Anda di halaman 1dari 88

Kisi - kisi Fiqih

 Hukum pernikahan Dan Walimah Pernikahan


Hukum menikah bisa sebagai wajib, sunah, mubah, makruh, bahkan haram,
bergantung pada kondisi dan situasi orang hendak menikah.

Wajib

Wajib jika seseorang sudah mampu dan sudah memenuhi syarat, serta khawatir
akan terjerumus melakukan perbuatan dosa besar jika tidak segera menikah.

Orang dengan kriteria tersebut diwajibkan untuk segera menikah agar tidak
terjerumus melakukan dosa zina.

Sunah

Sunah, bagi seseorang yang sudah mampu untuk berumah tangga, mempunyai
keinginan niat nikah.

Dalam hal ini, orang yang apabila tidak melaksanakan nikah masih mampu
menahan dirinya dari perbuatan dosa besar (zina) dihukumi sunah.

Mubah

Mubah, yakni bagi seseorang yang telah mempunyai keinginan menikah, tetapi
belum mampu mendirikan rumah tangga atau belum mempunyai keinginan
menikah, tetapi sudah mampu mendirikan rumah tangga.

Makruh

Makruh, bagi seseorang yang belum mampu atau belum mempunyai bekal
mendirikan rumah tangga.

Haram

Haram, bagi seseorang yang bermaksud tidak akan menjalankan kewajibannya


sebagai suami atau istri yang baik.
Walimah Pernikahan
pernikahan berasal dari kata dasar nikah, yang memiliki arti ikatan atau akad
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Sedangkan menurut asal katanya, nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti Al-
Jam’u yang berarti bertemu, berkumpul.

Sementara dalam kompilasi hukum islam (KHI) pernikahan adalah akad yang kuat
untuk mentaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ritual
ibadah. Selain akad, tentunya akan ada resepsi pernikahan.

Pada umumnya, resepsi pernikahan dilaksanakan sebagai sarana pemberi kabar


gembira kepada orang-orang dan juga bisa sebagai rasa syukur karena telah
selesai melaksanakan akad pernikahan.

Rasulullah SAW bersabda: “Selenggarakanlah walimah (resepsi) meskipun hanya


dengan menyembelih seekor kambing”.

Siti Aisyah berkata, Rasulullah SAW pernah juga bersabda:

“Umumkanlah pernikahan itu, dan jadikanlah masjid-masjid sebagai tempat


mengumumkannya, dan tabuhlah rebana-rebana.” (HR. Tirmidzi).

Dari hadis diatas telah jelas bahwasanya Rasulullah SAW pun menganjurkan
umatnya untuk menyelenggarakan acara berupa resepsi.

Jadi, hukum mengadakan resepsi dalam Islam adalah sunah atau tidak wajib.

Dan minimal yang dihidangkan ialah seekor kambing bagi yang mampu, atau bagi
yang tidak mampu dapat dipersilakan untuk menghidangkan jamuan semampunya.

Meski tidak diwajibkan, tetapi alangkah lebih baiknya jika resepsi pernikahan
diselenggarakan walaupun dengan cara yang sederhana, seperti yang telah
Rasulullah SAW anjurkan.

Selain itu, Rasulullah SAW pun memperingatkan umatnya agar menyelenggarakan


resepsi dengan adil, yaitu dengan mengundang semua kalangan baik itu orang
yang tidak mampu maupun orang kaya.

Karena seburuk-buruknya hidangan adalah makanan yang dihidangkan hanya


untuk orang-orang kaya saja.

Rasulullah SAW bersabda:


“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang kaya untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang.

Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada
Allah dan Rasulnya.”

 Proses menuju pernikahan (Hukum Pacaran, Khitbah, dan Nadhor)

Hukum Pacaran
ukum pacaran dalam islam merupakan hal terlarang dan haram. Karena Allah telah
melarang untuk mendekati zina. Mau tidak mau, pacaran adalah pintu yang sangat
dekat dengan perzinaan. Efek dari pacaran ini pun telah banyak diketahui banyak
orang, bahkan sering ada pernikahan yang terjadi karena ‘kecelakaan’, hamil di luar
nikah. Namun sayang seribu sayang, banyak orang tua yang membiarkan anaknya
pacaran, atau bahkan ada yang malah meganjurkan, na’udzu billah. Padahal Allah
berfirman,

٣٢﴿ ‫﴾َو اَل َت ْق َر ُبوا الِّز َنٰى ۖ ِإَّن ُه َك اَن َفاِح َش ًة َو َس اَء َس ِبياًل‬

“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32)

Allahpun memerintahkan para laki-laki untuk menjaga pandangannya:

‫ُقْل ِلْلُمْؤ ِمِنيَن َي ُغ ُّضوا ِمْن َأْب َص اِر ِه ْم َو َي ْح َفُظ وا ُفُروَج ُهْم ۚ َٰذ ِلَك َأْز َكٰى َلُهْم ۗ ِإَّن َهَّللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َي ْص َن ُعوَن‬

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(QS. An-Nur: 30)

Hal ini juga Allah perintah kepada kaum hawa :

‫َو ُقْل ِلْلُمْؤ ِم َن اِت َي ْغ ُضْض َن ِمْن َأْب َص اِر ِهَّن َو َي ْح َفْظ َن ُفُروَج ُهَّن‬

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan kemaluannya…” (QS. An-Nur: 31)

Apakah orang yang berpacaran akan bisa melaksanakan perintah Allah ini?!

Kemudian Seorang yang berpacaran berpotensi besar untuk berdua-duaan.


Bahkan itulah yang dicari oleh mereka. Padahal berdua-duaan tanpa mahram
merupakan hal yang tidak diperbolehkan.

‫َال َي ْخ ُلَو َّن َر ُجٌل ِباْم َر َأٍة ِإَّال َو َمَع َه ا ُذ و َم ْح َر م‬


“Dilarang keras! laki-laki dan perempuan berduaan tanpa mahram.” (HR. Al-Bukhari
no. 5233 dan Muslim no. 1341)

Apalagi kalo sudah saling pegangan. Hal ini sangat terlarang. Nabi g menyatakan,
orang yang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik dari pada bersentuhan
dengan lawan jenis non mahram.

‫ألن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة ال تحل له‬

“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi, itu lebih baik, dari pada ia
menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya.” (Shahih Al-Jami’ no. 5045)

Jika kita perhatikan pernyataan-pernyataan diatas, maka pacaran merupakan hal


yang terlarang, haram untuk dilakukan.

Khitbah
Khitbah adalah salah satu prosesi lamaran dimana pihak dari keluarga laki-laki
berkunjung ke rumah calon mempelai perempuan. Di dalam pertemuan itu, pihak
keluarga laki-laki akan mengungkapkan tujuan datang ke rumah yaitu mengajak
calon mempelai perempuan untuk membangun rumah tangga atau menikah.

Permohonan tersebut dapat disampaikan langsung oleh calon mempelai laki-laki


atau juga bisa disampaikan oleh perwakilan dari pihak keluarga yang dipercaya dan
sesuai dengan ketentuan agama. Dalam proses khitbah, pihak perempuan hanya
perlu menjawab “iya” atau “tidak”.

Apabila calon mempelai perempuan menyetujui khitbah tersebut, maka dirinya bisa
disebut sebagai makhthubah, yaitu berarti perempuan yang sudah resmi dilamar
oleh laki-laki. Dengan begitu, perempuan tersebut tidak diizinkan untuk menerima
lamaran dari laki-laki lain.

Hal yang diperhatikan sebelum khitbah


Sebelum melaksanakan khitbah, calon mempelai laki-laki perlu memperhatikan dan
memahami beberapa hal yang digunakan untuk menentukan perempuan mana
yang akan Ia lamar. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan di masa depan.

