Anda di halaman 1dari 34

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag.

Oleh: Nata Warga

Salam Saudara semua yang dimuliakan Semua Mahluk,


Saya akan coba meluangkan waktu untuk menyampaikan pesan-pesan “Jawa” lewat falsafah nya,
yang saya beri judul subjek “1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan”. Di perpustakaan kami ada
sedikitnya 400 Falsafah atau lebih, saya akan mulai nulis sehari 1 atau minimal seminggu ada 3,
semoga tidak bosan setahun baca ini terus bagi yang ikut di Mailing Diskusi Gantharwa.
(Silahkan Gabung di diskusi_gantharwa+subscribe@googlegroups.com kirim email kososng)
Urutan dari falsafah nantinya bukan menujukan berseri atau bersambung, tapi saya tersentuh apa,
itu yang saya tulis.

Semoga bisa bermanfaat,

1. “Holopis Kuntul Baris”

Artinya: Bergotong Royong / Bekerja Sama

Dalam hidup manusia yang saling berinterksi satu sama lain, yang mana setiap individu
mempunyai keinginan masing-masing yang tentu tidak selalu selaras, maka Kerja Sama adalah
cara efektif untuk kembali menyelaraskan keinginan secara kelompok besar dan tentunya dalam
hal Benar, semua itu di lakukan dengan tulus tanpa pamrih. Jadi bisa di katakan Gotong royong
adalah mempunyai suatu tujuan saling bahu membahu dilakukan dengan tulus tanpa kecurigaan.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Holopis Kuntul Baris” bisa berarti kedua individu
yang se”iya” se”kata”, yang mana ini dapat di bangun lewat adanya komunikasi yang
efektif.

- Dalam hubungan orang tua dengan anak-anak (Guru dan Murid) masing-masing
menyelaraskan dan berlaku yang sama sesuai dari hakekat tujuan Hidup.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), lebih mengangkat harkat
dan martabat dari nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu adalah cinta kasih, cinta kasih
wujudnya adalah selalu saling memaafkan (mengampuni) atau tolerasi, dan selalu saling
memberi/murah hati.

2. “Bramara Mangun Lingga”


Artinya Laki-laki yang bertingkah laku berlebihan.

Laki-laki dikatakan adalah sosok yang lebih kuat (lambang “Lingga”) secara fisik dibandingkan
dengan wanita, namun secara tidak langsung kebanyakan laki-laki secara psikis sangat lemah
dibandingkan dengan wanita… Hal ini di tunjukan dari kesan laki-laki menutupi diri mereka
dengan secara tampak luar bersikap/acting/laku berlebihan, terutama kepada lawan jenis apalagi
menaruh hati pada wanita tertentu di sukai.
Tingkah berlebih baik secara verbal maupun non verbal bisa menjadi sangat tampak oleh para
penonton di sisi lain.
Dari rayuan sampai cara berpakaian yang berlebih hanya semata-mata untuk menahlukan si
wanita.
Secara spiritual, kecenderungan laki-laki ini juga di bawah saat ingin menahlukan seorang wanita
dengan berlebihan berpenampilan dengan berpura-pura: berwibawa, santun terkesan bijak, seperti
berhati legowo, ingin di tua kan. Yang akkhirnya tujuan untuk menjebak dan mengambil
keuntungan dari si wanita. Itulah kira-kira kesan dari falsafah ini.

Maka orang tua (leluhur) mengajarkan untuk bahwa seorang wanita mencintai pria atau
sebaliknya haruslah karena masing-masing dalam kejujuran yang bertanggung jawab.
Kejujuran bertanggung Jawab adalah bagaimana masing-masing bisa saling membangun bukan
mengantikan.

– Dalam kehidupan berumah tangga “Bramara Mangun Lingga”, terjadi biasanya pria nya
telah melakukan penyimpangan-penyimpangan atau tidak jujur bertanggung jawab,
tingkah laku berlebihan baik secara agresif maupun defensif mengambarkan bahwa pria
tersebut sedang bermasalah atau melakukan kesalahan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ajaran untuk apa adanya, menjadi
diri sendiri dan jujur bertanggung jawab (membangun orang lain), serta tidak minder yang
akhirnya bertindak agresif, perlu di contohkan oleh orang tua atau Guru.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah selalu


menjadikan atau berlomba untuk membuat rumput kita lebih hijau dari tetangga (orang
lain), tapi tingkatkanlah kwalitas keluarga (bermasyarakat) dengan niat saling
membangun. karena kalau motivasinya adalah untuk pengakuan diri (rumput lebih hijau)
maka akan terjebak bahwa terjadi tebar persona, dan bisa berdampak tebar persona pada
lawan jenis yang berujung pada penyelewengan/penipuan.

3. “Kenes Ora Ethes”


Artinya: Sombong (harta) tapi Botol (Bodoh dan Tolol)

Antara kesombongan dan kebanggaan kadang menjadi sangat tipis perbedaannya, disaat
seseorang menilai perkataan maupun perbuatan orang lain sebagai kesombongan jika hal yang
dianggap berlebih dan melecehkan.
Saat ini banyak masyarakat yang mendadak kaya, karena atas dasar kekayaan ini, kadang
akhirnya diikuti dengan sikap sombong yang cenderung melecehkan orang lain. Namun sangat
disayangkan adalah kesombongannya adalah hal yang melekat diluar diri, tidak diikuti dengan
pengetahuan atau info yang memadai atau cenderung sangat jauh ketinggalan dan bisa dikatakan
Botol.

– Dalam kehidupan berumah tangga “Kenes ora kethes” adalah menyombongkan materi
yang dimiliki tapi Botol dalam berumah tangga, seperti contoh
– Istri menyombongkan perhiasan didepan temannya, namun soal merawat suami dan anak
sangat Botol.
– Suami menyombongkan karier/kekayaannya namun soal melindungi istri dan anak sangat
botol.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid). Orang tua/guru sering
menyombongkan kehebatannya/skill, namun secara transformasi, menyalurkan,
mengestafetkan keilmuan tidak dapat dilakukan karena kebodohan dalam menjaga
hubungan orang tua dan anak atau guru dan murid.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tidak peduli dan
cenderung masa bodoh karena ashik pada materi yang dimiliki.
4. “Mburu Uceng Kelangan Dheleg”
Artinya: Memburu hal kecil, kehilangan yang besar.

Perkembangan materialis dalam kehidupan semakin tinggi berbanding lurus dengan banyaknya
diciptakan “tools” alat bantu kehidupan manusia yang serba otomatis, semua serba mudah dan
gampang, bahkan bisa dikatakan tanpa “tools” penunjang ini manusia tidak bisa hidup.
Hal inilah yang kemudian memberikan input secara terus menerus pada generasi ke generasi
untuk akhirnya sangat terantung materialis..

Pada akhirnya ini kemudian yang materialis lebih dikejar dalam hidup daripada yang mistis
(kasunyatan).
Ukuran kwalitas hidup akhirnya pula disematkan berkwalitas atau tidak, dilihat bagaimana
pencapaian materialis…

Banyak yang berpendapat, biar dapat materi dulu barulah dia mulai masuk pada kasunyatan.
Dalam konteks ini sebenarnya adalah mereka telah mempertaruhkan hal besar (nyata) demi suatu
hal kecil (maya/materi). Padahal materi dapat diciptakan kalau kita mencapai hal yang nyata ~
“cipto dadi nyato”

Saya tidak mengunakan istilah “korban” atau “berkorban” ataupun “pengorbanan” sesuatu yang
besar demi hal kecil.
Karena “pengorbanan” dalam arti sebenarnya adalah kehilangan sesuatu yang baik demi sesuatu
yang lebih baik, pada bahasa falsafahnya adalah mengambil kebijaksanaan.
Nah.. Falsafah diatas menujukan “ke-Botol-an” bukan kebijakan.

– Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Uceng Kelangan Dheleg” adalah bahwa lebih
penting adalah kesatuan dan kemanunggalan diatas segala-galanya dari apa yang dikejar.
Ada satu istilah bahwa kalau usaha atau karier mau bagus maka biasanya keluarga berhasil
secara kwalitas.
– Kerakusan demi egoisme kenyamanan sering mengorbankan kehidupan keluarga.
– Saling membangun keluarga, maka hal yang lain (materi) akan mengikuti.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua sering memaksakan
anaknya untuk berprestasi berakedemik dari pada mengajarkan cara logika berpikir, atau
lebih senang anaknya sanggup menghapal, daripada anak mengerti. Demikian guru
menitik beratkan fanatisme ajaran daripada esensi ajaran.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), nilai kemanusiaan harus
diletakan diatas segalanya. Kehilangan nilai kemanusiaan demi pengejaran nilai lain
adalah penurunan derajat kemanusiaan itu sendiri..

5. “Mburu Kidang Lumayu”


Artinya: mengejar hal yang sia-sia.

Terkadang dalam kehidupan kita, terutama saat kita banyak yang mempertahankan hidup materi
dengan berjuang habis-habisan, sering kita terbentur, apakah sudah cukup atau berlebihankah kita
mengejar hal-hal materi? Apakah ini bukannya sia-sia kalau memang materi adalah maya? Namun
bagaimana tanggung jawab sebagai manusia yang harus menghidupi orang lain/keluarga minimal
kepada orang tua, saat mereka membutuhkan bantuan kita dalam kehidupan materi ini.
Ukurannya menjadi sangat sulit sebagai penimbang akan cukup tidaknya dalam mengejar urusan
materi. Masing-masing punya ukurannya sendiri..
Tips yang pernah diberikan adalah saat anda mengejar sesuatu materi, maka bersamaan itu buatlah
kebajikan, maka itu tanda bahwa anda mengejar sesuatu dengan tidak sia-sia.. Jangan pula
terbalik, melakukan kebajikan demi sesuatu.

– Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Kidang Lumayu”, bisa berarti jangan
menyombongkan hal yang belum ada yang sedang kita kejar.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan hal yang penting,
akan menhindari pengejaran hal yang sia-sia dikemudian hari, hal yang penting adalah
meletakan kebajikan diatas pengejaran materi.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangalah berdusta


dengan membohongin hal yang sebenarnya kita tidak punyai dan dengan memaksakan
diri.

6. “Tinggal Nglanggancolong Playu”


Artinya: Menghindari Tanggung jawab.

Kepasrahan atau sumeleh dikatakan sebagai ilmu tertinggi, dan hampir dari semua memakai ilmu
ini untuk secara halus menghindari tanggung jawab.
Adalah kepasrahan yang semu jika sesuatu telah terjadi dan kita katakan pasrah saja, yang tentu
kita lalu beranggapan: mau apalagi, memang sudah demikian adanya, pernyataan demikian justru
menjerumuskan kita menjadi manusia yang tidak bertanggung jawab.

Tanggung jawab adalah langkah awal dari suatu kepasrahan yang total / Sumeleh. Maksudnya
adalah bahwa tanggung jawab atau kepasrahan ditaruh diawal suatu kejadian, bukan diakhir atau
hasil dari suatu kejadian. Maka kepasrahan adalah suatu laku yang aktif dalam menanggung
semua laku kita (jawaban), sehingga inilah yang dinamakan tanggung jawab.
Namun yang sering kita jumpai justru pasrah ditaruh setelah ada kejadian yang sifatnya
menderita, kita berseru:” ya.. Pasrah saja deh..” Yang mana ini adalah laku pasif yang menhindari
tanggung jawab.

– Dalam kehidupan berumah tangga “Tinggal Nglanggancolong Playu”, adalah sikap yang
saling menhancurkan, bisa terjadi karena salah satu atau berdua tidak punya kemauan yang
baik untuk tetap manunggal.
– Wanita sering memposisikan diri atau diposisikan dalam kepasrahan semu (menghindari
tanggung jawab) lantaran adanya budaya Patriakat (laki lebih unggul), akhirnya punya
sikap mental bahwa hidup hanya jalani saja, pasrah saja, emang sudah demikian. Dan
celakanya banyak para laki yang memanfaatkan cela ini, dan akhirnya berujung egoisme
masing-masing.
– Sikap baik pria dalam budaya patriakat harusnya mensetarakan wanita, dan parsa wanita
harus mensejajarkan dalam kedudukan peran masing-masing, sehingga saat melangkah
akan betul pasrah dan bertanggung jawab.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), contoh atau teladan yang benar
dari orang tua atau guru adalah hal yang utama dalam mengajarkan bertanggung jawab
atau pasrah yang benar. Dimulai dari melakukan apa yang diajarkan dan dimegerti oleh
sang guru.
– Namun murid juga di harapkan agar belajar untuk melakukan yang diajarkan, tidak hanya
dari contoh laku yang diberikan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), yang merasa mengerti
lebih aktif berlaku tanpa perlu mendakwa, menuntut, menghakimi, dan akhirnya
menghukum.
– Yang merasa tidak mengerti, agar belajar dan lakukan yang dimengerti saja. Bertanggung
Jawab dimasyarakat adalah memiliki sikap mental untuk saling membangun dalam segala
perbuatan yang akan dimulai.

