ِ َّْاح ُمونَ يَرْ َح ُمهُ ُم الرَّحْ َمنُ ارْ َح ُموا أَ ْه َل اأْل َر
ض يَرْ َح ْم ُك ْم َم ْن فِي ال َّس َما ِء ِ الر
“Orang-orang yang berbuat kasih sayang akan disayang oleh ‘Ar-Rahman’ (Yang maha
Penyayang), maka sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi ini niscaya engkau akan
disayang oleh (Allah) yang ada diatas langit.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Perhatikanlah bagaimana Allah mengisyaratkan bahwa siapa saja yang ingin mendapatkan
rahmat-Nya(surganya) hendaklah ia berbuat kasih sayang kepada manusia. Sangat-sangat kontras
dengan paham-paham kelompok radikalisme saat ini.Rasulullah bersabda;
ً ب هّللا ُ َعلَ ْي ِه َولَ َعنَهُ َوأَ َع َّد لَهُ َع َذابا ً َع ِظيما ِ َو َمن يَ ْقتُلْ ُم ْؤ ِمنا ً ُّمتَ َع ِّمداً فَ َجزَ آ ُؤهُ َجهَنَّ ُم خَالِداً فِيهَا َوغ
َ َض
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah
Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93)
Kedua, karena adanya pemahaman dari sebagian kelompok umat Islam sendiri, terutama dari
kalangan IGARAS (Islam Garis Keras) sebagaimana beberapa di antaranya disebutkan di atas,
yang sangat dangkal dan tekstual dalam memahami ajaran Islam, tanpa memahami konteks dan
inti maqashid as-syari’ah dari masing-masing ajaran itu. Dengan kata lain, kelompok umat Islam
semacam ini umumnya memahami teks ajaran Islam hanya berhenti pada tataran al-
ma’na (makna permukaan) yang sekiranya sesuai dengan selera dan kepentingan mereka sendiri,
namun mereka gagal menggali aspek al-maghza (kedalaman substansi dan spirit ajaran) yang
terkandung di dalamnya. Sehingga, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh mereka
pun sesungguhnya tidaklah berbeda dengan pemahaman yang dihasilkan oleh sebagian kaum
orientalis di atas. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, kelompok umat Islam semacam
ini, dengan bekal pemahaman keagamaan mereka yang sangat kaku dan tekstual itu, justeru
menganggap diri mereka sebagai kelompok umat Islam yang paling benar (truth claim), bahkan
mudah memberi label “kafir” terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sepaham dengan
mereka sehingga layak diperangi. Cara berpikir semacam ini sungguh sangat keliru dan
berbahaya bagi kerukunan hidup umat Islam sendiri, lebih-lebih dalam hubungan antar umat
beragama dan hubungan masyarakat sebangsa-setanah air yang penuh dengan kemajemukan. Itu
semua karena doktrin atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka cenderung eksklusif, ekstrem,
fanatik, tidak toleran, radikal, dan keras. Di antara doktrin yang paling sering diusung oleh
mereka hingga saat ini umumnya berkutat pada konsep “Khilafah Islamiyah” (terbentuknya
Negara Islam) dan konsep “Jihad” dengan pemaknaan yang sangat dangkal dan sempit hanya
sebatas “perang fisik” dan aksi-aksi “kekerasan” yang tanpa kompromi. Padahal, hakikat makna
“Jihad” itu sendiri yang sesungguhnya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW di
akhir berkecamuknya Perang Badar yang sangat dahsyat, bahwa jihad yang paling besar
adalah jihad an-nafs (jihad memerangi hawa nafsu dan angkara murka yang bersemayam di
dalam diri setiap manusia).
Terakhir, sebagai penutup materi khutbah ini, sebagaimana yang mungkin di antara jama’ah
sekalian telah sama-sama ketahui, baru-baru ini muncul wacana pembongkaran dan pemindahan
makam Rasulullah SAW dan situs-situs penting bersejarah lainnya di area Masjid Nabawi di
Madinah oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yang diback-up oleh kelompok ekstremis
Wahabi. Wacana atau usulan ini dimuat dalam sebuah dokumen yang ditulis oleh seorang
ilmuwan dari kalangan Wahabi, Dr. Ali bin Abdul Aziz al-Shabal dari “Muhamad ibn Saud
Islamic University” Riyadh, dan telah diedarkan kepada Komite Kerajaan Arab Saudi. Rencana
semacam ini sesungguhnya bukan kali yang pertama. Karena pada sekitar tahun 1924 yang
silam, kelompok ekstremis Wahabi ini sudah hampir benar-benar melakukan pembongkaran
terhadap makam Rasulullah SAW tersebut, bahkan membuat aturan yang melarang berhaji ke
Baitullah bagi umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Namun rencana itu akhirnya
berhasil digagalkan lantaran derasnya kecaman dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari kalangan ulama Indonesia sendiri yang tergabung
dalam wadah “Komite Hijaz”, sebuah organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya jam’iyyah
Nahdhatul Ulama (NU) yang dimotori oleh Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul
Wahhab Chasbullah dari Jombang. Sepanjang sejarahnya, sejak awal kemunculannya pada abad
ke 18 M, kelompok ekstremis Wahabi ini memang sangat gencar melakukan pembongkaran
bahkan pengrusakan terhadap situs-situs penting bersejarah umat Islam, melalui slogan mereka
yang sangat populer namun sesungguhnya sangat salah kaprah dengan mengatas-namakan
gerakan “tajdid al-‘aqidah” (pembaharuan akidah), yakni: “demi membebaskan umat Islam dari
prilaku syirik, khurafat, tahayul dan bid’ah”, sehingga makam-makam para Nabi dan para Auliya
pun tak luput dari serangan brutal mereka.
