Anda di halaman 1dari 13

Peranan Peradilan Agama dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Muhammad Fascal Alfarez, Ladaina Adla Fallah


Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
No.Telp : 081906187806, 089601096389
Email : alfarezfascal@gmail.com
ladainaadla13@gmail.com

Abstrak
Konsep hukum Islam di Indonesia yang telah berkembang dengan berbagai proses sosial
yang terjadi, namun tidak mengesampingkan metode-metode yang sangat memperhatikan
kepentingan lokal (budaya lokal masyarakat Indonesia). Konsep pembaruan hukum Islam di
Indonesia banyak dilakukan melalui hasil ijtihad para hakim dan kajian ilmiah dalam bidang
al-ahwal al-Syakhsiyah dan ekonomi Islam. Faktor-faktor penyebab terjadinya pembaruan
hukum, antara lain: adanya perubahan kondisi, situasi, tempat, dan waktu,untuk mengisi
kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum masalah baru sangat
mendesak untuk diterapkan.
Kata Kunci : Peradilan Agama, Penerapan, Hukum Islam

PENDAHULUAN
Indonesia tidak berbentuk negara Islam, tetapi merupakan negara berbentuk
republik yang bersatu, dengan ruang lingkup penuh untuk memperjelas dasar hukum dan
kelembagaan kepada umat Islam dalam kaitannya dengan seluruh sumber hukum Islam. Hal
yang sama berlaku untuk pemeluk agama lain seperti Kristen, Hindu, dan Buddha. Di sisi
lain, negara tidak sepenuhnya tertutup secara hukum formal, menghalangi umat Islam untuk
menegakkan hukum Islam. Dengan demikian, keberadaan hukum Islam tidak hanya didukung
oleh landasan dogmatis pada tataran teologis, tetapi juga oleh penduduknya, dan bagi
sebagian orang ia memiliki landasan formal dalam peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia.
Hukum Islam Indonesia telah berkembang selama belasan abad melalui proses sosial,
tetapi tidak menghalangi metode yang sangat terkait dengan kepentingan daerah (budaya
lokal masyarakat Indonesia). Tak heran, sejak zaman dahulu hingga kini para intelektual
Indonesia selalu memperjuangkan syariat Islam yang sejalan dengan sosial budaya
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, hukum Islam merupakan bagian dari sistem sosial
fungsional yang relevan dan berpengaruh dalam sistem sosial lainnya. Hubungan antara
struktur sosial dan hukum memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang lingkungan
sosial budaya di mana hukum berlaku dalam masyarakat.1
1
http//Dinamika-hukum-Islam-Indonesia.com. diakses pada tanggal 15 April 2015
Hukum Islam sebagai hukum yang hidup di Indonesia, dinamika hukum Islam di
Indonesia tentu mempengaruhi proses perkembangan dan interaksi sosial. Norma yang
diserap melalui interaksi agama dan masyarakat mempengaruhi proses sosial yang
berlangsung di Indonesia, demikian pula status sosial. Oleh karena itu, penerapan hukum
Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi sosial masyarakat tempat hukum itu
diterapkan.
Dinamika reformasi hukum Islam di Indonesia membentuk sejarah umat Islam
Indonesia. Gagasan pembaruan hukum Islam muncul karena adanya kesenjangan antara
sumber hukum khususnya hukum Islam tentang Fikhu dengan situasi sosial masyarakat
Indonesia saat ini. Pelaksanaan reformasi tersebut berupa amandemen, kodifikasi dan
redaksional, khususnya di bidang hukum keluarga.
Di Indonesia, undang-undang pertama tahun 1974 tentang perkawinan dan perintah
eksekutif pertama tahun 1991 tentang pengeditan hukum Islam adalah salah satu reformasi
formulasi hukum Islam di Indonesia, menurut beberapa sarjana hukum Islam, itu adalah
departemen. Hal ini merupakan langkah visioner untuk mengembangkan kebutuhan akan
syariat Islam yang berlaku bagi masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik etnis dan
budaya yang sangat beragam dan situasi sosial yang sangat berbeda dengan umat Islam di
Timur Tengah. Asal usul dan tempat pemujaan ahli Fikufu dirumuskan.
Menurut Hasballah Thaib, perkembangan hukum Islam di Indonesia jauh lebih lambat
dibandingkan negara-negara Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara. Keterlambatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Taqlid (berdasarkan pendapat ulama terdahulu)
masih dianggap cukup untuk menjawab pertanyaan saat ini, dan banyak ulama menganggap
lebih aman mengikuti pendapat ulama sebelumnya. Kedua, dalam konteks sosial politik saat
ini, hukum Islam Indonesia selalu kontroversial antara paradigma agama dan nasional.
Hukum Islam yang dianggap sebagai paradigma nasional harus siap menghadapi masyarakat
yang pluralistik. Ketiga, persepsi sebagian orang yang mengidentifikasi Fikufu sebagai hasil
karya intelektual keagamaan. Kebenaran terkait dengan Syariah mutlak, produk Tuhan.2
Era saat ini mungkin sangat berbeda dengan era ketika banyak para imam madzhab
dan ahli hukum membuat masalah-masalah yang mereka temui pada saat ijtihad itu, namun
ada juga yang tidak lagi relevan dengan keputusan hukum saat ini. Oleh karena itu, pada saat
ini, sangat penting untuk mereformasi hukum Islam dengan ijtihad dan ide-ide baru sehingga
dapat menjawab semua masalah hukum Islam yang muncul dalam kehidupan masyarakat
Islam. Hukum Islam harus memberikan solusi atas permasalahan yang mewakili kebutuhan
masyarakat saat ini, khususnya di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sejarah perkembangannya Peradilan Agama di Indonesia mengalami pasang
surut dalam hal kewenangan dan kekuasaan mengadili perkara-perkara antara orang-orang
yang beragama Islam. Peradilan Agama dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman
berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam.
Terdapat hubungan yang signifikan anatara Peradilan Agama dengan proses
penerapan hukum Islam di Indonesia walaupun hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu
2
Hasballah Thaib, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, makalah disampaikan pada acara seminar
para Hakim dan Panitera Peradilan Agama se-Sumatera Utara di Medan tanggal 12 Juni 2002, h. 12
saja. Perdilan Agama tidak mencakup pada masalah ibadah seperti salat, zakat, puasa dan
lain-lain. Peradilan Agama tidak mencakup pula urusan pidana Islam (Jinayah dan hudud).3
Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencar keadilan  yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang.4
Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan
hakim serta segi-segi administrasi Peradilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
 Pengadilan Agama
 Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota
Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya pengecualian. Pengadian Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tinggkat Banding. Peradilan Agama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.5
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, menuntut, dan mnyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam” adalah orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan suka rela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan,
maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu. Metode ini dipakai dengan
pertimbangan bahwa hampir seluruh bahan yang menjadi rujukan (historiografi) berbentuk
literatur, dengan berbentuk deskriptif analitis.
Penelitian ini dilakukan dengan Pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap peraturan-peraturan, putusan pengadilan dan literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.6 Penulis akan mengkaji mengenai lebih pada Peranan Pengadilan

