Anda di halaman 1dari 26

Ngrambe, 25 Juli 1974

Yth.

Sdr. Slamet Danudinoto,

1. Tulisan- tulisan, atau lebih tepat kalau dikatakan “ungkapan- ungkapan/ ulasan- ulasan
secara singkat yang menyangkut “kehidupan kerokhanian” ini memang belum lengkap
serta belum mendetail, masih mengisar pada garis besar, namun saya kita sudah cukup
padat untuk dijadikan “ular-ular” dalam penghayatan sehari-hari melandasi dan
melengkapi “kehidupan” dengan segala aspeknya.
2. Memang pada dasarnya semua penghayatan itu bersifat pribadi menurut situasi dan
kondisi masing-masing dalam waktu “sekarang ini”. Namun ini tidak mengurangi
pengharapan saya dari para Kadang SH khususnya dan para peminat yang budiman pada
umumnya, agar hasil buah pengalaman dalam penghayatan saudara-saudara dapat
membantu melengkapi dan menyempurnakan tulisan atau ungkapan ini selanjutnya.
3. Seiring dengan ucapan syukur alhamdulillah kepada ALLAH S.W.T. saya menyampaikan
penghargaan yang sedalam- dalamnya atas segala usaha menyusun dan mengatur “ular-
ular” ini.
4. Semoga TUHAN selalu melimpahkan TAUFIK dan HIDAYATNYA. AMIN.

Salam Persaudaraan :

ttd.

Moenandar Hardjowijoto
PRAKATA

1. Penyusun/ Pangripta tulisan ini berusaha dalam batas kemampuannya yang masih picik
mencoba mengungkap dan mengatur ajaran Sdr. MOENANDAR HARDJOWIJOTO,
sesepuh PERSAUDARAAN SETYA HATI dalam rangka mengisi kejiwaan/
kerokhanian PERSAUDARAAN SETYA HATI sebagai landasan tata kehidupan
sehari- hari dibidang mental- spirituil.
2. Bahwasannya tulisan ini hanya akan merupakan “rangkaian huruf- huruf yang diatur
menjadi kata- kata dan selanjutnya disusun menjadi kalimat “ belaka, sesuatu yang
“mati”, tidak hidup, tidak berjiwa, jikalau tidak dijiwai oleh jiwa pembaca sendiri.
3. Oleh karenanya penilaian tinggi atau rendahnya mutu tulisan ini tidak semata- mata
tergantung kepada kepicikan penyusun, namun juga tergantung kepada tinggi-
rendahnya jiwa dan semangat pembaca sendiri.
4. Tulisan ini masih berwujud garis besar daripada ajaran- ajaran SH. Kemudian akan di
usahakan adanya uraian- uraian atau ungkapan lebih lanjut secara berturut- turut.
5. Semoga tulisan ini, walaupun sedikit, setidak- tidaknya dapat diharapkan memberikan
“tuntunan” atau “ancer- ancer” bagi para Kadang SH dalam tata- kehidupan SETYA
HATI melaksanakan tata- kehidupan berlandaskan falsafah “PANCASILA”.

Semarang, 22 Mei 1973

PANGRIPTA

- SLAMET DANUDINOTO -


TUNTUNAN I

A. PENGERTIAN SH dan HAKEKATNYA


1. Kata “SH” adalah singkatan daripada kata Setya Hati.
Setia Hati mengandung arti dan makna : Diri setya kepada Hati Sanubari.
Sedangkan Hati Sanubari fungsinya selalu menghadap/ berkiblat kepada
TUHAN YANG MAHA ESA.
2. Ungkapan secara singkat/ ringkas.
a. Yang dimaksud “diri” ialah totalitas atau keseluruhan utuh-bulat daripada
badan wadag atau jasad dengan segala alat kelengkapannya seperti panca
indera, akal fikiran, kehendak/ keinginan, hawa nafsu, dan lain sebagainya.
Badan wadag atau jasad dengan alat kelengkapannya itu kait- mengkait,
isi- mengisi, serap-menyerap satu sama lain mewujudkan suatu sifat atau
perbuatan secara utuh.
b. Adapun Hati Sanubari ialah Kalbu, Suksma, Rosing Roso, Rasa Jati, Hati
Nurani atau Pribadi.
c. Kata “setia” mengandung arti tidak mau dipisahkan betapapun situasi dan
kondisinya.
Ikhlas berkorban demi kesetiaannya menurut kehendak yang dilimpahi
kesetiaannya secara mutlak.
Kesetiaan itu pada dasarnya berladaskan “cinta-kasih” dan “kasih-sayang”
yang mendalam.
d. Diri setia kepada Hati Sanubari disini berarti Diri yang sudah bersatu/
manunggal dengan Hati Sanubari dan berkiblat kepada TUHAN YANG
MAHA ESA.
3. Hakekatnya.
a. Yang disebut “diri” itu sesungguhnya “apa” dari manusianya, jadi
merupakan “obyek” belaka, bukan “subyek”. Dengan kata lain, diri adalah
yang digunakan, bukan yang menggunakan. Yang digerakkan, bukan yang
menggerakkan. Yang di”wisesa”, bukan yang “misesa”.
Bandingkan : “apa”nya yang melihat dengan “siapa” yang melihat.
Dengan demikian, diri berfungsi hanya sebagai prasarana.
b. Adapun yang disebut Hati Sanubari, Pribadi, Rosing Rasa merupakan
“siapa” atau “subyek” daripada manusianya.
Dengan demikian jadi “yang menggunakan”, “yang menggerakkan”, “yang
mengaku”, “yang misesa”.
Akan merupakan kesalahan besarlah, jikalau yang sesungguhnya “obyek”
dianggap atau diperlakukan sebagai “subyek”, dan sebaliknya yang
sesungguhnya “subyek” diperlakukan dan dianggap hanya sebagai
“obyek”.
Diibaratkan : sebuah pensil membuat tulisan.
Sesungguhnya pensil itu hanya suatu benda/ alat sarana yang digerakkan
untuk membuat tulisan. Pensil baru dapat bergerak dan menulis, kalau
digerakkan atau dituliskan. Pensil tidak akan dapat bergerak dan menulis
sendiri tanpa adanya yang menuliskan. Tulisannyapun sesungguhnya
bukan kepunyaan pensil, akan tetapi kepunyaan yang menuliskan.
Tidakkah merupakan kesalahan besar, jikalau “pensil” itu menyatakan:
“saya menulis sendiri, dan tulisan ini tulisanku”.
Hati Sanubari berisikan “rasa-pengerasa yang halus dan mendalam” dan
menjadi sarana TUHAN utuk menyatakan Diri dalam Wahyu atau
Sasmitanya. Oleh karenanya Hati Sanubari seolah-olah berfungsi sebagai
Duta Besar berkuasa penuh untuk ke TUHAN dan dari TUHAN.
Jikalau diri sudah bersatu-manunggal dengan pribadi dan diri berbuat
menurut dan selaras dengan Hati Sanubari, maka manusia yang memiliki
diri itu adalah “pelaku bulat” ILLAHI dan dapat disebut manusia utuh-
bulat, manusia paripurna.
Inilah tujuan PERSAUDARAAN SETIA HATI, membimbing para
Kadang menjadi insan SH sejati yang selalu hidup didalam TUHAN.
Sudahkah para Kadang SH merasa menjadi insan/ manusia SH sejati?
B. Perwujudan/ Manifestasi Setia Hati
1. Perwujudan/ manifestasi setia hati yang kami lihat dan kami ketahui pada
umumnya masih terbatas pada perwujudan dalam bentuk “pencak silat”, jadi
masih terbatas pada “sinar”, belum pada “matahari”nya. Masih terbatas pada
“diri”, belum sampai pada “pribadi”nya. Dengan kata lain belum sampai pada
hakekat dari setia hati.
2. Pencak Silat SH dalam fungsinya untuk mempertahankan dan membela diri
adalah salah satu sarana memperoleh keselamatan, keamanan, dan
ketenteraman hidup. Yang dimaksud disini harus diartikan keselamatan,
keamanan, dan ketenteraman lahir-bathin menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup.
3. Keselamatan yang beraspek lahir diusahakan dengan melatih dan mengolah
“diri”. Sedang keamanan dan ketenteraman yang beraspek bathin, perlu
diusahakan dengan melatih “pribadi”.
Pencak silat SH sesungguhnya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan dari
“jiwa-pribadi” SH, seperti halnya “sinar matahari” dari “matahari” itu sendiri
atau sebaliknya “matahari” dari “sinar”nya. Bergitu pula rasa “manis” dari
“madu” atau sebaliknya “madu” dari rasa “manis”nya.
Kedua-duanya mewujudkan “dwi-tunggal”, dua eksistensi yang menyatu-
manunggal, mewujudkan satu keutuhan bulat, satu totalitas.
4. Oleh karenanya tiada tepat dan lengkaplah memperlajari pencak silat SH tanpa
memperdalam Jiwa-Pribadi SH atau sebaliknya memperdalam Jiwa-Pribadi
SH tanpa memahami pencak silat SH.
C. Kegunaan Setia Hati

