hadits, ditemukan al-Ijtihâd sebagai
sumber hukum lain pada masa Muhammad saw
(rasulullah) yang diakibatkan oleh semakin berkem-

6
Lihat, fathurahman Djamil, dalam Miftahul Huda, Filsafat Hukum
Islam: Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam,
(Ponorogo: STAIN PO Press, 2006), 65.

11
bangnya dakwah Islam.7 Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Muâdz sendiri sebagaimana berikut:

ٍِْ‫حَ َدشَّنَا َح ْفضُ تٍُْ عًَُسَ عٍَْ شُعْثَحَ عٍَْ أَتٍِ عَىٌٍْ عٍَْ انْحَازِزِ تٍِْ عًَْسِو ات‬

ٍ‫َأخٍِ انًُْغِريَجِ تٍِْ شُعْثَحَ عٍَْ ُأََاضٍ يٍِْ أَهْمِ حِ ًْضَ يٍِْ أَطْحَابِ يُعَاذِ تٍِْ جَثَم‬

َ‫أٌََ زَسُىلَ انهَهِ طَهًَ انهَهُ عَهَُْهِ وَسََهىَ نًََا أَزَادَ أٌَْ ََثْعَسَ يُعَاذًا إِنًَ انًٍََُِْ قَال‬

ْ‫كَُْفَ َذقْضٍِ ِإذَا عَسَعَ نَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضٍِ تِكِرَابِ انهَهِ قَالَ فَئٌِْ َنىْ ذَجِد‬

ْ‫فٍِ كِرَابِ انهَهِ قَالَ فَثِسَُّنحِ زَسُىلِ انهَهِ طَهًَ انهَهُ عَهَُْهِ وَسََهىَ قَالَ فَئٌِْ َنىْ ذَجِد‬

ُ‫فٍِ سُّنَحِ زَسُىلِ انهَهِ طَهًَ انهَهُ عَهَُْهِ وَسََهىَ وَنَا فٍِ كِرَابِ انهَهِ قَالَ َأجَْرهِد‬

‫َزْأٍَِ وَنَا آنُى فَضَسَبَ زَسُىلُ انهَهِ طَهًَ انهَهُ عَهَُْهِ وَسََهىَ طَدْزَهُ وَقَالَ انْحًَْدُ نِهَِه‬

ِ‫انَرٌِ وَفَّقَ زَسُىلَ زَسُىلِ انهَهِ نًَِا َُسْضٍِ زَسُىلَ انهَه‬


“Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Hims (Hafs
bin Umar, Shu‟bah, Abi „Aun, al-Hârith bin „Amri ibn
Akhî al-Mughirah bin Shu‟bah, dan Unâs) sahabat Mu‟az
bin Jabal, bahwa Rasulullah saw, ketika bermaksud
untuk mengutus Mu‟az ke Yaman, beliau bertanya
„apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana anda memutuskannya?‟ Mu‟az menjawab:
„Saya akan berhukum dengan al-Quran‟. Nabi bertanya

7
Atiyyah Mustafa Mushrifah, al-Qadâ‟ fi al-Islâmi, (Beirut: tp, tt), 22.

12
lagi:‟Jika kasus itu tidak ditemukan dalam al-Quran?
Muaz menjawab: „Saya akan memutuskannya
berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi
bertanya. „jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah
Rsulullah dan al-Quran? Mu‟az menjawab: „aku akan
berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah saw
menepuk-nepuk dada Mu‟az dengan tangannya, seraya
berkata: „segala puji bagi Allah yang telah memberikan
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang
diridhai-Nya.8
Begitu juga, ditemukkan sumber hukum lain pada
masa al-Khulafa‟ al-Rashidun, berupa qiyas ( ‫أو اإلجرهاد‬

‫ )انقُاض‬dan kesepakan ulama yang dikenal dengan istilah


al-Ijma‟.9 Dalam pandangan an-Na‟im kedua sumber
terakhir ini diterjemahkan dengan penalaran melalui
analogi dan konsensus.10 Bahkan dalam
perkembangannya, pembahasan sumber hukum ini
telah menjadi persoalan polemik antara ahli ilmu
tasawuf dan ahli fiqih.11
Dalam Muhammadiyah, pandangan tentang sumber
hukum Islam sendiri telah terdeskrifsikan dalam
rumusan definisi sumber hukum, yaitu sumber-sumber
8
Lihad dalam hadits riwayat al-Turmudzi no.1249, Abu Daud No.
3119, Ahmad no. 21000, 21049, dan 21084, dan Hadits al-Daramiy
no. 168, dalam CD Aplikasi , al-Hadith al-Sharîf al-Kutub al-Tis‟ah.
9
Ibid., 22-23.
10
Abdullahi Ahmed an-Naim, Dekonstruksi Syari‟ah, Terj. Ahmad
Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Cet. Ke-4 (Jogjakarta: LKIS, 2004),
31.
11
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab
sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 137.

13
yang telah dengan eksplisit memaparkan aturan-aturan
normatif tentang hukum Islam, dan dapat dirujuk
setiap saat ketika diperlukan para mujtahid.12 Begitu
juga, pada rumusan bâb al-Masâ‟il al-Khamsah (antara
lain: agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas) yang
termaktub dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah.13 Artinya bahwa bahasan ini telah
menjadi perhatian yang sangat penting untuk dibahas
dan dirumuskan. Diantaranya, dapat dilihat dari ta‟rif
agama sebagaimana pembahasan di awal tentang
makna agama.
Berdasarkan kalimat “mā anzala Allah fi al-Quran
wa mā jāat al-Sunnah al-Shahīhah“ dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam pandangan Muhammadiyah
sumber hukum Islam hanya al-Quran dan al-Sunnah al-
Sahihah atau al-Sunnah al-Maqbulah. Bahkan
pandangan ini dijadikan sebagai identitas gerakan
Muhammadiyah, sebagaimana yang termaktub dalam
pasal 4 anggaran dasar yaitu “Muhammadiyah adalah
gerakan Islam, dakwah amar ma‟ruf nahi munkar dan
tajdid, bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah”.14
Walau demikian, bukan berarti Muhammadiyah
tidak melakukan ijtihad. Akan tetapi, disinilah kiranya
titik ketegasan Muhammadiyah yang mengatakan

12
Lihat pada Bab II: Pengertian Umum, dalam Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Panduan Munas
Tarjih XXV, 4.
13
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Op. Cit, 275-277.
14
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Muhammadiyah, (Jogjakarta: Suara Muhammadiyah,
2005), 9.

14
bahwa ijtihad merupakan metode analisis hukum bukan
sebagai sumber hukum, karena sumber hukum bagi
Muhammadiyah hanya al-Quran dan al-Sunah al-
Sahihah.15 Analog dengan hal tersebut, tidaklah salah
jika Nâwiyah Sharîf al-„Umariy mengatakan “bukankah
ijtihad (baik dengan qiyas, keberadaan maslahah atau
urf) merupakan dalil-dalil yang mengikuti dalam al-
Kitab (baca: al-Quran) dan al-Sunnah.16 Demikian
inilah yang seharusnya dilakukan pada setiap masa dan
dimana pun adanya agar selalu mengembalikan setiap
permasalahan kepada wahyu untuk mengetahui
hukumnya.17
Oleh karena itu, Muhammadiyah memisahkan
diantara sumber hukum dan ijtihad pada bab tersendiri
(atau masing-masing) dalam Pokok-pokok Manhaj
Tarjih Muhammadiyah. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini:18

15
Lihat pada Bab II: Pengertian Umum, dalam Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Pokok-pokok
Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 1.
16
Nâwiyah Sharîf al-„Umariy, al-Ijtihâd fi al-Islam: Ushûluhu,
Ahkâmuhu, Afâquhu, (Beirut: Mu‟assasah al-Risâlah , 2001), 52.
17
Abir bin Muhammad al-Sufyâni, al-thubât al-Shumûmul fi al-
Sharî‟ah al-Islâmiyah, (Makkah: Um al-Qura, 1408 H), 213.
18
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP.
Muhammadiyah, Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 6-10.

15
Sumber Hukum (al-Quran dan al-Sunnah) dan
Ijtihad dalam pandangan Muhammadiyah
Al-Quran dan al-
No Ijtihad
Sunnah
1. Muhammadiyah Ijtihad menempati posisi
menjadikan al-Quran penting dalam pemikiran
dan al-Sunnah sebagai hukum Islam. Melalui ijtihad
sumber hukum yang masalah-masalah yang baru
otentik. Karena itu, dan tidak terdapat dalam al-
setiap peristiwa yang Quran dan al-Sunnah dapat
muncul harus dipecahkan oleh para
dirujukkan kepada mujtahid. Sebaliknya, ketika
kedua sumber hukum aktifitas ijtihad telah sirna
tersebut. dari kalangan umat Islam,
mereka mengalami
kemunduran. Dengan kata
lain, ijtihad merupakan
kunci dinamika ajaran
Islam, termasuk bidang
hukumnya.
2. Sunnah mempunyai Ijtihad dapat dilakukan
kedudukan sangat dalam berbagai yang secara
penting, khususnya eksplisit tidak terdapat
dalam pengambilan dan dalam al-Quran dan al-
penetapan hukum Sunnah, dan masalah-
Islam. Terhadap al- masalah yang terdapat
Quran, al-Sunnah dalam kedua sumber
berfungsi sebagai tersebut, tetapi termasuk
penjelas, pendukung/ kategori dzani al-Dalalah.
penguat hukum-hukum Baik masalah yang
yang terkandung di termasuk kategori pertama
dalam al-Quran. Ia maupun kedua perlu
berfungsi merinci, dan ditangani dengan cara
menjelaskan masalah- merujuk kepada sumber

16
masalah teknis, utama ajaran Islam, al-
mengkhususkan Quran dan al-Sunnah,
hukum-hukum yang kemudian
bersifat umum dan menginterpretasikannya
menetapkan hukum- sesuai dengan masalah yang
hukum yang bersifat sedang diselesaikan.
umum dan menetapkan Interpretasi itu dilakukan
hukum-hukum (baru) dengan memperhatikan
yang tidak ada dalam jangkauan arti lafal atau
al-Quran. kalimat yang terdapat di
dalam teks al-Quran dan al-
Sunnah. Dengan kata lain,
bahwa ijtihad memerlukan
analisis yang tajam
terhadap nas serta jiwa
yang terkandung di
dalamnya, dengan
memperhatikan aspek
kaedah kebahasaan dan
tujuan umum disyaiatkan
hukum dalam Islam.
3. Pemahaman terhadap Ijtihad bukan sumber
kedua sumber tadi hukum, melainkan metode
dalam proses penetapan penetapan hukum dalam
suatu hukum dilakukan Islam. Artinya,
secara konferehensif, Muhammadiyah
utuh dan terpadu, atau berpendapat bahwa sumber
dalam terminologi utama hukum dalam Islam
ulama “al-Quran adalah al-Quran dan al-
yufassiru ba‟duhu Sunnah al-Shahihah.
ba‟dhan” Kemudian untuk
menghadapai persoalan-
persoalan baru, sepanjang
persoalan itu tidak
berhubungan dengan ibadah

17
mahdhah dan tidak terdapat
nas sharih dalam al-Quran
dan al-Sunnah digunakan
ijtihad dan istimbath dari
nas. Dengan kata lain,
Muhammadiyah
berpendapat bahwa ijtihad
merupakan metode
penemuan hukum, bukan
sumber hukum dalam Islam.
4. Penafsiran Berbagai persoalan
Muhammadiyah kontemporer telah muncul
terhadap al-Quran dan kepermukaan dan menuntut
al-Sunnah dilakukan kita menyelesaikannya.
secara “kontekstual”, Persoalan-persoalan
dalam arti bahwa ayat tersebut meliputi berbagai
dan sunnah ditafsirkan bidang kehidupan, mulai
dengan memperhatikan dari bidang ekonomi, sosial
tujuan hukum Islam budaya, sampai pada
melalui penelusuran masalah-masalah rekayasa
terhadap aspek manusia dalam bidang ilmu
kemaslahatan yang kedokteran.
merupakan inti dari
maqashid al-Syari‟ah.
5. Pada prinsipnya, Dalam hal-hal tertentu,
Muhammadiyah Majelis Tarjih
mengakui peranan akal Muhammadiyah menganut
dalam memahami teks- prinsip untuk memelihara
teks al-Quran dan al- sesuatu yang lama dan baik,
Sunnah. Namun jika serta mengambil sesuatu
pemahaman akal yang baru dan terbaik.
berbeda dengan
kehendak zhahir nas,
maka diupayakan
penyerasian terhadap

18
keduanya tanpa harus
mengesampingkan
salah satunya.
6. Berdasarkan Mengenai masalah-masalah
pemahaman bahwa yang sama sekali baru,
tiada yang ma‟shum Muhammadiyah akan
selain Rasulullah saw., menyelesaikannya dengan
maka penafsiran dan cara memahami secara baik
takwil sahabat terhadap masalah dimaksud.
nas-nas dzani tidak Kemudian membahasnya
harus diterima kecuali secara seksama, dengan
apabila memiliki tetap merujuk kepada jiwa
keterpautan dengan hukum yang terkandung
kemashlahatan dalam al-Quran dan al-
kontekstual. Sunnah.

Pada posisi inilah kiranya, mengapa


Muhammadiyah harus menegaskan kedudukan Ijtihad
sebagai metode atau bukan sumber hukum. Sehingga,
Muhammadiyah menggariskan bahwa hasil ijtihadnya
(yaitu hasil keputusan dan Pengembangan Pemikiran)
bersifat nisbi, toleran, dan terbuka. Nisbi beratinya
Muhammadiyah menganggap hasil keputusannya
(baca: ijtihadnya) sebagai hal yang tidak mutlak
kebenarannya. Toleran berarti Muhammadiyah tidak
menganggap pendapat yang berbeda dengan pendapat
dan pemikirannya sebagai pendapat yang salah.
Terbuka berarti Muhammadiyah menerima kritik kons-
truktif terhadap keputusannya, sepanjang argumen-

19
tasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan lebih
akurat.19

Ruang Lingkup Agama Islam


Shaltut dalam bukunya melihat bahwa Islam
mengajarkan dua ruang lingkup yaitu aqidah dan
syari‟ah. Aqidah berhubungan dengan keimanan dan
syari‟ah berhubungan dengan amal shaleh sebagai-
mana yang tersirat dalam surat al-Ahqaf ayat 13.20
Dengan sedikit berbeda, Muhammadiyah melihat ruang
lingkup agama itu terdiri dari tiga perkara yaitu aqidah,
ibadah, dan mu‟ammalah duniawiyah.
Pemahaman tentang ruang lingkup agama ini harus
menjadi perhatian, mengingat banyaknya permasalah
yang menimpa umat dewasa ini. Baik permasalah yang
berhubungan dengan agama maupun permasalahan
yang berhubungan dengan keduniaan. Terpenting dari
ruang lingkup ini adalah bagaimana kita mampu
mengembalikan setiap ruang lingkup tersebut kepada
sumber agama secara akurat dan tepat.
Misalnya, ketika permasalahan itu berhubungan
dengan keyakinan (aqidah) dan Ibadah maka harus
dikembalikan kepada al-Qur‟an dan al-Hadits secara
mutlak. Sebagai contoh, permasalahan yang
berhubungan dengan puasa. Karena puasa termasuk ke

19
Suciati, Mempertemukan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, (Jogjakarta: Arti Bumi Intaran,
2006), 47.
20
Mahmud Shaltut, al-Islam aqidah wa shari‟ah, (tt: Dar al-Qalam,
1966), 11-13.

20
dalam ruang lingkup ibadah (baca: ibadah mahdah/
khusus), maka penyelesaiannya harus dicarikan dalam
al-Quran dan al-Hadits, dan bukan pada pemikiran
manusia. Dengan kata lain, tidak ada ruang untuk
mengurangi dan menambahkan dalam perkara ibadah,
karena memang Allah menjelaskan perkara ibadah itu
dengan sangat jelas, yang selanjutnya diaplikasikan
melalui contoh dari Rasulullah Saw. Bahkan Rasulullah
menegaskan bahwa amalan itu akan tertolak ketika
tidak ada kesesuaian dengan contoh dari Rasulullah
sebagaimana yang tersirat dalam hadits.
Sedangkan terhadap permasalahan mu‟ammalah
keduniaan Allah memberikan kebebasan kepada
hamba-Nya untuk menyelesaikan persoalan itu dengan
menggunakan cara-cara mereka sendiri, mengingat al-
Quran dan al-Hadits tidak secara spesifik menjelaskan
permasalahan tersebut. Hal tersebut dilatarbelakangi
karena masalah keduniaan bersifat dinamis, berjalan
seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Walau
demikian, dalam penyelesaiannya tidak boleh
bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadits. Misalnya,
seseorang boleh melakukan praktik jual-beli, tetapi
ketika mereka melakukan transaksi jual-beli barang
curian, maka menjadi tidak boleh (baca: haram) karena
pencurian merupakan perbuatan yang dilarang dalam
al-Quran dan al-hadits.
Disinilah pentingnya sikap proporsional dan
profesional dalam menyikapi persoalan agama. Mudah-
mudahan pendahuluan ini mampu memberikan
pemahaman dasar kepada pembaca sebelum
membahas permasalahan yang berhubungan dengan

21
puasa. Dengan harapan, tidak terjadi perselisihan di
antara umat karena memang permasalah puasa
merupakan perkara yang sudah qat‟I atau pasti,
sehingga tidak mungkin terjadi perbedaan di dalamnya.
Secara jujur, kelemahan pengatahuan itulah yang
menyebabkan perbedaan. Maka fahamilah agama itu
secara konferehensif dan integral, bukan sebagian-
sebagian.

