Anda di halaman 1dari 23

BAB 4

HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN AJARAN ISLAM


Oleh:
Hj. Maisarah, S.Pd.I, M.Pd

Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Quran dan hadis. Keduanya memiliki
peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi
penafsiran dan aplikasi, setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Dari
keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama.1
A. Definisi Hadis
Secara etimologis, hadis memiliki makna sebagai berikut:
1. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidats, hudatsa, dan huduts);
2. Qarib, yang dekat, yang belum lama terjadi;
3. Khabar, warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada seseorang yang lain.2
Adapun pengertian hadis secara terminologis menurut Ahli Hadis: “Segala ucapan,
segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi Saw”.3
Definisi di atas menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori hadis adalah perkataan
nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan segala keadaan Nabi (ahwaliyah). Di samping
itu, sebagian ahli hadits menyatakan bahwa, masuk juga ke dalam keadaannya; segala yang
diriwayatkan dalam kitab sejarah (shirah), kelahiran dan keturunannyanya (silsilah) serta
tempat dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi nabi/rasul,
maupun sesudahnya.
Sebagian ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa “Hadits itu melengkapi sabda
Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Sahabat.
Sebagaimana melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Tabi’in. Maka sesuatu Hadits yang
sampai kepada dinamai marfu’, yang sampai kepada Sahabat dinamai mauquf dan yang sampai
kepada Tabi’in dinamai maqthu.4
Pengertian Sunah, Khabar dan Atsar

1
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta; Teras, 2009),
h. 1
2
Hasbi Asshiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta; Bulan Bintang, 1988)1980: 20
3
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor; Pustaka Thariqul Izzah, 2006), h.155
4
M. Hasbi Asshiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta; Bulan Bintang, 1988), h 23
Ada beberapa kata yang bersinonim dengan kata Hadits seperti Sunnah, Khabar dan
Atsar, kebanyakan ulama mengartikan sama kepada tiga istilah ini. Namun sebagian yang lain
membedakannya.5
a. Sunnah
Menurut bahasa Sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak.
Sesuatu yang sudah tradisi atau menjadi kebiasaan dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Sunnah menurut muhaditsin ialah: segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi Saw, maupun sesudahnya.
Adapun menurut ulama fiqih, sunnah adalah hal-hal yang beasal dari Nabi SAW
baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.
• Contoh hadits (sunnah) ucapan (Qauliyah):
ِ ‫َعمال ِِبلنِِّيم‬ ِ
)‫ات‬ َ ْ ‫(إمَّنَا األ‬
“Segala amalan itu mengikuti niat.” (H.R. Al Bukhary dan Muslim)
• Contoh hadits (sunnah) perbuatan/Fi’liyah:
Cara-cara mendirikan shalat, rakaatnya, cara-cara mengerjakan amalan hati, adab-
adab berpuasa dan memutuskan perkara berdasarkan sumpah.

)‫ُصلِِّ ْي‬
َ ‫ِن أ‬ِ ُّ َ
ْ ‫(صل ْوا َك َما َرأيْتُ ُم ْو‬
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya sholat.” (H.R. Al Bukhary dan Muslim
dari Malik ibnu Huwairits)
• Contoh hadits (sunnah) Taqririyah:
1) Membenarkan sesuatu yang diperbuat oleh seseorang Sahabat dihadapan Nabi, atau
diberitakan kepada Beliau, lalu Beliau tidak menyanggah/tidak menyalahkan serta
menunjukan bahwa Beliau meyetujuinya.
“Jangan seseorang kamu sholat, melainkan di Bani Quraidhah.”
Sebagian Sahabat memahamkan lahirnya. Karena itu, mereka tidak mengerjakan shalat
Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah.
2) Menerangkan bahwa yang diperbuat oleh sahabat itu baik, serta menguatkannya pula.
“Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya karena itu saya tidak suka
memakannya, makanlah sesungguhnya dia itu halal” (H.R. Al Bukhary dan Muslim).

5
Muhammad Mustofa Azami, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta; Pustaka Hidayah, 1990), h. 23
Pada dasarnya antara hadits dan sunnah memiliki pengertian yang sangat berdekatan
juga, karena Rasulullah Saw memperkuat sunnahnya dengan sabda nabi itu sendiri.
Meminjam ungkapan Hasby Ash Shiddieqy bahwa sunah dan hadits adalah dua buah kata
untuk satu wujud.6

b. Khabar
Khabar menurut etimologis ialah berita yang disampaikan dari seseorang. Jamaknya
adalah akhbar, orang banyak menyampaikan khabar dinamai khabir. Khabar digunakan
untuk segala sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Saw. Mengingat hal inilah orang
yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah
dinamai akhbary. Oleh karenanya, menurut mereka, khabar berbeda dengan hadits.

c. Atsar
1) Atsar menurut etimologis, ialah bekas sesuatu atau sisa dari sesuatu dan nukilan (yang
dinukilkan), sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari nabi dinamai do’a
ma’tsur;
2) Menurut terminologis, jumhur ulama menyatakan bahwa atsar sama artinya dengan
khabar dan hadis.
Sebagaimana ulama mengatakan atsar lebih umum daripada khabar, yaitu atsar
berlaku bagi segala sesuatu dari Nabi Saw, maupun dari selain Nabi Saw. Sedangkan
khabar khusus bagi segala sesuatu dari nabi saja.
Dengan memperhatikan definisi-definisi tersebut terdapat perbedaan, namun
dapat mengartikan bahwa hadits, khabar, sunnah maupun atsar pada prinsipnya sama-
sama bersumber dari Rasulullah.

6
M. Hasbi Ash-shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,1975: 4-5
B. Struktur Komponen Hadis
Secara struktur, hadis terdiri atas tiga komponen, yaitu sanad atau isnad (rantai
penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharrij (rawi).7
1. Sanad
Secara terminologi menurut ahli hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan
kepada matan hadis. Atau silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan
hadis. Silsilah tersebut maksudnya susunan atau rangkaian orang-orang yang
menyampaikan materi (matan) hadis tersebut. Dengan kata lain yang dimaksud dengan
sanad adalah rantai penutur atau periwayat hadis, mulai dari orang yang mencatat hadis
tersebut sampai kepada Rasulullah.
Contoh;

‫ِن‬ِ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ُّ ‫صا ِر‬ ٍِ ُّ ‫َحدمثَنَا ا ْْلُ َمْي ِد‬


ُّ ‫ي َعْب ُد هللاِ بْ ِن‬
ْ ‫َخ َََب‬ َ َ‫ي ق‬ َ ْ‫ َحدمثَنَا ََْي َي بْ ُن َسعْيد اْألَن‬:‫ال‬
َ َ‫ َحدمثَنَا ُس ْفيَا ُن ق‬:‫ال‬
َ َ‫الزبَْْي ق‬