1. Bagi Kadang SH Sendiri (Individu)


a. Perjalanan hidup seseorang pada umumnya selalu terombang-ambing oleh
pasang surut gelombang kehidupan, entah itu diakui sebagai “cobaan”
ataukah sebagai “ujian” hidup. Gelombang itu bisa diakui menjadi
“kawan” atau “lawan” tergantung pada kekuatan, keseimbangan dan
keselarasan “diri-pribadi” menentukan sikap dalam menghadapi
gelombang yang merupakan “tantangan hidup” itu. Jika gelombang atau
ujian hidup itu membawa suka, diakuinya sebagai “kawan”. Sebaliknya
jika menimbulkan duka atau kecewa, dianggapnya sebagai “lawan”.
Padahal kesemuanya proses itu tidak terlepas dan berada dalam Tata
Wisesa TUHAN sesuai dengan Kodrat (kuasa) & Iradat (karsa) TUHAN.
Oleh karena itu, barang siapa selalu dalam hukum TUHAN, menyelaraskan
tiap kehendak dan perbuatannya dengan Kodrat & Iradat ILLAHI, niscaya
dia akan aman, tenteram, selamat dan sejahtera lahir-bathin.
b. Dalam hubungan ini, Setia Hati membantu membimbing para Kadang
mencapai tujuan tersebut dengan mengusahakan latihan-latihan utuk dapat
menguasai kekuatan jasmaniah dan kekuatan rokhaniah dengan latihan-
latihan olah-raga dan olah-jiwa.
SH berkeyakinan, bahwa gerak mobah-molah insan itu bertujuan :
1) Mempertahankan diri pribadi
2) Mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan (lahir-bathin)
3) Kembali kepada Sumbernya (sesempurna-sempurnanya).
c. Dalam pada itu perlu diinsyafi pula, bahwa apa yang disebut “tantangan
hidup” itu bisa bersifat lahiriah yang kasatmata, atau bisa bersifat bathiniah
yang tidak kasat mata.
Tantangan hidup yang kasatmata mungkin berupa penyakit atau berwujud
“oknum” yang ingin menyerang atau mencelakakan kita, baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan kekuatan hitam
(black magic).
Tangtangan hidup yang tidak kasatmata biasanya berupa kehendak-
keinginan atau fikiran-fikiran dan gagasan-gagasan yang diprakarsai oleh
hawa nafsunya sendiri.
Betapapun bentuk atau wujud daripada tantangan-tantangan itu, kita tidak
perlu dan tidak boleh cemas, asalkan kita sendiri memiliki dan menguasai
kekuatan jasmaniah dan rokhaniah yang sepadan atau melebihi.
d. Oleh karena itu setiap insan SH diwajibkan memahami Pencak Silat SH
dan menguasai Kerokhanian SH dengan melakukan latihan-latihan secara
teratur, terarah, dan tekun. Tiap latihan harus dikerjakan dengan terliti, atul
sampai tutug.
Jiwa-pribadi sebagai “subyek” atau yang mengaku dan misesa perlu selalu
disiap-siagakan menghadapi segala kemungkinan rintangan atau tantangan
yang tidak kasatmata, sedang diri yang melingkupi jasad dan alat
kelengkapannya perlu pula dilatih, agar menguasai daya kekuatan dan
memiliki kemampuan serta keterampilan menghadapi segal kemungkinan
tantangan yang kasatmata.
Dengan jalan menghayati ajaran-ajaran, diharapkan setiap insan SH akan
berhasil mencapai suasana aman, tenteram, sentosa, selamat-sejahtera
lahir-bathin.
2. Bagi Kadang SH Dalam Ikatan Organisasi
a. Insan-insan SH yang merasa mempunyai Ikatan Tali Persaudaraan SETIA
HATI dalam arti DIRI SETYA KEPADA HATI SANUBARI, berJiwa-
Pribadi SH serta berPencak-Silat SH sudah selayaknya merasa merupakan
satu rumpun, “Rumpun SH”.
b. SETIA HATI harus dapat dirasakan sebagai “Suh/Simpai” atau suatu alat
pengikat untuk menghimpun dan mengatur secara “Organisasi” yang baik
dan teratur, agar bisa menunjukkan partisipasinya sebagai potensi yang
tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pembangunan, khususnya dibidang
Mental-Spirituil.
Ikatan bathin dengan Jiwa-Pribadi SH, Ikatan lahir dengan Pencak-Silat SH
dalam suatu Organisasi yang baik dan teratur sebagai wadah atau sarana,
dimana para Kadang ber”Silih-Asah, Silih-Asuh, Silih-Asih”. Masing-
masing dapat mempercerdas, mengasuh hingga timbul rasa Cinta-Kasih
dan Kasih-Sayang satu sama lain.
3. Kegunaan SH bagi Kemanusiaan.
a. Setia Hati bermaksud memberikan bimbingan kepada Para Kadang SH
kearah DIRI SETYA KEPADA HATI SANUBARI, karena jika “Diri”
sungguh-sungguh sudah setia kepada Hati-Sanubari, maka Diri tidak mau
lepas atau terpisah dari Hati-Sanubari. Ini berarti bahwasanya “Diri”
dengan “Pribadi” sudah menjadi satu-manunggal, lingkup-melingkupi dan
serap-menyerapi. Manusianya sungguh-sungguh mewujudkan suatu
totalitas, suatu keutuhan bulat. Manusianya sungguh-sungguh dapat disebut
“Pelaku Bulat” daripada “Subyek Mutlak”, Tuhan YME. Ajaran-ajaran
tersebut pada dasarnya beraspek “Universil”, untuk seluruh umat Manusia,
tidak semata-mata hanya dikhususkan bagi Para Kadang SH saja.