-o0o-

22
23
Pengertian Puasa Ramadhan
Secara Bahasa, kata Puasa merupakan arti dari kata
shaum (ٌ‫ )صَْوم‬atau shiyam (ٌ‫ )صِيَام‬yang berasal dari
bahasa Arab. Dalam kamus, kata shaum merupakan
turunan kata َ‫ وَاصْطَام‬- ‫ صَامَ – َيصُ ْومُ – صَوْمًا – َوصِيَامًا‬yang berarti
َ‫( أَ ْمسَك‬menahan dari makan dan minum)1 atau ً‫طلَق‬ ْ ُ‫اإلِ ْمسَاكُ م‬
atau ِ‫( مُجَّرَدُ اإلِ ْمسَاك‬menahan tanpa paksaan).2 Ibn Mandzur
dalam Lisan al-„Arab menjelaskan kata shaum adalah
meninggalkan aktifitas makan, minum, menikah
(berhubungan suami istri), dan perkataan.3 Dari
pengertian tersebut terlihat bahwa puasa tidak hanya
berhubungan dengan makan, minum, dan menikah,
tetapi puasa juga berhubungan dengan perkataan,
sebagaimana firman Allah surat Maryam ayat 26,4

َِّٓ ْ‫فَىٍُِِ ًَاشْشَثِِ ًَلَشُِ عَْْنبً فَِإَِب رَ َشَِّٓ َِٓ اٌْجَشَشِ َأزَذاً َفمٌٌُِِ ِإِِٔ َٔزَسْدُ ٌٍِ َشز‬

ً‫طٌَِْبً فٍََْٓ أُوٍََُِ اٌَْْ ٌَْ ِإٔغِّْب‬


“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.
Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk

1
A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), edisi kedua, 804
2
Anas Ismail Abu Daud, Dalil al-Sa‟ilin, (Jedah: al-Mamlakah al-
„Arabiyah al-Su‟udiyah, 1996), 412. Dan lihat juga dalam Abdullah
bin Abd al-Rahman al-Bassam, Tawdih al-Ahkan Min Bulugh al-
Maram, (Makkah Mukaramah: Maktabah al-Asadiy, 2003), Juz ke-3,
439.
3
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (al-Qahirah: Dar al-Ma‟arif, t.th), 2529.
4
Abdullah bin Abd al-Rahman al-Bassam, Tawdih al-Ahkan Min
Bulugh al-Maram, Op. Cit., Juz ke-3, 439

24
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Dengan demikian, secara bahasa puasa berarti
menahan diri tanpa paksaan dari makan, minum,
menikah, dan berbicara. Oleh karena itu ketika
berpuasa janganlah berkata kotor, membicarakan
kejelekan orang, ngerumpi, berkata kasar (marah-
marah), dan perbuatan sejenisnya yang berhubungan
dengan perkataan.
Sedangkan menurut Istilah (Syara‟) Puasa adalah
menahan diri dengan sengaja dari sesuatu yang
khusus, waktu tertentu, dan tujuan yang khusus. 5
Dengan lebih rinci dapat dijelaskan bahwa puasa adalah
menahan diri dengan sengajadari setiap yang
membatalkan seperti makan, minum, dan bersetubuh
(berhubungan suami-istri) mulai dari terbit fajar hingga
terbenamnya matahari.6
Sekarang, apa yang dimaksud dengan puasa
Ramadhan? Dengan merujuk penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa puasa Ramadhan adalah puasa
yang dilakukan pada bulan Ramadhan dengan cara
menahan diri secara sengaja dari makan, minum,
berhubungan suami-istri (Jima‟), dan perkataan yang
sia-sia mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya
matahari.

5
Ibid.
6
Anas Ismail Abu Daud, Dalil al-Sa‟ilin, Op. Cit., 412

25
Hukum Puasa Ramadhan
Dalam catatan sejarah, pensyariatan puasa
Ramadhan terjadi pada bulan Sya‟ban tahun kedua
hijriyah. Sejak saat itu, puasa Ramadhan diwajibkan
kepada kaum muslimin. Kewajiban tersebut didasari
firman Allah surat al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut,

ٌَُْ‫َّب َأُّيَب اٌَ ِزَّٓ آَِنٌُاْ وُزِتَ عٍََْ ُىُُ اٌظَِْبَُ وََّب وُزِتَ عٍَََ اٌَ ِزَّٓ ِِٓ لَجٍِْ ُىُْ ٌَعٍََ ُىُْ رََزم‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Di samping al-Quran, Kewajiban puasa Ramadhan
didasari juga oleh hadits Rasulullah Muhammad Saw
yang di riwayatkan oleh Bukhari nomor 1891
berdasarkan hadits dari Talhah bin Ubaidillah,7

ْٓ‫عيًٍَْ عَْٓ أَثِْوِ َع‬


ُ ِِْ‫زَ َذثَنَب لُزَْجَخُ ثِْٓ عَعِْذِ زَ َذثَنَب إِعَّْبعًُِْ ثِْٓ خَ ْعفَشٍ عَْٓ أَث‬

‫ َّب‬:َ‫ شَبئِشَ َسأْطِ َفمَبي‬.َ.‫طٍَْسَخَ ثِْٓ عُجَْذِ اهللِ " أََْ أَعْشَثًِْب خَبءَ إٌََِ سَعٌُْيِ اهللِ ص‬

َ‫ اٌظٌٍَََادِ اخلَ ّْظَ ِإّال‬:َ‫ظالَحِ ؟ َفمَبي‬


َ ٌ‫سَعٌُْيَ اهللِ َأخْجِ ْشِِٔ َِبرَا فَشَعَ اهللُ عٍَََِ َِٓ ا‬

َ‫شيْش‬
َ :َ‫ َأخْجِ ْشِِٔ ثَِّب فَشَعَ اهللُ عٍَََِ َِٓ اٌظََْبَِ؟ َفمَبي‬:َ‫ َفمَبي‬.‫أَْْ رَطٌََعَ شَْئًب‬

َ‫ َأخْجِ ْشِِٔ َِب فَشَعَ اهللُ عٍَََِ َِٓ اٌضَوَبحِ؟ لَبي‬:َ‫ َفمَبي‬.‫َسَِؼَبَْ ِإّالَ أَْْ رَطٌََعَ شَْئًب‬
7
Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, (al-
Qahirah: al-Mathba‟ah al-Salafiyah, 1403H), Juz ke-2, 28.

26
ُ‫ َّال َأرَطٌََع‬,ِ‫ ًَاٌَزٍِ أَوْ َشَِهَ ثِبحلَك‬:َ‫ لَبي‬.َِ‫ال‬
َ‫ع‬ْ ِ‫ ثِشَ َشائِعِ اإل‬.َ.‫فَ َأخْجَشَهُ سَعٌُْيُ اهللِ ص‬

َ‫ أَفٍَْرَ إِْْ طَذَق‬:َ.‫ َفمَبيَ سَعٌُْيُ اهللِ ص‬.‫شَْئًب ًَّالَ أٔ ُمضُ َِّب فَشَعَ اهللُ عٍَََِ شَْئًب‬

.َ‫أًَْ َدخًََ اٌَدنَخَ إِْْ طَذَق‬


“Qutaibah bin Shaid menceritakan kepada kami,
Ismail bin Ja‟far menceritakan kepada kami dari Abi bin
Suhail dari bapaknya dari Thalhan bin Ubaidillah
“bahwa ada seorang Arab datang kepada Rasulullah
dan berkata: Ya Rasulallah, kabarkan kepadaku tentang
shalat apa yang Allah wajibkan kepadaku? Rasulullah
bersabda: Shalat lima waktu dengan kerelaan. Dia
berkata lagi: Kabarkan kepadaku tentang puasa apa
yang Allah wajibkan kepadaku? Rasulullah bersabda:
Puasa bulan Ramadhan dengan kerelaan. Dia berkata
lagi: kabarkan kepadaku tentang zakat apa yang
diwajibkan kepadaku? Rasulullah bersabda dengan
mengabarkan syariat Islam seraya berkata Islam yang
memuliakan kamu dengan kebenaran, aku tidak
memberikan dan mengurangi terhadap apa yang Allah
wajibkan kepadaku. Rasulullah bersabda: beruntunglah
siapa yang membenarkan dan masuk surga siapa yang
membenarkan.”
Berdasarkan dari al-Quran dan Hadits –
sebagaimana dijabarkan di atas- dapat disimpulkan
bahwa puasa Ramadhan hukumnya adalah fardu
(wajib) bagi setiap muslim.

27
Keutamaan Puasa dan Bulan Ramadhan
Kewajiban puasa Ramadhan sangat berkaitan
dengan keutamaan puasa pada bulan ramadhan. Di
samping banyaknya keutamaan puasa ramadhan,
ternyata bulan Ramadhan itu sendiri memiliki
kemuliaan di dalamnya dibandingkan dengan bulan
lainnya. Oleh karena itu, pembahasan pada bab ini
dibagi menjadi dua, pertama, Keutamaan bulan
Ramadhan dan kedua, keutamaan puasa ramadhan.

Keutamaan Bulan Ramadhan


Secara langsung dapat ditemukan beberapa
keutamaan dari bulan Ramadhan dalam al-Quran dan
al-hadits. Pertama, bulan Ramadhan merupakan bulan
diturunkanya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia,
keterangan tersebut berdasarkan firman Allah surat al-
Baqarah ayat 185,

ِْ‫شيْشُ َسَِؼَبَْ اٌَزَُِ ُأٔضِيَ فِْوِ اٌْمُشْآُْ ىُذًٍ ٌٍِنَبطِ ًَثَِْنَبدٍ َِٓ اٌْيُذٍَ ًَاٌْفُشْلَب‬
َ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
Kedua, Bulan Ramadhan merupakan bulan dimana
Allah menjadikan malam kemuliaan (lailah al-Qadr),
maka siapa pun yang mendapatkanya akan
mendapatkan balasan seperti mereka telah beribadah
selama seribu bulan atau kurang lebih 83 tahun,

28
keterangan tersebut sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Qadr ayat 1-5,

,ٍ‫شيْش‬
َ ِ‫ ٌٍََْخُ اٌْمَذْسِ خَْشٌ ِْٓ أٌَْف‬,ِ‫ ًََِب َأدْسَانَ َِب ٌٍََْخُ اٌْمَذْس‬,‫ِإَٔب َأٔضٌَْنَبهُ فِِ ٌٍََْخِ اٌْمَذْس‬

ِ‫ عٍََبٌَ ىَِِ زَزََ َِطٍَْعِ اٌْفَدْش‬,ٍ‫رَنَضَيُ اٌٍََّْبئِىَخُ ًَاٌشًُذُ فِْيَب ثِِإرِْْ سَِثيُِ ِِٓ وًُِ َأِْش‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an)
pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu apakah
malam kemuliaan itu?, Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan, Pada malam itu turun malaikat-
malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan, Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Ketiga, Bulan Ramadhan merupakan bulan dimana
dibukanya pintu-pintu langit, ditutupnya pintu neraka
jahanam, dan dirantainya syaithan. Keterangan
tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Saw dari Abi
Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1899
sebagai berikut,8

ِِْٔ‫شيَبةٍ لَبيَ َأخْجَ َش‬


ِ ِْٓ‫زَ َذثَنَب َّسَِْ ثِْٓ ثُىَْشٍ لَبيَ زَ َذثَنِِْ اٌٍَْثُ عَْٓ ُعمًٍَْ عَْٓ إِث‬

:ُ‫إِثُْٓ أَثِِْ أَٔظٍ ٌٌَََِْ اٌزََِِّْْْٓ أََْ أَثَبُه زَ َذثَوُ أَٔوُ عَِّعَ أَثَب ىُ َشّْشَحَ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ َّمٌُْي‬

8
Ibid., 30.

29
ْ‫ ًَغٍُِمَذ‬,ِ‫شيْشُ َسَِؼَبَْ فُزِسّذْ أَثٌَْاةُ اٌغََّبء‬
َ ًََ‫ " ِإرَا َدخ‬.َ.‫لَبيَ سَعٌُْيُ اهللِ ص‬

.ُِْٓ‫ ًَعٍُْغٍَِذْ اٌشََْبط‬,َُ‫أَثٌَْاةُ َخيََن‬


“Yahya menceritakan kepada kami berkata al-Laits
dari „Uqail dari Ibn Syihab menceritakan kepadaku
berkata Ibn Abi Anas Maula al-Taimiyin mengabarkan
kepadaku bahwa Bapaknya bercerita bahwasanya
bapak mendengar Abu Hurairah r.a mengatakan:
Rasulullah Saw bersabda “ Apabila bulan ramadhan itu
masuk maka dibukanya pintu-pintu langit, dikuncinya
pintu neraka jahanam, dan dirantainya syaithan.”
Dari hadits Rasulullah lainnya, terdapat keterangan
yang sama serta sedikit memperjelas hadits di atas,
bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan dimana
dibukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu neraka,
dan dibelenggunya syaitan. Keterangan tersebut
berdasarkan hadits Rasulullah Saw dari Abi Hurairah
yang diriwayatkan oleh Muslim nomor 1079 sebagai
berikut,9

9
Abi al-Husain muslim bin al-Hijajal-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, (al-Riyad: Dar Thayibah, 1426H), 481. Lihat pula hadits
Bukhari nomor 1898, dalam Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-
Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, 30.

30
ْٓ‫ زَ َذثَنَب إِعَّْبعًُِْ (ًَىٌَُ خَ ْعفَشٍ) َع‬:‫زَ َذثَنَب َّسََْْ ثِْٓ َأٌُّْةَ ًَلُزَْجَخُ ًَإِثُْٓ زُدْشٍ لَبٌٌُْا‬

‫ ِإرَا‬:َ‫ لَبي‬.َ.‫ عَْٓ أَثِْوِ عَْٓ أَثِِْ ىُ َشّْشَحَ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ أََْ سَعٌُْيَ اهللِ ص‬,ًٍَْ‫عي‬
ُ ِِْ‫أَث‬

ُ ًَ ,ِ‫ ًَغٍُِمَذْ أَثٌَْاةُ اٌنَبس‬,ِ‫خَبءَ َسَِؼَبَْ فُزِسّذْ أَثٌَْاةُ اجلَنَخ‬


.ُِْٓ‫طفِذَدْ اٌشََْبط‬
“Yahya bin Ayub, Qutaibah, dan Ibn Hujrin
menceritakan kepada kami bahwa mereka berkata
Ismail (dia adalah Ja‟far) menceritakan kepada kami
dari Abi suhail, bapaknya, dan Abi Hurairah r.a bahwa
Rasulullah bersabda: apabila datang bulan Ramadhan
pintu-pintu surga itu dibuka, pintu-pintu neraka itu
ditutup, dan syaitan itu dibelenggu.”
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa bulan
Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi seorang
muslim dalam beribadah kepada Allah tanpa godaan
syaitan dan peluang besar bagi yang berpuasa untuk
meraih surga dan terhindar dari siksa neraka.
Dengan mengetahui beberapa keutamaan bulan
Ramadhan di atas, mudah-mudahan kita lebih
sungguh-sungguh dalam menjalankan puasa pada
bulan Ramadhan, mengingat banyaknya kemuliaan
yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu,
merugilah bagi siapa saja yang mengabaikan dan tidak
memanfaatkannya.

31
Keutamaan berpuasa Ramadhan
Setiap amal ibadah memiliki keutamaan masing-
masing yang terkandung di dalamnya, baik shalat,
zakat, haji, maupun puasa Ramadhan itu sendiri.
Kesemuanya itu dapat ditemukan dalam al-Quran dan
al-Hadits. Adapun pembahasan ini difokuskan pada
pembahasan tentang keutamaan puasa ramadhan
sebagaimana berikut:
1. Puasa merupakan sarana membentuk insan
yang bertaqwa
Dengan bertaqwa seorang hamba akan
mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah
sebagaimana yang tersirat dalam surat al-Hujurat ayat
13 “Inna Akramakum „inda Allah atqaakum”
(Sesungguhnya orang yang mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu). Secara
langsung, keutamaan puasa ramadhan sebagai sarana
dalam membentuk insan yang bertaqwa, sebagaimana
yang tersirat dalam surat al-Baqarah ayat 183,

ٌَُْ‫َّب َأُّيَب اٌَ ِزَّٓ آَِنٌُاْ وُزِتَ عٍََْ ُىُُ اٌظَِْبَُ وََّب وُزِتَ عٍَََ اٌَ ِزَّٓ ِِٓ لَجٍِْ ُىُْ ٌَعٍََ ُىُْ رََزم‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”

2. Puasa merupakan Ibadah khusus bagi Allah


Dalam hadits qudsi, Allah menjelaskan bahwa
setiap perbuatan yang dilakukan seorang hamba akan

32
kembali kepada dirinya sendiri, kecuali ibadah puasa.
Itu artinya puasa memiliki kedudukan khusus di
hadapan Allah Swt. Dengan demikian, Allah
memberikan balasan yang berlipat bagi orang yang
berpuasa, di antaranya;
pertama, Puasa merupakan tameng agar terhindar
dari api neraka.
Kedua, Allah akan memberikan dua kebahagiaan
bagi yang berpuasa (kebahagian ketika berbuka
dan kebahagiaan ketika bertemu Allah dengan
berpuasa).
Ketiga, puasa melemahlembutkan perangai
manusia dari berkata kotor dan berkata keras
(marah-marah)
Keempat, baunya mulut orang yang berpuasa lebih
baik dari wanginya minyak Misik.
Keterangan tersebut, berdasarkan hadits qudsi dari
Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari nomor
1904 sebagai berikut,10

َِٔ‫زَ َذثَنَب إِثْشَاىُُِْ ثِْٓ ٌُِْعََ َأخْجَ َشَٔب ىِشَبَُ ثِْٓ ٌُّْعُفَ عَْٓ إِثِْٓ خُ َشّْحٍ لَبيَ َأخْجَ َش‬

ُ‫ لَبيَ سَعٌُْي‬:ُ‫عَطَبٌء عَْٓ أَثِِْ طَبٌِرِ اٌ ِضَّبدْ أَٔوُ عَِّعَ أَثَب ىُ َشّْشَحَ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ َّمٌُْي‬

10
Ibid., 31. Lihat pula hadits riwayat Muslim nomor 161, 162, 163,
165 dengan matan yang terpisah dan lebih ringkas, dalam Abi al-
Husain muslim bin al-Hijajal-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim,
511

33
َُ‫ ًَاٌظَِْب‬,ِ‫ ِإّالَ اٌظَِْبَُ ٌَِ ًََأَٔب َأخْضٍِ ثِو‬,ُ‫ وًُُ عًََِّ إِثِْٓ أ َدَ ٌَو‬:ُ‫"لَبيَ اهلل‬.َ.‫اهللِ ص‬

ُ‫ فَإِْ عَبثَوُ َأزَذٌ أًَْ لَبَرٍَو‬,ْ‫ ًَِإرَا وَبَْ َّ ٌَُْ طَ ٌَِْ َأزَذِ ُوُْ َفالَ َّشْفُثْ ًَّالَ َّظْخَت‬,ٌ‫خُنَخ‬

َ‫ ًَاٌَزٍِ َٔ ْفظُ ُِسََّذٍ ثَِْذِهِ ٌَخٌٍُُْفُ َفُِ اٌظَبِئُِ أَطِْتُ عِنْذ‬,ٌُ‫فٍََْْمًُْ ِإَِٔ اِْشُؤٌ طَبِئ‬

َ‫ ًَِإرَا ٌَمَِِ سَثَوُ فَشَذ‬,َ‫ ِإرَا أَفْطَشَ فَشَذ‬:‫ ٌٍِظَبِئُِ فَ ْشزَزَبَْ َّفْ َش ُزيَُّب‬.ِ‫اهللِ ِْٓ ِسّْرِ ادلِغْه‬

.ِ‫ثِظَ ٌِْو‬
“Ibrahim bin Musa menceritakan kepada kami
bahwa Hisyam bin Yusuf dari Ibn Juraij mengabarkan
kepada kami berkata „Atha dari Abi Shalih al-Ziyat
mengabarkan kepada saya bahwasanya dia mendengar
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda:
Allah berfirman: Setiap amal yang dilakukan oleh anak
Adam untuknya, kecuali puasa untuk-Ku (Allah) dan
Aku yang akan membalasnya dan puasa adalah
Tameng dan apabila salah saeorang dari kamu
berpuasa maka janganlah berkata kotor dan berkata
keras (marah). Jika seseorang mencaci-maki dan
mengajak berkelahi maka katakanlah sesungguhnya
aku sedang berpuasa, dan jiwa Muhammad ada
ditangannya bahwa Allah akan mengganti bau mulut
orang yang berpuasa lebih baik di sisi-Nya daripada
wanginya minyak Misk. Orang yang berpuasa akan
mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika
berbuka dan ketika bertemu dengan Tuhan melalui
puasanya.”