7. “Tuna Sathak Bathi Sanak”


Artinya: Kehilangan harta, tambah saudara.

Dewasa ini, hubungan dan status sosial dalam berinteraksi dengan orang lain diukur dari harta,
harta yang dimaksud antara lain gaya hidup, jumlah kekayaan, jabatan atau posisi, backing.
Interaksi manusia sudah bergeser dari tujuan yang tadinya saling asah asih asuh, telah menjadi
mencari komunitas yang sama, yang sewarna, atau membentuk kelompok elit.

Hubungan persaudaraan sebenarnya begitu penting bahkan diatas hal materi, atau bisa dikatakan
hubungan persaudaraan adalah hubungan kemanusiaan, dimana masing-masing memanusiakan
yang lain atau saling menghidupi.

Menjunjung tinggi kerelaan dengan bermurah hati demi kemanusiaan adalah sikap memiliki welas
asih.
Pertanyaannya adalah seberapa besar saya harus bermurah hati? Jawabnya adalah berikanlah
sampai anda sudah mulai merasa keberatan (terbebani), dan tambahkanlah semangat lebih,
melebih diatas keberatan.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Tuna Sathak Bathi Sanak”, tidak dalam kategori
pendapat yang kita cukup kita kenal adalah uang tidak mengenal saudara, uang bisa
membeli teman (saudara). Namun adalah ada saatnya kita harus melepaskan keterikatan
dengan harta demi menjujung kemanunggalan dalam keluarga, janganlah jadikan harta
menjadi ukuran atau timbangan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan untuk senantiasa
bermurah hati, mementingkan kesatuan dalam persaudaraan, walau harus kehilangan harta
benda.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjunjung tinggi saling
asah asuh asih melebihi berkompok sesuai latar belakang jauh lebih penting untuk
membangun suatu persaudaraan yang universal.

8. “Sanding Kebo Gupak”


Artinya: Terpengaruh jelek karena lingkungan yang jelek.

Manusia sejarahnya dipengaruhi 4 hal yang membantuk karakter diri mereka, ke-4 hal tersebut
adalah dari sejak kecil dipengaruh oleh orang tua, beranjak remaja sampai dewasa mulai
dipengaruhi oleh lingkungan, berikutnya lalu akan sama-sama dipengaruhi oleh keyakinannya
(agama/kelompok/organisasi/pandangan/ideologi), dan yang terakhir di pengaruhi oleh dirinya
sendiri yang apa adanya.
Kalau kita masih merasa bisa di pengaruhi, janganlah coba-coba untuk masuk suatu lingkungan
yang mau kita rubah, karena kita akan terpengaruh dan berubah, apalagi lingkungan tersebut
adalah lingkungan yang penuh kejelekan.
Induksi yang di terima manusia sepanjang hidupnya, mempengaruhi manusia dalam memiliki
keinginan (impian) sampai kepada suatu tindakan. Lain halnya pada suatu saat manusia terbebas
dari pengaruh atau induksi, dia sendiri yang mengambil keputusan secara sadar, yang benar
maupun yang jahat.
Ada istilah di dunia marketing, orang sukses bergaul dengan orang sukses, orang gagal bergaul
dengan pencundan… Ini juga sebagai gambaran bahwa karakter manusia sangat tergantung
lingkungan yang mempengaruhi, atau lingkungan mempengaruhi manusia..

Nah.. lalu kalau lingkungan sudah seperti kumbangan, apakah lantas kita kebagian jeleknya saja?
Baik secara langsung dan tidak maka mau tidak mau memang demikian itu terjadi, namun
permasalahannya pengaruh kuat yang ke-4 yaitu dari dirinya sendiri yang apa adanya, suatu saat
akan muncul, disaat itulah seseorang manusia memilih untuk tetap dalam pengaruh lingkungan
atau menjadi berbeda (ngeli) positif dengan menyempurnakan pengertian dia (cara
berpikir/kesadarannya) untuk menjadi unik tanpa pengaruh.

Menjadi manusia yang beperanan utama itulah hakekat dari hidup secara duniawi. Yang
menentukan harga diri manusia adalah diri nya sendiri.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Sanding Kebo Gupak” masing-masing bertanggung


jawab untuk bisa mempengaruhi secara positif terus menerus, jangan sampai memberi
pengaruh yang jelek terutama atas dasar ketidak percayaan, ketidak terbukaan, sehingga
komunikasi menjadi mandek.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru diharapkan
menjadi katalisator positif agar anak atau murid bisa menjadi manusia menemukan diri
mereka apa adanya agar bertumbuh menjadi pribadi yang unik. Jika orang tua atau guru
bersifat seperti memerangkan diri sebagai Durno yang mempersonifikasikan hal jelek,
maka anak atau murid haruslah menjadi bimo yaitu “sapa temen tinemu”

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjaga kondisi yang
tetap kondusif dilingkungan masing-masing dan juga lingkungan dalam suasana positif
terhindar dari gosif, bisa akan membangun karakter yang positif secara kolektif.

9. “Jalma Angkara Mati Murka”


Artinya: “Kemalangan karena tindak anarkis sendiri”

Secuil bentuk emosional adalah senjata penghancur ampuh dan efektif yang sangat tradisional
sejak manusia ada. Penghancuran ini lebih ditujukan kepada diri sendiri, memang kadang kita
melihat bahwa tindakan yang agresif dengan kemarahan, kebengisan, buas, yang menjadi korban
adalah orang lain, namun sebenarnya seperti bumerang yang akan berbalik dengan kekuatan yang
sama atau lebih karena efek dorongan hal lain.
Untuk itulah dibutuhkan suatu bentuk “Kesadaran” dan “Pengamatan” sehingga emosional tidak
menjadi energi agresif yang mendorong terjadinya kemalangan pada diri sendiri yang terus
menerus baik saat ini, sampai kedepan maupun kehidupan ini sampai kehidupan berikutnya.
Angkara Murka akan merusak Kesadaran Roh (Sukma) Sejatinya manusia, disebut merusak
artinya mundurnya kesadaran akan kemanunggalan/Unity, lalu mundurnya welas asih/Budhi, lalu
mundurnya kemampuan/potensi, dan akhirnya menjadi perusak.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jalma Angkara Mati Murka”, menghindarilah cara
berpikir yang mencela, menghindarilah dengan berkata-kata mengitimidasi pasangan,
menghindarilah berlaku kasar. Lebih menjaga “Tata Basa lan Tata Laku”
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua / guru yang welas asih
bukan dilihat dari usia nya, tapi bagaimana mereka bisa menjaga dan menyelaraskan
kawruh (pengertian) mereka dengan laku mereka. Anak / Murid dalam menghargai orang
tua/guru bukan dengan memuji-muji sambil berlaku anarkis, tapi yang menerapkan ajaran
welas asih/budhi-lah.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling selalu


memaafkan/mengampuni kesalahan dari orang lain, dan berlomba-lomba menjadi yang
utama menjunjung kesatuan ukuran dalam menciptakan kemanunggalan akan menghindari
dari tindakan anarkis. Tidak hanya menghargai perbedaan tapi kita harus melangkah
menjadi Bhinneka Tunggal Ika – We are One – No you no me but Us – Aku adalah
engkau dan engkau adalah aku.

10. “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”


Artinya: Hal buruk yang hanya bisa dirubah setelah mati.

Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Pribahasa ini akrab dengan
kita sebagai nasehat untuk manusia agar berbuat baik agar namanya bisa dikenan dan menjaga
nama baik keluarga.

Ada juga yang mengatakan, ukuran hebat tidaknya seseorang (bisa positif – bisa negatif), bukan
dilihat dari berapa banyak orang yang datang menghadiri undangan saat perkawinannya atau
mengawinkan anaknya, tapi hebat tidaknya adalah dilihat dari banyak tidaknya yang datang
melayat saat dia mati.

Terlepas dari kenangan orang lain dan banyak penghargaan yang diberikan kepada yang sudah
meninggal, yang lebih penting adalah apakah kita pribadi telah meninggalkan hal benar/budhi
bagi kehidupan orang lain? Dan hal benar tadi sebagai kesadaran dalam perjalan Roh pribadi
sendiri.

Jika hal buruk yang kita lakukan, tidak hanya membuat kita terhambat, tapi lebih pula
mempengaruhi orang lain. Sehingga jika sepanjang masih hidup maka kita masih berlaku buruk,
hal ini akan membuat menjadi permanen sehingga sampai tidak dapat diubah, maka untuk orang
lain, pengaruh buruk bisa jadi baru hilang kalau kita sudah mati, dan hal buruk akan diperbaiki
jika kita alami kematian fisik untuk kembali belajar lagi.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”, mumpung kita masih
hidup dan bersama dengan pasangan, hendaklah bisa merubah segala hal buruk yang dapat
menyakiti pasangan, baik secara pikiran, perkataan, maupun tingkah laku.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pengaruh hal buruk dari orang
tua / guru sangat dapat membuat anak/murid bertingkah buruk, dan kadang harus
menunggu orang tua / guru mati dulu, baru sang anak/murid bisa terbebas dari doktrin
buruk.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tinggalkanlah hal baik,
maka akan membangun masyarakat yang baik di generasi yang akan datang.

Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti

bersambung ke bag. 2
“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 3

21. “Ana Catur Mungkur”

Artinya: Membicarakan hal negatif orang lain.

Dalam interaksi dengan orang lain, siapa yang tidak mau menjaga nama baik mereka, semua
orang selalu senantiasa menjaga nama baiknya dalam pembawaan diri. Pengakuan atas diri
sebagai identitas yang unik adalah bagian dari keberadaan diri.
Untuk itulah setiap orang harus berprestasi dalam bidang mereka masing-masing agar secara
mutlak keberadaan diri dapat berfungsi secara maximal.

Nah.. Masalahnya lain adalah banyak sekali orang yang ingin diakui keberadaannya dengan cara
menjelekan, mengunjingkan, menfitnah orang lain untuk sebenarnya ingin menunjukan
keberadaan diri atau secara ego dianggap diakui.
Yang lebih parah, jika seorang melakukan kesalahan fatal, dan orang lain berusahan memberitahu,
orang tersebut malah menjadikan orang lainnya seperti tameng diri untuk menghindari atau
menutupi kesalahannya, bahkan bisa berbalik menuduh orang yang menasehatinya sebagai biang,
dan membicaran hal yang jelek tentang orang lain.

Maka menjadi yang berperan utama dan berprestasi, jauh lebih baik sebagai diakuai orang lain
akan keberadaan diri.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ana Catur Mungkur”, pantang untuk membicarakan hal
buruk tentang pasangannya kepada orang lain, apalagi sekedar untuk gagah-gagahan kalau semua
temannya bercerita tentang kejelekan pasangan mereka. Jika ada masalah hendaklah diselesaikan
masalah, masalah negatifnya pribadi pasangan tetaplah dibawa hanya sampai pintu utama rumah,
artinya tidak perlu dibawa-bawa kemana-mana, malah bercerita hanya untuk pembenaran diri.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sebagai orang tua/guru, perannya
sebagai pemimpin, memimpin dengan memberikan contoh, bukan memimpin dengan
menjatuhkan orang lain agar terlihat lebih hebat. Kalau demikian terjadi, maka akan berdampak
pada anak/murid cenderung punya alasan untuk melakukan sesuatu yang jahat. Berbahaya!!!

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ada kata-kata bahwa jangan
mencampuri urusan orang lain, yang bermakna jangan menyematkan tuduhan yang negatif kepada
orang lain, agar kita dianggap baik.

