Yth.
1. Tulisan- tulisan, atau lebih tepat kalau dikatakan “ungkapan- ungkapan/ ulasan- ulasan
secara singkat yang menyangkut “kehidupan kerokhanian” ini memang belum lengkap
serta belum mendetail, masih mengisar pada garis besar, namun saya kita sudah cukup
padat untuk dijadikan “ular-ular” dalam penghayatan sehari-hari melandasi dan
melengkapi “kehidupan” dengan segala aspeknya.
2. Memang pada dasarnya semua penghayatan itu bersifat pribadi menurut situasi dan
kondisi masing-masing dalam waktu “sekarang ini”. Namun ini tidak mengurangi
pengharapan saya dari para Kadang SH khususnya dan para peminat yang budiman pada
umumnya, agar hasil buah pengalaman dalam penghayatan saudara-saudara dapat
membantu melengkapi dan menyempurnakan tulisan atau ungkapan ini selanjutnya.
3. Seiring dengan ucapan syukur alhamdulillah kepada ALLAH S.W.T. saya menyampaikan
penghargaan yang sedalam- dalamnya atas segala usaha menyusun dan mengatur “ular-
ular” ini.
4. Semoga TUHAN selalu melimpahkan TAUFIK dan HIDAYATNYA. AMIN.
Salam Persaudaraan :
ttd.
Moenandar Hardjowijoto
PRAKATA
1. Penyusun/ Pangripta tulisan ini berusaha dalam batas kemampuannya yang masih picik
mencoba mengungkap dan mengatur ajaran Sdr. MOENANDAR HARDJOWIJOTO,
sesepuh PERSAUDARAAN SETYA HATI dalam rangka mengisi kejiwaan/
kerokhanian PERSAUDARAAN SETYA HATI sebagai landasan tata kehidupan
sehari- hari dibidang mental- spirituil.
2. Bahwasannya tulisan ini hanya akan merupakan “rangkaian huruf- huruf yang diatur
menjadi kata- kata dan selanjutnya disusun menjadi kalimat “ belaka, sesuatu yang
“mati”, tidak hidup, tidak berjiwa, jikalau tidak dijiwai oleh jiwa pembaca sendiri.
3. Oleh karenanya penilaian tinggi atau rendahnya mutu tulisan ini tidak semata- mata
tergantung kepada kepicikan penyusun, namun juga tergantung kepada tinggi-
rendahnya jiwa dan semangat pembaca sendiri.
4. Tulisan ini masih berwujud garis besar daripada ajaran- ajaran SH. Kemudian akan di
usahakan adanya uraian- uraian atau ungkapan lebih lanjut secara berturut- turut.
5. Semoga tulisan ini, walaupun sedikit, setidak- tidaknya dapat diharapkan memberikan
“tuntunan” atau “ancer- ancer” bagi para Kadang SH dalam tata- kehidupan SETYA
HATI melaksanakan tata- kehidupan berlandaskan falsafah “PANCASILA”.
PANGRIPTA
- SLAMET DANUDINOTO -
–
TUNTUNAN I
----------------------ooooOOOoooo---------------------
TUNTUNAN II
Jika diamati secara keseluruhan, Dalil-Dalil Sapta Wasita Tama itu “Diliputi dan
Diserapi Oleh Kabut Suasana serta Kabut-Cahaya (Adanya) Yang Maha Esa,
dimana manusia sebagai “Ciptaan Tuhan” dapat menempatkan dirinya dan
bagaimana menentukan sikap diri pribadinya terhadap Sang Pencipta didalam
dan dalam hubungannya dengan lingkungan.
Dalil-dalil Sapta Wasita Tama perlu diresapkan dan diresapi secara mendalam,
disadari arti dan maknanya untuk dihayati dan diamalkan sebagai Amal Ibadah
kita terhadap Tuhan serta sebagai Amal Bakti kita terhadap Lingkungan yang
berwujud Masyarakat, Nusa, Bangsa, dan Negara.
