Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Kritik sanad hadits merupakan kegiatan ilmiah untuk


membuktikan keotentikan suatu berita (hadits) dan bagian dari
upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang 
salah. Umat Islam  terutama para ulama hadits memberikan
perhatian yang sangat besar dalam hal ini, baik khabar yang
dipakai sebagai penetapan suatu pengetahuan atau khabar
tersebut berkaitan ucapan, perbuatan dan ketetapan yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW yang dijadiikan suatu
dalil (dasar hukum). Usaha ini bertujuan  untuk memelihara
keotentikan hadits serta mengikuti jejak Nabi Muhammad
SAW, dengan berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka
mencapai keridhlaan Allah SWT.

Jauh sebelum kita, para pendahulu kita telah berusaha


melestarikan peninggalan Nabi ini dan menjaganya dari
persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak
dilakukan oleh berbagai kalangan, dengan berbagai
kepentingan. Usaha pemeliharaan hadits Nabi Muhammad
tersebut dimulai dengan pembukuan hadits dan diikuti dengan
penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan
metodologi dan standart yang diciptakan secara sendiri-sendiri
oleh masing-masing peneliti, sehingga suatu hadits benar-
benar dapat dipastikan kesahihannya[1]

Dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa hal


berikut ini yaitu:

1. Apakah pengertian kritik Sanad, urgensinya dan awal


mula pemakaiannya?
2. Bagaimana kritikan Sanad dikalangan Muhadditsin?
3. Bagaimana kritikan Orientalis terhadap sanad?
4. Bagaimana balasan kritikan dari beberapa pakar
kontemporer terkemuka, semisal Fazlurrahman dan
Muhammad Mustafa Azami?
 

PEMBAHASAN

1. Pengertian kritik Sanad, Urgensinya dan Awal mula


pemakaiannya.

a. Pengertian kritik Sanad;

Secara terminologi kata kritik (naqd) berasal dari bahasa arab


yaitu berasal dari kata ‫نقد‬ yang berarti ‫يز‬%%%%%‫تمي‬ (membedakan).
Dalam literatur ditemukan ‫نقد‬ yang diartikan dengan kritik, hal
ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedua. dilain
tempat dikatakan bahwa maksud dari kritik adalah
memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk.[2] Sementara
secara etimologi kritik merupakan usaha menemukan
kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran.
Namun kritik yang dimaksud disini adalah upaya mengkaji
hadits Rasulullah SAW. untuk menentukan hadits yang benar-
benar datang dari Nabi Muhammad SAW. [3]

Sementara kata sanad, secara terminologi berasal dari bahasa


arab tepatnya dari kata  ‫ند‬%%%%%%‫س‬yang berarti ‫طريق‬ (jalan atau
sandaran). Sedangkan secara etimologi kata sanad dapat
diartikan sebagai silsilah perawi yang menukilkan hadits dari
sumbernya yang pertama. [4]

Sementara ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Totok


Jumantoro, mengemukakan pengertian sanad sebagai berikut:
‫ﻫﻮ ﻃﺮ ﻳﻖ ﺍﻠﻣﺘﻦ ﺃﻱ ﺴﻠﺳلة ﺍﻠﺮ ﻮﺍﺓ ﺍﻠﺬ ﻳﻦ ﻧﻗﻠﻮﺍ ﺍﻠﻣﺘﻦ ﻋﻥ ﻤﺼﺩﺭﻩ ﺍﻻﻮﻞ‬

Artinya: “Sanad adalah jalan kepada matan, yaitu silsilah para


perawi yang memindahkan matan dari sumbernya yang
pertama.”[5]

Jalan yang dimaksud pada defenisi di atas adalah rangkaian


orang-orang yang meriwayatkan hadits Rasullullah SAW,
baik melalui hafalan maupun tulisan. Contohnya Imam Al-
Bukhari meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. berikut:

‫ان ب ُْن‬ُ ‫ال َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َم‬ َ َ‫ال َح َّدثَنَا أَبُو َعا ِم ٍر ْال َعقَ ِديُّ ق‬
َ َ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن ُم َح َّم ٍد ْال ُج ْعفِ ُّي ق‬
‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َع ْن النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ح َع ْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ار َع ْن أَبِي‬ ٍ َ‫بِاَل ٍل َع ْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ِدين‬
‫ون ُش ْعبَةً َو ْال َحيَا ُء ُش ْعبَةٌ ِم ْن اإْل ِ ي َما ِن‬ َ ُّ‫ان بِضْ ٌع َو ِست‬ ُ ‫ال اإْل ِ ي َم‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ
)8:‫(رواه البخاري‬.

Posisi Imam Bukhari pada hadits di atas disebut


sebagai sanad pertama, karena daripadanya kita memperoleh
hadits dan kepadanya langsung kita sandarkan riwayat hadits
tersebut, dan kemudian Imam Bukhari menyandarkannya
kepada gurunya, yaitu sebagai sanad kedua, dan seterusnya
hingga sahabat Rasul-lah yang menjadi sanad terakhir.

Pada hadits tersebut, Imam Bukhari juga disebut sebagai


perawi terakhir karena beliaulah generasi yang terakhir
meriwayatkan hadits tersebut hingga sampai kepada kita.
Imam Bukhari juga disebut sebagai Mukharrijul al-
Hadits dalam hadits yang diriwayatkannya, karena beliau
telah menuliskan hadits-hadits yang diriwayatkannya ke
dalam sebuah kitab hadits.

Sebagian orang terkadang keliru dalam menyebutkan


urutaan sanad dan rawi-nya (periwayat). Oleh karena itu,
penulis merasa penting menjelaskan perbedaan
urutan sanad dan rawi pada tabel berikut:

No. Urut Sanad Rawi (Periwayat)

1. ‫البخاري‬ َ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرة‬

2. ‫َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد ْال ُج ْع ِف ُّي‬ ‫ح‬ َ ‫أَ ِبي‬


ٍ ‫صا ِل‬

3. ُّ‫أَبُو عَا ِم ٍر ْال َعقَ ِدي‬ ٍ ‫َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ِدين‬


‫َار‬

4. ‫ُسلَ ْي َمانُ بْنُ ِباَل ٍل‬ ‫ُسلَ ْي َمانُ بْنُ ِباَل ٍل‬

5. ٍ ‫َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ِدين‬


‫َار‬ ُّ‫أَبُو عَا ِم ٍر ْال َعقَ ِدي‬

6. ‫ح‬ َ ‫أَبِي‬
ٍ ‫صا ِل‬ ‫َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد ْال ُج ْعفِ ُّي‬

7. َ‫ع َْن أَ ِبي ه َُري َْرة‬ ‫البخاري‬

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkatan periwayat


hadits dengan tingkatan sanad hadits adalah bertolak
belakang. Karena orang yang menjadi sanad pertama dalam
hadits tersebut adalah disebut sebagai periwayat terakhir.
Misalnya pada riwayat hadits di atas sebagaimana telah
diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari adalah sanad pertama
atau periwayat terakhir.

Jadi berkaitan dengan hal ini pengertian kritik sanad yaitu


penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadits tentang
kepribadian perawi dan proses penerimaan hadits dari perawi
sebelumnya, dengan usaha menemukan kekeliruan
(kesalahan) dalam rangkaian sanad untuk menemukan
kebenaran.[6] Dengan kata lain untuk memastikan  kualitas
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang bersangkutan
apakah kapsitasnya sebagai hadits dhaif, hasan ataupun
tergolong hadits shahih atau bahkan mungkin hadits palsu.

b. Urgensi Kritik sanad dan Awal mula pemakaiannya.