b. Kembali kepada masalah “Hati Sanubari” atau “Pribadi”. Tidak dapat


disangkal lagi, bahwasanya landasan untuk ber”Iman” dan memantapkan
Iman kepada Tuhan ialah “Hati Sanubari” masing-masing.
Hati Sanubarilah yang dapat mewujudkan gerak Mobah-Molah, perbuatan
atau Pakarti-Adil, Jujur, Benar, Tepa Sarira dan membawa seseorang ke
“Rasa-Pangrasa” yang halus mendalam.
Sesungguhnya “Rasa” inilah yang disebut Rasa KeTuhanan atau rasa
“Kasuksman”. Rasa ini mengantar kita ke “Rasa Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab” serta budi pekerti luhur.
c. Oleh karena itu tidak berlebihanlah kiranya, jikalau yang disebut “Hati
Sanubari” atau “Pribadi” itu dianggap berfungsi seolah-olah sebagai “Duta
Besar Berkuasa Penuh” untuk sampai ke Tuhan dan dari Tuhan, disamping
fungsinya sebagai Sarana Tuhan untuk Menyatakan Diri dalam Wahyunya.
Dengan “Diri Yang Setia Kepada Hati Sanubari” maka “Diri” sudah Satu-
Manunggal dengan “Pribadi”. Diri dengan Pribadi sudah Lingkup-
Mlingkupi, Serap-Menyerapi. Dengan demikian “Diri” sudah tidak
menjadi “Tirai” atau Warana/Aling-aling” lagi antara “Pribadi” dengan
Tuhan Penciptanya.
Dalam hubungan ini “Diri” bahkan dapat menjadi tombol (Sakelar
berbeda) antara “Pribadi” dengan “Gusti”. Ular-ularan seperti tersebut di
atas bisalah kiranya digunakan sebagai salah satu unsur landasan dalam
tatakehidupan berPancasila demi memantapkan suksesnya
“PEMBANGUNAN BANGSA DAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA”.

----------------------ooooOOOoooo---------------------
TUNTUNAN II

A. Sapta Wasita Tama Pedoman Hidup Setia Hati.

Tiada maksud mengurangi Hak Asasi masing-masing menganut sesuatu Agama


atau sesuatu Keyakinan/Kepercayaan demi kehidupan Kerohaniannya, Setia Hati
mengajarkan 7 (tujuh) buah Dalil, disebut “Sapta Wasita Tama” yang berbunyi :
1. Tuhan Menitahkan /Menciptakan Alam Seisinya Dengan Sabda, Sebelum di-
Sabda (Dumadi), Semua (Alam Seisinya)Berada Pada Yang Menyabda.
2. Setelah Alam Semesta Seisinya Disabda (Ada), Tuhan Menyertai Sabdanya.
3. Barang Siapa Melupakan/Meninggalkan “AS”/Sumbernya, Ia akan Tergilas
Karenanya (Lingkungannya).
4. Barang Siapa Terlepas Atau Meninggalkan Keseimbangan, Ia Akan
Tergelincir.
5. Barang Siapa Melupakan Awal Atau Permulaan, Ia Tidak Akan Mungkin
Akan Mencapai Akhir (Tidak Akan Mungkin Mengakhirinya).
6. Barang Siapa Mengakui Hasil Karya Sebagai Miliknya Sendiri, Ia Akan
Terbelenggu Karenanya.
7. Barang Siapa Selalu Melatih Diri Untuk Dapat Merasakan Sumber Dari Pada
Rasa, Niscaya Ia Akan Dapat Merasakan Rasa Yang Sejati, Yaitu Merasakan
Sesuatu Tanpa Menggunakan Jasad, Jika Tuhan Mengizinkan (Bakal Karasa
Tanpa Ngagem Sarira).

Jika diamati secara keseluruhan, Dalil-Dalil Sapta Wasita Tama itu “Diliputi dan
Diserapi Oleh Kabut Suasana serta Kabut-Cahaya (Adanya) Yang Maha Esa,
dimana manusia sebagai “Ciptaan Tuhan” dapat menempatkan dirinya dan
bagaimana menentukan sikap diri pribadinya terhadap Sang Pencipta didalam
dan dalam hubungannya dengan lingkungan.
Dalil-dalil Sapta Wasita Tama perlu diresapkan dan diresapi secara mendalam,
disadari arti dan maknanya untuk dihayati dan diamalkan sebagai Amal Ibadah
kita terhadap Tuhan serta sebagai Amal Bakti kita terhadap Lingkungan yang
berwujud Masyarakat, Nusa, Bangsa, dan Negara.
Sapta Wasita Tama diajarkan dengan maksud, agar justru dapat membantu
memantapkan Iman kepada Tuhan. Disamping itu pula, agar dapat digunakan
sebagai “Tongkat” perjalanan hidup dan dapat memupuk terhadap diri pribadi
dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, menghadapi serta mengarungi
pasang-surut gelombang kehidupan.
B. Landasan Dan Tujuan Tata Kehidupan Setia Hati.

