Anda di halaman 1dari 11

JANGANLAH MENIKAH KARENA

PAKSAAN ( MEMAKNAI PERJODOHAN


YANG DIPAKSAKAN DALAM SUDUT
PANDANG HUKUM NEGARA DAN
HUKUM AGAMA ISLAM )
JANGANLAH MENIKAH KARENA PAKSAAN ( MEMAKNAI
PERJODOHAN YANG DIPAKSAKAN DALAM SUDUT PANDANG
HUKUM NEGARA DAN HUKUM AGAMA ISLAM )

“[4:19] Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Perjodohan yang dipaksakan atau dikenal dengan “Kawin paksa” dalam arti bahasa
berasal dari dua kata “kawin” dan “paksa”. Kawin dalam kamus Bahasa Indonesia
berarti perjodohan antara laki-laki dan perempuan sehingga menjadi suami dan istri,
sedangkan paksa adalah perbuatan (tekanan, desakan dan sebagainya) yang
mengharuskan (mau tidak mau atau dapat harus…). Sedangkan dalam kamus ilmiah
popular paksa adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Jadi
kedua kata tersebut jika digabungkan akan menjadi kawin paksa yang berarti suatu
perkawinan yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (jadi karena desakan atau
tekanan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mempunyai hak untuk memaksanya
menikah.

Sedangkan secara istilah fiqih kawin paksa merupakan salah satu fenomena sosial
yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara pasangan untuk menjalankan
perkawinan, tentunya ini merupakan gejala sosial dan masalah yang timbul ditengah-
tengah masyarakat kita. Kawin paksa ini muncul tentunya banyak motiv yang melatar
belakanginya, misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan
menjodohkan anaknya, ada juga karena faktor keluarga, atau bahkan ada karena calon
mertua laki-laki kaya.

Secara hukum kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasari atas
persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”. Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan
kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya
setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam
perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat
dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus
patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat
oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang
tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa,
Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri
dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila
paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.

Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada
ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan.
Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang
shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.

Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw pun
pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan
oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah
tinggal bersama Rasul saw. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat
meminta kepada Rasul saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia
pun dinikahkan dengan dengan mahar hapalan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Rasul saw
yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat laki-laki.
Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan datang dari orang lain,
yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan persetujuan dari mempelai perempuan.

Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat
menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya,
agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing
pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika
terus berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.

Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah
kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon
isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan. Perkawinan merupakan
pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah
akan terwujud apabila kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang
menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya.
Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah jilid 7).

Perjodohan yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk
menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut mereka.
Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang anak. Orang tua
boleh-boleh saja menjodohkan anaknya dengan orang lain, tapi hendaknya tetap
meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang dilaksanakan
nantinya berjalan atas keridhoan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena
pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan adalah harom hukumnya, dan
jika terus berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga
anaknya kelak.

Dan orang tua, hendaknya tidak semena-mena terhadap anak. Jangan karena anaknya
enggan menerima tawaran dari orang tua, lalu mengatakan kepada anaknya bahwa dia
adalah anak yang durhaka, jangan! Tapi hendaknya orang tua harus memahami kondisi
psikologis sang anak dan harapan akan jodoh yang diidamkannya. Sebab bila dilihat
dari pertimbangan-pertimbangan syar’i, hak-hak anak sangat diperhatikan. Islam datang
untuk memfasilitasi antara hak-hak dan kewajiban seorang anak untuk menikah tanpa
sama sekali melepaskan peran orang tua di dalamnya.

Coba kita tengok sekilas kisah di zaman Rasul dulu. Suatu ketika Habibah binti Sahl
datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Kalau bukan karena takut kepada Allah
ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi mukanya.”

Memang sebelumnya Habibah belum pernah melihat suaminya sampai saat malam
pertama tiba. Sebagaimana wanita di zamannya, dia masih percaya pada orang tua
dalam memilih jodoh. Tak terpikir olehnya, bahwa orang tua yang dicintainya akan tega
memilihkan suami untuk dirinya seperti Tsabit bin Qois, yang baik kadar imannya
namun buruk rupanya.