Penelitian atau kritik sanad hadits dilakukan untuk


memastikan dan mengetahui kualitas suatu hadits berdasarkan
tinjauan terhadap aspek sanad atau rentetan perawi yang
meriwayatkan hadits bersangkutan.[7] Apakah hadits itu dapat
digolongkan hadits shahih, hadits hasan atau hadits dha’if.
Sehingga bisa memperjelas kapasitas hadits tersebut apakah
bisa dijadikan sebagai dalil (landasan) dalam proses istimbath
hukum atau tidak.

Kegiatan kritik sanad belum muncul pada masa Rasulullah


SAW, bahkan lebih dari itu dikatakan pada masa shahabat
besar (khulafaurrasyidin) juga belum ditemukan kegiatan
kritik sanad.[8] Bahkan para muhadditsin menganggap para
shahabat yang meriwayatkan hadits pada periode tersebut
merupakan shahabat yang dapat dipastikan ke’adilannya
karena menurut mereka shahabat Rasulullah SAW adalah
Adil.[9]

Perhatian para muhadditsin mulai terpusat pada persoalan


sanad hadits ini tak terlepas dari ditemukannya hadits palsu
yang dikemukakan oleh orang-orang zindik yang
dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan baik kepentingan
bisnis, politik, maupun karena faktor kefanatikan pada
mazhab atau aliran tertentu. Yang semuanya mengemukakan
hadits palsu untuk meletigimasi tindakan dan kepentingan
masing-masing.
Pendapat lain mengemukakan bahwa kegiatan kritik sanad
hadits ini bermula sejak peristiwa terbunuhnya khalifah
Utsman Bin Affan oleh pemberontak. Maka terjadi
perpecahan aliran politik dan firqah dalam tubuh ummat
Islam. Dengan demikian bermunculan hadits-hadits amatiran
(palsu) untuk melegitimasi masing-masing kelompok tersebut.
Sehingga proses transmisi hadits (sanad) secara eksternal
itupun mulai berlaku untuk memverifikasi tingkat keotentikan
hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para perawi.

Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Al-Mubarak (w.181


H.): “sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari agama Islam, bahkan sistem sanad itu merupakan salah
satu sisi keistimewaan umat Islam, yang tidak dimiliki oleh
non muslim.

Dengan demikian seandainya umat Islam tidak memiliki


sistem sanad, tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. sudah mengalami nasib tragis
seperti ajaran Nabi sebelumnya yang mengalami banyak
perobahan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
disinilah letak nilai utama dan urgensi sanad dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti
rawi-rawi hadits yang membentuk sanad itu sendiri. Karena
dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah rawi-
rawi itu bersambung kepada Nabi SAW atau tidak. Sehingga
dapat diketahui kualitas hadits yang diriwayatkan itu apakah
tergolong hadits sahih, hasan atau dhaif (lemah) atau bahkan
hadits palsu.

2. Kritikan Sanad di kalangan Muhadditsin
Para ulama hadits (muhadditsin) pada periode awal sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan dan menyalin suatu hadits,
hal ini karena mereka menyadari bahwa kapasitas sunnah itu
sendiri sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang
akan dijadikan pedoman oleh ummat sepanjang masa, maka
dengan demikian mereka memandang bahwa sangat
diperlukan kritik (penelitian) terhadap suatu riwayat dengan
sungguh-sungguh. Secara garis besar ada empat faktor penting
yang mendorong ulama hadits (muhadditsin) untuk
melakukan kritik sanad (kritik eksternal), yaitu:

a. Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam

Telah menjadi suatu kesepakatan ulama bahwa kedudukan


hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam (yaitu sumber
kedua setelah Al-Quran), meskipun tak dapat dipungkiri juga
bahwa dalam sejarah tercatat ada sekelompok kecil umat
Islam yang menolak otoritas hadits (sunnah) sebagai sumber
hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Inkar al-Sunnah.