1. Landasan.
a. Seperti yang telah kami ketengahkan, Setia Hati melandaskan pandangan
hidupnya atas:
DIRI SETIA KEPADA HATI SANUBARI
Dengan pengertian, apa yang disebut “Hati Sanubari” atau “Pribadi” itu
selalu berkiblat menghadap kepada Sumber, Sesuatu yang diyakini sebagai
awal-tolak dan Akhir-Tujuan semua Hidup dan Kehidupan.
Hati Sanubari adalah sarana Tuhan untuk Menyatakan Dirinya dalam
Wahyunya.
Karenanya Hati Sanubari dapat dianggap sebagai Duta Besar Berkuasa
Penuh untuk ke Tuhan dan dari Tuhan. Sesungguhnya Warana atau Tirai
Tuhan dalam hubungannya dengan Insannya-pun Hati Sanubari, (maka
sering dinyatakan : “Cedak Tanpa Senggolan” atau “Dekat, namun tak
singgung menyinggun”).
b. Pada Hakekatnya “Manusia Hidup” itu ber”Diri” dan dengan ber”Pribadi”.
“Diri” dengan “Pribadi” mewujudkan satu “Totalitas”, satu “Keutuhan
Bulat”.
Manusia hidup dalam wujud “Diri-Pribadi” itu bukan jumlah daripada
bagian-bagian semata-mata (som der dalem), namun lebih dari pada itu.
c. Adapun yang disebut dengan diri itu sendiri merupakan satu totalitas juga.
Suatu keutuhan bulat yang meliputi badan wadag, jasad, atau tubuh dengan
anggota-anggota tubuh beserta panca inderanya, akal pikiran, kehendak-
keinginan, hawa nafsu, dsb-nya.
Tubuh dengan anggota tubuh berfungsi sebagai wadah, sebagai alat peraga,
sedang panca indera, akal pikiran, kehendak-keinginan, hawa nafsu dsb,
berperan sebagai alat sarana.
Walaupun demikian, satu sama lain kait-mengait, isi-mengisi, bantu-
membantu, secara gotong-royong yang sangat sempurna menurut fungsi
masing-masing dalam satu Koordinasi yang teratur baik untuk
mewujudkan suatu keutuhan gerak mobah-molah dibawah satu Komando.
Proses ini kesempurnaannya tiada tara, karena semua unsur berfungsi
dalam “Tata Wisesa Tuhan”.
d. Untuk memudahkan memahami pengertian “Diri” dalam hubungannya
dengan “Pribadi” ialah kalau kita memahami Fungsi masing-masing. Ciri
khas fungsi masing-masinglah yang menentukan peran khas masing-
masing sebagai totalitas dan dalam totalitas.
“Diri” mempunyai fungsi beraspek jasati jadi pada umumnya Orientasinya
bersifat “Lahir”. Gerak mobah-molah diri mengarah berkiblat kepada
lingkungan. Biasanya gerak mobah-molah itu berwujud tingkah-laku,
langkah-usaha, makanya dalam rangka mempertahankan diri dan
mengusahakan kesejahteraan demi kelangsungan hidupnya. “Diri’ adalah
sesungguhnya “Aku” atau “Ego” daripada manusianya.
Dalam pada itu yang disebut “Hati Sanubari” atau “Pribadi” fungsinya
beraspek “Rohani”, bertempat kedudukan di Pusat Jantung dengan orientasi
dan arah kiblat kepada Sumber, Tuhan. “Hati Sanubari” atau “Pribadi” adalah
sesungguhnya “Ingsun” atau “Super-Ego” daripada manusianya.
e. Yang perlu juga kita sadari ialah, bahwasanya baik “diri” maupun
“pribadi” alat peraganya hanya satu, yaitu tubuh atau badan manusianya.
Padahal tubuh atau badan itu tidak mungkin digunakan bersama sekaligus
dalam waktu dan tempat yang sama oleh “dri” atau “pribadi” masing-
masing, sendiri-sendiri. Akibatnya salah satu harus “ngalah” atau “kalah”.
Kalau “diri” menang karena “pribadi”diam, mengalah (untuk
sementara),maka tubuh atau badan mewujudkan sifat-sifat dari “aku”.
Sebaliknya jika “diri” dapat disudutkan atau kalau mungkin dapat dikuasai
oleh “pribadi” dalam arti diluluhkan dalam “Hati Sanubari”, maka gerak
mobah-molah manusianya akan mengejawantahkan sifat-sifat “Ingsun”
yang berwujud keadilan, kebenaran, kejujuran, tepa sarira, serta budi luhur.
f. “Pribadi” pada dasarnya mengejawantahkan rasa pangrasa halus dan
mendalam, rasa “Kasuksman”. Oleh karenanya rasa ini sering dinyatakan
sebagai “Rasa Sejati” atau “Sejatining Rasa”. Rasa ini sulit, bahkan
sesungguhnya tidak mungkin diterangkan dengan kata-kata atau dilukiskan
dengan suatu gambaran. Namun demikian “rasa” ini akan dapat dicapai
dengan melalui penghayata-penghayatan dalam bentuk latihan-latihan yang
tekun, teliti, dan teratur, tiada bosannya, atau lekas memburu hasil.
(dipersilahkan memahami dan menghayati dalil ke-7 Sapta Wasita Tama).
g. Sifat-sifat pribadi atau Hati Sanubari dapat disanepakan sebagai sifat “Air”.
Air selalu berusaha kembali kepada sumbernya ialah “lautan”. Sumber,
sebagai awal mula asal daripada air ialah “laut” atau “samudra”. Terik
matahari menyebabkan air laut menguap, uap kemudian diangkut oleh angin
ke tempat-tempat dimana tekanan udaranya rendah. Uap air membeku,
menjadi titik-titik air, menetes di gunung-gunung atau di ngarai-ngarai
sebagai air hujan. Tetes-tetes air hujan itu selanjutnya mengumpul menjadi
kali dan berusaha mengalir kembali ke laut, kembali dalam sumber-asalnya.
Walaupun diusahakan dibendung, air akan berusaha menembus atau menjebol
bendungan itu,jika tidak bisa air akan berusaha melintasinya, jika tidak bisa
juga air akan mencari jalan lain (air akan selalu berusaha kembali pada
sumbernya)-lautan.
Demikian pula halnya “pribadi”,betapapun dicegahnya atau dirintanginya
dengan segala daya-upaya “pribadi” tetap akan kembali pada “Sumbernya”-
Tuhan YME.
8. Tujuan.

Dengan landasan “Diri Yang Setia Kepada Hati Sanubari” kita menuju akan
tercapainya :

a. Sehat Jasmani.
b. Sehat Material-Finansial (yang merupakan kesejahteraan lahir).
c. Sehat Mental Spiritual (menyangkut kesejahteraan Bathin).
Ketiga unsur pokok tujuan tersebut diatas harus pula merupakan totalitas, satu
keutuhan bulat, dimana unsure-unsur itu harus kait-mengait, seimbang, dan serasi.
Unsur yang satu tidak boleh dilepaskan/dipisahkan dari unsur yang lain.
Keseimbangan serta keserasian ketiga unsure dalam satu totalitas itulah yang akan
mewujudkan yang disebut “Kesejahteraan” Lahir-Batin.
Keseimbangan lahir dan batin itu akan terjangkau, apabila kita selalu
menempatkan diri pribadi kita pada AS dan dalam AS, yang sesungguhnya ini
berarti berdiri diatas “Iman dan Tauhid”. Kata “Sehat” ini tidak berarti berlebih-
lebiha, namuntidak merasa kekurangan, tetapi cukup member kemampuan dan
memungkinkan melakukan kegiatan-kegiatan yang wajar sesuai dengan Vitalitas,
Stamina, dan Kapasitas.
C. Yang Dimaksud Dengan “AS” Dalam Ajaran Setia Hati.

1. Biasanya kalau kita mendengar kata “AS”, maka akan terbayang pada kita
(Asosiasi) “sebuah roda”, lengkap dengan As/poros, ruji-ruji, velg dan bannya.
Kemudian terbayang selanjutnya roda itu dalam fungsinya, “berputar” menurut
putaran ASnya sebagai suatu totalitas.

9. Sesuatu yang bergerak/berputar itu sudah barang tentu ada yang


menggerakkan atau memutarnya. Dalam hal “Roda” yang
menggerakkan/memutar adalah As.

As merupakan tempat kedudukan dan sumbernya, dimana gerakan memutar


berawal dan memusat. Dalam hal ini biasanya yang kita perhatikan sehari-hari
hanya benda yang bergerak/berputar itu saja. Jarang terlintas pada perhatian kita
“Yang Menggerakkan” atau “Yang Memutar”. Padahal sesuatu yang bergerak itu
tidak terpisah dari “Yang Menggerakkan”. Dengan kata lain “Yang
Menggerakkan” itu senantiasa menyertai gerakkannya, termasuk juga “yang
digerakkan”.
Diibaratkan :
 Daun yang bergerak itu tidak terpisah dari angin yang meniup
menggerakkannya
Pernah telintaskah pada keseadaran kita, bahwasanya semua perbuatan kita, baik
yang Nampak maupun yang tidak Nampak, tidak pernah terlepas dari “Yang
Menggerakkan Kita”?.
10. Kembali pada masalah “Roda”. Sebagai totalitas “roda” melingkupi
ban, velg, ruji-ruji, dan As. Unsur ruji-ruji semua memusat dan berpusat di AS.
Pada proses roda sedang berputar, kita lihat kejadian sbb :

a. Jika dilihat dari luar :

