Anda di halaman 1dari 3

Dakwah Ideal Dakwah Yang Tidak Menyakiti

Oleh: Drs. Moh. Mashadi-PAF Kab. Blitar

Istilah radikalisme banyak dikaitkan dengan agama Islam. Segala bentuk


militansi beragama di kalangan kaum Muslimin diidentikkan dengan
“ekstrimisme Islam” atau “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”. Namun
terlepas dari apapun namanya, kondisi masyarakat yang banyak
kemungkarannya bisa saja menjadikan mereka yang tinggi komitmennya
terhadap Islam merasa terpanggil untuk mengatasinya, karena mereka
beranggapan bahwa mencegahnya dengan lisan sudah tidak efektif lagi. 1
Kadang-kadang mereka sampai melakukan tindakan yang destruktif/
merusak/al-fasad.
Menurut Kamus, radikalisme ialah paham atau aliran yang
menginginkan perubahan dengan cara kekerasan atau drastis2. Dengan
definisi ini kata “radikalisme” cenderung bermakna negatif. Tetapi ada yang
mendefinisikannya sebagai “faham politik kenegaraan yang menghendaki
adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf
kemajuan”.3 Dengan definisi ini radikalisme dimaknai sebagai tindakan yang
positif.
Dalam penelitian, beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya sikap
yang radikal antara lain: al-ibtida’ (melakukan perkara agama yang tidak
dibenarkan), jahil (kebodohan dan lemahnya keilmuan tentang agama), ittiba’
al-hawa (mengikuti hawa nafsu), taqdim al-‘aql ‘ala al-naql (mendahulukan
akal dari pada nash) dan al-ta’ashshub wa al-taqlid (fanatik terhadap sesuatu
dan mengikutinya secara membabi buta).4

Benarkah Sikap Radikal Itu Selalu Negatif?


Keinginan melakukan suatu perubahan dengan cepat dan menyeluruh,
yang diikuti oleh anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur bangsa dan
negara, perilaku seperti ini bisa tergolong sebagai perilaku radikal yang
negative. Agama menyebutnya dengan al-ghuluw (melampaui batas) atau al-
ifrath (keterlaluan). Adapun keinginan akan adanya suatu perubahan yang
lebih baik, yang disalurkan melalui jalurnya yang benar dan tidak
mengandung resiko instabilitas di masyarakat, maka hendaknya tidak dinilai
sebagai hal yang negatif, bahkan dalam hal ini Islam menyebutnya dengan al-
ishlah (perbaikan) atau al-tajdid (pembaharuan).
1
Iwan Joyo S., Islam, Radikalisme, dan Politik Global, hal.1
2
PN Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1995.
3
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer , Surabaya, Arkola, 1994
4
Abu Kholil Mujahid, Berlebihan Dalam Beragama
Apabila kondisi di masyarakat ada yang menyimpang, maka sudah
menjadi kewajiban setiap muslim untuk meluruskannya; dengan tangannya,
lisan, atau jika tidak bisa maka dengan hatinya (diam), asal bukan diam tanda
setuju. Gerakan ini dinamakan al-ishlah. Nabi saw pernah menginformasikan
bahwa pada setiap waktu akan selalu ada orang yang melakukan ishlah ini:
.‫ود َك َما بَ َدَأ َغ ِريبًا فَطُوىَب لِْلغَُربَ ِاء‬
ُ ‫الم َغ ِريبًا َو َسَي ُع‬
ُ ‫بَ َدَأ اِإل ْس‬
“Islam mulai didakwahkan dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali
asing, maka beruntunglah orang-orang yang (dianggap) asing (oleh
lingkungannya karena menjalankan Islam yang sudah tidak dikenal lagi oleh
umumnya orang)”. Para shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah?”
Nabi menjawab: “mereka adalah orang yang melakukan gerakan ishlah ketika
terjadi kerusakan perangai pada umumnya manusia.” 5

