Anda di halaman 1dari 2

Adab dan tata cara meminang/melamar dalam Islam Menurut Nabi

SAW(Wanita melamar laki-laki)

1. Melihat calon/ wanita. Melihat yang dimaksudkan disini adalah meliht diri wanita
yang ingin dinikahi dengan tetap berpanutan pada aturan syar’i ”Dari Anas bin
Malik, ia berkata,”Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang
perempuan. Lalu rasulullah Saw. Bersabda,”Pergilah untuk melihat perempuan itu
karena dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih membina
kerukunan antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi
perempuan itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu.(HR.
Ibnu Majah: dishohihkan oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada
misalnya diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Imam Nasai))
2. Tidak melamar wanita yang telah dilamar Lelaki lain (meskipun belum memberi
jawaban). Meminang/melamar ini berarti melamar secara resmi. Dari Abu
Hurairah, Ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh
meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya”(HR. Ibnu Majah)
3. Merahasiakan pelamarannya (tidak mengumumkan ke orang banyak) Dari Ummu
Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Kumandangkanlah
pernikahan dan rahasiakanlah peminangan”.
4. Wanita yang dilamar terbebas dari segala mawani` (pencegah) dari sebuah
pernikahan. Misalnya wanita itu sedang menjadi istri seseorang. Atau wanita itu
sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya, namun masih dalam masa `iddah.
Selain itu wanita yang dilamar tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang
masih menjadi mahram bagi seorang laki-laki. Maka di dalam Islam tidak dikenal
ada seorang laki-laki meminang adiknya sendiri, atau ibunya sendiri atau bibinya
sendiri.
5. Wanita melamar laki-laki Secara syar’i tidak masalah. ”Dari Tsabit, ia
berkata,”Kami duduk bersama dengan Anas bin Malik yang disebelahnya ada
seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata,” datanglah seorang perempuan
kepada Nabi SAW, lalu ia menawarkan dirinya kepada beliau, kemudian
perempuan itu berkata,”Wahai Rasulullah maukah tuan mengambil diriku?
Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk,”Betapa tidak malunya perempuan
itu!” Lalu Anas menjawab,”Perempuan itu lebih baik daripada kamu”. Ia
menginginkan rasulullah, karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR.
Ibnu Majah). Hal ini menunjukkan betapa hukum Islam sangat menjunjung tinggi
hak wanita. Mereka tidak hanya berhak dilamar tetapi juga memiliki hak untuk
melamar lelaki yang disukainya.
Friday, June 12, 2009

Tunangan, Khitbah, Melamar dalam Islam?

Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan bentuk
yang paling mendekatinya, barangkali yang paling mendekati adalah khitbah, yang
artinya meminang. Tetapi tetap saja ada perbedaan asasi antara tunangan dengan khitbah.
Paling tidak dari segi aturan pergaulannya. Sebab masyarakat kita biasanya menganggap
bahwa pertunangan yang telah terjadi antara sepasang calon pengantin sudah setengah
dari menikah. Sehingga seakan ada hukum tidak tertulis bahwa yang sudah bertunangan
itu boleh berduaan, berkhalwat berduaan, naik motor berboncengan, makan, jalan-jalan,
nonton dan bahkan sampai menginap.

Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari pihak calon suami kepada wali
calon istri yang intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus
dijawab iya atau tidak. Bila telah dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai
'makhthubah', atau wanita yang telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak
diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon
itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal
yang sejenisnya.

Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat
besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunagan
atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal
layaknya suami istri di depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai
mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah
jelas siapa yang harus bertanggung-jawab." Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu
tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar,
hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega
bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan,
bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang
nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi semangat
kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.

Jangan sampai nasib kita seperti nasib bani israil yang telah Allah kutuk lantaran
mendiamkan saja kemungkaran besar terjadi di depan mata. Sungguh malang nasih kita
bila hal itu sampai terjadi. Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang
mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS
Al-Maidah: 79)

Untuk lebih mendalami masalah pernikahan: mulai dari teknik menemukan jodoh,
menghadapi calon mertua, mengungkap sisi baik-buruk calon pasangan, memilih tempat
tinggal paska menikah, dan memanej pernikahan murah, barakah, dan syar'i. silakan baca
Buku "Menikah Dalam 27 Hari" Karya Muhammad Adzikra, Penerbit Lingkar Pena

Anda mungkin juga menyukai