Selain itu, perlu juga kita ketahui, bahwa di antara ajaran khas kaum Wahabi ini adalah:
mengkafirkan imam besar sufi yang menjadi panutan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
seperti Imam Ibnu ‘Arabi dan Imam Abu Yazid al-Bustami; mudah memberi label “kafir”
terhadap umat Islam lain yang dianggap tidak sepaham; memvonis sesat kitab “Aqidatul Awam”
dan “Qashidah Burdah”; menganggap sesat pengikut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah;
mengubah beberapa bab dalam kitab-kitab karangan ulama salafus shalih agar sesuai dengan
paham mereka, seperti kitab “al-Adzkar” karangan Imam An-Nawawi; mereka juga menolak
perayaan Maulid Nabi karena menganggap acara tersebut sebagai bid’ah dholalah, termasuk
menolak kitab “Ihya’ Ulumuddin”karangan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.
Oleh karenanya, sudah sepantasnya pada kesempatan ini kita sama-sama berdo’a dan memohon
kepada Allah, agar wacana dan rencana yang akan memecah belah dan melukai perasaan umat
Islam di seluruh
dunia itu tidak betul-betul terlaksana. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Radikalisme dalam Islam
Dewasa ini mulai tumbuh kelompok Islam ekslusif yang menisbatkan dirinya sebagai kelompok
yang benar dan menganggap umat Islam di luar kelompoknya tidak benar.
Mereka adalah kelompok yang mengabaikan perjuangan kaum muslimin pada awal Islam dan
perjuangan bangsa Indonesia tatkala merebut kemerdekaannya. Padahal banyak kemiripan
perjuangan awal Islam (berdirinya negara Madinah) dengan berdirinya negara kestuan RI. Yakni
kedua Negara ini berdiri di atas pluralitas yang tinggi, tetapi berkat Ruh Islam yang menjadi
pegangannya terciptalah Negara Madinah yang damai di bawah kepemimpinan Rasulullah
SAW. Ruh Islam itu termaktup dalam Piagam Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Sukarno pernah mengatakan bahwa negeri ini bukan negara agama, tetapi negara ideal menurut
Soekarno adalah negara yang ”api” dan ”semangat” Islamnya terwujud dalam kerbijaksanaan
dan tercermin dalam kehidupan rakyatnya.1 Pandangan ini persis Negara Madinah adalah
negara bangsa bukan sebagai negara Islam, meski kepala negaranya adalah Utusan Allah SWT.
Maka ketika terjadi penghalalan segala cara yang dilakukan oleh kelompok eksklusif gerakan
demikian tidak senafas dengan semangat bernegara yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Islam tidak mentolerir umatnya yang melakukan pelanggaran hak sesama manusia yang lima,
sebagaimana telah ditemukan Imam Gozali dari ajaran Allah dan Rasulnya, yakni pelanggaran
hak yang berkaitan dengan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta milik. 2. Allah SWT
memerintahkan negara untuk mencegah kegiatan demikian, sebagaiman termaktub dalam QS Al
Hujurat [49]:9.
ُ
ِ ¡َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ْخ¡ َرى فَقَ¡¡اتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّى تَفِي َء إِلَى أَ ْم
¡ر هَّللا ِ فَ¡إ ِ ْن ْ طائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما فَإ ِ ْن بَغ
َ َوإِ ْن
َت فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين
ْ فَا َء
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada
perintah Allah; Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antar keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil (QS Al Hujurat [49]:9).
Yang kedua, kesadaran adanya pluralitas yang telah menjadi kehendak Allah SWT, sebagai
konskwensi sikap penabur kasih sayang tersebut.
ْ ُ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ارف
ۆا َ ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ل لِتَ َع
َ ِ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُش¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡عُوبًا َوقَبَآئ
ٍ يَ ٰآيُّهَ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ا ألنَّاسُ إنَّا َخلَ ْق ٰنَ ُك ْم ِّم ْن َذ َك
“Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan,
dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.“
(Al Hujurat[49]:13)
Yang ketiga, untuk menciptakan keindahan dalam pluralitas itu perlu adanya penjagaan, sebab
itu diperlukan perjanjian antar manusia, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Imran [3] :
112;
اس ٍ ت َعلَ ْي ِه ُم ال¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ ِّذ لّ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ةُ أ ْينَ َم¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ا ثُقِفُوٓ ْا إٍالَّ بِ َحبْ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ ٍل ِّمنَ أهللِ َو َحب
ِ َّْ¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ل ِّمنَ ألن ْ َض¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡¡ ِرب
ُ
”Mereka itu diliputi kehinaan dimanapun mereka berada, kecuali mereka berpegang pada
tali(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”( Al Imran [3] : 112).
Yang keempat, selain diperlukan perjanjian yang mengikat yang terjadi antar golongan, juga
diperlukan perjanjian yang terjadi di dalam golongan itu sendiri. Golongan yang benar adalah
golongan yang berpegang pada tali Allah SWT (Al Qur’an dan Assunnah).
“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kata:”Kafir”, atau dengan kata :”Musuh Allah”,
padahal (yang dipanggil) tidak seperti itu, maka (panggilan itu) terpulang kepada dirinya
sendiri.”(HR Bukhari dan Muslim).*)
لَ َز َوا ُل ال ُّد ْنيا أَ ْه َونَ ِع ْن َد هللاِ ِم ْن قَ ْت ِل َرج ُِل ُم ْسلِ ٍم
Sungguh lenyapnya dunia itu bagi Allah lebih ringan dari dibunuhnya seorang muslim (HR
Turmiz dan An-Nasai, dari Ibn Umar, shahih)4
3. Membunuh Kafir Mu’ahad
Kafir mu’ahad ialah orang kafir yang menjadi perwakilan di negara Muslim dan orang asing
yang masuk negara muslim dengan menggunakan visa, termasuk dalam hitungan kafir Mua’had
adalah kafir dzimi ( orang kafir yang hidup damai di negeri muslim). Sebagaimana Nabi
bersabda;
Sebagian orang tua yang mempunyai anak usia SMA barangkali merasakan bahwa ibadah sang
anak semakin khusuk, tapi anehnya lebih senang menyendiri. Ketika diajak berdiskusi dia tidak
mau sepenuhnya berterus terang. Hingga suatu ketika anaknya tersebut mengkritik cara
beribadah orang tuanya yang dinilai tidak benar, entah shalatnya, cara mua’malah-nya atau
paradigma beragamanya.
