1. Menggauli perempuan dengan akad yang tidak sah, seperti nikah tanpa
saksi.
2. Menggauli perempuan dengan dasar syubhat, seperti tergantinya dengan
perempuan lain yang bukan istrinya, dan dia diberitahu bahwa wanita itu
adalah istrinya,lalu laki-laki tersebut menggaulinya, berdasarkan hal
itu,kemudian perempuan itu menjelaskan bahwa dia bukan istrinya yang
dinikahkan dengan laki-laki tersebut, sedangkan laki-laki tersebut tidak
melihatnya, dan dia yang disebut perempuan mazfufah.
3. Demikian pula menurut Imam Hanafi, beranggapan zina adalah mencium
dan menyentuh dengan syahwat. Mereka berkata: Larangan semenda
dibuktikan dengan sebab zina, menyentuh, dan melihat ketika tidak ada
hubungan pernikahan, kepemilikan serta wato’ syubuhat. Sebagai bentuk
penjagaan karena menyentuh dan melihat adalah alasan yang mengundang
untuk mewato’, oleh karena itu menyentuh dan melihat dapat mengarah
kepada zina. Dan Imam Hambali menghubungkan homoseksualitas pada
perbuatan perzinahan, dan mereka berkata: Larangan murni, yaitu
perbuatan zina, yang mana perbuatan zina membuktikan adanya
keharaman. Dan tidak ada perbedaan antara zina qubul dan dubur karena
berkaitan dengan keharaman jika dilakukan pada istri dan budak wanita.
Dan seandainya dia menggauli dengan anak laki-laki, maka keharaman itu
juga berlaku dengannya, maka haram bagi laki-laki gay tersebut menikahi
ibu dari anak laki-laki yang digaulinya dan anak perempuannya, dan untuk
anak laki-laki haram menikahi ibu dari laki-laki gay dan anak
perempuannya karena dia melakukan senggama difaraj, maka keharaman
ejakulasi sama seperti menggauli dengan seorang perempuan, dan karena
dia adalah putri dan ibu laki-laki yang digauli, maka keduanya haram
untuk dinikahi laki-laki gay, sama seperti jika dia yang melakukan zina
dengan perempuan. Konsekkuensi berdasarkan pendapat ini: Diharamkan
bagi seorang laki-laki untuk menikahi anak perempuannya dari hasil zina
1
dan saudara perempuannya dan cucu perempuan dari anak laki-lakinya dan
cucu perempuan dari anak perempuannya dan anak perempuan dari
saudara laki-laki dan saudara perempuannya sebab zina, dan diharamkan
juga menikahi ibu serta neneknya. Seandainya suaminya berzina dengan
ibu istrinya atau putrinya, maka bagi suami haram menikahi istrinya
selama-lamanya.
Mereka berdalil dengan 2 dalil:
1. Pada satu riwayat ada seseorang laki laki berkata kepada Nabi “Wahai
Rasullullah sungguh aku berzina dengan seorang perempuan di masa
jahiliah, apakah boleh aku menikahi anak perempuannya? berkata
Nabi:”Tidak berpendapat aku demikian, tidak pantas apa yang kamu
perbuat kepadanya dan kamu perbuat ke anaknya.”Namun hadis ini
mursal dan munqoti’ sebagaimana mengatakan Ibnu Himam di dalam
kitab Fathul Qodir.
2. Sesungguhnya perbuatan zina menyebabkan ada anak, dan dapat
menyebabkan keharaman mushaharah, dikiyaskan dengan yang bukan
zina, dan keadaan zina tidak memberi pengaruh sebab keharaman
musaharah, dengan dalil sesungguhnya mendukhul perempuan berdasarkan
akad yang rusak membuktikan keharaman mushaharoh dengan
kesepakatan ulama sekalipun perbuatan mendukhul itu haram. Pengkiasan
ini ditolak sebab kias ma’alfaariq, karena perbuatan zina itu wajib had dan
tidak ada ketetapan nasab. Berbeda dengan wato’ pada nikah, dalam
perkara ini Imam Syafi’i berpendapat kepada Muhammad bin Hasan
“Bahwa sesungguhnya pernikahann itu perkara yang terpuji sedangkan
zina perbuatan yang dilaknat. Maka bagaimana keduanya bisa serupa?.”
