Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo
di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang
mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa. Wilayah tradisional suku Gayo
meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Selain itu suku
Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, dan
Aceh Timur. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam
agamanya dan mereka menggunakan bahasa gayo dalam percakapan sehari-hari
mereka. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang
disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam),
dan rayat (rakyat).1
Upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah
merupakan salah satu upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup dalam
kehidupan masyarakat Gayo. Aturan-aturan adat dan tata cara pelaksanaan
upacara perkawinan ngerje tersebut telah lama ada dan dilaksanakan sampai
sekarang. Masyarakat Gayo menganut sistem kekeluargaan belah atau klen dan
melakukan sistem perkawinan exogami.2 Estetikanya berdasarkan pada estetika
Islam yang berasal dari teks-teks kitab suci, tradisi puitik, hikayat dan dongeng-
dongeng mitologis. Secara pragmatik upacara perkawinan ngerje merupakan
pendidikan terhadap kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, kerelaan,
pembelajaran terhadap keseimbangan hidup dunia dan akhirat, kesetaraan
golongan atau klen, menjadi manusia yang ideal dan wujud ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.

1
Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Budaya Aceh (Yogyakarta:
Polydoor Desain, 2009), hlm.113
2
Eksogami adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan orang mencari jodoh diluar
lingkungan sosialnya, seperti diluar lingkungan kerabat, golongan sosial dan lingkungan
pemukiman. (https://kbbi.web.id/eksogami)
PEMBAHASAN
A. Arti dan Hukum Pernikahan
1. Arti Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki
persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela
demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allah SWT.3
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia
sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan
sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang
berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat
mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw.
bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah
SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat,
tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak
suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari
dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah,
artinya BOLEH dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada
pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian,
ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,

3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3 ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hlm. 196
hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau
haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah
itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah
dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran
walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan
tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar
harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika
hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang
sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan
alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas
disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah
seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau
melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada
sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib.
Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan
takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu
wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang
dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut. Dari
Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu,
sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR.
Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan
perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi
ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk
menyakiti perempuan yang dinikahinya. Dalam sebuah hadits
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu
menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya
terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits).

B. Tahapan dan Proses Upacara Perkawinan


Secara umum, perkawinan yang dilakukan secara adat dalam
masyarakat gayo adalah:4
a. Juelen, bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami
seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri
dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh
karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk
belah ayahnya. Apabila terjadi cere benci (cerai karena perselisihan),
maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-
anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya. Tetapi apabila terjadi cere
kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia
tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab
belah ayah yaitu walinya. Sedangkan bentuk perkawinan angkap, di
mana pihak laki-laki (suami) ditarik ke dalam belah si isteri, suami
terlepas dari belahnya.
b. Angkap, bentuk perkawinan dimana laki-laki dibawa kedalam belah istri.
Kawin angkap ini memiliki ketentuan-ketentuan yang harus ditaati.
Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi 2 yakni angkap nasab
dan angkap sementara. Dalam perkawinan angkap nasab, suami terlepas
dari belahnya dan ditarik kedalam belah istrinya, hal ini biasanya terjadi
dimana suami tidak memiliki kemampuan dari segi harta untuk
membiayai pernikahannya. Angkap nasab ini tidak serta merta juga
disebabkan oleh ketidak mampuan suami dari segi finansialnya, namun
bisa juga terjadi disebabkan oleh pihak keluarga perempuan tidak ada