Gejala demikian akhir-akhir ini berkembang di masyarakat. Bahwa agama, dalam hal ini Islam,
menurut sebagian kalangan, perlu dilakukan pemurnian, karena dianggap tidak sesuai dengan
tuntunan yang diajarkan Nabi. Upaya pemurnian tersebut secara otomatis harus dikonfrontasikan
dengan pemahaman ber-Islam yang sudah mapan di kalangan masyarakat. Pada tahap yang lebih
serius kita menyebutnya radikal.
Terlepas mana yang benar, apakah cara ber-Islam “model baru” atau ber-Islam dengan cara yang
sudah mapan, konfrontasi di masyarakat semakin meluas. Islam model baru mengusung
pemahaman untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai wujud memurnikan Islam.
Sehingga ketika terdapat bentuk ibadah yang tidak ditemukannya dalam Al-Qur’an dan Hadits,
dianggap salah. Kesalahan tersebut kalau jaraknya masih tipis dianggap bid’ah, kalau jaraknya
sudah jauh dianggap kafir.
Pemahaman seperti ini sudah merasuk kepada anak-anak sekolah dan mahasiswa. Bayangkan!
Anak-anak sekolah itu tengah belajar pemahaman Islam yang keras, dengan melestarikan
konfrontasi dalam cara dakwahnya, bukan Islam yang damai dan lembut, sebagaimana dipahami
oleh orang tuanya. Mereka menerima doktrin pemurnian begitu saja tanpa ada kesempatan men-
tabayuni dengan melakukan kajian ilmiah, apakah benar cara ber-Islam yang sudah mapan itu
keluar dari koridor Al-Qur’an dan Hadits, sehingga harus ada gerakan kembali pada Al-Qur’an
dan Hadits.
Pada kenyataannya, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof.
Dr. Bambang Pranowo, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50
persen pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25 persen siswa dan 21persen guru
menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru
setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan
kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa dan 14,2 persen membenarkan
serangan bom.
Sementara itu, peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan, paham radikalisme ini terjadi karena proses
Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda berlangsung secara tertutup, dan cenderung
tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Dia
mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan, bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka
menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting. Radikalisme di kalangan pelajar dan
mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul
Muslimin), termasuk HTI dan salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam trans nasional
(BBC Indonesia, 18/2/2016).
Kalau sudah jelas seperti ini, maka kita semua termasuk orang tua harus waspada, bahwa ada
gerakan yang serius yang ingin mengubah tatanan berbangsa melalui kedok agama. Doktrin
pemurnian agama kepada anak-anak sekolah, yang mengkritik bahkan cenderung menyalah-
nyalahkan cara beribadah orang tuanya itu, ternyata tidak hanya menghendaki diubahnya cara
beribadah, tapi juga diubahnya sendi-sendi kehidupan dalam cara bernegara.
Menurut survei The Pew Research Center pada 2015 lalu mengungkapkan, di Indonesia, sekitar
4 persen atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS – sebagian besar dari
mereka merupakan anak-anak muda. Fakta demikian harus menjadi alarm bagi orang tua untuk
lebih memperhatikan anak-anaknya. Anak-anak usia remaja adalah anak-anak yang masih dalam
tahapan pencarian jati diri. Siapa yang bisa merebut cara berpikirnya, maka dia akan menjadi
pengendali masa depan anak tersebut.
Karena pentingnya merekrut anak-anak muda dalam menanamkan ideologinya, maka HTI
sebagai salah satu organisasi yang disebut diatas, telah menyiapkan upaya pengkaderan yang
dijamin bisa mengikat sedemikian kuat para kadernya. Sehingga wajar, ketika anak-anak muda
itu sudah masuk, maka akan sulit baginya untuk keluar. Karena keluar dari jama’ah mempunyai
dampak yang tidak enteng. Kita memang terpaksa menyebutkan merk (baca: HTI), karena ini
memang sudah menjadi gerakan terbuka. Buletin mereka bahkan sudah beredar secara gratis di
masjid-masjid seluruh Indonesia setiap hari Jum’at.
Dr. Ainur Rofiq Al-Amin dalam bukunya (2015) mengatakan bahwa, tahapan pertama
pengkaderan di Hizbu Tahrir adalah melakukan pengkaderan terkonsentrasi. Selanjutnya, tahap
kedua terdapat ruang kajian yang bernamahalaqah ‘amm. Setelah beberapa bulan atau sesuai
dengan pengamatan, mereka akan dinaikkan statusnya sebagai darisin (peserta halaqah yang
lebih intensif). Selanjutya, darisin yang masa pembinaannya dalam jangka waktu tertentu
(basanya sekitar 3 tahun) dinilai telah layak mereka bisa menawarkan diri atau ditawarkan untuk
menjadi hizbiyyin.
Jika telah siap menjadi hizbiyyin, mereka akan disumpah (qasam) agar setia pada Hizbu Tahrir.
Muatan qasaminilah yang membuat kader semakin militan. Qasam juga menahan seseorang
untuk keluar dari HTI, karena setelah melakukan qasam apabila menarik diri dari jama’ah
hukumnya haram, sekalipun telah membayar denda atau kaffarat.
Apabila ada anak yang terindikasikan mengikuti gerakan demikian maka kehadiran orang tua
sangat dbutuhkan. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan
budi pekerti, yaitu dalam rangkamenumbuhkembangkan kebiasaan baik sebagai bentuk
pendidikan karakter.