Karena perlu kita pahami bahwa pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan
tidak dapat dilakukan dengan cara main-main dan tidak mengikuti aturan agama.
Oleh karena itu, berikut ini adalah beberapa syarat yang harus kamu lakukan
sebelum melakukan khitbah.

1. Mengerti dan Pernah Bertemu atau Melihat Calon Mempelai Perempuan


Hal ini memang tidak termasuk ke dalam kewajiban pada proses khitbah. Namun
disarankan untuk melakukannya supaya tidak timbul fitnah maupun masalah di
masa depan.

2. Calon Mempelai Perempuan Sedang Tidak Di Dalam Proses Khitbah Dengan


Laki-laki Lain
Hal tersebut berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Seorang laki-laki
tidak diperbolehkan melamar seorang perempuan yang sudah dilamar oleh
saudaranya.” (HR. Ibnu Majah)

3. Pihak Perempuan Diperbolehkan Menerima Maupun Menolak Laki-laki yang


Melamarnya
Ketika melamar, ada baiknya jika calon perempuan ditanya dan ditunggu
jawabannya terlebih dahulu. Hal ini bertujuan supaya tidak ada paksaan yang
terjadi dalam proses khitbah tersebut.

4. Tidak Diizinkan Melamar Perempuan yang Sedang Berada di Dalam Masa Iddah
Perempuan yang sedang berada di dalam masa iddah atau baru saja ditinggal mati,
diceraikan oleh suaminya, mempunyai waktu jeda yang tidak diperbolehkan
menikah lagi. Apabila masa iddahnya belum selesai, maka pihak laki-laki harus
menunggu dulu dan dilarang melamarnya secara terus terang.

5. Memilih Pasangan yang Sesuai Dengan Ajaran Rasulullah


Entah itu laki-laki maupun perempuan harus memilih pasangan yang dilihat dari
agamanya. Baru setelah itu bisa memilih pasangan berdasarkan ketampanan,
kecantikan, keturunan, dan juga hartanya.

Dasar Hukum Khitbah


Islam tak hanya mengatur soal pernikahan saja, tapi juga tentang khitbah. Di dalam
Al Quran, Allah SWT berfirman: “Tidak ada dosa bagi siapapun yang meminang
perempuan-perempuan itu dengan cara bersembunyi atau hanya dengan sebuah
keinginan di dalam hati untuk mengawini mereka dalam hatimu.

Allah memahami bahwa kamu akan menyebutkan nama mereka, oleh karena itu
janganlah kamu menyebutkan janji kawin dengan para perempuan secara rahasia,
kecuali hanya sekadar mengucapkan (kepada mereka) sebuah perkataan yang
makruf.

Dan jangan juga kamu bertetap hati atau berazam untuk berakad nikah, sebelum
perempuan tersebut habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT
mengetahui semua yang ada di dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya dan perlu
kamu ketahui bahwa Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyantun.(QS Al-
Baqarah: 235).

Di dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Nabi Muhammad SAW


melarang seseorang untuk membeli barang yang sedang dibeli atau ditawar oleh
saudaranya, dan Rasulullah juga melarang seseorang meminang seorang
perempuan yang sudah dipinang hingga orang yang meminangnya meninggalkan
perempuan tersebut atau mengizinkannya.

Syarat dan Batasan Khitbah


Menurut penuturan beberapa ulama besar, khitbah digolongkan sebagai
pendahuluan dan persiapan sebelum dilaksanakannya pernikahan. Melakukan
khitbah yang mengikat seorang perempuan sebelum memutuskan untuk menikah
hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan. Selama syarat dan ketentuan khitbah
bisa terpenuhi sesuai syariat Islam.

Khitbah diizinkan di dalam Islam karena bertujuan untuk mengetahui kerelaan dari
pihak perempuan yang akan dipinang. Sekaligus sebagai proses janji bahwa pihak
laki-laki serius akan mempersunting perempuan tersebut sebagai istri.

Berikut ini adalah beberapa syarat bagi perempuan yang diperbolehkan untuk di
khitbah, antara lain:

1.Dapat dilakukan kepada para perempuan yang masih lajang atau janda yang
sudah selesai masa iddahnya.
2. Perempuan yang tidak sedang dalam masa iddah. Di dalam Alquran Allah SWT
berfirman: “Dan suaminya berhak rujuk kepada kepada mantan istri dalam masa
penantian tersebut, apabila para suami menghendaki ishlah. (QS Al-Baqarah: 228)
3. Perempuan bukanlah mahram bagi laki-laki lain
4. Perempuan yang tidak atau belum dilamar oleh seorang laki-laki. Rasulullah
SAW bersabda: “Janganlah kamu (seorang laki-laki) meminang seorang
perempuan yang sudah dipinang saudaranya. Sebelum laki-laki tersebut
meninggalkan perempuan itu atau sudah mengizinkannya. (HR Abu Hurairah)

Di sisi lain, khitbah adalah salah satu tahapan atau proses sebelum melakukan
pernikahan, akan tetapi tidak termasuk ke dalam pernikahan. Jadi, walaupun sudah
dikhitbah, mereka akan tetap memiliki batasan yang harus diketahui oleh calon
pengantin tersebut.

1.Khitbah tidak berarti hubungan sepasang laki-laki dan perempuan menjadi halal.
Keduanya masih harus tetap dalam koridor syariat. Walaupun sudah dikhitbah,
akan tetapi mereka harus tetap saling menjaga perbuatan dan sikap mereka yang
dilarang oleh agama. Selain itu, mereka juga harus saling menjauhkan dengan cara
menjaga jarak antara kedua belah pihak.
2. Jangka waktu khitbah dan pernikahan tidak boleh terlalu lama. Kedua belah
pihak harus menyegerakan pernikahan untuk menjauhkan dari fitnah dan berbagai
hal yang terkesan kurang baik.

Tata Cara Khitbah


Dikutip dari sebuah Jurnal Ilmiah Syariah yang memperoleh hasil penelitian dan
menunjukkan bahwa konsep ta’aruf di dalam Al Quran mengacu pada pengenalan
terhadap latar belakang sosial, kepribadian, budaya, pendidikan, agama, dan juga
keluarga.

Khitbah dan ta’aruf di dalam Al Quran menganjurkan untuk memprioritaskan aspek


agama dibandingkan dengan aspek lainnya. Sebab, hanya agama yang bisa
melanggengkan sebuah pernikahan. Namun sebaliknya, keturunan, kekayaan,
kecantikan atau ketampanan, dan juga kedudukan akan luntur dan hilang seiring
berjalannya waktu.

Perlu kamu ketahui bahwa terdapat dua cara untuk menyampaikan khitbah.
Pertama yaitu dengan ucapan dan kata yang kurang jelas atau tidak terus terang.

Kedua yaitu dengan menggunakan ucapan yang jelas dan dengan cara terus
terang secara langsung. Selain itu, ada pula beberapa hal yang perlu kamu
perhatikan, baik itu dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Hal tersebut
menjadi salah satu hal penting guna memperoleh proses khitbah yang lancar
sampai menuju ke pernikahan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu kamu
perhatikan:

1. Mengetahui dan Melihat Calon Istri


Walaupun tidak sebuah kewajiban, tapi hal ini sangat disarankan sebelum kamu
melakukan proses khitbah. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari fitnah dan
juga keraguan dari pihak laki-laki. Melihat disini berarti menilai bagaimana
perempuan yang akan di khitbah dalam pandangan syariat atau aturan syar’i.