4
Wawancara dengan Ayahanda Drs.M. Nurdin Ali, tokoh masyarakat Kampung Daling
Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Wawancara pribadi di rumahnya tanggal 2 Oktober
2017.
keturunan laki-laki. Ia ingin memperoleh anak laki-laki yang dimasukkan
ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki disebut dengan penurip-
murip peunanom mate artinya memelihara semasa hidup dan
menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-
akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya. Bila terjadi
cere benci, ayahnya tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi
semua harta asal dari ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu.
Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya suami meninggal, harta tetap
dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetapi tanggung jawab terhadap anak
yang diserahkan kepada pihak ayah. Andaikata suami yang meninggal
dunia dan ternyata tidak meninggalkan anak, harta miliknya otomatis
semuanya menjadi miliknya istri. Selanjutnya adalah angkap sementara,
nikah angkap ini juga sama seperti pernikahan angkap nasab dimana
suami masuk ke dalam belah istrinya, dikarenakan suami tidak bisa
memberikan mahar atau unyuk (permintaan) dari keluarga si isteri atau
dikarenakan pihak istri adalah anak semata wayang atau keadaan orang
tua yang sudah uzur yang memerlukan pemeliharaan oleh anak
perempuannya, maka orang tua si wanita mencari laki-laki yang bisa
diambil menjadi anak mantunya dengan melihat kebaikan agama dan
keturunannya. Yang menjadi perbedaan antara dua pernikahan ini adalah
jika pada pernikahan angkap nasab menantu laki -laki disyaratkan untuk
tinggal selamanya dalam lingkungan keluarga pengantin wanita.
Kedudukan si suami menjadi anak laki-laki yang harus berbakti kepada
keluarga istrinya, menjadi pagar pelindung keluarganya, semua tanggung
jawab diberikan kepadanya. Dalam menjalankan tanggung jawabnya itu
suami diberikan harta sebagai modal oleh keluarga istri, biasanya berupa
tanah kebun atau sawah untuk bercocok tanam. Kedudukan si suami ini
tergambar dalam ungkapan” anak angkap penyapuni kubur kubah, si
muruang i osah umah, si berukah i osah ume” artinya menantu laki-laki
penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal berikan rumah, yang
ada lahan berikan sawah. Namun dalam bentuk angkap sementara ini
menantu laki-laki berada dalam belah istrinya selama ia belum bisa
melunasi unyuk atau mahar kepada istrinya. Jika satu saat suami bisa
menebus mahar atau unyuk tersebut, maka ia bisa kembali kepada
belahnya semula dengan membawa istri dan anaknya dan sistem
kekerabatan yang semula berbentuk matrilinial berubah kembali menjadi
bentuk patrilinial. Dengan demikian angkap nasab adalah kondisi
menantu laki-laki selamanya berada dalam keluarga istri sedangkan
angkap sementara adalah menantu laki-laki berada dalam keluarga istri
sampai batas waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada
saat peminangan. Kedudukan status sosial laki-laki yang menjalani
bentuk pernikahan angkap baik angkap nasab atau angkap sementara juga
sangat rendah dalam pandangan masyarakat Gayo berbeda dengan
pernikahan juelen.
c. Naik, adalah perkawinan yang terjadi karena seorang pemuda melarikan
seorang gadis untuk dijadikan istrinya, atau seorang gadis menyerahkan
dirinya kepada seorang pemuda untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini
biasanya terjadi karena keluarga si gadis tidak menyukai si pemuda atau
si pemuda tidak bisa memenuhi permintaan keluarga si gadis dalam hal
mahar atau unyuk, padahal keduanya sudah saling mencintai dan ingin
merajut rumah tangga. Mereka biasanya melarikan diri ke rumah imem
atau KUA Kecamatan tempat si laki-laki tinggal. Oleh imem mereka
diperiksa apakah mereka melakukan hal ini secara sadar bukan karena
hilang akal, setelah imem yakin maka ia segera memberitahukan kepada
tetua adat tempat tinggal si gadis. Pada umumnya untuk menghindari rasa
malu, keluarga si perempuan akhirnya menyetujui perkawinan tersebut.
d. Mah Tabak,5 adalah seorang laki-laki yang menyerahkan diri kepada
keluarga perempuan untuk dinikahkan dengan anak perempuannya.
Menurut pertimbangan si laki-laki, jika ia menempuh jalur biasa ia tidak
akan diterima oleh keluarga perempuan yang diinginkannya (biasanya
sudah ada pembicaraan terlebih dahulu antara si laki-laki dengan si
perempuan), oleh karenanya ia pergi menyerahkan diri kepada keluarga
si perempuan dengan membawa tabak dan beberapa peralatan lainnya
5
Alat semacam pangki, berbentuk bulat dan datar, biasanya digunakan sebagai
penimbun.
seperti cangkul, pedang, tali atau alat pengikat lainnya. Alat ini semua
memiliki simbol dimana ketika maksud kedatangannya untuk meminta
dikawinkan dengan anak perempuan keluarga itu tidak disetujui maka
bunuh saja dia dengan pedang, seret mayatnya dengan tali, gali
kuburannya dengan cangkul yang dibawa dan timbun mayatnya dengan
tabak yang dibawa. Dalam kondisi yang demikian hanya ada dua pilihan
yang harus diambil oleh keluarga si perempuan, membunuh si pemuda
atau menikahkannya dengan anak perempuannya. Biasanya perkawinan
yang menjadi pilihan.
e. Kuso Kini, adalah suatu bentuk perkawinan yang memberi kebebasan
kepada suami istri untuk memilih tempat tinggal dalam belah suami atau
belah istri.