Orang tua harus sering-sering mengajak anak bicara dari hati ke hati. Jangan biarkan anak
tumbuh dengan pikirannya sendiri. Kebiasaan menyampaikan kehendak harus dikembangkan
dalam keluarga, sebagai bentuk keterbukaan dan pengakuan eksistensi. Ketika ada kehendak
baik dari anak, maka orang tua wajib menguatkan. Tapi ketika ada kehendak tidak baik, maka
kewajiban orang tua mengarahkan. Dengan demikian rumah menjadi surga dan tempat
menyemaikan nilai-nilai kebaikan, serta menangkal radikalisme
Dalil Tentang Keharaman Radikalisme
Hadirin Rohimakumullah
Dalam sebuah riwayat yang tertulis pada kitab Musnad Ahmad bin Hambal tertulis:
ص¡لَّى هللا
َ ِول هللا ِ ¡صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ْم َك¡¡انُوا يَ ِس¡يرُونَ َم¡ َع َر ُسَ ِ َح َّدثَنَا أَصْ َحابُ َرسُو ِل هللا: ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن أَبِي لَ ْيلَى قَا َل
َ َ فَق، ض ِحكَ ْالقَوْ ُم
: ال َ َ ف، فَلَ َّما ا ْستَ ْيقَظَ ال َّر ُج ُل فَ ِز َع، فَأَخَ َذهَا، ُضهُ ْم إِلَى ن ْب ٍل َم َعه ٍ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي َم ِس
َ َ فَا ْنطَل، فَنَا َم َر ُج ٌل ِم ْنهُ ْم، ير
ُ ق بَ ْع
ال يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم أَ ْن يُ َر ِّو َع ُم ْسلِ ًما: صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ َ فَق، إال أَنَّا أَخ َْذنَا ن ْب َل هَ َذا فَفَ ِز َع، ال: فَقَالُوا، َما يُضْ ِح ُك ُك ْم ؟
َ ِال َرسُو ُل هللا
Dari Abdurrahman bin Abi Laila berkata: suatu ketika sejumlah sahabat melakukan perjalanan
bersama Rasulullah. Ketika beristirahat, salah satu di antara mereka tertidur pulas. Sedang
beberapa sahabat yang lain masih terjaga. Kemudian mereka mengambil tombak seseorang yang
tertidur itu dengan maksud menggodanya (bercanda). Maka ketika yang tertidur itu bangun,
paniklah ia karena tombaknya hilang. Kemudian sahabat-sahabat yang lain tertawa. Maka Nabi
bertanya, “apa yang membuat kalian tertawa?” Para Sahabat menjelaskan candaan tadi. Lalu
Nabi pun bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim membuat panik muslim lainnya!”
Riwayat tersebut patut kita renungi secara lebih mendalam. Peristiwa dalam riwayat itu sekilas
nampak merupakan peristiwa biasa, bahkan terkesan hanya sebuah candaan, yaitu beberapa
orang sahabat Nabi menggoda teman mereka yang ketiduran dengan menyembunyikan
tombaknya. Namun sikap Nabi kemudian tiba-tiba menjadi sangat serius. Dan bahkan kemudian
Nabi bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim membuat panik muslim lainnya!”
Hadirin Rohimakumullah
Sangatlah jelas bagi kita bahwa candaan para sahabat Nabi itu kemudian justru mengakibatkan
reaksi Nabi yang sangat serius hingga Nabi bersabda “Tidak halal bagi seorang muslim membuat
panik muslim lainnya!” Peristiwa ini dapat menimbulkan persepsi bahwa figur Nabi adalah figur
yang serius, di mana candaan di atas kemudian disikapi Nabi dengan sabda yang sangat serius
seperti itu. Atau dengan kata lain, peristiwa itu bisa menimbulkan pemahaman bahwa Nabi tidak
membolehkan kita bercanda.
Tapi, benarkah Nabi memang tidak suka bercanda?
Hadirin Rohimakumullah
Nabi seperti yang digariskan oleh Allah dalam sejumlah ayat Al-Quran adalah sosok yang ramah
dan santun dan tentu saja tidak menolak candaan. Kita baca misalnya ayat berikut:
ِ ¡اورْ هُ ْم فِي اأْل َ ْم
¡ر فَ¡إ ِ َذا ِ ¡اس¡تَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش ْ ك فَ¡اعْفُ َع ْنهُ ْم َو ِ فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّ¡¡ا َغلِي¡ظَ ْالقَ ْل
ُّ َب اَل ْنف
َ ¡ِض¡وا ِم ْن َحوْ ل
ََع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِين
Yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Juga dalam ayat lain yang sering kita dengar, Allah berfiman:
ٌ َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُك ْم بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َر ُء
وف َر ِحي ٌم ِ لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم ع
Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) dan amat belas kasihan
lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Hadirin Rohimakumullah
Dari 2 ayat tersebut sangatlah jelas figur Nabi yang lemah lembut dan tidak suka kekerasan. Lalu
kembali kepada pertanyaan atas peristiwa candaan/guyonan di atas yang kemudian ditanggapi
secara serius oleh Nabi. Kita tetap akan bertanya, mengapa seolah dalam peristiwa tersebut Nabi
tidak berkenan atas para sahabat yang tengah bercanda?
Jawabannya mudah: yaitu karena bercanda itu harus ada tempatnya. Dalam sebuah riwayat yang
sangat masyhur disebutkan bahwa suatu saat Nabi bercanda dengan seorang Ibu tua renta, di
mana Nabi berkata bahwa kelak di surga tidak akan ada lagi orang tua seperti sang Ibu. Kontan
saja Ibu itu menangis dan mengira bahwa dirinya tidak akan bisa masuk surga. Namun kemudian
Nabi segera menjelaskan bahwa sang Ibu Insyaallah akan masuk surga, akan tetapi kelak di
surga, sang Ibu tua itu akan menjelma muda kembali. Ini adalah salah satu contoh candaan Nabi
dengan para sahabatnya.
