Anda di halaman 1dari 16

PENGENALAN OBJEK

(Dosen pengampu: Idar Sri Apriyanti Z,S. Psi., M. Psi)

Disusun Oleh:

1. ANGGI REGIA (200620125)


2. FARA SABRINA (200620047)
3. ANGGER SYAHPUTRA (200620154)
4. NURUL AKMAL (200620053)

Kelas III-D

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji marilah senantiasa kita ucapkan atas
limpahan rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang di
tugaskan kepada kami
Sholawan bersamaan dengan salam juga mari hadiahkan kepada baginda nabi
kita Muhammad SAW. Semoga kita, orang tua kita nenek dan kakek kita, guru-guru
dan orang-orang terdekat kita medapat safaat Beliau di Yaumil Mahsyar Kelak. Aamin
ya Rabbal Alamin.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah “psikologi perkembangan dewsa dan lansia di semester ganjil”, dan judul
makalah ini adalah
“PENGENALAN OBJEK”
Kami ucapkan terimakasih kepada ibu Idar Sri Apriyanti Z,S. Psi., M. Psi
selaku dosen pembimbing , dan kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penulisan makalah ini dari awal hingga selesai.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makala,dan kami
juga sangat mengharapkan kritik sereta saran dari para pembaca untuk bahan
pertimbangan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….……………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………..…………..ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………1
1. Latar Belakang……………………………………………..…………………………………..1
2. Rumusan Masalah………………………………………............................................................1
3. Tujuan Pembahasan……………………………………………...……………………………..2

BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………...3
1. Pengenalan Objek………………………………………………..……………………………..3
2. Teori- Teori Perseptual…………………………………............................................................3
3. Pengenalan Pola Visual…………………………………............................................................4
4. Teori Gestalt…………………………………………………………………………………….5
5. Pemrosesan Bottom-Up dan Pemrosesan Top-Down…..............................................................7
6. Pencocokan Template……………………………………………..............................................8
7. Analisis Fitur……………………………………………............................................................9
8. Pencocokan Prototipe……………………………………………...…………………………..10
9. Pengenalan Pola pada Para Pakar………………………………………………………….....11

BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………........2
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kemampuan yang kita miliki dalam mengenali jenis-jenis objek yang familiar
merupakan karakteristik mengagumkan yang dimiliki manusia. Kemampuan mengenali
pola dan objek adalah sebuah kemampuan kognitif yang pada umumnya kita laksanakan
dengan mulus, cepat, dan tanpa banyak usaha. Kita akan mempelajari bagaimana
pengenalan pola (pattern recognition) dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan sebuah
interaksi yang rumit antara sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif dengan tujuan
pengenalan terhadap pola tersebut. Sebenarnya, seberapapun rumitnya proses tersebut,
akan terselesaikan kurang dari satu detik.
Karena pemaparan diatas menunjukkan pentingnya mempelajari pengenalan pola dan
objek dalam psikologi kognitif ini, maka pada kesempatan ini penulis akan memaparkan
lebih jelas dalam pembahasan nanti terkait pengenalan pola dan objek. Setiap hari kita
dapat melihat banyak benda di sekeliling, mengenali dan kemudian mengidentifikasinya.
Manusia mampu mengenali objek yang familiar disekitarnya, itu sebabnya mengapa
manusia dapat mengenali sahabat, orangtua, paman, bibi ataupun orang-orang yang ada di
sekitarnya. Hal-hal tersebut bisa dilakukan karena manusia memiliki kemampuan yang
disebut dengan pengenalan pola.
Pengenalan pola adalah komposisi kompleks dari stimulus sensori yang di ketahui
seseorang sebagai bagian dari objek. Pengenalan pola dan kemampuan mengenali objek
dapat terjadi dengan langsung, tanpa usaha dan biasanya terjadi secara cepat. Kemudian
bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Semisal bagaimana seseorang mengenali kalau itu
adalah neneknya ? apakah ada semacam template yang unik dalam pikiran kita ? ataukah
ada semacam stereotype tertentu tenggang seorang nenek ? misalnya bersanggul, memakai
sewek, berkacamata, beramut putih dan lain sebagainya ? beberapa peneliti memberikan
hipotesisnya mengenai keberadaan sel nenek, yaitu suatu sel yang menyala ketika neuron
tersebut menerima sinyal-sinyal visual yang akrab bagi si pengamat. Pengenalan pola
melibatkan interaksi antara senasasi, presepsi, memori dan pencarian kognitif yang
bertujuan untuk mengenali pola-pola terebut.

2. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teori-teori perceptual?
2. Apa yang dimaksud dengan teori gestalt?
3. Apa yang dimaksud dengan teori pengenalan pola?

1
3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa itu teori perceptual
2. Untuk mengetahui apa itu teori gestalt
3. Untuk mengetahui apa itu teori pengenalan pola

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengenalan Objek
Objek merupakan satu kata yang sudah kita dengar mulai dari seluruh indera kita
berfungsi. Setiap indera pada tubuh kita memiliki masing-masing objek. Dari sini terlihat
bagaimana seorang manusia memiliki keampuan yang luar biasa dalam pengenalan
objek. Sebagai contoh, seorang anak akan segera mengenali ibunya bahkan dalam pusat
keramaian sekalipun. Pertanyaannya, apakah dengan indera tersebut kita langsung bisa
mengenali sedemikian banyak objek stimulus disekitar kita?
Proses dalam pengenalan objek dimulai dari pengenalan pola (pattern recognition)
yang melibatkan interaksi rumit antara sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif.
Seberapapun rumitnya pengenalan objek tersebut, hanya dibutuhkan kurang dari sedetik
dalam menyelesaikannya. Sebuah teori, persepsi konstruktif (constructive perception)
menyatakan bahwa manusia “mengkonstruksi” persepsi dengan secara aktif memilih
stimuli dan menggabungkan sensasi dengan memori. Dalam teori ini tersusun atas
anggapan bahwa persepsi disini dihasilkan dari kombinasi informasi yang diterima indera
kita dengan pengetahuan yang telah diperoleh dari pengalaman kita. Teori yang lain,
persepsi langsung (direct perception) menyatakan bahwa persepsi terbentuk dari
perolehan informasi secara langsung dari lingkungan. Dengan kata lain teori ini
menyebutkan bahwa pembelajaran dan kognisi tidaklah penting dalam persepsi, karena
informasi yang terdapat dalam lingkungan dirasa sudah cukup untuk interpretasi.
Pengenalan pola-pola visual diperoleh dari sejemlah perspektif teoritik, seperti tori
Gestalt, pemrosesan bottom-up dan pemrosesan top-down, pencovokan template, analisis
fitur, da pengenalan prototipe. Dalam hal ini para psikolog Gestalt megajukan gagasan
bahwa persepsi pola-pola visual diorganisasikan sesuai prinsip keterdekatan (proximity),
kesamaan (similarity), dan pengorganisasian spontan (spontaneous
organization).Selanjutnya untuk teori pencocokan template, mereka mengajukan bahwa
pengenalan objek terjadi ketika representasi internal stimuli tersebut sama persis dengan
stimuli yang berada di sistem sensorik. Teori ini memiliki kelebihan tersendiri, yaitu
kegunaan dalam konseptual dan partikal, namun sayangnya tidak dapat menjelaskan
proses-proses kognitif yang rumit, misal kemampuan kita mengintepretasi bentuk-bentuk
yang asing dengan tepat.

2. Teori-Teori Perseptual

Teori-teori perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi sensorik yang


diterima oleh panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi. Teori-teori ini membantu
kita memahami bagaimana sebuah sensasi diproses menjadi persepsi sebuah pola atau
suatu objek. Para psikolog yang mempelajari persepsi telah mengembangkan dua teori

3
utama tentang cara manusia memahami dunia. Teori yang dimaksud adalah teori persepsi
konstruktif dan teori persepsi langsung.