1. Persiapan Menuju Perkawinan


Berikut ini adalah urutan dan tata cara upacara perkawinan ngerje suku
Gayo. Urutan dan tata cara perkawinan tersebut ialah:
a. Risik Kono
Merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang tua
pengantin pria, biasanya diwakili oleh ibunya akan menyampaikan
maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk berbesan dengan orang
tua pengantin wanita. Biasanya acara diawali dengan ramah tamah dan
senda gurau menanyakan apakah anak perempuannya sudah bisa
dinikahkan atau dipinang dan belum dipinang oleh orang lain.
b. Munginte atau peminangan,
Tahapan ini tidak dilakukan oleh orang tua si laki-laki, melainkan
oleh telangke (utusan yang ditugaskan oleh orang tua si laki-laki,
biasanya masih ada hubungan kekerabatan kepada keluarga pihak laki-
laki). Dalam acara ini yang banyak berperan adalah kaum ibu, mereka
datang sambil membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat
sirih lengkap dengan isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang
bawaan ini disebut penampong ni kuyu yang bermakna sebagai tanda
pengikat agar keluarga pengantin wanita tidak menerima lamaran dari
pihak lain.
Dalam kegiatan meminang, keluarga pihak laki-laki diwajibkan
membawa barang dengan ketentuan yang telah menjadi aturan adat.
Bahan-bahan yang dibawa ke rumah pihak calon mempelai perempuan
adalah sebagai berikut:
1) Beras satu “bambu” dimasukkan ke dalam sumpit bergampit
(sumpit khusus untuk meminang) yang berbentuk seperti kantong.
2) Sejumlah uang dibungkus dengan kain putih dan dimasukkan ke
dalam sumpit.
3) Pinang sebanyak 3 buah (sebaiknya jangan terlalu
muda/perepingen atau terlalu tua) yang berwarna hijau kekuning-
kuningan.
4) Sirih 2 pedi (ikat), masing-masing ikat berjumlah 7 lembar daun
sirih yang (menon pitu).
5) Telur ayam kampung satu butir yang masih mentah.
6) Jarum jahit 1 buah yang telah dibubuhi benang putih sepanjang
lebih kurang 30 cm dan ditusukkan atau ditancapkan pada
sepotong kunyit seukuran ibu jari.Satu buah sisip untuk menyisip
tikar/sumpit yang terbuat dari bambu.
Perilaku yang terdapat pada tahap munginte atau melamar antara
lain: pakat sara ine (mufakat keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak), pengiriman telangke (utusan), dan persiapan bahan-bahan
peminangan. Peminangan biasanya dilaksanakan pada waktu
senggang terutama pada waktu habis ashar dan sehabis maghrib.
c. Teniron
Merupakan permintaan harta baik yang berupa subang atau
anting-anting atau gelang nantinya menjadi milik isteri setelah akad
nikah maupun permintaan jename atau mahar yang diminta oleh calon
mempelai perempuan. Jename biasanya sebanyak sara tahil (satu tahil)
atau sekarang pada umumnya mahar antara 10 sampai 25 gram emas
murni. Mahar atau mas kawin pada masyarakat Aceh pesisir
menggunakan ukuran mayam. Satu mayam beratnya sama dengan 3,3
gram.
Pada tahap iserahen ku guru (diserahkan kepada imam) untuk
diberikan wejangan atau nasihat kepada calon mempelai, properti yang
dipersiapkan adalah:
1) Setalam kue apem.
2) Perlengkapan tepung tawar, antara lain terdiri atas: dedingin
(Kalanchoe pinnata), celala (Coleus sp), batang teguh
(Dactyloctenium aegyptium), sesampe (Palpalun commersonii
sangiunalis), bebesi (sejenis tumbuhan berdaun agak kecil dan
memanjang, hidup dipagar-pagar), pucukni kayu kul (pucuk kayu
besar), wih sejuk (air dingin), oros (beras), dan mas (emas).
3) Perlengkapan bawaan yang diletakkan dalam talam besar.
4) Persembahan untuk reje terdiri dari: beras satu bambu, pinang tiga
buah, dua tumpuk daun masing-masing berjumlah tujuh lembar
daun sirih, satu amplop berisi uang Rp 5000,- 5000,-Rp 10.000,-
