Anda di halaman 1dari 12

TASYRI PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN

(UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH TARIKH TASYRI’)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

Anggota :
Asmalida (180201169)
Mira Arwinda (180201187)
Nurul Hidayanti (180201164)

DOSEN PENGAJAR :
Abdul Haris Hasmar S.Ag,. M.A.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANDA ACEH
2021M/1442 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-nya kepada kami sehingga makalah Tarikh
Tasyri’ bisa terselesaikan dalam tepat waktu.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan untuk
para pembaca.Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan kami dan kami yakin masih banyak
kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun diri dari pembacaan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di
kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah
mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti
beliau dalam roda kepemimpinan pemerintahan islam. Akan tetapi sumbang
kepedulian sahabat pada tatanan islam yang memang sudah dibentuk sedemikian
rupa oleh rasulullah mereka muali berfikir bagaimana upaya agar tatanan yang
sudah dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ sahabat mulai memilih
salah satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah
pertama disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Ustman Bin Affan, dan yang
terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai generasi islam pertama, yang meneruskan ajaran
dan misi kerasulan.dimana ia dalam menentukah hukum islam selalu berpegang
pada fatwa-fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari sisi itu pula sahabat
menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada mereka berupaya untuk
berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada
Al-Quran dan Al- Hadist.
Tasyri pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik dimana suatu
penetapan hukum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih
hidup semua permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin
pula ada banyak perbedaan penentuan hukum melihat pada tatanan sosial politik
kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Qur’an dan Al-Hadist
demi maslahatul umat yang di lihat pada tatanan sosialnya.

B. Rumusan masalah
a) Bagaimana Pengaruh Fatwa Terhadap perkembangan Tasyri' ?
b) Apa Sumber-sumber Tasyri' ?
c) Apa sebab-sebab perbedaan pendapat para sahabat dalam tasyri' ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Fatwa Terhadap Tasyri’ pada Masa al-Khulafa ar-


Rosyidin
Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan Tasyri’,
terlebih dahulu perlu diketahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi
para sahabat, di antaranya yaitu:
a)Sahabat khawatir akan kehilangan al-Quran karena banyaknya
sahabat yang hafal al-Quran meninggal dunia dalam peperangan.
b)sahabat mengkhawatirkan terjadinya Ikhtilaf sahabat terhadap al-
Quran akan seperti Ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c)Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah.
d)Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan
ketentuan Syari’at karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum
ditetapkan ketentuannya dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran di atas, Abu Bakar ra.,
atas usul Usman bin Affan ra., mengumpulkan dan membukukan al-Quran
berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hafalan dan catatan. Pada awalnya,
Abu Bakar ra. menolak usulan tersebut, karena Rosulullah SAW. tidak
melakukan dan tidak memerintahkannya. Akhirnya, al-Quran disusun dengan
berdasarkan bahan-bahan yang ada. Sahabat yang paling intens
keterlibatannya dalam pengumpulan al-Quran adalah Zaid bin Tsabit karena
beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad SAW.
Di samping berkenaan dengan al-Quran, persoalan yang dihadapi juga
berkenaan dengan Sunnah. Persoalannya muncul dari dua arah, dari kaum
muslimin sendiri dan dari kaum munafik. Umat Islam telah melakukan
kesalahan dan perubahan (Tahrif) dalam Sunnah tanpa bermaksud
mengubahnya karena lupa atau keliru dalam menerima dan
menyampaikannya. Sedangkan orang-orang munafik sengaja melakukan
pendustaan dan kebatilan dalam Sunnah dengan maksud merusak agama Islam
.
Dalam menghadapi keadaan tersebut, mereka menentukan langkah-
langkah dalam brijtihad. Di antara sahabat yang menentukan Thuruq al-
Istimbath adalah Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra. Langkah-langkah
yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. dalam Istimbath al-Ahkam adalah sebagai
berikut:
a)Mencari ketentuan hukum dalam al-Quran. Apabila ada, beliau
putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam al-Quran.
b)Apabila tidak menemukannya dalam al-Quran, beliau mencarinya
dalam Sunnah; apabila ada, maka beliau putuskan berdasarkan ktetapan yang
ada dalam Sunnah.
c)Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, beliau bertanya kepada
Sahabat lain, apakah Rosulullah SAW. telah memutuskan persoalan yang
sama pada zaman-Nya. Jika ada yang tahu, beliau menyelesaikan persoalan
tersebut berdasarkan keterangan dari sahabat lain tersebut setelah memenuhi
beberapa syarat.
d)Jika tidak ada sahabat lain yang memberikan keterangan, beliau
mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara
mereka, beliau menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ra.
sekaligus merupakan wasiat kepada Qadli yaitu Syuraih, sebagai berikut:
a.Berpeganglah kepada al-Quran dalam menyelesaikan suatu kasus.
b.Apabila tidak ditemukan dalam al-Quran, hendaklah berpegang
kepada sunnah.
c.Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah berijtihadlah.
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa pengaruh fatwa
terhadap perkembangan Tasyri’ adalah: Pertama, sahabat melakukan
penelaahan terhadap al-Quran dan Sunnah dalam menyelesaikan suatu
kasus. Apabila tidak didapatkan dalam al-Quran dan Sunnah, mereka
melakukan ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut Fatwa, yaitu
suatu pendapat yang muncul karena adanya peritiwa yang terjadi. Kedua,
sahabat telah menentukan Thuruq al-Istimbath dalam menyelesaikan kasus
yang dihadapi.