Sapta Wasita Tama diajarkan dengan maksud, agar justru dapat membantu
memantapkan Iman kepada Tuhan. Disamping itu pula, agar dapat digunakan
sebagai “Tongkat” perjalanan hidup dan dapat memupuk terhadap diri pribadi
dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, menghadapi serta mengarungi
pasang-surut gelombang kehidupan.
B. Landasan Dan Tujuan Tata Kehidupan Setia Hati.
1. Landasan.
a. Seperti yang telah kami ketengahkan, Setia Hati melandaskan pandangan
hidupnya atas:
DIRI SETIA KEPADA HATI SANUBARI
Dengan pengertian, apa yang disebut “Hati Sanubari” atau “Pribadi” itu
selalu berkiblat menghadap kepada Sumber, Sesuatu yang diyakini sebagai
awal-tolak dan Akhir-Tujuan semua Hidup dan Kehidupan.
Hati Sanubari adalah sarana Tuhan untuk Menyatakan Dirinya dalam
Wahyunya.
Karenanya Hati Sanubari dapat dianggap sebagai Duta Besar Berkuasa
Penuh untuk ke Tuhan dan dari Tuhan. Sesungguhnya Warana atau Tirai
Tuhan dalam hubungannya dengan Insannya-pun Hati Sanubari, (maka
sering dinyatakan : “Cedak Tanpa Senggolan” atau “Dekat, namun tak
singgung menyinggun”).
b. Pada Hakekatnya “Manusia Hidup” itu ber”Diri” dan dengan ber”Pribadi”.
“Diri” dengan “Pribadi” mewujudkan satu “Totalitas”, satu “Keutuhan
Bulat”.
Manusia hidup dalam wujud “Diri-Pribadi” itu bukan jumlah daripada
bagian-bagian semata-mata (som der dalem), namun lebih dari pada itu.
c. Adapun yang disebut dengan diri itu sendiri merupakan satu totalitas juga.
Suatu keutuhan bulat yang meliputi badan wadag, jasad, atau tubuh dengan
anggota-anggota tubuh beserta panca inderanya, akal pikiran, kehendak-
keinginan, hawa nafsu, dsb-nya.
Tubuh dengan anggota tubuh berfungsi sebagai wadah, sebagai alat peraga,
sedang panca indera, akal pikiran, kehendak-keinginan, hawa nafsu dsb,
berperan sebagai alat sarana.
Walaupun demikian, satu sama lain kait-mengait, isi-mengisi, bantu-
membantu, secara gotong-royong yang sangat sempurna menurut fungsi
masing-masing dalam satu Koordinasi yang teratur baik untuk
mewujudkan suatu keutuhan gerak mobah-molah dibawah satu Komando.
Proses ini kesempurnaannya tiada tara, karena semua unsur berfungsi
dalam “Tata Wisesa Tuhan”.
d. Untuk memudahkan memahami pengertian “Diri” dalam hubungannya
dengan “Pribadi” ialah kalau kita memahami Fungsi masing-masing. Ciri
khas fungsi masing-masinglah yang menentukan peran khas masing-
masing sebagai totalitas dan dalam totalitas.
“Diri” mempunyai fungsi beraspek jasati jadi pada umumnya Orientasinya
bersifat “Lahir”. Gerak mobah-molah diri mengarah berkiblat kepada
lingkungan. Biasanya gerak mobah-molah itu berwujud tingkah-laku,
langkah-usaha, makanya dalam rangka mempertahankan diri dan
mengusahakan kesejahteraan demi kelangsungan hidupnya. “Diri’ adalah
sesungguhnya “Aku” atau “Ego” daripada manusianya.
Dalam pada itu yang disebut “Hati Sanubari” atau “Pribadi” fungsinya
beraspek “Rohani”, bertempat kedudukan di Pusat Jantung dengan orientasi
dan arah kiblat kepada Sumber, Tuhan. “Hati Sanubari” atau “Pribadi” adalah
sesungguhnya “Ingsun” atau “Super-Ego” daripada manusianya.
e. Yang perlu juga kita sadari ialah, bahwasanya baik “diri” maupun
“pribadi” alat peraganya hanya satu, yaitu tubuh atau badan manusianya.