Habibah mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, “Ya Rasulullah, aku mempunyai


wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah laki-laki yang buruk
rupanya.” Inilah yang telah membuat Habibah tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit
sebagai suaminya, tentu masih dengan masalah klasik : wajah.

“Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selamanya.
Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata ia
sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya. Ya
Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tapi aku tidak
menyukai kekufuran dalam Islam,” tukas Habibah.

Rasulullah SAW bertanya, “Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian


suamimu?”

Habibah menjawab, “Ya,”


Maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan jatuhkanlah talak
satu kepadanya!”

Atas perintah rasul, akhirnya mereka bercerai. Inilah kisah khulu’ (gugatan cerai istri
kepada suami) yang terjadi pertama kali dalam sejarah hukum Islam.

Sedang di sisi lain, banyak pula para sahabat yang menikah tanpa melalui proses
perjodohan. Salah satu contohnya, sahabat Rasul, Jabir ra, yang menikahi seorang
janda. Rasulullah bertanya kepadanya mengapa tidak menikahi seorang gadis agar
dapat bersenda gurau dengannya. Jabir ra beralasan, karena dia punya adik kecil-kecil
yang masih butuh asuhan sehingga ia menikahi janda tersebut.
Hukum Pernikahan karena Paksaan Orang Tua

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


bersabda:

‫أالبِّ أكر ت أستَأ أ َم َر َو َل ت أنكَح َل ت أنكَح أاْلَيِّم َحتَّى‬ َ‫ّللا َحتَّى ت أست َأأذَن‬
ِّ َّ ‫أف إِّ أذن َها قَا َل أ َ أن قَالوا يَا َرسو َل‬
َ ‫تَسأكتَ َو َكي‬

“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan


tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab,
“Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:

‫أَ َحق‬ ‫َو ِّل ِّي َها الثَّ ِّيب‬ ‫ِّم أن‬ ‫َي أستَأأذِّن َها ِّب َن أف ِّس َها‬ ‫نَ أف ِّس َها َو أال ِّب أكر‬ ‫ِّفي‬ ‫ص َمات َها أَبوهَا‬ ‫َو ِّإ أذن َها‬

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka
ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.”
(HR. Muslim no. 1421)

Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:

‫زَ َّو َج َها‬ ‫أَبَاهَا‬ ‫َت أ َ َّن‬


‫فَك َِّره أ‬ ‫ث َ ِّيب‬ ‫ِّي‬ َّ ِّ‫النَّب‬
َ ‫ي َوه‬ ‫فَأَت أ‬
‫َت‬ َ‫َعلَ أي ِّه ذَلِّك‬ ‫ّللا‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫نِّكَا َح َها‬ ‫فَ َر َّد‬ ‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬

“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang
tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk
mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 5138)

Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki
menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”

Penjelasan ringkas:

Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang
Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak
suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum
wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk
memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.

Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan
kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah
(keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan
pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di
antara syarat sahnya pernikahan adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.

Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali
dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si
wali biasanya lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya
si wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat
dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita
yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari
wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya perawan
malu untuk mengungkapkan keinginannya.
Berikut beberapa fatwa ulama seputar permasalahan ini.

Perbuatan Seorang Ayah Memaksa Putrinya untuk Menikah adalah Haram

Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:

Saya memiliki saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya


dengan laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya,
padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah mendatangkan saksi palsu atas
akad nikahnya, bahwa dia (saudari saya) menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut
terjerumus menjadi pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun
selesai dalam keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa
hukum akad nikad itu dan persaksian palsu tersebut?