34
3. Allah melipatgandakan ganjaran setiap amalan
yang dilakukan orang yang berpuasa
Dengan berpuasa seorang muslim akan mendapat
ganjaran yang dilipatgandakan sepuluh kali lipat
(sebagaimana riwayat Bukhari) hingga tujuh ratus kali
lipat (sebagaimana riwayat Muslim nomor 163).
Keterangan ini berdasarkan hadits Rasulullah dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1893, 11

َ‫زَ َذثَنَب عَجْذُ اهللِ ثِْٓ َِغٍََّْخَ عَْٓ َِبٌِهٍ عَْٓ أَثَِ اٌ ِضَٔبدِ عَْٓ األَعْ َشجِ عَْٓ أَثَِ ىُ َشّْشَح‬

ْ َّ َ‫ َفالَ َّشْ ُفظْ ًَّال‬,ٌ‫ اٌظَِْبَُ خُنَخ‬:‫ لبي‬.َ.‫سَػَِِ اهللُ عَنْوُ أْ سَعٌُْيَ اهللِ ص‬
ِْْ‫ديًَْ ًَإ‬

ُِ‫ ِإَِٔ طَبِئٌُ َِ َشرَِْٓ ًَاٌَزٍِ َٔ ْفظِ ثَِْذِهِ ٌَخٌٍُُْفُ َفُِ اٌظَبِئ‬:ًْ‫أِْشُؤٌ لَبَرٍَوُ أًَْ شَبرََّوُ فٍََْْ ُم‬

َُ‫ اٌظَِْب‬.ٍَِْ‫شيْ ٌَرَوُ ِْٓ َأخ‬


َ ًَ ُ‫َّزْ ُشنُ طَعَبَِوُ ًَشَشَاثَو‬.ِ‫أَطِْتُ عِنْذَ اهللِ ِْٓ ِسّْرِ ادلِغْه‬

.‫ٌَِ ًََأَٔب َأخْضٍِ ثِوِ ًِاحلَغَنَخُ ثِعَشْشِ َأِْثَبٌِيَب‬


“Abdullah bin Salamah menceritakan kepada kami
dari Malik, dari Abi Zinad, dari al-„Araj dari Abu
Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
puasa adalah tameng, maka janganlah memukul dan
bersikap bodoh (pura-pura tidak tahu) serta jika
seseorang mencaci-maki dan mengajak berkelahi maka
katakanlah dua kali sesungguhnya aku berpuasa. Dan
11
Ibid., 29.

35
demi jiwa di tangannya bahwa Allah akan mengganti
bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi-Nya
dari pada wanginya minyak Misk, dia meninggalkan
makan, minum, dan hawa nafsunya. Puasa itu untuk-
Ku dan Aku (Allah) yang membalasnya dan satu
kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali
lipat. “

4. Puasa merupakan senjata penghapus dosa


Manusia merupakan makhluk yang tidak terlepas
dari dosa, karena itu puasa menjadi ibadah penting
bagi seorang muslim. Tentunya, bukan puasa yang
main-main, tetapi berpuasa yang diselimuti keimanan
dan semata-mata mencari ridha Allah. Keterangan
tersebut berdasarkan hadits Rasulullah dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan Bukhari nomor 1901
sebagai berikut,12

َ‫زَ َذثَنَب ُِغٍُُِْ ثِْٓ إِثْشَاىَُِْ زَ َذثَنَب ىِشَبٌَ زَ َذثَنَب َّسَِْ عَْٓ أَثَِ عٍَََّخَ عَْٓ أَثَِ ىُ َشّْشَح‬

ُ‫ َِْٓ لَبَ ٌٍََْخَ اٌمَذْسِ ِإّْ َّبًٔب ًَازْزِغَبثًب ُغفِشَ ٌَو‬:َ‫ لَبي‬.َ.‫َ ص‬
ِ ِ‫سَػَِِ اهللُ عَنْوُ عَِٓ اٌنَج‬

.ِ‫ ًََِْٓ طَبَ َسَِؼَبَْ ِإّْ َّبًٔب ًَازْزِغَبثًب ُغفِشَ ٌَوُ َِب َرمَ َذَ ِْٓ َرْٔجِو‬,ِ‫َِب َرمَ َذَ ِْٓ َرْٔجِو‬
“Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami,
Hisyam menceritakan kepada kami, Yahya
menceritakan kepada kami dari Abi Salamah dari Abu
Hurairah r.a dari Nabi Saw bersabda: siapa yang

12
Ibid., 31.

36
menegakan lailah al-Qadr dengan keimanan dan
semata mencari ridha Allah maka akan diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu, dan siapa yang puasa dengan
keimanan dan mengharapkan ridha Allah maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. “

5. Puasa merupakan kunci masuk ke surga al-


Rayan (surga khusus bagi yang berpuasa)
Ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat
istimewa di hadapan Allah. Secara langsung Allah
menegaskan bahwa puasa itu untuk-Ku (sebagaimana
tersebut pada hadits qudsi di atas), bahkan Allah telah
menyiapkan tempat khusus yang diperuntukan bagi
hamba-Nya yang berpuasa. Keterangan ini berdasarkan
hadist Rasulullah Saw dari Sahal r.a yang diriwayatkan
Bukhari nomor 1896 sebagai berikut,

ًٍْ‫عي‬
َ َْٓ‫زَ َذثَنَب خَبٌِذُ ثِْٓ َِخٍَْذٍ زَ َذثَنَب عٍََُّْبُْ ثِْٓ ِثالَيٍ لَبيَ زَ َذثَنَِ أَثٌُْ زَب ِصٍَ ع‬

ُ‫ َّ ْذخًُُ ِنْو‬,ُْ‫ إَِْ فَِ اجلَنَخِ ثَبثًب ُّمَبيُ ٌَوُ اٌ ِشَّب‬:َ‫ لَبي‬.َ.‫سَػَِِ اهللُ عَنْوُ عَْٓ اٌنَجِِِ ص‬

‫ َّال‬,ٌٌَُِْْْ ُ‫ َأَّْٓ اٌظَبئٌَُِّْْ؟ فََْم‬:ُ‫ ُّمَبي‬,ُْ‫اٌظَبئٌَُِّْْ َّ ٌَْ اٌمَِْبَِخِ َّال َّ ْذخًُُ ِنْوُ َأزَذٌ غَْشُ ُى‬

.ٌ‫ فٍََُْ َّ ْذخًُْ ِنْوُ َأزَذ‬,ْ‫ فَِإرَا َدخٌٍَُْا أَغٍِْك‬,ُْ‫َّ ْذخًُُ ِنْوُ َأزَذٌ غَْشُ ُى‬
“Khalid bin Makhlad menceritakan kami, Sulaiman
bin Bilal menceritakan kami berkata Abu Hazim
menceritakan kepadaku dari Sahl r.a dari Nabi Saw
bersabda: sesungguhnya di dalam surga itu ada pintu

37
yang dipanggil dengan al-Rayan, pada hari kiamat
orang-orang yang berpuasa akan masuk ke dalamnya,
tidak ada satu pun selainnya. Mereka dipanggil: di
mana orang yang berpuasa? Mereka berdiri tegal dan
tidak ada selain mereka yang berpuasa. Apabila mereka
yang berpuasa sudah masuk pintu itu akan terkunci,
maka tidak satu pun yang dapat memasukinya.”

6. Puasa merupakan perisai pengekang hawa


nafsu
Secara langsung, salah satu keutamaan berpuasa
dapat mengekang hawa nafsu seseorang. Karena itulah
Rasulullah memberikan solusi bagi siapa yang belum
mampu menikah (menundukan pandangan dan
menjaga kemaluan) dengan berpuasa. Itu artinya,
puasa merupakan salah satu perisai (selain menikah)
pengekang hawa nafsu. Keterangan tersebut
berdasarkan hadits Rasulullah saw dari Abdillah yang
diriwayatkan Bukhari nomor 1905 sebagai berikut,13

‫زَ َذثَنَب عَجْذَاُْ عَْٓ أَثِِْ زَّْضَحَ عَْٓ األَعْ َّشِ عَْٓ إِثْشَاىَُِْ عَْٓ عٍَْمََّخَ لَبيَ " ثَْنَب َأَٔب‬

َ‫ َِْٓ إعْزَطَبع‬:َ‫ َفمَبي‬.َ.‫ِ ص‬


ِ ِ‫ وُنَب َِعَ اٌنَج‬:َ‫َأِْشَِ َِعَ عَجْذِ اهللِ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ َفمَبي‬

ُ‫ ًََِْٓ َمل َّْغْزَطِعْ فَعٍََْوِ ِثبٌظَ ٌَِْ فَِإَٔوُ ٌَو‬,ِ‫اٌجَبءَحَ فٍََْْزَضَ ًَجْ فَِإَٔوُ أَ ْغغٌٍَِْجَظَشِ ًََأزْظٌٍَُِْٓفَ ْشج‬

.‫ًِخَبء‬

13
Ibid., 32

38
“Amdan menceritakan kepada kami dari Abi
Hamzah dari al-A‟masy dari Ibrahim dari „Alqamah
berkata “di antara kami Aku berjalan bersama Abdullah
r.a. maka dia berkata sungguh kami bersama Nabi Saw
dan bersabda: Siapa yang mampu menikah, maka
menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat
menundukan pandangan dan menjaga kemaluan dan
siapa yang belum mampu maka baginya berpuasa,
karena puasa itu obat.”
Dengan melihat banyak keutamaan bulan
Ramadhan dan keutamaan berpuasa di dalamnya
sebagaimana yang tersirat dalam al-Quran dan al-
Hadits yang telah dijelaskan di atas, maka janganlah
melewatkan kesempatan yang berharga itu dengan
lebih bersungguh-sungguh dalam berpuasa Ramadhan
yang berselimutkan keimanan dan semata-mata
mengharap ridha Allah.

-o0o-

39
40
41
Keberhasilan sebuah kegiatan sangat bergantung
dengan seberapa jauh persiapan yang dilakukan.
Begitu juga dengan berpuasa Ramadhan. Keberhasilan
dalam berpuasa Ramadhan sangat bergantung dengan
persiapan yang dilakukan sebelum datang bulan
Ramadhan. Minimnya persiapan sebelum berpuasa
akan menyebabkan ketidaksiapan seorang muslim
dalam menjalankan puasa Ramadhan. Dengan
ketidaksiapan akhirnya timbullah perasaan berat,
capek, dan merasa tidak mampu menjalankan perintah
Allah (berpuasa Ramadhan). Padahal Allah menegaskan
“Dia tidak akan memberikan pembebanan kepada
seorang hamba kecuali sesuai dengan kemam-
puannya”. Dalam al-Quran, Allah mengulanginya
sebanyak tujuh kali yang tersebar pada lima surat yang
berbeda (surat al-Baqarah: 233, 286, surat al-Nisa: 84,
surat al-An’am: 152, surat al-A’raf: 42, surat al-
Mukminun: 62, surat al-Thalaq: 7).1 Salah satu dari
ayat di atas dapat dilihat di bawah ini,

‫َال يُنَيِفُ اىيّوُ َّفْغبً ِئالَ ًُعْ َعيَب َىيَب ٍَب مَغَبَتْ ًَعَيَْييَب ٍَب امْتَغَبَتْ سَّبَنَب َال تُإَاخِ ْزَّب‬

‫ئُِ َّغِينَب أًَْ َأخْطَ ْأَّب سَّبَنَب ًَالَ تَحَِْوْ عَيَيْنَب ئِصْشاً مَََب حَََيْتَوُ عَيَى اىَ ِزيَِ ٍِِ قَبْيِنَب‬

1
Ditakhrij dalam al-Quran melalui mu’zam al-Quran dengan
menggunakan kata ‫ كلف‬Lihat dalam, Muhammad Fuad Abd al-Baqiy,
Mu’zam al-Mufahras li al-Fadz al-Quran al-Karim, (al-Qahirah: Dar al-
Hadits, 1426H), 614.

42
‫سَّبَنَب ًَالَ تُحََِيْنَب ٍَب َال طَبقَتَ ىَنَب ّبِوِ ًَاعْفُ عَنَب ًَا ْغفِشْ ىَنَب ًَا ْسحََْنَب َأّتَ ٍَ ٌْ َالَّب‬

َِ‫فَبّصُ ْشَّب عَيَى اْىقَ ًٌِْ اىْنَبفِ ِشي‬


“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka
berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri ma'aflah kami. ampunilah kami. dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.2
Secara tidak langsung, dapat disimpukan bahwa
minimnya persiapan dalam melaksanakan perintah
Allah akan menimbulkan kekufuran terhadap firman
Allah. Oleh karena itu, pada titik inilah pentingnya
melakukan persiapan dalam melaksanakan Ibadah,
khususnya Ibadah puasa Ramadhan yang sangat
membutuhkan persiapan karena berpuasa satu bulan
penuh. Adapun persiapan yang dimaksud sebagai
berikut:

2
Lihat surat al-Baqarah ayat 286, Departemen Agama, al-Quran dan
Terjemahannya.

43
Persiapan Rohani (keimanan)
Persiapan rohani adalah persiapan yang
berhubungan dengan keimanan. Imam Bukhari dalam
kitab haditsnya meletakan keimanan pada urutan
kedua setelah pembahasan tentang wahyu.3Sedangkan
Muslim dalam kitabnya meletakan keimanan sebagai
pembahasan pertama sebelum yang lainnya.4 Artinya,
keimanan memiliki peran penting dalam kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan keagamaan
maupun yang berhubungan dengan keduniaan.
Dengan persiapan keimanan yang memadai
seorang muslim akan bersungguh-sungguh melak-
sanakan ibadah yang dibebani kepadanya. Misalnya
saja puasa Ramadhan. Rasulullah Saw memberikan
petunjuk kepada umatnya untuk selalu memposisikan
dirinya sebagai seorang yang beriman dalam berpuasa
Ramadhan. Hal ini berdasarkan pada hadits beliau yang
diriwayatkan Bukhari nomor 1901 dari Abu Hurairah
sebagai berikut,5

3
Lihat daftar Isi kitab hadits shahih Bukhari dalam, Abi Abd Allah
Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, (al-Qahirah: al-
Mathba’ah al-Salafiyah, 1403H), juz ke-1, 547
4
Lihat daftar isi kitab hadits shahih Muslim, dalam Abi al-Husain
muslim bin al-Hijajal-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, (al-
Riyad: Dar Thayibah, 1426H), 1381.
5
Abi Abd Allah Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Juz
2, 31.

44
َ‫حَ َذثَنَب ٍُغِْيٌُ ّبِِْ ئِّبْشَاىِْيٌَ حَ َذثَنَب ىِشَبًٌ حَ َذثَنَب يَحْيَ عَِْ أَّبِى عَيَََتَ عَِْ أَّبِى ىُ َشيْشَة‬

ُ‫ ٍَِْ قَبًَ ىَيْيَتَ اىقَذْسِ ِئيْ ََبًّب ًَاحْتِغَبّبًب ُغفِشَ ىَو‬:َ‫ قَبه‬.ً.‫ى ص‬
ِ ِ‫سَضِيَ اهللُ عَنْوُ عَِِ اىنَب‬

.ِ‫ ًٍََِْ صَبًَ َسٍَضَبَُ ِئيْ ََبًّب ًَاحْتِغَبّبًب ُغفِشَ ىَوُ ٍَب َتقَ َذًَ ٍِِْ َرّْبِو‬,ِ‫ٍَب َتقَ َذًَ ٍِِْ َرّْبِو‬
“Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami,
Hisyam menceritakan kepada kami, Yahya
menceritakan kepada kami dari Abi Salamah dari Abu
Hurairah r.a dari Nabi Saw bersabda: siapa yang
menegakan lailah al-Qadr dengan keimanan dan
semata mencari ridha Allah maka akan diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu, dan siapa yang puasa dengan
keimanan dan mengharapkan ridha Allah maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Dengan demikian dapatlah difahami jika Allah
memerintahkan puasa Ramadhan kepada orang yang
beriman, sebagaimana yang tersirat dalam surat al-
Baqarah ayat 183. terlepas ayat tersebut tergolong
sebagai ayat madaniyah (ayat yang diturunkan setelah
hijrah Nabi ke Madinah) sehingga menggunakan
panggilan ْ‫ يَا أَيُهَا اّلَذِينَ آمَنُوا‬tetapi karena memang umat
Islam telah memiliki kekokohan keimanan pada saat
itu. Sungguh tidak ada yang meragukan kegigihan
mereka (baca: Rasulullah Saw dan sahabatnya) dalam
melaksanakan ibadah dan memperjuangkan Islam
sekalipun diterpa dengan berbagai ujian dan cobaan.
Bagaimana dengan kita sekarang? inilah yang
harus menjadi bahan perenungan. Mengapa kenyataan

45
seperti itu bak sebuah kamuflase? Kegigihan kita dalam
beribadah sangat tidak sebanding dengan kegigihan
Rasulullah dan sahabatnya. Tentunya, kita harus
bergerak untuk melihat dan mengevaluasi diri, apakah
diri kita termasuk beriman yang sebenarnya. Atau
sebaliknya banyak sifat munafik yang melekat dalam
diri kita. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut,

Ciri-ciri orang beriman dalam al-Quran6


CIRI-CIRI
NO DALIL
BERIMAN
1. Bergetar Ciri tersebut berdasarkan firman Allah
hatinya dalam surat al-Anfal ayat 2 sebagai
ketika berikut,
disebutkan
asma Allah ْ‫ئَََِّب اْىَُإٍِْنٌَُُ اىَزِيَِ ئِرَا ُرِمشَ اىّيوُ ًَجِيَتْ قُيٌُُّبُيٌْ ًَئِرَا تُيِيَت‬
2. Bertambah
imannya ٌَُُ‫عَيَْيِيٌْ آيَبُتوُ صَا َدْتُيٌْ ئِميَبّبً ًَعَيَى سَِّبِيٌْ يَتَ ٌَمَي‬
ketika
dibacakan Sesungguhnya orang-orang yang
ayat-ayat beriman ialah mereka yang bila
Allah disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan ayat-
3. Bertawakal
ayatNya bertambahlah iman mereka
kepada Allah
(karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal

6
Penulusuran ayat-ayat di atas melalui kata ‫ مؤمنون‬-‫ أمن‬dengan
menggunakan mu’zam al-Quran guna mendapatkan keterangan yang
konferehensif dalam al-Quran tentang cirri-ciri orang beriman, lihat
dalam Muhammad Fuad Abd al-Baqiy, Mu’zam al-Mufahras li al-Fadz
al-Quran al-Karim, 81-93.

