Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH PENCAK SILAT SETIA HATI LANGEN

PUTRO UTOMO DI AMBARAWA


Ambarawa punya PAHLAWAN dan Tokoh Pencak Silat Dunia dan saat ini tradisi
pencak silat yang diwariskan PAHLAWAN itu hampir punah. Ini riwayat Bapak Martosiam

"MAS ARYO MARTOSIAM" atau “MAS ARYO MARTODIMEJO”

Dengan nama beken “Martosyam” ini


dilahirkan pada tahun 1890 di Ambarawa
Semarang Jawa Tengah. Ayahnya berasal dari
keluarga keraton Mataram di Jogyakarta,
sedangkan ibunya dari keluarga keraton Solo.

Nama “siam” yang diberikan ayahnya


ini mengingatkan suatu kenangan istimewa
ketika ayahnya bekerja pada sebuah Kantor
Urusan Keuangan yang atasannya berasal dari
negeri Siam (Tahunailand). Setelah menikah
namanya menjadi Mas Aryo Martodimejo.

Pada usia 15 tahun, ia sudah melakukan


gerakan melawan pemerintah Belanda, sehingga
pada tanggal 15 Mei 1905 atas perbuatannya
itu, ia di tangkap dan dipenjara di Ambarawa.

Pada usia 25 tahun, di tahun 1915


masuk Sedulur Tunggal Kecer di Madiun yang
disahkan oleh Ki Ngabehi Surodiwiryo di Kampung Prajuritan. Pada tahun 1915 ini, ia mulai
lagi mengadakan gerakan-gerakan yang dilarang oleh Pemerintah Belanda, yakni melatih pencak
silat kepada pemuda-pemuda. Untuk mengelabuhi Belanda, pada saat ada patroli, Martosiam
beserta para pemuda berlatih worstelend atau standent, yaitu gerakan-gerakan senam demonstrasi
untuk pertunjukan. Sedang bila tidak ada patroli Belanda, ia kembali melatih pencak silat “Joyo
Gendilo” yakni istilah pertama kali sebelum berganti nama menjadi pencak silat Setia Hati.

Pada tahun 1917 terjadi peristiwa adu tanding pencak silat yang melibatkan Saudara
Tunggal Kecer dari Solo dan Yogyakarta. Dari pihak Solo mengajukan saudara Martosiam
sebagai jagonya, sedangkan di pihak Yogyakarta juga mengajukan saudara Martosiam. Rupanya
dua nama yang dijagokan oleh kedua belah pihak yang semula dianggap berlainan orang,
ternyata adalah satu orang yang sama yakni Martosiam.
Dari kejadian tersebut, Martosiam dan bebarapa Saudara Sedulur Tunggal Kecer dari
Solo dan Yogyakarta menghadap dan menyampaikan masalah tersebut kepada Ki Ngabehi
Suodiwiryo di Winongo Madiun. Setelah disampaikan duduk permasalahannya kepada Ki
Ngabehi Suro diwiryo, beliau meluruskannya dengan berkata sebagai berikut:

“Bagaimana ini bisa terjadi sesama saudara beradu tanding? Bahwa sesama saudara itu
sebaiknya saling rukun, tolong-menolong dan cinta-mencintai, serta berusaha mencegah adanya
perselisihan, sebab kalian adalah bersaudara, satu hati, setia hati dan suci hati”

Di tahun 1917 ini, setelah mendapat wejangan dari Ki Ngabehi Surodiwiryo tersebut,
kemudian atas pertimbangan dan usulan para Saudara Tunggal Kecer dan juga persetujuan Ki
Ngabehi Suro diwiryo, nama Sedulur Tunggal Kecer Langen Mardi Harjo dengan pencak
silatnya yang bernama Joyo Gendilo berubah nama menjadi “Persaudaraan Setia Hati”.

Tahun 1919 di usia 29 tahun, Martosiam melaksanakan pengesahan ke Tingkat II


(tweede trap) di Winongo Madiun. Pengesahan di rumah Ki Ngabehi Surodiwiryo tersebut
bersama dua orang saudara, yakni Subur Raharja dan Iskandar.