‫اب َر ِض َي هللاً َعلَى‬


ِ ‫ت عُمر بْن ا ْْلَطم‬ ِ ِ ‫اص‬ ِ ِ ِ
ْ ٍ ‫ُُمَ مم ُد بْ ُن إِبْ َراهْي َم الت ْميم ُّي أَنمهُ ََس َع َع ْل َق َمةَ بْ َن َوقم‬
َ َ َ ُ ‫ ََس ْع‬:‫الليث مي يَ ُق ْو ُل‬
....." :‫صلمى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلم َم يَ ُق ْو ُل‬ ِ ِ َ َ‫الْ ِمْن َِب ق‬
َ ‫ت َر ُس ْو ُل هللا‬
ُ ‫ ََس ْع‬:‫ال‬ َ

2. Matan
Istilah matan dalam ilmu hadis yaitu sabda Nabi SAW yang disebut sesudah
habis disebutkan sanadnya. Atau dengan kata lain matan adalah redaksi isi dari hadis.8
Contoh;

‫صْي بُ َها أ َْو إِ ََل اِ ْمَرأَةٍ يَْنكِ ُح َها‬


ِ ‫ت ِهجرتُه إِ ََل دنْيا ي‬ ٍ ِ ِ ِ ِ ُ ‫"إِمَّنَا اْألَعم‬
ُ َ ُ ُ َ ْ ْ َ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫ َو إمَّنَا ل ُك ِِّل ْام ِرئ َما نَ َوى‬،‫ال ِِبلنِّيمات‬ َْ
".‫اجَر إِلَْي ِه‬
َ ‫فَ ِه ْجَرتُهُ إِ ََل َما َه‬

3. Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadis. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Hanya saja rawi ialah orang yang menerima hadis-hadis kemudian menghimpunnya
dalam sebuah kitab (tadwin), jadi rawi bias disebut sebagai mudawwin (orang yang

7
Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung; Pustaka Setia, 2008), h. 89
8
Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, h. 97-98
membukukan dan menghimpun hadis).9 Penulisan nama rawi biasanya berada di akhir
matan hadis, seperti;
‫( رواه البخاري‬diriwayatkan oleh Bukhari/ HR.Bukhari), ‫( رواه مسلم‬diriwayatkan
oleh Muslim/ HR. Muslim), dan lain-lain.

. Contoh Struktur Komponen Hadis;


Sanad
‫سول هللا صلِّى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫ع ْب ُد هللا بن عمرو يَقول قال َر‬ َ ُ‫عن الشعب ِِّي قال سَمِ عْت‬
ْ ْ
ِ ‫ َر َواه ُ البُخ‬. ‫"ال ُم ْس ِل ُم َم ْن َسل َِم ال ُم ْس ِل ُم ْونَ مِ ْن ِل َسانِه َويَ ِد ِه‬:
‫َارى َو ُم ْسلِم‬

Rawi Matan

C. Identifikasi Klasifikasi Hadis


Derajat hadis dapat ditinjau dari dua bagian utama yaitu, menurut kuantitas rawi dan
menurut kualitas rawi.10
1. Hadis ditinjau dari kuantitas rawi
Jika hadis ditinjau berdasarkan kuantitas rawinya, terdiri atas dua bagian yaitu,
hadis mutawatir dan hadis ahad.
a. Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak
terbatas jumlahnya, mulai dari awal sanad sampai akhir sanad, yang mana hal
tersebut menjadi mustahil bagi orang banyak untuk mengadakan persetujuan
berbuat dusta.
Menurut ulama, hadis mutawatir terdiri atas tiga bagian, yaitu;
1) Mutawatir lafzhi, yang lafalnya sama atau hampir sama, seperti hadis yang
menerangkan bahwa “orang yang sengaja berbuat dusta kepada Nabi akan
masuk neraka”.
2) Mutawatir ma’nawi, yaitu hadis yang memiliki makna yang identik, walaupun
lafalnya bermacam-macam. Seperti hadis yang menerangkan tentang syafaat
Nabi.

9
Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, h. 99
10
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung; PT.Remaja Rosdakarya, 2011),
h. 199
3) Mutawatir ‘amali, yaitu hadis yang sudah secara ma’mul diamalkan oleh
mayoritas umat Islam, sejak zaman Nabi sampai sekarang. Seperti waktu
shalat, shalat ‘ied, serta menyembelih kurban.11
b. Hadis Ahad
Hadis ahad yaitu hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis ini terdiri
atas beberapa bagian, antara lain;
1) Hadis masyhur
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, hadis masyhur ialah;

ِ ْ َ‫ص ْورةٌ ِِبَ ْكثَر ِم ْن إِثْن‬


‫ْي َوََلْ يَْب لُ ْغ َح مد الت َمواتُِر‬ َ َ ُ ‫ماَ لَهُ طُُر ٌق َُْم‬
“Hadis yang memiliki banyak jalan, tetapi terbatas jumlahnya lebih dari dua
dan tidak sampai pada batas mutawatir”.12
Berdasarkan definisi tersebut yang dinamakan hadis masyhur ialah hadis yang
mempunyai jalan-jalan riwayat atau sanad yang banyak, tetapi terbatas dalam
jumlah tertentu. Golongan hadis masyhur yaitu hadis yang bersanad lebih
daripada dua, tetapi tidak sampai derajat mutawatir.
Hadis masyhur ini terbagi dua macam, (1) hadis masyhur muthlaq, yaitu
hadis yang masyhur dikalangan ahli hadis dan selainnya, (2) hadis masyhur
muqayyad, yaitu hadis yang terbatas kemasyhurannya di kalangan tertentu,
baik hanya di kalangan ahli hadis atau di kalangan masyarakat umum saja.13

2) Hadis aziz
Hadis aziz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua orang atau diriwayatkan
melalui dua jalan rawi atau dua sanad.
3) Hadis gharib
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, baik dari awal
sanad sampai akhir sanad, atau satu orang rawi itu hanya ada pada suatu
thabaqat rawi-rawi hadis itu. Hadis gharib sendiri terbagi dua bagian, yaitu;
(1) gharib mutlaq, jika gharib tersebut terletak pada pokok sanad (tabiin), dan

11
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, h. 200
12
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis, (Beirut: Darul Fikr,1975), cet III , h.302
13
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, h. 201
(2) gharib nisbi, apabila gharib itu terletak di tengah sanadnya dimana pokok
sanadnya banyak rawi yang meriwayatkan.14

2. Hadis ditinjau dari kualitas rawi


a. Hadis Sahih
Sahih menurut lughat artinya sehat, adalah lawan dari “saqim” yang artinya sakit.
Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh
orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah
SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat
yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.15
Hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzatihi dan sahih li ghairih.
1) Sahih li dzatihi adalah hadis sahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal yaitu;
- Rawinya bersifat adil
- Rawinya bersifat dhabit 16
- Sanadnya bersambung
- Tidak ber-‘illat17
- Tidak Syadz (janggal)
2) Sahih li ghairih, adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna ke-dhabit-annya
(kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain
semisal, maka ia menjadi sahih li ghairih. Dengan demikian, sahih li ghairih
adalah hadis yang kesahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak
memenuhi syarat-syarat secara maksimal.18

Adapun kitab-kitab yang hanya memuat hadis sahih, antara lain; Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Mustadrak al-Hakim, Shahih ibnu Hibban, shahih ibnu
Khuzaimah.