Padahal tubuh atau badan itu tidak mungkin digunakan bersama sekaligus
dalam waktu dan tempat yang sama oleh “dri” atau “pribadi” masing-
masing, sendiri-sendiri. Akibatnya salah satu harus “ngalah” atau “kalah”.
Kalau “diri” menang karena “pribadi”diam, mengalah (untuk
sementara),maka tubuh atau badan mewujudkan sifat-sifat dari “aku”.
Sebaliknya jika “diri” dapat disudutkan atau kalau mungkin dapat dikuasai
oleh “pribadi” dalam arti diluluhkan dalam “Hati Sanubari”, maka gerak
mobah-molah manusianya akan mengejawantahkan sifat-sifat “Ingsun”
yang berwujud keadilan, kebenaran, kejujuran, tepa sarira, serta budi luhur.
f. “Pribadi” pada dasarnya mengejawantahkan rasa pangrasa halus dan
mendalam, rasa “Kasuksman”. Oleh karenanya rasa ini sering dinyatakan
sebagai “Rasa Sejati” atau “Sejatining Rasa”. Rasa ini sulit, bahkan
sesungguhnya tidak mungkin diterangkan dengan kata-kata atau dilukiskan
dengan suatu gambaran. Namun demikian “rasa” ini akan dapat dicapai
dengan melalui penghayata-penghayatan dalam bentuk latihan-latihan yang
tekun, teliti, dan teratur, tiada bosannya, atau lekas memburu hasil.
(dipersilahkan memahami dan menghayati dalil ke-7 Sapta Wasita Tama).
g. Sifat-sifat pribadi atau Hati Sanubari dapat disanepakan sebagai sifat “Air”.
Air selalu berusaha kembali kepada sumbernya ialah “lautan”. Sumber,
sebagai awal mula asal daripada air ialah “laut” atau “samudra”. Terik
matahari menyebabkan air laut menguap, uap kemudian diangkut oleh angin
ke tempat-tempat dimana tekanan udaranya rendah. Uap air membeku,
menjadi titik-titik air, menetes di gunung-gunung atau di ngarai-ngarai
sebagai air hujan. Tetes-tetes air hujan itu selanjutnya mengumpul menjadi
kali dan berusaha mengalir kembali ke laut, kembali dalam sumber-asalnya.
Walaupun diusahakan dibendung, air akan berusaha menembus atau menjebol
bendungan itu,jika tidak bisa air akan berusaha melintasinya, jika tidak bisa
juga air akan mencari jalan lain (air akan selalu berusaha kembali pada
sumbernya)-lautan.
Demikian pula halnya “pribadi”,betapapun dicegahnya atau dirintanginya
dengan segala daya-upaya “pribadi” tetap akan kembali pada “Sumbernya”-
Tuhan YME.
8. Tujuan.
Dengan landasan “Diri Yang Setia Kepada Hati Sanubari” kita menuju akan
tercapainya :
a. Sehat Jasmani.
b. Sehat Material-Finansial (yang merupakan kesejahteraan lahir).
c. Sehat Mental Spiritual (menyangkut kesejahteraan Bathin).
Ketiga unsur pokok tujuan tersebut diatas harus pula merupakan totalitas, satu
keutuhan bulat, dimana unsure-unsur itu harus kait-mengait, seimbang, dan serasi.
Unsur yang satu tidak boleh dilepaskan/dipisahkan dari unsur yang lain.
Keseimbangan serta keserasian ketiga unsure dalam satu totalitas itulah yang akan
mewujudkan yang disebut “Kesejahteraan” Lahir-Batin.
Keseimbangan lahir dan batin itu akan terjangkau, apabila kita selalu
menempatkan diri pribadi kita pada AS dan dalam AS, yang sesungguhnya ini
berarti berdiri diatas “Iman dan Tauhid”. Kata “Sehat” ini tidak berarti berlebih-
lebiha, namuntidak merasa kekurangan, tetapi cukup member kemampuan dan
memungkinkan melakukan kegiatan-kegiatan yang wajar sesuai dengan Vitalitas,
Stamina, dan Kapasitas.