Ban memutar, karena putaran velg. Velg berputar, karena putaran ruji-ruji.
Ruji-ruji bergerak mutar karena putaran As. Gerak mutar ruki-ruji itu sesuai
dan seirama dengan gerak mutar As.
Dalam hubungan ini As/poros berfungsi sebagai pusat/sumber gerak mutar
roda melalui ruji-ruji kearah velg dengan bannya. Didalam As akan terdapat
titik pusat yang tiada gerak.
b. Jika dilihat dari dalam :
As bergerak mutar ruji-ruji. Ruji-ruji memutar velg, selanjutnya memutar ban.
Oleh karenanya secara ringkas dapat disimpulkan sbb :
 As adalah tempat kedudukan, dimana suatu proses berpusat dan memusat.
11. Apabila prose situ gerak mobah-molah manusia, maka Asnya adalah “Jantung”
manusia itu sendiri. “Jantung” manusia adalah sumber daripada “Daya Hayati
Hidup”, atau sumber daripada “Rasa” manusia itu sendiri.
Diawali dengan gerak denyut/gerak getar jantung, mulai berfungsilah seluruh
alat sarana dan alat peraga manusia sesuai dengan tugas masing-masing. Jika
jantung berhenti berdenyut/bergetar, berhentilah seluruh Hidup dan Kehidupan
manusianya. Manusianya dinyatakan “Mati” atau “Meninggal(kan)” dunia.
12. Didalam jantung di pusatnya bersemayam yang disebut “Hati
Sanubari”, “Pribadi/Rasa Sejati”. Hati Sanubari tiada gerak, namun
menumbuhkan seluruh gerakan “Diri”, di awali di jantung, berupa gerak
denyut/gerak getar. Gerakan itu kemudian menebar keseluruh anggota tubuh
secara menyeluruh sebagai getaran/gerakan hidup. Dalam hubungan ini Hati
Sanubari berfungsi sebagai sarana Tuhan untuk memancarkan “Sinar Sifat
Hayatinya”. Namun Hati Sanubari berperan pula sebagai “Warana”/”Tirai”
antara insan dengan yang “Khalik”. Coba renungkan dan bayangkanlah :

a. Jika gerak mutar velg/ban/ruji-ruji itu terlepas meninggalkan As/porosnya.


b. Jika gerak mobah-molah diri dalam mengejawantahkan kehendak,
keinginan/akal pikiran itu terlepas meninggalkan Hati Sanubari/Hati
Nurani. (baca Sapta Wasita Tama dalil ke-3).
D. Manusia Sebagai Makhluk Individu Dan Makhluk Sosial.

1. Sebagai makhluk Individu.

a. Seseorang sebagai individu harus sadar, bahwasanya ia sesungguhnya


hanyalah seperti sebuah “Pensil”, yang hanya bisa bergerak menulis, kalau
di tuliskan (digerakkan). Jika tiada yang menuliskan, pensil akan tergeletak
saja. Tiada sebuah pensil bisa/mampu menulis sendiri. Sedangkan tulisan
yang dibuat oleh pensil bukanlah semata-mata milik si pensil, tetapi milik
yang menuliskan. Pensil hanya “Sadermi”(Berbuat Demi). Meski hasil
tulisannya itu baik/tidak, pensil tidak perlu bangga/kecewa, karena bukan
miliknya.
b. Ini semua berarti, bahwasanya manusia sebagai Individu itu sesungguhnya
tidak bisa hidup dengan sendirinya, tanpa adanya” Yang
Menghidupi”/”Yang Menghidupkan”. Jadi semua hasil perbuatan manusia,
apakah itu merupakan sukses/kegagalan, janganlah diakui sebagai milik
sendiri secara mutlak. Pengakuan secara mutlak, dengan cara
bagaimanapun akan membelenggunya lahir-batin. “Manusia sebagai
individu itu sesungguhnya hanyalah sebagai “Obyek” daripada “Subyek
Mutlak”,nyalah Yang Maha Esa.
Oleh karena itu kita tidak perlu congkak/sombong kalau nasib kita sedang
beruntung, sebaliknya kita tidak perlu kecewa, berkecil hati/putus asa, kalau
nasib kita sedang sial/ dirundung malang, (ingat dalil ke-6):
c. Berhubung dengan tiu kita perlu mengenal diri pribadi kita sendiri, supaya
kita dapat dan mampu menentukan sikap kita yang wajar terhadap diri
sendiri dan lingkungan.
Unutk dapat mengenal diri pribadi kita sendiri, kita harus selalu mawas diri,
supaya tidak terlepas dari As, dari Sumber, dari Iman, tetapi selalu berada di
As dan berpijak dalam As. Ini berarti pula, bahwa segala amal perbuatan kita
keluar,nyalah amal perbuatan “Lahir”, selalu berlandaskan sumber, sedang
amal ibadah kita kedalam, yang bersifat batin menuju kembali kepada sumber.
Dengan demikian semua perbuatan kita, baik mengarah keluar/pun kedalam,
berpusat dan memusat di sumber, berpusat dan memusat di As, berpusat dan
memusat di Hati Sanubari.
Sesungguhnya yang demikian itulah penghayatan/pelaksanaan Iman dan
Tauhid.
13. Sebagai Makhluk Sosial.

a. Sebagai makhluk Sosial manusia itu dititahkan berlingkungan dan


bermasyarakat. Kita dimana saja dan kapan saja, tidak bisa terlepas
daripada masyarakat dalam lingkungan kita. Kita itu merupakan unsur
penting dalam kesatuan lingkungan masyarakat kita sendiri.

Adapun kesatuan masyarakat dalam lingkungan kita itu berwujud keluarga,


teman, rukun tetangga, rukun warga, suku, bangsa, dsb.
b. Dalam kesatuan lingkungan masyarakat kita tidak boleh tenggelam begitu
saja didalamnya, tetapi kita harus dapat bebas serta aktif, berpartisipasi
demi kebaikan totalitas masyarakat itu.
Dalam hubungan ini kita bisa dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi, kita
bisa diisi tetapi bisa mengisi lingkungan, tinggal kita sendiri itu
“Obyek”/”Subyek” dalam lingkungan.
Kita sendiri itu “As” ataukah sebuah “Ruji” dalam lingkungan kesatuan
“Roda”.
c. Apabila kita mampu memancarkan “Pribadi” kia dan kita tidak terlepas
dari As/Hati Sanubari, kita akan “Berpribadi”, ber”Wibawa” dan selalu
akan menjadi subyek dari lingkungan sekeliling kita, dikarenakan,
“Pribadi”/”Hati Sanubari” itu senantiasa memancarkan sinar
“Kewibawaan”. Sebaliknya jika kita terlepas dari As, kita akan tergilas dan
tenggelam dalam lingkungan dan akan menjadi “Obyek” belaka.
Disamping itu perlu disadari pula, bahwa lingkungan itu bisa menjadi
“Tirai”/”Aling-aling” antara diri pribadi dengan Tuhan. Padahal seharusnya
lingkungan itu harus menjadi Tombol/Drukknop antara diri pribadi dengan
Tuhan. Denga hidup dalam lingkungan dan karena lingkungan, kita sekaligus
merasakan adanya Tuhan, keAgungan Tuhan, dan keMurahan Tuhan.
E. Penghayatan.

1. Suatu ajaran/tuntunan betapapun baiknya, tidak akan berarti dan tidak faedah
sedikitpun, jika tidak dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penghayatan secara sungguh-sungguh dan tepat lagi mantap serta dilakukan
secara berturut-turut dan teratur akan membangkitkan kesan-kesan yang
mendalam, karena pengalaman-pengalaman diri pribadi secara komplit yang di
perolehnya.