a.    Teori Persepsi Konstruktif


Teori persepsi konstruktif disusun berdasarkan anggapan bahwa selama persepsi,
kita membentuk dan menguji hipotesis-hipotesis yang berhubungan dengan persepsi
berdasarkan apa yang kita indera dan apa yang kita ketahui. Dengan demikian, persepsi
adalah sebuah efek kombinasi dari informasi yang diterima sistem sensorik dan
pengetahuan yang kita pelajari dari dunia yang kita dapatkan dari pengalaman. Teori ini
sangat berkaitan dengan pemrosesan top-down. Pendukung teori ini adalah sejumlah
besar psikolog kognitif seperti Jerome Bruner, Richard Gregory, dan Irvin Rock dan
sejalan dengan karya klasik Hermann von Helmholtz tentang persepsi visual pada
peralihan abad ke-20 (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

b.    Teori Persepsi Langsung


Teori persepsi langsung menyatakan bahwa informasi dalam stimuli adalah elemen
penting dalam persepsi dan bahwa pembelajaran dan kognisi tidaklah penting dalam
persepsi sebab lingkungan telah mengandung cukup informasi yang dapat digunakan
untuk interpretasi. Pendukung teori ini adalah James Gibson dan para muridnya di
Universitas Cornell seperti James Cutting. Cutting menyatakan bahwa persepsi langsung
mengasumsikan bahwa keanekaragaman lapisan-lapisan optic sama kayanya dengan
keanekaragaman dalam dunia ini. Gagasan ini didukung oleh para psikolog yang
beorientasi ekologis. Mereka menyatakan bahwa stimulus itu sendiri telah memiliki
informasi yang cukup untuk menghasilkan persepsi yang tepat dan tidak memerlukan
adanya representasi internal. Seorang pengamat hanya melakukan sedikit upaya dalam
proses persepsi karena dunia telah menyediakan sedemikian besar informasi, sehingga
pengamat tidak perlu berupaya menyusun persepsi atau menarik kesimpulan-
kesimpulan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

3. Pengenalan Pola Visual

Seorang konstruktivis akan menyatakan bahwa otak bersifat interpretative yang


menggunakan heuristik (perumusan pikiran baru yang menuntun kepada penemuan baru)
dan algoritma (tatanan aturan yang spesifik) untuk memproses sinyal-sinyal informasi.
Otak amat mengandalkan heuristik sehingga akan sering membuat kekeliruan yang
umumnya bersumber dari ilusi perseptual. Hal ini menyebabkan kita melihat hal-hal yang
sesungguhnya tidak eksis di dunia fisik (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Ilusi tersebut bukan hanya bersumber dari sensasi dari dunia fisik, melainkan juga
dari predisposisi sistem visual atau kognitif yang mendistorsi imaji dari dunia nyata.
Dengan mempelajari ilusi, psikolog kognitif mampu memahami hubungan antara
fenomena fisik eksternal dan cara pikiran mengorganisasi stimuli dalam representasi

4
internal. Sejenis ilusi yang menggambarkan cara pikiran mengorganisasi stimuli visual
sekaligus menggambarkan pentingnya pikiran dalam pengenalan objek ialah ilusi yang
disebut kontur ilusoris. Kontur ilusoris adalah persepsi terhadap bentuk, namun bentuk itu
hanya ada di sistem perseptual-kognitif, bukan di stimulus (Solso, Maclin, & Maclin,
2007).
Berdasarkan sudut pandang evolusioner, kebutuhan untuk melihat bentuk, sudut
dan pergerakan adalah kebutuhan yang penting sekali bagi kelangsungan hidup. Dengan
semikian, tanpa adanya garis atau bentuk yang nyata, sistem kognisi-sensorik kita
menggunakan informasi parsial untuk membangun bentuk-bentuk tersebut dalam upaya
memahami dunia fisik yang tampak tidak beraturan. Kita tetap memandang objek tak
nyata tersebut walau telah mengalihkan pandangan ke objek lain. Bertahannya objek tak
nyata tersebut dikarenakan adanya inhibisi lateral, yakni tendensi dari elemen-elemen
neural yang saling berdekatan dalam retina untuk merintangi sel-sel di sekelilingnya,
sehingga memperkuat kesan terhadap kontur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

