Anda di halaman 1dari 15

IKHTISAR SANAD DAN MATAN

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis


Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Idri, M.Ag.

Oleh:
M. Izul Ihza Mahendra (05020422042)
Nisya Khamelia (05020422046)
As’ilatul Jannia (05040422059)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari hadis Nabi saw. seseorang harus mengetahui dua unsur
penting yang menentukan keberadaan dan kualitas hadis tersebut, yaitu sanad dan
matan. Kedua unsur hadis tersebut begitu penting dan antara satu dengan yang lainnya
saling berhubungan erat. Sehingga apabila salah satunya tidak ada, maka akan
berpengaruh terhadap eksistensi dan kualitas suatu hadis atau bahkan dapat
merusaknya.1
Suatu berita dari Rasulullah yang tidak memiliki sanad, menurut ulama hadis,
tidak dapat disebut sebagai hadis. Dan kalaupun disebut hadis maka berita dari
Rasulullah tersebut dinyatakan sebagai hadis palsu (Mawdhu’). Demikian pula dengan
matan, sebagai materi atau kandungan yang dimuat oleh hadis, matan sangat
menentukan keberadaan sanad. Karena sanad atau rangkaian para perawi tidak dapat
disebut sebagai hadis apabila tidak ada matan atau materi hadisnya, yang terdiri atas
perkataan, perbuatan, atau ketetapan (taqrir) Rasulullah saw.2
Pembicaraan dua istilah di atas sebagai dua unsur pokok hadis, diperlukan
setelah Rasulullah saw. wafat. Hal ini berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap
otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari Rasulullah saw. atau
bukan. Upaya tersebut akan menentukan bgaimana kualitas hadis yang aka dijadikan
dasar dalam penetapan syari’at Islam.
Bagi kebanyakan umat muslim, hadis disebut sebagai suatu perkataan yang
pasti berasal dari Rasulullah tanpa memerhatikan kualitas maupun susunan suatu
hadis. Padahal hads yang lengkap susunannya baik hadis shahih maupun hadis dhoif
umumnya terdiri dari sanad, matan, dan rawi. Oleh karena itu, perlu dipahami tentang
yang dimaksud dengan sanad, matan, dan rawi. Dan untuk mengetahui lebih
mendalam, pada makalah kali ini akan dijelaskan mengenai ikhtisar sanad dan matan.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sanad dan matan?
2. Apa saja kaidah sanad dan matan?
3. Siapa saja tokoh perumusan sanad dan matan?

1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 23.
2 Ibid, 23.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanad dan Matan


a. Pengertian Sanad.
Sanad dari segi bahasa artinya al-mu’tamad yang berarti sandaran,
tempat bersandar, atau yang menjadi sandaran. Sedangkan menurut istilah ahli
hadis, sanad yaitu: al-thariqah al-musilah ila al-matni, yang artinya jalan yang
menyampaikan kepada matan hadis.3 Al-Tahanawi mendefinisikan sanad
sebagai jalan yang menyampaikan kepada matan hadis, yaitu nama-nama
perawinya secara berurutan. 4
Adapun contoh dari sanad adalah seperti yang terdapat pada hadis
berikut:

‫وب ع َْن أ َ ِبي‬ ُ ‫ب الثَّقَ ِف ُّي قَا َل َح َّدثَنَا أ َ ُّي‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن ا ْل ُمثَنَّى قَا َل َح َّدثَنَا‬
ِ ‫ع ْب ُد ا ْل َو َّها‬
‫سلَّ َم قَا َل‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ ‫ع ْنهُ ع َْن النَّ ِبي‬ َّ ‫قِ ََلبَةَ ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫َّللاُ َو َرسُولُهُ أَح‬
‫َب ِإلَ ْي ِه ِم َّما‬ َّ َ‫ان أ َ ْن يَكُون‬ ٌ ‫ث َ ََل‬
ِ ْ َ‫ث َم ْن كُنَّ فِي ِه َو َج َد ح َََل َوة‬
ِ ‫اْلي َم‬
ُ‫ّلِل َوأ َ ْن يَك َْرهَ أ َ ْن يَعُو َد فِي ا ْلكُ ْف ِر َك َما يَك َْره‬ َّ ‫س َواهُ َما َوأ َ ْن يُ ِح‬
ِ َّ ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء ََل يُ ِحبُّهُ إِ ََّل‬ ِ
)‫ف فِي النَّ ِار (رواه البخاري‬ َ َ‫أ َ ْن يُ ْقذ‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata


telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi
SAW, beliau bersabda:”Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya
maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang
hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali keppada kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka” (H.R Bukhari)

Pada hadis di atas (riwayat Bukhari) terlihat adanya silsilah para


perawi yang membawa kepada matan hadis, yaitu Muhammad ibn al-
Mutsanna, ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a.