C. Yang Dimaksud Dengan “AS” Dalam Ajaran Setia Hati.
1. Biasanya kalau kita mendengar kata “AS”, maka akan terbayang pada kita
(Asosiasi) “sebuah roda”, lengkap dengan As/poros, ruji-ruji, velg dan bannya.
Kemudian terbayang selanjutnya roda itu dalam fungsinya, “berputar” menurut
putaran ASnya sebagai suatu totalitas.
Ban memutar, karena putaran velg. Velg berputar, karena putaran ruji-ruji.
Ruji-ruji bergerak mutar karena putaran As. Gerak mutar ruki-ruji itu sesuai
dan seirama dengan gerak mutar As.
Dalam hubungan ini As/poros berfungsi sebagai pusat/sumber gerak mutar
roda melalui ruji-ruji kearah velg dengan bannya. Didalam As akan terdapat
titik pusat yang tiada gerak.
b. Jika dilihat dari dalam :
As bergerak mutar ruji-ruji. Ruji-ruji memutar velg, selanjutnya memutar ban.
Oleh karenanya secara ringkas dapat disimpulkan sbb :
As adalah tempat kedudukan, dimana suatu proses berpusat dan memusat.
11. Apabila prose situ gerak mobah-molah manusia, maka Asnya adalah “Jantung”
manusia itu sendiri. “Jantung” manusia adalah sumber daripada “Daya Hayati
Hidup”, atau sumber daripada “Rasa” manusia itu sendiri.
Diawali dengan gerak denyut/gerak getar jantung, mulai berfungsilah seluruh
alat sarana dan alat peraga manusia sesuai dengan tugas masing-masing. Jika
jantung berhenti berdenyut/bergetar, berhentilah seluruh Hidup dan Kehidupan
manusianya. Manusianya dinyatakan “Mati” atau “Meninggal(kan)” dunia.
12. Didalam jantung di pusatnya bersemayam yang disebut “Hati
Sanubari”, “Pribadi/Rasa Sejati”. Hati Sanubari tiada gerak, namun
menumbuhkan seluruh gerakan “Diri”, di awali di jantung, berupa gerak
denyut/gerak getar. Gerakan itu kemudian menebar keseluruh anggota tubuh
secara menyeluruh sebagai getaran/gerakan hidup. Dalam hubungan ini Hati
Sanubari berfungsi sebagai sarana Tuhan untuk memancarkan “Sinar Sifat
Hayatinya”. Namun Hati Sanubari berperan pula sebagai “Warana”/”Tirai”
antara insan dengan yang “Khalik”. Coba renungkan dan bayangkanlah :
1. Suatu ajaran/tuntunan betapapun baiknya, tidak akan berarti dan tidak faedah
sedikitpun, jika tidak dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penghayatan secara sungguh-sungguh dan tepat lagi mantap serta dilakukan
secara berturut-turut dan teratur akan membangkitkan kesan-kesan yang
mendalam, karena pengalaman-pengalaman diri pribadi secara komplit yang di
perolehnya.
14. Apabila yang dihayati itu sesuatu yang positif, sudah barang tentu hasilnya
akan positif pula, begitu juga sebaliknya.
Tiada orang mencangkul hasil sabitan, dan tiada orang yang menyabit
hasilnya cangkulan.
Dalam hal ini akan berlaku apa yang diamanatkan para sesepuh : “Nyunduh
Wohing Panggawe(-ne) Dewe” yang berarti : “Semua akan memetik hasil dari
perbuatannya sendiri”.
15. Penghayatan yang dilakukan secara teratur, berturut-turut, teliti dan tepat tanpa
mengenal bosan, akan membentuk suatu adat kebiasaan/”Pakulinan”. Lebih-
lebih kalau penghayatannya dilakukan secara mantap dengan kebulatan tekat.
16. Adat kebiasaan /pakulinan yang positif tidak akan memberi kesempatan
berkembangnya “Adat Kebiasaan”/pakulinan yang negatif, bahkan akan
melenyapkannya walaupun sedikit demi sedikit.