46
4. Beriman Ciri tersebut berdasarkan firman Allah
kepada Allah dalam surat al-Hujurat ayat 15
dan Rasul- sebagai berikut,
Nya
5. Tidak ragu- ‫ئَََِّب اْىَُإٍِْنٌَُُ اىَزِيَِ آٍَنٌُا ّبِبىَيوِ ًَسَعٌُِىوِ ُثٌَ َىٌْ َي ْشتَبّبٌُا‬
ragu dalam
bersikap ٌُ‫غِيٌْ فِي عَبِيوِ اىَيوِ أُ ًْىَئِلَ ُى‬
ِ ‫ًَجَبىَذًُا ّبِأٌٍََْاِىِيٌْ ًَأَّ ُف‬
6. berjuang di
jalan Allah ٌَُُ‫اىصَبدِق‬
dengan
harta dan Sesungguhnya orang-orang yang
jiwanya beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar
7. Selalu Ciri tersebut berdasarkan firman Allah
meminta izin dalam surat al-Nur ayat 62 sebagai
ketika dalam berikut,
sebuah
pertemuan ‫ئَََِّب اْىَُإٍِْنٌَُُ اىَزِيَِ آٍَنٌُا ّبِبىَيِو ًَسَعٌُِىوِ ًَئِرَا مَبٌُّا ٍَ َعوُ عَيَى‬

َ‫أٍَْشٍ جَبٍِعٍ َىٌْ يَ ْزىَبٌُا حَتَى َيغْتَأْرٌُِّهُ ِئَُ اىَزِيَِ َيغْتَأْرٌَُِّّل‬

ِ‫أُ ًْىَئِلَ اىَزِيَِ يُإٍِْنٌَُُ ّبِبىَيوِ ًَسَعٌُِىوِ فَاِرَا اعْتَأْرٌَُّكَ ىِبَعْض‬

ٌ‫شَأِِّْيٌْ فَأْرَُ ِىََِ شِئْتَ ٍِْنُيٌْ ًَاعْتَغِْفشْ َىُيٌُ اىَيوَ ِئَُ اىَيوَ غَفٌُس‬

ٌٌ‫سَحِي‬

47
Sesungguhnya yang sebenar-benar
orang mu'min ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan apabila mereka berada bersama-
sama Rasulullah dalam sesuatu
urusan yang memerlukan pertemuan,
mereka tidak meninggalkan
(Rasulullah) sebelum meminta izin
kepadanya. Sesungguhnya orang-
orang yang meminta izin kepadamu
(Muhammad) mereka itulah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-Nya, maka apabila mereka
meminta izin kepadamu karena
sesuatu keperluan, berilah izin
kepada siapa yang kamu kehendaki
di antara mereka, dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang
8. Bersaudara Ciri tersebut berdasarkan firman Allah
dan selalu dalam surat al-Hujurat ayat 10
menjaga tali sebagai berikut,
persauda-
raan ٌْ‫ئَََِّب اْىَُإٍِْنٌَُُ ئِخٌَْةٌ فَأَصْيِحٌُا ّبَْيَِ أَخٌََيْ ُنٌْ ًَاتَقٌُا اىَيوَ ىَعَيَ ُن‬
9. Selalu takut
kepada Allah ٌََُُ‫ُتشْ َح‬

Orang-orang beriman itu


sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat

48
10. Menjaga Ciri tersebut berdasarkan firman Allah
pandangann dalam surat al-Nur ayat 30 sebagai
ya dari hal berikut,
yang tidak
baik َ‫قُو ىِْيَُإٍِْنِنيَ يَغُضٌُا ٍِِْ أَّبْصَب ِس ِىٌْ ًيَحْ َفظٌُا ُفشًُ َجُيٌْ َرىِل‬
11. Menjaga
Kemaluan- ٌَُُ‫أَ ْصمَى َىُيٌْ ِئَُ اىَيوَ خَبِريٌ ِّبََب يَصْنَع‬
nya dari
perbuatan Katakanlah kepada orang laki-laki
zina yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka
perbuat".
12. Khusu’ Hal ini berdasarkan surat al-
dalam Mukminun ayat 1-6 sebagai berikut,
melaksa-
nakan shalat َِ‫ ًَاىَزِي‬,ٌَُُ‫ اىَزِيَِ ُىٌْ فِي صَيَبِتِيٌْ خَبشِع‬,ٌَُُ‫قَذْ أَفْيَحَ اْىَُإٍِْن‬
13. Menghindari
perkataan َِ‫ ًَاىَزِي‬,ٌَُُ‫ ًَاىَزِيَِ ُىٌْ ىِي َضمَبةِ فَبعِي‬,ٌَُُ‫ُىٌْ َعِِ اىيَغٌِْ ٍُ ْعشِض‬
dan
perbuatan ْ‫ ِئىَب عَيَى أَصًَْا ِجِيٌْ أًْ ٍَب ٍَيَنَت‬,ٌَُُ‫ُىٌْ ىِ ُفشًُ ِجِيٌْ حَبِفظ‬
yang tidak
baik
.َ‫ٍَيٌٍُِني‬ ُ‫أَْيََبُُّيٌْ فَاَُِّيٌْ غَْيش‬
14. Menunaikan
zakat Sesungguhnya beruntunglah orang-
orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna,

49
dan orang-orang yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki ; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela

Sebagai bahan pembanding, apakah kita


sebenarnya beriman atau sebaliknya banyak sifat
munafik yang menempel dalam diri kita. Lebih jelasnya
perhatikan table berikut ini tentang ciri-ciri orang yang
munafik sebagai berikut,

Ciri-ciri orang munafik dalam al-Quran


CIRI-CIRI
NO DALIL
MUNAFIK
1. Bersikap Ciri tersebut berdasarkan firman
menipu Allah dalam surat al-Nisa ayat
142 sebagai berikut,
2. Bersikap
malas
‫ِئَُ اْىَُنَبفِقِنيَ يُخَبدِعٌَُُ اىّيوَ ًَىٌَُ خَبدِ ُعُيٌْ ًَئِرَا قَبٌٍُاْ ِئىَى‬
dalam
melaksanak
an shalat
َ‫اىصَالَةِ قَبٌٍُاْ ُمغَبىَى ُيشَآؤًُ َُ اىنَبطَ ًَالَ يَ ْز ُمشًَُُ اىّيوَ ئِال‬

3. Bersikap ً‫قَيِيال‬
riya
(sombong) Sesungguhnya orang-orang
kepada

50
manusia munafik itu menipu Allah, dan
Allah akan membalas tipuan
4. Sedikit
mereka . Dan apabila mereka
menyebut
berdiri untuk shalat mereka
Allah
berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat)
di hadapan manusia. Dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali .

Sekarang apa yang harus dilakukan dengan table di


atas? Jadikan kedua table tersebut sebagai indikator
untuk menilai kualitas keberimanan sebelum
melaksanakan puasa Ramadhan. Apakah kita hanya
beranggapan bahwa saya telah beriman (How to know)
atau Apakah kita benar-benar telah menjadi orang
yang beriman (How to be). Di sinilah pentingnya
melakukan persiapan rohani (keimanan) dalam rangka
menjadikan diri ini menjadi beriman dengan
sebenarnya sebelum melaksanakan puasa Ramadhan.
Mudah-mudahan dengan melakukan persiapan
rohani ini, insya Allah kita akan merasakan keutamaan
dan kemuliaan berpuasa Ramadhan, selanjutnya kita
akan menjadi orang yang bertaqwa (sebagai tujuan
berpuasa Ramadhan) dan kita akan mendapatkan
posisi yang mulia di hadapan Allah Swt.

51
Persiapan Ilmu
Persiapan ilmu di sini dimaksudkan ilmu yang
berhubungan dengan puasa Ramadhan secara integral
dan utuh dengan berdasarkan pada al-Quran dan al-
Hadits secara mutlak. Sikap tersebut harus dilakukan
dikarenakan puasa Ramadhan merupakan salah satu
ibadah mahdah (khusus) yang telah dijelaskan secara
detail di dalam kedua sumber tersebut.
Dengan melakukan persiapan ilmu ini diharapkan
tidak terjadi kebingungan (mana yang harus dilakukan
dan yang harus ditinggalkan), sehingga sudah tidak
ada lagi perbuatan bid’ah -yang berhubungan dengan
puasa- yang kita lakukan. Secara langsung, Allah
melarang hamba-Nya melakukan sesuatu perbuatan
yang tidak berselimutkan pengetahuan, bahkan Allah
mengancamnya dengan memintai pertanggung
jawaban dari perbuatan tersebut, sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Isra ayat 36 sebagai berikut,

ُ‫ًَالَ َتقْفُ ٍَب ىَْيظَ ىَلَ ّبِوِ عِْيٌٌ ئَُِ اىغََْعَ ًَاىْبَصَشَ ًَاْىفُإَادَ مُوُ أًُىـئِلَ مَبَُ عَنْو‬

ً‫ٍَغْإًُال‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”
Di samping itu, dengan persiapan ilmu ini
diharapkan agar lebih mengetahui amalan-amalan
prioritas ketika berpuasa Ramadhan, misalnya

52
mensegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur,
I’tikaf sepuluh malam terakhir bulan ramadhan guna
menggapai lailah al-Qadr, memperbanyak ibadah
(membaca al-Quran, shalat qiyam al-Ramadhan/ shalat
tarawih) dan seterusnya.
Oleh karena itu, di sinilah pentingnya melakukan
persiapan ilmu untuk mencapai kesuksesan dalam
berpuasa dengan mempelajari kembali pengetahuan
tentang puasa Ramadhan itu sendiri secara utuh dan
konferehensif. Dengan demikian, mudah-mudahan kita
akan merasakan kenikmatan berpuasa Ramadhan dan
mengapai kemulian bulan Ramadhan dan berpuasa
Ramadhan.

Persiapan Jasmani
Persiapan jasmani ini dimaksudkan persiapan yang
berhubungan dengan kesehatan secara fisik. Dengan
harapan, ketika berpuasa Ramadhan kita benar-benar
memiliki kesehatan tubuh dan tidak terganggu dengan
berbagai penyakit yang akan mengurangi kualitas
berpuasa. Tentunya banyak tips yang dapat dilakukan
dalam melakukan persiapan jasmani sebelum berpuasa
Ramadhan.
Misalnya saja, Rasulullah Saw selalu melakukan
persiapan diri dengan berpuasa sunnah sebelum
berpuasa Ramadhan. Dari sana terdapat pesan moral
yang perlu menjadi perhatian bagi umat Islam bahwa
Rasulullah melakukan persiapan diri –dengan latihan
berpuasa- sebelum berpuasa satu bulan penuh pada
bulan Ramadhan. Keterang tersebut berdasarkan

53
hadits-hadits rasulullah yang menjelaskan bahwa
Rasulullah melakukan puasa pada bulan sya’ban,
sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan
Bukhari nomor 1969 dari ‘Aisyah r.ha, sebagai berikut,7

َ‫حَ َذثَنَب عَبْذُ اهللِ ّبِِْ يٌُْعُفَ َأخْبَ َشَّب ٍَبىِلُ عَِْ أَّبِى اىنَضْشِ عَِْ أَّبِى عَيَََتَ عَِْ عَبئِشَت‬

‫ مَبَُ سَعٌُْهُ اهللِ صَيى اهللُ عَيَيْوِ ًَعََيٌَ يَصُ ًٌُْ حَتَى َّقٌُْهَ َال‬:ْ‫سَضِيَ اهللُ عَْنيَب قَبىَت‬

َ ًَ ِ‫ ًٍََب َسَأيْتُ سَعٌُْهَ اهللِ صَيى اهللُ عَيَيْو‬,ًٌُْ ُ‫ ًَُيفْطِشُ حَتَى َّقٌُْهَ َال يَص‬,ُ‫ُيفْطِش‬
ٌَ‫عَي‬

.َُ‫شيْشٍ ِئالَ َسٍَضَبَُ ًٍََب َسَأيْتُوُ أَمْثَشَ صِيَبًٍب ٍِنْوُ فِى شَعْبَب‬
َ ًَ‫ئِعْتَنََْوَ صِيَب‬
“Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami
bahwa Malik mengabarkan kepada kami dari Abi Nadri
dari Abi Salamah dari „Aisyah r.ha berkata: Rasulullah
berpuasa hingga kami berkata beliau tidak berbuka,
dan beliau berbuka hingga kami berkata beliau tidak
berpuasa, dan aku tidak melihat Rasulullah Saw
berpuasa secara lengkap satu bulan kecuali bulan
Ramadhan dan aku tidak melihat beliau lebih banyak
berpuasa (selain bulan Ramadhan) kecuali bulan
Sya‟ban".
Terlepas dari perbedaan yang terjadi mengenai
puasa tersebut, penulis lebih melihat bahwa Rasulullah
berpuasa lebih banyak pada bulan sya’ban selain bulan
Ramadhan (dibandingkan dengan bulan rajab, rabi’ al-

7
Abi Abd Allah Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Juz
2, 50.

54
Akhir, rabi’ al-Awal dst) dalam rangka mempersiapkan
diri (membiasakan diri) sebelum berpuasa Ramadan.
Pendapat tersebut dapat diperkuat dengan melihat
pandangan Muslim dalam kitab haditsnya
menggolongkan hadits di atas pada bab shiyam al-
Nabiy Saw fi ghair ramadhan (bab puasa Nabi Saw
selain bulan Ramadhan).8
Di samping, persiapan jasmani di atas, tentunya
sangat perlu untuk melakukan persiapan selanjutnya
dengan menjaga ketahanan (daya tahan) tubuh,
hendaknya kita membiasakan diri untuk berolah raga,
makan yang bergizi (menjaga pola makan yang sehat),
istirahat yang cukup, tidak melakukan sesutu
perbuatan yang ekstrim sehingga tidak terjadi
kecelakan yang menyebabkan kita tidak mampu
berpuasa, dan menjaga gaya hidup. Dengan demikian
mudah-mudahan kita tetap sehat atau lebih sehat
ketika datang bulan Ramadhan. Insya Allah kita akan
merasakan kekuatan dalam berpuasa Ramadhan.
Singkat kata, persiapan jasmani ini dilakukan guna
kewaspadaan diri agar terhindar dari sesuatu yang
menyebabkan kita tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan karena sakit. Mengingat betapa mulianya
bulan Ramadhan dengan dibukanya pintu surga,
ditutupnya pintu neraka, dan dibelenggunya syaitan,
sehingga sangat banyak kemudahan dan motivasi bagi
kita dalam berpuasa bila dibandingkan berpuasa di luar
bulan Ramadhan (banyak godaan, kurangnya motivasi,

8
Abi al-Husain muslim bin al-Hijaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, 513.

55
dan seterusnya). Oleh karena itu, di sinilah pentingnya
persiapan jasmani sebelum berpuasa Ramadhan.

Persiapan Harta
Persiapan harta ini dimaksudkan persiapan yang
berhubungan dengan pendanaan. Dalam persiapan ini
seorang muslim diajak untuk bekerja keras dalam
menyisihkan uang sebelum kedatangan bulan
Ramadhan, sehingga mereka memiliki kecukupan dana
yang akan digunakan selama berpuasa di bulan
Ramadhan. Dengan demikian, seorang muslim akan
merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak lagi
bekerja keras pada saat itu. Selain itu, seorang muslim
jangan sampai tidak berpuasa dikarenakan harus
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
selama bulan Ramadhan.
Sebagai makhluk berakal, seorang muslim harus
melakukan perhitungan yang matang agar puasa
Ramadhan yang dilakukan mencapai keberhasilan yang
maksimal. Apalagi, bulan Ramadhan merupakan salah
satu dari dua belas bulan selama setahun. Lalu, apakah
tidak cukup untuk seorang muslim mencari kebutuhan
hidup di bulan Ramadhan selama sebelas bulan itu?
Dengan persiapan dana ini, mudah-mudahan tidak
ada lagi umat Islam yang tidak berpuasa dikarenakan
harus bekerja keras dalam mencari nafkah. Sehingga
mereka merasa tidak berdaya ketika harus berpuasa
selama satu bulan penuh. Sampai di sini ada point
penting yang harus diperhatikan! Boleh jadi kepedulian
(kepeduliaan social) seorang muslim pun sangat

56
dibutuhkan untuk menyelamatkan nasib mereka
sehingga mereka tetap melaksanakan puasa Ramadhan
secara khusyu’.
Oleh karena itu, di sinilah pentingnya melakukan
persiapan dana dengan maksimal yang sangat
dibutuhkan selama Ramadhan. Di samping untuk
kebutuhan diri dan keluarga sendiri, dengan kelebihan
dana yang dipersiapkan, seorang muslim dapat
memperjuangkan nasib saudaranya dengan mencukupi
kebutuhan hidup selama puasa berlangsung, sehingga
tidak ada di antara umat Islam yang tidak berpuasa lagi
dikarenakan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
diri dan keluarganya. Barang kali di sanalah letak
kesuksesan sebenarnya orang yang berpuasa, yaitu
orang berpuasa yang tidak hanya mementing diri
sendiri dan keluarganya, tetapi juga memikirkan nasib
orang lain. wa Allahu a‟lam.