14
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, h. 202
15
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung; Pustaka Setia, 2008), h. 141
16
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan
hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, dan mampu meriwayatkannya kembali
17
‘illat artinya bebas dari cacat kesahihannya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuat
cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
18
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib. Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. (Kairo; Dar Al-Fikr. 1989)
h.277
b. Hadis Hasan
Hasan, menurut lughat adalah sifat musyabahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadis Hasan adalah Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang
adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak
syadz.19
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan pun terbagi atas dua macam, yaitu hasan
li dzatihi dan hasan li ghairihi.
1) Hasan li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis
hasan, sebagaimana syarat dalam hadis sahih, kecuali bahwa para rawinya
hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setaraf
atau dengan tingkatan tersebut.
2) Hasan li ghairihi. yaitu hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya
pelupa, banyak salah dan bukan pula orang fasik, yang mempunyai mutabi’
dan syahid.20

Adapun kitab-kitab yang mengandung hadis hasan, antara lain; Jami’ At-
Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi), Sunan Abu Dawud, Sunan Ad-Daruquthni.

c. Hadis Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Adapun
menurut Muhadditsin, hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya
sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pedapat kebanyakan ulama; hadis
dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan.21
Para ulama Muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari
dua jalur, yaitu jalur sanad dan jalur matan.
Faktor penyebab tertolaknya hadis dari jalur sanad, antara lain;
1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang ke-‘adil-an ataupun ke-
dhabit-annya.
2) Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adanya satu orang rawi atau lebih
yang digugurkan, atau saling tidak bertemu satu sama lain.22
Adapun cacat pada ke-’adil-an dan ke-dhabit-annya rawi itu ada sepuluh macam,
yaitu;

19
Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Quran Al-Karim, 1979) h.38
20
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,. H. 146
21
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, h.337
22
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h. 148
1) Dusta
2) Tertuduh dusta
3) Fasik
4) Banyak salah
5) Lengah dalam menghapal
6) Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7) Banyak waham (purbasangka)
8) Tidak diketahui identitasnya
9) Penganut bid’ah
10) Tidak baik hapalannya.23

D. Hadis Sebagai Sumber Hukum dan Ajaran Islam


1. Fungsi Hadis

Fungsi hadis yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan
penjelasann al-al-Qur'an :

َ َ‫علَ ۡيكَ ۡٱل ِك َٰت‬


ۡ ‫ب ِإ اَّل ِلت ُ َب ِينَ لَ ُه ُم ٱلاذِي‬
‫ٱختَلَفُواْ ِفي ِه‬ َ ‫َو َما ٓ أَنزَ ۡلنَا‬
Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan
agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.24
Bila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya dengan al-
Qur'an maka hadis menjalankan fungsi sebagai berikut:

a. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur'an yang


dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'an dalam hal:
1) Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, karena dapat
saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum pada waktu itu.
Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan dan
perbuatan dalam rangka menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat
tersebut.
2) Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besar misalnya
menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-Qur'an

23
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h. 148-149
24
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 64.
3) Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum, misalnya
hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
4) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'an misalnya Allah
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, diperluas
Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapi juga saudara ibunya. Menetapkan
sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam al-Qur'an. Fungsi
sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat.25

Berdasarkan konsep al-Shafi‘i itu, al-Zuhayli kemudian memerinci keempat


posisi Sunah dalam kaitannya dengan al-Quran.26 Pertama, konfirmator hukum al-
Quran, jika Sunah mengonfirmasikan suatu hukum yang terkandung dalam al-Quran,
berarti hukum tersebut mempunyai dua dasar hukum, al-Quran dan Sunah. Ini seperti
perintah mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, menunaikan
ibadah haji bagi yang mampu, dan perintah-perintah lainnya yang termaktub dalam al-
Quran dan dikonfirmasikan oleh Sunah Rasulullah.
Kedua, interpretator hukum al-Quran, jika Sunah menginterpretasi suatu hukum
yang terkandung dalam al-Quran, maka dapat diperinci lagi menjadi tiga fungsi. (1)
Sunah sebagai interpretator keglobalan hukum al-Quran, seperti hadis-hadis Rasulullah
yang memerinci tata cara mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan
Ramadan, menunaikan ibadah haji, yang kesemuanya itu juga termaktub dalam al-
Quran secara global. (2) Sunah sebagai mukhassis (yang mengkhususkan) keumuman
hukum al-Quran, seperti hadis Rasulullah yang berbunyi, “seorang wanita itu tidak
boleh dinikahkan dengan [suami] bibi dari ayahnya, [suami] bibi dari ibunya, [suami]
kemenakan perempuan dari saudaranya dan [suami] kemenakan perempuan dari
saudarinya mukhassis yang merupakan 27"‫ َوالَ َبيْنَ ْال َم ْرأَةِ َو خَالَتِ َها‬،‫ع َّم ِت َها‬
َ ‫"الَ يُجْ َم ُع بَيْنَ ْال َم ْرأَة َو‬
potongan ayat dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian 28 "‫"وأُحِ َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء ذَا ِل ُك ْم‬ َ

25
Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang
pertama mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak
menetapkan hal itu sangat dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak
kedudukan hadis (sunnah).
26
Al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islami, h. 461 dan seterusnya.
Lihat Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 7, no. 5109 dan 5110 (t.tp: Dar Tuq
27

al-Najah, 1422 H); Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, vol. 2, no. 1408 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi,
t.th); Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, vol. 2, no. 2065, 2066 dan 2067 (Beirut: al-Maktabah al-
‘Asriyyah, t.th); Abu ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, vol. 3, no. 1126 dan 1127 (Mesir: Sharikat Maktabat
wa Matba‘at Mustafa al-Babi al-Halabi, 1975); Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, vol. 6, no. 3292-
3299 (Halab: Maktabat Matba‘at al-Islamiyyah, 1965); Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, vol. 1, no. 1929-1931
(Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t).
28
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989) al-Nisa’: 24.
yang di dalamnya tidak termaktub orang-orang yang disebutkan Rasulullah di atas. (3)
Sunah sebagai muqayyid (yang membatasi) kemutlakan hukum al-Quran, seperti hadis
Rasulullah yang menjelaskan bahwa hukum potong tangan itu sebatas pergelangan
tangan saja,29 yang merupakan muqayyid potongan ayat “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (wa al-sariq wa al-sariqah fa-
iqta‘u aydiyahuma).”30
Ketiga, argumentator eksistensi naskh, yang merupakan mazhab al-Shafi’i
pribadi, dan berseberangan dengan para sarjana, bahkan para sarjana Shafi‘iyah sendiri.
Menurut al-Shafi’i, al-Quran hanya dapat di-naskh oleh al-Quran, dan Sunah tidak
dapat me-naskh al-Quran, melainkan hanya sebagai dasar argumentasi terjadinya naskh
al-Quran. Ayat “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatngan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untul ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa (kutiba ‘alaykum idha hadara ahadakum al-mawt in taraka khayran al-
wasiyyah li-al-walidayn wa al-aqrabin bi al-ma‘ruf, haqqan ‘ala al-muttaqin),”31
misalnya, itu mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat mawaritsh (warisan-warisan). Hanya
saja, argumentasi terjadinya naskh al-Quran dengan al-Quran semacam ini didasarkan
kepada Sunah.
Keempat, produsen hukum secara mandiri, sebab al-Quran tidak
menyinggungnya. Ini seperti hadis-hadis Rasulullah tentang hukum rajam bagi pezina
muhsan (yang telah menikah), larangan mengenakan emas dan perak bagi laki-laki, dan
zakat fitrah. Namun demikian, al-Shafi‘i tetap berpandangan bahwa hukum-hukum
yang diproduksi Sunah secara mandiri itu termasuk dalam prinsip-prinsip umum al-
Quran.