3 Marhumah, ULUMUL HADIS: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, dan Contoh (Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), 22.
4 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998), 148-149.
Rangkaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad hadis, karena
merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai kepada matan hadis dari
sumbernya yang pertama. 5

Masing-masing orang yang menyampaikan hadis di atas, secara


sendirian disebut dengan rawi (periwayat), yaitu orang yang menyampaikan
atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya
dari seseorang (gurunya).6 Dengan demikian, apabila dilihat dari contoh hadis
di atas, maka hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang perawi,
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Anas r.a. sebagai perawi pertama;


2. Abi Qilabah sebagai perawi kedua;
3. Ayyub sebagai perawi ketiga;
4. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi sebagai perawi keempat;
5. Muhammad ibn al-Mutsanna sebagai perawi kelima;
6. Bukhari sebagai perawi keenam (perawi terakhir).

Perlu diketahui bahwa jumlah rangkaian perawi dalam sanad suatu


hadis tidak mesti sama, misalnya memiliki jumlah enam sebagaimana contoh
di atas, tetapi ada yang hanya empat atau lima dan bahkan lebih. 7

Apabila dilihat dari segi sanad (jalan yang menyampaikan kepada


matan hadis), maka urutannya adalah sebagai berikut:

1. Muhammad ibn al-Mutsanna sebagai sanad pertama (awal sanad);


2. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi sebagai sanad kedua;
3. Ayyub sebabgai sanad ketiga;
4. Abi Qilabah sebagai sanad keempat;
5. Anas r.a. sebagai sanad kelima (akhir sanad).

Karena adanya istilah awal sanad dan akhir sanad, maka ada juga yang
disebut dengan awsat al-sanad (sanad tengah). Dalam konteks sanad hadis

5 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, ibid, 150.


6 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), 17.
7 Idri dkk, Studi Hadis (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021), 276.
Bukhari di atas, yang disebut dengan awsat al-sanad adalah seluruh sanad
yang berada di antara Muhammad ibn al-Mutsanna dan Anas r.a.

Penentuan awal dan akhir sanad berbeda atau berbalikan dengan


penentuan awal dan akhir perawi. Penentuan perawi yaitu jika perawi pertama
dalam hadis riwayat Bukhari di atas adalah orang yang menjadi sanad terakhir,
yang langsung mendengar atau melihat langsung dari Nabi saw. Sedangkan
perawi terakhirnya adalah Bukhari. Oleh karena itu, Bukhari di samping
menjadi seorang perawi juga sebagai orang yang membukukan hadis-hadis
yang diriwayatkannya atau disebut sebagai mukharrij.

Selain istilah sanad, ada pula istilah yang berkaitan dengannya seperti
musnad, musnid, dan isnad. Musnad adalah hadis yang disebut lengkap
beserta sanadnya sampai kepada Nabi saw. Sedangkan yang dimaksud dengan
musnid adalah orang yang meriwayatkan hadis lengkap dengan sanadnya, dan
kata isnad artinya menerangkan atau menjelaskan sanad suatu hadis. 8

b. Pengertian Matan.
Matan secara bahasa berarti:

‫ما صلب وار تفع من اَلرض‬


Sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).
Secara terminologi, matan berarti:

‫ما ينتهي اليه السند من الكَلم‬


Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa
perkataan.
Adapun contoh matan adalah seperti yang terdapat pada hadis berikut:9

