Istilah radikalisme banyak dikaitkan dengan agama Islam. Segala bentuk
militansi beragama di kalangan kaum Muslimin diidentikkan dengan “ekstrimisme Islam” atau “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”. Namun terlepas dari apapun namanya, kondisi masyarakat yang banyak kemungkarannya bisa saja menjadikan mereka yang tinggi komitmennya terhadap Islam merasa terpanggil untuk mengatasinya, karena mereka beranggapan bahwa mencegahnya dengan lisan sudah tidak efektif lagi. 1 Kadang-kadang mereka sampai melakukan tindakan yang destruktif/ merusak/al-fasad. Menurut Kamus, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara kekerasan atau drastis2. Dengan definisi ini kata “radikalisme” cenderung bermakna negatif. Tetapi ada yang mendefinisikannya sebagai “faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan”.3 Dengan definisi ini radikalisme dimaknai sebagai tindakan yang positif. Dalam penelitian, beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya sikap yang radikal antara lain: al-ibtida’ (melakukan perkara agama yang tidak dibenarkan), jahil (kebodohan dan lemahnya keilmuan tentang agama), ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), taqdim al-‘aql ‘ala al-naql (mendahulukan akal dari pada nash) dan al-ta’ashshub wa al-taqlid (fanatik terhadap sesuatu dan mengikutinya secara membabi buta).4
Benarkah Sikap Radikal Itu Selalu Negatif?
Keinginan melakukan suatu perubahan dengan cepat dan menyeluruh, yang diikuti oleh anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur bangsa dan negara, perilaku seperti ini bisa tergolong sebagai perilaku radikal yang negative. Agama menyebutnya dengan al-ghuluw (melampaui batas) atau al- ifrath (keterlaluan). Adapun keinginan akan adanya suatu perubahan yang lebih baik, yang disalurkan melalui jalurnya yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas di masyarakat, maka hendaknya tidak dinilai sebagai hal yang negatif, bahkan dalam hal ini Islam menyebutnya dengan al- ishlah (perbaikan) atau al-tajdid (pembaharuan). 1 Iwan Joyo S., Islam, Radikalisme, dan Politik Global, hal.1 2 PN Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1995. 3 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer , Surabaya, Arkola, 1994 4 Abu Kholil Mujahid, Berlebihan Dalam Beragama Apabila kondisi di masyarakat ada yang menyimpang, maka sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk meluruskannya; dengan tangannya, lisan, atau jika tidak bisa maka dengan hatinya (diam), asal bukan diam tanda setuju. Gerakan ini dinamakan al-ishlah. Nabi saw pernah menginformasikan bahwa pada setiap waktu akan selalu ada orang yang melakukan ishlah ini: .ود َك َما بَ َدَأ َغ ِريبًا فَطُوىَب لِْلغَُربَ ِاء ُ الم َغ ِريبًا َو َسَي ُع ُ بَ َدَأ اِإل ْس “Islam mulai didakwahkan dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang (dianggap) asing (oleh lingkungannya karena menjalankan Islam yang sudah tidak dikenal lagi oleh umumnya orang)”. Para shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “mereka adalah orang yang melakukan gerakan ishlah ketika terjadi kerusakan perangai pada umumnya manusia.” 5
Dakwah Menyejukkan Tetap Diidolakan
Berkaitan dengan ajakan melakukan perubahan (dari kondisi penuh kemaksiatan menuju kondisi yang Islami), tapi ajakan tadi dilakukan dengan cara yang radikal (kaku, keras, tidak mengenal kompromi), maka Islam tidaklah menyetujuinya. Agama ini telah menyiapkan perangkat tertentu guna mengatur pola hubungan antar manusia agar tidak saling merugikan. Seorang da’i diharapkan memanfaatkan tips-tips yang memungkinkan dakwahnya diterima oleh masyarakat, salah satunya dikenal dengan istilah qaulan layyinan: Allah berfirman: ) طـه44( َف ُقواَل لَهُ َق ْواًل لَِّّينًا لَّ َعلَّهُ َيتَ َذ َّك ُر َْأو خَيْ َشى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut…”
(QS. Thaha: 44). Ayat ini memerintahkan agar Nabi Musa dan Harun as. mendakwahi Fir’aun dengan ucapan yang lemah-lembut, karena yang dihadapi adalah sosok yang galak dan otoriter. Dengan lemah-lembut saja belum tentu diterima, apalagi jika dengan cara yang kasar/radikal. Kata-kata yang lembut akan lebih menyentuh hati orang yang didakwahi 6 (dibanding dengan kata- kata yang kasar). Bahkan dinilai keliru jika mengukur keberhasilan dakwah dengan banyaknya orang yang jatuh tersungkur karena kalah hujjah dengan si da’i. Kata-kata yang sopan, baik di masa sekarang maupun yang akan datang rasanya tetaplah diperlukan. Allah menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya: اَأْلم ِر ُكلِّ ِه ُّ ِيق حُيِ ْ الرفْ َق يِف ِّ ب ٌ ِإ َّن اهللَ َرف 5 HR. Abu Bakar Al-Ajurri dalam Al-Ghuraba’ minal Mu’minin hal. 23, Tirmidzi, Kitabul Iman bab 13, ia berkata: hadits ini hasan shahih gharib, Baihaqi, al-Zuhd al-Kabir no. 198 hal. 114, Al-Haitsami, Majma’ al- Zawa-id 7/ 278 dari sahabat Jabir). 6 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Beirut, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqofiyah, Cet.5 1996, III/ hal. 149. “Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, menyukai kelembutan dalam seluruh perkara.” (HR. Bukhari no. 6927, Muslim no. 2165) Bahkan terhadap orang yang sudah jelas-jelas keliru sekalipun kita dilarang menjelek-jelekkannya: ِ ِ ِ َ يا رس:قِيل ُ ْث لَ َّعانًا َوِإمَّنَا بُعث ًت َرمْح َة ْ ِإيِّن لَ ْـم ُْأب َع: قَ َال.ني َ ْادعُ َعلَى الْ ُم ْش ِرك،ول اهلل َُ َ َ “‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka melaknat, sesungguhnya aku diutus untuk membawa rahmah (kasih saying)’.” (HR. Muslim, no. 2599) Apabila suatu dakwah gagal/ belum berhasil maka sudah bukan urusan kita lagi:
َ فَِإن َت َولَّْواْ فَِإمَّنَا َعلَْي
ُ ِك الْبَالَغُ الْ ُمب ) النحل82( ني
“Jika mereka berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah
menyampaikan (tabligh) dengan terang” QS. Al-Nahl: 82 Kita juga dilarang cepat menyebut seseorang sebagai sosok radikalis atau fundamentalis, sebab kata ”fundamentalisme” itu dalam bahasa Arabnya adalah “al-ushuliyyah”, yang artinya ”mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”. Sehingga seorang ”muslim fundamentalis” artinya adalah muslim yang sangat disiplin dalam menjalankan agamanya, seperti shalat fadlunya selalu berjamaah, menghindari semua hal yang tidak jelas kehalalannya,7 dan sebagainya. Dalam konteks ini maka umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental. Dan jika hal ini yang dikehendaki oleh sikap radikal tadi, maka tentunya tidaklah dilarang, bahkan pelakunya bisa tergolong seorang mukmin yang multazim (komitmen).
Wallahu A’lam Drs. Moh. Mashadi
7 Dr. Said Agil Siradj, Akar Gerakan Islam Radikal