2. Otoritas Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam


Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Ia menempatkan kedudukan yang sangat penting setelah Al-Quran.
Kewajiban mengikuti hadis bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Quran.
Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. 32

29
Lihat kisahnya dalam Abu al-Hasan al-Daraqutni, Sunan al-Daraqutni, vol. 4, no.3466 (Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, 2004).
30
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989) al-Ma’idah: 38
31
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989)Al-Quran, al-
Baqarah, 180.
32
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h.73
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah
diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga
di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari
pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh
melaui kehendak Ilahiyah.33
Berbicara mengenai posisi al-Quran dan hadis dalam hukum Islam sepertinya tidak
dapat dilepaskan dari sesosok sarjana yang paling berpengaruh dalam kajian hukum Islam
Sunni, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i (w. 204 H/820 M), terutama dalam karyanya
tentang teori hukum Islam, al-Risalah. Seperti diringkas Wahbah al-Zuhayli, al-Shafi‘i,
berdasarkan hukum yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunah, memposisikan Sunnah
sebagai (1) konfirmator hukum al-Quran, (2) intrepretator hukum al-Quran, (3)
argumentator eksistensi naskh (penghapusan ayat al-Quran atau hadis dengan ayat al-
Quran atau hadis lainnya), dan (4) produsen hukum yang tidak ditemukan dalam al-
Quran.34
Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam,
menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah Alquran.35 Hal tersebut
terutama ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya adalah bersifat qath’i, sedangkan hadits
kecuali yang berstatus mutawatir sifatnya adalah zhanni al-wurud. Oleh karenanya yang
bersifat qath’i (pasti) didahulukan daripada yang zhanni (relatif).
Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman
dan panutan oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih-lebih jika diyakini
bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan
beliau pasti membawa jaminan teologis.36 Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya
ditemukan sekitar 50 ayat37 yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat kepada
Allah dan juga kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
ْۚ ۡ
‫ول فَ ُخ ُذوهُ َوَما ََنَٰى ُك ۡم َعنهُ فَٱنتَ ُهوْا‬
ُ ‫َوَمآ ءَاتَٰى ُك ُم ٱلمر ُس‬

33
Lihat M.M. ‘Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature (Indianapolis: American Trust
Publications, 1977), h. 5.
34
Lihat Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 79 dan
seterusnya; Wahbah al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), h. 461 dan seterusnya.
35
Ajjaj al Khathib, Ushul Hadits. h.45
36
Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin dan
Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
37
Lihat Muhammad Fuad Abul Baqi, al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.), h. 314-319, 429-430, 463-464.
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah.38
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah
dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.39
Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh
karena itu kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan
seseorang. Dalam surat al-Nisa’ ayat 80 juga dikemukakan :

َۖ ‫من ي ِطع ٱلرسول ف ق ۡد أَطاع‬


َ‫ٱّلل‬
‫ُ ِ م ُ َ ََ َ َ م‬
Artinya: Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati
Allah.40
Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan
salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Hanya saja perlu dipertegas
bahwa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati
dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah.
Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi
panutan yang baik bagi umat Islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan :

‫ٱّللِ أ ُۡس َوةٌ َح َسنَة‬


‫ول م‬ِ ‫لمَق ۡد َكا َن لَ ُك ۡم ِِف رس‬
َُ
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu.41

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka
cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak
sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami
dam mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan
sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadis sebagi sumber
ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-Qur’an.

38
Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989),h. 916.
39
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an, juz xviii
(Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976), h. 17.
40
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h.132.
41
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 670
Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran
Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka umumnya memahami
bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al -Qur’an tersebut
menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-Qur’an.42

3. Penolakan Otoritas Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam

Penolakan otoritas hadis Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi kesarjanan
barat tetapi juga berkembang dalam kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama dan
intelaktual Islam yang hanya menerima otoritas al-Qur’an seraya menolak otoritas hadis
Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal sebagai inkar al -sunnah.43
Cukup banyak argumen yang mereka kedepankan untuk menolak otoritas hadis. Selain
mengajukan argumen aqli dan naqli mereka juga mengemukakan argumen-argmen historis
serta argumen lainnya. Argumen yang bersifat naqliyah misalnya mereka mengemukakan
al-Qur’an surat al-Nahl ayat 89 dan al-An’am ayat 38:
َ‫ب تِ ۡب َٰيَ ٗنا ِل ُك ِل ش َۡي ٖء َوهُدٗ ى َو َر ۡح َم ٗة َوب ُۡش َر َٰى ِل ۡل ُم ۡس ِل ِمين‬
َ َ‫علَ ۡيكَ ۡٱل ِك َٰت‬
َ ‫َون اَز ۡلنَا‬

Artinya: Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala segala
sesuatu.

ِ َ‫اما فَ ار ۡطنَا ِفي ۡٱل ِك َٰت‬


‫ب ِمن ش َۡي ٖ ٖۚء‬
Artinya: Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab itu.