-o0o-

57
58
59
Sebelum berpuasa ramadhan, umat Islam disibukan
dengan kegiatan penentuan awal bulan Ramadhan.
Sebuah kegiatan di mana umat Islam melakukan
pengamatan dan penghitungan yang akuratif terhadap
hilal sebagai tanda bahwa esok harinya sudah masuk
bulan Ramadhan. Tentunya bukan sembarang kegiatan
(penentuan bulan) seperti yang terjadi sekarang, tetapi
kegiatan yang berdasar kepada al-Quran dan al-Hadits
serta didukung oleh ilmu pengetahuan yang memadai,
seperti ilmu astronomi.
Secara langsung, Allah mensyariatkan kepada
hamba-Nya untuk melakukan pengamatan bulan
sebelum berpuasa Ramadhan. keterangan tersebut
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
185 sebagai berikut,

‫شهْسُ َزهَضَاىَ اّلَرٌَِ ُأًزِلَ فُِهِ اّْلقُسْآىُ هُدًي ّلِلّنَاسِ وَبَُِّنَاتٍ هِيَ اّْلهُدَي َواّْلفُسْقَاىِ فَوَي‬
َ

ُ‫سفَسٍ فَعِدَةٌ هِيْ َأََامٍ ُأخَسَ َُ ِسَد‬


َ ًَ‫ّشهْسَ فَلَُْصُوْهُ َوهَي كَاىَ هَسَِضاً أَوْ عَل‬
َ ‫شهِدَ هِّن ُكنُ اّل‬
َ

ْ‫اّللّهُ بِ ُكنُ اّلُْسْسَ َوالَ َُ ِسَدُ بِ ُكنُ اّلْعُسْسَ وَّلِتُكْوِلُىاْ اّلْعِدَةَ وَّلِتُكَِّبسُواْ اّللّهَ عَلًَ هَا هَدَا ُكن‬

َ‫وّلَعَلَ ُكنْ تَّشْكُسُوى‬


“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat

60
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.”

Secara langsung kita dapat melihat pada kalimat ‫فَوَي‬

ُ‫ّشهْسَ فَلَُْصُوْه‬ َ dari ayat di atas. Menurut Yasin dalam


َ ‫شهِدَ هِّن ُكنُ اّل‬
kitabnya al-Tafsir al-Shahih1 ia menjelaskan potongan
ayat tersebut dengan merujuk kepada hadits Rasulullah
berasal dari Ibn Umar, ketika Rasulullah menyebutkan
bulan Ramadhan, lalu beliau bersabda “janganlah
berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah
berbuka sebelum melihatnya, dan jika mendung
menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”.
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukahari nomor 1906 sebagai
berikut,2

1
Hikmat bin Basyir bin Yasin, al-Tafsir al-Shahih, (al-Madinah al-
Nabawiyah: Dar al-Matsir, 1990), juz ke 1, 288.
2
Abi Abd Allah Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, (al-
Qahirah: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1403H), Juz ke-2, 32.

61
ُ‫حَ َدثَّنَا عَّبْدُ اهللِ بِيْ هَسْلَوَةَ عَيْ هَاّلِكٍ عَيْ ًَافِع عَيْ عَّبْدِ اهللِ بِيْ عُوَسَ زَضٍَِ اهلل‬

َ‫ َوال‬,َ‫ َال تَصُ ْىهُىْا حَتًَ تَسَوُا ا ِهلالَل‬:َ‫ ذَكَسَ َزهَضَاىَ َفقَال‬.‫م‬.‫عَّْنهُوَا أَىَ زَسُىْلَ اهللِ ص‬

.ُ‫ فَإِىْ ُغنَ عَلَُْ ُكنْ فَاقْدُزًوْا ّلَه‬,ُ‫ُتفْطِسُوْا حَتًَ تَسَوْه‬


“Abdullah bin Salamah menceritakan kepada kami
dari Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin Ibn Umar
bahwasanya Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan,
lelu beliau bersabda “janganlah berpuasa sebelum
kamu melihat hilal dan janganlah berbuka sebelum
melihatnya, dan jika mendung menyelimuti kalian,
maka perkirakanlah hilal itu”.
Dari kedua sumber di atas, umat Islam sepakat
dalam hal penentuan awal bulan Ramadhan. Walau
demikian dalam perjalanannya kita sering menemukan
perbedaan yang terjadi di dalamnya. Perbedaan inilah
yang perlu disikapi dengan kedewasaan hati dan
pikiran, mengingat puasa itu sendiri merupakan ibadah
yang membutuhkan keimanan dan keimanan
menjunjung tinggi persaudaraan (persatuan), sehingga
tidak sepantasnya jika kedatangan bulan Ramadhan
yang penuh kemuliaan selalu disambut dengan konflik
yang berawal dari sedikit perbedaan dan berujung pada
kebingungan.
Jika dicermati secara seksama perbedaan tersebut
hanya berpusat pada perbedaan memahami dan
menjelaskan potongan hadits ْ‫( َفإِىْ ُغنَ عَلَُْ ُكن‬jika mendung
menyelimuti kalian). Mengingat puasa merupakan

62
ibadah mahdah, sehingga dapat dipastikan perkara itu
dengan rinci dijelaskan dalam al-Quran dan al-Hadits.
Dalam hal ini, terdapat dua hadits Rasulullah dari Ibn
Umar yang merangkum potongan kalimat di atas dan di
dalam hadits itu sendiri dapat ditemukan kalimat
penjelas yang dapat menjawab perbedaan yang terjadi
dewasa ini. Adapun hadits yang dimaksud sebagai
berikut,
Pertama, Hadits yang pertama ini menjelaskan
ketika terjadi mendung, maka lengkapilah bilangan 30
hari di bulan Sya’ban. Keterangan tersebut berdasarkan
hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari
nomor 1907 di bawah ini,

ْ‫حَ َدثَّنَا عَّبْدُ اهللِ بِيْ هَسْلَوَةَ حَدّثَّنَا هَاّلِكُ عَيْ عَّبْدِ اهللِ بِيْ ِدَّْنَازِ عَيْ عَّبْدِ اهللِ بِي‬

َ‫ َفال‬,ً‫ّشهْسُ تِسْعُ وَعِّشْ ِسَْيَ ّلَُْلَة‬


َ ‫ م قَالَ اّل‬.‫عُوَسَ زَضٍَِ اهللُ عَّْنهُوَا أَىَ زَسُىْلَ اهللِ ص‬

َ ‫ فَإِىْ ُغنَ عَلَُْ ُكنْ فَأَكْوِلُىْا اّلعِدَةَ َث‬,ُ‫تَصُ ْىهُىْا حَتًَ تَسَوْه‬
.َ‫الثُِْي‬
“Abdullah bin Maslamah menceritakan kepada kami
bahwa Malik menceritakan kepada kami dari Abdillah
bin Dinar dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah
Saw bersabda: Bulan itu dua puluh Sembilan malam,
maka janganlah kamu berpuasa sebelum melihatnya
dan ketika mendung menyertai kalian, maka
lengkapilah tiga puluh hari di bulan Sya’ban.”
Kedua, Hadits yang kedua ini menjelaskan ketika
terjadi mendung, maka perkirakanlah hilal itu. Petunjuk
tersebut berdasarkan hadits dari Ibn Umar yang

63
diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1906 sebagaimana di
awal sebagai berikut,

ُ‫حَ َدثَّنَا عَّبْدُ اهللِ بِيْ هَسْلَوَةَ عَيْ هَاّلِكٍ عَيْ ًَافِع عَيْ عَّبْدِ اهللِ بِيْ عُوَسَ زَضٍَِ اهلل‬

َ‫ َوال‬,َ‫ َال تَصُ ْىهُىْا حَتًَ تَسَوُا ا ِهلالَل‬:َ‫ ذَكَسَ َزهَضَاىَ َفقَال‬.‫م‬.‫عَّْنهُوَا أَىَ زَسُىْلَ اهللِ ص‬

.ُ‫ فَإِىْ ُغنَ عَلَُْ ُكنْ فَاقْدُزًوْا ّلَه‬,ُ‫ُتفْطِسُوْا حَتًَ تَسَوْه‬


“Abdullah bin Salamah menceritakan kepada kami
dari Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin Ibn Umar
bahwasanya Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan,
lelu beliau bersabda “janganlah berpuasa sebelum
kamu melihat hilal dan janganlah berbuka sebelum
melihatnya, dan jika mendung menyelimuti kalian,
maka perkirakanlah hilal itu”
Perkiraan inilah yang dikenal dengan hisab, sebuah
metode perhitungan kedudukan bulan guna
menentukan awal bulan qamariyah (bulan berdasarkan
peredaran bulan), baik untuk kepentingan ibadah
(misalnya puasa, hari raya, wukuf) maupun untuk
menentukan kalender setiap bulan.3 Dalam
perjalanannya metode hisab ini selalu melakukan
perubahan, berawal dari hisab urfi (perhitungan
berdasarkan perjalanan bulan dan matahari secara
rata-rata), hisab hisab hakiki (perhitungan berdasarkan
kedudukan bulan saat matahari tenggelam), hisab
hakiki taqribi (dengan cara mencari selisih antara

3
Sjamsul Arifin AR, Hisab dan Rukyat, makalah ini disampaikan pada
Musyawarah Tarjih I di jember tanggal 6-7 September 2003, 1.

64
waktu tenggelamnya matahari dikurangi waktu ijtima’
dan dibagi dua), hingga hisab kontemporer (hisab
dengan data mutakhir dari ahli astronomi dalam
melihat waktu ijtima’dan kedudukan hilal saat matahari
tenggelam).
Sampai di sini, dengan melihat keadaan
geografis Indonesia -yang sangat tidak memungkinkan
untuk melihat hilal secara langsung (rukyah) di
karenakan cuaca mendung-, maka sudah seharusnya
setiap muslim membuka hati dan pikiran untuk melihat
perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir dalam
menentukan awal bulan Ramadhan. Bahkan
berdasarkan pengalaman penulis sendiri ketika
mengikuti proses ru’yah al-Hilal tidak pernah berhasil
melihat hilal sekalipun menggunakan teropong yang
memadai dikarenakan keadaan cuaca yang selalu
mendung. Dengan meminjam pendapat Muhammad
Rasyid Ridha “saling tolong-menolonglah dalam
persamaan dan saling menghargai di dalam perbedaan”
seperti itulah sikap yang harus ditanamkan dewasa ini,
mengingat kedua cara yang dilakukan dalam
menentukan awal bulan Ramadhan (baik rukyat dan
hisab) tetap berselimutkan semangat syara’.

-o0o-

65
66
67
Pada umumnya kegiatan ibadah selama bulan
Ramadhan tidak berbeda dengan kegiatan pada bulan
lainnya. Sekalipun terlihat berbeda, terkadang
perbedaan itu terpusat pada perbedaan nama, misalnya
saja shalat tahajud atau qiyam al-lail dikenal dengan
sebutan shalat tarawih atau qiyam al-Ramadhan.
Hanya saja, bulan Ramadhan ini memiliki kekhususan
dengan berbagai kemuliaan, di antaranya Allah akan
melipatgandakan setiap amalan yang dilakukan oleh
seorang hamba di bulan Ramadhan. Adapun kegiatan-
kegiatan selama bulan Ramadhan yang dimaksud
sebagai berikut,

Berpuasa
Puasa merupakan kegiatan utama pada bulan
Ramadhan, sehingga Allah mesyari‟atkan kewajiban
puasa di dalamnya. Dengan berpuasa pada bulan
Ramadhan seorang hamba akan mendapatkan
pelipatgandaan balasan dari setiap ibadah yang
dilakukan. Di samping itu, pada bulan Ramadhan Allah
membuka pintu-pintu surga bagi orang yang berpuasa,
bahkan dengan berpuasa seorang hamba akan
mendapat perlindungan dari neraka karena pada bulan
Ramadhan Allah menutup pintu-pintu neraka dan
membelenggu syaithan. Itu artinya, Allah memberikan
kemudahan kepada hamba-Nya dalam menjalankan
puasa pada bulan Ramadhan yang berselimutkan
motivasi dengan berbagai keutamaan berpuasa di
dalamnya. Salah satunya Rasulullah menjelaskan

68
dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor
1904 dari Abu Hurairah sebagai berikut,1

َِّ‫زَ َذثَنَا ئِتْشَاىٌُِْ تِِْ ٌٍُْعََ َأخْثَ َشَّا ىِشَاًُ تِِْ ٌُّْعُفَ عَِْ ئِتِِْ خُ َشّْحٍ قَاهَ َأخْثَ َش‬

ُ‫ قَاهَ سَعٌُْه‬:ُ‫عَطَاٌء عَِْ أَتِِْ طَاىِرِ اى ِضَّاخْ أَّوُ عََِعَ أَتَا ىُ َشّْشَجَ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ َّقٌُْه‬

ًُ‫ ًَاىظَِْا‬,ِ‫ ِئّالَ اىظَِْاًُ ىَِ ًََأَّا َأخْضٍِ تِو‬,ُ‫ مُوُ عَََوِ ئِتِِْ أ َدًَ ىَو‬:ُ‫"قَاهَ اهلل‬.ً.‫اهللِ ص‬

ُ‫ فَاُِ عَاتَوُ َأزَذٌ أًَْ قَاَذيَو‬,ْ‫ ًَِئرَا مَاَُ َّ ًٌُْ طَ ًٌِْ َأزَذِ ُمٌْ َفالَ َّشْفُثْ ًَّالَ َّظْخَة‬,ٌ‫خُنَح‬

َ‫ ًَاىَزٍِ َّ ْفظُ ٍُسَ َذٍ تَِْذِهِ ىَخُيٌُْفُ َفٌِ اىظَاِئٌِ أَطِْةُ عِنْذ‬,ٌٌ‫فَيَْْقُوْ ِئَِّ اٍْشُؤٌ طَاِئ‬

َ‫ ًَِئرَا َىقَِِ سَتَوُ فَشَذ‬,َ‫ ِئرَا أَفْطَشَ فَشَذ‬:‫ ىِيظَاِئٌِ فَ ْشزَرَاَُ َّفْ َش ُزيََُا‬.ِ‫اهللِ ٍِِْ ِسّْرِ ادلِغْل‬

.ِ‫تِظَ ٌٍِْو‬
“Ibrahim bin Musa menceritakan kepada kami
bahwa Hisyam bin Yusuf dari Ibn Juraij mengabarkan
kepada kami berkata „Atha dari Abi Shalih al-Ziyat
mengabarkan kepada saya bahwasanya dia mendengar
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda:
Allah berfirman: Setiap amal yang dilakukan oleh anak
Adam untuknya, kecuali puasa untuk-Ku (Allah) dan
Aku yang akan membalasnya dan puasa adalah
Tameng dan apabila salah saeorang dari kamu
berpuasa maka janganlah berkata kotor dan berkata

1
Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, (al-
Qahirah: al-Mathba‟ah al-Salafiyah, 1403H), Juz ke-2, 31

69
keras (marah). Jika seseorang mencaci-maki dan
mengajak berkelahi maka katakanlah sesungguhnya
aku sedang berpuasa, dan jiwa Muhammad ada
ditangannya bahwa Allah akan mengganti bau mulut
orang yang berpuasa lebih baik di sisi-Nya daripada
wanginya minyak Misk. Orang yang berpuasa akan
mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika
berbuka dan ketika bertemu dengan Tuhan melalui
puasanya.”
Mengingat betapa pentingnya berpuasa pada bulan
Ramadhan dengan berhias keutamaan yang terkandung
di dalamnya sudah seharusnya berpuasa diimbangi
dengan persiapan yang optimal, baik persiapan rohani
(keimanan), ilmu tentang puasa, jasmani (kesehatan),
maupun persiapan yang berhubungan dengan
pinansial. Begitu pun, kita harus melakukan skala
prioritas tentang amalan-amalan apa saja yang
dianjurkan ketika bulan Ramadhan dan ketika sedang
berpuasa Ramadhan. Misalnya saja, melakukan makan
sahur, berbuka puasa, melaksanakan shalat tarawih,
dan beri‟tikaf, yang selanjutnya akan dibahas pada poin
berikutnya.

A. Makan Sahur
Sebelum berpuasa seorang muslim dianjurkan
untuk melakukan makan sahur, bahkan makan sahur
itulah yang menjadi titik pembeda dengan puasa yang
dilakukan oleh ahl al-Kitab. Keterangan ini berdasarkan

70
hadits nabi dari Amr bin ash yang diriwayatkan Muslim
nomor 1096 sebagai berikut,2

ََ‫ عَِْ أَتِِْ قَْظٍ ٌٍَْى‬,ِ


ِ َ‫زَ َذثَنَا قُرَْثَحُ تِِْ عَعِْذٍ زَ َذثَنَا ىَْثُ عَِْ ٌٍُْطَ تِِْ عُي‬

‫ فَظْوُ ٍَا‬:َ‫ً قَاه‬.‫ عَِْ عََْشًِ تِِْ اىعَاصِ أََُ سَعٌُْهَ اهللِ ص‬,ِ‫عََْشًِ تِِْ اىعَاص‬

ِ‫ أَمْيَحُ اىغَسَش‬,ِ‫تََِْ طَِْاٍِنَا ًَطَِْاًِ أَىْوِ اىنِرَاب‬


“Quthaibah bin sa‟id menceritakan kami bahwa
Laits menceritakan kami dari Musa bin „Ulay, dari Abi
Qais (maula Amr bin Ash), dari Amr bin Ash
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: pembeda di
antara puasanya kami dengan puasanya ahl al-Kitab
adalah makan sahur.”
Disamping berfungsi sebagai pembeda, ternyata
aktifitas makan sahur itu sendiri sarat akan nilai
kebarakahan di hadapan Allah dan diberikan kepada
siapa saja yang melakukannya sebelum berpuasa.
Karena itu, Allah memerintahkan kepada siapa yang
hendak beribadah puasa untuk melakukannya,
sebagaimana yang termaktub dalam potongan ayat dari
surat al-Baqarah ayat 187,

2
Abi al-Husain muslim bin al-Hijaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, (al-Riyad: Dar Thayibah, 1426H), 488

71
ٌَ‫ًَمُيٌُاْ ًَاشْشَتٌُاْ زَرََ َّرَثَََِْ ىَ ُنٌُ اىْخَْطُ األَتَْْغُ ٍَِِ اىْخَْطِ األَعْ ٌَدِ ٍَِِ اْىفَدْشِ ُث‬

ِ‫َأذٌَُِاْ اىظَِْاًَ ئِىََ اىَيْو‬


“Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
Disamping itu, Rasulullah juga menganjurkan
kepada siapa saja yang berpuasa untuk melakukan
makan sahur, sebagaimana yang terangkum dalam
hadits dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh
Bukhari nomor 1923,3

ُ‫طيَْةٍ قَاهَ عََِعْد‬


ُ ِِْ‫زَ َذثَنَا أ َدًُ تِِْ أَتَْ ِئَّاطٍ زَ َذثَنَا شُعْثَحُ زَ َذثَنَا عَثْذُ اىعَ ِضّْضِ ت‬

ِ‫ فَاَُِ فَِ اىغُسٌُْس‬,‫ ذَغَسَشًُْا‬.ً.‫ قَاهَ اىنَثُِِ ص‬:َ‫هلل عَنْوُ قَاه‬


ُ ‫أَّظُ تِِْ ٍَاىِلِ سَػَِِ ا‬

ٌ‫تَشَمَح‬
“Adam bin Abi Iyas menceritakan kami, Syu‟bah
menceritakan kami, Abdul Aziz bin suhaib menceritakan
kami lalu berkata bahwa aku mendengar Anas bin Malik
r.a berkata, Nabi Saw bersabda makan sahurlah kalian

3
Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, Juz
ke-2, 36. Lihat pula, hadits Muslim nomor 1095, dan hadits al-Nasai
nomor 2144 dengan menilai hadits tersebut hasan sahih, lihat Abi
Abd al-Rahman Ahmad bin Syuaibbin Ali al-Syahir, Sunan al-Nasa‟I,
(Riyad: Maktabah al-Ma‟arif, t.th), 341.