Nah, jika dalam peristiwa di atas Nabi tiba-tiba menyambut candaan para sahabat dengan sabda
beliau “Tidak halal bagi seorang muslim membuat panik muslim lainnya!”, maka itu berarti bisa
kita fahami bahwa perkara membuat panik orang lain adalah perkara serius yang tidak boleh
dibuat sebagai bahan guyonan atau candaan.
Dengan kata lain, “membuat panik orang lain” adalah memang persoalan besar yang dilarang
oleh Rasulullah Saw. Ini berarti pula harus kita garis bawahi, bahwa kalau dalam rangka
bercanda saja kita tidak boleh membuat orang lain panik atau ketakutan, maka apalagi jika dalam
kondisi serius. Tentu adalah sangat haram membuat orang lain ketakutan.
Hadirin Rohimakumullah
Lebih jauh dalam riwayat Imam Al-Bazzar dan At-Tabrany tertulis berikut ini:
¡لم ظُ ْل ٌم َّ ¡ ف، ال تُ َر ِّو ُع¡¡وْ ا المس¡¡ل َم: فَ َذ َك َر ذل¡¡ك لِرس¡¡و ِل هللا فق¡¡ال،ُأن رجاًل أَ َخ َذ نَع َْل َر ُج ٍل فَ َغيَّبَهَا أي أَ ْخفَاهَا َوه َُو يَ ْمزَ ح
ِ ¡¡إن َروْ َع¡ ةَ المس
عظي ٌم
Seseorang mengambil sandal orang lain dengan bercanda. Lalu hal itu dibicarakan kepada Nabi
dan Nabi pun bersabda, “Jangan kalian membuat panik seorang muslim. Sebab membuat panik
seorang muslim adalah kedhaliman yang besar!”
Riwayat ini juga jelas senada dengan riwayat Imam Ahmad di atas. Dan untuk melengkapi dalil-
dalil yang mengharamkan kita menakut-nakuti atau membuat panik orang lain, maka mari kita
baca hadits riwayat Abu Syaikh dan At-Tabrany berikut:
ق أَخَافَهُ هللاُ تعالى يو َم القيامة ْ سلم ن
ِ َِظ َرةً ي ُِخ ْيفُهُ فِ ْيهَا ب
ٍّ غير َح ٍ َم ْن نَظَ َر إلى ُم
Barangsiapa melihat muslim lainnya dengan penglihatan yang menakutkan tanpa alasan yang
dibenarkan, maka nanti di hari kiamat Allah akan menakut-nakutinya.
Hadirin Rohimakumullah
Dari 3 hadis di atas, menjadi sangat jelas bagi kita bahwa haram hukumnya membuat orang lain
ketakutan atau panik, meskipun itu hanya sekedar dalam rangka bercanda. Maka yang menjadi
pertanyaan kita selanjutnya adalah: mengapa akhir-akhir ini semakin marak gejala radikalisme
dan terorisme? Bukankah terorisme berasal dari kata teror yang artinya adalah menakut-nakuti?
Jika demikian halnya, apakah benar jika para teroris itu menisbahkan dirinya kepada Islam?
Tentu jawabannya adalah tidak benar.
Tidak benar jika Islam melegalkan terorisme. Dan itu sudah sangat amat jelas termaktub dalam 3
hadis yang disampaikan di atas. Apalagi jika teror itu diarahkan kepada sesama kaum muslimin.
Bahkan hingga kepada selain kaum muslimin sekalipun, teror itu tetap tidak dibenarkan dalam
Islam.
Islam hanya memperbolehkan melancarkan teror kepada mereka yang secara jelas mengangkat
senjata melawan kaum muslimin di medan perang. Artinya, terhadap non muslim pun, kita tidak
boleh melakukan teror kecuali terhadap non muslim yang tengah mengangkat senjata memerangi
kita di medan perang. Adapun terhadap non muslim yang hidup dalam satu Negara yang aman
dan damai, kita tetap diperintahkan untuk menjaga perdamaian dan kerukunan itu. Bahkan
terhadap kaum Majusi yang atheis pun ada sebuah riwayat hadis berikut ini:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب:قال عبد الرحمن بن عوف سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول
Abdurrahman bin Auf berkata, “Aku mendengar Nabi bersabda: perlakukan mereka seperti kita
memperlakukan Ahlul Kitab.”
Hadirin Rohimakumullah
Terlalu banyak dalil-dalil yang mengharamkan terorisme. Dan Islam sama sekali tidak
memperbolehkan teror kecuali di medan peperangan. Sebab kata Nabi: Perang adalah tipuan.
Dan di antara tipuan itu adalah menciptakan rasa takut pada diri musuh. Dan sekali lagi ini hanya
berlaku untuk musuh di medan perang, bukan dalam sebuah Negara yang aman damai seperti
negeri kita NKRI.
Barangkali masih ada beberapa ayat yang masih belum dipahami oleh mereka para teroris dan
kaum radikal. Khutbah ini kita akhiri dengan upaya meluruskan pemahaman mereka atas salah
satu ayat Allah yaitu:
ُم َح َّم ٌد َرسُو ُل هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ َم َعهُ أَ ِش َّدا ُء َعلَى ْال ُكفَّار
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-
orang kafir.
Sekilas, ayat itu menyuruh kita untuk bersikap keras terhadap semua non muslim tanpa
terkecuali. Akan tetapi itu adalah pemahaman yang keliru. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menyatakan bahwa ayat itu harus dipadu dengan beberapa ayat yang lain yaitu At-Taubah 123:
ًار َو ْليَ ِجدُوا فِي ُك ْم ِغ ْلظَة
ِ َّيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا قَاتِلُوا الَّ ِذينَ يَلُونَ ُك ْم ِمنَ ْال ُكف
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitarmu itu dan
hendaklah mereka menemui kekerasan dari kalian.