4.    Teori Gestalt

Para penganut psikologi Gestalt hanya mempelajari cara mengorganisasi dan


mengklasifikasi stimuli. Organisasi pola bagi mereka melibatkan kerja sama seluruh
stimuli dalam menghasilkan sebuah kesan yang melampaui gabungan seluruh sensasi.
Beberapa pola stimuli tampaknya diorganisasikan secara natural atau spontan, menurut
Max Wertheimer (1923). Manusia membentuk ilusi-ilusi subjektif karena adanya tendensi
untuk melihat figure-figur sederhana dan familiar dalam wujud yang baik, utuh, lengkap
di lingkungan kita. Gagasan ini dikenal sebagai hukum Pragnanz dan menjadi hukum
utama persepsi Gestalt (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah pengembangan gagasan para psikolog Gestalt terlihat dalam hasil studi
mengenai perspektif kanonik. Perspektif Kanonik adalah sudut pandang terbaik untuk
menggambarkan suatu objek atau citra yang muncul di pikiran saat kita mengingat suatu
bentuk. Jika kita diminta memikirkan sebuah cangkir, maka gambaran yang muncul
dalam benak kita adalah gambaran cangkir yang lazim, bukan gambaran yang tidka lazim
seperti cangkir yang terlihat dari atas. Representasi kanonik dibentuk melalui pengalaman
dengan anggota-anggota sejenis dari suatu kategor, atau disebut exemplar (Solso,
Maclin, & Maclin, 2007).
Menurut pendapat psikolog Gestalt, organisasi pola melibatkan kerja sama seluruh
stimuli dalam menghasilkan sebuah kesan yang melampaui gabungan seluruh sensasi.
Beberapa hukum gestalt meliputi :
1) Hukum keterdekatan (law of proximity)
2) Hukum kesamaan (law of similarity)
3) Hukum penutupan (law of closure)
4) Hukum simetri (law of symmetry)
5) Hukum kontinuitas (law of continuity)

5
6) Hukum nasib bersama (law of common fate)

Salah satu contoh hukum gestalt dalam Oslo:


1) Hukum kesamaan (law of similarity)

2) Hukum Penutupan pada objek yang rumit

3) Hukum Penutupan pada objek yang rumit

4) Hukum Simetri

6
Para psikolog Gestalt mengajukan gagasan bahwa persepsi pola-pola visual
diorganisasikan sesuai prinsip-prinsip:
• Kedekatan (proximity)
• Kesamaan (similarity)
 Pengorganisasian spontan

5.   Pemrosesan Bottom-Up dan Pemrosesan Top-Down

Teori pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses
pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian spesifik dari suatu pola,
yang menjadi landasan bagi pengenalan pola secara keseluruhan. Contoh: Jika ada
seseorang, kita akan mengenalinya dari bagiannya dari suara, postur, cara berjalan dan
lain-lain, sehingga kita tahu itu adalah si A. Sedangkan teori pemrosesan top-down
adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses pengenalan diawali oleh suatu
hipotesis mengenai identitas suatu pola, yang diikuti oleh pengenalan terhadap bagian-
bagian pola tersebut, berdasarkan asumsi yang sebelumnya telah dibuat. Contoh: kita
tahu si B itu karena suaranya, postur, cara berjalan dan lain-lain.
            Meskipun tampilan tersebut dapat di kenali apabila tampilan di lengkapi dengan
dengan informasi yang jelas dan detail. Namun bagian-bagaian tersebut menjadi
konteks yang jelas bila di tempatkan dalam sesuatu yang sudah jelas pula polanya.

7
Menurut palmer (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) apabila dalam pemrosesan, seseorang
hanya menggunakan model pemrosesan buttom-up atau top-down saja, maka akan
muncul yang namanya parsing paradox, yaitu kesulitan-kesulitan yang di jumpai ketika
dalam pemrosesan, seseorang hanya menggunakan pemrosesan buttom-up atau to-down
saja.
                Palmer (1975) menyatakan bahwa dalam sebagian besar situasi, interpretasi
terhadap bagian-bagian dan keseluruhan pola terjadi secara bersamaan antara bottom-
up dan top-down. Palmer mencontohkan dalam pengenalan bagian-bagian suatu wajah
dengan konteks dan tanpa konteks, bagian-bagian wajah dapat dikenali dengan mudah
ketika ditempatkan dalam konteks yang tepat, dan bagian-bagian wajah menjadi bentuk
yang ambigu ketika ditempatkan sendiri-sendiri, meskipun dapat dikenali ketika bagian-
bagian wajah tersebut diperlengkapi dengan lebih banyak informasi yang detail. Oleh
karena itu, keduanya tidak terpisah melainkan dapat terjadi secara bersamaan. Sehingga
dapat memunculkan objek-objek yang sudah sering kita jumpai, menjadi lebih mudah
kita kenal.
            Kita memiliki ekspektasi untuk melihat objek-objek tertentu dalam beragam
konteks, seperti sebuah stetoskop di ruang praktek seorang dokter, peralatan memasak
di sebuah dapur, sebuah computer di dalam kantor, dan sebuah hidran di pinggir jalan,
pengenalan tentang dunia inilah yang memudahkan identifikasi terhadap objek-objek
dalam konteks yang familiar dan sebaliknya mengahmbat pengenalan objek dalam
konteks yang janggal. Beberapa penilitian terhadap “efek konteks” yang dilakukan oleh
Biederman dan rekan-rekan menunjukkan bahwa ketika seseorang mencari objek-objek
dalam dunia nyata (misalnya objek dalam konteks kampus atau konteks jalan raya),
maka pengenalan, keakuratan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk
mengidentifikasi objek berhubungan langsung dengan kecocokan atau kelaziman lokasi
objek dalam konteks tersebut.
Berdasarkan studi-studi tersebut dan studi-studi serupa yang mempelajari
identifikasi kata dan huruf dalam konteks, jelaslah bahwa persepsi terhadap objek
sangat dipengaruhi oleh ekspektasi seseorang terhadap konteks.