dan bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam baskom ditutup
dengan kain merah.
5) Persembahan untuk imam terdiri dari: beras satu bambu beras,
tiga buah pinang, satu buah jeruk purut. satu butir telur ayam
kampung, satu amplop berisi uang Rp 5000,- 5000,-Rp 10.000,-;
sebuah jarum yang telah diberi benang jahit putih ditancapkan
pada kunyit, dan bahan-bahan ini dimasukkan dalam baskom dan
ditutup dengan kain putih.
Perlengkapan bawaan yang diletakkan dalam talam besar serta
dua buah baskon kecil yang masing-masing untuk reje (kepala desa)
dan untuk imam. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam baskom dan
diatur sedemikian rupa. Pertama beras satu bambu dimasukkan dalam
baskom, kemudian pinang, dua tumpuk daun sirih dan uang dalam
amplop diatur di atas beras. Selanjutnya baskom tersebut ditutup
dengan kain merah dan diserahkan kepada reje. Susunan bahan-bahan
uberampe dalam baskom yang akan diserahkan kepada imam
pengaturannya sama dengan pengaturan baskom untuk reje, tetapi
baskom untuk imam ini ditutup dengan kain putih. Semua ini
merupakan syarat yang harus dipersiapkan oleh keluarga pihak
mempelai.
d. Mujule mas (mengantar emas)
yang dibawa berupa batil (cerana) berisi lengkap ramuan sirih
yang terdiri dari daun sirih, kapur sirih, gambir dan tembakau sirih.
Acara dimulai dengan keluarga pihak laki-laki dan sarak opat
mendatangi rumah keluarga pihak calon mempelai perempuan untuk
bertamu dengan empuni edet (pemegang adat) seraya menyerahkan
batil (cerana) berisi lengkap ramuan sirih. Seiring dengan ini biasanya
disertai dengan minuman dan sedikit penganan. Selesai mencicipi
minuman dan makanan, barulah perbincangan tentang maksud
kedatangan dimulai. Harta yang diminta oleh keluarga pihak calon
mempelai perempuan yang jumlahnya telah disetujui bersama,
diserahkan kepada wali calon mempelai perempuan. Acara
pelaksanaan pernikahan merupakan acara inti dari berbagai proses dan
tahapan dalam perkawinan adat. Acara pernikahan dilaksanakan
menurut urutan jenis pekerjaan pokok yang ada dalam pernikahan
Gayo disertai dengan uberampe-uberame yang dipersiapkan.
Uberampe yang digunakan pada saat pelaksanaan pernikahan
adalah sebagai berikut:
1) Mahar (mas kawin) atau janeme pada umumnya antara 10
sampai dengan 25 gram emas murni.
2) Uang yang telah dipesiapkan dalam amplop sebesar ± Rp 5000,-
hingga Rp 10.000,- untuk wali.
3) Ramuan jeruk purut (mungkur) yang diremas untuk persiapan
mandi bagi pengantin.
4) Peralatan canang yang terdiri dari canang, memong, gong,
gegedem dan rebana untuk mengiringi pengantin saat diantar.
5) Air putih dalam teko kecil dan gelas yang diletakkan dalam
talam kecil untuk wali yang akan memberikan aqad nikah.
6) Ikan mas atau ikan bawal
7) Nasi dan lauk pauknya untuk dibawa saat acara mah kero
(membawa nasi untuk besan)
2. Upacara Menjelang Perkawinan
a. Segenap dan Begenap (Musyawarah dan Keluarga),
dalam acara ini dilakukan pembagian tugas kepada para panitia yang
terdiri dari kerabat dan tetangga.
b. Beguru (pemberian nasehat),
acara ini dilakukan setelah acara begenap yaitu pada pagi hari sesudah
shalat subuh. Beguru artinya belajar, dimana calon pengantin akan
diberi nasehat dan petunjuk bagaimana menjalankan rumah tangga
agar tercapai sakinah, mawaddah dan rahmah. Acara beguru di rumah
calon pengantin wanita biasanya juga diiringi dengan acara bersebuku
(meratap) oleh si calon pengantin wanita, dalam bersebuku ini berisi
tentag ucapan-ucapan kesedihan akan meninggalkan keluarga yang
selama ini ia bernaung untuk menuju tempat yang baru, ucapan terima
kasih kepada kedua orang tua yang sudah memberikan kasih sayang