72
karena sungguh di dalam makan sahur itu ada
barakah.”
Berpijak dari hadits di atas sudah seharusnya
memberikan kesan yang berbeda bagi kita, ketika
dahulu banyak orang yang berpuasa mengira aktifitas
makan sahur itu sekedar membantu mereka agar tidak
merasakan lapar dan haus di siang harinya, sehingga
tidak heran banyak di antara mereka yang harus
makan dengan porsi yang berlebih dan melakukannya
tanpa melihat kapan waktu yang paling afdhal
(diutamakan). Oleh karena itu, mulai sekarang kita
harus menyadari mengapa harus makan sahur sebelum
berpuasa? Tidak lain, karena semua itu diperintahkan
oleh Allah dan di contohkan oleh Rasulullah Saw.
Tentunya, tidak terlepas dari manfaat yang terkandung
pada makan sahur itu sendiri yang dapat memberikan
keberkahan dan pembeda dengan puasanya ahl al-
Kitab.
Mengingat pentingnya makan sahur ini bagi
mereka yang berpuasa, maka Rasulullah Saw pun
memberikan petunjuk tentang waktu yang paling
utama untuk melakukannya. Pertama, Rasulullah
menganjurkan untuk mengakhirkan makan sahur,
keterangan ini berdasarkan hadits dari Zayid bin Tsabit
yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1921 sebagai
berikut,4

4
Ibid, 36-37.

73
ِ‫زَ َذثَنَا ٍُغِْيٌُ تِِْ ئِتْشَىٌَِْ زَ َذثَنَا ىِشَاًُ زَ َذثَنَا قَرَادَجُ عَِْ أَّظٍ عَِْ َصّْذٍ تِِْ ثَاتِد‬

َُ‫ َمٌْ مَا‬:ُ‫ قُيْد‬.ِ‫ظالَج‬


َ ‫ ُثٌَ قَاًَ اِىََ اى‬.ً.‫ِ ص‬
ِ ِ‫ ذَغَسَ ْشَّا ٍَعَ اىنَث‬:َ‫سَػَِِ اهللُ عَنْوُ قَاه‬

.ً‫ قَذْسُ خََْغَِِْ أَّح‬: َ‫تََِْ ا َألرَاُِ ًَاىغَسٌُْسِ؟ قَاه‬


“Muslim bin Ibrahim menceritakan kami, Hisyam
menceritakan kami, Qatadah menceritakan kami dari
Anas dari Zayid bin Tsabit r.a berkata bahwa kami
makan sahur bersama Nabi Saw, kemudian kami
mendirikan shalat. Lalu aku bertanya berapa selisih
waktu antara adzan dan sahur? Beliau menjawab:
kurang lebih seperti membaca 50 ayat.”
Adapun adzan yang menjadi pembatas dengan
makan sahur merupakan adzan yang dikumandangkan
oleh Ibn Umi Maktum sebagai adzan yang kedua dan
menandakan telah masuk waktu subuh, keterangan
tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Saw dari
Abdillah yang diriwayatkan Muslim nomor 1092 sebagai
berikut,

ِ‫ َأخْثَ َشَّا اىيَْثُ ًَزَ َذثَنَا قُرَْثَحُ تِِْ عَعِْذ‬:َ‫زَ َذثَنَا َّسَِْ تِِْ َّسَِْ ًٍَُسَ َذُ تِِْ ُسٍْرِ قَاّال‬

ُ‫أَّو‬.ًَ .‫شيَابٍ عَِْ عَاِىٌِ تِِْ عَثْذِ اهللِ عَِْ سَعٌُْهِ اهللِ ص‬
ِ ِِْ‫زَ َذثَنَا ىَْثُ عَِْ ئِت‬

.ًٌِْ ُ‫الّالً ُّ َإرُُِ تَيَْوٍ فَنُيٌُْا ًَاشْشَتٌُْا زَرََ ذَغََْعٌُْا ذَ ْأِرَِّْ ئِتِِْ ُأًِ ٍَنْر‬
َ ‫ ئَُِ ِت‬:َ‫قَاه‬
“Yahya bin Yahya dan Muhammad bin Rumh
menceritakan kami bahwa mereka berkata Laits

74
mengabarkan kami bahwa Qutaibah bin sa‟id
menceritakan kami, Laits menceritakan kami dari Ibn
Syihab, dari salim bin Abdillah, dari Rasulullah Saw
bahwasanya beliau bersabda Sesungguhnya Bilal adzan
di waktu malam, maka makan dan minumlah sampai
kamu mendengar adzan Ibn Umi Maktum.”
Tentunya keterangan di atas akan memberikan
penjelas kepada siapa saja yang masih melakukan
makan sahur sesuai dengan aturannya sendiri. Dengan
khawatir tidak bangun sehingga mereka harus makan
sebelum tidur atau mereka makan sahur jam satu atau
jam dua malam dengan tujuan agar mereka dapat
melanjutkan tidur kembali, dan tidak heran jika mereka
kebablasan hingga tidak melakukan shalat subuh.
Oleh karena itu, pilihlah waktu yang paling tepat
dan bersemangatkan syara‟ dalam melakukannya.
Bertolak dari beberapa hadits di atas, Rasulullah sendiri
makan sahur ketika waktu adzan pertama hingga
masuk adzan kedua (penanda waktu fajr), yang
diperkirakan durasi makan sahur itu seperti seorang
membaca 50 ayat al-Quran. Di sinilah yang menjadi
titik terang ketika Rasulullah menganjurkan kepada
umatnya untuk mengakhirkan makan sahur.
Sebagai penjelas, dapat dilihat berbagai praktik
sahabat Rasulullah Saw dalam melakukan makan sahur
sebagai pendukung bahwa Rasulullah menganjurkan
untuk mengakhirkannya. Misalnya Shilah bin Zufar dan
Hudzaifah mengabarkan setelah mereka makan sahur
kemudian keluar ke masjid, lalu mereka shalat sunat
fajr dua rakaat, dan langsung iqamat dikumandangkan,

75
lalu mereka shalat bersama.5 Contoh lainnya adalah
sahabat Sahl bin Sa‟d yang melakukan makan sahur
bersama keluarganya, lalu ia berangkat dengan segera
sehingga masih mendapati sahur bersama Rasulullah.6
Dengan demikian, Jika umat Islam melakukan
makan sahur dengan benar menurut contoh Rasulullah
(mengakhirkan makan sahur), maka puasa yang
dilakukan lebih memberikan kesan dan mengantarkan
mereka ke gerbang pintu kesuksesan menjadi insan
yang bertaqwa.

B. Berbuka Puasa
Setelah berpuasa di siang hari, seorang muslim
diperintahkan untuk berbuka puasa. Saat itulah mereka
kembali makan, minum, dan berhubungan suami-istri
sampai datang waktu fajar sebagai estafet puasa hari
berikutnya hingga terhitung satu bulan penuh di bulan
Ramadhan. Bahkan ketika itulah salah satu titik
kebahagian orang yang berpuasa, sebagaimana
potongan sabda Rasulullah Saw dari Abu Hurairah yang

5
Lihat hadits sunan al-Nasa‟I nomor 2152, 2153, dan 2154 yang
terangkum pada bab takhir al-Suhur, dalam Abi Abd al-Rahman
Ahmad bin Syuaibbin Ali al-Syahir, Sunan al-Nasa‟i, 342.
6
Lihat hadits riwayat Bukhari nomor 1920 yang terangkum pada bab
ta‟jil al-Suhur, dalam Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-
Jami‟ al-Shahih, Juz ke-2, 35.

76
diriwayatkan Bukhari nomor 19027 dan Muslim nomor
1638,

ِ‫ ًَِئرَا َىقَِِ سَتَوُ فَشَذَ تِظَ ٌٍِْو‬,َ‫ ِئرَا أَفْطَشَ فَشَذ‬:‫ىِيظَاِئٌِ فَ ْشزَرَاَُ َّفْ َش ُزيََُا‬
“Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua
kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan ketika
bertemu dengan Tuhan melalui puasanya.”
Secara langsung setiap muslim dapat merasakan
kebahagian itu ketika berbuka puasa. Menyadari akan
hal tersebut, Rasulullah pun menganjurkan kepada
yang berpuasa untuk mensegerakan berbuka, hal ini
berdasarkan hadits Nabi Saw dari Sahl bin Sa‟d yang
diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1957 sebagai berikut,

ََُ‫عيْوِ تِِْ عَعْذٍ أ‬


َ َِْ‫زَ َذثَنَا عَثْذُ اهللِ تِِْ ٌُّْعُفَ َأخْثَ َشَّا ٍَاىِلُ عَِْ أَتَِ زَا ِصًٍ ع‬

.َ‫ َّال َّضَاهُ اىنَاطُ تِخَْشٍ ٍَا عَدَيٌُْا اىفِطْش‬:َ‫ قَاه‬.ً.‫سَعٌُْهَ اهللِ ص‬
“Abdullah bin Yusuf menceritakan kami bahwa
Malik mengabarkan kami dari Abi Hazim dari Sahl bin
Sa‟d bahwa Rasulullah Saw bersabda: seseorang
senantiasa dalam kebaikan apabila mensegerakan
berbuka.”
Bersegera bukan berarti mengesampingkan waktu
dan tanpa menghiraukan ketentuan, melainkan

7
Secara lengkap, sanad dan matan hadits tersebut dapat dilihat pada
bab puasa Ramadhan dalam buku ini, Ibid., 31.
8
Abi al-Husain muslim bin al-Hijajal-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, 511

77
bersegera ketika waktu berbuka telah masuk yang
ditandai berkumandangnya seruan adzan sebagai tanda
waktu shalat maghrib. Secara alamiyah, waktu berbuka
puasa ditandai dengan tenggelamnya matahari. Barang
kali bagi mereka yang tidak mendengarkan seruan
adzan (misalnya: mereka yang berada di daerah dekat
dengan kutub atau bisa saja bagi mereka yang sedang
berada di negara yang penduduknya mayoritas non-
Muslim, sehingga tidak ditemukan seruan adzan) dapat
menggunakan tanda alamiyah tersebut. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Saw dari Umar bin Al-Khattab
yang diriwayatkan Bukhari nomor 1954 sebagai
berikut,9

ُ‫عفَْْاُُ زَ َذثَنَا ىِشَاًُ تِِْ عُشًَْجَ قَاهَ عََِعْدُ أَتََ َّقٌُْه‬


ُ ‫زَ َذثَنَا احلََُْذٍِِ زَ َذثَنَا‬

ِ‫ قَاهَ سَعٌُْهُ اهلل‬:َ‫طٌَ تِِْ عََُشَ تِِْ اخلَطَابِ عَِْ أَتِْوِ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ قَاه‬
ِ ‫عََِعْدُ عَا‬

ْ‫ َف َقذ‬,ُ‫ ًَغَشَتَدِ اىشَ َْظ‬,‫ ًََأدْتَشَ اىَنيَاسُ ٍِِْ ىَاىُنَا‬,‫ ِئرَا أَقْثَوَ اىيَْوُ ٍِِْ ىَاىُنَا‬.ً.‫ص‬

.ٌُ‫أَفْطَشَ اىظَاِئ‬
“Al-Humaidiy menceritakan kami bahwa Sopiyan
menceritakan kami bahwa Hisyam bin „Urwah
menceritakan kami lalu berkata aku mendengar Aba

9
Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, Juz
ke-2, 46. Sebagai penjelas lihat pula hadits nabi yang diriwayatkan
Bukhari nomor 1955 dan 1958, dalam, Ibid., 47. Lihat pula hadits
riwayat Abu Dawud nomor 2351 dan 2352 dalam Abi Dawud
Sulaiman bin al-„Asy‟ast al-Sajastaniy, Sunan Abi Dawud, (Riyad:
Maktabah al-Ma‟arif, t.th), 413.

78
mengatakan aku mendengar „Asyim bin Umar bin al-
Khatab dari bapaknya r.a berkata: Rasulullah Saw
bersabda: apabila malam itu melewati dari sebelah sini,
dan apabila siang mundur dari sini (berada di
belakang), lalu matahari tenggelam, maka sungguh
seorang berpuasa berbuka.”
Jelaslah kiranya melalui hadits di atas, kapan
waktunya orang berbuka puasa dan dianjurkan untuk
mensegerakannya. Di samping itu, ada satu hal lagi
yang juga dianjurkan oleh Rasulullah Saw yaitu berdoa
ketika berbuka puasa. Keterangan tersebut
berdasarkan hadits hasan dari Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 2357 sebagai
berikut,10

ِِْ‫زَ َذثَنَا عَثْذُ اهللِ تِِْ ٍُسَََذ تِِْ َّسَِْ زَ َذثَنَا عَيَِ تِِْ احلَغَِ َأخْثَ َشَّا احلُغَِِْ ت‬

ََ‫ َسَأّْدُ ئِتَِْ عََُشَ َّقَْثغُ عَيََ ىِسَْْرِوِ فََْقْطَعُ ٍَا صَادَاخْ عَي‬:َ‫ًَاقِذ زَ َذثَنَا ٍَشًَْاُُ قَاه‬

َ‫ "رَىَةَ اىّظَََأُ ًَاْترَيَدِ اىعُشًُْقِ ًَثَثَد‬:َ‫ ِئرَا أَفْطَشَ قَاه‬.ً.‫ مَاَُ اىنَثُِِ ص‬:َ‫اىنَفِ ًَقَاه‬

"ُ‫ا َألخْشُ ئُِْ شَاءَ اهلل‬


“Abdullah bin Muhammad bin Yahya menceritakan
kami bahwa Ali bin al-Hasan menceritakan kami bahwa

10
Ibid., 413-414. Menurut Abu Dawud hadits yang menjelaskan doa
berbuka puasa seperti: ُ‫ اىيَيٌَُ ىَلَ طُ َْدُ ًَعَيََ سَصْقِلَ أَفْطَشْخ‬merupakan hadits
dha‟if, berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud nomor 2358, lihat,
ibid., 414.

79
al-Husain bin Waqid mengabarkan kami bahwa Marwan
menceritakan kami lalu berkata: Aku melihat Ibn Umar
menggengam janggut dan memotong yang lebih dari
kepalan, lalu berkata: Apabila Nabi Saw bersabda
berbuka, beliau berdoa “ Dzahaba al-Dzama‟u wabtalat
al-„Uruq wa Tsabbat al-Ajr Insya Allah” [ Hilanglah rasa
haus dan basahlah urat-urat (badan) dan insya Allah
mendapatkan pahala].”
Berdasarkan penelusuran penulis, seperti itulah doa
yang dicontohkan Rasulullah Saw ketika berbuka puasa
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
sebagai hadits yang maqbul. Mudah-mudahan kita lebih
teliti lagi dalam menjalankan segala kegiatan yang
berhubungan dengan puasa Ramadhan sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah. Barangkali
kebenaran seperti itulah yang mengantarkan orang
yang berpuasa mencapai tujuannya menjadi insan yang
bertaqwa.

Qiyam al-Ramadhan (Shalat Tarawih)


Disamping bulan Ramadhan dikenal dengan syahr
al-Shiyam (bulan berpuasa), ternyata dikenal juga
dengan syahr al-Qiyam. Dengan kata lain, seorang
yang berpuasa tidak boleh terlepas dengan qiyam al-
Ramadhan (menghidupkan malam Ramadhan). Hal
tersebut disebabkan karena selain memerintahkan
berpuasa (di siang hari) dengan keimanan dan
perhitungan, Rasulullah juga memerintahkan mereka
yang berpuasa untuk menghidupkan qiyam al-
Ramadhan (di malam hari) dengan keimanan dan

80
perhitungan. Keterangan tersebut berdasarkan hadits
Nabi Saw dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari
nomor 2008 sebagai berikut,11

ٌُْ‫شيَابٍ قَاهَ َأخْثَ َشَِّ أَت‬


ِ ِِْ‫زَ َذثَنَا َّسَِْ تِِْ تُنَْشٍ زَ َذثَنَا اىيَْثُ عَِْ ُعقَْوٍ عَِْ ئِت‬

:ُِ‫ َّقٌُْهُىِ َشٍَؼَا‬.ً.‫ عََِعْدُ سَعٌُْهَ اهللِ ص‬:َ‫ِ اهللُ عَنْوُ قَاه‬
َ ِ‫عَيَََحَ أََُ أَتَا ىُ َشّْشَجَ سَػ‬

ِ‫ٍَِْ قَاٍَوُ ِئّْ ََاًّا ًَازْرِغَاتًا ُغفِشىَوُ ٍَا َذقَ َذًَ ٍِِْ َرّْثِو‬
“Yahya bin Bukair menceritakan kami bahwa Laits
menceritakan kami dari „Uqail dari Ibn Syihab lalu
berkata Abu salamah mengabarkanku bahwa Abu
Hurairah r.a berkata: aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda tentang Ramadhan: Siapa yang menegakan
(menghidupkan) malam Ramadhan dengan iman dan
perhitungan, maka akan diampuni dosanya yang telah
lalu.”
Adapun istilah Qiyam al-Ramadhan tidak ada
perbedaan dengan istilah qiyam al-Lail atau yang
dikenal dengan shalat tahajud, yang selanjutnya
dikenal istilah shalat tarawih pada masa sahabat Umar
bin al-Khatab. Itu artinya di malam bulan Ramadhan
harus dihidupkan dengan pelaksanaan shalat tarawih.