3
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2000), hlm.118.
4
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama (Bandung: CV Mandar Maju, 2014), hlm. 8.
5
Ibid, hlm. 8
6
Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali,
2001), 13–14; Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum (Citra Aditya Bakti, 2004), 123
Agama dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia secara historis, kontekstual dan
perkembangan kewenangan Peradilan Agama melalui beberapa Faktor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Pembaruan Hukum Islam


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga disebutkan sebagai untuk memperbarui
tindakan perbaikan. Ini akan membuat baru, memulai kembali, , mengganti dengan yang
baru dan memperbarui. Saat memperbarui , proses, tindakan , dan metode pembaruan 4
ditampilkan. Istilah lain yang dianggap setara dengan atau sering digunakan sehubungan
dengan Reformasi adalah “taj dîd7 dan reformasi 8”. Menurut Harun Nasution, reformasi
Islam diperlukan untuk menyesuaikan keyakinan agama Islam dengan perkembangan baru
disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.9
Menurut Yusuf al-Kardawi mengutip dari Abdul Manan, makna tajdid berusaha
mengembalikan ke keadaan semula sehingga tampak baru.10 Ini dilakukan dengan
memperkuat yang lemah, memperbaiki aktivitas usang , memperbaiki aktivitas yang rusak,
dan mendekati dalam bentuk pertama. Dengan kata lain, tajdid tidak mengubah atau
mengganti bentuk pertama dengan yang baru. Saat merenovasi (memperbarui) bangunan
lama sebagai spesifik, ini berarti mengizinkan entitas bangunan, properti, bentuk, dan
properti. hanya memperbaiki yang rusak, mendekorasi ulang, memperbaiki yang hilang, dan
mempercantik bagian yang hancur. Oleh karena itu, hancurkan gedung lalu perbarui alih-alih
menggantinya dengan gedung baru lainnya. Demikian pula tajdiddud din bukan berarti
mengganti din, , tetapi kembali ke keadaan Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, dan
Tabiin.11
Menurut Abdul Manan, pembaruan syariat Islam dilakukan sepenuhnya secara
sungguh-sungguh oleh mereka yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk
mengembangkan syariat Islam (mujdahid) dengan cara tertentu melalui proses tertentu.
Bijaksana didasarkan pada aturan hukum Islam bahwa dibenarkan, membuat hukum Islam
terlihat lebih segar dan lebih modern daripada usang. Ini disebut "Ijtihad" dalam terminologi
ushul fiqh.12 Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam baik dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengembangkan hukum Islam (tidak ada