ُ ُّ‫ب الثَّقَ ِف ُّي قَا َل َح َّدثَنَا أ َي‬


‫وب‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن ا ْل ُمثَنَّى قَا َل َح َّدثَنَا‬
ِ ‫ع ْب ُد ا ْل َو َّها‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع ْنهُ ع َْن النَّ ِبي‬ َّ ‫ع َْن أ َ ِبي قِ ََلبَةَ ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ َ‫ان أ َ ْن يَكُون‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫اْلي َم‬ِ ْ َ‫ث َم ْن كُنَّ فِي ِه َو َج َد ح َََل َوة‬ ٌ ‫س َّل َم قَا َل ث َ ََل‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ
‫ّلِل َوأ َ ْن‬ َّ ‫س َواهُ َما َوأ َ ْن يُ ِح‬
ِ َّ ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء ََل يُ ِحبُّهُ إِ ََّل‬ َّ ‫َو َرسُولُهُ أَح‬
ِ ‫َب إِلَ ْي ِه ِم َّما‬
َ َ‫يَك َْرهَ أ َ ْن يَعُو َد فِي ا ْلكُ ْف ِر َك َما يَك َْرهُ أ َ ْن يُ ْقذ‬
)‫ف فِي النَّ ِار (رواه البخاري‬

8 Idri dkk, Studi Hadis, ibid, 276-277.


9 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, ibid, 164.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia
berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi,
ia berkata telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah,
dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Ada tiga hal yang
apabila seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya
iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada
selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang hanya karena Allah
SWT, dan bahwa ia benci kembali keppada kekafiran sebagaimana ia
benci masuk ke dalam api neraka” (H.R Bukhari)

Adapun matan dari hadis di atas adalah:

َّ ‫َّللاُ َو َرسُولُهُ أَح‬


‫َب إِلَ ْي ِه‬ َّ َ‫ان أ َ ْن يَكُون‬ ِ ‫اْلي َم‬ِ ْ َ‫ث َم ْن كُنَّ فِي ِه َو َج َد ح َََل َوة‬ ٌ ‫ث َ ََل‬
‫ّلِل َوأ َ ْن يَك َْرهَ أ َ ْن يَعُو َد فِي‬ َّ ‫س َواهُ َما َوأ َ ْن يُ ِح‬
ِ َّ ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء ََل يُ ِحبُّهُ إِ ََّل‬ ِ ‫ِم َّما‬
َ َ‫ا ْلكُ ْف ِر َك َما يَك َْرهُ أ َ ْن يُ ْقذ‬
‫ف فِي النَّ ِار‬
Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan
memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang
hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali keppada
kekafiran sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka
B. Kaidah Sanad dan Matan
a. Kaidah kesahihan sanad hadis.
Adapun kaidah kesahihan sanad hadis diantaranya adalah:10
1. Sanad atau Isnad bersambung.
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah terjadi
kesinambungan periwayatan hadis dari perawi pertama (guru
kodifikator) sampai perawi terakhir dan tidak terjadi keterputusan
sanad. Jika terjadi keterputusan sanad pada satu tempat saja (misal
dalam tingkatan sahabat yang dikenal dengan hadis mursal), itu berarti
telah terjadi keterputusan sanad atau sanadnya tidak bersambung.
Hadis yang sanadnya tidak bersambung masuk dalam kategori hadis
dho’if.