Hal itu juga termasuk ke dalam syarat mustahsinah atau syarat yang menganjurkan
pihak laki-laki untuk mencari tahu lebih dalam tentang perempuan yang akan Ia
khitbah. Pihak laki-laki berhak mengetahui lebih dulu sifat dan karakter dari
perempuan yang akan dipinang.

2. Calon Tidak Dalam Proses Dilamar Orang Lain


Sebelum melakukan khitbah, hal yang sangat harus diperhatikan oleh pihak laki-laki
yaitu mencari tahu mengenai status perempuan yang akan dikhitbah. Apakah
perempuan tersebut masih dalam proses dikhitbah dengan laki-laki lain atau tidak.
Jangan sampai kamu sudah melakukan proses khitbah, tapi ternyata perempuan
tersebut masih ada di dalam proses khitbah dengan laki-laki lain.
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang di antara
kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar
pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” (HR Muttafaq Alaihi).

3. Perempuan Berhak Menolak dan Menerima Khitbah


Calon mempelai perempuan mempunyai hak untuk menerima ataupun menolak
pinangan yang datang kepadanya. Oleh sebab itu, di dalam proses khitbah, pihak
laki-laki harus bertanya terlebih dahulu dan menunggu hingga pihak perempuan
memberikan sebuah jawaban. Di sisi lain, pihak laki-laki maupun perempuan tidak
diperbolehkan memberikan sebuah paksaan kepada perempuan yang akan
dipinang.

Sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, bersabda: Seorang janda lebih berhak atas
dirinya sendiri dibandingkan dengan walinya. Begitu pula gadis yang berhak atas
dirinya sendiri terkait dengan urusannya. Izinnya adalah diamnya. (Muttafaqun
Alaih).

Di dalam agama Islam tidak pernah melarang pembatalan proses khitbah atau
lamaran. Hal ini karena khitbah hanyalah sebuah proses menuju pelaminan saja
dan bukan sebuah akad nikah. Walaupun demikian, perlu adanya kehati-hatian
apabila akan membatalkan khitbah. Sebab hal tersebut bisa saja menyakiti
perasaan orang lain.

Apabila pihak laki-laki ingin membatalkan khitbah. Hal tersebut justru tidak
dibenarkan untuk mengambil kembali apa saja yang sudah diberikan kepada pihak
perempuan ketika berada di dalam proses khitbah. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak menjadi halal bagi seorang muslim yang memberikan sesuatu kepada orang
lain, kemudian Ia memintanya kembali. Kecuali pemberian seorang ayah kepada
anak-anaknya. (HR Ahmad).

Sebab, khitbah sendiri merupakan suatu proses yang ditujukan ke jenjang


pernikahan. Semua syarat dan juga aturan harus dipenuhi supaya memperoleh
hasil yang diharapkan dan memperoleh kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Perbedaan Taaruf dengan Khitbah

Memasuki usia 20 tahun ke atas, banyak dari kita yang pastinya mulai memikirkan
tentang jodoh dan pernikahan. Harapan tentang sebuah pernikahan tentu sangat
manusiawi untuk dipikirkan. Sebab, dari situlah kamu akan mulai mempersiapkan
bekal keahlian, ilmu, dan juga materi untuk mewujudkan hal tersebut.

Di dalam Islam, sebuah proses menuju pernikahan akan melewati tiga tahapan.
Pertama adalah ta’aruf, kemudian khitbah, dan terakhir baru akad nikah. Tren
ta’aruf sekarang ini sudah menjadi salah satu pilihan syar’i untuk memulai sebuah
hubungan yang halal. Namun sebelum memulai ta’aruf, kamu diwajibkan untuk
menanyakan seseorang yang telah dipilih dan akan dikhitbah nantinya, apakah Ia
sudah dikhitbah oleh laki-laki lain atau belum.
Sebab, ta’aruf dan juga khitbah itu dilaksanakan sebelum menikah. Jika kamu
masih bingung perbedaan keduanya, berikut ini adalah beberapa penjelasan
mengenai perbedaan khitbah dan ta’aruf.

1. Taaruf adalah sebuah proses mengenal, sedangkan khitbah adalah sebuah


proses melamar
Stereotip mengenai ta’aruf yang membuat kamu kurang mengenal calon pasangan
karena minimnya interaksi itu tidak benar loh. Terlebih biasanya dinilai sebagai
“membeli kucing di dalam karung”.

Melalui proses ta’aruf, kamu bisa menggali sebanyak-banyaknya informasi


mengenai calon perempuan atau laki-laki. Mulai dari sifatnya, hobi, kondisi
kesehatan, impian, dan lainnya. Hanya saja, dalam prosesnya harus tetap sesuai
dengan syariat Islam. Yaitu dengan cara didampingi oleh perantara ataupun
mahram. Intinya, kamu bisa mengenal lebih dalam tanpa adanya interaksi yang
berlebihan.

Sedangkan khitbah itu tergolong ke dalam pinangan atau tunangan. Ta’aruf


merupakan serangkaian proses sebelum dilaksanakannya khitbah itu sendiri. Tidak
mungkin kan keduanya melakukan tunangan tanpa saling mengenal? Satu hal lagi
yang perlu kamu pahami, kamu tidak perlu menyebarkan informasi lamaran kepada
publik. Sebab dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebelum
akad nikah dilakukan.

2. Dalam Fase Ta’aruf, Kamu Masih Bisa Mundur Tanpa Merasa Bersalah
Ada baiknya pada saat proses ta’aruf, kamu melakukannya tanpa ada rasa baper
terlebih dulu. Sebab, proses ta’aruf tergolong tidak mudah. Bisa jadi kamu akan
cocok, tapi bisa juga kamu akan merasa tidak cocok. Masa ta’aruf berarti momen
penjajakan antara kamu dan seseorang tersebut untuk menemukan kecocokan.
Jikalau ternyata tidak cocok, maka kamu dan dia bisa membatalkannya atau
mundur tanpa adanya sakit hati yang terlalu berlebihan.

Apabila dalam masa ta’aruf kamu masih bisa diberi pilihan, lain halnya dengan
proses khitbah. Disini pihak laki-laki akan sangat sulit untuk membatalkannya.
Namun pihak perempuan masih berhak menerima atau menolaknya. Kembali lagi
bahwa ta’aruf menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilan
proses khitbah.

3. Sebelum taaruf bekali diri dengan ilmu, sebelum khitbah bekali diri dengan restu
Walaupun secara bahasa ta’aruf adalah sebuah proses untuk mengenal. Namun
istilah ta’aruf sendiri berkembang untuk menggambarkan suatu perkenalan antara
laki-laki dan perempuan dalam menuju ke jenjang pernikahan. Sebab, niat awalnya
langsung mengikat dengan hubungan yang serius, maka kamu wajib membekali diri
kamu sendiri dengan ilmu yang cukup. Yaitu seputar pernikahan sebelum kamu
memulai ta’aruf. Misalnya, apa saja hak dan kewajiban sepasang suami istri hingga
cara mendidik anak yang tidak ada di mata pelajaran sekolah.

Ketika proses ta’aruf sedang berjalan, kamu juga butuh untuk menceritakan tentang
calonmu kepada orang tua atau keluarga. Sebab, kamu wajib menerima izin
mereka sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, yaitu proses khitbah.

4. Taaruf masih memberi waktu untuk berpikir, sedangkan khitbah, harus


menyegerakan waktu pernikahan
Di dalam proses ta’aruf, kamu dan juga calon masih diberi kesempatan untuk
berpikir kembali. Waktu jeda yang diberikan pada saat penjajakan biasanya
digunakan untuk sholat istikharah. Masing-masing calon akan berdoa dan
berdiskusi dengan keluarga. Jika keinginan mengkhitbah sudah ada dari pihak laki-
laki, maka pihak perempuan memiliki hak untuk berpikir ulang hingga menemukan
jawabannya.