7
Tajdîd merupakan bentuk masdar dari kata jaddada-yujaddidu-tajdîdan. Jaddada-yujaddidu artinya
memperbarui.
8
Reformasi berasal dari Bahasa Inggris “reformation” yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Jhon
Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Cet. XX; Jakarta: PT. Gramedia, 1992), 437. Reformasi juga
bisa berarti perubahan secara radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, dan agama) tanpa kekerasan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 826
9
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. XII; Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 11-12.
10
Lihat Yusuf al-Qardhâwi, Min Ajli Shahwatin Râsyidah Tujaddidud-din, Terjemahan Nabhani Idris, Fiqh Tajdîd
dan Shahwah Islamîyah (Jakarta: Islamuna Pers, 1997), h. 28-29
11
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 150
12
Ibid., H.17
persyaratan sebagai Musitahid), atau tidak didasarkan pada sistem yang benar. Aturan
hukum, , bukanlah reformasi hukum Islam .
Reformasi hukum Islam yang disebutkan oleh pembicara dalam tulisan ini
menggunakan pengembangan dan amandemen hukum yang dilakukan oleh dalam sistem
yang benar. aturan yang menetapkan hukum instinbath, , ketentuan hukum, dan hukum tanpa
hukum, dimana hukum sudah sulit diterapkan karena kondisi temporal dan sosial yang
berbeda. belum. Oleh karena itu, perlu untuk mengidentifikasi perkembangan hukum dan
amandemen dari ketentuan hukum yang ada secepat mungkin.

Ijtihad Sebagai Metode Pembaruan Hukum Islam


Ide-ide ijtihad dalam mereformasi hukum Islam mencakup dua hal: Pertama,
kekokohan agama dalam menyebutkan subjek dimaksudkan sebagai rahmat bagi umat. Oleh
karena itu, mujtahid dapat memberikan interpretasi secara bebas, dan , melalui proses , sesuai
dengan kehendak agama, Ijtihad, Analogi, Maslahat Mursara, Istihsan, Istihsan, , dll akan
terwujud. Kedua, saya akan menjelaskan teks Zanni dengan cara yang dapat dipahami baik
dari segi arahnya (hadits Nabi umumnya seperti itu) dan Zanni. 13 Seperti , diketahui bahwa
beberapa undang-undang dirinci dalam Al-Qur'an dan hadits, tetapi sejumlah besar dokumen
hukum tidak secara eksplisit dan rinci menggambarkan dalam Al-Qur'an atau hadits, tetapi
pada dasarnya bersifat global. Oleh karena itu, untuk menjelaskan hukum yang bersifat
umum, dibutuhkan pemikiran sarjana hukum Islam, dan untuk menciptakan hukum yang
sesuai dengan keadaan, diperlukan, yang memenuhi syarat-syarat kepentingan umum. .
Menurut Ibrahim Husen14, peran Ijtihad di secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
aspek. .. Metode ini dilaksanakan setelah memeriksa status Ammkah atau Istimewa, Muthlaq
atau Muqayyad, Naskh atau Mansukh , dan Halhal lainnya yang berkaitan dengan
pengucapan. Kedua, ijithad dilakukan untuk mengekstraksi hukum yang tersirat dari jiwa dan
ruh Nash dengan terlebih dahulu menelaah apa itu illat hukum Nash. Cara ini disebut qiyas.
Ketiga, Ijtihad dilaksanakan untuk mengekstraksi UU dari aturan umum yang diambil dari
Darryl Darryl yang tersebar.
Ada dua hal khusus yang perlu diperhatikan agar ijschtihad dibenarkan oleh ahli
hukum Islam untuk berperan dalam reformasi hukum Islam. .. Memenuhi kualitas mujtahid.
Kedua, pembaruan dilakukan jika diizinkan oleh syara`15. Oleh karena itu, peran Mujtahid
dalam reformasi hukum Islam sangat bergantung pada kemampuan Mujtahid dalam
menjalankan kemampuan mempelajari hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan
hadits (Istimbus).
Sebagai bagian dari reformasi syariat Islam, Ijtihad mutlak diperlukan untuk
memecahkan masalah-masalah baru dengan cara yang benar. Masalah ini sangat penting
karena tidak semua masalah yang muncul saat ini memiliki ketentuan hukum yang jelas