11
Sebagai penjelas lihat keterangan Bukhari mengelompokan hadits
tersebut ke dalam kitab shalat tarawih, lihat pula hadits Bukhari
nomor 2009 dengan matan yang lebih jelas dengan lafadz ‫ٍَِْ قَاًَ سٍََؼَاَُ ئِّْ ََاًّا‬

‫ ًَا ْزرِغَاتًا‬, dalam Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-
Shahih, Juz ke-2, 60.

81
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa qiyam al-
Ramadhan merupakan shalat sunah malam pada bulan
Ramadhan.12
Barangkali titik inilah yang harus menjadi perhatian
umat Islam di mana pun mereka berada. Terkadang
mereka hanya perhatian pada siang hari dengan
menjalankan puasa, tetapi tidak perhatian pada malam
hari, sehingga tidak ada kesungguhan untuk
menghidupkannya dengan menegakan shalat tarawih.
Kenyataan tersebut dapat dibuktikan dengan
pelaksanaan shalat tarawih yang semakin sepi (kosong)
bila dibandingkan dengan awal-awal bulan Ramadhan.
lebih lagi para generasi muda muslim yang lebih
banyak menghabiskan malam Ramadhan dengan
bergadang hingga larut malam, nongkrong di pinggir
jalan, hingga melakukan perbuatan maksiat dengan
berdua-duaan. Barang kali permasalah ini pun tidak
boleh luput dari pandangan orang tua dan siapa saja
yang berkuasa untuk memperbaikinya agar lebih
memperhatikan nasib generasi ke depan.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan cara
pandang dalam melihat bulan Ramadhan, bahwa siang
hari dihidupkan dengan berpuasa dan malam hari
dihidupkan dengan shalat tarawih. Walau demikian
tidak ada kata terlambat. Mulai sekarang ayo kita
hidupkan malam hari di bulan Ramadhan dengan
kesungguhan menjalankan shalat tarawih dan

12
Lihat putusan majlis tarjih dan tajdid Muhammadiyah dalam, Majlis
Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah pada Bulan
Ramadhan, (Jogjakarta: Surya Sarana Grafika, 2011), cet. Ke-2, 32.

82
komitmen menjalankanya hingga akhir bulan
Ramadhan.
Adapun mengenai jumlah raka‟at shalat tarawih
dan praktiknya dapat disandarkan melalui pertanyaan
sahabat Abi Salamah bin abd al-Rahman kepada
„Aisyah tetang pelaksanaan shalat Rasulullah pada
bulan Ramadhan. Keterangan tersebut berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 2013
sebagai berikut,13

ِ‫زَ َذثَنَا ئِعََْائِْوُ قَاهَ زَ َذثَنَِ ٍَاىِلُ عَِْ عَعِْذِ ا َدلقْثُشٍِِ عَِْ أَتَِ عَيَََحَ تِِْ عَثْذ‬

.ً.‫طالَجُ سَعٌُْهِ اهللِ ص‬


َ ْ‫ مَْفَ َماَّد‬:‫اى َشزََِِْ أَّوُ " عَأَهَ عَائِغَحَ سَػَِِ اهللُ عَْنيَا‬

َ‫ ٍَا مَاَُ َّ ِضّْذُ فَِ َسٍَؼَاَُ ًَّالَ فَِ غَْشِهِ عِيََ ِئزْذٍَ عَشْشَج‬:ْ‫فَِ َسٍَؼَاَُ؟ َفقَاىَد‬

ِْ‫ ُثٌَ ُّظَيَِ أَسْتَعًا َفالَ ذَغْأَهْ َع‬,َِِ‫ ُّظَيَِ أَسْتَعًا َفالَ ذَغْأَهْ عَِْ زُغِْنيَِِ ًَطٌُِْىي‬,ً‫سَمْعَح‬

َ ‫ ُثٌَ ُّظَيَِ َث‬,َِِ‫زُغِْنيَِِ ًَطٌُِْىي‬


‫ َّا‬:َ‫ َفقُيْدُ َّا سَعٌُْهَ اهللِ َأذَنَاًُ قَثْوَ أَُْ ذُ ٌْذِشَ؟ قَاه‬.‫الثًا‬

.ِِْ‫ ًَّالَ َّنَاًُ قَيْث‬,ُِ‫عَائِشَح ئَُِ عَْنَِِ ذَنَاٍَا‬

“Isma‟il menceritakan kami lalu berkata Malik


menceritakanku dari sa‟id al-Maqburiy dari Abi salamah
bin Abd al-Rahman bahwasanya ia bertanya kepada

13
Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih, Juz
ke-2,61

83
„Aisyah r.ha: bagaimana shalat Rasulullah Saw di
malam Ramadhan? lalu „Aisyah berkata: Tidak lebih di
malam Ramadhan dan selainnya dari sebelas raka‟at,
Nabi shalat empat rakaat, maka jangan tanya tentang
baik dan panjangnya, kemudian Nabi shalat empat
rakaat, maka jangan Tanya tentang baik dan
panjangnya, kemudian Nabi shalat tiga rakaat. Dan aku
(„Aisyah) bertanya ya Rasulullah apakah kamu tertidur
sebelum shalat witir? Rasulullah menjawab: ya „Aisyah
sesungguhnya kedua mataku tertidur, tetapi hatiku
tidak tertidur.”
Jika berpijak dari hadits di atas, Rasulullah Saw
tidak lebih dari sebelas rakaat dalam menjalankan
qiyam al-Ramadhan, bahkan „Aisyah memperjelas
bagaimana kualitas shalat Rasulullah tersebut dengan
berkata “janganlah kamu bertanya tentang baik dan
panjangnya”. Menurut hemat penulis, karena keadaan
itulah yang dikhawatirkan Rasulullah agar tidak
memberatkan umatnya, di samping Rasulullah khawatir
jika mereka beranggapan bahwa shalat tarawih itu
wajib, sehingga beliau shalat tarawih secara bersama
para sahabat (berjamaah) hanya tiga malam, dan
seterusnya hingga akhir Ramadhan beliau shalat
tarawih sendiri, bahkan beliau pun tidak melakukannya
bersama „Aisyah. Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi
Saw dari „Aisyah yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim, yang disadur oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP.
Muhammadiyah dengan matan yang lebih jelas,
sebagai berikut,14

14
Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah pada
Bulan Ramadhan, cet. Ke-2, 35-36.

84
َِ‫ طَيََ رَاخَ ىَْيَحٍ ف‬.ً.‫عَِْ عَائِشَحَ ُأًِ ادلُ ْإٍِنَِِْ سَػَِِ اهللُ عَْنيَا أََُ سَعٌُْهَ اهللِ ص‬

ٍِِْ ‫ ُثٌَ اخْرََِعٌُْا‬,ُ‫ ُثٌَ طَيََ ٍِِْ اىقَاتِيَحِ فَنَثُشَ اىنَاط‬,ٌ‫الذِوِ َّاط‬
َ‫ظ‬ َ ِ‫ادلَغْدِذِ فَظَيََ ت‬

ْ‫ فَيَََا أَطْثَرَ قَاهَ َقذ‬.ً.‫ فََيٌْ َّخْ ُشجْ ئِىَِْيٌْ سَعٌُْهُ اهللِ ص‬,ِ‫اىيَْيَحِ اىثَاىِثَحِ أًَْ اىشَاتِعَح‬

َ‫َسَأّْدُ اىَزٍِ طَنَعُْرٌْ ًَىٌْ ََّْنَعْنَِ ٍَِِ اخلُشُ ًْجِ ئِىَْ ُنٌْ ِئّالَ َأَِّ خَشِْدُ أَُْ ُذفْشَع‬

.َُ‫ ًَرىِلَ فَِ َسٍَؼَا‬,ٌْ‫عَيَْ ُن‬


“Diriwayatkan dari „Aisyah Umi al-Mukminin r.ha.
bahwasanya Rasulullah Saw suatu malam shalat di
masjid. Lalu shalatlah bersama shalatnya (berjamaah)
sejumlah orang. Kemudian orang satu kabilah dalam
jumlah bersar juga ikut shalat, sehingga jumlah jamaah
semakin banyak. Pada malam ke tiga atau ke empat
para jamaah telah berkumpul, namun Rasulullah tidak
keluar ke masjid menemui mereka. ketika pagi tiba
beliau berkata: Aku sungguh telah melihat apa yang
kalian lakukan (shalat tarawih berjamaah). Tidak ada
yang menghalangiku untuk keluar, kecuali
sesungguhnya aku takut (kalian menganggap) shalat
itu diwajibkan atas kalian, Komentar Aisyah: hal itu
terjadi di bulan Ramadhan.”
Itu artinya pelaksanaan shalat tarawih sebaiknya
dilakukan secara berjama‟ah. Walau demikian,
pelaksaan shalat tarawih tetap boleh dilakukan secara
sendirian, dengan syarat ia mampu menjaga kualitas
pelaksanaan shalat tarawih. Tentunya tidak terjadi

85
seperti sekarang ini, mereka shalat tarawih selalu
mencari-cari tempat yang paling cepat pelaksanaannya
dengan disertai bacaan surat yang pendek, tanpa
menghiraukan tempat mana yang membuat mereka
khusyu‟ dalam melaksanakan shalat tarawih.
Oleh karena itu, di sinilah pentingnya kita
menyesuaikan kemampuan diri dengan waktu shalat
tarawih yang ada, apalagi sekarang sudah banyak
masjid-masjid menyediakan pelaksanaan shalat tarawih
dua gelombang, ada yang dilaksanakan setelah shalat
isya, dan ada yang dilaksanakan di sepertiga malam.
Sungguh hanya individu dan Allah-lah yang tahu, siapa
yang paling bersungguh-sungguh dalam menegak-
kannya.
Sedangkan waktu pelaksanaan qiyam al-Ramadhan
(shalat tarawih/ shalat sunnah malam di bulan
Ramadhan) tetap tidak berbeda dengan pelaksanaan
shalat qiyam al-Lail (shalat tahajud/shalat sunnah
malam di luar bulan Ramadhan). Dalam hal ini dapat
disandarkan pada dua sumber agama. Pertama, waktu
pelaksanaannya bisa di awal malam, separo malam,
dan sepertiga malam, sebagaiman firman Allah dalam
surat al-Muzamil ayat 1-4 sebagai berikut,15

ِ‫ أًَْ ِصدْ عَيَْوِ ًَ َسذِو‬,ً‫ظفَوُ أًَِ اّ ُقضْ ٍِنْوُ قَيِْال‬


ْ ِّ ,ً‫ ُقٌِ اىيَْوَ ئِىَا قَيِْال‬,ُ‫َّا َأُّيَا اىَُْ َضٍِو‬

.ً‫اْىقُشْآَُ ذَ ْشذِْال‬

15
Lihat al-Quran dan terjemahannya

86
“Hai orang yang berselimut (Muhammad),
bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali
sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan
perlahan-lahan.”
Kedua, waktu pelaksanaannya selepas shalat isya
hingga masuk waktu fajr. Keterangan ini berdasarkan
pada hadits Nabi Saw dari „Aisyah yang diriwayatkan
oleh Muslim dan dikutip oleh Majlis Tarjih dan Tajdid
PP. Muhammadiyah sebagai berikut,16

َُْ‫ ُّظَيَِ فََِْا تََِْ أ‬.ً.‫ قَاىَدْ مَاَُ سَعٌُْهُ اهللِ ص‬.ً.‫عَِْ عَائِشَحَ صَ ًْجِ اىنَثِِِ ص‬

َ‫طالَجِ اىعِشَاءِ ًَىَِِ اىَرَِ َّذْعٌُْ اىنَاطُ اىعَرَََحَ ئِىََ اىفَدْشِ ِئزْذٍَ أَشْشَج‬
َ ٍِِْ َ‫َّفْشُغ‬

.ً‫سَمْعَح‬
“Dari „Aisyah istri Nabi Saw berkata bahwa
Rasulullah Saw selalu mengerjakan shalat (malam) di
antara waktu selesai shalat isya yang disebut orang “al-
„Atamah” hingga waktu fajr sebanyak sebelas rakaat.”
Beragamnya waktu pelaksanaan shalat tarawih
akan sangat berguna dalam mengukur kapan waktu
pelaksanaan yang tepat dan sesuai dengan
kemampuan diri, sehingga akan tercapai pelaksanaan
shalat yang lebih khusyu‟ dan komitmen melakukannya

16
Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah pada
Bulan Ramadhan, cet. Ke-2, 33.

87
sepanjang bulan Ramadhan, serta dilanjutkan di luar
bulan Ramadhan.

Beri’tikaf di Masjid
I‟tikaf merupakan kegiatan yang tidak kalah
pentingnya dengan kegiatan lain selama bulan
Ramadhan sebagaimana dijelaskan di awal. karenanya
semaksimal mungkin kita dapat melakukan dan
menjadikan kebiasaan di setiap bulan Ramadhan.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai salah satu cara
mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk beri‟tikaf
di masjid guna meningkatkan ibadah di sepuluh malam
terakhir pada bulan Ramadhan. Landasan hukum
beri‟tikaf berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 187 sebagai berikut,

ٌَ‫ًَمُيٌُاْ ًَاشْشَتٌُاْ زَرََ َّرَثَََِْ ىَ ُنٌُ اىْخَْطُ األَتَْْغُ ٍَِِ اىْخَْطِ األَعْ ٌَدِ ٍَِِ اْىفَدْشِ ُث‬

ِ‫َأذٌَُِاْ اىظَِْاًَ ئِىََ اىَيْوِ ًَّالَ ذُثَاشِشًُىَُِ ًََأُّرٌْ عَاِمفٌَُُ فِِ اىََْغَاخِذِ ذِيْلَ زُذًُدُ اىيّو‬

ٌَُُ‫َفالَ َذقْشَتٌُىَا مَزَىِلَ ُّثَُِِْ اىيّوُ آَّاذِوِىِينَاطِ ىَعََيُيٌْ ََّرق‬


“Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah

88
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Jika diteliti secara cermat, di samping menjelaskan
I‟tikaf di masjid ayat tersebut menjelaskan aktifitas
makan sahur, dan berpuasa di siang harinya.
Kesemuanya itu mengantarkan seorang muslim
menjadi insan bertaqwa, sebagaimana tujuan dari
pelaksanaan puasa itu sendiri. Oleh karena itu,
kegiatan i‟tikaf menjadi bagian tak terpisahkan dalam
mensukseskan mereka yang berpuasa untuk mencapai
kesuksesan menjadi insan yang bertaqwa. Barang kali
poin ini pula yang harus menjadi perhatian umat Islam
dalam melakukan kegiatan selama bulan Ramadhan.
Adapun waktu beri‟tikaf pada bulan Ramadhan
dapat dilihat dari hadits yang menjelaskan kebiasaan
Rasulullah Saw ketika beri‟tikaf pada waktu sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan. Keterangan tersebut
berdasarkan hadits Rasulullah Saw dari Abdullah bin
Umar yang diriwayatkan Bukhari nomor 2025 sebagai
berikut,17

ِْ‫زَ َذثَنَا ئِعََْاعِْوُ تِِْ عَثْذِ اهللِ قَاهَ زَ َذثَنَِ ئِتُِْ ًَىْةٍ عَِْ ُّ ٌُّْظَ أََُ َّافِعًا َأخْثَشَهُ َع‬

َ‫ َّعْرَنِفُ اىعَشْش‬.ً.‫ مَاَُ سَعٌُْهُ اهللِ ص‬:َ‫ِ اهللُ عَْنيََُا قَاه‬


َ ِ‫عَثْذِ اهللِ تِِْ عََُشَ سَػ‬

َُ‫األًََاخِشَ ٍِِْ َسٍَؼَا‬

17
Lebih jelasnya, lihat kitab al-I‟tikaf bab al-I‟tikaf fi al-„Asyr
al‟Awakhir, dalam Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-
Jami‟ al-Shahih, Juz ke-2,61

89
“Isma‟il bin Abdillah menceritakan kami lalu
berkata bahwa Ibn Wahb menceritakan aku dari Yunus
sesungguhnya ia mengabarkan sesuatu yang
bermanfaat dari Abdillah bin Umar r. huma bahwa ia
berkata: Rasulullah Saw selalu ber‟itikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan”.
Sungguh, praktik tersebut (beri‟tikaf di masjid pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan) tidak menjadi
kebiasaan bagi kebanyakan umat Islam di zaman
sekarang. Mereka lebih menyibukan 10 malam terakhir
bulan Ramadhan dengan menyiapkan perayaan ied al-
Fitri yang tidak ada hubungannya dengan kebiasaan
Rasulullah pada bulan Ramadhan. Misalnya membuat
kue, berbelanja pakaian (shoping), dan perbuatan
lainnya yang sejenis. Terkadang tidak sedikit dari
mereka yang tidak lagi mengisi malam Ramadhan
dengan shalat tarawih dan men-tadarrus-kan al-Quran,
bahkan tidak dapat dipungkiri bila ada di antara mereka
yang berperilaku mengganggu tetangga dan sekitarnya
dengan bermain petasan.
Barang kali di sinilah pentingnya melihat motivasi
Rasulullah ketika menjadikan kegiatan i‟tikaf sebagai
kebiasaan pada setiap 10 hari terakhir di bulan
Ramadhan. Jika dicermati pada waktu tersebut,
terdapat peristiwa penting dalam Islam yaitu
diturunkannya al-Quran sebagai pedoman kehidupan
manusia. Keterangan tersebut berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut,

90
ُِ‫شيْشُ َسٍَؼَاَُ اىَزَُِ ُأّضِهَ فِْوِ اْىقُشْآُُ ىُذًٍ ىِينَاطِ ًَتَِْنَاخٍ ٍَِِ اْىيُذٍَ ًَاْىفُشْقَا‬
َ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan


Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
Sebagai penguat dari pendapat di atas, bahwa al-
Quran itu diturunkan pada sepuluh malam terakhir di
bulan Ramadhan, dapat dilihat keterangan penjelas
dalam surat al-Qadr ayat 1-5 sebagai berikut,