B. Sumber-sumber Tasyri’ Pemakaian dan Permasalahannya


Sumber-sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada masa
Sahabat adalah Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijtuhad (Al ra’yu) para Sahabat.1
Para sahabat mengahadapi banyak masalah yang asalnya tidak ada
menjadi ada karena sosial cultural Masyarakat pada waktu itu. Misalnya saja
masalah pengairan, keuangan, ketentraman, perkawinan, pajak, cara
menetapkan hukum dipengadilan dan lain-lain. Karena tradisi sosisl kultur
masyarakat berbeda-beda seperti halnya tradisi Arab, Irak dan Mesir bahkan
Indonesia sudah tentu berbeda. Dalam menjawab hukum tentang persoalan
yang baru para Sahabat terlebih dahulu meruju’ pada Al Qur’an, karena Al
Qur’an sebagai sumber pokok hukum dalam Islam, dan bila tidak ditemukan
dalam Al Qur’an mereka mencoba meranjak pada Al- Hadist sebagai sumber
hukum ke- dua setelah Al- Qur’an. Dalam Al–Hadist para sahabat sangat
berhati-hati dalam penentuan hukum suatu kasus. Di akui atau tidak memang
para sahabat tidak semuanya mengetahui Hadist ataupun menerima Hadist
langsung dari Nabi saw. Abu Bakar pernah menolak sebuah Hadist yang
disampaikan oleh seorang saksi. Umar bin Khothob ra. Pernah meminta
seseorang pembawa Hadist agar mendatangkan bukti bahwa berita itu benar
dari Nabi. Begitu juga kepada Ali ra. Pernah meminta angkat sumpah kepada
seseorang yang datang membawa berita dari nabi SAW,. Bila mereka tidak
menjumpai teks Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menyebut secara eksplisit
tentang tradisi di daerah- daerah yang sudah mapan, maka mereka
memutuskan persoalan hukum dengan menggunakan akal pikiran (Al-ra’yu)
yang di jiwai oleh ajaran wahyu.
Dalam hal semacam ini, para pemuka Islam dituntut untuk memuaskan
umat. Seperti halnya orang Islam dulu tidak seluruhnya mampu berijtihad
karena kesanggupan berfikir dan daya ingat mereka akan petunjuk nabi tidak
sama. Maka hanya orang-orang tertentu saja yang berijtihad. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, Para sahabat kembali kepada Al-
Qur’an dan Sunah Nabi. Para Sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati
1
Dr.Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkenbangan Hukun Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda karya.
pernah timbul keresehan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan,
karenanya kembali kepada Al-quran itu mudah. Hadist memang diriwayatkan
dan di hafalkan tetapi nasib hadist tidak sebagus Al-Qur’an karena perhatian
mereka lebih terpusat pada Al-Qur”an disamping di hafal Al-Qur’an juga di
tulis sebagai antisipasi hilangnya Al-quran karena banyaknya orang-orang
Islam yang hafal Al-quran gugur dalam pertempuran. Dan dengan tujuan
penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-quran dalam bacaan dan
penulisan. Mushaf yang yang di usahakan oleh khalifah ustman tahun 624-
630 H itu disebut mushaf ustmani. 2 Sedangkan penulis Hadis secara tertib
berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al – Qur’an. Namun demikian
sumber hukum Islam dimasa ini adalah Al– Qur’an dan Al-Sunnah.
Berdasarkan kedua sumber itulah para Khalifah dan Sahabat berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.

C. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat


Perbedaan pendapat telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw,
perbedaan tersebut meliputi berbagai aspek problematika yang meninjau pada
sosiokutural masyarakat.
Setelah Nabi wafat timbul dua pandangan yang berbeda tentang
otoritas umat Islam. Hal ini berhubumgan langsung dengan otoritas ketetapan
hukum. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Nabi wafat
dipegang oleh Ahlul Bait. Dan ini nanti akan dikenal dengan kelompok Syiah.
Sedangkan menurut kelompok kedua, sebelum meninggal Nabi tidak
menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan
menetapkan hukum Allah. Al-Qur’an dan As-Sunah sumber hukum untuk
menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul.
Mereka ini kelak akan dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunah atau sunni.
Selain itu sebab iktilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menajadi
tiga: yang pertama, perbedaan pendapat yang di sebabkan oleh sifat Al-
Qur’an. Kedua perbedan pendapat yang disebabkan oleh sifat As-Sunah dan
ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu (intervensi akal).3

2
Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996,
3
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Penagantar Ilmu Fiqih..
Sebab-sebab pebedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Qur’an diantaranya
sebagai berikut:
Dalam Al-Qur’an terdapat kata atau lafadz yang berma’na ganda
(isytirak) umpamanya firman Allah dalam surat Al-Bakarah [2] ayat 228:
“yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru.”
1. Hukum yang ditentukan Al-Qur’an masing-masing “berdiri sendiri” tanpa
mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus.
Misanya, dalam al-Qur’an terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah)
bagi wanita yang di cerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan
10 hari. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat bahwa iddah
yang berlaku bagi wanita yang di tinggalkan wafat oleh suaminya dalam
keadaan hamil adalah iddah yang terpanjang antara dua iddah tersebut
sedangan Abd Allah Ibn Masud berpendapat bahwa yang berlaku adalah
iddah hamil sebab ayat tentang iddah hamil diturunkan setelah ayat iddah
wafat, yang di berlakukan oleh knsep naskh.4

Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan sunah


adalah sebagai berikut.
1. Tidak semua Sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah.
Diantara mereka ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang
sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada
yang intensif ada yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang
terakhir.
2. Kadang-kadang riwayat telah sampai kepada seorang Sahabat tetapi belum
atau tidak sampai kepada Sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada
yang mengamalkan ra’yu karena ketidak tahuan mereka terhadap Sunah.
umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub
pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa Ramadhan, man ashbaha
junuban fala sauma lahu. Kemudian pendapat ini di dengar oleh Aisyah
yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi
saw, sebagai alasan. Maka Abu Hurairoh menarik kembali pendapatnya.
3. Sahabat berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya,
Thowaf. sebagian besar Sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam
4
Kamil Musa
Thowaf adalah sunnah. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa
bersegera dalam Thowaf tidak sunnah.
Adapun perbedaan pendapat dikalangan Sahabat yang disebabkan oleh
penggunaan Ra’yu, diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali
tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat
‘perempuan yang menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul, harus
dipisah ia harus menyelesaian waktu tunggunya’. Apabila sudah dukhul,
pasangan itu harus dipisahkan dan penyelesaian dua waktu tunggu, waktu
tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya.
Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu
tunggu yang pertama. Ali bepeganggan pada keumuman ayat, sedangan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan
pelanggaran.

