Pada tulisan kali ini, akan memperjelas status uang kotak amal masjid. Status ini seringkali
ditanyakan para jama’ah. Pasalnya, ada stigma bahwa segala yang terkait dengan masjid, kerap
dihukumi waqaf. Demikian pula dengan uang kotak amal masjid, apakah uang kas tersebut
dikategorikan waqaf?
Kita tahu, uang kotak amal atau kas masjid (baca: dana masuk) adalah uang milik umat. Mereka
mengeluarkan hartanya untuk kepentingan masjid, kepentingan umat Islam agar masjid sebagai
tempat ibadah menjadi sarana yang baik dan nyaman bagi siapa saja yang melaksanakan ritual
ibadah dan beramal sholeh. Oleh karena itu, uang kas masjid tersebut bukanlah milik
perorangan ataupun kelompok.
Untuk itulah diperlukan manajerial yang baik agar uang tersebut efektif untuk kemaslahatan
masjid. Atas dasar inilah lalu dibentuk struktur kepengurusan atau takmir masjid yang salah
satu tugasnya adalah berwenang untuk mengatur dan mendayagunakan uang kas masjid
tersebut.
Perlu diketahui, bahwa status uang kas masjid hasil kotak amal tidak dapat dikategorikan
sebagai benda waqaf, mengingat uang adalah barang yang habis dipergunakan dan bukan
baqaul-a’in (barang kekal yang tidak habis dipergunakan), demikian diterangkan dalam kitab
Fathilqarib Hamisy Albajuri.
فال يصح،أحدها أن يكون الموقوف مما ينتفع به مع بقاء عينه ويكون اإلنتفاع مباحا مقصودا
وقف آلة اللهو وال وقف دراهم للزينـة.
“bahwa waqaf boleh dilaksanakan jika ada 3 syarat, salah satunya barang yang
diwaqafkan adalah barang yang bermanfaat dan juga barang yang kekal”.
Jadi, karena uang kotak amal bukan termasuk barang yang kekal seperti tanah, maka
statusnya tidak bisa disebut waqaf. Yang dimaksud benda kekal di sini adalah benda
yang tidak bisa diubah seperti tanah yang diwaqafkan untuk masjid. Beda dengan uang,
uang adalah benda yang tidak kekal. Jika uang dianggap benda waqaf yang bisa kekal,
jelas tidak mungkin uang kertas atau uang recehan hasil dari kotak amal akan dibiarkan
terus dalam bentuk uang. Uang menjadi berharga karena nilai tukarnya, uang harus
ditransaksikan, diambil manfaatnya. Tidak bisa dan tidak mungkin membiarkan uang
kas menjadi benda waqaf yang justru bila didiamkan, dzat uang tersebut akan rusak
dan nilai tukarnya semakin berkurang seiring bertambahnya tahun.
Selain itu, alasan lain yang membuat statusnya bukan termasuk benda waqaf adalah
tidak adanya shighat waqaf ketika seseorang memberikan uang tersebut, sehingga
posisinya hanya sodaqah dan bukan waqaf.
Oleh karena itu, sah-sah saja menggunakan uang kotak amal asalkan untuk
kepentingan dan kemashlahan masjid, termasuk juga memberi “bisyarah”
(penghargaan, salam tempel, upah) kepada segenap aktivis atau pihak-pihak yang
berjasa memakmurkan masjid, seperti: imam shalat rawatib, muaddzin, khathib, bilal,
tim/seksi kebersihan (marbot masjid), guru/kiai yang mengajar demi memakmurkan
masjid dan lain sebagainya. Asalkan, jumlah nominal uangnya lebih sedikit dari upah
pada umumnya. Hal ini seperti yang difatwakan Ibnu Shabbagh yang dinukil dari kitab
“I’anatuth Thalibin“.
] االستقالل بذلك من غير الحاكم (قوله االستقالل بذلك) أي بأخذ1[وأفتى إبن الصباغ بأن له
األقل من نفقة أو أجرة مثله
[1] )3/219 ،للناظر (حاشية إعانة الطالبين.
Kesimpulannya, uang kas hasil kotak amal masjid dan uang dari pemasukan lain yang
diberikan untuk masjid adalah bukan benda waqaf. Statusnya adalah shadaqah (amal
jariyah). Alasannya, pertama, ia bukan barang yang kekal seperti tanah, kedua, tidak
ada shighat waqaf (ijab-qabul) pada saat uang itu diberikan untuk masjid.
Dengan statusnya yang bukan benda waqaf ini, maka uang kas masjid dapat digunakan
untuk segala hal yang berkaitan demi kemaslahatan dan kemakmuran masjid sebagai
tempatibadah.
Uang kas masjid yang statusnya shadaqah ini dapat dan boleh dipakai untuk, misalnya,
membayar listrik, air, pembelian lampu dan segala kebutuhan masjid, termasuk untuk
bisyarah para khathib, bilal, muaddzin, petugas kebersihan, keamanan, guru/kiai/da’i di
masjid, dan sebagainya. Wallahu A’lam.
Kebutuhan masjid (imarah) sudah terpenuhi, seperti penjelasan dalam kitab mawahib
dzil fadl min fatawa ba fadhal, hal : 111.
فتح االله المنان للشيخ سالم بن سعيد بكير باغيثان الشافعي ص 150 :
سئل رحمه هللا تعالى عن رجل وقف امواال كثيرة على مصالح المسجد الفالني وهو االن
معمور وفي خزنة المسجد من هذا الوقف الشئ الكثير فهل يجوز اخراج شئ من هذا الوقف
القامة وليمة مثال يوم الزينة ترغيبا للمصلين المواظبين؟ فأجاب :الحمد هلل وهللا الموافق
للصواب الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء
والتجصيص المحكم و في أجرة القيم والمعلم واالمام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب
المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك االهم فاالهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة
.السؤال لما ذكره السائل اذافضل عن عمارته ولم يكن ثم ما هو اهم منه من المصالح اهـ
بغية المسترشدين ص ( 65 :دار الفكر)
يجوز للقيم شراء عبد للمسجد ينتفع به لنحو نزح إن تعينت المصلحة فى ذلك إذ )مسئلة ب(
المدار كله من سائر األولياء عليها نعم ال نرى للقيم وجها فى تزويج العبد المذكور كولى اليتيم
إال أن يبيعه بالمصلحة فيزوجه مشتريه ثم يرد للمسجد بنحو بيع مراعيا فى ذلك المصلحة
ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد فى المسجد من قهوة ودخون ونحوهما مما يرغب نحو
.المصلينـ وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته
3. Jika dana (kas) berasal dari dana waqaf atau hibah bersyarat, maka penggunaannya harus
sesuai dengan ketentuan pemberi atau kebiasaan yang sudah berlaku saat pemberian. Karena
ketentuan waqif harus ditaati sebagaimana keharusan menaati dalil nash. Dalam sebuah
dhabith (prinsip waqaf) disebutkan :