,ٍ‫شيْش‬
َ ِ‫ ىَْيَحُ اْىقَذْسِ خَْشٌ ٍِِْ أَىْف‬,ِ‫ ًٍََا َأدْسَاكَ ٍَا ىَْيَحُ اْىقَذْس‬,ِ‫ِئَّا َأّضَىْنَاهُ فِِ ىَْيَحِ اْىقَذْس‬

ِ‫ عَيَاًٌ ىَِِ زَرََ ٍَطْيَعِ اْىفَدْش‬,ٍ‫ذَنَضَهُ اىََْيَائِنَحُ ًَاىشًُذُ فِْيَا تِِارُِْ سَِتيٌِ ٍِِ مُوِ َأٍْش‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-
Qur'an) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu?, Malam kemuliaan itu
lebih baik dari seribu bulan, Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan, Malam itu
(penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Keterangan penjelas selanjutnya mengenai
persoalan di atas (diturunkannya al-Quran) dapat
ditemukan dari hadits Nabi yang menjelaskan tentang
peristiwa lailah al-Qadr, sebagaimana yang

91
diriwayatkan Muslim nomor 211 dari Ibnu Umar berikut
ini,18

َ‫غيِشٍ عَِْ اىشََْثاِِّ عَِْ خََثيَح‬


ْ ٍُ ِِْ‫زَ َذثَنَا أَتٌُْ تَنْشِ تِِْ أَتِِْ شَْثَحَ زَ َذثَنَا عَيُِِ ت‬

َ‫ ذَسََْنٌُْا ىَْيَح‬.ً.‫ قَاهَ سَعٌُْهُ اهللِ ص‬:َ‫ًٍَُسَاسِبٍ عَِْ ئِتِِْ عََُشَ سَػَِِ اهللُ عَنْوُ قَاه‬

ِ‫ فَِ اىرِغْعِ األًََاخِش‬:َ‫ أًَْ قاَه‬,ِ‫اىقَذْسِ فَِ اىعَشْشِ األًََاخِش‬


“Abu Bakr bin Syaibah menceritakan kami bahwa
Ali bin Musyhir menceritakan kami dari al-Syaibaniy
dari jabalah dan Muharib dari Ibn Umar r.a berkata
bahwa Rasulullah Saw bersabda: carilah lailah al-Qadr
pada sepuluh malam terakhir atau Sembilan malam
terakhir.”
Lailah al-Qadr itulah yang menjadi motivasi Nabi
Saw ketika beliau menjadikan kebiasaan beri‟tikaf pada
sepuluh hari terakhir di setiap bulan Ramadhan.
Sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan yang
di dalamnya para malaikat diturunkan dengan
membawa urusan, ketika itulah dosa mereka yang
mendapatkannya terampuni dan mereka seolah-oleh
telah beribadah kurang-lebih 83 tahun. Pada titik ini
kita harus malu, sosok Rasulullah saja yang terbebas
dari dosa (maksum), selalu termotivasi dan menjadikan
kebiasaan I‟tikaf sebagai bagian penting dalam
kehidupannya di setiap bulan Ramadhan. Lalu mengapa

18
Abi al-Husain muslim bin al-Hijaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, 522.

92
kita tidak melakukannya? Padahal diri kita merupakan
jiwa yang berlumuran dosa.
Oleh karena itu, harus menunggu apalagi untuk
mempraktikannya dalam kehidupan kita. Bersegeralah
untuk mendapatkannya dengan mengisi 10 hari
terakhir di bulan Ramadhan dengan kegiatan yang
strategis untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara ber‟itikaf di masjid. Karena itulah kita akan
merasakan suksesnya berpuasa dengan menjadi insan
yang bertaqwa.

Membayar Zakat Fitrah (Zakat al-Fitri)


Sebagai penutup dari puasa Ramadhan, umat
Islam disyari‟atkan untuk mengeluarkan kelebihan
harta yang dimiliki dengan mengeluarkannya dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya
(mustahik). Kegiatan ini dikenal dengan istilah zakat al-
Fitri. Sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan
istilah zakat fitrah. Sekalipun kedua istilah itu berbeda
dalam kajian kebahasaan, tetapi tetap memiliki maksud
yang sama, karena dalam kajian bahasa Indonesia
istilah zakat fitrah merupakan nasalisasi dari istilah
zakat al-Fitri, sehingga tidak perlu diperselisihkan.
Kegiatan zakat al-Fitri memiliki kedudukan yang
penting bagi mereka yang berpuasa Ramadhan. Salah
satu tujuannya adalah mensucikan diri orang yang
berpuasa dari segala hal yang sia-sia selama
melaksanakan puasa tersebut dan memberi makan
orang miskin. Keterangan tersebut berdasarkan hadits

93
Nabi Saw dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Abu
Dawud nomor 1609 sebagai berikut,19

:َ‫شقِِّ ًَعَثْذُ اهللِ تِِْ عَثْذِ اى َشزََِِْ اىغَََشْقَنْذُِّ قَاّال‬


ْ ٍَ‫زَ َذثَنَا ٍَسَُْ ٌْدُ تِِْ خَاىِذِ اى ِذ‬

,َ‫ ًَمَاَُ عَْخَ طَذَق‬,ِِّ‫ زَ َذثَنَا أَتٌُْ َّ ِضّْذِ اخلَ ٌْ َّال‬:َ‫زَ ّذثَنَاَ ٍَشًَْاُِ قَاهَ عَثْذُ اهللِ قَاه‬

,ِِّ‫ اىظَذَف‬:ُ‫ زَ َذثَنَا عََْاسُ تِِْ عَثْذِ اى َشزََِِْ قَاهَ ٍَسَُْ ٌْد‬,ُ‫ًَمَاَُ ئِتُِْ ًَىَةٍ ُّشًَُُِ عَنْو‬

ًِ‫ صَمَاجَ اىفِطْشِ ُطيْشُجٌىِيظَِْا‬.ً.‫ فَشَعَ سَعٌُْهُ اهللِ ص‬:َ‫عَِْ عِنْ ِشٍَح عَِْ ئِتِِْ عَثَاطِ قَاه‬

ٍَِْ ًَ ,ٌ‫ظالَجِ َفيَِِ صَمَاجٌ ٍَقْثٌُْىَح‬


َ ‫ ٍَِْ َأدَاىَا قَثْوَ اى‬,ِِِ‫ٍَِِ اىيَغٌِْ ًَاىشَفَثِ ًَطََْعَ ٌح ىِيََغَام‬

ِ‫ظالَجِ َفيَِِ طَذَقَحٌ ٍَِِ اىظَذَقَاخ‬


َ ‫َأدَاىَا تَعْذَ اى‬
“Mahmud bin Khalid al-Dimasyqiy dan Abdullah bin
Abd al-Rahman al-Samarqandhi menceritakan kami lalu
mereka berkata bahwa Marwan menceritakan kami lalu
berkata bahwa Abdullah berkata Abu Yazid al-
Khawlaniy menceritakan kami dan dia selalu shuduq
dan Ibn Wahab meriwayatkan darinya bahwa sayyar
bin Abd al-Rahman menceritakan kami bahwa Mahmud
berkata dari „Ikrimah dari Ibn Abbas lalu berkata:
Rasulullah mewajibkan zakat al-Fitri untuk mensucikan
orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan
kotor, serta memberi makan orang miskin. Dan siapa
yang melakukannya sebelum shalat „ied maka itu

19
Abi Dawud Sulaiman bin al-„Asy‟ast al-Sajastaniy, Sunan Abi
Dawud, 279.

94
adalah zakat yang diterima, dan siapa yang
melakukannya setelah shalat ied, maka itu hanyalah
sekedar sedekah.”
Berpijak dari hadits di atas, terdapat keterangan
waktu pelaksanaan zakat al-Fitri yaitu jangan sampai
melewati pelaksanaan shalat ied al-fitri. Oleh karena itu
sebaiknya zakat al-fitri dikeluarkan sebelum waktu itu,
bahkan hendaknya bisa dikeluarkan lebih awal,
sehingga mampu memberikan waktu bagi amil zakat
untuk mendistribusikannya kepada orang yang berhak
menerimanya secara luas.
Adapun besaran (ukuran) zakat al-fitri yang
dikeluarkan adalah satu sha‟ yang setara kurang lebih
2,5 Kg atau setara kurang lebih 3,5 liter sebagaimana
yang dipraktikan di tengah masyarakat pada umumnya.
Keterangan tersebut berdasarkan hadits Nabi Saw yang
berasal dari Ibn Umar yang diriwayatkan Abu Dawud
nomor 1611 sebagai berikut,20

ِِْ‫زَ َذثَنَا عَثْذُ اهللِ تِِْ ٍَغْيَََح زَ َذثَنَا ٍَاىِلُ ًَقَ َشأَهُ عَيََِ ٍَاىِلُ َأّْؼًا عَِْ ّاَفِعٍ عَِْ ئِت‬

ٍِِْ ٌ‫عََُشَ أََُ سَعٌُْهَ اهللِ ص ً فَشَعَ صَمَاجَ اىفِطْشِ ٍِِْ َسٍَؼَاَُ طَاعٌ ٍِِْ ذََْشٍ أًَْ طَاع‬

.ََِِِْ‫ رِمْشٍ أًَْ ُأّْثََ ٍَِِ اىَُغْي‬,ٍ‫شَعِْشٍ عَيََ مُوِ زُشٍ أًَْ عَثْذ‬

20
Ibid., sebagai penguat lihat pula hadits muslim nomor 984, dalam
Abi al-Husain muslim bin al-Hijaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim, 437. Lihat pula hadits Bukhari nomor 1503, 1504, 1507,
1511, 1512, dalam Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il al-Bukhari, al-
Jami‟ al-Shahih, (al-Qahirah: al-Mathba‟ah al-Salafiyah, 1403H), Juz
ke-1, 466-468

95
“Abdullah bin Maslamah menceritakan kami bahwa
Malik menceritakan kami seraya membacakannya
kepadaku dari Nafi‟ dari Ibn Umar bahwa Rasulullah
Saw mewajibkan zakat al-fitri pada bulan Ramadhan
sebanyak satu sha‟ kurma atau satu sha‟ gandum atas
setiap jiwa seorang muslim baik merdeka atau budak
maupun perempuan atau laki-laki.”
Demikian kiranya tuntunan zakat al-fitri
sebagaimana yang tersirat dalam hadits Nabi Saw.
Sekali pun zakat al-Fitri ini ringan jangan sekali-kali
menganggap enteng atau hal yang biasa. Tetapi tetap
harus menjadi catatan penting dalam pikiran kita
sebagai bagian yang tidak boleh diabaikan dan dikelola
dengan baik, sehingga mampu terdistribusikan kepada
berhak yang menerimanya. Dengan demikian akan
sampai kepada tujuan disyariatkannya zakat al-Fitri, di
samping untuk mensucikan kesalahan orang yang
berpuasa, juga untuk memberi makan orang miskin.
Bukankah seperti ini gambaran orang yang bertaqwa.
Sebagai kesimpulan sederhana, penulis melihat
bahwa dalam prosesnya sangat benar jika Allah
mengatakan bahwa tujuan berpuasa untuk menjadikan
insan yang bertaqwa (surat al-Baqarah ayat 183),
karena memang sangat mudah terlihat dari segala
kegiatan yang berhubungan dengan puasa Ramadhan
mencerminkan perilaku orang yang bertaqwa. Oleh
karena itu jangan sekali-kali, kita menyepelehkan
kegiatan di dalam bulan Ramadhan sekecil apa pun,
misalnya seperti zakat al-fitri.
-o0o-

96
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Sjamsul AR, Hisab dan Rukyat. Musyawarah


Tarjih I di jember tanggal 6-7 September 2003.
al-Baqiy, Muhammad Fuad Abd. Mu’zam al-Mufahras li
al-Fadz al-Quran al-Karim. al-Qahirah: Dar al-
Hadits.
al-Bassam, Abdullah bin Abd al-Rahman. 2003. Tawdih
al-Ahkan Min Bulugh al-Maram. Juz ke-3. Makkah
Mukaramah: Maktabah al-Asadiy.
al-Bukhari, Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il. 1403H.
al-Jami’ al-Shahih. Juz ke-1. al-Qahirah: al-
Mathba‟ah al-Salafiyah.
al-Bukhari, Abi Abd Allah Muhammad Isma‟il. 1403H.
al-Jami’ al-Shahih. Juz ke-2. al-Qahirah: al-
Mathba‟ah al-Salafiyah.
CD Aplikasi al-Hadith al-Sharîf al-Kutub al-Tis‟ah.
Daud, Anas Ismail Abu. 1996. Dalil al-Sa’ilin. Jedah: al-
Mamlakah al-„Arabiyah al-Su‟udiyah.
Mandzur, Ibn. T.th. Lisan al-Arab. al-Qahirah: Dar al-
Ma‟arif.
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya.
Djamil, fathurahman, dalam Miftahul Huda. 2006.
Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat, Sumber
dan Tujuan Hukum Islam. Ponorogo: STAIN PO
Press.

97
Munawwir, A.W. 1984. Kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap. Edisi ke-2. Surabaya:
Pustaka Progresif.
Mushrifah, Atiyyah Mustafa. T.th. al-Qadâ’ fi al-Islâmi.
Beirut: tp.
al-Naim, Abdullahi Ahmed. 2004. Dekonstruksi
Syari’ah. Cet. Ke-4. Jogjakarta: LKIS.
al-Naisabury, Abi al-Husain muslim bin al-Hijaj al-
Qusyairy. 1426H. Shahih Muslim. al-Riyad: Dar
Thayibah.
al-Nasa‟I, Abi „Abd al-Rahman Ahmad Ibn Syuaib bin
„Ali. 1990. Tafsir al-Na’sai. Juz ke-2. Beirut:
Mu‟assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah.
al-Syahir, Abi Abd al-Rahman Ahmad bin Syuaibbin Ali.
T.th. Sunan al-Nasa’I. Riyad: Maktabah al-Ma‟arif.
al-Sajastaniy, Abi Dawud Sulaiman bin al-„Asy‟ast. T.th.
Sunan Abi Dawud. Riyad: Maktabah al-Ma‟arif.
PP. Muhammadiyah. 1967. Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah. Jogjakarta: PP. Muhammadiyah.
PP. Muhammadiyah. 2005. Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.
Jogjakarta: Suara Muhammadiyah.
PP. Muhammadiyah, Majlis Tarjih dan Tajdid. 2011.
Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan. cet. Ke-
2. Jogjakarta: Surya Sarana Grafika.
Shaltut, Mahmud. 1966. al-Islam aqidah wa shari’ah.
tt: Dar al-Qalam.

98
Suciati. 2006. Mempertemukan Jaringan Islam Liberal
(JIL) dengan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Jogjakarta: Arti Bumi Intaran.
al-Sufyâni, Abir bin Muhammad. 1408H. al-thubât al-
Shumûmul fi al-Sharî’ah al-Islâmiyah. Makkah:
Um al-Qura.
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam: Dari
Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
al-„Umariy, Nâwiyah Sharîf. 2001. al-Ijtihâd fi al-Islam:
Ushûluhu, Ahkâmuhu, Afâquhu. Beirut:
Mu‟assasah al-Risâlah.
Yasin, Hikmat bin Basyir bin. 1990. al-Tafsir al-Shahih.
Juz ke-1. al-Madinah al-Nabawiyah: Dar al-Matsir.

99
BIODATA PENULIS
Dian Berkah, M.HI. lahir di
bekasi tanggal 23 September
1983 dari pasangan Nimu bin
sanen dengan Limah binti Lebar.
Pengembaraan keilmuannya
sejak SD hingga SMA di Bekasi.
Perkembangan pemikirannya
dalam beragama banyak di dapat
dari SMA Muhammadiyah 09
Bekasi hingga lulus tahun 2002.
Tak disangka, ia pun sempat
berhenti setahun dengan
menyibukan dirinya bekerja di Rumah sakit Islam
Jakarta.
Pasca itu, ia melanjutkan pengembaraan keilmuan
pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Malang sebagai penerima beasiswa program Ulama
Tarjih dari kampus tersebut. Kematangan berpikirnya
dalam kajian Hukum Islam banyak didapat dari
Program Pendidikan Ulama tarjih yang diasuh oleh
KH. Abdullah Hasyim di Padepokan Hizb al-Wathan,
hingga akhirnya ia lulus pada tahun 2007 dengan
predikat yang sangat membanggakan. Tanpa Berfikir
panjang, ia langsung melanjutnya pengembaraan
keilmuannya dalam bidang hukum Islam (Syari‟ah)
pada Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya,
hingga akhirnya ia lulus tahun 2009 dengan tesis
“Konsep sabilillah dalam Zakat”.
Dalam mempertajam dan mengamalkan keilmuan,
ia bergabung dalam organisasi dakwah pada Ikatan

100
Remaja Muhammadiyah tingkat Jawa Timur dan ia
sempat menjadi ketua umum periode 2006-2008 pada
organisasi tersebut. Sekarang ia diminta untuk menjadi
wakil sekretaris Majlis Tarjih PW. Muhammadiyah Jawa
Timur dan sekretaris Majlis Tarjih tingkat PD.
Muhammadiyah Gresik. Bersamaan dengan itu, ia pun
diminta menggerakan pemuda Muhammadiyah Gresik
sebagai Sekretaris. PC. Muhammadiyah sebagai Majlis
kader, dan Pimpinan yang membidangi Tabligh pada
PR. Muhammadiyah Pongangan.
Secara formal ia mengabdikan keilmuannya pada
Fakultas Agama Islam UMSurabaya, UM Gresik, dan
SMP Muhammadiyah 12 GKB. Sedangkan secara
informal ia banyak terlibat sebagai mubaligh
Muhammadiyah dengan berceramah dan mengisi kajian
khusus di Masjid Taqwa Muhammadiyah GKB dan
Masjid Taqwa Perguruan Muhammadiyah Gresik.
Beberapa karya beliau yang pernah diterbitkan
adalah, Peran Keluarga Muhammadiyah (Muhi Press,
Mei 2011), guruku inspirasiku (Muhi Press, Januari
2012), Menggapi sukses berpuasa Ramadhan adalah
buku yang terakhir. Secara terlepas, ia menulis pada
jurnal di beberapa kampus di Jawa Timur dan majalah
seperti Matan dan Suara Muhammadiyah.
Berinteraksi dengan beliau bisa melalui
www.dianberkah.com, atau email:
berkah_pasca@yahoo.com, akun facebook: dianberkah,
atau via contact: 081555836817. Sekarang ia tinggal di
kediamannya bersama istri dan anak tercinta di Jalan
Kayu 5/ 09 Perum Pongangan Indah, Manyar Gresik.

101
102
103
104
105
106

Anda mungkin juga menyukai