Tahun 1925 terjadi perlawanan rakyat terhadap pemerintah Belanda yang meluas di Jawa
dan Sumatera. Di Ambarawa, Martosiam juga mengadakan gerakan sendiri melawan Belanda
dengan cara gerilya. Pada waktu itu, hampir sebagian besar masyarakat Ambarawa melarang
anggota keluarganya untuk berkumpul dan bergaul dengan Martosiam, sebab nanti dapat
ditangkap Belanda. Dan akhirnya benar, Martosiam tertangkap juga oleh Belanda dan
dimasukkan ke penjara Jornatan Semarang.

Pada saat tertangkap sebelum dimasukkan ke penjara, sebenarnya Martosiam mempunyai


kesempatan untuk meloloskan diri atas bantuan saudara-saudara Setia Hati yang tergabung
dalam kelompok SH Putih sebagai Polisi Belanda. SH Putih merupakan kelompok saudara Setia
Hati yang menjadi Polisi Belanda dan melatih pencak silat kepada orang-orang Belanda.
Kelompok SH Putih juga banyak membantu menyelamatkan para saudara SH yang tergabung
dalam kelompok SH Merah yang menentang keras terhadap pemerintah Belanda.

Martosiam juga menolak bantuan para saudara Setia Hati dari kelompok SH Putih untuk
dikeluarkan dari penjara. Malahan ia menginginkan untuk diasingkan dan memilih agar dapat
dipenjara di Boven Digul Camp di Irian Barat (Papua). Keinginannya untuk di penjara di Papua
hanya untuk mengetahui bagaimana rasanya mendapat perlakuan dari Belanda sebagai tawanan
di penjara Boven Digul Camp. Hal ini juga dijadikannya sebuah tantangan.

Selanjutnya, ia dikirim ke Jakarta dan kemudian diangkut dengan kapal Van der Wijk
menuju Boven Digul Camp. Diatas kapal itu, Belanda mengadakan pertunjukan adu tanding
antar jago-jago beladiri sebagai hiburan melawan para tawanan. Dalam adu tanding itu,
Martosiam berhasil memenangkan pertarungan melawan pendekar asal Malaka.
Di penjara Boven Digul Camp, disetiap kamar penjara, ia mengajarkan pencak silat SH
secara diam-diam kepada para tawanan sampai jurus 10. Pada masa itu, seseorang yang telah
menguasai sampai 10 jurus pencak SH sudah cukup dapat dikatakan sebagai pendekar hebat dan
mumpuni. Agar tidak diketahui oleh Belanda, kegiatan melatih pencak silat dilakukan pada saat
tidak ada kontrol Belanda. Ketika ada patroli Belanda, latihan berhenti dan latihan dilanjutkan
kembali setelah patroli lewat.

Di Boven Digul Camp ini, Martosiam juga melakukan demonstrasi pencak silat dalam
rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Ratu Wilhelmina. Di penjara ini juga ternyata banyak
dihuni saudara-saudara SH asal Madiun. Di camp tahanan ini, Martosiam cukup disegani dan
ditakuti oleh para tawanan, karena itulah kemudian ia mendapat kepercayaan memegang sebagai
pimpinan urusan dapur dan makanan untuk para tawanan.

Pada tahun 1932, Martosiam di ijinkan pulang ke Jawa. Bebas dari penjara Boven Digul
Camp, Martosiam masih aktif melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah
Belanda. Pada saat perjuangan itu, ia bertemu kembali dengan Subur Raharja dan Iskandar,
kemudian mereka bertiga ini bertekad dan berkomitmen untuk mendirikan perguruan pencak
silat dengan syarat ada nama “Putih” untuk identitas organisasi setelah merdeka. Dan pada saat
kembali ke Ambarawa, rupanya sudah ada perkumpulan Setia Hati yang bernama Setia Hati
Organisasi (SHO) yang berkedudukan di Semarang dibawah pimpinan Munandar Harjowiyoto.