10 Idri dkk, Studi Hadis, ibid, 288-295.


Kebersambungan sanad dapat diketahui melalui beberapa cara
diantaranya: (1) mencatat semua nama perawi yang ada dalam sanad
sehingga dapat diketahui relasi guru dan murid yang dipaparkan dalam
berbagai buku biografi perawi, (2) referensi rijal al-hadith, untuk
mengetahui tahun wafat antara guru dan murid yang diprediksi masa
jedanya enam puluh tahun, dan (3) sighah tahammul al-hadith seperti
sami’tu, haddatsana, akhbarana, dan sebagainya.
Jadi, suatu sanad hadis dinilai bersambung jika seluruh perawi
dalam sanad tersebut benar-benar bertemu (telah terjadi hubungan
periwayatan).
2. Perawi yang adil.
Inti dari keadilan perawi adalah tidak adanya sikap kesengajaan
dusta kepada Rasulullah saw. Adapun terjadinya kekeliruan perawi
dalam pengutipannya adalah hal yang sangat manusiawi. Terdapat
empat kriteria keadilan perawi hadis diantaranya: (1) beragama Islam,
(2) mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama (taat menjalankan
agama), dan (4) memelihara muru’ah.
Untuk mengetahui keadilan perawi hadis para ulama telah
menetapkan ketentuan sebagai berikut: (1) berdasarkan popularitas
keutamaan perawi di kalangan para ulama, (2) berdasarkan penilaian
para kritikus hadis, (3) berdasarkan penerapan kaidah al-jarh wa al-
ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus perawi tidak terbukti
menyepakati kualitas pribadi perawi tertentu. Jadi dalam penetapan
keadilan perawi diperlukan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah
ulama kritikus hadis.
3. Perawi yang Dhabit.
Secara etimologi dhabit berarti kokoh, kuat, dan tepat, atau
mempunyai hafalan yang kuat dan sempurna. Sedangkan menurut
muhadditsin dhabit adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat
hafalannya apabila hadis yang diriwayatkan berdasarkan hafalan, benar
tulisannya apabila hadis yang diriwayatkan berdasarkan tulisan, dan
jika meriwayatkan secara makna, maka ia pintar memilih kata-kata
yang tepat digunakan.
Secara umum kriteria dhabit itu dirumuskan sebagai berikut:
(1) perawi dapat memahami dengan baik riwayat yang telah
didengarnya, (2) perawi hafal dengan baik riwayat yang telah
didengarnya, dan (3) perawi mampu menyampaikan kembali riwayat
yang telah didengar itu dengan baik. Sedangkan keadaan atau perilaku
yang dapat merusak kedhabitan adalah sebagai berikut: (1) dalam
meriwayatkan hadis, perawi lebih banyak salahnya, (2) lebih menonjol
sifat lupanya daripada hafalnya, (3) riwayat yang disampaikan
mengandung kekeliruan, dan (4) riwayat yang disampaikan
bertentangan dengan riwayat perawi yang tsiqah.
4. Tidak mengandung shadz.
Dalam bahasa yang sederhana, shadz adalah kejanggalan
riwayat, dimana kejanggalan tersebut bertentangan dengan riwayat
banyak perawi lain yang tsiqah. Pendapat lain disampaikan oleh imam
al-Shafi’i bahwa shadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang
dikemukakan oleh banyak riwayat yang lebih tsiqah. Dengan demikian
hadis shadz adalah hadis riwayat perawi tsiqah yang bertentangan
dengan riwayat para perawi yang lebih tsiqah.
5. Tidak mengandung ‘illat.
‘Illat adalah suatu sebab yang tersernbunyi yang rnenyebabkan
rusaknva kualitas hadis. Menurut penjelasan para ulama, ‘illat hadis
pada umumnya ditemukan pada: (1) sanad yang tampak muttashil
(bersambung) dan marfu’ (sampai kepada Rasulullah saw.) tetapi
kenyataannya mawquf (sampai kepada sahabat saja), walaupun
sanadnya dalam keadaan muttashil, (2) sanad yang tampak marfu’ dan
muttashil, tetapi kenyataannya mursal (disampaikan oleh tabi’in tanpa
menyebutkan perawi dari golongan sahabat), walaupun sanadnya
dalam keadaan muttasil, (3) dalam hadis itu terjadi kerancuan karena
bercampur dengan hadis lain, dalam sanad hadis itu terjadi kekeliruan
penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan
nama dengan perawi lain yang kualitasnya berbeda.
b. Kaidah kesahihan matan hadis
Matan yang shahih adalah matan yang terhindar dari shadz dan ‘illat.
Shadz dan ‘illat merupakan kaidah mayor kesahihan matan. Secara etimologi
shadz berarti jarang menyendiri, yang asing, atau menyalahi aturan dari orang
banyak. Karena itu shadz adalah suatu matan hadis yang bertentangan dengan
matan-matan hadis lain yang lebih kuat dan mempunyai objek pembahasan
yang sama. Sedangkan ‘illat secara bahasa berarti cacat, penyakit, atau
keburukan. Karena itu juga ‘illat adalah suatu matan hadis yang mengandung
cacat, dan mengurangi nilai dan kualitas hadis.11
Adapun kaidah minor bagi masing-masing kaidah mayor kesahihan
matan hadis adalah:
1. Matan hadis terhindar dari shadz.
Berdasarkan pendapat al-Shafi’i dan al-Khalili, suatu
hadis terhindar dari shadz apabila sanad dari matan yang
bersangkutan mahfuz (diriwayatkan oleh rawi yang lebih
tsiqah) dan tidak gharib (diriwayatkan oleh satu orang perawi
saja) serta matan hadis yang bersangkutan tidak bertentangan
atau menyalahi riwayat yang lebih kuat. 12
Langkah metodologis yang dapat ditempuh untuk
mengetahui suatu matan hadis terhindar dari shadz atau tidak
adalah: (1) melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan
yang diduga bermasalah, (2) membandingkan redaksi matan
yang bersangkutan dengan matan-matan lain yang memiliki
tema yang sama, dan memiliki sanad yang berbeda, dan (3)
melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan
hadis yang mengangkat tema sama.
2. Matan hadis terhindar dari ‘illat.
Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari ‘illat
adalah: (1) tidak terdapat ziyadah (tambahan) dalam lafal hadis,
(2) tidak terdapat idraj (sisipan) dalam lafal matan, (3) tidak
terjadi idtirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan)
dalam lafal matan hadis, dan (4) jika ziyadah, idraj, dan idtirab