6.   Pencocokan Template

Sebuah teori mula-mula tentang cara otak mengenali pola dan objek disebut teori
pencocokan template. Sebuah template, dalam konteks pengenalan pola pada mausia
merujuk pada suatu konstruk internal yang ketika dicocokkan dengan stimuli sensorik,
menyebabkan terjadinya pengenalan terhadap objek. Teori ini dapat kita analogikan
dengan lubang kunci yang dimasuki kunci yang tepat. Dengan demikian, prosesnya
terjadi seperti ini : energi cahaya yang dipantulkan oleh bentuk tersebut diterima retina
dan ditransduksi ke energi neural yang dikirim ke otak. Otak melakukan pencarian
dalam arsip template untuk mencari template yang cocok dengan pola neural yang

8
diterima. Jika template itu cocok dengan pola neural, orang akan mengenali pola atau
objek tersebut (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Teori pencocokan template, memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya,
jelaslah bahwa agar kita mampu mengenali suatu bentuk atau pola, kita terlebih dahulu
perlu melakukan pembandingan stimuli visual tersebut dengan suatu bentuk internal
yang tersimpan dalam memori. Kelemahannya adalah suatu interpretasi harfiah dari
teori pencocokan template akan menghadapi suatu kesulitan. Andaikata pengenalan
terhadap objek hanya terjadi ketika objek eksternal diidentifikasikan 1:1 persis sama
dengan representasi internal, maka jika ada sedikit saja perbedaan, objek tersebut tidak
akan dikenali. Jika demikian, otak harus menyimpan jutaan template agar kita dapat
mengenali objek-objek yang beranekaragam di dunia ini (Solso, Maclin, & Maclin,
2007).
Sebuah alternatif untuk mengatasi kekakuan teori pencocokan template adalah
sebuah teori yang mempostulatkan bahwa sistem pemrosesan informasi manusia
memiliki sejumlah bentuk geometric sederhana yang terbatas, yang dapat diaplikasikan
pada bentuk-bentuk yang rumit. Teori ini disebut dengan teori Geon, yang merupakan
kependekan dari geometrical ions. Teori tersebut mengajukan gagasan bahwa seluruh
bentuk-bentuk yang kompleks tersusun dari geon-geon.
Pemahaman mengenai pengenalan objek diupayakan melalui dua pendekatan.
Sebuah pendekatan berfokus pada penjelasan domain-general, yakni penjelasan yang
menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki proses-proses umum untuk
mengenal sejumlah besar kategori objek. Pendekatan lain berfokus pada
penjelasan domain-spesific, yakni penjelasan yang menyatakan bahwa otak dan sistem
kognitif memiliki sistem-sistem fungsional yang berperan dalam pengenalan kategori
objek yang spesifik dan khusus (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