Yang harus digarisbawahi adalah ayat al-ladzîna yalûnakum الَّ ِذينَ يَلُونَ ُك ْمyang berarti adalah hanya
orang-orang kafir yang mengangkat senjata memerangi kita. Bukan orang kafir atau non muslim
yang hidup damai dan rukun dengan kita dalam suatu Negara. Ini juga ditegaskan dalam ayat
lain:
ًَوقَاتِلُوا ْال ُم ْش ِر ِكينَ َكافَّةً َك َما يُقَاتِلُونَ ُك ْم َكافَّة
Artinya bahwa perintah memerangi kaum musyrikin itu adalah didasarkan karena mereka
memerangi kita sebelumnya.
Kesimpulannya adalah bahwa Islam tetap mengharamkan terorisme kecuali kepada mereka yang
tengah mengangkat senjata memerangi kita di medan perang. Hanya itu saja. Dan selain itu,
hukum terorisme tetap haram seperti yang telah kita pahami dari 3 hadis di atas.
Sejarah Munculnya Radikalisme
Radikalisme sudah ada sejak manusia ada. Sekarang yang utama adalah bagaimana bangsa
Indonesia adalah menangkal gerakan radikalisme dan terorisme tersebut. Radikalisme dan
terorisme terjadi akibat banyak faktor, yang paling banyak adalah persoalan ideologi agama.
Sejak itu para penganut paham radikalisme dan terorisme mengafirkan dan menganggap orang
beda agama sebagai musuh. Bahkan yang seagama tetap dianggap musuh dan harus
dimusnahkan.
Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Murodi
mengatakan, upaya mengafirkan sudah muncul sejak abad 7-8 masehi. Dia menceritakan,
ketika itu terjadi konflik internal dan perebutan kekuasan di banyak negara yang menjadi akar
munculnya radikalisme.
Tujuannya, kata dia, untuk menggulingkan kekuasaan politik, makanya gerakan radikal itu
muncul di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia. "Mereka ingin mengganti ideologi
negara dengan ideologi Islam. Itulah salahnya, mestinya yang harus diajarkan ke masyarakat
adalah bahwa negara ini didirikan oleh para pahlawan yang berideologi Pancasila yang digali
dari sumber-sumber agama itu sendiri," ujar Murodi, Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Dia menegaskan, tujuan kelompok radikal yang ingin mengganti NKRI menjadi khilafah juga
tidak jelas. Menurutnya, khilafah sudah hancur pada abad ke-8 masehi, saat munculnya dinasti
Bani Umayah.
“Mau diganti yang mana? Khilafah sudah selesai, tidak ada lagi. Bahwa model-modelnya boleh
ditiru karena modelnya yang baik seperti equality (kesamaan), justice(keadilan), dan
kebebasan,” jelasnya.
Maka itu dia meyakini, ideologi Pancasila adalah ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia,
bahkan terbaik di muka bumi karena mencakup seluruh sendi kehidupan manusia mulai dari
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Atas dasar itu, bangsa Indonesia wajib menerapkan dan terus mendalami falsafah Pancasila
untuk mewujudkan Indonesia yang adil, tenteram, damai, dan kuat.
“Jadi kalau ada orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mereka
bukan WNI dan silakan keluar dari NKRI,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU),
Ishfah Abidal Aziz menyampaikan, prinsip hidup berbangsa dan bernegara itu mengamalkan
nilai-nilai Pancasila yang harus dhidupkan lagi di kalangan anak muda.
“Problemnya yang selama ini terjadi Pancasila hanya menjadi konsep yang hanya sekadar
dihafalkan saja dari sila kesatu sampai kelima. Harusnya nilai-nilai Pancasila diamalkan dan
diwujudkan di setiap nafas kehidupan bangsa Indonesia,” jelas pria yang biasa disapa Gus
Ishfah itu.
Dia menambahkan, peran lembaga pendidikan sangat besar dalam membangun generasi
Pancasila untuk membendung pengaruh paham radikalisme dan terorisme. Dia juga mengakui
pelajaran mengenai keanekaragaman budaya nasional Indonesia yang merupakan perwujudan
dari Bhinneka Tunggal Ika di sekolah sudah banyak berkurang secara drastis.
"Mari kita lawan propaganda radikalisme dan terorisme mulai dari akar terbawah yang
pendidikan. Kalau dunia pendidikan kita bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila, Insya Allah kita
akan terbebas dari pengaruh paham radikalisme dan terorisme," tandasnya
Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme di Indonesia
Sehari menjelang Iedul Fitri, Indonesia kembali diuji dengan kabar memprihatinkan. Bom bunuh diri
yang meledak di depan Mapolres Surakarta. Ledakan serupa terjadi di dekat Masjid Nabawi, di
Madinah. Dalam sepekan terakhir Ramadan tahun ini, serangkaian bom juga meledak di Konsulat
Amerika di Jeddah, Istanbul, Dhaka, Baghdad dan Libanon.
Mengapa Indonesia kerap menjadi sasaran terorisme. Mengapa pelakunya justru warga negara
Indonesia, yang sering teridentifikasi berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu?
Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena
pendukungnya juga semakin meningkat. Akan tetapi, gerakangerakan radikal ini kadang berbeda
pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam. Ada yang sekedar
memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun
ada pula yang memperjuangkan berdirinya “negara Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang
memperjuangkan berdirinya “khilafah Islamiyah”.
Pola organisasinya juga beragam, mulai dari gerakan moral ideology seperti Majelis Mujahidin
Indonesai (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia serta yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar
Jihad, Front Pembela Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta. Meskipun demikian, ada perbedaan
dikalangan mereka, ada yang kecenderungan umum dari masyarakat untuk mengaitkan gerakan-
gerakan ini dengan gerakan radikalisme Islam di luar negeri.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia
dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam
dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu
mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis
keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.
Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak
kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif
maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
Oleh sebab itu perlu adanya upaya dalam rangka menangkal gerakan radikalisme di Indonesia. Disini
peran NU di uji, sejauh mana peran NU dalam menghadapi gerakan tersebut. Dengan semangat
toleransi dalam menebarkan Islam yang penuh kedamaian serta rahmatanlilAlamin, penulis yakin NU
mampu menghadapi gerakan tersebut.