Berpendapat Syafi’iyah dan Malikiyah berdasarkan pendapat yang
masyhur: Perbuatan zina dan melihat dan menyentuh tidak menjadi penyebab
keharaman semenda (mushoharoh), seandainya seseorang berzina dengan
perempuan maka tidak diharamkan untuk menikahinya, dan juga tidak
diharamkan untuk menikahi ibu beserta anaknya. Sekalipun laki laki tersebut
berzina dengan ibu istrinya (mertuanya) atau anaknya, maka tidak diharamkan
2
menikahi istrinya. Begitu juga jika dia homoseksual dengan seorang anak laki laki
maka tidak diharamkan menikahi ibunya anak laki laki tersebut dan anaknya,
semua kasus tersebut hukumnya makruh.
Mereka berdalil dengan 4 dalil.
1. Bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki
berzina dengan perempuan kemudian laki-laki tersebut ingin menikahinya
atau menikahi anak dari perempuan tersebut kemudian Nabi SAW
berkata :“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal yang
bisa hanya haram sebab hubungan pernikahan.” Sebagaimana berkata
Imam Damiri : Menurut mazhab Syafi’i bahwa hadis ini menunjukkan
perempuan yang disenggama secara zina maka perbuatan zina dengannya
tidak menetapkan keharaman mushaharah. Oleh karenanya laki-laki yang
menggaulinya secara zina boleh menikahi ibu dan anaknya. Hal ini
didukung oleh hadits lain, antara lain: “Pezina yang dicambuk tidak
menikah kecuali yang sejenis.” Dan Nabi SAW berkata kepada seorang
pria yang ingin menikahi seorang pezina: “Pezinah hanya menikah
dengan pezinah atau musyrik.”
2. (Mushaharah) adalah suatu nikmat. Karena menghubungkan orang asing
dengan kerabat, dan di dalam hadits: “ Semenda adalah suatu ikatan sama
seperti ikatan nasab”, dan zina dilarang oleh Syari’at, jadi itu bukan alasan
bentuk dari suatu nikmat.
3. Tujuan ditetapkan keharaman semenda untuk memutuskan ketamakan
antara laki-laki dan perempuan agar terwujud kelembutan dan kasih
sayang dan hubungan yang bersih tanpa ada kehancuran. Adapun secara
syariat bagi orang yang berzina dengan seorang perempuan maka
perempuan itu termasuk sebagai orang lain bagi laki-laki tersebut dan tidak
ada ketetapan nasab dan tidak berlaku diantara keduanya warisan dan tidak
keharusan menafkahinya dan tidak ada jalan untuk menemui perempuan
tersebut karena dia dihukumi sama seperti seluruh ajnabi, oleh karena
perzinahan tidak menyebabkan keharaman semenda (mushaharah).
3
4. Firman Allah Ta’ala : { [ }وأحل لكم ما وراء ذلكم4 7/24:]النساء. Artinya :”Dan
sepersususan apa yang diharamkan dari nasab.” : «يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
4
» Sebagaimana haram menikahi kerabat sepersusuan, haram pula menikahi
5
7. Istri dari anak laki-laki (menantu) dan istri cucu dari anak perempuan
maupun laki laki sepersusuan dan keturunannya, baik mereka sudah
menggauli istrinya atau belum, maka suami dari istri yang menyusui
haram menikahi istri dari anak laki lakinya sebagaimana diharamkan
menikahi istri dari anak-anak.
8. Anak perempuan istri sebab menyusui dan keturunannya, haram untuk
dinikahi, jika sang istri sudah digauli, seandainya istri tersebut belum
digauli maka suaminya tidak haram menikahi anak perempuan
sepersususan dan keturunananya.
Perbedaaan Hukum Sepersususan Dan Hukum Nasab.