22. “Jajah Desa Malang Kori”

Artinya: Menjelajah kemana-mana.

Saat kehidupan wadah fisik kita kali ini, merupakan bagian yang sangat kecil penjelajahan kita
dalam kehidupan sebenarnya yang begitu luas sebelum dan sesudahnya.
Kita sudah kemana-mana dan akan juga kemana-mana, yang hanya ada tujuan untuk kita menjadi
tabib ataupun menjadi pasien untuk kehidupan ini.

Hidup kita saat ini juga tidak lepas dari pencarian, agar kita bisa terus menerus mendapatkan
keilmuan pengertian (Kawruh), yang mana intinya adalah apakah kwalitas diri (hidup) anda
meningkat? Kalau belum, maka anda belum kemana-mana walaupun anda telah pergi jauh
menyeberang samudra, melewati benua.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Malang Kori”, juga mengajarkan untuk tidak
pernah berhenti mencari, menambah pengertian senantiasa untuk membangun keluarga yang tetap
utuh.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru yang hebat (benar)
adalah mereka yang mempersiapkan langkah/jalan/ anak-anak/murid mereka untuk senantiasa
selalu bersih dan benar.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), senantiasa berbagi dan
menerima semua saudara yang telah datang dan pergi guna untuk selalu menjadi suatu motivasi
saling asah asih asuh.

23. “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”

Artinya: Maju tak gentar, pantang Mundur.

Berjuang untuk selalu mencapai apa yang menjadi kemauan diperlukan suatu semangat lebih yang
tak kenal menyerah.

Manusia yang sengsara atau menderita bukan lantaran ada garis hidup demikian, tapi kebanyakan
karena mereka yang mudah menyerah.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”, bubarnya
suatu keluarga, lantaran salah satu atau dua-duanya mudah menyerah dan tidak berani
menghadapi apa yang ada di depan, cenderung khawatir. Maka pesan orang tua, sekali sudah
melangkah dalam membagun rumah tangga, pertahankan seumur hidup.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang berhasil yang maju tak
gentar, pantang mundur.. Merekalah yang berhasil akan mencapai ilmu yang dicari.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling menyemangati, saling
mendukung agar terus maju dalam setiap usaha, akan saling meningkatkan kwalitas, sehingga
terbentuk suatu masyarakat yang beradab.

24. “Ugak Ugak Pager Arang”

Artinya: Mempermalukan orang lain.

Kata malu disini adalah lebih kearah merendahkan yang lain, yang memperlihatkan aib orang lain.
Satu tindakan yang bisa berakibatkan dendam yang tak berkesudahaan, yang memperpanjang
sejarah permusuhan yang tak pernah berhenti.

Jika satu batang pohon bisa menghasilkan seribu batang korek api, demikian pula dengan satu
batang korek api dapat membakar habis isi satu hutan.
Artinya bahwa satu lembaga/keyakinan/organisasi/agama bisa menghasilkan ribuan orang
tercerahkan, namun satu orang dari sana juga bisa menghancurkan moral (hal benar) seisi dunia.
Hal ini tak lain adalah karena bersifat agresif untuk mempermalukan satu sama lain, dan merasa
puas, sehingga dendam tak kunjung usai.

Berhentilah menilai buruk orang lain dan berhentilah memperburuk keadaan. Anda butuh di
sembuhkan, Aku butuh disembuhkan, Dia butuh disembuhkan, Mereka butuh disembuhkan, jadi
mari kita semua berhenti sejenak saja untuk tidak mempermalukan orang lain, dengan label
penilaian buruk kita.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ugak Ugak Pager Arang”, cinta itu adalah membangun dan
memperbaiki, jika ada sesuatu yang buruk, bukanlah untuk dipermalukan, tapi untuk diperbaiki
dan dibangun kembali.
Aib pasangan aib anda juga, demikian sebaliknya, maka perbaikilah!

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang baik dan tidak
mempermalukan orang tua dan gurunya adalah menjalankan dengan sungguh-sungguh yang
dimengertinya.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling hormat menghormati,
sopan santun, dan menjaga martabat dari orang lain adalah ciri masyarakat membangun
komunitas secara sehat tanpa ada saling mencurigai dan menuduh.

25. “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”

Artinya: Ikut-ikutan namun tidak mengerti permasalahannya.

Jaman telah berubah, dan akan terus berubah, jika kita tidak mau berubah maka akan punah
tergilas perubahan itu sendiri. Namun demikian, jangan sampai kita ikut-ikutan yang tidak jelas
jentrungannya, perubahan tidaklah melulu masalah dari A menjadi B (berubah) tapi bisa jadi
adalah dari A menjadi memahami secara utuh A, yang bisa beperan secara lengkap fungsi A
secara utuh.

Kasihan banyak generasi ikut-ikutan era globalisasi karena merasa bahwa adalah suatu jaman era
modern (serba iptek), akhirnya terjebak sendiri dalam ikuta-ikuta tidak jelas, sehingga gampang
untuk di jajah dalam segala bidang.

Kita diajak untuk harus tahu/weruh segala permasalahan yang ada, jangan ikut-ikutan arus.. Jika
tidak mengerti maka lebih baik berhenti sejenak dan belajar…

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”, jika
komunikasi mandeg pada salah satunya, maka yang lain harusnya bisa menunggu sejenak jangan
ikut-ikutan untuk mutung mandeg juga, dalam hal lain berlaku untuk emosional.
Berhenti/menunggu sejenak agar mengerti dan dapat melihat secara jernih dan jelas.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), jangan menjadi penonton yang terlalu
ashik untuk ikut-ikutan terhadap apa yang di lakukan oleh orang tua/guru, karena kita belum bisa
memahami apa maksud dari laku-nya.
Kerjanya anak dan murid adalah belajar bukan sebagai juri yang menilai apa yang dilakukan
orang tua dan murid.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mencampuri urusan dan
permasalahan yang terjadi, padahal tidak mengerti apa-apa, justru akan memperkeruh suasana,
justru membuat hubungan masyarakat dari kita menjadi memburuk, bahkan cennderung rusak.
Lebih bijak kita tetap menjaga ke”ashik”an dalam gotong royong.

26. “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”

Artinya: Selalu dalam keselamatan tanpa adanya goda.

Semboyan sakti sebagai alasan dan kabing hitam sering kita denger adalah kalau seseorang tidak
selamat karena berbuat salah, kita akan denger bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kesalahan
atau manusia tempatnya salah.

Ah… kenapa manusia malang seperti itu? Padahal harusnya manusia selalu dalam keselamatan
bahkan tidak ada gangguan yang berarti.

Menunut dasarnya sesuatu terjadi pada manusia, sebenarnya bukanlah karena manusia tempatnya
salah, jika tidak terjadi keselamatan, tapi memang lantaran dari dasar manusia tidak memiliki
kesadaran, kenapa bisa tidak sadar, karena tidak mau belajar, kenapa tidak mau belajar, karena
merasa sudah tahu, kenapa merasa sudah tahu, karena bersikap mental bodoh, kenapa bersikap
mental bodoh, karena tak berbudi, kenapa tak berbudi, karena tidak berkemauan baik.

Atau kalau dibalik bahwa Jika kita tidak Berkemauan Baik, maka kita akan tak memiliki budi,
sehingga menyebabkan sikap mental yang bodoh, yang membawa kita menjadi manusia yang
merasa tahu, akibatnya kita tidak mau belajar lagi, yang akhirnya menjadi tidak memiliki
kesadaran.

Keselamatan adalah milik semua manusia yang memiliki Kemauan yang baik, namun kalau masih
malang maka kemauannya masih semu/palsu.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”, keluarga yang
terhindar dari bencana, adalah mereka yang membangun komunikasi yang efektif… Keluarga
yang membangun komunikasi efektif adalah mereka akan bahagia menikmati keselamatan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa akan
menyiapkan agar anak-anak dan murid mereka selalu akan dalam keadaan selamat, maka selalu
akan memberikan yang terbaik segala yang di minta, tapi bahayanya kalau Kemauan Baik tidak di
tanamkan dari awal, maka nanti berbentuk suatu hal yang sebaliknya dari keinginan awal.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kita diajarkan untuk selalu
saling bertegur sapa dan selalu siap untuk membantu yang lain, dan pada hakekatnya adalah
membangun masyarakat yang dalam keselamatan/kebahagiaan. Untuk itu kita jangan lupa juga
harus saling menanamkan sikap Jiwa besar agar kita saling memaafkan/mengampuni, dan jiwa
murah hati, agar bisa saling memberi.

27. “Kebo Bule Mati Setra”

Artinya: Yang pintar tapi tidak dipergunakan kepintarannya.

Kita yang hidup bersama senantiasalah selalu saling untuk mengisi, salah satu yang terlupakan
dalam saling mengisi kehidupan ini adalah kadang kita melupakan kepintaran dari orang lain
untuk mengisi hidup kita, kita malahan lebih sering mencurigai, menilai orang lain dengan ukuran
kepintaran kita, sehingga banyak yang pintar disekitar kita, justru kita tidak bisa belajar dari
mereka karena tidak bisa memanfaatkan kepintaran mereka, lantaran kita merasa lebih pinter.

Maka lepaskanlah diri dari belenggu bahwa kita paling tahu dan paling pinter, orang lain belum
tahu apa-apa!

Demikian juga kita kadang tidak bisa memanfaatkan kepintaran sendiri untuk bisa membantu diri
sendiri dan orang lain, kita lebih cenderung ashik membanding-bandingkan dan memberikan
kesimpulan yang disematkan pada orang lain.

Setiap orang memiliki kepintaran pada bidang tertentu, jangan menganggurkan kepintaran orang
lain dan diri sendiri.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kebo Bule Mati Setra”, hampir dari semua budaya
menganut paham patriakat atau laki-laki lebih unggul, sehingga banyak dari para istri selalu
menjadi pelengkap (bahkan penderita), manfaatkanlah kepintaran istri/pasangan hidup kita, untuk
bisa membangun keluarga yang benar-benar menjadi sigaraning nyowo, bukan merasa lebih
unggul atau lebih pintar, tapi seiya sekata, sejiwa.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), manfaatkan sebaik-baiknya orang
tua/guru kita, selagi mereka masih mendampingi, jangan menyesal saat mereka sudah tidak ada,
karena anak/murid tidak memanfaatkan setiap moment.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ciri-ciri mereka yang selalu
siap berbagi kepintarannya dan juga orang yang pintar kita bisa manfaatkan kepintarannya untuk
membangun masyarakat yang lebih baik adalah mereka yang mengerti dan melakukan apa yang
dimengertinya, bukan mereka yang bisa menjawab semua pertanyaan.

28. “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”

Artinya: Menjadi pelengkap atau cadangan.

Pribahasa yang cukup kita kenal yaitu “Tak ada rotan, akar pun jadi”, apapun yang bisa kita pakai
untuk melengkapi kekurangan yang ada, maka bisa secara baik dipakai. Itu adalah cerminan
bagaimana kreatifitas berjalan, ini gambaran pemanfaatan barang tapi bukan untuk manusia.
Namun sebagai manusia, untuk usaha dan sikap mental pada diri, maka kita tidak boleh hanya
sekedar menjadi cadangan atau pelengkap penderita, yang artinya bahwa kita bukan yang
beperanan utama atas diri kita.

Kita bisa menjadi manusia yang punya peran penting dalam hidup kita sendiri maupun orang lain.
Andalah yang menentukan harga diri anda sendiri, seorang bijak mengatakan bahwa “yang dapat
menyakiti diri kita, hanya jika kita sendiri mengijinkannya”, jadi sebenarnya kita tidak bisa
disakiti selama kita menjadi berperanan.

Demikian hal nya peran kita, kita hanya bisa memerankan diri atau tidak, itu kitalah yang
berpegang pada diri sendiri.