13
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 161, mengutip dari tim Dirasah Islamiyah UIJ, Ibadah
dan Syariah (Jakarta, 1978), h. 158-159.
14
Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan, Masalah Perkawinan (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), h. 15-16.
15
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 162 mengutip pendapat Amad Munif Suratmaputra,
Filsafat Hukum Islam al-Gazhali, Maslahah Mursalah, dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 169.
dalam Alquran, hadits, Ijma , dan Qiyas. Sebagai bagian dari reformasi hukum Islam, ijtihad
telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan di zaman modern ini. Hukum Islam tetap ada
dan tanpa penundaan semua masalah mengikuti evolusi , sebagaimana Ijtihad dilaksanakan
untuk memberikan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi umat Islam, saya harap itu
bisa diselesaikan.

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pembaruan Hukum Islam


Pada dasarnya proses pembaruan syariat Islam sudah berlangsung lama, prosesnya
berdasarkan kondisi dan keadaan, dan berdasarkan pedoman waktu itu. Menurut beberapa
ahli, norma-norma yang terdapat dalam kitab hukum Islam klasik memberikan jawaban dan
solusi atas berbagai persoalan baru yang muncul ketika kitab hukum Islam itu ditulis, karena
sudah tidak memungkinkan lagi. Masalah belum terjadi. Contohnya termasuk pernikahan
melalui telepon, warisan hingga adopsi oleh wasiat paksa, manajemen zakat, wakaf tunai, dan
masalah baru. Oleh karena itu, negara harus membuat aturan yang mengatur urusan baru
dalam bentuk dekrit yang dapat memberikan solusi agar tidak menimbulkan kebingungan
bagi kotamadya ketika diterapkan.
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang terjadi
saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, untuk mengisi kekosongan
hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya,
sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum masalah yang baru terjadi itu sangat
mendesak untuk diterapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu
ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan
hukumnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang
kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. Keempat,
pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik
tingkat nasisonal maupun tingkat internasional, terutama hal-hal yang menyangkut
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.16
Menurut Abdul Manan, hak dan kewajiban untuk mereformasi hukum Islam telah
diambil alih oleh pemerintah, dan umat Islam wajib menunggu selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Alquran dan Sunnah. Ulama dikatakan mampu mereformasi syariat
Islam dengan melakukan Ijtihad secara individu dan kolektif (MUI, NU, Muhammadiyah,
dll) 17. Dari ormas dan lembaga Islam yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
melaksanakan Ijtihad, diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang muncul di masyarakat
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan lebih baik. bahkan dapat dikatakan
sangat kompleks, karena masalah sosiologis dan keagamaan masyarakat yang dihadapi umat
semakin kompleks, dan orang atau kelompok yang mampu melakukan ijjhtihad adalah bagian
darinya. yang harus dipertimbangkan. Ijtihad perlu dilaksanakan secara massal, menggunakan
berbagai bidang yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, pemerintah dan
ulama perlu menyikapi dan mengantisipasi dengan lebih baik berbagai persoalan sosial
keagamaan yang mungkin dihadapi masyarakat (Muslim).