11 Nasir Akib, KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADITS: Kajian Ilmu-Ilmu Sosial, Shautut Tarbiyah Ed. 21, Th.
XIV, September 2008. 109-110.
12 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabigus mei (Jakarta: Renaisan, 2005), 110.
bertentangan dengan riwayat yang tsiqah lainnya, maka matan
hadis tersebut sekaligus mengandung shadz.13
Langkah metodologis yang perlu ditempuh dalam
melacak dugaan ‘illat pada matan hadis adalah: (1) melakukan
takhrij (melacak keberadaan hadis) untuk matan yang
bersangkutan untuk mengetahui seluruh jalur sanadnya, (2)
melakukan kegiatan i’tibar (penelitian literatur hadis) untuk
mengkategorikan muttabi’ tam (adanya kesamaan rawi mulai
dari awal sampai akhir sanad) atau qasir (adanya kesamaan
rawi pada tengah sanad atau sebagian sanad) serta menghimpun
matan yang bertema sama sekalipun berujung pada akhir sanad
yang nama sahabatnya berbeda (shahid), (3) mencermati data
dan mengukur segi-segi perbedaan atau kedekatan pada nisbah
ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat (shighah
tahdits) dan susunan kalimat matannya, kemudian menentukan
sejauh mana unsur perbedaan yang teridentifikasi. 14
C. Tokoh Perumusan Sanad dan Matan
Perintis jejak pertama yang mengenakan mahkota fuqaha ahli hadis adalah
para sahabat Rasulullah saw. yang paling masyhur dari mereka antara lain:
1. Khalifah yang empat (Radhiyallahu‘anhum):
a. Abu Bakr Ash-Shiddiq
b. Umar bin Al-Khaththab
c. Utsman bin Affan
d. Ali bin Abi Thalib
2. Al-Abadillah (Radhiyallahu‘anhum):
a. Ibnu Umar
b. Ibnu Abbas
c. Ibnu Az-Zubair
d. Ibnu Amr
e. Ibnu Mas’ud
f. Aisyah
g. Ummu Salamah
h. Zainab
i. Anas bin Malik
j. Zaid bin Tsabit

13 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru, ibid, 114.