Jadilah manusia yang memiliki peranan utama.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”, Hai… para istri/wanita,
anda bukanlah pelengkap penderita, atau ban serep bagi suami/pasangan anda. Maka tampillah
menjadi istri/wanita yang memiliki peran penting dalam mencintai dan membangun keluarga. Dan
hai.. para suami/lelaki, jangan menyia-nyiakan istri hanya diperankan sebagai pembantumu,
gundikmu, yang hanya engkau manfaatkan saat untuk memenuhi keegoisan diri, cintailah dan
bangunlah bersama agar keluarga menjadi beperan utama dalam kepemimpinan yang tunggal,
bukan hanya satu pribadi saja.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid bukanlah hanya untuk
menjadi sekedar diberitahu saja, yang hanya melaksanakan perintah-perintah, tapi suatu saat akan
menjadi mengerti dan yang berperan utama yaitu menjadi orang tua atau guru itu sendiri.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau kita adalah pemengang
peran utama, maka estafetkan pula kepada yang lain agar punya kesempatan untuk berperan,
itulah sikap untuk membangun masyarakat yang saling melengkapi untuk lebih baik. Janganlah
“one man show” dan orang lain selalu salah atau hanya pelengkap saja.

29. “Kekudhung Walulang Macan”

Artinya: Melakukan perbuatan jelek/jahat dengan berlindung dibalik nama besar.

Menurut para psikolog dan ahli tingkah laku, bahwa hampir 90% tingkah laku atau apa yang
dilakukan sehari-hari oleh manusia, sepenuhnya di gerakan atau tanpa sadar di kendalikan oleh
alam bawah sadar yang kita sendiri bisa jadi tidak menyadari.

Dari pernyataan di atas tersebut, tentunya tingkah yang tidak sadar adalah suatu aktiftitas yang
dilakukan secara berturut-turut dilakukan dengan terus menerus sehingga terbentuk suatu
kebiasaan. Dan kebiasaan tentunya dilakukan sebelumnya dengan sadar, dengan demikian bahwa
apapun dilakukan dengan sadar, nantinya berujung pada tingkah laku yang dilakukan dengan
kebiasaan yang telah tertanam dalam alam bawah sadar.

Ini juga bisa menandakan kita bertanggung jawab atas tindak tanduk kita.

Zaman ini adalah jaman seperti manusia kehilangan jati diri sendiri, mengapa? Karena kita
banyak lihat bahwa orang-orang banyak melakukan sesuatu karena membawa nama dan mengatas
namakan nama besar baik pribadi, kelompok, golongan, organisasi bahka agama. Celakanya
adalah kelakukan yang dilakukan adalah tindakan atau perbuatan jelek/jahat pada orang lain, ini
bisa disebut tidak bertanggung jawab atau berlindung atas nama besar, untuk men-legal-kan
perbuatan-nya.

Sungguh memang di sayangkan, bahwa kita masih menjalankan kehidupan ini dalam tatanan yang
tak bertanggung jawab, atau bersifat mempertahankan diri, bisa juga disebut Kahewanan
(mempertahankan hidup dengan mengorbankan yang lain).

Mari kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan,
tidaklah perlu menuntut pertanggung jawaban orang lain yang sebenarnya mungkin karena
anggapan-anggapan kita yang tidak bertanggung jawab pula. Yang jelas janganlah mengatas
namakan!

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kekudhung Walulang Macan”, perselisihan bisa terjadi,
selesaikan dengan pikiran jernih hati yang gembira, tidak perlu mencela atau menyudutkan
pasangan dengan mengatas namakan nama besar seperti: cinta, kebahagian, orang tua, bahkan
Tuhan, misalnya tidak cocok, mau cerai, berselingkuh lalu mengatas namakan bahwa kalau
memang bukan kehendak tuhan pasti tidak terjadi, semua kan sudah kehendaknya…
Ini rusak dan Parah bukan? Kalau arek Surabaya bilang “Kehendak gundulmu!!!”, bikin salah tapi
masih berlindung atau melempar tanggung jawab.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ngasuh pengertian dari orang tua atau
guru, hendaklah akan membuat anak/murid menjadi pribadi yang menjadi bertanggung jawab,
yang tentu tidak boleh berlindung pada nama besar orang tua dan guru. Banyak anak/murid yang
tidak maju, karena melakukan segala tindakan mengatas namakan nama besar orang tua dan guru
mereka. Menjadi anak dan murid membuat kita menjadi berkesadaran, bukan menjadi bayi
raksasa.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), Ahaaa…. disinilah sering kita
temukan bahwa pergesekan sering terjadi lantaran kalau hubungan antar keluarga/bermasyarakat
tidak memiliki dasar kemunusiaan atau humanity, tapi lebih banyak karena kelompok yang
menganggap lebih dari dari kelompok lain. Padahal jelas yang berkelompok itu kan bersifat
Kahewanan, justru bukan Karobanan (Kemanusiaan).

Sehingga menjatuhkan kemasyarakatan ini dengan mengatas namakan kelompok dan nama besar
disana.

Kemasyarakatan ini harus dibangun dengan Kemanusiaan, kemanusian dari pribadi kita tak lain
adalah dengan adanya Budhi Welas Asih.

30. “Setan Nunggang Gajah”

Artinya: Berbuat se-mau-nya sendiri.

Saat kita berada didalam kendaraan sering kita melihat saudara kita dimobil depan, keluar tangan
membuang tisue atau plastik keluar dijalan.

Ada juga kadang di ruang terbuka maupun tertutup, orang yang merokok seenaknya membuang
puntungnya, belum lagi sampah dan lainnya. Dari cerminan ini maka tidak heran secara
akumulatif, masyarakat kita terdidik secara tidak sengaja untuk berlaku semaunya, masa bodoh,
cuek tingkat tinggi, maka kalau ada korupsi waktu, fasilitas sampai uang dan jabatan,
kemungkinan karena didikan dari hal-hal sepele…

Ah… dalam hati kok terdetik, kenapa berbuat semaunya ya…

Kita hidup dalam masyarakat beradab, tapi karena toleransi yang tinggi, kadang kita memperkosa
hak-hak orang yang hidup toleran, kita lebih mementingkan keagungan diri dan kelompok,
daripada menjadi manusia pribadi yang unik dan beradab yang sebenarnya harus kita junjung
tinggi.

Mulailah untuk tidak semaunya sendiri dari hal-hal kecil.

Dalam kehidupan berumah tangga, “Setan Nunggang Gajah”, sering ditunjukan oleh pasangan
yang seenaknya memperlakukan pasangan yang lain, dimulai dari ketidak jujuran hal kecil
biasanya… Pasangan sering dianggap tidak perlu tahu terlalu banyak urusan pasangan yang lain…
Sehingga muncul semaunya tanpa memperhatikan perhatian dan perasaan dari pasangannya.

Menjadi saling peduli dalam kejujuran adalah tips mujarap untuk menghindari sikap mental yang
masa bodoh dan berlaku semuanya.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), kalau anak atau murid sudah memulai
kebohongan sekecil apapun, maka itu nantinya akan menjadi bibit unggul untuk tumbuhnya sikap
semaunya sendiri, maka orang tua/guru harus berusaha untuk jeli dan juga memberikan
pengarahan yang tepat agar anak/murid mengerti menjadi manusia bertanggung jawab.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), perhatikanlah kiri kanan kita,
tetangga kita, bukan ikut campur, tapi tunjukan kepedulian kita dan rasa sikap empati dalam
segala hal, janganlah kita hanya maunya sendiri merasa tidak menganggu dan tidak diganggu
orang lain itu sudah dianggap menjadi orang yang baik/hidup yang baik. Itu akan menimbulkan
pembangunan masyarakat yang seutuhnya tidak terjadi, dan akan menjadi tumpul, sehingga
masyarakat gampang di adu domba dan dipecah belah.

Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.

bersambung ke bag. 4

Salam Sejati

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 4


Dipublikasi pada 27 Juli 2012 oleh Gantharwa
“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 4

Oleh: Nata Warga

31. “Golek Banyu Bening”


Artinya: Belajar pada guru yang benar.

Sejarah perjalanan manusia tidak lepas dari guru dan belajar, istilahnya “Tiada kehidupan tanpa
disentuh oleh guru” dan “Tiada kehidupan tanpa belajar”. Kenapa? Setiap jengkal kehidupan kita
adalah belajar untuk mengerti dan lebih mengerti, baik itu lewat bimbingan maupun pengalaman.

Berguru itu banyak, bisa kemana-mana, sejarahnya setiap manusia itu berguru, dimulai dari
berguru pada guru mati, yang artinya belajar dari prasasti, buku, kitab, litelatur, bahkan seni, yang
sifatnya komunikasi satu arah. Lalu berguru kepada guru hidup, seperti berguru kepada, orang tua,
sekolah, pemuka agama, yang sifatnya 2 arah komunikasinya.

“Guru-guru” inilah yang membuat kita dibimbing dalam hal yang benar… Permasalahannya
muncul ketika kita bertanya, apa itu yang bisa disebut benar?

Seorang bijak menjelaskan bahwa:

“ngupadi ilmu mangkono kudu ateken tekun atemah tekan..

kanthi syarat 3 perkara”, yaiku :

(“menuntut ilmu harus berpedoman kepada ketekunan..

niscaya sampai pada tujuan.. dengan syarat 3 perkara”, yaitu 🙂


1. ilmu kang bener..bener kanggo pribadine dewe..

bener tumraping sesami gesang..lan bener tumraping Pengeran.

(1.ilmu yang benar..benar bagi pribadi kita sendiri..

benar bagi sesama hidup..dan benar bagi Tuhan..)

2. ilmu kang tanpa sirikan..

(2.ilmu yang tanpa pantangan..)

3. ilmu kang asipat langgeng..

(3.ilmu yang bersifat langgeng – Abadi..)

Walau padangannya mungkin bersifat abstrak ataupun butuh penjelasan lebih ditail, tapi minimal
bahwa ini mengindikasikan bahwa Benar itu bersifat mencakupi dan menaungi tanpa tanpa syarat.

Dalam kehidupan ini ibaratnya kita sedang naik perahu dengan dayung ditangan, dan kita berada
di sungai dengan ada arus, perahu kita menantang arus, saat mendayung adalah belajar, maka
kalau kita belajar maka kita sedang mendayung maju, tapi kalau saat kita berhenti belajar, maka
kita berhenti mendayung, dan bisa dipastikan kita akan terseret dibawa arus sungai.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Golek Banyu Bening”, sama-sama harus selalu tidak
pernah puas untuk saling belajar dan saling mengajar (menjadi guru)/ saling mengisi, sehingga
rumah tangga yang kokoh dan penuh kebahagian akan tercipta, dan akhirnya membawa kita
menjadi pribadi yang senantiasa membangun keluarga yang utuh atau tunggal.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Hai murid, taati ajaran guru, tapi jangan
ikuti teladannya yang bertentangan dengan ajarannya… Nasehat ini jelas agar, anak atau murid,
senantiasa memetik setiap pengertian benar untuk pribadinya bukan untuk memuaskan orang lain,
orang tua, maupun guru-nya.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling belajar atau
memerankan diri menjadi guru, agar hal-hal yang benar yang bentuknya seperti gotong royong,
haruslah menjadi perhatian utama dalam interaksi bermasyarakat, jika kita bisa mempertahankan
kondisi dan sikap yang demikian, maka keberadaban dalam berprikemanusiaan kita akan semakin
berbudi luhur.

32. “Jembar Segarane”

Artinya: Berjiwa besar memaafkan.

Setiap hari kita disugguhi dari berbagai macam peristiwa melalui mata kepala kita sendiri dan
juga melalui media, bagaimana “Maaf” menjadi hal yang sangat langkah sekali…

Mulai dari pemimpin dan pemuka agama tidak memberikan contoh untuk memberikan maaf pada
sesama.
Untuk dapat memaafkan diperlunya jiwa besar dalam diri kita. Jiwa besar dapat terbentuk jika
secara pengertian dan pandangan benar akan hidup ini dan hidup dalam berinteraksi dengan
manusia lainnya.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jembar Segarane”, yang bisa dikatakan berlapang dada
untuk memaafkan sebesarnya, maka jika ini di junjung, niscaya kehidupan rumah tangga
senantiasa akan utuh, namun kekhawatiran muncul bahwa nanti akan menjadi memanjakan,
tentunya ini harus kita ingat bahwa kehidupan berumah tangga bukan terikat, tapi harus saling
mengikatkan diri dalam batasan-batasan berumah tangga.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa adalah
manusia yang memiliki semangat memaafkan paling banyak terhadap anak dan murid nya.
Berjiwa besar yang ada pada orang tua dan guru, inilah yang menjadi titik takar, kwalitas dari
mereka, dan ini pula yang akan menjadikan anak dan murid mereka menjadi murid yang memiliki
teladan yang benar dan baik. Dalam hal ini orang tua dan guru dalam memaafkan bisa berarti
selalu memberikan kesempatan kepada anak dan murid dalam meningkatkan pengertian dan
pemahaman.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita saling
memanfaatkan diantara kehidupan bermasyarakat dan memasyarakatkan saling memaafkan.