Pengecualian Imam Hanafi pada dua keadaan keharaman sebab nasab
tidak berlaku pada sepersususan, keduanya itu:
1. Ibu dari saudara laki-laki atau perempuan persususan: diperbolehkan
menikahi ibu sepersusuan, tetapi tidak diperbolehkan menikahi ibu dari
saudara laki-laki atau perempuan dari garis keturunan ayahnya (saudara
seayah), seperti jika seorang wanita menyusui seorang anak, dan dia
memiliki seorang anak laki-laki dari garis keturunan (anak kandung),
maka anak laki-laki sepersusuan boleh menikah dengan ibu dari anak laki-
laki kandung tersebut, yang merupakan ibu dari saudara laki-laki
sepersusuan. Dan alasan tidak diperbolehkan menikahi ibu dari saudara
seayah karena ibu dari saudara laki-laki atau perempuan dari garis
keturunan adalah ibunya, jika mereka adalah dua saudara kandung atau
dua saudara seibu, atau dari istri ayahnya yaitu saudara laki-laki seayah,
maka tidak dianggap saudara sepersusuan.
2. Saudara perempuan dari anak laki-laki atau dari anak perempuan yang
disusui diperbolehkan bagi ayah untuk menikahinya, tetapi tidak boleh
menikahi saudara perempuan dari anak laki-laki atau perempuannya
melalui hubungan darah. Seperti, jika seorang wanita menyusui seorang
anak, maka suami dari wanita ini boleh menikahi saudara perempuan dari
anak ini, dan ayah dari anak ini boleh menikahi anak perempuan dari ibu
sepersusuan. Dan haram menikah dengan saudara perempuan dari anak
6
laki-laki atau anak perempuan dari garis keturunan. Karena dia adalah
anak perempuannya atau anak perempuan istrinya yang sudah digauli, dan
kedua anak perempuan tersebut haram untuk dinikahi, dan ini tidak
termasuk sepersusuan.
Hukum Menikahi Saudara Perempuan Dari Saudara Laki-Laki Sepersusuan
Dan Ibu Dari Anak Yang Disusui Dan Ibu Sepersusuan.
Imam Hanafi menyebutkan juga laki-laki dibolehkan menikahi saudara
perempuan dari saudara laki-laki sepersusuannya, dan saudara perempuan dari
saudara laki-laki melalui garis keturunan, dan ibu dari anak melalui garis
keturunan, dan ibu persusuannya. Adapun gambaran menikah dengan saudara
perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan, yaitu seorang anak yang disusui
oleh seorang wanita, diperbolehkan bagi saudara laki-laki dari anak ini yang tidak
disusui untuk menikah dengan anak perempuan dari wanita tersebut, dan dia
adalah saudari perempuannya dari saudara laki-laki sepersusuan. Begitu juga
dengan saudara perempuan dari saudara perempuan sepersusuannya .
Adapun gambaran saudara perempuan dari saudara laki-laki senasab :
Seperti ada dua saudara laki-laki dari pihak ayah, dan salah satu diantara
keduanya memiliki saudara perempuan dari pihak ibunya, maka diperbolehkan
bagi saudara laki-lakinya yang seayah untuk menikahinya (saudara perempuan
seibu), dan dia perempuan adalah saudara perempuan dari saudara laki-lakinya
dari garis keturunan, karena tidak ada hubungan antara saudari perempuan seibu
dengan laki-laki tersebut, baik dengan garis keturunan maupun dengan menyusui,
melainkan dia adalah anak perempuan dari istri ayahnya. Demikian pula, jika ada
dua saudara laki-laki dari pihak ibu, dan salah satunya memiliki saudara
perempuan dari pihak ayah, maka diperbolehkan bagi saudara laki-lakinya dari
pihak ibu menikah dengan saudari dari pihak ayah.
Bagi suami dari ibu yang menyusui untuk boleh menikah dengan ibu
kandung anak susuannya. Karena anak itu adalah anaknya, sebagimana suami
tersebut boleh menikahi istrinya maka boleh juga bagi suami menikahi ibu dari
anak sepersusuannya. Begitu pula sebaliknya boleh ayah dari anak sepersusuan
7
tersebut menikahi ibu sepersusuannya karena dia adalah ibu dari anak laki-lakinya
melalui menyusui dan dia disamakan dengan ibu dari anak kandungnya.
8
mengharuskannya mengenyangkan. Perkara ini menurut mazhab Syafi'i
dan Hambali pendapat merekalah yang paling benar.
9
daging.” Karena pembentukan tulang dan tumbuhnya daging hanya untuk mereka
yang makanannya susu dan dengan itu ibu menyusui menjadi ibu dari bayi.
Karena air susu itu secara hakikatnya bagian dari perempuan tersebut. Dan Insya
Allah akan kami sebutkan pada pembahasan syarat-syarat keharaman sepersusuan
menurut ahli fiqih dan jalur ketetapan sepersusuan.
Macam Yang Kedua- perempuan yang diharamkan mua’qqotah (sementara
waktu)
Mereka adalah orang-orang yang untuk sementara waktu dilarang menikah
karena alasan tertentu, seandainya alasan tersebut dihilangkan maka hilang pula
keharaman, dan demikian itu ada lima golangan. Bercerai tiga kali, almasyghulah
(perempuan disibukkan) dengan hak suami lain dalam perkawinan atau iddah,
tidak seagama, saudara perempuan dari istri dan sejenisnya, menikahi lima
perempuan.
Hukum Suriah membatasi golongan perempuan mua’qqotah menjadi
empat golongan, dan tidak menyebutkan wanita yang tidak seagama sehingga
diatur dalam pasal 36-39.
Pasal 36 ayat 1- Suami tidak boleh menikahi istri yang sudah ditalak tiga
kali kecuali setelah habis masa iddahnya dari suami yang lain, dan sudah digauli.
Pasal 36 ayat 2- perempuan yang ditalak dari suami lain menghilangkan
talak dari suami yang berlalu, maka jika suami yang berlalu belum talak tiga maka
suami memilki tiga talak yang baru.
Pasal 37- Suami tidak boleh menikahi perempuan yang kelima sampai ia
mentalak salah satu dari empat istrinya dan habis masa iddanya.
Pasal 38- Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berstatus istri
orang lain dan masih dalam masa iddah.
Pasal 39- Tidak boleh menggabungkan dua perempuan jika masing-
masing dari mereka andaikata laki-laki maka diharamkan menikah satu sama lain
namun jika ada kebolehan pada pengandain tersebut, maka dibolehkan
menggabungkan dua orang perempuan.
Imam Hanafi menggolongkan perempuan yang dilaknat yaitu orang yang
dituduh berbuat maksiat oleh suaminya, atau suami tidak mengakui anak itu
10
adalah anaknya, kemudian mereka mengadu kepada hakim, dan mereka saling
baradu argument dihadapan hakim, sehingga keduanya bercerai. Maka laki-laki
tersebut haram menikahinya, dan seandainya laki-laki itu menyangkal dirinya dan
melepaskan tuntutan perempuan, maka pernikahannya dengan dia diperbolehkan
menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Dan Jumhur berkata: keharaman menikah
tersebut selama-lamanya, karena ada hadis Soheh “Seungguhnya dua orang yang
dilaknat keduanya tidak berkumpul selama-lamanya.”.
1. Perempuan yang ditalak tiga (talak Bain Qubroh) dinisbatkan kepada laki-
laki yang mentalaknya : Seandainya suami mentalak tiga istrinya maka
suami tidak boleh menikahinya sekali lagi kecuali jika dia sudah menikah
dengan suami yang lain dan habis masa iddahnya dari suami yang kedua,
dengan gambaran suami yang kedua menceraikannya karena kehendaknya
atau sebab ia wafat, kemudian suami yang pertama kembali dengan
pernikahan yang baru, Setelah si wanita mengalami dengan suami yang
lain, dan menjalani pengalaman yang lain, dan suami merasakan sulitnya
berpisah, maka mereka kembali kekehidupan bersama dengan semangat
dan halaman yang baru, dan si wanita bersegerah menyenangkan suaminya
dan menghindari sebab-sebab keretakan pernikahan sebelumnya. Dalil
kebolehan menikah dengan perempuan Mabtutah sebagaimana berfirman
dengan baik…”. Hingga berfirman Allah Ta’ala: فَ ِإ ْن طَلَّ َق َه ا فَاَل حَتِ ُّل لَ هُ ِم ْن
ِ ب ْع ُد حىَّت ٰ َتْن ِكح َزوج ا َغْي رهُ ۗ فَ ِإ ْن طَلَّ َق َه ا فَاَل جنَ اح َعلَْي ِهم ا َأ ْن يَتر ِإ
َ اج َع ا ْن ظَنَّا َأ ْن يُق
يم ا َ ََ َ َ ُ َ ًْ َ َ َ
ود اللَّ ِه
َ ُح ُد
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia nikah dengan suami
yang lain dan habis masa iddahnya.Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
11
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah...” [Al-Baqarah/2: 230].