Hal itu sangat berbeda dengan khitbah yang menjadi pembuka jalan menuju
pernikahan. Ketika kamu dan calon sudah saling menerima. Maka sebaiknya waktu
pernikahan harus disegerakan. Sebab, setelah proses khitbah, maka tahap
selanjutnya adalah akad nikah.

Mengapa perlu disegerakan? Sebab, setelah selesai khitbah, hati seseorang akan
sangat mudah diisi dengan benih-benih cinta yang dikhawatirkan akan membuat
kamu dan calon terjerumus ke dalam dosa zina. Selain itu juga godaan lain yang
berpotensi menggagalkan pernikahan. Jadi, lebih cepat menikah akan lebih baik.

Nadhor
Nadhor, sebuah kata yang sering kita dengar, yang sangat populer di kalangan
para ‘Remaja Dewasa’. Nadzor artinya memandang, lepas dari itu pandangan yang
dilarang adalah pandangan kepada selain mahrom, dan itu merupakan salah satu
panah syaithon untuk menghancurkan anak keturunan Adam, asal-usul maksiat
bermula dari pandangan ini. Tapi, disini kita akan membahas pandangan (nadhor)
yang diizinkan oleh kedua belah pihak.

Kata Ta’arruf sering dikaitkan dengan nadhor, dan juga tidak bisa dikatakan bahwa
nadhor adalah ending dari suatu proses pernikahan. Nadhor adalah Sunnah yang
ada nashnya, ia hanya diistimewakan bagi orang mukmin yang baik, karena jika
wanitanya tidak memakai hijab, ya untuk apa ia melihat lagi ? Inilah keistimewaan
akhwat yang bercadar. Kita perhatikan realita kisah cinta para remaja hari ini yang
sudah menjadikan masa pacaran yang cukup lama yang mereka istilahkan dengan
‘ta’arruf’, itu tidaklah benar, karena sebelum diijab kabulkan sekalipun, ada
‘syari’at’nyng membatasi, untuk mendapatkan sebuah rumah tangga yang barokah,
maka seharusnya sebelum dan sesudahnya juga harus bersih dari hal-hal yang
terlarang.
Hadits di atas menunjukkan bahwa yang dilihat adalah calon istrinya sebagaimana
opini yang beredar, padahal bukanlah sampai disitu saja, semua nash dalam
masalah ini diperuntukkan kepada laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
perkataan Imam Asy-Syafi’I, salah satu ahli fiqih madzhab Syafi’I berkata, “Boleh
bagi wanita melihat calon suaminya bila ia ingin menikah dengan seorang laki-laki,
karena dengan itu ia akan kagum kepadanya sebagaimana calon suaminya kagum
pada dirinya”.

Wanitapun punya hak untuk melihat calon suaminya, karena ditakutkan akan
berakibat sebagaimana perkataan Ibnu Abidin, “Sesungguhnya seorang wanita
lebih dianjurkan untuk nadhor dari pada seorang laki-laki, karena seorang laki-laki
bisa saja menceraikan wanita bila ternyata tidak ada kecocokan baginya, tapi
wanita tidak bisa”.

Wanita juga mempunyai kriteria calon suami yang selama ini ia impikan, jika
walinya memaksanya, maka jalinan rumah tangga diantara keduanya kurang
harmonis. Syeikh Ibnu Ishak berkata (al-majmu’ : 16/139), “Dibolehkan bagi wanita
untuk melihat bila akan menikah dengan seorang laki-laki, karena dengannya
wanita akan kagum padanya, sebagaimana laki-laki tersebut kagum kepada dirinya,
karena Umar berkata, “Jangnlah kalian nikahkan anak putri kalian dengan laki-laki
yang buruk penampilannya, karena seorang wanita akan merasa kagum pada laki-
laki sebagaimana laki-laki kagum pada wanita”.

Ibnu Jauzi (ahkamu an-Nisa’ : 59) berkata, “Dianjurkan kepada mereka yang akan
menikahkan anaknya agar memperlihatkan padanya seorang laki-laki yang baik
penampilannya, karena wanitapun menginginkan apa yang diinginkan laki-laki”.

Nadhor tidak hanya sebatas bertemu langsung yang dibatasi sater (pembatas) kain
atau papan yang dipertemukan oleh wali. Namun juga bisa menggunakan media
photo, karena mungkin calon pasangannya berada jauh diluar kota , pulau bahkan
Negara, begitulah wacana dari berbagai selera masing-masing orang.

Dan yang harus digaris bawah adalah harus bersama wali atau perantara orang
yang ketiga dalam hal ini, ia tidak boleh langsung meminta kepada yang
bersangkutan, karena itu adalha pelanggaran, dan kita harus bersih dari hal yang
demikian.

Dari rentetan proses yang dimulai dari ta’arruf – shalat istikhoroh – nadhor –
khitbah kemudian nikah, alkisah ada dinampakkan melalui mimpinya merupakan
jawaban dari shalat istikhorohnya, sehingga menjadikan ia mantap dengan
pilihannya, lalu bagaimana jika ternyata berbeda dengan yang dimimpikannya ?
Wallahu A’lam, tapi ingat, waspadalah ! disini syaithan akan menggoda dengan
menggoyahkan langkah untuk mengamalkan nishfud dien ini., jodoh itu tidak akan
kemana-mana, kemanapun pergi, akan bertemu juga dengan izin Allah yang sudah
tercatat di lauh mahfudh (tulang rusuk tidak akan ketukar, pen) .
Nadhor memiliki adab-adab yang harus dijaga, diantaranya adalah menjaga aib
saudaranya, jika salah satu membatalkan, maka hendaklah ia membatalkannya
dengan cara yang baik dengan alas an yang syar’I yang bisa diterima dan menjaga
aib dari kedua belah pihak, dan wanita juga harus menjaga akreditasinya sebagai
seorang wanita sholihah yang nanti akan ditakutkan jika ia banyak menolak
lamaran tanpa alasan akn menimbulkan fitnah.

Jadi, hadits yang pertama tadi menerangkan bahwa dianjurkannnya sama-sama


melihat pasangannya masing-masing, karena tersimpan hikmah ang besar di
dalamnya, yaitu berupa itu lebih pantas untuk menjadi langgeng rasa kasih saying
di antara kedua belah pihak dan tidak menimbulkan kekecewaan bahkan
penyesalan.

Tapi, ada juga sebagian yang sama sekali tidak mau melakukan nadhor, berangkat
dari ketaqwaan dan keyakianan yang kuat kepaad Allah, ia mendapatkan pasangan
yang lebih dari yang di impikannya, seperti cerita yang masyhur dari ibunda dan
ayahanda seorang Imam besar yaitu Imam Syafi’I, karena ketaqwaannya, ia takut
memakan sesuatu yang harom, ia rela memenuhi syarat dari tuan pemilik makanan
untuk menikahi anaknya yang ia sebutkan ciri-ciri anaknya dengan berbagai banyak
kecacatan tanpa boleh melihat. Walhasil, ia sangat terkejut bahwa itu adalah
sebuah istilah yang tersirat, ia mendapatkan seorang gadis yang sangat baik, cantik
luar dalam. Subhanallah

Namun, ada juga yang sebaliknya, ia tidak mau melihat pasangannya sama sekali,
tai setelah akad, ia menyesal bahkan meminta untuk membatalkan keputusannya
dan menarik lagi ucapannya.jadi, tentukan pilihan kita ! Karena hidup adalah
pilihan, bak rumah yang dibangun yang nantinya rumah itu akan kita huni, karena
kita punya selera, mau yang mana dan bagaimana ? Qodarullah ma sya’a fa’ala.