33. “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”

Artinya: Jangan berhenti sebelum capek.

Semangat berkarya/laku haruslah senantiasa selalu tumbuh, menjadi manusia yang penuh aktifitas
adalah suatu hal pasti karena design tubuh manusia memungkinkan demikian. Akan tetapi mudah
menyerah dan bermalasan (dalam segi negatif) pada hal belum mengalami titik puncak, atau
belum capek kita sudah beristirahat. Jangan terlalu cepat menyerah, senantiasa semangat tinggi
berkarya, karena kalau kita cepat menyerah nanti akan menjadi satu kebiasaan malas yang
berulang-ulang untuk karya selanjutnya.

Capek dalam hal ini adalah lebih menitik beratkan tidak adanya keseimbangan antara pikiran dan
perasaan. Dimana kedua hal ini tidak sinkron lagi. Karena kalau capek dipaksakan maka akan
membuat frustasi, kalau frustasi akan menghasilkan karya yang jelek.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”, jangan berhenti untuk
selalu saling membangun dan saling berkomunikasi secara efektif dalam segala hal, jangan mudah
menyerah kepada pasangan yang ngeyel, tetaplah selalu mempertahankan semangat dan daya
juang yang tinggi, agar selalu dalam kemanunggalan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid melakukan tanpa harus
memikirkan kapan harus berhenti karena orang tua atau guru tahu/wruh kapan anaknya dan
muridnya kapan capeknya.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah kita berkilah atau
menghindar untuk selalu senantiasa punya kesempatan membangun masyarakat yang beradab.

34. “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”

Artinya: Kwalitas diri tercermin dari tutur kata.


Tentu kita pernah mengalami suatu situasi dalam kesempatan diskusi, dimana terjadi perdebatan,
ada yang saling cerca atau maki, berteriak dan juga saling adu keras suara, seolah-olah semua
harus mendengerkan yang berteriak paling keras. Atau mungkin kita pernah dalam situasi dimana
ada suatu diskusi monolog, dimana kita sebagai pendenger, dan justru yang berbicara memaki,
berteriak dengan suara keras, seolah-olah bahwa yang mendengerkan harus nurut dan tidak boleh
membantah.

Diantara kedua pengalaman, tentu kalau secara jernih kita melihat, tentu ada rasa prihatin yang
muncul. Gus Dur pernah mengatakan DPR itu seperti anak TK, kalau di tangkap sebenarnya itu
adalah menunjukan rasa prihatin, karena Gus Dur mungkin pernah dalam situasi pertama yaitu
adanya saling debat, cercam, maki, teriak, walaupun belum tentu Gus Dur belum tentu tidak
melakukan kepada yang lain.

Namun dari pesan ini, bisa kita mengungkapkan bahwa pribadi diri, harga diri, sangat tercermin
pada kata-kata yang kita ucapkan.. Pernah saya bertanya pada seorang bijak, kalau saya sudah
baik, bagaimana saya meningkatkan kwalitas diri, beliau hanya pesankan “Jaga tata basa lan tata
laku”.

Dari sana bisa kita merenungkan bahwa ternyata “tata basa” /


berkata-kata/berbahasa/berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator bagi diri sendiri apakah
kita sudah cukup baik kwalitas kita atau hanya anggapan-anggapan sendiri.

Kalau dalam dunia persilatan dikatakan, “Tajamnya pedang sakti, tidak setajam lidah”, artinya
kata-kata bisa melukai orang lain, kata-kata bisa menjadi racun, dan bisa membunuh orang lain.

Kata-kata disini yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang mengandung motif, kata-kata
yang isinya “Berkemauan” atau “Karsa”, diantara pilihan pengertian inilah bisa sangat menjadi
indikator kwalitas diri yang baik atau justru sebaliknya.

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”, menurut penelitian,
bahwa sehari laki-laki menghabiskan 7.000 kata untuk berbicara, sedangkan wanita menghabiskan
20.000 kata. Sangat indah kalau misalnya kata-kata ini adalah saling untuk menghidupkan. Disini
peran wanita sangat penting juga bahwa bahasanya sangat dinanti untuk bisa menjaga stabilitas
keluarga, maka jangan heran ada istilah bahasa ibu, karena ibu memang lebih sebagai pembicara
keluarga, lewat bahasalah ibu mendidik/membangun keluarga. Namun laki-laki harus secara
serius memperhatikan, tidak boleh asal melempar kata-kata walau pengunaan katanya lebih
sendikit. Intinya cara berkomunikasi mencerminkan kwalitas keluarga.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), cara penyampaian bahasa kasih sangat
penting dalam hubungan orang tua dan anak… Guru juga demikian halnya, tahu tata basa yang
akan dipakai untuk murid, namun repotnya murid sering suka untuk mengambil kesimpulan
sendiri. Kadang guru tidak mengeluarkan suara dalam bertutur, tapi dari sikap itu juga
mencerminkan bahasa tertentu. Ada istilah, kalau sudah sampai ditegur beberapa kali oleh guru,
itu sudah berarti keterlaluan. Guru selalu akan berusaha memilih kata-kata, agar walaupun murid
tidak jadipun, tapi murid setidaknya bisa baik dalam bertutur kata. Demikian halnya hendaknya
semua orang tua demikian.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mengendalikan diri dalam
berkata-kata agar tidak memberikan efek negatif, tidaklah menyendiri dalam hal prinsip hidup.
Berbahasa dan berkata mengandung energi, energi yang menunjukan diri kita, yang bisa
membangun dan juga merusak, maka tercermin diri kita apakah sebagai pembangun (penuh welas
asih) atau perusak (penuh kemauan jahat).

35. “Menthung Koja Kena Sembagine”

Artinya: Membohongi, justru sebenarnya dibohongi.

Saat kehidupan ini, dimana ketika kita berinteraksi dengan orang-orang disekitar kita, dengan ego
yang begitu kuat dalam mempertahankan diri, maka jurus ampuh yang sering dipakai adalah
dengan membohongi, agar selamat dari resiko maupun tanggung jawab.

Bohong disini yang di maksud tentunya bukan sekedar matematis, tapi lebih kepada motivasi
yang bersifat merusak atau tidak membangun.

Pemangku jabatan pada negara sering sekali dianggap membohongi rakyatnya jika dianggap suatu
janji tidak terealisasi, lalu dicarilah akal-akalan untuk menipu/membohongi rakyat dengan
motivasi yang merusak, pejabat boleh saja berhasil dan senang membohongi, namun sebenarnya
dalam arti lebih dalam itu bisa membohongi dirinya sendiri karena resikonya untuknya jauh lebih
besar, hanya mungkin secara matematis tidak terhitung/terlihat.

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Menthung Koja Kena Sembagine”, jangan ada dusta
diantara kita, demikian nyanyian sebuah lagu. Sekecil apapun tetaplah selalu saling terbuka,
janganlah membohongi. Berbohong pada pasangan, bukan hanya sekedar berbohong pada
pribadinya, tapi pada keutuhan keluarga secara keseluruhan.

Segala hal jelek yang terjadi dalam rumah tangga, biasanya lantaran terlambat untuk jujur.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid sering berusaha untuk
mengelabui orang tua atau guru atas tanggung jawab mereka, yang mana ingin membohongi
orang tuanya atau gurunya, padahal dalam arti sebenarnya mereka telah membohongi diri mereka
sendiri dan telah setuju untuk tidak menjadi anak atau murid yang baik. Demikian orang tua atau
guru sering membohongi anak dan murid lantaran gengsi atas kesalahan di buat, berani untuk
refleksi diri dan mengakui serta berhenti melakukan, jauh lebih baik dan benar, daripada tetap
menjaga nama baik.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita junjung kehidupan
ini dengan segala kejujuran, karena dunia memang sudah demikian ruwet, janganlah kita
membebani diri kita dengan kebohongan yang akhirnya menghambat diri kita untuk beradab dan
tentunya mempengaruhi masyarakat yang untuk menuju peradaban yang lebih luhur.

36. “Sedhakep Ngawe-Ngawe”

Artinya: Tergoda untuk berbuat lagi, walau sudah bertobat.

Kata motivator bahwa sukses bukan dihitung dari berapa kali mencapai target, tapi berapa kali
anda gagal dan bangun lagi untuk mencapai target. artinya memperbaiki yang salah/gagal, bukan
mgnulangnya. Demikian jika kalau kita berbuat kesalahan dan sudah berhenti, hendaknya kita
cukup berhenti selesai, tapi kita malah sering berkeinginan untuk berbuat lagi kesalahan yang
sama.

Dalam kehidupan kita, kita sering merindukan untuk memuaskan ego kita, ingin sekali bahwa
semua adalah semau kita, maka ingin apapun itu adalah harus sesuai pengharapan kita.
Muncullah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kaidah yang ada, dan inilah yang
dianggap sebagai pemuas para ego diri.

Kesalahan yang kita buat dari perbuatan, yang mana saat menyadari untuk berhenti melakukan
salah, apalagi diikuti berhentinya melakukan kesalahan, maka itu sudah merupakan kemajuan
secara hakiki. Namun kebodohan kita jugalah yang selalu mengulang lagi, tergoda untuk lakukan
lagi, karena untuk memuaskan ego sesaat.

Kebodohan yang dipelihara itu akan membuat kemerosotan nurani, yang akhirnya berpengaruh
secara akumulatif ke semuanya.

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sedhakep Ngawe-Ngawe”, sudahlah… kalau sudah pernah
buat salah, jangan pernah berpikir untuk nyoba-nyoba atau memberikan dispensasi/alasan diri,
apalagi dengan semboyan sakti “manusia tidak bisa luput dari salah.”, sungguh saya katakan
bahwa harusnya “manusia tidak akan buat kesalahan kalau dia tidak mau, tidak lalai, dan tidak
menyerah.”

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak atau murid yang berhasil
adalah mereka yang bisa belajar dari kesalahan orang tua dan guru mereka, disamping teladan
baik orang tua dan gurunya.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita putuskan hubungan
dengan segala kesalahan-kesalahan yang telah menjadi penyakit masyarakat… Mari renungkan
dan temukan penyakit itu.

37. “Alon-Alon Waton Kelakon”

Artinya: Pelan-pelan namun pasti terlaksana.

Saudara-saudara semua, hidup ini berpacu dengan kecepatan waktu, seolah kita kejar-kejaran
dengan waktu yang semakin sempit, maka tidak ada istilah untuk berleha-leha. Namun, janganlah
juga kejar-kejaran yang tidak efektif serta panik-an. Dalam segala hal, semua itu dibutuhkan
pengertian yang tepat, agar secara pasti kita tahu apa yang akan kita lakukan pasti terjadi, atau kita
mengetahui persis kejadian yang secara pasti.

Pada falsafah di atas bukan mengajarkan kita santai, karena memang sering dipakai untuk
menunda-tunda perkejaan dengan falsafah ini, tapi disini lebih menitik beratkan “terlaksana”-
nya… Akant tetapi untuk bisa demikian, maka langkah awalnya adalah pengertian yang tepat
tentang sesuatu yang akan kelakon. Seperti halnya memasak, kita tahu persis nasi akan matang
dalam waktu 10 menit, tapi yang mau makan sudah lapar, saat masak nasi tersebut, yang lapar
akan mengatakan bahwa kita lambat, dan memang saat itu kita melambatkan aktifitas menunggu
waktu 10menit. Pilihannya adalah segera angkat nasinya tapi tidak matang (tidak
kelakon/terlaksanan) atau menunggu/memperlambat aktifitas dan matang setelah 10 menit
(kelakon). Jadi… fokusnya adalah kelakon-nya bukan alon-alon nya..

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Alon-Alon Waton Kelakon”, bisa diartikan sebagai
kesabaran dalam membangun keutuhan rumah tangga. Banyak dari kita sering tidak puas dengan
pasangan, salah satu faktor ketidak sabaran. Percayalah bahwa saat yang tepat semua akan
terlaksana, yang diperlukan adalah pengertian dan pemahaman yang harus terus meningkat dari
pasangan hidup.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak dan murid rajinlah belajar,
orang tua dan guru tahu kapan saatnya, jangan terburu-buru dan panik.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita bersemangat lebih
pada terlaksananya suatu hajatan besar, walau waktu bisa sangat panjang, tapi tetaplah fokus pada
cita-cita bersama.

38. “Jajah Desa Milang Kori” ~ Sambungan dari 22.

Artinya: Menjelajah kemana-mana.

Perjalanan hidup kita tidak lepas dari menuju dari satu tempat ke tempat yang lain, namun tidak
semua dapat bermakna lebih dalam perjalanan. Menjelajah adalah menempuh suatu perjalanan
untuk berbuat sesuatu yang baik, meninggalkan hal yang baik, dan mengajak hal yang baik pula.

Penjelajahan sering dikaitkan dengan penjajahan dari segi negatifnya, yang mana bermakna
sesuatu yang buruk, meninggalkan luka, dan menanamkan dendam, tentu itu harus di tinggalkan.

Maka apakah Sumpah Palapa-nya Maha Patih Gajah Mada, apakah menyatukan dengan menjajah
atau menyatukan dalam menjelajah dengan kebaikan, sehingga semua kerajaan ikut suka rela
menyatu dengan Majapahit? Ini menjadi perdebatan, walau sebenarnya Majapahit merupakan
kerajaan Modern yang bukan 100% mewakili Komponen Jawa itu sendiri.

Jangan takut kita menjelajah, dan berpetualangan dengan segala sikap dan sifat kebaikan. Jangan
merasa terbebani dengan rasa khawatir dan keterikatan, karena apa yang kita lakukan tentu akan
memberikan dampak hidup yang baik bagi yang lain, walau itu dinilai kecil.

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Milang Kori”, lakukanlah bersama dengan
pasangan, maka keluarga akan semakin nyatu dan kompak, karena bisa belajar banyak hal dalam
setiap perjalanan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid tentu tidak pernah
dibatasi orang tua atau gurunya untuk mencari dan mengali pengalaman bila mereka sudah siap.
Orang tua atau guru tidak pernah juga berhenti untuk selalu menjelajah untuk meningkatkan
berbuat baik dan juga melatih diri mereka juga.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), dalam penjelajahan kita
senantiasa saling mengunjungi saudara jauh maupun yang belum di kenal, tujuannya adalah
membangun tali silaturami dan mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan
welas asih, beradap, dan benar.

39. “Sapa Sira Sapa Ingsun”

Artinya: Siapa anda siapa aku.

Secara harafiah ini adalah pemisahan kehidupan bermasyarakat maupun individu dan hal ini
terlihat sekali saat ini dilingkungan kita ada pengkotakan-pengkotakan, masing-masing merasa
lebih exclusive seperti berkotakan SARA. Katanya dalam bahasa gaulnya Jakarta, ente ente, aye
aye ~ lu lu, gue gue, atau “sana lu, gak level dengan aku”.

Iya… itulah gambaran kehidupan kita yang menjadi mendarah daging, yang mana hal ini
disebabkan bahwa sudah tidak adanya rasa rendah hati, tidak berwelas asih, tidak berbudi pekerti
~ tidak berpengertian yang benar. Maka mari kita sama-sama kembali untuk meresapi makna-
makna luhur dalam kehidupan sebagai saudara, sebagai kemanusiaan, yang bukan mengukur dari
bibit bebet bobot.
Makna yang lebih dalam adalah bila ini akan lebih baik dipakai untuk ke dalam diri, untuk
mengoreksi diri sendiri, sehingga bisa menyadari “Sira” sebagai pekerjaan produk pikiran
(indentifikasi diri), dan “Ingsun” sebagai Atma kita yang sejati. Maka itu butuh penyadaran dan
pengamatan yang seksama.

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sapa Sira Sapa Ingsun” membina hubungan keluarga yang
baik, sebaiknya janganlah membeda-bedakan berdasarkan tugas dan tanggung jawab, tapi justru
bersama-sama dalam segala hal menjalankan tugas dan tanggung jawab.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru yang bijak adalah
mereka yang akan tetap menjaga keunikan diri dari anak-anak atau murid mereka. Orang tua atau
guru tersebut tidak akan merusak indentitas diri, dan juga tidak akan membawa untuk
menyesatkan pada pengkultusan/pengfiguran dari orang tua atau guru, lebih mendalam di ajarkan
adalah “Anda itu unik demikian aku ini unik” maka tidak perlu meniru.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), marilah kita bermasyarakat
dalam berkesatuan ukuran, tidak memandang derajat dan martabat diri dan orang lain, sehingga
senantiasa kita saling membangun peradaban yang lebih luhur.

40. “Mbuwang Tilas”

Artinya: Pura-pura tidak bersalah (mengabaikan perbuatan salahnya)

Kita sering melihat atau mengalami sendiri, kalau ada seseorang yang sebenarnya tahu dia telah
berbuat salah tapi dia mengabaikan atau berpura-pura itu bukan suatu kesalahan. Mungkin
dianggap bahwa mayoritas demikian, maka salah pun tidak masalah. Andai di negeri ini masih
ada budaya malu, bukan budaya malu-maluin, maka tentulah masing-masing pribadi tidak akan
berbuat hal tercela dan berpura-pura tidak salah. Namun akan mencegah perbuatan salah, dan
akan berani mengakui dan menghentikan kesalahan, maka negeri kita akan cepat bangkit.

Sudahkah saya punya budaya malu kalau berbuat salah/dosa?

– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Mbuwang Tilas”, setiap pasangan lebihlah sensitif untuk
menyadari bahwa kesalahan yang kalau dibuat akan berakibat bahaya, apalagi sudah buat salah
tidak mengakui salah karena alasan gengsi egois ataupun merasa lebih unggul. Keluarga dibangun
berdasarkan komitmen hidup dalam kejujuran terhadap welas asih, bukan dibangun dengan
kebutaan akan hal yang benar.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sering kita temukan anak-anak dan
murid sering main kucing-kucingan kalau tidak mengerjakan hal yang disuruh, anak dan murid
tahu mereka salah, tapi karena takut dihukum maka lebih baik tidak mengakui. Sebaliknya
hubungan orang tua/guru dengan anak/murid sering adalah dengan hadiah dan hukuman (2H),
dampaknya nanti berbuat sesuatu bukan karena kesadaran, tapi karena pamrih dan takut.
Bagaimana memberikan kesadaran bagi anak dan murid jauh lebih penting.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), berani mengetuk pintu sebelah
rumah anda (tetangga) jika memang berbuat salah, datang dan akui itu. Jika setiap rumah
menyadari betapa pentingnya saling terbuka jujur dan saling memaafkan/mengampuni, maka
peradaban ini bukan mustahil akan mencapai titik balik positif. Dunia menjadi begitu Indah.

Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.

bersambung ke bag. 5

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 6


Dipublikasi pada 1 Mei 2013 oleh Gantharwa
“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 6

Oleh: Nata Warga

56. Ora ono kukus tanpa geni ~ semua karena hukum sebab akibat (karma spiritual)

56. “Ora ono kukus tanpa geni” ~ semua karena hukum sebab akibat (karma spiritual)

57. Ingon-ingon Perkutut Ngedohi Setan = Memelihara Perkutut Menjauhi dari Setan....

57. “Ingon-ingon Perkutut Ngedohi Setan” = Memelihara Perkutut Menjauhi dari Setan….

58. Ajining Diri Ana Ing Klambi = Kehormatanmu berada di pikiran-mu (Pikiran)...

58. “Ajining Diri Ana Ing Klambi” = Kehormatanmu berada di pikiran-mu (Pikiran)…

59. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka = Jangan merasa paling pinter
nanti salah arah, jangan suka curang (culas) nanti celaka sendiri..

59. “Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka” = Jangan merasa paling pinter
nanti salah arah, jangan suka curang (culas) nanti celaka sendiri..

60. Bebasan Godhong Mlumah Dikurepake Godhong Mureb Dilumahke Kumrisik Tanpa
Kanginan = Mengatakan Kebersihan hatinya sendiri, padahal khawatir dianggap melakukan hal
tidak baik.

60. “Bebasan Godhong Mlumah Dikurepake Godhong Mureb Dilumahke Kumrisik Tanpa
Kanginan” = Mengatakan Kebersihan hatinya sendiri, padahal khawatir dianggap melakukan hal
tidak baik.
61. Kesandhung Ing Rata, Kebentus Ing Tawang = (Berani) Menghadapi bahaya yang tak terduga.

61. “Kesandhung Ing Rata, Kebentus Ing Tawang” = (Berani) Menghadapi bahaya yang tak
terduga.

62. Ojo Milik Barang Kang Melok, Ojo Mangro Mundak Kendo = Jangan tergiur yang tampak
indah, jangan mendua agar tetap semangat.

62. “Ojo Milik Barang Kang Melok, Ojo Mangro Mundak Kendo” = Jangan tergiur yang tampak
indah, jangan mendua agar tetap semangat.

63. Mumpung Gede Rembulane, Mumpung Jember Kalangane = Selagi kesempatan banyak
terbuka, manfaatkan untuk peningkatan kawruh laku..

63. “Mumpung Gede Rembulane, Mumpung Jember Kalangane” = Selagi kesempatan banyak
terbuka, manfaatkan untuk peningkatan kawruh laku..

64. Mikul Dhuwur, Mendhem Jero = Menjunjung tinggi, menelandani kebaikan dan menjaga
nama baik-nya (berbakti).

64. “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero” = Menjunjung tinggi, menelandani kebaikan dan menjaga
nama baik-nya (berbakti).

65. Mburu Uceng Kelangan Dheleg = Mencari hal-hal kecil, malah kehilangan sesuatu yang lebih
berharga.

65. “Mburu Uceng Kelangan Dheleg” = Mencari hal-hal kecil, malah kehilangan sesuatu yang
lebih berharga.

66. Ngundhuh Wohing Panggawe = Memetik hasil perbuatan-nya sendiri.

66. “Ngundhuh Wohing Panggawe” = Memetik hasil perbuatan-nya sendiri.

67. Lamun Sira Durung Wikan Kadangira Pribadi, Coba Dulunen Sira Pribadi = Bila belum
mengenal Saudara SejatiMu didalam diri, ketemu dulu DiriMu yang Sejati.

67. “Lamun Sira Durung Wikan Kadangira Pribadi, Coba Dulunen Sira Pribadi” = Bila belum
mengenal Saudara SejatiMu didalam diri, ketemu dulu DiriMu yang Sejati.
68. Memayu Hayuning Bawana = Menjaga:melindungi seluruh dunia:alam.

68. “Memayu Hayuning Bawana” = Menjaga/melindungi seluruh dunia/alam.

69. Bapa Kesolah Anak Molah = Orang tua alami kesulitan, anak kena dampak akibatnya.

69. “Bapa Kesolah Anak Molah” = Orang tua alami kesulitan, anak kena dampak akibatnya.

70. HA ~ Hana Urip Wening Suci = Adanya hidup karena ada kehendak suci.

70. “Ha: Hana Urip Wening Suci” = Adanya hidup karena ada kehendak suci.

71. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman = Jangan dikungkung
keinginan menguasai:kedudukan dan kepuasan duniawi.

71. “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman” = Jangan dikungkung
keinginan menguasai/kedudukan dan kepuasan duniawi.

72. Ngelmu Kang Nyata, Karya Reseping Ati = Berilmu yang sejati, beroleh ketentraman di
hati:perasaan.

72. “Ngelmu Kang Nyata, Karya Reseping Ati” = Berilmu yang sejati, beroleh ketentraman di
hati/perasaan.

73. Mulat Sarira Hangrasa Wani = Berani untuk intropeksi diri:mawas diri.

74. Padha Gulangen Ing Kalbu Ing Sasmita Amrih Lantip = Berlatihlah sesungguhnya hingga
kalbu menjadi pandai:mengerti.

75. Ajar Bisa Ngalahake Dhasar = Belajar dapat melebihi:mengalahkan bakat.

76. “Yitna Yuwana, Lena Kena” = Berhati-hati (sadar) akan selamat, lengah akan celaka.

77. Da = Dumadining Dzat Kang Tanpa Winangenan = Menerima hidup apa adanya (sejatinya).

78. Nggayuh Kaluhuran Lire Ngupaya Tataraning Urip Kang Luwih Dhuwur. = Bersungguh
memperoleh Keluhuran merupakan usaha meraih tingkatan hidup lebih tinggi.

78. “Nggayuh Kaluhuran Lire Ngupaya Tataraning Urip Kang Luwih Dhuwur.” = Bersungguh
memperoleh “Keluhuran” merupakan usaha meraih tingkatan hidup lebih tinggi.
79. Pa = Papan Kang Tanpa Ngadap = Gusti Ada di mana saja.

79. “Pa = Papan Kang Tanpa Ngadap” = Gusti Ada di mana saja.

80. Tentrem Iku Sarananing Urip Ono Ndonyo. = Rasa tentram:Bahagia merupakan syarat
menjalani hidup di dunia.

80. “Tentrem Iku Sarananing Urip Ono Ndonyo.” = Rasa tentram/Bahagia merupakan syarat
menjalani hidup di dunia.

81. Cirine Jiwa Kang Isih Kothong Mono Bisa Dititik Saka Ulat Praupan, Tutur Wicara, Lan
Tingkah Lakune Kang Ora Gelem Kalah = Cirinya jiwa yang masih kosong terlihat dari raut
wajah, cara bicaranya, dan tingkah laku yang tidak mau kalah.

81. “Cirine Jiwa Kang Isih Kothong Mono Bisa Dititik Saka Ulat Praupan, Tutur Wicara, Lan
Tingkah Lakune Kang Ora Gelem Kalah” = Cirinya jiwa yang masih kosong terlihat dari raut
wajah, cara bicaranya, dan tingkah laku yang tidak mau kalah.

82. Samadhi Kudu Tanpa Gegayuhan, Dhasar Premati Tumraping manungsa Yaiku Kawruh Iku
Kelakone Kanti Laku = Meditasi harus tanpa motif, dasar utama bagi manusia hanyalah mengerti
diwujudkan dengan melakukan.

82. “Samadhi Kudu Tanpa Gegayuhan, Dhasar Premati Tumraping manungsa Yaiku Kawruh Iku
Kelakone Kanti Laku” = Meditasi harus tanpa motif, dasar utama bagi manusia hanyalah mengerti
diwujudkan dengan melakukan.

83. Ma- Madep Mantap Menembah Mring Gusti = Yakin dalam menyembah kepada Gusti.

83. “Ma- Madep Mantap Menembah Mring Gusti” = Yakin dalam menyembah kepada Gusti.

84. Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga = Kesatuan ukuran melahirkan
Kemanunggalan.

84. “Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga” = Kesatuan ukuran melahirkan
Kemanunggalan.

85. Ngudi Laku Utama Kanthi Sentoso Ing Budi = Menghayati Perilaku Mulia dengan budi
(Kawruh) pekerti luhur.

85. “Ngudi Laku Utama Kanthi Sentoso Ing Budi” = Menghayati Perilaku Mulia dengan budi
(Kawruh) pekerti luhur.

86. Nacad Alaning Wong Iku Gampang Banget, Siji Mangkane Loro Mangkono, Nanging
Anggunggung Cacade Dhewe Adate Ora Kober = Mencela amatlah mudah, satu begini dua
begitu, namun cacat sendiri tak sempat menghitung.

86. “Nacad Alaning Wong Iku Gampang Banget, Siji Mangkane Loro Mangkono, Nanging
Anggunggung Cacade Dhewe Adate Ora Kober” = Mencela amatlah mudah, satu begini dua
begitu, namun cacat sendiri tak sempat menghitung.

87. Ora Ana Barang Langgeng, Mung Kabecikan Kang Ora Bisa Sirna = Tak ada satu materi pun
yang kekal, hanya Kebenaran yang tak pernah sirna.
87. “Ora Ana Barang Langgeng, Mung Kabecikan Kang Ora Bisa Sirna” = Tak ada satu materi
pun yang kekal, hanya Kebenaran yang tak pernah sirna.

88. Na- Nur Candra, Gaib Candra, Warsitaning Candara = Pengharapan manusia selalu kepada
Ilahi.

88. “Na- Nur Candra, Gaib Candra, Warsitaning Candara” = Pengharapan manusia selalu kepada
Ilahi.

89. Wong Eling Lan Waspada Iku Kendhit Mimang Kadang Dewa = Orang yang penuh kesadaran
(sadar dan amati) itu jauh dari bahaya dan penuh dengan berkah.

89. “Wong Eling Lan Waspada Iku Kendhit Mimang Kadang Dewa” = Orang yang penuh
“kesadaran” (sadar dan amati) itu jauh dari bahaya dan penuh dengan berkah.

90. Kawuri Pangertine Hyang, Taduhira Sastra Ingsun = Memusatnya diri ada pada Hyang,
petunjuknya ada di kitab diri.

90. “Kawuri Pangertine Hyang, Taduhira Sastra Ingsun” = Memusatnya “diri” ada pada Hyang,
petunjuknya ada di kitab diri.

91. Ta- Tatas, Tutus, Titis, Titi Lan Wibawa = Mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam
memandang hidup.

91. “Ta- Tatas, Tutus, Titis, Titi Lan Wibawa” = Mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam
memandang hidup.

92. Beras Wutah Arang Bali Menyang Takane = Barang (prilaku) yang telah rusak sulit dapat
kembali seperti asli.

92. “Beras Wutah Arang Bali Menyang Takane” = Barang (prilaku) yang telah rusak sulit dapat
kembali seperti asli.

93. Ojo Ngubak-Ubak Banyu Bening = Jangan mengotori (perbuatan tidak benar) di
tempat:keberadaan yang damai tentram.

93. “Ojo Ngubak-Ubak Banyu Bening” = Jangan mengotori (perbuatan tidak benar) di
tempat/keberadaan yang damai tentram.

94. Ojo Sok Ngresula. Wruhna Yen Pangresula Iku Sawijining Mala, Dene Panbggresah Mono
Agawe Bubrah = Jangan suka berkeluh kesah. Karena itu bahaya yang menghadirkan malapetaka.

94. “Ojo Sok Ngresula. Wruhna Yen Pangresula Iku Sawijining Mala, Dene Panbggresah Mono
Agawe Bubrah” = Jangan suka berkeluh kesah. Karena itu bahaya yang menghadirkan
malapetaka.
95. Nikmat Rasane Ing Ati, Ati Pan Ratuning Badan, Badan Iku Sejatine, Pan Iku Ingaran Pikir =
Nikmat rasanya dalam hati (perasaan), hati itu rajanya badan, badan itu sebenarnya hasil kerjanya
pikiran.
95. “Nikmat Rasane Ing Ati, Ati Pan Ratuning Badan, Badan Iku Sejatine, Pan Iku Ingaran Pikir”
= Nikmat rasanya dalam hati (perasaan), hati itu rajanya badan, badan itu sebenarnya hasil
kerjanya pikiran.

96. Ana Papan Ingkang Tanpa Tulis, Wujud Napi Artine Punika, Sampyuh Ing Solah Semune, Nir
Asma Kawuleku, Mapan Jati Rasa Sejati = Ada tempat tak tertulis, kosong mutlak dalam lenyap
segala gerak dan semu, tak ada aku karena masuk ke dalam inti r...

96. “Ana Papan Ingkang Tanpa Tulis, Wujud Napi Artine Punika, Sampyuh Ing Solah Semune,
Nir Asma Kawuleku, Mapan Jati Rasa Sejati” = Ada tempat tak tertulis, kosong mutlak dalam
lenyap segala gerak dan semu, tak ada aku karena masuk ke dalam inti rasa sejati.

97. Wanita Iku Kusuma Wicitra = Perempuan itu Harum dirinya dari berbuat baik, menjaga
kehormatan, dan kesucian diri.

97. “Wanita Iku Kusuma Wicitra” = Perempuan itu Harum dirinya dari berbuat baik, menjaga
kehormatan, dan kesucian diri.

98. Wong Lanang Kuwi Kudhu Nduwe Aji = Laki-laki harus memiliki kehormatan.

98. “Wong Lanang Kuwi Kudhu Nduwe Aji” = Laki-laki harus memiliki kehormatan.

99. Tegese Meneng Amangun Ening, Ananira Manuksma Ing Rasa, Rasa Karsa Sejatine, Iku
Suksmaning Laut = Arti diam melaksanakan hening, keadaanmu tercerap dalam Rasa, rasa
kemauan sejati, itulah sukma laut (tirtha amerta).

99. “Tegese Meneng Amangun Ening, Ananira Manuksma Ing Rasa, Rasa Karsa Sejatine, Iku
Suksmaning Laut” = Arti diam melaksanakan hening, keadaanmu tercerap dalam Rasa, rasa
kemauan sejati, itulah sukma laut (tirtha amerta).

100. Ratu Guna Maletik Tunggal, Tata Karya Titisan Dewa, Wayang Magana Rupaning Janma =
Raja yang memecikan sesuatu, laku teratur (benar) jelmaan dewa, bayangan berwujud jadi
manusia.

100. “Ratu Guna Maletik Tunggal, Tata Karya Titisan Dewa, Wayang Magana Rupaning Janma”
= Raja yang memecikan sesuatu, laku teratur (benar) jelmaan dewa, bayangan berwujud jadi
manusia.

101. “Dha: Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane” = Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar.

102. Kahanan Donyan Iki Ora Langgeng, Tansah Owah Gingsir = Keadaan dunia ini tidak abadi,
senantiasa selalu berubah setiap waktu.

102. “Kahanan Donyan Iki Ora Langgeng, Tansah Owah Gingsir” = Keadaan dunia ini tidak
abadi, senantiasa selalu berubah setiap waktu.

103. Gunaning Bujangga Nembah Ing Dewa, Tanpa Sirna Gunaning Atmaja, Sirna Suci Caturing
Dewa = Perlunya pujangga menyembah dewa, agar peran anak manusia tak hilang, disebabkan
telah leyap kesucian sang sabda dewa.
103. “Gunaning Bujangga Nembah Ing Dewa, Tanpa Sirna Gunaning Atmaja, Sirna Suci Caturing
Dewa” = Perlunya pujangga menyembah dewa, agar peran anak manusia tak hilang, disebabkan
telah leyap kesucian sang sabda dewa.

104. Ga ~ Guru Sejati Sing Muruki = Belajar pada guru nurani (yang sudah sadar)

104. “Ga: Guru Sejati Sing Muruki” = Belajar pada guru nurani (yang sudah sadar)

105. Nanging Tekad Mono Beda Banget Karo Nekad, Yen Nekad Kuwi Uwohing Pakarti Kang
Tuwuh Saka Kajudheganing Nalar = Tekad berbeda dengan nekad, nekad itu buah kerja yang
tumbuh dari kemelutnya pikiran

105. “Nanging Tekad Mono Beda Banget Karo Nekad, Yen Nekad Kuwi Uwohing Pakarti Kang
Tuwuh Saka Kajudheganing Nalar” = Tekad berbeda dengan nekad, nekad itu buah kerja yang
tumbuh dari kemelutnya pikiran.

106. Geni Dadi Sucining Jagad, Dewa Sang Hyang Girinata Dadi Raja, Gagamaning Naga
Kinarya Dewa = Api menjadikan kesucian dunia, peradaban muncul dari panutan~guru jadi raja,
senjata~andalan yang dipegang digunakan para de

106. “Geni Dadi Sucining Jagad, Dewa Sang Hyang Girinata Dadi Raja, Gagamaning Naga
Kinarya Dewa” = Api menjadikan kesucian dunia, peradaban muncul dari panutan~guru jadi raja,
senjata~andalan yang dipegang digunakan para dewa.

107. Kawaratan Gung Alit Sadayanipun Pan Ora Amilih Janma = Sepertilah air yang tidak milih-
milih, siapapun manusianya perlakuannya sama

107. “Kawaratan Gung Alit Sadayanipun Pan Ora Amilih Janma” = Sepertilah air yang tidak
milih-milih, siapapun manusianya perlakuannya sama.