16
Ibid. hlm 154
17
Ibid. hlm 154-155
Imam Shaukani menyatakan bahwa hukum Islam sebagai sistem sosial memiliki dua
fungsi. Dan kedua sebagai proses nilai-nilai baru dan perubahan sosial 18. Fungsi pertama dari
hukum Islam adalah sebagai kontrol sosial atas orang, sehingga mereka yang bertindak
menjauhkan dari hukum Islam sebagai pedoman dan dari rel Syariah. Kedua Hukum Islam
sebagai produk sejarah diciptakan dalam batas-batas tertentu untuk membenarkan tuntutan
perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, syariat Islam harus mengatasi masalah
orang tanpa kehilangan prinsip dasarnya. Jika tidak, hukum Islam bisa mandul.
Noel J. Coulson menyatakan bahwa pembaruan hukum Islam memanifestasikan
dirinya dalam empat bentuk , seperti yang dikutip oleh Amir Mu'alim dan Yusdani dalam
bukunya Konfigurasi Pemikiran tentang Hukum Islam.
1. (Dalam Konstitusi) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara
yang disebut Doktrin Siyasa.
2. Fakta bahwa umat Islam tidak berkomitmen hanya pada satu Fakultas Hukum
tertentu disebut Pendidikan Takayul (Pilihan), nama yang paling dominan di
masyarakat.
3. Kemajuan hukum dalam harapan Kemajuan dalam peristiwa hukum baru. Ini
disebut Doktrin Tatbiq (Menerapkan Hukum pada Peristiwa Baru).
4. Perubahan dari hukum lama ke hukum baru disebut doktrin Tajed
(reinterpretasi).19
Adanya faktor penyebab terjadinya revisi syariat Islam telah membawa berbagai
perubahan tatanan sosial umat Islam baik dari segi ideologi, politik, masalah sosial, budaya,
dan sebagainya. Faktor-faktor ini telah menciptakan total tantangan baru. Ini harus dijawab
sebagai Bagian , yang berkaitan erat dengan pembaruan pemikiran hukum Islam18. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi munculnya berbagai masalah dalam hukum Islam yang tidak
ada hukum yang spesifik, bagaimanapun, Ijtihad dilakukan pada dan orang-orang dengan
keterampilan dan otoritas dalam Ijtihad harus dilakukan oleh. Kami akan dapat memberikan
solusi untuk masalah baru.
Abdul Manan memberikan langkah-langkah berikut untuk memprediksi faktor-faktor
yang menyebabkan berbagai masalah baru yang belum terselesaikan dalam Hukum Islam .
1. Melakukan studi komprehensif dari semua tradisi Islam dalam Berbagai aspek;
2. Gunakan penelitian ilmiah modern tanpa mengabaikan khazanah spiritual Islam
3. Sertakan isu terkini dalam pertimbangan ketika menafsirkan Al-Qur'an dan Sunnah.
4. Mengembangkan fikih Islam dengan memperbaharui secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama dalam Ijhtihad dan menciptakan bahan hukum sesuai dengan
modernisasi yang sedang berlangsung di masyarakat Islam.
5. Mengintegrasikan pandangan pemikiran antar sekolah tentang berbagai persoalan
hukum yang serupa dan identik untuk kepastian hukum. Hal ini dapat dilakukan jika
semua pihak menganggap fiqh sebagai satu kesatuan .

18
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, h. 22. Bandingkan dengan Mochtar
Kusuma Atmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Putra A. Bardin, 2000) dan
Mochtar Kusuma Atmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung:Bina cipta,
1986). Selain dari dua fungsi tersebut, maka hukum juga berfungsi sebagai pemberi kesejahteraan kepada
masyarakat.
19
Amiur Mu’alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 15.
6. Zaman sekarang disebut zaman spesialisasi dan disiplin kritis karena tidak mungkin
para sarjana hukum membicarakan semua bidang zaman sekarang .
Di bidang amandemen hukum Islam , Ijtihad harus terus dilaksanakan agar mampu
memberikan solusi hukum atas persoalan baru yang muncul.