Yakinlah dan bertawakallah, Allah akan memberikan yang terbaik dengan mulai
sejak dini kita memperbaiki diri kita kepada Allah, karena pilihan Allahlah yang
terbaik. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang. Wallahu a’lam bis showab.

 RUKUN NIKAH ESAI COY


Rukun-rukun Pernikahan
Ulama mazhab berbeda paham mengenai rukun nikah. Adapun mazhab Syafi'i
yang pandangannya banyak dianut oleh masyarakat Indonesia mengemukakan ada
lima hal yang menjadi rukun perkawinan, dikutip dari buku Fikih Empat Madzhab
Jilid 5 oleh Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi; 1) Suami, 2) Istri, 3) Wali, 4) Dua saksi,
5) Shigat.

Bila kelimanya terpenuhi maka pernikahannya sah Dan bila salah satunya tidak
ada, maka perkawinannya batal. Berikut penjelasannya:

Suami dan Istri


Menukil Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, pasangan suami istri disebut az-
zaujani atau mahallul 'aqd atau al-'aqidani, artinya yaitu pihak-pihak yang terikat
pada kelangsungan akad.

Mayoritas ulama beranggapan bila keberadaan suami dan istri menjadi rukun nikah
itu sendiri. Namun yang dimaksud di sini bukanlah kehadiran dalam prosesi akad
nikah, melainkan bahwa kedua pihak (suami & istri) telah memenuhi syarat dan
ketentuan sebagai calon pasangan.

Sementara kehadiran fisik suami maupun istri pada prosesi akad, tidak menjadi
syarat dalam akad nikah. Lantaran pernyataan qabul dari calon suami bisa
diwakilkan kepada orang yang ditunjuk dengan sudah memenuhi ketentuan.

Demikian juga calon istri bisa tidak hadir dalam akad bila ada urgensi, tetapi harus
mengizinkan wali dari pihaknya untuk menikahkan dengan mengucap ijab.

Wali
Wali di sini dari pihak pengantin perempuan, dan orang yang berhak menjadi
adalah ayah kandung wanita itu. Di mana wali bertindak sebagai pihak yang
melakukan ijab atau menyatakan pernikahan.

Dalam buku Panduan Lengkap Muamalah oleh Muhammad Bagir, diuraikan jika
wali nikah adalah orang-orang yang termasuk ashabah, yaitu kerabat terdekat dari
pihak ayah. Adapun paman atau saudara dari pihak ibu, tidak memiliki hak dalam
perwalian nikah bagi seorang perempuan.

Untuk menjadi wali, terdapat urutan dari orang yang paling berhaknya; 1) Ayah
kandung, kemudian kakek (bapak dari ayah), dan terus ke atasnya. 2) Saudara
kandung laki-laki, lalu saudara laki-laki seayah, kemudian keponakan laki-laki (putra
dari saudara laki-laki sekandung, lalu putra dari saudara laki-laki seayah). 3)
Paman (saudara laki-laki ayah), lalu sepupu laki-laki (putra paman dari pihak ayah).

Mazhab Syafi'i menambahkan bahwa urutan di atas tidak boleh diacak. Karena
bersumber dari syariat, bila orang paling dekat (seperti ayah atau kakek dari pihak
ayah, dsb) dengan si perempuan masih ada, keluarga lain tidak benar untuk
mendahuluinya. Seperti halnya ketentuan dalam hal pewarisan harta peninggalan.

Lebih lanjut, apabila urutan orang paling berhak menjadi wali yang telah disebutkan
di atas tidak ada, maka hak wali nikah bagi seorang wanita dipegang oleh hakim
atau pejabat negara yang memiliki wewenang untuk keperluan tersebut.

Dua Orang Saksi


Berdasarkan pada sabda Rasululah SAW:

‫ال ِنَك اَح ِإاَّل ِبَو ِلٍّي َو َش اِهَد ْي َع ْد ٍل‬


Artinya: "Tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil."
(HR Baihaqi & Daruquthni)

Jumhur ulama menyepakati bahwa dua orang saksi termasuk dalam rukun nikah.
Yaitu keduanya mesti menyaksikan peristiwa akad nikah secara langsung atau
hadir.

Shigat
Shigat akad nikah yakni serah terima atau ijab kabul, berarti pernyataan ijab yang
diucapkan oleh wali pihak perempuan dan pernyataan terima (kabul) yang dijawab
oleh pihak mempelai laki-laki, melansir buku Fikih Munakahat oleh Abdul Rahman
Ghazaly.

Ijab dalam buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 9 oleh Wahbah az-Zuhaili, adalah
perkataan yang keluar dari wali istri atau orang yang menggantikannya sebagai
wakil. Sementara kabul adalah perkataan yang menunjukkan akan keridhaan untuk
menikah yang diucapkan oleh pihak suami.

Jadi, penyataan ijab harus dilafalkan sebelum kabul. Jika kabul terucap sebelum
ijab, maka bukan termasuk kabul dan tidak bermakna apa-apa, sebab kabul
merupakan jawaban dari adanya ijab. Untuk itu harus mengucapkan pernyatan ijab
terlebih dahulu.

Lafal ijab kabul dalam akad nikah, ada yang disepakati keabsahannya oleh ulama
fikih, yakni seperti "aku nikahkan..." , dan "aku kawinkan..."

Lantaran lafaz tersebut tercantum dalam Surah Al-Ahzab ayat 37, "Kami nikahkan
engkau dengan dia." Juga dalam Surah An-Nisa ayat 22, "Janganlah kamu
menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu."

Dan untuk lafal seperti; membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-


senang sementara, wasiat, menggadaikan, dan menitipkan, para ulama tidak
sepakat akan kesahannya dalam ijab qabul. Karena merupakan ucapan yang tidak
menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu dalam masa sekarang, juga tidak
menunjukkan akan langgengnya hak milik sepanjang hidup.

Syarat Sah Pernikahan


Ada beberapa hal yang tergolong syarat suatu perkawinan agar menjadi sah:

Bukan wanita atau pria yang haram dinikahi. Maksudnya bukan orang yang
terhitung sebagai mahram bagi keduanya.
Ijab kabul harus bersifat selamanya.
Kedua belah pihak tidaklah terpaksa dalam menjalankan ijab kabul akad nikah.
Penetapan pasangan di antara kedua calon harus pasti. Disebutkan namanya atau
ditunjuk orangnya.
Bukan dalam keadaan ihram. Di mana tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau
umrah.

 KENTENTUAN CALON SUAMI, ISTRI SAKSI DAN WALI

Calon Mempelai Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: calon suami
beragama Islam; terang bahwa calon suami itu betul laki-laki; orangnya diketahui dan
tertentu; calon suami itu jelas halal dikawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon
istri; calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu; tidak sedang melakukan ihram;
tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri; dan tidak punya istri empat.
Sementara persyaratan calon mempelai perempuan adalah sebagai berikut: beragama
Islam; terang bahwa ia wanita; wanita itu tentu orangnya; halal bagi calon suami; wanita
tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah; tidak
dipaksa; dan tidak sedang berihram.

Wali

Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan syarat yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya. Syarat wali
adalah: Islam; sudah baligh; berakal sehat; merdeka; laki-laki; adil; dan sedang tidak
melakukan ihram. Sementara urutan orang yang boleh menjadi wali adalah: Bapak; Kakek
dari jalur Bapak; Saudara laki-laki kandung; Saudara laki-laki tunggal bapak; Kemenakan
laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung); Kemenakan laki-laki (anak laki-
laki saudara laki-laki bapak); Paman dari jalur bapak; Sepupu laki-laki anak paman; Hakim
bila sudah tidak ada wali–wali tersebut dari jalur nasab.

Saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan
harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad
nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak
tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pernikahan secara sederhana atau


secara bermewah-mewahan tidak mengapa dari segi persyaratan pernikahan. Selama
pernikahan diselenggarakan menurut hukum negara dan sesuai dengan hukum agama
dan kepercayaan masing-masing, maka tidak ada masalah.

 JENIS PERNIKAHAN YANG DILARANG

1. Nikah Syighar
Pernikahan yang dilarang dalam Islam yang pertama adalah nikah syighar. Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nikah syighar adalah seseorang yang
berkata kepada orang lain, ‘Nikahkan aku dengan putrimu, maka aku akan
nikahkan putriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara
perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.”
(HR. Muslim). Pernikahan semacam ini diharamkan dalam Islam. Diriwayatkan dari
Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarang nikah
syighar" (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Nikah Mut’ah (Nikah Sementara atau Kontrak)


Pernikahan yang diharamkan selanjutnya adalah nikah Mut'ah. Secara sederhana,
nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu atau
nikah kontrak. Di kalangan mayoritas ulama mazhab pernikahan ini dilarang dalam
Islam.

Di zaman Rasulullah, nikah Mut'ah pernah diperbolehkan, seperti yang dituliskan


Ibnu Abbas RA. Dulu ada seorang pria mendatangi suatu negeri yang asing,
kemudian dia menikahi wanita asli negeri itu dengan perkiraan bahwa dia akan
tinggal di sana, dan wanita yang ia nikahi boleh menjaga barang-barang
dagangannya. Namun kemudian Allah melarang pernikahan semacam itu dilakukan
kembali melalui lisan Rasulullah.

Dari Sabrah Al Juhani Radhiyallahu‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat
Fathul Makkah ketika memasuki kota Mekkah. Kemudian sebelum kami
meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari nikah mut’ah." (HR.
Muslim).

3. Nikah Muhallil (Rujuk Setelah Talak Tiga)


Kemudian Islam juga melarang seorang suami menikahi wanita yang sudah ia talak
tiga kali. Ini sesuai dengan firman Allah pada surat Al Baqarah ayat 230 yang
artinya: “Jika suami telah mentalaknya (sesudah dijatuhkan talak yang kedua),
maka perempuan itu tidaklah lagi halal baginya, hingga ia menikahi laki-laki lain.”
Dari Ibnu Mas’ud, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan
muhallal lahu (HR. Abu Daud Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

4. Nikah Tahlil
Masih menyambung poin sebelumnya, selanjutnya Islam juga melarang nikah tahlil.
Pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang telah
ditalak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar wanita tersebut halal untuk
dinikahi kembali oleh mantan suami yang telah menalaknya. Apabila dilakukan
untuk alasan tersebut, maka pernikahan ini haram dan dilarang dalam Islam.

5. Menikahi Wanita yang Dalam Masa Iddah


Islam juga melarang seorang pria menikahi wanita yang baru saja ditinggal oleh
suaminya, baik itu karena cerai atau meninggal dunia. Sang wanita harus melewati
masa Iddah terlebih dahulu baru diperkenankan untuk menikah lagi. Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa
‘iddahnya.” (Al Baqarah: 235). Adapun masa iddah seorang wanita disesuaikan
dengan kondisi dan alasannya, antara lain:
suami meninggal: 4 bulan 10 hari

suami meninggal atau ditalak saat istri sedang mengandung : masa iddah sampai
ia melahirkan

bercerai saat belum haid atau menopause: 3 bulan

bercerai dalam kondisi tidak hamil: 3 kali masa suci setelah haid pertama pasca
bercerai

dicerai saat belum berhubungan suami-istri: tidak perlu menjalani masa iddah
6. Pernikahan Beda Agama
Dalam surah Al Baqarah (ayat 221), Allah berfirman, “Dan janganlah kamu
menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya
perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-
laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan
dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka
mengambil pelajaran.”

7. Menikah Saat Sedang Ihram


Saat seseorang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah atau keduanya,
ketika orang tersebut sedang ihram ia menikah, maka pernikahannya dinilai tidak
sah. Namun, ketika ibadah haji atau umrah telah selesai dilaksanakan kemudian
barulah diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Rasulullah bersabda,
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan
dan tidak boleh meminang.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi).

8. Pernikahan Poliandri
Islam juga melarang wanita untuk menikah dengan lebih dari satu suami atau
dalam istilah disebut poliandri. Hal ini karena dikhawatirkan munculnya masalah
dalam menentukan siapa ayah dari sang anak. Sesuai dengan firman Allah, "dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki" (QS. An Nisaa: 24).

9. Menikah Dengan yang Diharamkan


Dalam surat An Nisaa ayat 23, Allah SWT menerangkan begitu jelas orang-orang
yang haram untuk dinikahi, yakni: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara
perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan
dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-
ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu,
ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika
menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu),
dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”

10. Menikah dengan Lebih dari Empat Orang Wanita


Dalam Islam, memang poligami hukumnya sunnah bagi yang mampu, tetapi tidak
boleh disalahgunakan. Poligami pun tidak boleh dilakukan kepada lebih dari empat
wanita. Hal Ini berdasarkan firman Allah SWT: “Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat…” (QS An-Nisaa’: 3).

11. Menikah dengan Wanita Bersuami


Seorang pria juga dilarang menikahi wanita yang bersuami, hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT yang berbunyi: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi)
perempuan yang bersuami…” (QS An-Nisaa’: 24).

12. Menikah dengan Pezina/Pelacur


Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-
laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS
An-Nuur: 3)

 ketentuan pernikahan menurut peraturan perundangan yang berlaku di


Indonesia
Dalam Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya dilihat sebagai keperdataan saja,
yang berarti perkawinan hanya sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam KUHPerdata.

Syarat-Syarat Sah Perkawinan

Untuk melaksanakan perkawinan yang sah, dalam KUHPerdata diharuskan untuk


memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, yaitu:

Kedua pihak telah berumur sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang,
yaitu seorang laki-laki 18 tahun dan 15 tahun untuk perempuan. Namun secara
khusus usia perkawinan sekarang harus berusia 19 tahun baik seorang laki-laki
maupun seorang perempuan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan perkawinan.
Bila seorang perempuan sebelumnya sudah pernah kawin, maka harus lewat 300
hari sesudah putusnya perkawinan.
Tidak ada larangan dalam Undang-Undang bagi kedua belah pihak untuk
melaksanakan perkawinan pertama.
Bagi pihak yang masih dibawah umur, harus memiliki izin dari orangtua atau
walinya.
Sebelum perkawinan dilangsungkan ada sesuatu hal yang harus dilakukan terlebih
dahulu, yaitu:

Pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil.


Pengumuman oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan perkawinan itu..
Selain itu, terdapat surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan
Sipil, agar dapat dilangsungkan pernikahan, yaitu:

Akta kelahiran kedua belah pihak.


Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin dari orangtua.
Proses verbal dari perantaraan hakim, karena dalam hal ini perantaraan itu
dibutuhkan.
Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan sebelumnya.
Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah
dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari suatu pihak.
Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan untuk
kawin.
Baca juga: Polisi Smackdown Mahasiswa: Dasar Hukum Penyelenggaraan
Keamanan Selama Proses Penyampaian Pendapat Dimuka Umum.

Perjanjian Perkawinan

Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa setelah adanya perkawinan, maka harta


kekayaan suami istri baik harta asal maupun harta bersama sebagai suami dan istri
menjadi bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.

Jadi dalam hal ini perjanjian perkawinan adalah kesepakatan untuk memisahkan
dan mengurus harta masing-masing dalam perkawinan sebagai suami istri.