Dakwah Menyejukkan Tetap Diidolakan


Berkaitan dengan ajakan melakukan perubahan (dari kondisi penuh
kemaksiatan menuju kondisi yang Islami), tapi ajakan tadi dilakukan dengan
cara yang radikal (kaku, keras, tidak mengenal kompromi), maka Islam
tidaklah menyetujuinya. Agama ini telah menyiapkan perangkat tertentu guna
mengatur pola hubungan antar manusia agar tidak saling merugikan. Seorang
da’i diharapkan memanfaatkan tips-tips yang memungkinkan dakwahnya
diterima oleh masyarakat, salah satunya dikenal dengan istilah qaulan
layyinan: Allah berfirman:
‫) طـه‬44( ‫َف ُقواَل لَهُ َق ْواًل لَِّّينًا لَّ َعلَّهُ َيتَ َذ َّك ُر َْأو خَيْ َشى‬

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut…”


(QS. Thaha: 44).
Ayat ini memerintahkan agar Nabi Musa dan Harun as. mendakwahi
Fir’aun dengan ucapan yang lemah-lembut, karena yang dihadapi adalah
sosok yang galak dan otoriter. Dengan lemah-lembut saja belum tentu
diterima, apalagi jika dengan cara yang kasar/radikal. Kata-kata yang lembut
akan lebih menyentuh hati orang yang didakwahi 6 (dibanding dengan kata-
kata yang kasar). Bahkan dinilai keliru jika mengukur keberhasilan dakwah
dengan banyaknya orang yang jatuh tersungkur karena kalah hujjah dengan
si da’i. Kata-kata yang sopan, baik di masa sekarang maupun yang akan
datang rasanya tetaplah diperlukan. Allah menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya:
‫اَأْلم ِر ُكلِّ ِه‬ ُّ ِ‫يق حُي‬ِ
ْ ‫الرفْ َق يِف‬
ِّ ‫ب‬ ٌ ‫ِإ َّن اهللَ َرف‬
5
HR. Abu Bakar Al-Ajurri dalam Al-Ghuraba’ minal Mu’minin hal. 23, Tirmidzi, Kitabul Iman bab 13, ia berkata: hadits ini
hasan shahih gharib, Baihaqi, al-Zuhd al-Kabir no. 198 hal. 114, Al-Haitsami, Majma’ al- Zawa-id 7/ 278 dari sahabat
Jabir).
6
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Beirut, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqofiyah, Cet.5 1996, III/ hal. 149.
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, menyukai kelembutan dalam seluruh
perkara.” (HR. Bukhari no. 6927, Muslim no. 2165)
Bahkan terhadap orang yang sudah jelas-jelas keliru sekalipun kita dilarang
menjelek-jelekkannya:
ِ ِ ِ َ ‫ يا رس‬:‫قِيل‬
ُ ْ‫ث لَ َّعانًا َوِإمَّنَا بُعث‬
ً‫ت َرمْح َة‬ ْ ‫ ِإيِّن لَ ْـم ُْأب َع‬:‫ قَ َال‬.‫ني‬
َ ‫ ْادعُ َعلَى الْ ُم ْش ِرك‬،‫ول اهلل‬ َُ َ َ
“‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau
saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka
melaknat, sesungguhnya aku diutus untuk membawa rahmah (kasih saying)’.”
(HR. Muslim, no. 2599)
Apabila suatu dakwah gagal/ belum berhasil maka sudah bukan urusan
kita lagi:

َ ‫فَِإن َت َولَّْواْ فَِإمَّنَا َعلَْي‬


ُ ِ‫ك الْبَالَغُ الْ ُمب‬
‫) النحل‬82( ‫ني‬

“Jika mereka berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah


menyampaikan (tabligh) dengan terang” QS. Al-Nahl: 82
Kita juga dilarang cepat menyebut seseorang sebagai sosok radikalis
atau fundamentalis, sebab kata ”fundamentalisme” itu dalam bahasa Arabnya
adalah “al-ushuliyyah”, yang artinya ”mendasar atau disiplin dalam
menjalankan kewajiban agama”. Sehingga seorang ”muslim fundamentalis”
artinya adalah muslim yang sangat disiplin dalam menjalankan agamanya,
seperti shalat fadlunya selalu berjamaah, menghindari semua hal yang tidak
jelas kehalalannya,7 dan sebagainya. Dalam konteks ini maka umat Islam
diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental. Dan
jika hal ini yang dikehendaki oleh sikap radikal tadi, maka tentunya tidaklah
dilarang, bahkan pelakunya bisa tergolong seorang mukmin yang multazim
(komitmen).

Wallahu A’lam
Drs. Moh. Mashadi

7
Dr. Said Agil Siradj, Akar Gerakan Islam Radikal

Anda mungkin juga menyukai