Pembaruan Hukum dalam KHI


Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi acuan hakim Peradilan Agama sejak
awal pembuatannya bukan sebagai hukum Islam yang final, Ide pembentukan KHI berawal
dari perbedaan acuan para ulama dalam menentukan suatu perkara berdasarkan hukum Islam,
sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di berbagai tempat. Makanya, KHI dibuat
sebagai upaya untuk menyeragamkan hukum Islam di Indonesia disamping agar fiqih Islam
yang semula berada dalam posisi “ideal dan melangit” agar menjadi “law in action” dalam
nuansa ke-Indonesiaan. Karena itu dalam KHI dapat ditemukan hukum-hukum “baru” yang
berbeda dengan wacana fiqih yang telah ada. Disinilah tampak adanya pengaruh hukum adat
dan sosial terhadap ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam KHI. Hal-hal yang baru dan
perlu dikaji adalah :
1. Kawin Hamil
Masalah kawin dengan wanita hamil merupakan problematika kontroversial yang
panjang di kalangan fuqoha’. Dalam KHI tentang Kawin Hamil dituangkan dalam pasal 53
Bab VIII, disebutkan :
Ayat (1). Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
Ayat (2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Ayat (3). Dengan dilansungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
KHI dalam hal ini hanya mengatur perkawinan wanita hamil di luar nikah. KHI tidak
membedakan apakah wanita yang hamil diluar nikah tersebut akibat perzinahan atas dasar
suka-sama suka atau dari sebab perkosaan. Demikian juga dengan laki-laki yang menjadikan
ia hamil atau bukan tidak disebutkan secara jelas.
2. Harta Bersama (Gono-gini/Bali Roso)
Baik Al-Qur-an dan Hadits secara ekplisit tidak menerangkan hukumnya dalam
masalah ini sehingga tidak dikenal dalam pembahasan fiqih klasik. Sementara itu dalam
realitas sosial harta gono-gini telah menjadi suatu hukum atau aturan yang hidup dan
dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Poin yang paling menarik adalah pasal 96
ayat (1) yang menyatakan: “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama”. Perhatian KHI terhadap hukum kewarisan/pembagian
“harta bersama” dilandasi fakta yang berkembang dewasa ini, sekarang wanita (istri) sudah
banyak membantu suami untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah-
tangganya bersama-sama suami atau dalam pengumpulan harta. Bahkan tidak menutup
kemungkinan penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suaminya. Maka untuk memenuhi
rasa keadilan KHI mengadopsi sistem Legietieme Fortie dengan modifikasi yakni
memperhitungkan lebih dahulu harta bagian dari harta “gono-gini” lalu kemudian sisanya
adalah merupakan tirkah (harta peninggalan) yang harus dibagi waris kepada yang berhak.
Ketentuan KHI diatas merupakan fenomena modifikasi dari unsur-unsur hukum adat,
hukum barat, serta kenyataan sosial dari keadaan wanita Indonesia dewasa ini karena dalam
fiqih klasik tidak membedakan antara harta yang didapat dalam perkawinan dengan harta
bawaan. Ketentuan fiqhiyah semacam ini di Indonesia sebelumnya telah didialogkan oleh As-
Syaikh Arshad Al-Banjari dalam kitabnya Sabilul al-Muhtadin, akan tetapi fenomena ini
terpendam dari wacana fiqhiyah Indonesia karena kitab ini tidak termasuk 13 kitab yang
dijadikan rujukan bagi para hakim Jawatan Peradilan Agama pada era 1957an.
Pelembagaan Legietieme Fortie tidak terlepas dari maksud untuk lebih melengkapi
sistem hukum kewarisan Islam di Indonesia. Sekiranya lembaga harta bersama ini
dicampakkan begitu saja atas dasar dan alasan karena tidak dijumpai nashnya dalam Al-qur-
an dan As-Sunnah, hal ini akan merusak tatanan kehidupan kemasyarakatan dan mengusik
rasa keadilan karena mengabaikan persamaan hak dan derajat suami-istri. Bahkan tidak
menutup kemungkinan akan menimbulkan diskriminatif dan kemudlaratan dalam berbagai
bentuk. Dari sisi ini KHI sekaligus telah menggunakan al-Maslakhatul Mursalah, Syadzdzu
Dzara’I dan al-‘Aadah Muhakkamah.
3. Melembagakan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling)
Pelembagaan ahli waris pengganti (Plaatsvervulling) dalam KHI dituangkan dalam
pasal 185 berbunyi : (1). Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173;
(2). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti; Keberadaan “cucu” yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari
pewaris menurut fiqih klasik utamanya dari madzhab sunny akan terhijab hirman bilamana
keberadaan bersama-sama dengan “anak laki-laki”, tidak adil dan tidak manusiawi jika dalam
kondisi “cucu” yang hanya karena taqdir Allah semata orang tuanya yang semestinya
mendapat warisan tetapi ia meninggal lebih dahulu dari pewaris (Nenek/Kakek). Apalagi jika
faktanya “cucu” tersebut sedang dalam keadaan yatim.
Bila tetap berpegangan dengan madzhab sunny, maka fiqih Islam dirasakan seperti
jauh dari rasa keadilan dan perikemanusiaan. Semangat untuk membela dan melindungi hak
cucu tersebut jauh sebelumnya telah diupayakan oleh negara-negara Islam lain seperti Mesir,
Syria, Maghribi, Kuwait, Pakistan dan Libanon. Khususnya Mesir dalam memecahkan
masalah “cucu” ini memilih jalan dengan “Wasiyat Wajibah” bahkan telah diundangkan
sejak tahun 1946 dengan Undang Undangnya Nomor 71, sedangkan Pakistan dengan jalan
“penggantian tempat”.
Pelembagaan penggantian tempat (plaatsvervulling) dalam KHI dilakukan dengan
cara modifikasi, artinya : Pelembagaannya melaui hukum adat, secara tegas menerima
kompromi yuridis waris pengganti baik bentuk dan perumusannya, acuan penerapannya
bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang diganti, jika waris
pengganti seorang saja bersama dengan saudara perempuan ayahnya ( bibi ) maka bagian ahli
waris pengganti tidak boleh lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta
warisan dibagi dua antara ahli waris pengganti dengan bibinya. Kesemuanya itu adalah
merupakan wacana baru bagi fiqih Indonesia
4. Pelembagaan Wasiat Wajibah bagi Waris Anak Angkat dan Ayah Angkat
Hak waris anak angkat atau ayah angkat oleh KHI dikonstrusi sebagai penenerma
waris dengan jalan wasiat wajibah. Dalam fiqih klasik anak angkat tidak memiliki posisi yang
sama dengan anak kandung dalam kaitannya dengan kewarisan karena anak angkat tidak
memiliki hubungan nasab dengan famili yang mengangkatnya berdfasarkan Q.S. 4 : 11- 12.
Karenanya fiqih klasik tidak memberikan hak waris walaupun sedikit, kecuali atas
kemurahan ahli waris dengan status pemberian. Sikap sebaliknya adalah hukum barat
berdasarkan Staatblat 1917 Nomor 129 yang pernah berlaku di Indonesia pada pasal 12
menyatakan tentang persamaan status anak angkat dengan anak kandung, menempatkan anak
angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya seperti anak kandung sendiri. Kemudian
pada pasal 14 lebih dipertegas lagi dengan mengatakan putusnya hubungan anak angkat
dengan orang tua kandungnya. Ketentuan ini semula bagi orang Tionghoa yang berada di
Indonesia.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari banyak warga yang bukan Tionghoa
mengikuti dan malaksanakan ketentuan tersebut.20 Dengan mempertimbangkan praktek
hukum adat tentang kewarisan anak angkat, maka kemudian KHI berkompromi untuk
memutuskan sebagaimana tertuang dalam pasal 209 yang berbunyi sebagai berikut:
(1). Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal
193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;
(2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pasal tersebut semula merupakan pasal yang paling mendapat tantangan dari ulama
Indonesia. Hal tersebut karena begitu jelasnya Al-Qur-an memberikan pengajaran tentang
peristiwa Zaid bin Haritsah sebagaimana disebut dalam Q.S. Al Ahzab ayat 40. Bertitik tolak
dari sikap reaktif para ulama’ dimaksud penulis KHI tidak perlu melangkah lebih jauh dari
koridor ijma’ ulama’ Indonesia. Karenanya meskipun hukum adat yang telah meresipir
hukum barat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung,
namun KHI tidak mengadaptasi secara menyeluruh tetapi cukup mengkompromiikannya
dengan menempatkan status anak angkat sebagai “penerima wasiat” (bukan ahli waris) yang
bila dilalaikan maka wasiat tersebut harus dianggap “ada demi hukum” dengan istilah
“Wasiat Wajibah”.
Dengan demikian status anak angkat pada hakikatnya berada diluar ahli waris.
Ketentuan KHI tersebut jelas sekali merupakan implikasi dari pengaruh hukum adat yang
hidup dalam masyarakat kedalam hukum Islam di Indonesia. Hal ini memiliki makna yang
cukup besar terhadap pembangunan kepastian hukum pada level teoritis maupun praktek,
suatu hal yang sebelumnya sangat rancu dan membuka penafsiran karena pluralnya rujukan
dan tiadanya referensi khusus.