Dalam Pasal 147 KUHPerdata, menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan itu harus
dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian dibuat dengan suatu akta
notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan
ke Pengadilan Negeri setempat.

Pada dasarnya perjanjian kawin perlu dibuat dalam rangka antisipasi jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, seperti perceraian, hutang piutang
dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh suami/istri.
Mengenai isi perjanjian perkawinan, diserahkan kepada kedua belah pihak, asal
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, tidak boleh
menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 140, 142 dan 143 KUHPerdata.

Terdapat beberapa macam perjanjian perkawinan, yaitu:

Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda.


Perjanjian perkawinan persekutuan hasil dan pendapatan.
Perjanjian perkawinan persekutuan untung dan rugi.
Perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda.

 hukum, rukun perceraian dan dalil naqlinya


Suami-istri hendaknya memahami hukum perceraian dalam Islam , syarat sah,
aturan, dan dalil yang mengikutinya agar solusi talak bagi keduanya tetap dalam
koridor hukum yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang
memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak , ia akan paham
bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah
tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu,
bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian
telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh
bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at
dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Baca Juga
Hukuman Zina dan Cara Cerai Masyarakat Arab Pra-Islam Hukum talak atau cerai
adalah boleh dengan beberapa kaidah yang mengaturnya. Menurut Syaikh
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijri, dalam kitab Mukhtasar Al Fiqh Al
Islami, talak adalah melepaskani ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang
jelas dari suami. Dalil dibolehkannya talak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis Nabi
Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. AllahTa’alaberfirman : ‫الَّط اَل ُق َمَّر َت اِن َف ِإْم َس اٌك ِبَم ْع ُروٍف َأْو َت ْس ِر يٌح‬
‫“ ِبِإْح َس اٍن‬Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229) Allah
juga berfirman : ‫“ َي ا َأُّيَه ا الَّن ِبُّي ِإَذ ا َط َّلْقُتُم الِّن َس اَء َفَط ِّلُق وُهَّن ِلِع َّد ِتِه َّن‬Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1) Dari
‘Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak
istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottobradhiyallahu ‘anhumenanyakan masalah
ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallamlantas bersabda : “Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya
hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau
menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia
menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza
wajalla.” (HR. Bukhari) Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni menyatakan
bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibrohjuga
menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja
pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi
ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti.
Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus
dengan talak demi menghilangkan mafsadat. Syarat Sah Para ulama membagi
syarat sahnya talak ketika memenuhi unsur yang terkait suami yang mentalak, istri
yang ditalak, dan berkaitan dengan kondisi sebelum talak. Pertama: Yang mentalak
adalah benar-benar suami yang sah. Syarat ini maksudnya adalah antara
pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Jika belum menikah
lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal
ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah. Dari ‘Amr bin Syu’aib,
dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan
miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak
ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Tirmidzi) Begitu pula
AllahTa’alaberfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ….” (QS.
Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan
nikah. Seandainya ada sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui
jalur nikah, lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh. Ini bisa saja terjadi pada pasangan
yang menikah pada usia belum baligh. Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika
anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan
jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena
dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif
(beban kewajiban syari’at). Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal. Dari sini,
tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Talak
yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang
gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang
akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak.
Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak. Artinya, Islam telah mengatur
talak terjadi dari setiap yang sudah baligh, berakal, dan tidak terpaksa. Talak tidak
terjadi dari orang yang terpaksa, orang mabuk yang tidak sadar akan ucapannya,
orang marah luar biasa yang tidak sadar ucapannya. Begitu juga talak tidak terjadi
pada orang yang lalai, lupa, gila, atau semacamnya. Hukum talak juga bisa
dilakukan : 1. Talak dibolehkan jika memang ada alasan seperti perempuannya
kurang baik dan sangat buruk perangainya. Diharamkan talak tanpa ada alasan.
Dan dianjurkan dalam kondisi darurat seperti istri merasa tertekan dalam rumah
tangganya atau istri sudah membenci suami. 2. Disunahkan talak, bila istri tidak
mau sholat dan enggan menuruti perintah suami dan tidak mau bertaubat. 3.
Haram suami mentalak istri dalam kondisi haidh dan nifas, atau di waktu suci yang
dia telah setubuhi. Tidak boleh juga mentalak istri tiga kali talak dalam satu lafazh
talak. 4. Talak juga bisa terjadi dengan perkataan suami atau perwakilannya.
Begitulah syariat Islam mengatur talak. Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan
pernikahan dengan kasih sayang-Nya. Namun ketika dalam perjalanan antara
suami istri terjadi keinginan berpisah, maka dalam kondisi itu Allah mensyariatkan
aturan aturan talak.

2. Perceraian menurut Alquran


Sama seperti Alquran mengatur tentang aturan-aturan ibadah termasuk sholat,
zakat dan puasa, di dalam Alquran juga diatur tentang hukum islam dalam
hubungan rumah tangga.

Termasuk di antaranya hukum tentang pernikahan dan bahkan perceraian.


Sebenarnya Islam tidak melarang terjadinya perceraian, Ma. Tetapi Allah SWT
tidak menyukai perceraian.

Dengan demikian, Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk mencari jalan
keluar lain. Perceraian pun bisa dijadikan sebagai jalan paling terakhir untuk
menyelesaikan masalah.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 227 disebutkan,“Dan jika mereka berketetapan hati
hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Ayat tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat Al-Baqarah ayat 228 hingga
ayat 232.

Selain pada surat Al-Baqarah, aturan tentang berumahtangga juga diatur Islam
dalam surat Ath-Thalaq ayat 1-7. Termasuk juga dibahas tentang kewajiban suami
terhadap istri, hingga aturan dalam Islam ketika seorang istri berada dalam masa
iddah.

Masa iddah sendiri yakni masa menunggu, yakni di mana setelah seorang
perempuan ditinggal suaminya. Dikutip dari situs Nahlatul Ulama (NU) Online,
perempuan yang telah putus hubungan perkawinan karena dicerai oleh suaminya
tidak serta merta bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.

Berbeda dengan seorang laki-laki, seorang perempuan yang bercerai dengan


suaminya memiliki masa iddah, di mana selama waktu tersebut belum selesai ia
tidak diperbolehkan menikah. Pun seorang laki-laki tidak dibenarkan mengutarakan
keinginannya untuk menikah dengan perempuan yang masih berada di dalam
masa iddah.

3. Jenis-jenis perceraian
Dalam hukum perceraian, ada yang disebut sebagai talak. Talak yakni gugurnya
ikatan pernikaha dengan ucapan yang jelas dari suami maupun dari istri.
Talak hukumnya bisa menjadi wajib jika ada madzarat yang menimpa salah satu
dari suami atau istri, yang hal tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talak.
Namun bisa jadi talak justru diharamkan karena menimbulkan madzarat pada salah
seorang dari suami atau istri dan tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik dari
madzaratnya.

Ada beberapa jenis talak yang bisa dilakukan oleh suami. Di antaranya seperti talak
raj’i, talak bain, talak bid’i dan talak sunni.

Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya.
Pada talak ini, suami masih boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika masih dalam
masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk
kecuali dengan melakukan akad nikah baru.

Talak bain adalah perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga kepada
istrinya. Dalam kondisi ini, istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh
merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan
berhubungan suami istri dengan suami yang baru, lalu diceraikan dan habis masa
iddahnya.

Sementara itu, talak bid’i berarti suami mengucapkan talak saat sang istri sedang
dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.

Talak sunni merupakan talak di mana suami mengucapkan cerai talak kepada
istrinya yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri.