selama ini, kepada saudara-saudara yang selama ini tempat bermanja,
dan teman-teman sepermainan.
c. Jege Uce (berjaga-jaga)
dilaksanakan menjelang hari pernikahan, dimana para kerabat dan
tetangga berjaga-jaga sepanjang malam dengan melakukan berbagai
kegiatan adat seperti didong (berbalas pantun) serta tari-tarian.
d. Belulut dan Bekune( Mandi dan kerikan)
dahi, pipi dan tengkuk calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru
rias atau wakil keluarga ibunya yang paling dekat setelah sebelumnya
dilakukan mandi bersama di kediaman masing-masing yang disebut
acara belulut.
3. Pelaksanaan Perkawinan
a. Munalo (menjemput Pengantin Pria)
pada hari dan tempat yang telah disepakati rombongan pengantin
wanita yang dipimpin oleh telangke, selanjutnya disebut pihak beru,
sambil menabuh canang bersiap menunggu kedatangan rombongan
pengantin pria yang disebut pihai bai. Sementara pengantin wanita
menunggu di bilik kamarnya dalam keadaan sudah didandani. Suara
tabuhan canang akan semakin keras bila rombongan bai sudah
kelihatan dari kejauhan. Saat pihak bai tiba, canang dihentikan dan
pihak beru mengucapkan selamat datang dan permohonan maaf jika
terdapat kekurangan dalam hal penyambutan yang dituangkan dalam
bait-bait pantun yang akan dibalas pula dengan pantun oleh pihak bai.
Setelah itu disambut dengan tari guel dan sining dan pengantin pria
diarak menuju kediaman pengantin wanita.
b. Mah bai (mengarak pengantin pria)
Sebelum pengantin pria sampai ke kediaman pengantin wanita, terlebih
dahulu pengantin pria disinggahkan ke sebuah rumah persinggahan
yang disebut umah selangan selama 30-60 menit. Dalam umah
selangan ini pihak bai akan menunggu makanan yang dikirimkan oleh
pihak beru dan jika pihak bai berkenan akan hidangan itu, maka
rombongan akan melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan ini
pengantin pria diapit oleh orang dua laki-laki sebagai pengawalnya,
dalam prosesi mah bai ini kedua orang tua pengantin pria tidak
diperkenankan mendampingi karena tugas sudah diwakilkan.
Setibanya rombongan bai di rumah pengantin wanita, maka diadakan
penukaran batil (tempat sirih)diantara kedua belah pihak dan
dilanjutkan dengan acara basuh kiding (cuci kaki) di depan pintu
masuk. Uniknya yang melakukan tugas cuci kaki ini adalah adik
perempuan dari pengantin wanita, kalo pengantin wanita tidak
memiliki adik perempuan, tugas ini digantikan oleh anak perempuan
pakciknya. Dan sebagai ucapan terima kasih pengantin pria akan
memberikan sejumlah uang kepada adik pengantin wanita tersebut.
Selanjutnya pengantin pria melakukan tepung tawar yang dilakukan
oleh keluarga pengantin wanita, setelah itu dibimbing masuk dan
diserahkan oleh keluarganya ke hadapan ayah pengantin wanita untuk
acara akad nikah yang disebut rempele (penyerahan). Sebelum akad
nikah dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu wadah kosong
dan sepring ketan kuning untuk melakukan tata cara adat. Selama akad
berlangsung pengantin wanita tetap berada di bilik kamarnya sambil
menunggu dipertemukan dengan suaminya.
c. Munenes (ngunduh mantu)
acara ini sebagai simbol perpisahan antara pengantin wanita dengan
orang tuanya karena telah bersuami dan akan pisah tempat tinggal dan
juga bentuk perpisahan masa lajang ke kehidupan berkeluarga.
Pengantin wanita akan diantar ke rumah suaminya dengan membawa
barang-barangnya berupa peralatan rumah tangga dan bekal memulai
kehidupan baru. Setelah itu diadakan acara bersama
4. Upacara Setelah Perkawinan
a. Mah kero opat ingi, biasanya setelah seminggu berada di rumah
suaminya, mertuanya akan datang berkunjung ke rumah besannya
bertujuan untuk mengenalkan seluruh anggota keluarga yang sudah
berbesan.