Maka beliau rahimahullah menjawab:

Saudari perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya untuk
menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat sahnya nikah
tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah berhak untuk memaksa putrinya
untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut
sekufu’ [1] dengannya. Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini,
bahwasanya tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih
gadis untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’. Sebab
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”

Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid
dalam “Shahih Muslim”:

“Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”

Hadits ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini, apabila
terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka wajib untuk kembali kepada nash
ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan seseorang memaksa putrinya untuk menikah
dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang
haram tidak sah dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya
bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja yang
dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini agar tidak
mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan pernikahan tersebut,
maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan larangan tersebut serta menjadikam
akad tersebut sama dengan akad nikah yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini.
Ini adalah suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang
rajih ini, perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang tidak
disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk mengkaji ulang akad
tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana tsabit
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”

Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian
duduk dan mengatakan

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Maka
kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau bersabda:
“Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang tua.” Pada waktu itu
beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan: “Ingatlah, dan perkataan dusta,
ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan persaksian palsu…!” Beliau terus
mengulanginya hingga para shahabat mengatakan, “Semoga beliau diam”.

Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu. Wajib bagi mereka
untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan mengatakan perkataan yang haq
(benar), dan hendaknya dia menjelaskan kepada hakim yang resmi bahwa mereka
telah melakukan persaksian palsu dan bahwasanya mereka mencabut kembali
persaksian tersebut. Demikian juga si ibu, yang mana dia telah terjerumus
menggantikan putrinya dengan dusta, dia telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan
wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali
perbuatan yang semisalnya. [Fatawa Al-Mar'ah]

Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa Putranya untuk Menikah dengan Wanita
yang Tidak Disenanginya

Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin juga ditanya:

Apa hukumnya jika seorang ayah ingin menikahkan putranya dengan wanita yang
bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila dia tidak mau menikahkannya dengan
wanita yang shalihah?

Maka beliau rahimahullah pun memberi jawaban:

Tidak boleh seoramg ayah memaksa putranya untuk menikahi wanita yang tidak
disukainya, baik dikarenakan aib yang ada pada wanita tersebut berupa aib dien,
tubuhnya atau akhlaknya. Betapa banyak orang-orang yang menyesal ketika memaksa
anak-anaknya untuk menikah dengan wanita-wanita yang tidak disukainya. Akan tetapi,
dia mengatakan: “Nikahilah dia, sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari
kabilahmu” dan alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk
menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar menikahi
wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin menikah dengan wanita
yang shalihah, kemudian sang ayah menghalang-halanginya, maka hal itu tidak
mengharuskan bagi si anak untuk mentaatinya, apabila si anak memang senang
dengan wanita shalihah tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak boleh nikah
dengannya!” maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut walaupun
dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat kepada ayahnya
dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan justru bermanfaat bagi
ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi seorang anak menaati orang
tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam permasalahan yang di dalamnya terdapat
manfaat bagi si anak dan tidak membahayakan ayahnya, niscaya akan timbul berbagai
kerusakan. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, hendaknya seorang anak bersikap
luwes terhadap ayahnya, lemah lembut dalam memahamkannya dan semampunya
berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makky, jilid 3 hal.
224]

Hukum Nikah Paksa bagi Janda

Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak
perempuan yang dinikahkan ayahnya tanpa ada ridha darinya, di mana ketika itu ia
telah menjanda, ia telah menikah sebelumnya dengan seorang pria.

Jawaban:

Apabila kondisinya sebagaimana yang anda gambarkan maka nikahnya yang terakhir
adalah tidak sah. Karena termasuk syarat-syarat pernikahan adalah adanya ridha dari
kedua pasangan (suami-istri). Seorang janda tidak boleh dipaksa oleh ayahnya apabila
ia telah berumur lebih dari 9 tahun (para ulama dalam hal ini pendapatnya sama).
[Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 80]

Hukum Seorang Janda yang Dipaksa Menikah oleh Ayahnya

Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang janda
yang dipaksa ayahnya untuk menikah.