20
R. Wiryono prodjodikoro, Hukum Perkawianan di Indonesia, Sumur Bandung, 1974, hal 99
Dalam perspektif sosiologis, karena hukum dapat digunakan untuk merekayasa sosial
untuk membentuk dan mewujudkan tatanan sosial yang baru dan pemikiran hukum yang
lebih fleksibel, aplikatif dan adaptif dengan kondisi keIndonesiaan. Maka dapat ditafsirkan
bahwa KHI merupakan sebuah upaya untuk mengantarkan masyarakat Muslim Indonesia
sekaligus meyakinkan masyarakat muslim bahwa hukum Islam dapat mmenjawab dan
menangani masalah-masalah aktual dan modern
Peranan Pengadilan Agama dalam Pembaruan Hukum Islam
Sejak lahirnya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi perubahan hukum
yang sangat signifikan dalam hukum Islam di Indonesia. Pemberlakuan undang-undang
tersebut ditandai dengan dikeluarkannya PP No. 9 Tahun 1975. Pemberlakuan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan diikuti dengan ditetapkannya Inpres Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang KHI. Munculnya beberapa undang-undang yang menampung hukum Islam
membawa angin segar tentang pembaruan hukum Islam di Indonesia. Pembaruan yang ada
berkaitan hukum keluarga yang dulunya dalam bidang fikih kemudian dimuat dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi hukum nasional.
Reformasi hukum Islam di bidang hukum keluarga diperlukan . Karena nilai yang
terkandung dalam buku Fikufu tidak dapat lagi memecahkan berbagai masalah modern yang
tidak muncul pada saat buku Fikufu ini ditulis. Beberapa nilai fikih yang dimutakhirkan
sebagian akan menjadi peraturan perundang-undangan positif Indonesia dan akan dijadikan
acuan oleh hakim agama dalam pengambilan keputusan.
Beberapa Pengadilan Agama untuk Mengubah Hukum Islam di Indonesia :
1. Putusan Pengadilan Agama di Jakarta Selatan No. 1751 / P / 1989
Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutuskan dan melahirkan hukum baru yang
tidak diatur dalam kitab fikih dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di
Indonesia, bahwa perkawinan yang dilangsungkan melalui telepon sah. Putusan ini telah
memberikan nuansa baru dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang pada awalnya tidak
begitu direspon oleh masyarakat, tetapi sekarang telah banyak diikuti umat Islam di Indonesia
untuk melaksanakan perkawinan apabila mengalami kesulitan dalam akad nikah. Sehingga
putusan pengadilan agama ini dapat memberikan nuansa dalam pembaruan hukum Islam di
Indonesia.
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 51.K / AG/1999
Mahkamah Agung memutuskan bahwa ahli waris non muslim berhak mendapatkan
warisan berdasarkan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris lain yang
beragama Islam. menempatkan ahli waris non muslim sejajar dengan ahli waris muslim
merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia.
3. Mahkamah Agung RI No. 131.K/ AG/1992
Mahkamah Agung memutuskan bahwa harta wakaf tidak dapat ditukar atau dijual
dengan benda lain, tetapi jika terpaksa harus ditukar atau dijual karena karena tidak ada
manfaatnya lagi atau tidak strategis lagi, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan
pasal 47 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang pelaksanaannya
dituangkan dalam PP No 28 Tahun 1977 tentang perwakafan.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi ke-4 No.46/PUUVIII/2010
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmupengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
menurut MK pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan
“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” bertentangan dengan UUD 1945, sehingga apabila dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya menurut hukum
ternyata memiliki darah dengan ayahnya, maka dapat diakui memiliki hubungan perdata ayah
biologis dan keluarga ayah biologisnya