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke
belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan
sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an
(tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini
disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI
ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian,
bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an
gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh
Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras
tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik
dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya
bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting
bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh
sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme.
Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap komunisme di
Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal
dalam politik. Bagi Kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram
hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah kafir taghut (istilah bahasa arab merujuk pada
“setan”), begitu pula masyarakat sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu
bersama kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam
kehidupan bernegara.
Ada 3 kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah: Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin,
dan Hizbut Tahrir yang memengaruhi mahasiswa-mahasiswa dari berbagai belahan dunia yang
belajar di Timur Tengah, khususnya Mesir, Saudi Arabia dan Syiria. Bedanya, kalau Salafi-Wahaby
cenderung ke masalah ibadah formal yang berusaha “meluruskan” orang Islam. Ikhwan bergerak
lewat gerakan usroh yang beranggotakan 7-10 orang dengan satu amir. Mereka hidup sebagaimana
layaknya keluarga di mana amir bertanggungjawab terhadap kebutuhan anggota usrohnya.
Kelompok ini menamakan diri kelompok Tarbiyah yang merupakan cikal bakal PKS.
HT punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Di dalamnya ada program jangka pendek dan jangka
panjang. Di sana ditulis, dalam jangka 13 tahun sejak berdirinya (1953), Negara Arab sudah harus
menjalankan sistem Khilafah Islamiyah. TN juga menargetkan, dalam 30 tahun dunia Islam sudah
harus punya khalifah. Ini semua tidak terbukti.
HT masuk Indonesia melalui orang Libanon, Abdurrahman Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada
tahun 1980-an atas ajakan KH. Abdullah bin Nuh dari Cianjur. Sebelumnya KH. Abdullah bin Nuh
bertemu aktifis HT di Australia dan mulai menunjukkan ketertarikannya pada ide-ide persatuan umat
Islam dan Khilafah Islamiyah. Puteranya, Mustofa bin Abdullah bin Nuh lulusan Yordania kemudian
juga ikut andil menyebarluaskan paham HT di wilayah Jawa Barat dan Banten didukung oleh
saudara-saudara dan kerabatnya.
Ijtihad para pemimpin HT sendiri sesungguhnya banyak yang kontrversial, tetapi karena proses
transfer pengetahuannya sangat tertutup dan ketat, maka kemungkinan besar kader-kader HT tidak
mengetahuinya. Inilah yang membuat kader-kader mereka menjadi radikal.
Tahun 2011, Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dgn responden guru PAI
dan siswa SMP Sejadebotabek menunjukkan potensi radikal yang kuat di klngan guru dan pelajar
dgn indikasi resistensi yg lemah thd kekerasan ats nama agama, intoleransi, sikap ekslusif serta
keraguan thd ideologi Pancasila.
Tahun 2015 Survey Setara Institute thd siswa dari 114 Sekolah Menengah Umum
(SMU) di Jakarta dan Bandung. Dalam survei ini, sebanyak 75,3% mengaku tahu tentang ISIS.
Sebanyak 36,2 responden mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis, 30,2% responden
menilai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 16,9% menyatakan ISIS adalah
pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam.
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada
tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah/31 Januari 1926 Masehi, pada awal lahirnya sebagai respon atau
counter terhadap paham/gerakan radikalisme. Motivasi utamanya adalah untuk mempertahankan
paham Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Aswaja merupakan paham yang menekankan pada
aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam berupa keadilan (ta’âdul), kesimbangan (tawâzun), moderat
(tawassuth), toleransi (tasâmuh) dan perbaikan/reformatif (ishlâhîyah). Nilai-nilai Islam yang
dirumuskan dalam Aswaja itu kemudian dijadikan ke dalam Fikrah Nahdhîyah. Fikrah Nahdhîyah
adalah kerangka berpikir atau paradigma yang didasarkan pada paham Aswaja yang dijadikan
landasan berpikir NU (Khiththah Nahdhîyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka
ishlâh al-ummah (perbaikan umat).
Dalam sejarah perkembangannya, NU menerima sistem hukum penjajah dalam keadaan darurat.
Karena negara tidak boleh kosong dari hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar hukum yang berlaku di
negara ini bisa menjadikan fikih sebagai salah satu sumber dari hukum nasional kita. Dari situ, NU
ikut ambil saham dalam penerapan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang saat ini
berlaku di Indonesia. Tentu HT belum punya saham dalam memperjuangkan hukum Islam di negara
nasional ini, sehingga tidak logis jika HT langsung menentang negara nasional ini gara-gara tidak
memberlakukan syariah Islam secara kaffah.
Solusi yang harus dilakukan dalam mencegah meluasnya gerakan radikalisme agama atau gerakan
Islam garis keras, di antaranya adalah dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Aswaja NU ke
dalam masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan. Aktualisasi berarti menghidupkan dan
mempraksiskan kembali nilai-nilai Aswaja NU dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, agar mendapatkan elan vitalnya, manfaat bagi terbangunnya kehidupan yang damai dan
negara Indonesia yang kokoh khususnya, dan perdamaian dunia pada umumnya.
Dengan cara demikian, diharapkan gerakan Islam garis keras tidak semakin meluas. Demikikian pula
genarasi muda diharapkan menjadi warga negara yang menjungjung tinggi nilai-nilai Aswaja NU
yang mencerminkan Piagam Madinah dan sekaligus sejalan dengan konstitusi UUD 1945, falsafah
Pancasila dan semboyang Bhineka Tunggal Ika.