Jawaban:

Khusus pernikahan seorang wanita dengan lelaki putra pamannya, sementara ia


dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan lelaki itu dalam kondisi sebagai seorang
janda yang baligh, sehat akalnya dan kesadarannya. Sekarang pernikahan dengan
putra pamannya itu telah berjalam selama 10 tahun dalam keadaan suaminya belum
pernah menggaulinya. Ia tidak pernah merasa ridha kepada lelaki itu dan sekarang
keadaannya semakin buruk. Ia selalu mendesak lelaki itu untuk memutus ikatan
pernikahannya.

Kami simpulkan untuk anda, di mana telah jelas di hadapan anda adanya unsur
paksaan dari ayah sang wanita untuk melakukan pernikahan dengan putra pamannya.
Sedangkan kondisi ketika itu ia seorang janda yang baligh dan berakal sehat, maka
pernikahannya itu adalah tidak sah. Karena termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan
adalah adanya keridhaan dari calon pasangan suami-istri. Bila keduanya tidak ridha
atau salah satunya tidak ridha maka pernikahannya tidak sah.
Di dalam pemaksaan seorang ayah kepada anak-anaknya yang masih di bawah umur
dan kepada anak-anaknya yang terganggu akalnya (abnormal), juga kepada anak yang
masih gadis (bukan janda) untuk melakukan pernikahan, maka dalam hal ini ada dua
pendapat.

Sedangkan bagi janda yang telah baligh dan berakal sehat, maka tidak ada khilaf
(perselisihan ulama) bahwa sang ayah tidak berhak untuk memaksamya dan ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Karena telah diriwayatkan bahwa Al-Khansa bintu Haram
Al-Anshariyyah meriwayatkan bahwa ayahnya pernah memaksa ia untuk menikah
sementara ia dalam keadaan menjanda. Ia menolaknya dan kemudian mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya beliau membatalkan pernikahannya.
[Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 85-86]

Seorang Anak Perempuan Dinikahkan oleh Ayahnya ketika Masih di Bawah Umur
dan ketika Dewasa Ia Merasa Tidak Ridha

Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak
perempuan yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang lelaki untuk dinikahi,
sementara usianya masih kecil, lalu sang ayah meninggal dunia.

Setelah anak perempuan itu baligh, ia menolak penyerahan dirinya yang dilakukan
ayahnya dulu, dan ia merasa tidak ridha kepada lelaki (suaminya) itu yang dulu
ayahnya telah menyerahkan dirinya kepadanya.

Jawaban:

Apabila keadaannya adalah sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah perbuatan


penyerahan yang dimaksud sebagai cara menikahkan yang sah, tidak pula wanita itu
dianggap sebagai istri bagi pria tersebut hanya dengan sekedar melakukan apa yang
anda sebutkan itu, karena tidak lengkapnya syarat-syarat dari akad nikah yang sah.
[Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78.

Hukum Menikahkan Seorang Perempuan Yatim tanpa Seijinnya

Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:

Apakah boleh menikahkan seorang anak perempuan yatim tanpa seijinnya?

Jawaban:

Seorang perempuan yatim tidak dibenarkan untuk dinikahkan oleh saudara laki-lakinya
kecuali dengan persetujuannya. Dan bentuk persetujuan seorang janda adalah dengan
ucapan lisan dan ijinnya, sedangkan persetujuan dari seorang gadis bisa dengan
ucapan lisannya bisa pula dengan sikap diamnya sepanjang ia tidak mengucapkan kata
"tidak".
Bila ibunya, bibinya (dari jalur ibu), atau saudara perempuannya mengatakan bahwa ia
ridha sebelum ia mengatakannya sendiri, maka tidak perlu ada persaksian (pernyataan)
langsung atas persetujuannya. Kecuali bila dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya
atau walinya ingin memaksanya untuk melakukan pernikahan, maka harus ada
persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li
Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]

Menikahkan Seorang Anak Perempuan dengan Lelaki yang tidak disukainya

Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:

Apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang
tidak disukainya?

Jawaban:

Tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya
untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan
agama dari lelaki tersebut. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di
hal. 349/7]

Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai