Setia Hati dapat diartikan tekad hati yang bersih dan suci dalam menuju keselamatan (Jalan
Tuhan). Ilmu Setia Hati mengajarkan bagaimana cara keluar dari permasalahan hidup dengan
menggabungkan kebutuhan jasmani dan rohani. Dua kebutuhan itu lalu dilebur dalam gerak
indah untuk pertahanan diri yang akhirnya diberi nama pencak silat. Pencak silat dalam arti
untuk pertahanan lahir batin, bukan adu fisik.
9. SE - Dhyane hidup rukun, TI - nebihna saking tukar padhu, YA - yah rena lir
kadhang hanunggil kapti, HA - nor raga pambekipun, TI - naberi murih kamot
(Tujuan dalam mencapai kerukunan hidup, dengan menjauhkan diri dari segala
bentuk pertengkaran, hanya dengan tujuan yang sama dan keinginan yang tinggi
untuk menjadi saudara, dan dengan sunguh-sungguh mencapai keinginan, diteliti
secara hati-hati untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan)
11. SE - Mangsa wus kacukup, TI - nampi ing trap kalih winuruk, YA - winulang
tumrap rahayu ning ngurip, ngudhi weninging kalbu, TI - nut met sihing Hyang
Manon (Setelah semuanya tercakup atau dijalankan atau diterapkan, dapat
diterima didalam pelajaran keilmuan SH pada tingkat kedua, untuk dipelajari
mencapai keselamatan hidup, dengan berusaha membuka hati sanubari atau
setia pada diri pribadi, yang tertuntun dan selalu menghadap kepada Tuhan)
12. SE - Mangsa wus tuwajuh, TI - niti tindhak tandhuk sidharum, YA - ntuk srana
karanane ing trap katri, HA - prana pranaweng luyut, TI - ti hamurunge lakon
(Setelah mencapai atau menguasai betul-betul pelajaran tingkat kedua, diteliti
segala perbuatan atau tingkah laku untuk mencapai keluhuran budi, yang
menjadi syarat untuk dapat mempelajari pelajaran keilmuan SH pada tingkat
ketiga, untuk mencapai atau mengerti tentang keghaiban, dalam mengenal
jalannya kehidupan yang sebenarnya)
15. SE - Dhuluran sing perlu, TI - nitik saka kodrate hidup, YA - iku janma urip
bebrayan sami, HA - na jroning jagad srawung, TI - narik mring dhayaning wong
(Persaudaraan yang penting, yang merupakan bukti kodrat hidup, yaitu manusia
adalah bersaudara di dalam hidup kebersamaan, yang ada di dalam kehidupan
antar manusia atau bermasyarakat, dimana orang akan tertarik oleh daya
kehidupan orang SH)
16. SE - Jatine ran hidup, TI - nata ring tatanan sadharum, YA - muhung hangudhi
rahayu basuki, HA - la becik wus kalebu, TI - timbangan sami uwong (Sebenarnya
yang disebut hidup, diatur bertata di dalam aturan-aturan luhur, yang akan
mencapai jalan keselamatan dan kedamaian yang bagus nan indah, dan yang
tidak baik maupun yang baik akan dapat diterima, sehingga menjadikan
pertimbangan atau keadilan di dalam kehidupan sesama manusia)
20. SE - Mu sareh ing reh martotama kudhu, TI - naberi murih lantib, YA - sudhane
hawa napsu, HA - nor raga ywa nyenyerik, TI - narbuka ing kang momong
(Dengan
penuh kesabaran untuk mencapai keutamaan, dengan kesungguhan hati untuk
mencapai
kecerdasan budi, yaitu dengan mengurangi keinginan hawa nafsu, keinginan
jasmani
dikurangi, maka akan dapat terbukanya terhadap yang dapat mengendalikan diri)
hati sudah terbuka, sudah sangat mengenal dan menyatu dengan diri, maka akan
seperti
orang yang telah menerima wahyu, dan sangat jelas tentang kehidupan dirinya/
siapa
sesungguhnya aku?, terlihat tidak akan keliru akan dirinya)
22. SE - Wenehe kadhang SH gampang klimput, TI - lar reh kang wus jinanji, YA -
mung
ngudhi silatipun, HA - gawe congkaking diri, TI -nanding silat hatanggon (Jangan
sampai
saudara SH mudah terbelenggu atau terlupa, dengan meninggalkan janji atau
sumpah
SH-nya, hanya untuk mendapakan pencak silatnya saja, yang akan dapat
menimbulkan
kesombongan diri, dimana justru akan selalu bertemu tanding dengan orang yang
tangguh
dalam pencak silatnya)
24. SE - Lami wus luwih patang puluh tahun, TI - ba unggul yen tinandhing, YA -
ta
kang mangkono mau, HA - ja pamer witan becik, TI - lar wewekane batos
(Selama 40
tahun yang lalu yakni antara tahun 1917 - 1930, selalu menang di dalam
pertarungan, dan
yang seperti itulah, jangan sampai menjadi sombong diri dan itu tidak baik,
karena akan
meninggalkan kewaspadaan bathin)
25. SE - Thya budhya sumarah kang murbeng hidup, TI -tinen tindhak myang
kardhi,
YA - saliring reka busuk, HA - ja mawas ponang diri, TI - tenana tekaning ngong
(Selalu
setia dan berusaha pasrah kepada Yang Maha Hidup, koreksi atau teliti segala
perbuatan,
dari tindakan yang buruk, dan selalu mawas diri, dan lihat apa yang terjadi)
26. SE - Najan ta samangkya sih hidup luhur, TI - nutupan busana-dhi,YA -
kineringan
sadharum, HA - wit bisa nutup wadhi, TI - narka tan bisa mbrojol (Walaupun
sekarang
hidup dalam keluhuran, yang ditutupi oleh busana kehidupan, yang diikuti pula
oleh budi
yang luhur, sampai dapat menutupi rahasia yang ada, maka tidak akan dapat
diramal atau
diterka)
27. SE - Lurane ing besok pamelehipun, TI - bane adiling widhi, YA - wohe kang
wus
tinandur, HA -timun ta thukul krahi, TI - mun ya timun sayektos (Sesungguhnya
hasil
dari perbuatan besok, akan menjadi keadilan Tuhan, yaitu segala hasil dari apa
yang telah
diperbuat, ibarat menanam buah mentimun tidak akan pernah berbuah krai atau
timun
suri yakni buahnya mirip timun namun bukan timun, buah mentimun yang betul-
betul
buah mentimun)
28. SE - Yogane urip utamane laku, TI - las labete utami, YA - iku bebhudhen
luhur, HA
-
ngelingi turun benjing, TI - laran hamanis kamot (Sebenarnya hidup yang utama
itu
adalah laku atau perbuatan nyata, yang meninggalkan bekas-bekas keutamaan,
yaitu
perbuatan budi luhur, mengingat anak turun atau generasi mendatang, sehingga
akan
31. SE - Laras wus ing bathin myang lahir, TI - numbuke ring kridhaneng angga,
YA -
laku ya bebudhene, HA - ran jenget tinelu, TI - nalenan anggraning kapti
(Keseimbangan
antara lahir dan bathin, adalah dengan menyatunya segala perbuatan jasmani,
juga laku
rohani dan perbuatan budi, yang telah terikat erat, dan menjadi satu kesatuan
yang tak
dapat dipisahkan antara ketiganya tersebut)
32. SE - Laminya tan wudar, TI - nrus rosing hidup, YA - wranane kasat mripat,
HA -
winahya ngalami nunggil sawiji, TI - niti wus tan kewran (Selamanya tidak akan
pernah
lepas, sampai pada inti hidup, yaitu segala apa yang tak dapat dilihat oleh mata,
hanya
dapat dirasakan adanya penyatuan (dengan Tuhan) dan sangat tidak akan
pernah dapat
diragukan lagi)
35. SE - Mono dingin wus hanyukupi, TI - nulis karya pemut pra kadhang, YA - uga
sembuh bekti ngong, HA - sungkem sujud trenyuh, TI - ntising reh Pak Soera
swargi
(Begitulah sudah mencakup, ditulis sebagai pengingat-ingat, para saudara SH,
juga
hormat bhakti kami, dan sembah sujud yang dalam, terhadap peninggalan
pelajaran yang
sangat luhur dari almarhum Ki Ngabei Soerodiwiryo)
Sejarah
Aliran Setia Hati sangat melekat dengan sosok Ki Ngabehi Soerodwirdjo/ Masdan yang lahir
pada hari Sabtu Pahing 1869, beliau adalah keturunan dari bupati Gresik. Ayahnya bernama Ki
Ngabehi Soeromiharjo adalah manteri cacar Ngimbang-Lamongan yang memiliki 5 putera,
yaitu: Ki Ngabehi Soerodwirjo (Masdan), Noto/Gunari (di Surabaya), Adi/ Soeradi (di Aceh),
Wongsoharjo (di Madiun), Kartodiwirjo (di Jombang). Saudara laki2 dari ayahnya R.A.A
Koesomodinoto menjabat sebagai bupati Kediri. Seluruh keluarga ini adalah keturunan dari
Batoro Katong dari Ponorogo (Putra Prabu Brawijaya Majapahit).
Saat berumur 15 tahun beliau magang menjadi juru tulis Op Het Kantoor Van De Controleur
Van Jombang, di sana sambil belajar mengaji beliau juga belajar pencak silat yang merupakan
dasar dari kegemaranya untuk memperdalam pencak silat di kemudian hari.
Pada tahun 1885 beliau magang di kantor Kontroleur Bandung, dari sini beliau belajar pencak
silat kepada pendekar2 periangan/pasundan sehingga didapatlah jurus-jurus seperti: Cimande,
Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cilamaya, Ciampas, Sumedangan.
Pada usia 17 tahun (1886) beliau pindah ke Batavia/ Jakarta, dan memanfaatkan untuk
memperdalam pencak silat hingga menguasai jurus-jurus: Betawen, Kwitang, Monyetan,
Permainan toya (stok spel).
Pada 1887 beliau ikut kontrolir belanda ke Bengkulu, disana beliau belajar gerakan-grakan mirip
jurus-jurus dari Jawa barat. Pertengahan tahunnya ikut kontroler belanda ke Padang dan
bekerja tetap pada bidang yang sama. Didaerah Padang hulu dan hilir beliau mempelajari
gerakan-grakan yang berbeda dari pencak Jawa. Selanjutnya beliau berguru kepada Datuk Raja
Betuah seorang pendekar dan guru kebatinan dari kampung Alai, Pauh, kota Padang. Pendekar
ini adalah guru yang pertama kali di Sumatera Barat. Datuk Raja Betuah mempunyai kakak
bernama Datuk Panghulu dan adiknya bernama Datuk Batua yang ketiganya merupakan
pendekar termasyur dan dihormati masyarakat Minang. Selama 10 tahun beliau belajar silat
kepada pendekar Datuk Raja Batuah dengan mendapatkan jurus-jurus daerah padang, antara
lain: Bungus (uit de haven van teluk bayur), Fort de Kock, Alang-lawas, Lintau, Alang, Simpai,
Sterlak. Sebagai tanda lulus beliau mempersembahkan pisungsun berupa pakaian hitam
komplit.
Pada usia 28 beliau berguru kepada seorang ahli kebatinan bernama Nyoman Ida Gempol yaitu
seorang punggawa besar kerajaan Bali yang dibuang Belanda ke Padang. Ia dikenal dengan
nama Raja Kenanga Mangga Tengah (bandingkan dengan nama desa Winongo-Madiun-Tengah-
Madya). Dari sini Ki Ngabehi mendapat falsafah TAT TWAM ASI (ia adalah aku).
Selanjutnya ilmu yang diperoleh dari Nyoman Ida Gempol disatukan dengan pencak silat serta
ilmu kebatinan yang diperoleh dari Datuk Raja Batuah sehingga menjadi aliran pencak silat baru
yang nantinya oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo dinamakan SETIA HATI.
Pada usia 29 tahun beliau bersama istrinya pergi ke Aceh dan bertemu adiknya yang bernama
Soeradi yang menjabat sebagai kontrolir DKA di LhoukSeumawe, di daerah ini beliau
mendapat jurus kucingan dan permainan binja. Pada tahun tersebut guru besar beliau Raja
Kenanga Mangga Tengah diizinkan pulang ke bali. Ilmu beliau dapat dinikmati saudara-
saudara SH dengan motto “GERAK LAHIR LULUH DENGAN GERAK BATIN” “GERAK BATIN
TERCERMIN OLEH GERAK LAHIR”.
Tahun 1903 Ki Ngabehi kembali ke Surabaya dan menjabat sebagai polisi dienar hingga
mencapai pangkat sersan mayor. Pada tahun ini beliau mendirikan persaudaraan SEDULUR
TUNGGAL KECER (STK) -LANGEN MARDI HARDJO (Djojo Gendilo) pada Jum’at legi 10 Suro 1323
H / 1903M. Tahun yang diklaim sebagai hari lahirnya SH Winongo, dan mengklaim mewarisi
ilmu langsung dari eyang suro, sering mengklaim diri sebagai STK -Sedulur Tunggal Kecer.
Tahun 1914 beliau kembali ke Surabaya dan bekerja pada DKA Surabaya, selanjutnya pindah ke
Madiun di Magazijn DKA dan menetap di desa Winongo, Madiun. Kemudian Persaudaraan
DJOJOGENDILO CIPTO MULJO diganti nama menjadi Persaudaraan “Setia Hati” Madiun pada
tahun 1917.