Dalil syarat suami kedua menggauli wanita yang bercerai tiga kali: hadits
‘Usailah, Aisyah berkata: Istri Rifa'a Al-Qurazi datang menghadap Nabi SAW
dan dia berkata: Saya bersama Rifa'a, dan dia menceraikan saya, jadi perceraian
saya diputuskan., maka saya menikah dengan Abdul Rahman bin Al-Zubayr
setelah dia, tapi bersama dengannya seperti ujung pakaian. Dia berkata: Apakah
kamu ingin kembali ke Rif’ah? Tidak, sampai kamu mencicipi madunya, dan dia
mencicipi madumu. Di dalamnya dalil tersebut bahwa bersenggama dengan suami
kedua tidak boleh bagi suami pertama untuk menikahi perempuan tersebut kecuali
keadaan suami menggaulinya ejakulasi, menurut pendapat yang lebih benar dari
dua ucapan para ulama ketika seseorang menggaulinya tidak sampai ejakulasi atau
ia impoten atau seorang anak, maka suami kedua tidak dapat menikah dengan
perempuan itu.
Beberapa Syarat Kebolehan Perempuan Yang Ditalak Tiga Bagi Suami
Yang Pertama.
1. Perempuan yang ditalak tiga menikah dengan laki laki lain. Karena firman
12
wato’ adalah menghilangkan hasyfah di dalam faraj, Karena ketentuan
menggauli terkait dengan kehalalan. Dan jika memasukkan hasyfah tanpa
ejakulasi, maka tidak halal bagi suami yang pertama karena hukumnya
berkaitan dengan rasa madu, dan itu tidak terjadi tanpa adanya ejakulasi.
Dan bagi orang yang terputus zakarnya dapat terpenuhi dengan seukuran
hasyfah, dan boleh juga bagi orang berhubungan badan dengan khosi
(orang yang dikebiri), Karena dia mewato’ sama seperti fahal sebab dia
tetap bisa menjadi muhalil sedangkan dia hanya tidak bisa ejakulasimaka
dari demikian itu tidak bisa dijadikan patokan pada kebolehan menikah.
Dan Imam Hanafi menyatakan bahwa jika laki-laki menikah dengan pria
promiscuous (terputus zakarnya sama sekali), maka perempuan itu tidak
halal sampai dia hamil akibat terjadinya persetubuhan secara hukum
hukum, sehingga membentuk garis keturunan dari suami yang kedua.
Kaum Hanbali dan Maliki menetapkan syarat keempat: suami menggauli
istrinya dalam keadaan suci, jika menggaulinya pada waktu haid, nifas, atau salah
satunya ihram atau keduanya ihram, atau salah satunya puasa wajib, maka tidak
boleh suami pertama menikahinya karena mewato’nya itu adalah wato’ yang
diharamkan karena ada hak Allah Ta’ala, dan tidak mencapai kebolehan menikahi
bagi suami pertama, karena wato’ yang diharamkan sama seperti menggauli
dengan orang murtad, baik dia menggauli dengannya pada saat mereka murtad,
atau ketika perempuan tersebut murtad.
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak mengharuskan pada syarat yang
keempat, Imam Ibnu Qudama menyatakan bahwa pendapat ini betul Insya Allah
13
tinggal sedikit, atau jika dia menggauli istrinya yang sedang sakit yang dapat
merugikan istri tersebut.
14