Berkenaan dengan kedudukan hadits dalam proses penetapan


hukum Islam sangat jelas ditegaskan Allah SWT dalam Al-
Quran, hal ini bisa didapatkan dalam banyak tempat (ayat),
diantaranya yaitu Al-Quran surat Ali-Imran ayat: 32 yaitu:

Artinya :katakanlah ta’atilah Allah SWT dan Rasul-Nya,


maka jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah SWT
tidak menyukai orang-orang kafir (ingkar) (QS. Ali-Imran:
32).

Ayat diatas menegaskan kepada kita bahwa orang-orang yang


tidak mengikuti perintah Allah SWT (Al-Quran) dan Rasul-
Nya (Al-hadits atau sunnah) termasuk orang yang ingkar
(kafir), jadi mengikuti Al-Quran dan Al-hadits (sunnah)
merupakan dua hal yang tidak ada bedanya dalam
menjalankan agama (syari’at) Allah SWT termasuk dalam
mengistimbath hukum. Dan masih banyak ayat-ayat lainnya
yang mengutarakan hal yang senada dengan ayat ini.

Karenanya kritik terhadap sanad hadits adalah upaya


mengangkat (mempertegas kapasitas) derajat hadits sebagai
sumber kebenaran ajaran Islam secara proporsional dari
keterpurukan pemahaman kelompok inkar al-sunnah terhadap
hadits.

b. Tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi.

Periwayatan hadits pada era Nabi hanya sebagian kecil saja


yang berlangsung secara mutawatir dan periwayatan hadits
yang terbanyak berlangsung secara ahad. Hal ini tidak terlepas
dari beberapa faktor berikut ini yaitu : proses penyampaian
hadits tidak selalu dihadapan sahabat Nabi yang pandai
menulis. Fokus perhatian Nabi sendiri dan para sahabat lebih
tertuju pada pemeliharaan al-Qur’an.

Selain itu para sahabat yang menjadi sekretaris Nabi hanya


menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi dan  sangat
sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal
seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang
lain dengan peralatan yang serba sederhana, sehingga
periwayatan hadits lebih banyak berlangsung secara lisan dari
pada secara tertulis.

c. Munculnya Pemalsuan Hadits

Berkenaan dengan kapan pastinya awal mula kemunculan


pemalsuan hadits, namun ada yang mengatakan hal ini baru
berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib (jumhur
ulama), walaupun tidak mustahil terjadi sebelum itu, karena
sejatinya pertentangan politik antara sesama umat Islam sudah
terjadi ketika nabi baru saja wafat. Pemalsuan hadits tersebut
diantaranya dilatar belakangi oleh kepentingan politik,
teologi, mazhab fiqih, bahkan ada yang hanya dilatar
belakangi oleh tujuan yang sungguh sangat tidak bisa ditolerir
yaitu untuk menyesatkan orang lain yang mengikuti hadits
tersebut.

d. Proses Pentadwinan (Penghimpunan) Hadits.

Pasca berakhirnya periode Umar bin Khattab, tidak ada


khalifah yang memberi kebijakan untuk pentadwinan hadits
Rasulullah SAW, terkecuali khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’
(w.101 H/720 M). Namun demikian hal ini tidak dengan serta
merta mengindikasikan bahwa masa sebelum Umar bin Abdul
Aziz tidak ada pencatatan hadits, akan tetapi pencatatan itu
masih bersifat pribadi-pribadi (personal), barulah pada masa
‘Umar bin ‘Abdul Azis pembukuan hadits dilakukan secara
massal. Lagi pula baik kalangan sahabat dan thabi’in tetap
bertumpu pada metode penghafalan, bahkan lebih jauh
dikatakan bahwa sebagian dari mereka mencela penulisan
hadits, hal ini tak terlepas dari kontroversi mengenai boleh
atau tidaknya penulisan hadits atau secara lebih tegas
penulisan hadits dilarang atau dianjurkan.

Keempat faktor di atas inilah yang mendorong ulama untuk


mengadakan peneleitian sanad hadits. Hal ini dilakukan oleh
para ulama hadits karena sanad adalah bagian yang
menentukan dari pengetahuan hadits, dan dalam praktiknya
sanad hadits selalu menjadi perhatian khusus para ulama
hadits.