Kemudian pada tahun 1935, ia bergabung dengan Munandar Harjowiyoto ke dalam SHO
dan menyusul juga ikut bergabung para saudara-saudara SH dari kelompok SH Putih dan SH
Merah di tahun 1938.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggak 17 Agustus 1945, pada bulan Mei 1948
bersama empat saudara SH yakni Mr.Wongsonegoro, Bung Diro, Raden Maryun
Sudirohadiprojo dan Moh.Djumali seorang saudara SH pendiri Taman Siswa merintis untuk
membentuk sebuah payung organisasi pencak silat nasional Indonesia. Maka atas usul saudara
R.Maryun Sudirohadiprojo dinamai Ikatan Pencak Seluruh Indonesia disingkat IPSI. Pengurus
Besar IPSI pertama yang berkedudukan di Solo terpilih sebagai ketua adalah Mr.Wongsonegoro,
wakil ketua adalah Suria Atmaja dan Sastro Amijoyo, sekretaris oleh R.Maryun Sudirohadiprojo,
Bendahara oleh Suratno. Serta ditambah beberapa naggota sebagai pembantu, sedangkan
Martosiam termasuk salah seorang anggota pembantu PB.IPSI yang pertama.

Pada tahun 1948, Mendung Kelabu menyelimuti Persaudaraan Setia Hati yg Mana
Saudara SH. Bp. Moenadji Soejohadi Koesoemoe. Beliau Saudara SH yg mana Istri beliau Ibu
Soekartinah, Beliau Menjabat Hakim pada PN Ngawi tahun 1948 Beliau tewas dibunuh Oleh
PKI Muso pada waktu itu beliau dihadang dalam perjalanan Keberangkatan menuju kantor PN
dan ditanya ikut Amir Muso atau ikut Soekarno Hatta dan dengan tegas beliau bilang Ikut
Soekarno Hatta. Dikisahkan sebelum dibunuh, Ibu Soekartinah mempunyai Firasat Mimpi
Melihat Morri / Kendit Beliau berlumuran Darah dan pada paginya beliau melihat Kain Morri
Beliau kelihatan Kusam dan tidak nampak bersinar. Setelah Bp. Moenadji tewas di Bunuh, Ibu
pindah ke Solo dengan Membesarkan 7 Orang anak Beliau di Usia 30 tahun. Disini banyak
sekali saudara - saudara SH yg peduli dan menolong Menghidupi Keluarga Alm. Bp. Moenadji
Salah satu yg membantu Kehidupan Beliau adalah Saudara SH .. Bp KNEVEEL. Martosiam
mewujudkan cita-citanya mendirikan organisasi pencak silat yang telah disepakati bersama
dengan Subur Raharja dan Iskandar, yakni dengan nama “Cepaka Putih” yang berkedudukan di
Ambarawa. Saudara Subur Raharja mendirikan ‘Bangau Putih” yang berkedudukan di Bogor dan
saudara Iskandar belum sempat mendirikan organisasi pencak silat karena meninggal dunia.

Pada tanggal 4 Juli 1960 dengan Surat Keputusan Menteri Sosial, Martosiam ditetapkan
sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia ex Digulis yang karena jasa besarnya telah ikut andil
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Nama dan tandatangannya juga di abadikan di Museum
Palagan Ambarawa berikut alat-alat pribadi selama perjuangan yakni berupa tas dan pisau.

Tahun 1977 oleh Bupati Semarang dipanggil untuk


mendirikan IPSI Cabang Ambarawa. Karena di Ambarawa belum
ada perguruan pencak silat, maka pada tanggal 5 Mei 1977 nama
perkumpulan Cepaka Putih berubah nama menjadi Langen Putro
Utomo dan pencak SH yang diajarkannya disebut Langen Joyo
Gendilo. Setelah itu, Langen Putro Utomo menjadi berkembang
pesat di Amabarawa dan memiliki murid-murid dari Australia
sebanyak 30 orang dan dari Inggris sebanyak 1 orang.

Beliau wafat di Ambarawa dalam usia 98 tahun pada bulan


Pebruari 1988, dengan meninggalkan seorang istri bernama Amirah
dan dua orang outri bernama Sugiharti Listyowati dan Harliningsih.
Nasehat beliau yang terkenal adalah: “ajining pribadi dumunung
ing lati ”, yang maksudnya bahwa ajining diri dumunung ing lati dan ajining saliro dumuning ing
busono, yang mengandung arti bahwa harga diri (kejiwaan) terletak di mulut dn harga badan
(perilaku) terletak pada pakaian. Dikisahkan oleh.

“Raden Sutrisno Probokusumo selaku murid dan menantu Bapak Martosiam di Ambarawa "

Anda mungkin juga menyukai