Contoh-contoh Ijtihad Sahabat dalam menghadapi masaah hukum


Kebanyakan nash-nash hukum dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak
qot’I (pasti) dalalahnya (petunjuknya) apa yang ditunju oeh sesuatu nash Al-
Qur’an dan Sunnah belum tentu harus demikian, karena dalam Al-qur’an dan
Sunnah banyak terdapat lafadz-lafadz yang mustarak, yang mempunyai arti
lebih dari satu dan banyak lafadz yang mutlak yang bisa diyakini. Maka tiap-
tiap ahli hukum itu memahami ayat menurut kemampuan pikirannya masing-
masing setelah bertekun meneliti dan menganalisa dari berbagai aspek,
sedangkan Hadist pada waktu itu belum didewasakan dalam suatu bukti yang
dapat menjadi pegangan umum. Hadist yang ada pada mereka tidak
merupakan suatu himpunan sebagai pegangan umum, mereka belum bersatu
dalam memegang suatu himpunan yang sudah dikembangkan dimasyarakat.
Hadis pada waktu itu berpindah dari riwayat-riwayat kerap kali terjadi apa
yang diketahui oeh mufti Madinah tidak diketahui mufti Mesir dan
sebagainya. Keadaan tempat tinggal mufti itupun berbeda-beda disamping
perbedaan kebutuhan dan kepentinagan mereka masing-masing antara suatu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Berbedanya suatu tempat dan masa
perbedaan pendapat mereka dalam mengistimbatkan hukum, walaupun dari
nash yang sama.
Hukum yang ditentukan Al-qur’an masing-masing berdiri tanpa
mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada suatu kasus,
misalnya, dalam Al-qur’an terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah)
bagi wanita yang dicerai karena meninggal Dunia adalah 4 bulan 10 hari dan
waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil (iddah hamil)
adalah hingga melahirkan.
Ketentuan iddah wafat bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya
dan ketentuan iddah hamil berlaku bagi wanita dan diceraikan dalam keadaan
hamil, dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang
wanita yang sedang hamil ditinggal wafat oleh suaminya. Apabila seorang
wanita ditinggal wafat oleh suaminya, apakah yang berlaku baginya, iddah
wafat atau iddah hamil ?.. hal ini tidak ditegaskan dalam Al- Qur’an maupun
AL-Sunnah.
Ali bin Abi Tholib dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa Iddah yang
berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil
adalah Iddah yang terpanjang diantara dua iddah tersebut, sedangkan Abdlah
bin Mas’ud berpendapat bahwa yang berlaku adalah iddah hamil sebab iddah
hamil diturunkan setelah iddah wafat yang berlaku oleh konsep nash.
Dari sinilah ada dua kasus, kasus yang pertama berhubungan dengan
ijtihad tahrij, sedangkan yang kedua berhubungan dengan ijtihad aplikasi atau
penerapan hukum.
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Khulafa Urasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam seteah rasul.


Setelah rasul Saw wafat sahabat berkedudukan sebagai musyar’I dalam istinbat
suatu hukum.yang tentunya mungkin dengan jalan musyawarah seperti yang
sering dilakukan rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman
Sahabat adalah Al-Quran, sunah dan ijtihad (Ra’yu) ijtihad yamg dilakukan
ketika itu berbentuk kolektif, para Sahabat berkumpul dan memusyawarahkan
hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut ijma’.
Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka
tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum . faktor yang mempengaruhi adalah
sifat Al-quran, dan sunah serta perbedaan ra’yu. Di samping sosiokultur yang
jelas terang-terangan mempengaruhi.
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkenbangan Hukun Islam, Bandung, PT. Remaja
Rosda karya.
M.Hasbi Ash Shidiki, Pengantar Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1967.
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkenbangan Hukun Islam, Bandung, PT. Remaja
Rosda karya.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Penagantar Ilmu Fiqih..
Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Anda mungkin juga menyukai