7.   Analisis Fitur

Sebuah pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring informasi dari


stimuli rumit disebut pendekatan analisis fitur. Teori ini menyatakan bahwa pengenalan
objek merupakan pemrosesan informasi tingkat tinggi yang didahului oleh
pengidentifikasian stimuli kompleks yang masuk ke retina sesuai dengan fitur-fitur yang
lebih sederhana. Menurut pendekatan ini, sebelum kita memahami keseluruhan pola
informasi visual, kita mereduksi dan menganalisis komponen-komponen informasi
visual. Sebuah kata PANAH tidak serta-merta diubah menjadi representasi atau visual
dalam memori kita, misalnya sebuah batang yang berujung tajam yang ditembakkan
dari sebuah busur, tidak pula kata tersebut kit abaca “panah”, atau kita persepsikan
huruf per huruf (P-A-N-A-H). Akan tetapi, kita mendeteksi dan menganalisis fitur-fitur
atau komponen-komponen dari masing-masing huruf. Huruf A bisa kita pecah menjadi
dua garis diagonal (/ \), sebuah garis horizontal (-), sebuah ujung bersudut (^), dan
seterusnya. Jika proses pengenalan terjadi berdasarkan analisis fitur, maka tahap-tahap

9
paling awal dalam pemrosesan informasi sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada
yang sebelumnya kita perkirakan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah pendekatan langsung dalam analisis fitur adalah pengamatan terhadap
pergerakan dan fiksasi mata. Jenis penelitian ini mengasumsikan bahwa mata membuat
gerakan sakadik (gerakan mata yang meloncat dari satu titik fiksasi/tatapan ke titik
fiksasi lainnya) yang berhubungan dengan informasi visual yang diindera. Diasumsikan
bahwa ketika kita memandang suatu fitur dalam pola tertentu dalam jangka waktu relatif
lama, kita akan memperoleh semakin banyak informasi dibandingkan apabila kita hanya
mengamati fitur itu sekilas. Persepsi terhadap fitur dalam pola-pola yang kompleks
tampaknya tidak hanya bergantung pada hakikat stimuli fisik, namun juga melibatkan
proses-proses kognitif tingkat tinggi, seperti atensi dan sasaran (Solso, Maclin, &
Maclin, 2007).

8.   Pencocokan Prototipe

Teori lain yang turut menjelaskan pengenalan objek adalah teori pencocokan
prototipe. Diasumsikan bahwa, alih-alih membentuk template yang spesifik atau bahkan
membentuk fitur-fitur berbagai ragam pola yang harus kita identifikasikan, kita
menyimpan sejumlah jenis pola-pola abstraksi dalam memori, dan jika terdapat
kesamaan antara keduanya, pola tersebut akan dikenali. Pencocokan prototipe
memungkinkan pengenalan pola-pola yang tidak lazim namun tetap memiliki hubungan
dengan prototipe. Terdapat banyak bukti di sekeliling kita yang mendukung konsep
pencocokan prototipe. Kita mengenali sebuah mobil Volkswagen, meskipun mobil
bermerek sama memiliki warna atau pernak-pernik yang berbeda-beda (Solso, Maclin,
& Maclin, 2007).
Pencocokan template dapat terjadi pada suatu tahap pengenalan/identifikasi visual,
namun pada tahap yang lain, kita mungkin menggunakan pencocokan prototipe.
Gagasan ini menyatakan bahwa suatu prototipe adalah sebuah abstraksi dari suatu
rangkaian stimuli yang mencakup sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang
sama. Sebuah prototipe memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola
tersebut tidak identik dengan prototipe yang bersangkutan. Sebagai contoh, kita
mengenali berbagai ragam huruf S, bukan hanya karena berbagai variasi huruf S
tersebut cocok dengan lubang kunci (template/prototipe) dalam memori kita, namun
juga karena beragam jenis huruf S tersebut memiliki karakteristik-karakteristik yang
sama (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Solso dan McCarthy dalam sebuah eksperimen menemukan bahwa para partisipan
kerap kali melakukan suatu kekeliruan, yakni mengenali prototipe sebagai suatu bentuk
stimulus yang pernah ditampilkan sebelumnya (padahal prototipe belum pernah
ditampilkan sebelumnya). Bahkan para partisipan merasa lebih yakin dibandingkan saat
mereka mengidentifikasi bentuk-bentuk yang memang sudah pernah mereka lihat
sebelumnya. Fenomena ini disebut pseudomemori atau memori semu. Solso dan