C. Nilai-nilai Upacara Perkawinan


Makna-makna yang muncul dari segi sintaksis dan semantik berdasarkan
atas interpretasi peneliti dengan menggunakan teorinya Barthes, yaitu dengan
menggunakan konsep denotasi dan konotasi. Di dalam menganalisis secara
pragmatik, pengirim pesan adalah pelaku yang terlibat dalam upacara
perkawinan ngerje masyarakat Gayo dan penerimanya adalah masyarakat
pendukungnya dan masyarakat luas.
Upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo terdiri dari beberapa
tahapan yang merupakan suatu rangkaian dari keseluruhan upacara
perkawinan. Kesuksesan atau keberhasilan pelaksanaan dari setiap tahapan
upacara tersebut memerlukan usaha atau kerja keras dari keluarga mempelai.
Secara semantik, ada beberapa konotasi yang berkaitan dengan usaha dan
keberhasilan dalam upacara perkawinan Gayo antara lain:
Pakat sara ine dan pengiriman telangke merupakan konotasi usaha dari
keluarga mempelai laki-laki pada tahap meminang atau munginte. Pinangan
diterima oleh pihak perempuan merupakan konotasi keberhasilan dari usaha
keluarga mempelai laki-laki dalam peminangan.
Menyediakan harta kekayaan untuk teniron (permintaan harta kekayaan
oleh pihak perempuan) dan mahar (mas kawin) dikonotasikan sebagai usaha
dan kerja keras keluarga mempelai laki-laki pada tahap kegiatan teniron.
Penerimaan teniron dan mahar oleh pihak perempuan dikonotasikan sebagai
keberhasilan pihak keluarga laki-laki dalam menyediakan syarat yang telah
ditentukan sehingga dapat melanjutkan kegiatan pada tahap berikutnya
dalam upacara perkawinan.
Menyiapkan uberampe atau bahan-bahan dan pelaksanaan berguru serta
petawaren atau acara tepung tawar dikonotasikan sebagai usaha dari kedua
keluarga mempelai pada tahap kegiatan mempelai i serahen ku guru
(diserahkan kepada tengku guru) untuk menerima pendidikan keagamaan.
Pemberian do’a restu kepada calon mempelai oleh orang tua, reje atau
pemimpin masyarakat, imam atau guru dan petue atau tokoh masyarakat
dikonotasikan sebagai keberhasilan dalam pendidikan keagamaan
Pelaksanaan mufakat dan musyawarah antara kedua keluarga mempelai
yang melibatkan sarak opat (pemimpin dan tokoh masyarakat) dari kedua
belah pihak dikonotasikan sebagai usaha pihak keluarga mempelai pada tahap
kegiatan mujule mas (mengantar emas). Keputusan dan penentuan
pelaksanaan akad nikah dikonotasikan sebagai keberhasilan suatu
musyawarah atau perundingan dari kedua belah pihak keluarga.
Pakat sara ine (musyawarah keluarga inti) hingga kegiatan turun ume
(orang tua pihak perempuan berkunjung ke rumah orang tua pihak laki-laki)
dikonotasikan sebagai usaha dan kerja keras kedua keluarga mempelai untuk
menyukseskan acara perkawinan pada tahap pelaksanaan pernikahan.
Terlaksananya akad nikah sehingga terjalin suatu hubungan antara kedua
keluarga menjadi besan, dikonotasikan sebagai keberhasilan kedua belah
pihak untuk mengikat tali persaudaraan.
Persiapan acara pesta dengan menghias ruangan pengantin, merias kedua
mempelai, menerima tamu undangan, menyuguhkan acara hiburan
dikonotasikan sebagai usaha dan kerja keras dari kedua keluarga mempelai
pada tahap kegiatan pesta pernikahan atau acara keramaian. Terlaksananya
acara pesta dengan baik dikonotasikan sebagai suatu keberhasilan dari kedua
keluarga mempelai dalam mengadakan perhelatan perkawinan.
Pragmatik upacara perkawinan dilihat berdasarkan ungkapan dan makna
tiap tahap pelaksanaan, yang ditempatkan dalam konteks budaya, khususnya
budaya Gayo sebagai estetika tradisional Gayo. Dalam upacara perkawinan