Menurut mereka ayat tersebut dan yang semakna dengannya menujukkan bahwa
al-Kitab telah mencakup sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. Argumen lain
yang dikemukakan adalah bahwa al-Qur’an diwahyukan oleh Allah dalam bahasa Arab.
Oleh karena itu mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahsa Arab
akan mampu memahami al-Qru’an dengan baik tanpa bantuan hadis.
Dari pengalaman sejarah, mereka menganggap bahwa penyebab utama
kemunduran Islam adalah perpecahan yang diakibatkan karena berpegang pada hadis.
Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab hadis dianggap sebagai dongeng semata.
Kodifikasi hadis terjadi jauh setelah wafatnya Nabi, sehingga dengan mudah umat Islam

42
Lihat misalnya Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-
Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966), h. 55-59; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-
Arabi, t.th.), 106-107. Khusus tentang pandangan orientalis atas masalah ini dapat dibaca misalnya dari penjelasan
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (Chicago: University of Chocago Pres, 1979), h. 5.
43
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.
mempermainkan dan memalsukan hadis. Kritik sanad yang dikemukakan berupa al-Jarh
wa al-Ta’dil sangat lemah untuk membuktikan kebenaran hadis.44
Argumen-argumen yang mereka kemukakan tersebut pada dasarnya tidak kuat.
Berikut ini dikemukakan kelemahan-kelemahannya:

1. Kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surah al-Nahl 89 di atas, menurut al-
Syafi’I mencakup beberapa pengertian. Yakni: ayat al-Qur’an secara tegas
menjelaskan adanya : 1) berbagai kewajiban misalnya salat, puasa, zakat dan haji, 2)
berbagai larangan misalnya berbuat zina, minum khamar, makan bangkai dan daging
babi, dan 3) teknis pelaksanaan ibadah tertentu misalnya tata cara berwudu.
Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global
seperti dalam kewajiban shalat ; dalam hal ini, hadis Nabilah yang menjelaskan
tekhnis pelaksanaannya. Nabi menetapkan suatu ketentuan hukum yang di dalam Al-
Qur’an tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadis tersebut wajib ditaati
sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mentaati Nabi.
Allah mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad. Kewajiban ijtihad
sama kedudukannya dengan kewajiban mentaati perintah lainnya yang telah di
tetapkan olah Allah.45
Jadi berdasarkan surat al-Nahl ayat 89 tersebut hadis Nabi merupakan sumber
penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak
keberadaan hadis Nabi. Bahkan, ayat itu telah memberikan kedudukan yang sangat
penting terhadap hadis. Sebab, ada bagian ketentuan agama termuat penjelasannya
dalam hadis dan tidak termuat secara tegas dan rinci dalam al-Qur’an.
2. Memang benar al-Qur’an tertulis dengan bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang
berlaku umum dan ada yang berlaku khusus, di samping ada yang berstatus global dan
berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa sesuatu ayat berlaku khusus ataupun rinci
diperlukan petunjuk al-Qur’an dan hadis. Jadi orang yang ingin memahami
kandungan al-Qur’an dengan baik, walaupun orang itu memiliki pengetahuan yang
dalam tentang bahasa Arab tetap saja memerlukan penjelaan-penjelasan dari Nabi.
3. Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemajuan zaman klasik (650-1250 M)
puncak kemajuan terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Ulama besar yang hidup pada

44
Lihat misalnya Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-
Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966), h. 128-129
45
Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1992), h. 68-71.
masa ini tidak sedikit jumlahnaya baik di bidang Tafsir, fiqh, hadis, ilmu kalam,
filsafat, sejarah, maupun dalam bidang pengetahuan lainnya.46
Berdasarkan bukti sejarah ini ternyata, periwayatan dan perkembangan
pengetahuan hadis berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan yang lainnya.
Ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Karena hadis sebagaimana
al-Qur’an telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menuntut
ilmu pengetahuan. Di samping itu banyak hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam
bersatu dan menjahui perpecahan.
4. Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadis Nabi bukan hanya
dimulai pada zaman Tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak zaman Nabi.
Kegiatan itu berjalan secara berkesinambungan hingga mencapai puncaknya pada
masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi logis sebab para sahabat yang
mengajarkan hadis, jumlahnya banyak dan masing-masing memiliki murid yang tidak
sedikit.47 Karenanya sangat wajar bila pemerhati hadis pada masa tabi’in makin
bertambah jumlahnya dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi tidak benar sama sekali
jika sekarang ada pendapat yang menyatakan bahwa apa yang sekarang dianggap
hadis Nabi itu tidak lebih dari dongeng-dongeng semata. Sekiranya hadis yang
terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu terdapat hadis yang lemah, ataupun palsu,
tidaklah berarti bahwa sesluruh hadis yang ada didalamnya juga palsu atau lemah.
5. Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para periwayatnya
saja, melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk meneliti persambungan sanad,
salah satu hal yang harus diperhatikan ialah bentuk tahamul wa’ada al- hadis yang
termaktub dalam sanad itu. Selain itu, orang yang melakukan kritik tidak bisa
sembarangan, tetapi harus memiliki syarat-syarat yang sah sebagai pengeritik. Jadi
cukup ketat tata-ketentuan yang berkenaan dengan kritik sanad tersebut.

Argumen yang mereka ajukan dalam rangka menolak hadis sebagai sumber ajaran
Islam itu ternyata lemah dan tidak memiliki basis akademis yang kuat, lebih aneh lagi
dalam pengingkaran mereka terhadap hadis, mereka justeru menggunakan dalil dari hadis

46
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), h. 11.
47
Lihat M.M. ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994), khususnya Bab IV.
itu sendiri.48 Satu hal yang sangat ironis, sebab sesuatu yang diingkarinya justru kembali
mereka jadikan basis argumen.

Namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar mereka masuk ke dalam kelompok
ingkar as-sunnah, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan mereka terhadap hadis.49
Gejala ini bukan saja terjadi di negara Islam lain, bahkan di Indonesia pun salah satu
penyebab keingkaran mereka adalah ketidaktahuanya terhadap kandungan al-Qur’an, ilmu
tafsir dan bahasa Arab.

E. Perbedaan Antara Hadis Nabawi, Hadis Qudsi dan Al-Quran


1. Perbedaan Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi
Hadis qudsi dengan hadis nabawi pada dasarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-
sama bersumber dari Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT;
ٓ َٰ ‫ع ِن ۡٱل َه َو‬
‫ي يُو َح َٰى‬ٞ ‫ى إِ ۡن ه َُو إِ اَّل َو ۡح‬ َ ‫نط ُق‬
ِ َ‫َو َما ي‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.s An-Najm; 3-4).
Perbedaan antara hadis nabawi dan qudsi dapat dilihat dari segi penisbatannya, hadis
nabawi dinisbatkan kepada Rasul SAW dan diriwayatkan dari beliau sehingga dinamakan
hadis nabawi. Sedangkan hadis qudsi diceritakan serta diriwayatkan dari Rasulullah SAW
dan dinisbatkan kepada Allah SWT.50 Seperti;

‫صلمى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلمم فِْي َما يَ ْر ِويْ ِه َع ْن َربِِِّه‬ ِ


َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا‬
َ َ‫ق‬
Rasulullah SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhannya.

َ َ‫ ق‬:‫صلمى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلمم‬


…‫ال هللاُ َع مز َو َج مل‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا‬
َ َ‫ق‬
Rasulullah SAW telah bersabda, “Allah SWT berfirman…”

Jika terdapat kalimat seperti contoh di atas, maka bias dipastikan hadis tersebut adalah
hadis qudsi.