14. Apabila yang dihayati itu sesuatu yang positif, sudah barang tentu hasilnya
akan positif pula, begitu juga sebaliknya.
 Tiada orang mencangkul hasil sabitan, dan tiada orang yang menyabit
hasilnya cangkulan.
Dalam hal ini akan berlaku apa yang diamanatkan para sesepuh : “Nyunduh
Wohing Panggawe(-ne) Dewe” yang berarti : “Semua akan memetik hasil dari
perbuatannya sendiri”.
15. Penghayatan yang dilakukan secara teratur, berturut-turut, teliti dan tepat tanpa
mengenal bosan, akan membentuk suatu adat kebiasaan/”Pakulinan”. Lebih-
lebih kalau penghayatannya dilakukan secara mantap dengan kebulatan tekat.
16. Adat kebiasaan /pakulinan yang positif tidak akan memberi kesempatan
berkembangnya “Adat Kebiasaan”/pakulinan yang negatif, bahkan akan
melenyapkannya walaupun sedikit demi sedikit.
17. Penghayatan secara berturut-turut dan teratur dengan irama sesungguhnya
sudah merupakan “Latihan-latihan”. Biasanya pada tahap pertama semua
latihan itu dirasakan berat, karena belum dimulainya. Namun sekali salah satu
kaki diangkat untuk melangkah maju, yang lain akan segera mengikutinya.
18. Yang pokok semua penghayatan itu harus dilakukan secara Ikhlas, tiada rasa
terpaksa/dipaksa.
19. Agar penghayatannya bisa tepat dan seksama maka melakukannya harus teliti
dengan mengamati proses yang dilakukannya sebaik-baiknya.
20. Semua itu harus menjadi pakulinan/yang dikatakan otomatis, sehingga istilah
berat/sulit tidak di temukan lagi.
21. Dengan landasan ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan dalam Sapta Wasita
Tama disertai dengan penghayatan-penghayatan yang mantap, kita akan
mampu menentukan sikap kita secara wajar terhadap diri kita sendiri dalam
menghadapi lingkungan masyarakat kita sebagai unsur yang menentukan,
sebagai “subyek” betapapun situasi dan kondisinya.
TUNTUNAN III

(LATIHAN PERNAFASAN MENURUT SETYA HATI)

A. Arti Dan Maksud Pernafasan.


1. Yang dimaksud dengan “pernafasan” ialah masuknya nafas kedalam tubuh
dan keluarnya nafas dari dalam tubuh.
Adapun yang dinamakan “Latihan Pernafasan”/”Olah Nafas” itu pada
prinsipnya ialah mengatur masuk-keluarnya nafas secara berturut-turut, teratur
dengan irama. Dalam hubungan ini “latihan pernafasan”/”olah nafas” lebih
dititik beratkan sebagai landasan olah jiwa.
Nafas itu sesungguhnya pertanda “Hidup” uang berwujud “gerak mobah-
molah”. Dalam pada itu segala gerak mobah-molah itu berpusat dan memusat
di As. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwasanya :
 Tiada Nafas, Tidak Hidup, Tiada Gerak Mobah-Molah.
Mengatur, membina, menguasai pernafasan berarti mengatur, membina,
menguasai hidup serta mengatur, membina dan menguasai gerak mobah-
molah.
22. Awal mula seseorang bernafas itu dimulai ketika ia sebagai “Bayi” dilahirkan
dari dalam kandungan Ibu, ketika ia “Menyatakan”/”Dinyatakan” bisa mulai
hidup sendiri sebagai insan Tuhan. Dan pernafasan itu berakhir ketika ia
menghembuskan nafas terakhir.

Gerak mobah molah manusia sesudah lahir dimulai dengan gerak getar/gerak
denyut di Pusat Jantung. Gerak denyut itu berjalan sepanjangmasa waktu
manusianya masih dinyatakan “Hidup”, hingga saat jantung berhenti
mendenyut, (biasanya bersamaan dengan penghembusan nafas terakhir),
diikuiti terhentinya gerak mobah molah anggota tubuh manusianya.
Pada hakekatnya yang dinamakan hidup itu tidak lain daripada “Rangkaian”
rentetan gerak denyut/gerak getar jantung sepanjang masa hidup manusia.
Kesimpulan tersebut belum berarti, bahwa “Jika Tidak Bernafas”/”Jika
Jantung Tidak Berdenyut”, manusianya sudah “Mati”. Dalam hubungan itu
kita ingat pada “Pernafasan Buatan”/”Kunstmatige Ademhaling” jika terjadi
“Mati Lemas”/”Schijndood”.
23. Menghirup/menarik nafas berarti “nafas masuk”/”memasukan nafas” dalam
tubuh. Ini berarti pula menghimpun kekuatan/tenaga, menghimpun “Daya
Hayati” hidup.
Pada hakekatnya yang disebut daya hayati hidup itu Rasa (Darah Rasa),
bermuatan energi/tenaga. Rasa ini diambil”Jjantung” dari “Paru-paru”. Jantung
selanjutnya berperan sebagai akumulator dan distributor menyalurkannya
lewat pembuluh darah keseluruh tubuh secara “Hambanyu Mili”, terus
menerus, tiada putus-putus. Seluruh anggota tubuh dengan demikian diserapi
daya hayati hidup, lalu menjadi bertenaga untuk melakukan gerak mobah
molah. Proses ini dalam bahasa Jawa disebut “Anggelar”, karena seluruh
tubuh penuh dengan energy/tenaga.
24. Sebaliknya “Menghembuskan Nafas”/”MengeluarkanNafas”, berarti pelepasan
tenaga/energi, karena gerak mobah molah anggota tubuh memerlukan
penggunaan tenaga/kekuatan. Pada penghembusan nafas manusianya menjadi
lemah. Paling lemah keadaan badan manusia pada saat “menghembuskan
nafas terakhir”(tiada orang meninggal menarik nafas).
“Menghembuskan nafas”/”nafas keluar” berarti pula
“Pengukutan”/”Penarikan” kembali daya hayati hidup ke pusat jantung disertai
dengan pelepasan tenaga. Proses ini dalam bahaa Jawa disebut
“Anggulung”/”Angukud”.
25. Secara singkat proses tersebut diatas dapat dirisalahkan, sbb :