10
McCarthy mengajukan hipotesis bahwa sebuah prototipe dibentuk berdasarkan fitur-
fitur yang sering dijumpai partisipan. Secara umum, kekuatan memori dalam mengingat
fitur ditentukan oleh frekuensi pemaparan terhadap fitur yang bersangkutan. Pada
umumnya, fitur-fitur yang lazim dijumpai disimpan secara permanen dalam memori
dibandingkan fitur-fitur yang jarang dijumpai (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sejumlah eksperimen pada akhirnya memunculkan dua teori tentang pembentukan
prototipe, yaitu teori tendensi sentral dan teori frekuensi atribut. Teori tendensi sentral
menyatakan bahwa sebuah prototipe dikonseptualisasikan mewakili rata-rata suatu set
eksemplar. Prototipe adalah suatu abstraksi yang tersimpan dalam memori yang
mewakili tendensi sentral dari kategori yang bersangkutan. Teori frekuensi atribut
menunjukkan gagasan bahwa sebuah prototipe mewakili mode atau kombinasi atribut-
atribut yang paling sering dialami seseorang. Setiap kali seseorang mengamati suatu
pola, orang itu merekam fitur sekaligus pola beserta hubungan antara tiap-tiap
fitur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

9. Pengenalan Pola pada Para Pakar

Sejauh ini kita mempelajari tampilan perseptual yang sederhana. Bagaimana kita
mempelajari pola-pola yang lebih rumit? Chase dan Simon mempelajari problem ini
dengan menganalisis pola rumit yang dihasilkan buah-buah catur di atas sebuah papan
catur. Selain itu, para peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro
catur dengan para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan
sejumlah objek, bukan fitur. Secara intuitif, kita mengetahui bahwa bahwa perbedaan
kognitif antara seorang maestro catur dengan seorang amatir terletak pada seberapa
banyak langkah yang dapat direncanakan seorang maestro dibandingkan seorang amatir.
Intuisi tersebut ternyata keliru. Para maestro dan para pemain amatir merencanakan
kemungkinan mempertimbangkan jumlah langkah yang sama, dan menjalani proses
pencarian yang serupa terhadap berbagai pola langkah buah catur. Para pemain
professional bahkan mempertimbangkan langkah alternative yang lebih sedikit,
sedangkan para pemain amatir membuang-buang waktu dengan mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang sama sekali tidak tepat.
Apa perbedaannya? Salah satu perbedaannya terletak pada kemampuan seorang
maestro untuk merekonstruksi pola buah-buah catur dalam pikirannya, hanya dengan
mengamati papan catur seama beberapa detik, sedangkan pemain amatir mengalami
kesulitan melakukan hal serupa. Para pakar catur memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk mereproduksi pola karena mereka mampu menyandikan posisi buah-buah catur
menjadi satu bagan utuh (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

11
BAB III
PENUTUP

1.  Simpulan

Teori-teori perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi sensorik yang


diterima oleh panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi. Teori ini terdiri dari
perseptual kontruktif dan perseptual langsung. Kemudian ada pula yang disebut dengan teori
pengenalan pola visual yakni bertujuan agar sistem kognisi-sensorik kita menggunakan
informasi parsial untuk membangun bentuk-bentuk dalam upaya memahami dunia fisik yang
tampak tidak beraturan. Teori lainnya yakni yang mempelajari cara mengorganisasi dan
mengklasifikasi stimuli merupakan teori Gestalt.
Teori pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses
pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian spesifik dari suatu pola, yang
menjadi landasan bagi pengenalan pola secara keseluruhan. Sebuah teori mula-mula tentang
cara otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan template. Sedangkan
pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring informasi dari stimuli rumit disebut
pendekatan analisis fitur. Berbeda lagi dengan pengenalan pola para pakar, karna teori ini
memahami pola-pola yang lebih rumit dari lainnya.

2.   Saran

Dalam menulis makalah ini, penulis sangat menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Salah satunya adalah dalam hal sumber penulisan. Selain itu, bahasa yang
digunakan penulis sangat memungkinkan kurang dipahami pembaca. Sehingga, penulis
menyarankan untuk kepenulisan selanjutnya agar lebih menambah sumber penulisan dan
membuat contoh-contoh yang lebih dapat diterima dan dipahami oleh pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. (2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Gazzaniga, M., S, R. I., & Mangun, G. R. (2009). Cognitive Neuroscience: The Biological of The
Mind. London: W.W. Norton & Company Ltd.

13

Anda mungkin juga menyukai