17. Penghayatan secara berturut-turut dan teratur dengan irama sesungguhnya
sudah merupakan “Latihan-latihan”. Biasanya pada tahap pertama semua
latihan itu dirasakan berat, karena belum dimulainya. Namun sekali salah satu
kaki diangkat untuk melangkah maju, yang lain akan segera mengikutinya.
18. Yang pokok semua penghayatan itu harus dilakukan secara Ikhlas, tiada rasa
terpaksa/dipaksa.
19. Agar penghayatannya bisa tepat dan seksama maka melakukannya harus teliti
dengan mengamati proses yang dilakukannya sebaik-baiknya.
20. Semua itu harus menjadi pakulinan/yang dikatakan otomatis, sehingga istilah
berat/sulit tidak di temukan lagi.
21. Dengan landasan ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan dalam Sapta Wasita
Tama disertai dengan penghayatan-penghayatan yang mantap, kita akan
mampu menentukan sikap kita secara wajar terhadap diri kita sendiri dalam
menghadapi lingkungan masyarakat kita sebagai unsur yang menentukan,
sebagai “subyek” betapapun situasi dan kondisinya.
TUNTUNAN III
Gerak mobah molah manusia sesudah lahir dimulai dengan gerak getar/gerak
denyut di Pusat Jantung. Gerak denyut itu berjalan sepanjangmasa waktu
manusianya masih dinyatakan “Hidup”, hingga saat jantung berhenti
mendenyut, (biasanya bersamaan dengan penghembusan nafas terakhir),
diikuiti terhentinya gerak mobah molah anggota tubuh manusianya.
Pada hakekatnya yang dinamakan hidup itu tidak lain daripada “Rangkaian”
rentetan gerak denyut/gerak getar jantung sepanjang masa hidup manusia.
Kesimpulan tersebut belum berarti, bahwa “Jika Tidak Bernafas”/”Jika
Jantung Tidak Berdenyut”, manusianya sudah “Mati”. Dalam hubungan itu
kita ingat pada “Pernafasan Buatan”/”Kunstmatige Ademhaling” jika terjadi
“Mati Lemas”/”Schijndood”.
23. Menghirup/menarik nafas berarti “nafas masuk”/”memasukan nafas” dalam
tubuh. Ini berarti pula menghimpun kekuatan/tenaga, menghimpun “Daya
Hayati” hidup.
Pada hakekatnya yang disebut daya hayati hidup itu Rasa (Darah Rasa),
bermuatan energi/tenaga. Rasa ini diambil”Jjantung” dari “Paru-paru”. Jantung
selanjutnya berperan sebagai akumulator dan distributor menyalurkannya
lewat pembuluh darah keseluruh tubuh secara “Hambanyu Mili”, terus
menerus, tiada putus-putus. Seluruh anggota tubuh dengan demikian diserapi
daya hayati hidup, lalu menjadi bertenaga untuk melakukan gerak mobah
molah. Proses ini dalam bahasa Jawa disebut “Anggelar”, karena seluruh
tubuh penuh dengan energy/tenaga.
24. Sebaliknya “Menghembuskan Nafas”/”MengeluarkanNafas”, berarti pelepasan
tenaga/energi, karena gerak mobah molah anggota tubuh memerlukan
penggunaan tenaga/kekuatan. Pada penghembusan nafas manusianya menjadi
lemah. Paling lemah keadaan badan manusia pada saat “menghembuskan
nafas terakhir”(tiada orang meninggal menarik nafas).
“Menghembuskan nafas”/”nafas keluar” berarti pula
“Pengukutan”/”Penarikan” kembali daya hayati hidup ke pusat jantung disertai
dengan pelepasan tenaga. Proses ini dalam bahaa Jawa disebut
“Anggulung”/”Angukud”.
25. Secara singkat proses tersebut diatas dapat dirisalahkan, sbb :
26. SUPPLETOIR
NAFAS
masuk keluar
PUSAT JANTUNG = AS
menggulung menebar
(angukud) (anggelar)
BADAN
DIRI KOMPLIT