a. Nafas Masuk = menghimpun tenaga. daya hayati hidup, menyerapi


seluruh tubuh =anggelar =manusianya kuat.
b. Nafas Keluar = melepas tenaga. Daya hayati hidup kembali di pusat
jantung =anggulung, angukud = manusianya lemah.
c. Pusat Jantung = As = pusat/sumber daripada “anggelar dan anggulung”
daya hayati hidup = pusat/sumber segala tenaga dan kekuatan = pusat masuk
dan keluarnya nafas.
1. Proses Pernafasan.
Pada proses pernafasan jantung dan paru-paru mengambil peran utama.
Jantung bekerja sama dengan paru-paru secara gotong royong serta teratur
sesuai dengan tugas masing-masing. Dalam hubungan ini jantung berfungsi
sebagai “Akumulator” dan “Distributor” dari pada darah bersih yang
bermuatan rasa. Darah bersih disiapkan di paru-paru, kemudian diambil
jantung untuk disalurkan keseluruh anggota tubuh secara adil, merata, sesuai
dengan tugas masing-masing. Anggota tubuh yang memerlukan tenaga besar,
jadi memerlukan energi banyak, misalnya “Kaki”, akan memperoleh darah
bersih lebih banyak dari pada “Telinga”, karena telinga tidak membutuhkan
banyak gerak.
Seterusnya “Darah Bersih” yang telah menyerapi seluruh anggota tubuh dan
kehilangan “Muatannya”, berubah menjadi “Darah Kotor”. Darah kotor ini ditarik
kembali oleh jantung untuk dikirim ke paru-paru lagi, disiapkan menjadi darah bersih.
Demikianlah garis besar putaran (Sirkulasi Darah) sebagai prasarana angkutan rasa
menyerapi seluruh anggota secara teratur rapi mengikuti “Tata Wisesa” ILLAHI.
Gerak denyut jantung menyalurkan darah dan kembang-kempis paru-paru menghirup
dan melepas nafas itu seirama dengan perbedaan Frekuensi = (jumlah gerakan pada
suatu saat tertentu).
Namungerak paru-paru itu lebih lamban daripada gerak denyut jantung, karena paru-
paru wujud dan bentuknya lebih besar dari jantung. Walaupun demikian keduanya
bergerak seirama dan teratur, dalam arti isi mengisi secara terus menerus, tiada putus-
putus.
Mengalirnya darah bersih keseluruh anggota tubuh itu berjalan “Hambanyu Mili”
melalui urat nadi. “Menyerapnya darah bersih keseluruh anggota tubuh itu dapat
dirasakan dan terasa apabila diamati sungguh-sungguh dengan tenang.
Untuk itu diperlukan Rasa-Pangrasa yang halus dan mendalam dngan “Pemusatan”
segala per”Hati”an pada tujuan.
2. CARA MELAKUKAN LATIHAN PERNAFASAN MENURUT AJARAN SETYA
HATI.
a. Prinsip-Prinsip Pernafasan.
Yang dimaksud dengan “Olah Nafas” ialah mengamati secara seksama masuk-
keluar (-nya nafas diarahkan di pusat jantung, di As) sbb :
1. Awal nafas masuk dari As.
2. Akhir nafas masuk di As.
3. Awal nafas keluar di As.
4. Akhir nafas keluar di As.
5. As-Pusat jantung = Mahligai Hati Sanubari.
Kesimpulan : Nafas keluar = Nafas tidak masuk = Nafas tidak keluar = di As = di
PUSAT JANTUNG.
b. Cara Melatih Pernafasan.
1. Harus dilaksanakan dnegan khidmat, tenang, bebas dan ikhlas, tiada merasa
dipaksa/terpaksa.
Selanjutnya ambillah sikap secara lepas-lelah/santai (relax). Terserah latihan
itu mau dilakukan dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan, berbaring, asalkan
dilakukan sebaik-baiknya dan dengan penuh ketekunan. Yang perlu
diperhatikan ialah :
a. Tulang Punggung Harus Selurus-Lurusnya.
b. Sekat Rongga Dada di Kembangkan, agar Paru-Paru dapat Mengembang
secara Maksimal dan Mengisi Udara Bersih sebanyak-banyaknya.
 Mengapa pada saat latihan pernafasan sikap tubuh perlu lepas-lelah ?.
Diibaratkan “Tubuh” itu sebidang “Tanah Kerjaan”, jika tanah kerjaan itu
padat, keras, maka sulitlah bagi air meresap kedalamnya.
Sebaliknya kalau tanah kerjaan itu gembur, mudahlah bagi air meresap
kedalamnya.
Tanah keras-padat akan membuat air menggenang, genangan air akan
menjadi sarang kuman penyakit. Demikian pula dengan tubuh manusia,
jikalau tubuh manusia itu dalam keadaan santai, mudahlah bagi daya
hayati hidup/Rasa meresap menyerapi seluruh jaringan, sehingga seluruh
jasad diresapi Rasa.
2. Setelah mengambil sikap yang cocok dengan kondisi badan masing-masing,
kemudian secara perlahan-lahan, tidak terputus-putus dan halus (Hambanyu
Mili) menghirup udara/menarik nafas panjang-panjang dan dalam-dalam
tarikan itu harus dapat dirasakan diawali di pusat jantung dan diakhiri di pusat
jantung.
CATATAN :
Sewaktu dan selama menarik nafas/menghirup udara bersih, pada azasnya kita
menghimpun tenaga/kekuatan. Paru-paru berkembang sampai pada batas
kemampuan paru-paru mengisi udara. Batas kemampuan itu sedikit demi
sedikit dapat ditingkatkan melalui latihan yang teratur.
Pada saat kita menarik nafas,kita akan merasa bertenaga, kita merasa kuat,
karena seluruh tubuh kita diserapi daya hayati hidup/rasa secara maksimal.
Dalam pada itu seluruh diri kita memusat dan terpusat di As, di Hati
Sanubari/Pribadi.
3. Selama menarik nafas, paru-paru akan berkembang sampai pada batas
pengembangan, kemudian tarikan nafas itu akan terhenti, karena paru-paru
(volumenya) sudah terisi penuh.
Pada saat paru-paru berhenti mengembang, keadan nafas tidak masuk dan
tidak keluar. Diri pribai kita sesungguhnya sudah memusat di “Kawasan As”.
Namun seluruh tubuh kita penuh berisi energy/tenaga. Kita merasa kuat dan
merasa mampu untuk bebuat.
4. Selanjutnya secara perlahan-lahan pula dan tidak terputus-putus lepaskanlah
nafas.
Lamanya pelepasan nafas perlu disesuikan dengan tarikan nafas, agar tercapai
keseimbangan, ialah nafas keluar = nafas masuk.
Pelepasan nafas itu berjalan sampai pada saat paru-paru berhenti mengempis,
karena udara kotor telah habis dihembuskan. Gerakannya harus diawali di
pusat jantung dan diakhiri di pusat jantung.
CATATAN :
Masalah keseimbangan itu perlu di usahakan di segala bidang hidup dan
kehidupan, juga pada pernafasan. Jikalau kita merasa sudah mencapai
keseimbangan, berarti kita sudah mendekati As, bahkan mungkin sudah dalam
As. Akibatnya kita dalam keadaan tenang, tidak mudah terpengaruh/terseret
oleh pasang surut arus gelombang kehidupan. Kita tidak akan tenggelam
dalam keadaan suka/duka, karena kita sadar, bahwasanya manusia itu
sesungguhnya hanya pelaku bulat daripada Yang Maha Esa. Semua peristiwa
yang berlaku dalam alam semesta raya seisinya itu tidak terlepas dari pada
“Tata Wisesa” Tuhan dalam “Tata Wibawanya”.
Didalam As kita akan dapat menyelami dan menyadari arti, nafas masuk =
nafas keluar,dan nafas tidak masuk = nafas tidak keluar.