3. Kritikan Orientalis Terhadap Sanad


Kajian tentang ketimuran oleh Eropa yang biasa dikenal
dengan istilah Orientalisme telah berlangsung sejak 1636 M.
[10] Dalam buku Manhaj al-Naqd ‘ind al-
Muhaddisin, Muhammad Mustafa al-A’zami mengemukakan
bahwa Ignaz Goldziher atau lebih dikenal dengan Goldziher
adalah orientalis pertama yang mengkaji tentang hadits. Hal
ini dikemukakan dengan alas an bahwa: 1) Goldziher hidup
dimasa yang lebih awal dikalangan orientalis lain yang
mengkaji hadits. 2) tidak ada orang yang lebih dahulu
daripadanya dalam mengkaji hadits secara komprehensif. 3)
dengan kenyataan itu, bukunya Muhammedanische
Studien, dianggap sebagai kitab suci dikalangan orientalis.
[11]

Kemudian tentang kritikan orientalis terhadap sanad, seperti


yang dilakukan Joseph Schacht (seorang orientalis Yahudi,
lahir pada 15 Maret 1902 di Sisilie, Jerman) yang menerbitkan
sebuah buku berjudul The Origins of Muhammadan
Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law. Dimana
salah satu pernyataannya yang bekenaan dengan sanad. Yang
menjadi kajian utama dalam tulisannya adalah bahwa
“peletakkan sanad merupakan tindakan sewenang-wenang
dalam hadits Nabi SAW. Hadits itu sendiri dikembangkan
oleh kelompok-kelompok yang saling berbeda dan ingin
mengaitkan teori-teorinya pada tokoh-tokoh terdahulu.”
Setidaknya ada enam kesimpulan argumentasi Schacht atas
pernyataannya tersebut. 1) Sistem isnad baru dimulai pada
awal abad kedua hijriah, atau setidak-tidaknya pada akhir
abad pertama hijriah; 2) Isnad dipergunakan/ dicantumkan
dalam hadits dengan cara yang sangat ceroboh oleh orang-
orang yang mengaitkan teorinya kepada para pendahulu
(Project Back); 3) Isnad ditingkatkan dan diciptakan secara
bertahap. Isnad pada awalnya merupakan suatu mata rantai
yang tidak lengkap; 4) Otoritas tambahan diciptakan pada
masa Imam Syafi’i untuk mencapai tujuan pengembalian
hadits kepada satu sumber; 5) Rangkaian sanad adalah suatu
yang palsu begitu juga materi/matan yang ada didalamnya; 6)
Keberadaan periwayat yang umum  pada mata rantai
menunjukkan bahwa hadits berasal dari masa periwayatan
tersebut.[12]

Untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan


konsep projecting back (proyeksi ke belakang), yaitu
mengaitkan pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga
hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu
memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai
otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fiqh telah
mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat
sampai Rasulullah SAW., sehingga membentuk sanad hadits.
Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut
Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari
Nabi Saw. Beranjak dari sini pula keberadaan karya Schacht
tersebut menjadi semacam buku wajib bagi orientalis-
orientalis yang mengkaji hadits pada tahap selanjutnya.[13]

Di antara kedua nama orientalis di atas, terdapat pula


orientalis-orientalis lain yang mengikuti jejak mereka.
Dimana diketahui pada tahap selanjutnya kelompok-
kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua
bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil
dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran hingga sebagiannya
mendapatkan hidayah Islam. Kelompok ini diwakili Reenan,
Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh
dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang
dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan
penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak
menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok
ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad
Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von
Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Vensink, L. Massinyon, D.B
Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry
Lammens, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
[14]

Dari penjelasan diatas Schacht lebih banyak menyoroti aspek


sanad dari pada aspek matan dalam mengkaji hadits.
Sementara kitab yang dipergunakan dalam penelitiannya
adalah kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, kitab al-
Umm dan al-Risalah karya Imam Syafi’i.