14 Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versus Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), 103.
k. Abu Hurairah
l. Jabir bin Abdillah
m. Abu Said Al-Khudri
n. Mu’adz bin Jabal
3. Setelah sahabat Rasulullah adalah para tokoh tabi’in Rahimahumullah antara
lain:
a. Said bin Al-Musayyib wafat 90 H
b. Urwah bin Az-Zubair wafat 94 H
c. Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
d. Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
e. Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H atau setelahnya
f. Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
g. Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq wafat 106 H
h. Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
i. Muhammad bin Sirin wafat 110 H
j. Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
k. Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
4. Kemudian tabi’ut tabi’in dan tokoh mereka Rahimahumullah:
a. Malik bin Anas wafat 179 H
b. Al-Auza’i wafat 157 H
c. Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
d. Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
e. Ismail bin Aliyah wafat 193 H
f. Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
g. Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H
5. Kemudian pengikut mereka diantara tokoh mereka Rahimahumullah:
a. Abdul.lah bin Al-Mubarak wafat 181 H
b. Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
c. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I wafat 204 H
d. Abdurrahman bin Mahdi wafat 198 H
e. Yahya bin Said Al-Qathan wafat 198 H
f. Affan bin Muslim wafat 219 H
6. Kemudian murid-murid mereka yang berjalan di atas manhaj mereka
diantaranya (Rahimahumullah):
a. Ahmad bin Hambal wafat 241 H
b. Yahya bin Ma’in wafat 233 H
c. Ali bin Al-Madini wafat 234 H
7. Kemudian murid-murid mereka diantaranya (Rahimahumullah):
a. Al-Bukhari wafat 256 H
b. Muslim wafat 271 H
c. Abu Hatim wafat 277 H
d. Abu Zur’ah wafat 264 H
e. Abu Dawud : wafat 275 H
f. At-Turmudzi wafat 279 H wafat 303 H
g. An Nasa’i wafat 234 H
8. Kemudian orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dari generasi ke
generasi antara lain (Rahimahumullah):
a. Ibnu Jarir wafat 310 H
b. Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
c. Ad-Daruquthni wafat 385 H
d. Ath-Thahawi wafat 321 H
e. Al-Ajurri wafat 360 H
f. Ibnu Baththah wafat 387 H
g. Ibnu Abu Zamanain wafat 399 H
h. Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
i. Al-Lalika’i wafat 416 H
j. Al-Baihaqi wafat 458 H
k. Ibnu Abdil Bar wafat 463 H
l. Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
m. AI-Baghawi wafat 516 H
n. Ibnu Qudamah wafat 620 H
9. Di antara murid mereka dan orang meniti jejak mereka (Rahimahumullah) :
a. Ibnu Abi Syamah wafat 665 H
b. Majduddin lbnu Taimiyah wafat 652 H
c. Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 1-1
d. Ibnu Ash-Shalah wafat 643 H
e. Ibnu Taimiyah wafat 728 H
f. Al-Mizzi wafat 742 H
g. Ibnu Abdul Hadi wafat 744 H
h. Adz-Dzahabi wafat 748 H
i. Ibnul Qayyim wafat 751 H
j. Ibnu Katsir wafat 774 H
k. Asy-Syathibi wafat 790 H
l. Ibnu Rajab wafat 795 H
10. Ulama setelah mereka yang mengikut jejak mereka di dalam berpegang
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai hari ini. Di antara mereka
(Rahimahumullah) :
a. Ash-Shan’ani wafat 1182 H
b. Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
c. Al-Luknawi wafat 1304 H
d. Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
e. Syamsul Haq Al-Azhim wafat 1349 H
f. Al-Mubarakfuri wafat 1353 H
g. Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
h. Ahmad Syakir wafat 1377 H
i. Al-Mu’allimi Al-Yamani wafat 1386 H
j. Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
k. Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
l. Badi’uddin As-Sindi wafat 1416 H
m. Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
n. Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
o. Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
p. Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
q. Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
r. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
s. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (h)
t. Abdul Muhsin Al-Abbad (h)
u. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali (h)
v. Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sanad adalah jalan kepada matan hadis yang berupa nama-nama perawi secara
berurutan. Sedangkan matan adalah sesuatu yang terdapat setelah sanad atau biasa
disebut dengan isi dari hadis.
Sebagai syarat untuk diterimanya suatu hadis, terdapat kaidah-kaidah yang
menyertai sanad dan matan hadis. Kaidah sanad hadis antara lain: (1) sanad atau isnad
bersambung, (2) perawi yang adil, (3) perawi yanga dhabit, (4) tidak mengandung
shadz, (5) tidak mengandung illat. Kemudian kaidah matan hadis adalah terhindar dari
shadz dan illat.
Adapun tokoh perumusan sanad dan matan hadis adalah berasal dari kalangan
sahabat Rasulullah saw. Beberapa diantaranya antara lain para khulafa’urrasyidin,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Zaid bin
Tsabit, dan para sahabat lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis: Versus Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta:
Kalimedia, 2016.

Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005.

Akib, Nasir. Kesahihan Sanad dan Matan Hadits: Kajian Ilmu-Ilmu Sosial, Shautut Tarbiyah
Ed. 21, Th. XIV, September 2008.

Idri dkk, Studi Hadis, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya Press, 2021.

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.

Marhumah. Ulumul Hadis: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, dan Contoh, Yogyakarta:
SUKA-Press, 2014.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998.

Anda mungkin juga menyukai