Dalam kenyataannya pada saat-saat melepas nafas, manusianya dalam
keadaan lemah. Paling lemah pada saat manusia nafas terakhir dikarenakan
tenaganya telah habis.
5. Sesudah paru-paru sampai pada batas mengempis, berhenti sejenak, sampai
pada ketika terasa paru-paru mulai mengembang lagi, karena telah menerima
darah kotor dari jantung untuk dibersihkan.
CATATAN :
Pada saat paru-paru sampai pada batas mengempis, pernafasan berhenti
sejenak. Kini terjadi keadaan “nafas tidak masuk” dan “nafas tidak keluar”.
Manusianya dalam situasi tiada tenaga, jadi lemah karena kosong.
Ingat, dimana suatu wadah dalam keadaan kosong, maka wadah itu mudah
terisi oleh sesuatu yang bisa masuk. Sedang sesuatu itu bisa beraspek negatife,
yang tidak menguntungkan bagi manusianya itu sendiri.
Oleh karena itu kosong/isi manusianya harus selalu berpijak di As dan
berpegangan pada As, tidak terlepas dari As.
6. Kemudian mulailah dengan menarik nafas lagi, panjang-panjang dan dalam-
dalam.
Demikian seterusnya. Yang pokok harus selalu diperhatikan ialah :
 Agar pernafasan =(masuk keluarnya nafas) itu dilaksanakan secara
perlahan lahan , halus, tidak terputus putus dan dapat dirasakan : “Diawali
di pusat jantung, dan diakhiri di pusat jantung”, Karena di pusat jantung
bersemayam “Hati Sanubari”.
7. Yang perlu diperhatikan pada saat latihan adalah :
a. Lakukan latihan pernafasan itu dengan khidmat, ikhlas, disertai kemulusan
hati, tiada rasa dipaksa/terpaksa.
b. Lakukan dengan tekun dan kesungguhan hati serta sabar, tidak lekas
merasa bosan.
Jangan tergesa-gesa mengharapkan hasil yang banyak. Ibarat kita
menanam pohon buah, bulan bahkan tahun kita baru dapat mengenyam
hasilnya. Itupun kalau kita rajin memeliharanya.
c. Berapa kali sehari seyogyanya kita berlatih ?
(Sebanyak mungkin menurut kesempatan, keadaan, tetapi jangan
memaksa/dipaksa).
Dalam kenyataan, selama masih hidup kita itu bernafas terus. Kalau masuk
dan keluarnya nafas itu dapat diatur selalu di As dan dalam As, berarti kita
selalu tidak terlepas dari pribadi.
d. Sesungguhnya semua latihan itu mengandung maksud, agar yang dilatih
itu menjadi “Adat Kebiasaan”/”Pakulinan”, sehingga
gerakan-gerakan/pakulinan itu menjadi otomatis.
e. Dalam tahap pertama supaya diusahakan sedikitnya dua kali sehari
melakukan latihan, yaitu :
a. Pertama pada saat terjaga dari tidur pagi hari (sesaat membuka mata
dari tidur).
b. Sesaat berbaring untuk tidur.
c. Atau sesudah bersembahyang menurut Agama dan kepercayaan
masing-masing.
Pejelasan.
a. Saat sewaktu membuka mata dari tidur adalah, saat mana kehidupan
rohani masih bersih, murni. Hawa nafsu, kehendak-keinginan belum
berfungsi sebagaimana mestinya. Saat ini mengingatkan kita pada saat
kita dilahirkan.
b. Saat berbaring untuk tidur adalah saat dimana kehidupan rohani penuh
berisi hawa nafsu, kehendak-keinginan, gagasan, dsb.
Jika menjelang tidur kita masih terbelenggu oleh hawa nafsu, kita tidak
mungkin bisa tertidur, sebelum belenggu dapat terlepas dahulu.
Keadaan inipun mengingatkan kita kalau nanti menghadapi “Maut”.
Selama kita belum dapat meninggalkan keadaan duniawi/belum dapat
meninggalkan dunia, kita akan meninggal dengan “Tidak Sempurna”.
c. Salah satu cara/sarana untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut,
kita bisa menggunakan latihan “Pernafasan” seperti yang diajarkan
Setya Hati, karena latihan pernafasan dipusatkan dan memusat di As,
di Hati Sanubari yang selalu berkiblat pada Tuhan Yang Maha Esa.
d. Biasanya dengan melakukan “Olah Nafas” seperti tersebut diatas
secara tekun, kita akan masuk dalam keadaan “Sadar” ditengah lautan
“Tiada sadar”/dengan kata lain “Setengah sadar, Setengah tidak sadar”
seperti rasanya “Orang yang sedang dalam keadaan terjatuh”. Mungkin
keadaan yang demikianlah yang disebut “Linyep, Lanyap ing
ngaluyup, sumusuping Rasa Sejati”.
Ini berarti, bahwasanya alam kehidupan jasati dan alam kehidupan
rohani telah mulai saling menyerapi. Diri dan Pribadi telah mulai
bersatu manunggal, (kiranya proses inilah yang disebut “Warongko
Manjing Curigo”.
3. Pernafasan/Olah Nafas Sebagai Landasan Olah jiwa.
a. Dalam praktek, apabila kita menarik nafas panjang dan dalam-dalam dengan
berpusat dan memusat di hati sanubari, maka diri dengan alat sarananya akan
kurang/tidak makarti, karena segala sesuatunya dipusatkan dan memusat di As.
Tidakkah kalau kita mendongkol lalu menarik nafas panjang-panjang dan dalam-
dalam (Bhs Jawa: unjal ambegan)?
b. Sambil mengamati masuk keluarnya nafas di As dan dari As, seyogyanya disertai
pula menyampaikan do’a/pujian kepada Tuhan menurut Agama dan kepercayaan
masing-masing.
Dengan melatih pernafasan secara demikian kita harapkan akan terasa/merasakan
“Rosing Roso/Rasa Jati”, ialah inti daripada rasa kita sendiri. Biasanya kita akan
terasa/merasakan tubuh kita menggetar halus secara menyeluruh, pertanda ini
kiranya mengingatkan kita, bahwa kita telah mulai berpijak dan berada dalam
“kawasan As/Pribadi”.
Bagaimanakah perkembangan selanjutnya, serahkanlah secara mutlak kepada
Yang Misesa/Tuhan. Namun amatilah terus dengan teliti dan seksama gejala-
gejala/tanda-tanda yang nampak.
4. Kegunaan Latihan Pernafasan Sebagai Olah Jiwa.
1. Memupuk dan mempertinggi “Stamina”/daya ketahanan diri pribadi agar
dijauhkan dari serangan penyakit dalam, khususnya yang menyangkut jantung,
paru-paru, ginjal, dll
2. Memupuk ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup, karena
telah terlatih untuk mampu menguasai diri dan percaya penuh kepada diri pribadi.
3. Menuntunkita pada “mengenal diri pribadi” dan mengantar kita menjadi manusia
yang utuh bulat.
4. Memperkuat dan mempertinggi landasan ber”Iman” untuk mewujudkan
“Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, disertai “Budi Susila dan Budi Pekerti
Luhur”.
----------------------ooooOOOoooo----------------------

26. SUPPLETOIR
NAFAS

masuk keluar

PUSAT JANTUNG = AS

menggulung menebar
(angukud) (anggelar)

BADAN

penglihatan penciuman pengecapan pendengaran


lidah

DIRI KOMPLIT

Nafas masuk a. Awal mula nafas masuk melalui AS


b. Akhir nafas masuk ada di AS
PUSAT JANTUNG c. Awal mula nafas keluar malalui AS
= AS d. Akhir nafas keluar ada di AS

ab = cd = nafas masuk = nafas keluar =


Nafas keluar nafas tidak masuk = nafas tidak keluar
= AS

Anda mungkin juga menyukai