4. Balasan Kritikan dari Beberapa Pakar Kontemporer


terkemuka.
a. Fazlurrahman

Fazlurrahman adalah seorang sarjana dan ilmuwan yang


berasal dari Pakistan dan kemudian menetap di Amerika
Serikat. lahir pada tahun 1919 di daerah Barat Laut Pakistan,
pernah menjadi Professor di Chicago University hingga akhir
hayatnya pada tahun 1998. Dalam kajiannya mengenai sunnah
dan hadits tidak sepakat dengan teori sarjana-sarjana
(orientalis) Barat yang kebanyakan dari mereka
mengemukakan bahwa konsep sunnah merupakan kreasi
kaum Muslim yang belakangan. Bagi Fazlurrahman, konsep
Sunnah Nabi merupakan “konsep yang shahih dan operatif
sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa”.[15]

Dalam makalah ini seharusnya penulis menyebutkan


pemikiran Fazlurrahman terkait kritik sanad. Namun apa
dikata setiap referensi yang penulis temukan Fazlurrahman
tidak membahas kritikan orientalis terkait sanad secara
khusus.

b. Muhammad Mustafa Azami.

Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara,


tahun 1932. Ayahnya sangat tidak menyukai penjajahan dan
bahasa Inggris, dan ini berpengaruh pada pendidikan Azami,
ketika sekolah di tingkat SLTA ayahnya meminta pindah ke
sekolah Islam berbahasa Arab. Disekolah inilah Muhammad
Mustafa Azami mulai mempelajari Hadits.

Berikut beberapa hal pemikiran M. M. Azami terhadap


konsep Schacht dalam memandang hadits. Seperti yang telah
dibahas pada bahasan-bahasan sebelumnya, bahwa Schacht
dalam mengkaji hadits, lebih banyak menyorot sanad dari
pada matannya. Dan kitab-kitab rujukan yang dipakai dalam
penelitiannya adalah kitab Al-Muwaththa’ karya Imam
Malik, Al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad Al-Syaibani,
serta kitab Al-Umm dan Al-Risalah karya Imam Syafi’i.

Muhammad Mustafa Azami menyatakan bahwa kitab-kitab


yang menjadi kajian Schacht ini pada dasarnya lebih layak
disebut dengan kitab-kitab fiqh dari pada kitab-kitab hadits.
Sebab jenis-jenis kitab ini (Fiqh dan Hadits) memiliki
karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian hadits
melalui kitab-kitab fiqh akan mendapatkan hasil yang kurang
tepat. Hadits seharusnya diteliti melalui kitab-kitab hadits
pula.[16]

Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para


orientalis, khususnya Schacht yang meneliti hadits dari aspek
sejarah, maka M. M. Azami menghancurkan teori Schacht ini
juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadits.
Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits
Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
ialah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w. 138 H), dimana
Abu Shaleh (ayah Suhail) merupakan seorang murid Abu
Hurairah, sahabat Nabi SAW.

Naskah Suhail ini berisi 49 hadits. Sementara Azami meneliti


perawi hadits itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang
ketiga. Termasuk pula jumlah dan tempat domisili mereka
yang ia teliti. Dari penilitian ini, Azami membuktikan   bahwa
pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30
orang, sementara tempat tinggal mereka berpencar-pencar dan
berjauhan, antara India sampai Maroko, dan antara Turki
sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka
riwayatkan redaksinya sama.

Dari sini Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil


menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka
pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga
redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka
masing-masing membuat hadits, kemudian oleh generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat
adalah sama. Kesimpulan Azami ini adalah bertolak belakang
dengan kesimpulannya Schacht.

Maka dari apa yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa


teori sederhana yang dikembangkan oleh M. M. Azami dapat
melemahkan teori salah seorang orientalis terkemuka Barat.
Dan dari sini pula M. M. Azami dikenal sebagai salah satu
pemikir Islam kontemporer yang dengan tegas membantah
kritikan-kritikan sarjana dunia barat terhadap Islam secara
umum.

PENUTUP
Kajian sanad merupakan salah satu kajian yang sangat penting
dalam meneliti hadits. Karena dengan kajian sanad, dapat
memberikan faedah-faedah, berupa: keilmiah dalam
penukilan, mencegah pemalsuan hadits, memelihara
kemurnian Islam (secara khusus salah satu sumber
hukumnya), memperjelas kondisi sebuah riwayat, dan
memberi ketenangan (menghilangkan keragu-raguan) dalam
mengamalkan ajaran agama.

Kritik sanad hadits di kalangan muhadditsin secara umum


adalah bertujuan untuk menelusuri kredibilitas dan kapasitas
intelektual para periwayat hadits berikut cara-cara mereka
meriwayatkan hadits, sehingga dapat diketahui apakah suatu
hadits shahih atau bukan.

Kritikan para orientalis terhadap hadits, secara umum adalah


bertujuan untuk meragukan pemahaman umat Islam terhadap
ajarannya dengan memanfaatkan celah-celah yang menurut
mereka sebagai kelemahan ajaran Islam itu sendiri. Namun
tidak dipungkiri pula bahwa terdapat pula orientalis-orientalis
yang mengkaji Islam secara keilmuan dan kemudian
mengungkapkan pemikirannya dengan objektif. Di antara
orientalis yang paling berpengaruh dan sampai sekarang ini
masih terkenal pemikirannya adalah Goldziher dan J. Schacht.

Di antara pemikir Islam kontemporer, nama-nama seperti


Fazlurrahman dan M. M. Azami dua tokoh yang dengan gigih
mencurahkan pikirannya dalam meng-counter pemikiran
orientalis dimana nota bene dari mereka berpendapat bahwa
hadits yang diamalkan umat Islam sekarang ini merupakan
rekaan ulama hadits belaka.

 REFERENSI
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, 2004, Metodologi Kritik
Hadits, Edisi I, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nawir Yuslem, 2001, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara


Sumber Widya.

Munzier Suparta, 2002, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Totok Jumantoro, 2002, Kamus Ilmu Hadist, Jakarta: PT.


Bumi Aksara.

Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis


Orientalis, Al-Fikr, Volume 14 Nomor 2 Tahun 2010

Ceceng Salamudin, Landasan Epistemologi, Objek, Dan


Metode Kritik Hadis,
dalam http://cecengsalamudin.wordpress.com/2015/11/24/ An
onim, Metode Kritik Hadits Orientalis,
dalam http://wildanhasan.blogspot.com

Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi :


Central Institute of Islamic Research, 1965), hal. 5-6,
dalam Studi Hadis Fazlur Rahman oleh Anjar Nugroho pada
situs: http://pemikiranislam.wordpress.com/2015/11/24/

ENDNOTE

[1]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik


Hadits, Edisi I, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 24
[2]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya, 2001), h.329

[3]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik


Hadits,…, h. 5

[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2002), h. 45-46

[5]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi


Aksara, 2002), h. 220.

[6]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik


Hadits,…, h. 7

[7]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik


Hadits,…, h. 7

[8]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, …, h. 330

[9]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik


Hadits,…, h. 7

[10]Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis


Orientalis, Al-Fikr, Volume 14 Nomor 2 Tahun 2010, h. 232

[11]Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik…, h. 233

[12]Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik…, h. 237

[13]Ceceng Salamudin, Landasan Epistemologi, Objek, Dan


Metode Kritik Hadis,
dalam http://cecengsalamudin.wordpress.com/2014/11/24/
[14]Anonim, Metode Kritik Hadits Orientalis,
dalam http://wildanhasan.blogspot.com

[15]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi


: Central Institute of Islamic Research, 1965), hal. 5-6,
dalam Studi Hadis Fazlur Rahman oleh Anjar Nugroho pada
situs: http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/

[16]Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik…, h. 238

Anda mungkin juga menyukai