NU berdiri tahun 1926 dalam proses menuju pembentukan negara Indonesia. Sedang HT berdiri
ketika nation state di tempat ia berdiri telah terbentuk, yaitu tahun 1953. Dari segi latar belakang
waktu yang berbeda ini, dipahami bahwa sejak awal NU memberi saham besar terhadap
pembentukan nation state yang kemudian menjadi negara Indonesia merdeka.Sedang HT
berhadapan dengan negara yang sudah terbentuk. Maka wajarlah, jika HT menganggap bahwa
nasionalisme itu sebagai jahiliyah. Karena mereka anggap menjadi penghalang dari pembentukan
internasionalisme Islam, apalagi nasionalisme tersebut tidak memberlakukan syariat Islam dan lebih
banyak mengadopsi sistem hukum sekuler Barat.
NU menerima sistem hukum penjajah dalam keadaan darurat. Karena negara tidak boleh kosong
dari hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar hukum yang berlaku di negara ini bisa menjadikan fikih
sebagai salah satu sumber dari hukum nasional kita. Dari situ, NU ikut ambil saham dalam
penerapan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang saat ini berlaku di Indonesia.
Tentu HT belum punya saham dalam memperjuangkan hukum Islam di negara nasional ini, sehingga
tidak logis jika HT langsung menentang negara nasional ini gara-gara tidak memberlakukan syariah
Islam secara kaffah.
Antara NU dan HTI itu memang ada perbedaan prinsip, tapi ada juga kesamaan. Keinginan untuk
melaksanakan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan itu sama antara keduanya. Hanya
perbedaannya, adalah bagaimana cara merealisasikannya. NU lebih realistis, sedang HTI utopis.
Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada 1-2 Nopember 2104 di Cirebon memutuskan
beberapa poin penting sehubungan dengan khilafah yaitu:
1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin melewatkan masalah
negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun
dalam bentuk nilai-nilai dan prinsipprinsip dasar (mabadi` asasiyyah). Islam telah memberikan
panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.
2. Mengangkat pemimpin (nashbal-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia akan kacau
(fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka,
antara lain, Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulum al-Din:
فما الأصل له فمهدوم وما الحارس له فضائع، فالدين أص لوالسلطان حارس،الدين والملك توأمان
Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan
kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh,
sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan
بها إذ ال قيام للدين إال،إن والية أمر الناس من أعظم واجبات الدين
"Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan
dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak
mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara."
Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu
bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem
pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang
terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan
dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran,
kesejahteraan dan keadilan.
Islam melihat substansi negara dengan teritorialnya sebagai tempat yang kondusif bagi
kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi warganya. Mereka menggunakan ungkapan,
Al-‘ibratu bil Jauhar la bil Mazhhar (Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol
atau penampakan lahiriyah). Khilafah itu memang fakta sejarah, pernah dipraktikkan di masa Al-
Khulafa’ur Rasidyunyang sesuai dengan eranya di mana kehidupan manusia belum berada di bawah
naungan negara bangsa (nationstate). “Pasalnya, perangkat pemerintahan dan kesiapan masyarakat
saat era khilafah masih sederhana. Pada saat itu belum ada birokrasi yang tersusun rapi seperti
sekarang, sehingga dibutuhkan orang dengan kemampuan lebih dalam pelbagai hal untuk menjadi
khalifah. Sementara sekarang, kondisi masyarakat dan kesiapan pranata pemerintahan yang terus
berkembang, menuntut bentuk pemerintahan yang berbeda
Peran Pancasila terlihat masih dibutuhkan dalam menumpas radikalisme agama di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang yang memuat pandangan dasar dan cita-
cita mengenai sejarah manusia masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan
Indonesia, oleh karena itu Pancasila dalam pengertian ideologi ini sama artinya dengan pandangan
hidup bangsa atau falsafah hidup bangsa (Rukiyati, M.Hum.,dkk, 2008: 89).
Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling realistis karena berpijak pada
proses perjalanan sejarah pembentukan nusantara itu sendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya
tarik kekayaan sumberdaya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan
bahari yang membawa pelbagai arus peradaban (Yudi Latif, 2011: 3). Selain hal-hal di atas,
keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan
ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam.
Gerakan radikalisme di Indonesia dapat merugikan ketatanegaraan NKRI dan juga tidak sesuai
dengan Pancasila. Radikalisme dapat menjadikan negera dipandang rendah oleh bangsa lain
sehingga ekonomi negara memburuk, sehingga Pemerintahan Indonesia harus berupaya
memulihkan hal tersebut yang tentu merugikan ketatanegaraan. Selain itu radikalisme bertentangan
dengan pancasila sila pertama. Tidak ada satupun agama yang di Indonesia yang mengajarkan
radikalisme untuk mencapai tujuan dari suatu umat beragama.
NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sangat konsen dalam memberantas gerakan
radikalisme di Indonesia. Bagi NU, gerakan radikalisme sangat mengganggu terhadap kedamaian
yang ada di Indonesia.
Sebagai Bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia pun menggenggam legitimasi yang amat kuat
untuk memulai inisiatif perdamaian. Indonesia juga memiliki wawasan Islam Nusantara, yaitu
wawasan keislaman yang mengedepankan harmoni sosial dengan vitalitas untuk secara kreatif
terus-menerus mendialogkan sumber-sumber ajaran dengan perubahan-perubahan konteks yang
terjadi di lingkungan sosial-budayanya.
Wawasan Islam Nusantara telah terbukti ketangguhannya dalam membimbing masyarakat Muslim
Indonesia melalui perjalanan sejarahnya hingga mewujud dalam tatanan sosial-politik yang moderen
dan demokratis sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan Islam Nusantara
menawarkan inspirasi bagi seluruh dunia Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan
modelmodel interaksi yang damai dengan realitas kekinian dan pada gilirannya berkontribusi secara
lebih konstruktif bagi keseluruhan peradaban umat manusia.
Melalui cara pandangan tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap yang akomodatif, toleran dan
menghindari sikap ekstrim (tafrîth, ifrâth) dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun.
Sebab paradigma Aswaja di sini mencerminkan sikap NU yang selalu dikalkulasikan atas dasar
pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah. Inilah nilai-nilai Aswaja
yang melekat di tubuh NU yang menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di mata
dunia.