KESIMPULAN
Konsep pembaruan hukum Islam di Indonesia banyak dilakukan melalui hasil ijtihad para
hakim dan kajian ilmiah dalam bidang al-ahwal al-Syakhsiyah dan ekonomi Islam. Faktor-
faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum, antara lain: adanya perubahan kondisi, situasi,
tempat, dan waktu,untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat
dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum
masalah baru sangat mendesak untuk diterapkan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik sebuah benang merah, yaitu:
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum, antara lain: adanya perubahan
kondisi, situasi, tempat, dan waktu,untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-
norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan
masyarakat terhadap hukum masalah baru sangat mendesak untuk diterapkan,
pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK, terutama masalah-masalah yang belum ada
aturan hukumnya, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan
peluang kepada hukum Islam sebagai bahan acuan dalam membuat hukum nasional,
pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujathid,
terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Konsep pembaruan hukum Islam di Indonesia banyak dilakukan melalui perundang-
undangan dan putusan pengadilan agama sebagai hasil ijtihad para hakim. Di samping
itu perguruan tinggi berbasis Islam juga turut berperan dalam pembaruan hukum
Islam di Indonesia, misalnya kajian ilmiah dalam bidang al-ahwal al-Syakhsiyah dan
ekonomi Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Bandung: CV Mandar Maju, 2014.
al-Qardhawi, Yusuf, Min Ajli Shahwatin Rasyidah Tujaddiduddin, Terjemahan Nabhani
Idris, Fiqh, Tajdid dan Shahwah Islamiyah, Jakarta: Islamuna Pers, 1997
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1994
Hasan Basri, Cik Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 2000
http//Dinamika-hukum-Islam-Indonesia.com. diakses pada tanggal 15April 2015
Husen,Ibrahim,Fiqh Perbandingan, Masalah Perkawinan, Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003.
Mu’alim, Amiur dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press,
2005
Nasution, Harun,Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. XII; Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Nasution,Zaenuddin,Pembaruan Hukum Islam dalam Mzahab Syafi’i, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001.
Soekanto, Soerjono and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat
Jakarta: Rajawali, 2001, 13–14; Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian
Hukum Citra Aditya Bakti, 2004.
Thaib, Hasballah,Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, makalah disampaikan
pada acara seminar para Hakim dan Panitera Peradilan Agama se-Sumatera Utara di
Medan tanggal 12 Juni 2002

Anda mungkin juga menyukai