ngerje, tahap kegiatan munginte atau peminangan, teniron, i serahen ku
guru, mujule mas, pelaksanaan pernikahan, dan pesta pernikahan secara adat
istiadat Gayo merupakan teks yang berfungsi untuk menyampaikan suatu
pesan dalam konteks budaya Gayo yang dikemas dalam suatu bentuk
“teater” kehidupan atau miniatur kehidupan. Semua kegiatan dan bahan-
bahan atau uberampe dalam upacara perkawinan ngerje memiliki nilai-nilai
pendidikan luhur bagi masyarakat Gayo.
Kegiatan munginte atau peminangan pada tataran signifikasi pertama
(teks) adalah sebagai usaha menyatukan keinginan dan hasrat untuk
memperoleh kebahagiaan bagi salah satu anggota keluarga masyarakat Gayo.
Pada tataran signifikasi kedua atau konotasi pertama, kegiatan munginte
membutuhkan suatu perhitungan matang dan melalui peraturan yang sah
menurut agama dan adat istiadat Gayo. Sementara pada tataran signifikasi
ketiga atau konotasi kedua, kegiatan munginte atau peminangan merupakan
kesiapan mental dengan ketabahan dan kesabaran tinggi untuk menggapai
kebahagiaan jasmani dan rohani dari mempelai laki-laki dalam rangka
meminang calon mempelai perempuan. Secara pragmatik kegiatan munginte
menunjukkan kedewasaan seseorang dalam berpikir dan bertindak.
Kegiatan teniron, pada tataran signifikasi pertama (teks) adalah kerelaan
berkorbaan dari orang Gayo untuk mencapai suatu keinginan menggapai
kehidupan berumah tangga. Pada tataran signifikasi kedua atau konotasi
pertama, kegiatan teniron adalah sebagai salah satu cara menghilangkan sifat
keserakahan dan ketamakan terhadap materi atau benda yang dapat merusak
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pada tataran signifikasi ketiga atau
konotasi kedua tahap kegiatan teniron sebagai penggambaran kesenangan
jiwa atau rohani lebih baik dari pada kesenangan materi atau harta sehingga
membuat hidup lebih tenang dan bahagia. Secara pragmatik tahap kegiatan
teniron menunjukkan suatu sifat kerelaan dan keridhoan orang Gayo
terhadap sesuatu yang telah ia berikan kepada orang lain.
Kegiatan i serahen ku guru (diserahkan kepada tengku guru) pada tataran
signifikasi pertama (teks) merupakan pendidikan perilaku yang harus
ditanamkan pada calon mempelai sesuai dengan agama Islam dan adat
istiadat Gayo petunjuk jalan hidup. Pada tataran signifikasi kedua atau
konotasi pertama, kegiatan i serahen ku guru membutuhkan usaha dan doa
agar daya tahan mental dan fisik terpelihara dengan baik dalam menjalani
hidup. Sedangkan pada tataran signifikasi ketiga atau konotasi kedua,
kegiatan i serahen ku guru adalah sebagai keseimbangan terhadap kehidupan
dunia dan akhirat, mental dan fisik serta rasional dan emosional dalam
menempuh kehidupan. Secara pragmatik kegiatan i serahen ku guru
merupakan suatu pembelajaran kehidupan bagi masyarakat Gayo.
Kegiatan mujule mas (mengantar emas) pada tataran signifikasi pertama
(teks) adalah memberikan kemuliaan kepada wanita dan klen atau golongan
lain dalam masyarakat Gayo. Pada tataran signifikasi kedua atau konotasi
pertama kegiatan mujule mas merupakan pengakuan orang Gayo terhadap
wanita dan golongan atau klen lainnya terhadap hak yang sama untuk
dihormati dan dihargai. Sedangkan pada tataran signifikasi ketiga atau
konotasi kedua kegiatan mujule mas adalah pengakuan orang Gayo terhadap
derajat manusia yang sama. Secara pragmatik kegiatan mujule mas adalah
sebagai kesetaraan golongan (klen) dan asasi manusia yang sangat dijaga
oleh masyarakat Gayo.
Kegiatan pelaksanaan pernikahan pada tataran signifikasi pertama (teks)
adalah sebagai cara masyarakat Gayo dalam menguatkan identitas keturunan
untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap Tuhan, keluarga, masyarakat
dan lingkungan sosial. Pada tataran signifikasi kedua atau konotasi pertama
kegiatan pelaksanaan pernikahan adalah sebagai cara untuk menyatukan dua
manusia yang berlainan jenis dan klen atau golongan. Sedangkan pada tataran
signifikasi ketiga atau konotasi kedua adalah menyatukan jasmani dan rohani
sesama manusia dalam suatu ikatan yang pernikahan yang murni. Secara
pragmatik kegiatan pelaksanaan pernikahan adalah sebagai cara orang-orang
Gayo agar menjadi manusia yang ideal yaitu manusia yang seimbang jasmani
dan rohani yang dapat meneruskan keturunan dengan baik.
Kegiatan pesta pernikahan atau keramaian pada tataran signifikasi
pertama (teks) merupakan penjamuan dan memberi hiburan oleh yang punya
hajatan atau keluarga mempelai kepada masyarakat. Pada tataran signifikasi
kedua atau konotasi pertama kegiatan pesta pernikahan adalah sebagai rasa
kebersamaan dan wujud gotong royong masyarakat Gayo dalam
menyukseskan suatu acara adat. Pada tataran signifikasi ketiga atau konotasi
kedua kegiatan pesta pernikahan adalah sebagai rasa syukur dan terima kasih
keluarga mempelai khususnya dan masyarakat Gayo umumnya kepada Tuhan
Sang Pencipta yang telah memberikan keberkahan hidup dan rezeki kepada
masyarakat Gayo. Secara pragmatik kegiatan pesta pernikahan adalah sebagai
wujud ketaqwaan dan syukur kepada Allah SWT.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah
dengan pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga diri dari
terjatuh pada kerusakan seksual dan lain-lain.
Upacara perkawinan adat dengan segala perilaku, suasana dan bahan-
bahan yang digunakan (uberampe) merupakan simbol-simbol atau
perlambangan ungkapan pesan ajaran. Tranmisi/penyampaian nilai-nilai
budaya yang bermakna melalui simbol-simbol yang digunakan dalam
upacara perkawinan masyarakat Gayo merupakan media pendidikan
tradisional. Dengan mengenali berbagai macam upacara tradisi dan kesenian
tradisional yang multikultural serta menggali makna-makna simbolik yang
ada di dalamnya dimaksudkan untuk memahami dan menanamkan nilai-nilai
solidaritas, nilai pendidikan dan nilai moral sehingga menghargai keragaman
tradisi nusantara.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu masih perlu
kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun. Terima kasih
DAFTAR PUSTAKA

Pinan, H.A.AR. 1998. Hakekat Nilai-nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Penerbit
Pemda Aceh Tengah.
Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Budaya Aceh (Yogyakarta:
Polydoor Desain, 2009)

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3 ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008)

T. Syamsuddin et. Al. 1978/1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah


Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh.

Wawancara dengan Ayahanda Drs.M. Nurdin Ali, tokoh masyarakat Kampung Daling
Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Wawancara pribadi di rumahnya
tanggal 2 Oktober 2017.

19
Makalah

KEWIRAUSAHAAN
ADAT GAYO MUNGERJE

Diajukan sebagai salah satu tugas kuliah

Oleh :
MULIA MISFAH
NPM. 14 0207 8323

Semester VII Unit A


Jurusan Tarbiyah Prodi PIAUD
Dosen : Hendri Bujangga, M. Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


GAJAH PUTIH TAKENGON ACEH TENGAH-ACEH
TAHUN 2018

20

Anda mungkin juga menyukai