2. Perbedaan Hadis Qudsi dengan Al-Quran

48
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan sanad Hadits; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) .h. 119.
49
Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al-Misriyah, t.th.), h. 21.
50
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Quran, h.26-27
Ada beberapa perbedaan antara hadis qudsi dan Al-Quran, di antaranya;
- Al-Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan
lafadznya maupun maknanya. Adapun hadis qudsi, maknanya saja yang dari Allah
sedangkan lafadznya dari Rasulullah
- Al-Quran hanya dinisbatkan kepada Allah sehingga dikatakan, “Allah Ta’ala telah
berfirman”, sedangkan hadis qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan
kepada Allah merupakan nisbat yang dibuatkan.
- Seluruh isi al-Quran dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya sudah
mutlak. Sedangkan hadis qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad sehingga
kepastiannya masih merupakan dugaan.
- Membaca Al-Quran merupakan ibadah sehingga dibaca di dalam sholat. Adapun
hadis qudsi tidak diperintahkan untuk dibaca di dalam sholat.51

3. Perbedaan Hadis Dengan Al-Quran

Hadits dan Alquran sama-sama sumber ajaran Islam, bahkan pada hakikatnya
kedua-duanya sama-sama wahyu dari Allah SWT. Walaupun keduanya sama, tetapi
tidaklah sama persis melainkan terdapat perbedaan, yaitu:
a. Alquran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah lewat Malaikat Jibril secara
lengkap berupa lafadh dan sanadnya sedangkan hadits berasal dari Rasulullah
sendiri.
b. Membaca Alquran hukumnya adalah ibadah dan syah membaca ayat-ayatnya di
dalam shalat sementara tidak demikian dengan hadits.
c. Keseluruhan ayat Alquran diriwayatkan oleh Rasulullah secara mutawatir, yaitu
periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keontetikannya pada
setiap generasi dan waktu. Maka nash-nash Alquran bersifat pasti wujud atau qoth’i
assubut.
d. Hadits sebagian besar bersifat ahad dan zhanni al wurud yaitu tidak diriwayatkan
secara mutawatir kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir kalaupun ada,
hanya sedikit sekali yang mutawatir lafaz dan maknanya sekaligus.
e. memiliki hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak
sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelakasanaan (praktisnya)

51
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Quran, h. 28-29
F. Contoh Hadis Arbain dalam Kehidupan Sehari-hari
Hadis Niat
‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ‫ َ َِس ْع ُت َر ُسو َل‬:‫اَّلل َع ْن ُه قَا َل‬ ُ َّ ‫ِض‬ َ ِ ‫نني َأيب َح ْف ٍص ُ َُع َر ْب ِن اخل ََّط ِاب َر‬ َ ‫َع ْن َأ ِم ِري املُؤ ِم‬
ِ ‫هللا َو َر ُسوهل فَهِ ْجرتُ ُه اىل‬
‫هللا‬ ِ ‫ فَ َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه اىل‬،‫ك ا ْم ِرى ٍء َما ن ََوى‬ ‫ َوان َّ َما ِل ُ ِل‬،‫ات‬ ِ ‫ «ان َّ َما ا َأل ْ َُع ُال ِِبلنِل َّي‬:‫ول‬
ُ ‫ي َ ُق‬
ِ ِ
»‫ َو َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ِ ُِلنْ َيا يُ ِص ْيُبُ َا َأو ا ْمر َأ ٍة ي َ ْن ِك ُحهَا فَهِ ْج َرتُ ُه اىل َما هَا َج َر الَ ْي ِه‬،‫َو َر ُس ُوهل‬
ِ
‫ وأبو احلسني مسَّل‬،‫رواه اماما احملدثني أبو عبدهللا محمد بن اسامعيل بن ابراهمي بن املغرية بن بَ ْر ِد ْزبَه البخاري‬
.‫ يف حصيحهيام َالَلين هام أحص الكتب املصنفة‬،‫بن احل َّجاج ين مسَّل القشريي النيسابوري‬
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu
tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.
Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita
yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953), Shahih Muslim (no.
1907), Sunan Abu Dawud (no. 2201), Sunan at-Tirmidzi (no. 1647), Sunan Ibnu Majah (no. 4227), Sunan
an-Nasa`i (I/59-60), Musnad Ahmad (I/25, 43), Sunan ad-Daruquthni (I/136), dan Shahih Ibnu
Khuzaimah (no. 455)]

RUKUN ISLAM
‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫ َ َِس ْع ُت النيب َص ََّّل‬:‫هللا َعْنْ ُ َما قَا َل‬
ُ ‫ِض‬ َ ِ ‫هللا ْب ِن ُ َُع َر ْبن اخل ََّط ِاب َر‬ ِ ‫َع ْن َأ ِ ْيب َع ْب ِد َّالر ْ َْح ِن َع ْب ِد‬
،‫ َوايْتَا ِء َّالز ََك ِة‬،‫الصال ِة‬ ِ ‫ «بُ ِ َِن اإل ْسال ُم عَ ََّل َ َْخ ٍس َشهَا َد ِة َأ ْن َإل ا َ َهل اإلَّ هللا َو َأ َّن ُم َح َّمدَ ًا َر ُس ْو ُل‬:‫ي َ ُق ْو ُل‬
َّ ‫ َواقَا ِم‬،‫هللا‬
ِ ِ
ِ ِ .‫ ِ َو َص ْو ِم َر َمضَ َان» رواه البخاري ومسَّل‬،‫َو َح ل ِج ال ِبي ِْت‬
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, berkata:
aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibagun di atas lima
hal: syahadat lâ ilâha illâllâh dan muhammadur rasûlûllâh, menegakkan shalat, menunaikan
zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 8), Shahih Muslim (no. 16), Sunan at-Tirmidzi
(no. 2609), Sunan an-Nasa`i (VIII/107-108), dan Musnad Ahmad (II/26, 93, 120, 143), dan
Musnad al-Humaidi (no. 703)]

Proses Penciptaan Manusia dan Takdir yang Menyertainya


‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َوه َُو‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬ِ ‫ َح َّدثَنَا َر ُس ْو ُل‬:‫هللا َع ْن ُه قَا َل‬ ُ ‫ِض‬ َ ِ ‫هللا ِبن َم ْس ُع ْو ْد َر‬ ِ ‫َع ْن َأ ِ ْيب َع ْب ِد َّالر ْ َْح ِن َع ْب ِد‬
‫ ُ َُّث يَ ُك ْو ُن‬،‫ ُ َُّث يَ ُك ْو ُن عَلَقَ ًة ِمثْ َل َذ ِ َِل‬،‫ «ا َّن َأ َحدَ ُ ُْك ُ ُْي َم ُع َخلْ ُق ُه ِ ْيف ب َ ْط ِن ُأ ِلم ِه َأ ْرب َ ِع ْ َني ي َ ْو َم ًا ن ُْط َف ًة‬:‫الصا ِد ُق امل َ ْصدُ ْو ُق‬ َّ
ِ
ُ َ َ ‫ ُ َُّث ُي ْر َس ُل الَ ْي ِه امل‬،‫ُمضْ َغ ًة ِمثْ َل َذ ِ َِل‬
‫ ِب َك ْت ِب ِر ْز ِق ِه َو َأ َج ِ ِِل َو َ َُع ِ ِِل َو َش ِق ٌّي‬:‫ات‬
ٍ ‫َل فَ َين ُفخُ ِف ْي ِه ُّالر ْو َح َوي َ ْؤ َم ُر ِبأَ ْربَع ِ َ َِك َم‬
ِ
‫ ا َّن َأ َحدَ ُ ُْك لَ َي ْع َم ُل ِب َع َملِ َأهْلِ اجلَنَّ ِة َح ََّّت َما يَ ُك ْو ُن بَيْنَ ُه َوبَيْْنَ َا اإل ِذ َرا ٌع‬،‫ فَ َوهللا َّ ِاَّلي َإل ا َ َهل غَ ْ ُري ُه‬.‫َأ ْو َس ِع ْي ٌد‬
ِ ِ
ُ ‫ َوا َّن َأ َحدَ ُ ُْك لَ َي ْع َم ُل ِب َع َملِ َأهْلِ النَّ ِار َح ََّّت َمايَ ُك‬،‫اب فَ َي ْع َم ُل ِب َع َملِ َأهْلِ النَّ ِار فَ َيدْ ُخلُهَا‬
‫ون بَيْنَ ُه‬ ُ َ‫فَي َْس ب ُِق عَلَ ْي ِه ال ِكت‬
.‫اب فَ َي ْع َم ُل ِب َع َملِ َأهْلِ ا ِجلَنَّ ِة فَ َيدْ ُخلُهَا» رواه البخاري ومسَّل‬ ُ َ‫َوبَيْْنَ َا اإل ِذ َرا ٌع فَي َْس ب ُِق عَلَ ْي ِه ال ِكت‬
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami dan beliau seorang yang jujur
lagi diakui kejujurannya, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di
perut ibunya selama empat puluh hari berupa sperma, kemudian menjadi segumpal darah
selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian diutus
seorang malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan empat
kalimat: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia. Demi Allah yang tidak
ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya seorang dari kalian benar-
benar beramal dengan amal penghuni surga hingga jarak antaranya dan surga hanya
sejengkal, lalu takdir mendahuluinya, lalu dia beramal dengan amal penduduk neraka lalu ia
pun memasukinya. Dan seseungguhnya seorang dari kalian benar-benar beramal dengan
amal penduduk neraka hingga jarak antaranya dengan neraka hanya sejengkal, lalu takdir
mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amal penduduk surga, maka ia pun memasukinya.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 3208), Shahih Muslim (no. 2643), Sunan Abu
Dawud (no. 4708), Sunan at-Tirmidzi (no. 2137), dan Sunan Ibnu Majah (no. 76)]

Tinggalkan Apa yang Meragukan


‫هللا‬
ُ ‫ِض‬َ ِ ‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َو َر ْ َْيانَتِ ِه َر‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ِ‫طالب ِس ْبطِ َر ُسول‬
ٍ ‫َع ْن َأ ِيب ُم َح َّم ٍد احل ََس ِن ِبن عَ ِ لل ِبن أ ِيب‬
‫ « َد ْع َما يَ ِريْ ُب َك ا َىل َما َإل يَ ِريْ ُب َك» رواه الرتمذي‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ِ‫ َح ِف ْظ ُت ِم ْن َر ُس ْول‬:‫َعْنْ ُ َما قَا َل‬
ِ
.‫ حديث حسن حصيح‬:‫والنسايئ وقال الرتمذي‬
Dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kesayangannya, berkata: aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan Nasa`i, dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[Shahih: Sunan at-Tirmidzi (no. 2518), Sunan an-Nasa`i (VIII/327-328), Musnad Ahmad (I/200),
Sunan ad-Darimi (II/245), Mushannaf Abdurrazzaq (no. 4984), Musnad ath-Thayalisi (no.
1274), al-Mustadrak (II/13, IV/99), dan Sunan al-Baihaqi (V/335)]

Tinggalkan Apa yang Tidak Berguna


‫ « ِم ْن ُح ْس ِن ا ْسال ِم امل َ ْر ِء تَ ْر ُك ُه َما َإل‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ‫ قَا َل َر ُس ْو ُل‬:‫هللا َع ْن ُه قَا َل‬
ُ ‫ِض‬ َ ِ ‫َع ْن َأ ِ ْيب ه َُرْي َر َة َر‬
ِ ٌ »‫ي َ ْعنِ ْي ِه‬
.‫ رواه الرتمذي وغريه هكذا‬،‫حسن‬ ٌ ‫حديث‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata :Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Di antara bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak
berguna baginya.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu.
[Shahih: Sunan at-Tirmidzi (no. 2317), Sunan Ibnu Majah (no. 3976)]

Di Antara Kesempurnaan Iman


‫اَّلل عَلَ ْي ِه‬
ُ َّ ‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َعن النيب َص ََّّل‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ِ‫هللا َع ْن ُه خَا ِد ِم َر ُس ْول‬
ُ ‫ِض‬َ ِ ‫اِل َر‬
ٍ ِ ‫َع ْن َأ ِ ْيب َ ْْح َزة َأن َ ِس ِبن َم‬
.‫ « َإل يُؤ ِم ُن َأ َحدُ ُ ُْك َح ََّّت ُ ِْي َّب َأل ِخ ْي ِه َما ُ ِْي ُّب ِلنَ ْف ِس ِه» رواه البخاري ومسَّل‬:‫َو َس َّ ََّل قَا َل‬
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman (dengan sempurna)
salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk
dirinya sendiri.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 13), Shahih Muslim (no. 45), Sunan tat-Tirmidzi
(no. 2515), Sunan Ibnu Majah (no. 66), Sunan an-Nasa`i (VIII/115), Musnad Ahmad (III/176, 206,
251, 272, 289), Sunan ad-Darimi (II/307), Musnad Abu Awanah (I/33), dan Musnad Abu Ya’la
(no. 2880, 3069, 3171, 3245)]

Di Antara Akhlak Seorang Mukmin


‫ « َم ْن ََك َن يُؤ ِم ُن ِِب ِهلل َوال َي ْو ِم األآ ِخ ِر‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَا َل‬
ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ‫َعن َأ ِيب ه َُرْي َر َة رِض هللا عنه َأ َّن َر ُسو َل‬
‫ و َم ْن ََك َن يُؤ ِم ُن ِِب ِهلل وال َيو ِم األآ ِخ ِر‬،‫ َو َم ْن ََك َن يُؤ ِم ُن ِِب ِهلل َوال َيو ِم األآ ِخ ِر فَلْ ُي ْك ِر ْم َج َار ُه‬،‫فَلْ َي ُق ْل خ ْ ََري ًا َأو ِل َي ْص ُم ْت‬
.‫فَلْ ُي ْك ِر ْم ضَ ْي َف ُه» رواه البخاري ومسَّل‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia
berkata yang baik atau diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir,
maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim.
[Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 6018, 6136, 6475), Shahih Muslim (no. 47),
Sunan Abu Dawud (no. 5154), Sunan at-Tirmidzi (no. 2500), Sunan Ibnu Majah (no. 3971),
Musnad Ahmad (II/267, 433, 463), dan Sunan al-Baihaqi (VIII/164)]

Kebaikan dan Dosa


‫ َو ْاإل ْ ُُث َما‬،‫الِب ُح ْس ُن الْ ُخلْ ِق‬
ُّ ِ « :‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَا َل‬
ُ َّ ‫ َع ِن النَّ ِ ِ ليب َص ََّّل‬،‫اَّلل َعْنْ ُ َما‬ َ ِ ‫َع ِن ال َن َّو ِاس ِب ْن َ َْس َع ِان َر‬
ُ َّ ‫ِض‬
ِ .‫َحاكَ ِيف ن َ ْف ِس َك َو َك ِره َْت َأ ْن ي َّ ْط ِل َع عَلَ ْي ِه النَّ ُاس» رواه مسَّل‬
Dari an-Nawwas bin Sam’an al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang mulia, dan dosa adalah apa yang membuat
sesak dadamu dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya.” Diriwayatkan oleh Muslim.
[Shahih: Shahih Muslim (no. 2553), Sunan at-Tirmidzi (no. 2389), Musnad Ahmad (IV/182), al-
Adab al-Mufrad (no. 295, 302), Sunan ad-Darimi (II/322), dan al-Mustadrak (II/14)]

Tidak Ada Bahaya dan Tidak Boleh Membahayakan


‫ « َإل‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَا َل‬ ِ َّ ‫ِض َّاَّلل عنه َأ َّن َر ُس ْو َل‬
ُ َّ ‫اَّلل َص ََّّل‬ ٍ ِ ‫َع ْن َأ ِيب َس ِع ْي ٍد َس ْع ٍد ِب ْن َم‬
َ ِ ‫اِل ِب ْن ِس نَ ٍان اخلُدْ ِري َر‬
‫ ورواه ماِل يف املوطأ مرسال‬،‫ رواه ابن ماجة واِلارقطِن وغريهام مس ندا‬. ‫َض َار» حديث حسن‬ َ ِ ‫َض َر َو َإل‬ ََ
. ‫ وهل طرق يقوي بعضها بعضا‬،‫عن ُعرو بن ْيىي عن أبيه عن النيب صَّل هللا عليه وسَّل فأسقط أِب سعيد‬
Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh membahayakan orang lain.”
Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ad-Daraquthni, dan selain keduanya dengan
sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam al-Muwaththa` secara mursal dari Amr
bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id,
tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain.
[Hasan: al-Muwaththa` (no. 31) dan Sunan ad-Daruquthni (no. 4461)]

Merubah Kemungkaran
ُ َ ‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ي‬
‫ « َمن َرأى ِم ُنُك‬:‫قول‬ ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ‫عت ِر ُسو َل‬ ُ ‫ َ َِس‬:‫ُدري رِض هللا عنه قَا َل‬ ‫َع ْن َأيب َسعي ٍد اخل ِل‬
.‫ فَا ْن لَ ْم ي َس َتط ْع فَ ِبقَلبِه َو َذ ِ َِل َأضْ َع ُف اإلي َ ِان» رواه مسَّل‬،‫ فَا ْن لَ ْم ي َس َتط ْع فَ ِب ِل َسا ِن ِه‬،‫ُمن َك َر ًا فَل ُيغ ِ ل َْري ُه ِب َي ِد ِه‬
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu
ِ ِ
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah
dengan tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa, maka dengan
hatinya, dan itu merupakan selemah-lemah iman.” Diriwayatkan oleh Muslim.
[Shahih: Shahih Muslim (no. 49), Sunan Abu Dawud (no. 1140, 4340), Sunan at-Tirmidzi (no.
2172), Sunan Ibnu Majah (no. 1275, 4013), Sunan an-Nasa`i (VIII/111-112), dan Musnad Ahmad
(III/10, 20, 49, 52-53, 54)]

Tiga Hal yang Allah Maafkan


َ ‫ «ا َّن‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَال‬
َ‫هللا َ ََت َاو َز ِِل َع ْن ُأ َّم ِِت اخل ََطأ‬ ُ َّ ‫هللا َص ََّّل‬
ِ ‫هللا َعْنْ ُ َما َأ َّن َر ُسو َل‬
ُ ‫ِض‬َ ِ ‫َع ِن ا ْب ِن َع َّب ٍاس َر‬
ِ
.‫َوال ِن ل ْس َي َان َو َما ْاس ُت ْك ِر ُهوا عَلَ ْي ِه» حديث حسن رواه ابن ماجه والبهيقي وغريهام‬
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku untuku: kekeliruan, lupa, dan apa yang
dipaksakan kepadanya.” Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan selainnya.
[Shahih: Sunan Ibnu Majah (no. 2045), as-Sunan al-Kubra lil Baihaqi (VII/356-357), Sunan ad-
Daraquthni (III/403), dan al-Mustadrak (II/198)]
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M; Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung; PT.Remaja Rosdakarya,


2011
Abu Sahw, Muhammad. al-Hadis wa al-Muhaddisun. Mesir, Maktabah al-Misriyah, t.th.)
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. t.tp. Dar al-Fikr all- Arabi, t.th.
Abul Baqi, Muhammad Fuad. al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma‘il. Sahih al-Bukhari. t.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H
Al-Daraqutni, Abu al-Hasan. Sunan al-Daraqutni. Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2004
Al-Hajjaj, Muslim ibn. Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis. Beirut: Darul Fikr, 1975 , cet III
________, Muhammad Ajjaj. Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Kairo; Dar Al-
Fikr. 1989
Al-Nasa’i, Abu ‘Abd al-Rahman. Sunan al-Nasa’i. Halab: Maktabat Matba‘at al-Islamiyyah,
1965
Al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Jami li Ahkam al-Qur’an, juz
xviii. Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976
Al-Shafi‘i, Muhammad ibn Idris. al-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Sibai, Mustafa al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy. Kairo: Dar al-Qaumiyat li
al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966
Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.th
Al-Syafii, Muhammad bin Idris al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1992
Al-Tirmidhi, Abu ‘Isa. Sunan al-Tirmidhi. Mesir: Sharikat Maktabat wa Matba‘at Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1975
Al-Zuhayli, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Arkoun, Muhammad Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian
Asmin dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Asshiddiqy, M Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta; Bulan Bintang, 1988
Ath-Thahhan, Mahmud. Ilmu Hadits Praktis. Bogor; Pustaka Thariqul Izzah, 2006
_________, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar Al-Quran Al-Karim, 1979
Azami, Muhammad Mustofa. Studies in Hadith Methodologi and Literature. Indianapolis:
American Trust Publications, 1977
_________. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994
_________. Metodologi Kritik Hadis, Terj. A.Yamin. Jakarta; Pustaka Hidayah, 1990
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989
Ibn Majah. Sunan Ibn Majah. Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t
Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1975
Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: University of Chocago Pres, 1979
Solahudin, M. Agus; Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung; Pustaka Setia, 2008
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta;
Teras, 2009

Anda mungkin juga menyukai