108. Ca~ Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi = Arah dan tujuan pada Hyang Maha
Tunggal.

108. “Ca: Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi” = Arah dan tujuan pada Hyang Maha
Tunggal.

109. Sigaraning Nyowo Iku Saling, Jangkeping Warni, Rahayu Ing Mana, Ngertos Ungga Unggu
lan Wasis = Pasangan yang manunggal itu hendaknya lengkapkan diri (rupa), berbaik hati, paham
tata krama, ulet bekerja.

109. “Sigaraning Nyowo Iku Saling, Jangkeping Warni, Rahayu Ing Mana, Ngertos Ungga Unggu
lan Wasis” = Pasangan yang manunggal itu hendaknya lengkapkan diri (rupa), berbaik hati,
paham tata krama, ulet bekerja.

110. Wayang Wolu Kinarya Tunggal, Pancaboma Marga Tunggal, Angesthi Sirna Rakseng
Bawana, Rupa Papat Gatining Janma = Delapan pribadi menjadi satu, lima jalan menjadi satu,
berharap memusnahkan raksasa dunia, empat unsur m

110. “Wayang Wolu Kinarya Tunggal, Pancaboma Marga Tunggal, Angesthi Sirna Rakseng
Bawana, Rupa Papat Gatining Janma” = Delapan pribadi menjadi satu, lima jalan menjadi satu,
berharap memusnahkan raksasa dunia, empat unsur penting bagi manusia.
111. Amemangun Karyenak Tyasing Sesami = Berkarya menentramkan hati sesama.

111. “Amemangun Karyenak Tyasing Sesami” = Berkarya menentramkan hati sesama.

112. Gusti Iku Cedhak Tanpa Senggolan, Adoh Tanpa Wangenan = Gusti itu dekat namun tak
bersentuhan, ada namun tak bisa dijangkau akal.

112. “Gusti Iku Cedhak Tanpa Senggolan, Adoh Tanpa Wangenan” = Gusti itu dekat namun tak
bersentuhan, ada namun tak bisa dijangkau akal.

113. Sa- Sifat Ingsun Handulu Sifatullah = Membentuk Kasih Sayang seperti Kasih Tuhan.

113. “Sa: Sifat Ingsun Handulu Sifatullah” = Membentuk Kasih Sayang seperti Kasih Tuhan.

114. Lamun Siro Wis Mikani Alamiro Pribadi, Mara Siro Mulango Marang Wong Kag Durung
Wikan = Jikalau engkau telah mengenal alam pribadimu, ajarkanlah kepada yang belum
mengetahui (jangan sembunyi).

114. “Lamun Siro Wis Mikani Alamiro Pribadi, Mara Siro Mulango Marang Wong Kag Durung
Wikan” = Jikalau engkau telah mengenal alam pribadimu, ajarkanlah kepada yang belum
mengetahui (jangan sembunyi).

115. Gusti Iku Ora Ono Sing Padho, Mulo Ojo Nggambar-Nggambarake Wujuding Gusti = Tuhan
itu tidak ada yang dapat nyamain, oleh karena itu tak perlu menggambarkan soal Tuhan.

115. “Gusti Iku Ora Ono Sing Padho, Mulo Ojo Nggambar-Nggambarake Wujuding Gusti” =
Tuhan itu tidak ada yang dapat nyamain, oleh karena itu tak perlu menggambarkan soal Tuhan.

116. Ja- Jumbuhing Kawula Lan Gusti = Selalu berusaha menyatu dengan Gusti.

116. “Ja: Jumbuhing Kawula Lan Gusti” = Selalu berusaha menyatu dengan Gusti.

117. Marga Sirna Wayangin Raja, Buta Nembah Rasa Tunggal, Buta Lima Angoyag Jagad,
Wayang Misik Rasane Widadari = Sebab hilang rajanya manusia, (karena) raksasa menyembah
pada egonya, raksasa lima mengoncang dunia, manusia membisikanperasaanbidadari

117. “Marga Sirna Wayangin Raja, Buta Nembah Rasa Tunggal, Buta Lima Angoyag Jagad,
Wayang Misik Rasane Widadari” = Sebab hilang rajanya manusia, (karena) raksasa menyembah
pada egonya, raksasa lima mengoncang dunia, manusia membisikan perasaan bidadari.

118. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan = Tak usah sakit hati saat ada
musibah, tak perlu sedih manakala ada kehilangan.

118. “Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan” = Tak usah sakit hati saat ada
musibah, tak perlu sedih manakala ada kehilangan.

118. Weruh Marang Gusti Iku Ateges Wis Weruh Marang Awake Dhewe, Lamun Durung Weruh
Awake Dhewe, Tangeh Lamun Weruh Marang Gusti = Mengerti Tuhan berarti sudah mengenal
diri, jikalau belum mengerti diri ini mustahil dapat mengenal Tuhan.
119. “Weruh Marang Gusti Iku Ateges Wis Weruh Marang Awake Dhewe, Lamun Durung
Weruh Awake Dhewe, Tangeh Lamun Weruh Marang Gusti” = Mengerti Tuhan berarti sudah
mengenal diri, jikalau belum mengerti diri ini mustahil dapat mengenal Tuhan.

119. Ba- Bayu Sejati Kang Andalani = Menyelaraskan diri pada gerak alam.

120. “Ba: Bayu Sejati Kang Andalani” = Menyelaraskan diri pada gerak alam.

121. “Pra Linangkung Muwah Among Tani, Ingkang Andhap Asor, Ingesoran Sasolah Bawane” =
Orang besar bahkan petani sekalipun yang bersifat randah hati, semuanya terungguli dalam segala
tingkah laku.

122. Ra- Rasa Ingsun handulusih = Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani (bagi yang
sadar).

122. “Ra- Rasa Ingsun handulusih” = Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani (bagi yang
sadar).

123. Aja Kurang Pamariksanira Lan Den Agung Pangapunira = Jangan sampai anda tidak peduli
dan berjiwalah besar untuk mengampuni.

123. “Aja Kurang Pamariksanira Lan Den Agung Pangapunira” = Jangan sampai anda tidak
peduli dan berjiwalah besar untuk mengampuni.

124. Aja Sira Deksura, Ngaku Pinter Tinimbang Sejene = Janganlah Congkak, merasa lebih pintar
daripada yang lainnya.

124. “Aja Sira Deksura, Ngaku Pinter Tinimbang Sejene” = Janganlah Congkak, merasa lebih
pintar daripada yang lainnya.

125. Wa- Wujud Hana Tan Keno Kinira = Ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa
tanpa batas.

125. “Wa- Wujud Hana Tan Keno Kinira” = Ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya
bisa tanpa batas.

126. Urip Rukun, Aja Gawe Pati Lan Larane Liyan = Hiduplah akur, jangan melakukan hal yang
menyebabkan penderitaan dan binasanya sesama.

126. “Urip Rukun, Aja Gawe Pati Lan Larane Liyan” = Hiduplah akur, jangan melakukan hal
yang menyebabkan penderitaan dan binasanya sesama.

127. Yen Arep Weruh Trahing Ngaluhur, Titiken Alusing Tingkah-Laku Budi Basane = Yang
memiliki tradisi berbudi luhur, akan terlihat dari kehalusan tingkah laku, budi pekerti dan
bahasanya.

127. “Yen Arep Weruh Trahing Ngaluhur, Titiken Alusing Tingkah-Laku Budi Basane” = Yang
memiliki tradisi berbudi luhur, akan terlihat dari kehalusan tingkah laku, budi pekerti dan
bahasanya.
128. Ya- Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi = Yakin atas titah~kodrat ilahi
(hukum keilahian).

128. “Ya: Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi” = Yakin atas titah~kodrat ilahi
(hukum keilahian).

129. Girilusi Jalma Tan Kena Ing Ngina = Diatas langit masih ada langit (jangan berhenti, apalagi
sombong merasa sudah dipuncak:sampai).

129. “Girilusi Jalma Tan Kena Ing Ngina” = Diatas langit masih ada langit (jangan berhenti,
apalagi sombong merasa sudah dipuncak/sampai).

130. Tha- Tukul Saka Niat = Segala hal harus dimulai dari niatan (Kemauan)

130. “Tha- Tukul Saka Niat” = Segala hal harus dimulai dari niatan (Kemauan)

131. Darbe Kawruh Ora Ditangkarake, Bareng Mati Tanpa Tilas = Memiliki pengertian benar
jika tidak dikembangkan, saat mati tidak berbekas.

131. “Darbe Kawruh Ora Ditangkarake, Bareng Mati Tanpa Tilas” = Memiliki pengertian benar
jika tidak dikembangkan, saat mati tidak berbekas.

132. Ka- Karsaningsun Memayuhayuning Bawana = Kemauan diarahkan untuk kesejahteraan


alam.

132. “Ka- Karsaningsun Memayuhayuning Bawana” = Kemauan diarahkan untuk kesejahteraan


alam.

133. Kawruh Iku Gengem Dinegem Dadi, Ing Gelar Sak Jagad Ora Muat = Pengertian benar itu
digenggam ya bisa, namum kalau digelar sejagad pun tidak muat.

133. “Kawruh Iku Gengem Dinegem Dadi, Ing Gelar Sak Jagad Ora Muat” = Pengertian benar itu
digenggam ya bisa, namum kalau digelar sejagad pun tidak muat.

134. La- Lir Handaya Paseban Jati = Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi.

134. “La- Lir Handaya Paseban Jati” = Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi.

135. Ngati Ati Milih Laku, Lakum Gawa Nasibmu = Hati-hatilah bertingkah laku, karena tingkah
lakumu menentukan nasibmu sendiri.

135. “Ngati Ati Milih Laku, Lakum Gawa Nasibmu” = Hati-hatilah bertingkah laku, karena
tingkah lakumu menentukan nasibmu sendiri.

136. Weruh Rosing Rasa Kang Rinuruh, Lumenketing Angga Anggere Padha Marsudi Kana-
Kene Kahanane Nora Beda = Ngerti rasa sejati yang ada dalam manusia, jika dicari dengan
sungguh akan ketemu, dimana saja tempatnya sama.

136. “Weruh Rosing Rasa Kang Rinuruh, Lumenketing Angga Anggere Padha Marsudi Kana-
Kene Kahanane Nora Beda” = Ngerti rasa sejati yang ada dalam manusia, jika dicari dengan
sungguh akan ketemu, dimana saja tempatnya sama.
137. Durung Punjul Kasusu Kaselak Jujul, Kaseselan Hawa, Cupet Kapepetan Pamrih, Tangeh
Nedya Anggambuh Mring Hyang Wisesa = Belumpun mampu, ingin terlihat pandai, didorong
hawa nafsu berakibat pikiran sempit, hanya karena ingin disanjung, yang se

137. “Durung Punjul Kasusu Kaselak Jujul, Kaseselan Hawa, Cupet Kapepetan Pamrih, Tangeh
Nedya Anggambuh Mring Hyang Wisesa” = Belumpun mampu, ingin terlihat pandai, didorong
hawa nafsu berakibat pikiran sempit, hanya karena ingin disanjung, yang seperti ini tidak akan
mungkin dekat dengan Sang Semesta.

138. Nga- Ngracut Busananing Manungso = Melepasakan egoisme manusia.

138. “Nga- Ngracut Busananing Manungso” = Melepasakan egoisme manusia.

139. Sehebat-hebatnya atau sesakti-saktinya, akan terkalahkan dengan berbuat baik:kebenaran


yang secukup-nya

139. “Sehebat-hebatnya atau sesakti-saktinya, akan terkalahkan dengan berbuat baik/kebenaran


yang secukup-nya”

Inilah inti dari semua falsafah yang telah dibagi…

Para Saudara dan Kadang semua..


Falsafah ini adalah penutup dari topik 1001 Falsafah Jawa, masih banyak sekali falsafah luhur
yang ada, baik sudah ada sejak dulu maupun olah baru dari para linuwih..

Topik yang akan saya bagikan berikutnya adalah “85 Tips meditasi” yang ada di Gantharwa,
semoga memberikan manfaat dan bisa menambah wacana..

Berkah Dalem Gusti.

Salam Sejati

Anda mungkin juga menyukai