4. Rukun perceraian
Ketika keputusan untuk bercerai sudah bulat dan tidak bisa dicegah, dalam
prosesnya pun tetap tak luput dari aturan yang berlaku. Tetap ada rukun percerian
yang harus dipatuhi.

Tak sekadar aturan, rukun-rukun ini juga menjadi syarat sahnya perceraian,
sehingga jika tidak dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut.

Berikut ini adalah rukun perceraian yang harus diketahui oleh pasangan suami istri:

Rukun perceraian untuk suami


Perceraian hanya akan sah apabila perceraian dilakukan oleh seorang suami yang
berakal sehat, baligh dan dilakukan dengan kemauan sendiri. Dengan begitu,
apabila perceraian dilakukan karena ada paksaan dari pihak lain, misalnya ada
paksaan dari orang tua ataupun keluarganya, perceraian pun menjadi tidak sah.

Rukun perceraian untuk istri


Bagi seorang istri, perceraian baru akan sah jika akad nikahnya dengan suami
sudah dianggap sah dan istri belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.
5. Bolehkah istri menggugat cerai suami dalam Islam?
Sebenarnya, istri boleh saja menggugat cerai suami. Namun, harus ada alasan
yang jelas terlebih dahulu. Jika tidak ada alasan yang jelas, maka menggugat cerai
haram bagi istri.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut:

“Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa
alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut.”
(HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Abi Dawud).

Gugat cerai merupakan istilah yang diberikan pada seorang istri yang ingin
mengajukan cerai kepada suaminya. Permintaan cerai tersebut diajukan oleh istri
kepada pihak pengadilan dan selanjutnya pengadilan yang akan memproses dan
menyetujui atau menolak gugatan cerai tersebut.

Meskipun keputusan cerai ada di tangan suami, jika pengadilan atau hakim
menyetujui gugatan cerai dari pihak istri, maka hakim bisa memaksa suami untuk
menjatuhkan talak pada istrinya.

 MACAM MACAM TALAQ DAN HIKMAHNYA

Hadis Tentang Talaq

) ‫ َفَت َح َّو َلْت‬, ‫ َف َأَمَر َه ا‬: ‫ َق اَل‬, ‫ َو َأَخ اُف َأْن ُي ْق َت َح َم َع َلَّي‬, ‫ (َي اَر ُس واَل ِهلل! إَّن َز ْو ِجي َط َّلَقِني َث اَل ًث‬: ‫َو َع ْن َف اِط َم َة ِبْن ِت َقْي ٍس َق اَلْت‬
‫َر َو اُه ُمْس ِلٌم‬

Artinya: “Fathimah Binti Qais berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, suamiku
telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku. Maka
beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. (HR. Muslim).

Perceraian biasanya menggunakan salah satu jenis talak. Macam-macam talak


biasanya dibagi sesuai dengan masa iddah dan boleh tidaknya suami rujuk dengan
sang istri.

Allah berfirman:

‫الَّط اَل ُق َمَّر َت اِن ۖ َفِإْم َس اٌك ِبَم ْع ُروٍف َأْو َت ْس ِر يٌح ِبِإْح َس اٍن‬

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]

Dalam pandangan Islam, setiap jenis talak memiliki hukum makruh. Maknanya,
setiap jenis talak boleh namun ini menjadi perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT.
Adapun sabda Nabi Saw kepada Ummul Mukmini, Juwairiyah ra:

‫ َو ِم َد اد‬,‫ َو ِز َن َة َع ْر ِش ِه‬,‫ َو ِر َض ا َن ْف ِس ِه‬,‫ ُسْب َح اَن هللا َو ِبَح ْم ِدِه َع َد َد َخ ْلِقِه‬: ‫َلَقْد ُقْلُت َب ْع َد ِك َأْر َبَع َك ِلَم اٍت َلْو ُو ِز َنْت ِبَم ا ُقْلِتِه َلَو َز َن ْت َهَّن‬
‫َك ِلَماِتِه‬

Artinya: “Setelah meninggalkanmu, sungguh aku telah mengucapkan empat kalimat


yang bila ditimbang dengan apa yang telah engkau ucapkan, tentu itu lebih berat
daripadanya, yaitu: Mahasuci Allah dan segala puji untuk-Nya sebanyak bilangan
Makhluk-Nya, sebanyak keridhaan diri-Nya, seberat timbangan Arsy-Nya dan
sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.

Dengan melakukan talak maka ikatan setiap jenis talak suami istri otomatis sudah
selesai. Ketika ketidak cocokannya antara pasangan sudah tidak bisa dicari titik
semuanya. Maka memutuskan cerai mungkin menjadi jalan terbaik. Setiap jenis
talak harus memenuhi rukun talak.

Dalam bahasa arab talah atau thalaq adalah memutuskan hubungan antara suami
istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat agama. Berdasarkan bahasa
talak berarti melepaskan ikatan. Berdasarkan istilah talak adalah lepasnya ikatan
pernikahan dengan lafal talak. Menurut komplikasi hukum Islam KHI talah adalah
ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama. Yang menjadi salah satu sebab
putusnya pernikahan.

Macam-macam talak berdasarkan masa iddah istri :

1. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak dimana suami boleh rujuk tanpa harus melakukan akad
nikah lagi. Talak raj’i ini dijatuhkan oleh suami kepada istri unu pertama kalinya
atau kedua kalinya masa

Suami boleh rujuk dengan istri yang telah ditalaknya selama masih iddah. Hadits
menalak istri dan masa iddahnya :

‫ َو ِع َّد ُتَه اَح ْي َض َت اِن ) َر َو اُه الَّداَر ُقْط ِنُّي َو َأْخ َر َج ُه َم ْر ُفوًع ا َو َضَّع َفُه‬, ‫ (َط اَل ُق اَأْلَمِة َت ْط ِلْي َقَت اِن‬:‫َو َع ِن ِاْب ِن ُع َمَر َر ِض َي ُهللا َع ْن ُهَم ا َقال‬

Artinya:“Ibnu Umar Radliyallahu’anhu berkata : Talak budak perempuan ialah dua


kali dan masa iddahnya dua kali haid. (HR. Daruquthni dengan marfu’ dan iapun
menilainya dhaif).

2. Talak Bain
Talak bain adalah merupakan talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya
yang habis masa iddahnya. Talak bain menjadi dua macam yaitu:

Talak bain sughra


Talak bain sughra adalah talak yang dijatuhkan kepada istri sebelum di campuri
dari talah khuluk karena permintaan istri. Suami istri boleh rujuk dengan akan nikah
lagi. Baiknya masih dalam iddah maupun yang sudah habis masa iddahnya.
Talak bain kubro
Talak bain kubro adalah talak yang dijatuhkan suami se mbanyaknya 3 kalo dalam
waktu yang boleh ruju atau menikah dengan mantan istri kecuali dengan syarat
yaitu:
Bekas istri telah menikah dengan laki-laki lain.
Bekas istri telah di campuri oleh suami yang baru.
Bekas istri telah dicerai oleh suami yang baru.
Bekas istri yang telah selesai masa iddahnya setelah dicerai suami yang baru.
Talak berdasarkan waktu jatunya

Talak berdasarkan waktu jatunya talak sedangkan berdasarkan waktunya adalah


telah dibagi menjadi 3 dalam jenis:

4. Talak munajjaz
Talak ini disebut jug dengan talak muajjal. Dalam talak muajjaz perceraian
langsung berlaku ketika suami mengucapkan kalimat talah saat itu juga.

Ungkapan ini menandai berakhirnya ikatan suami istri dianggap sah. Sehingga
talak tidak boleh dijadikan sebagai main-main.

Sejauh Ucap terlontar dari suami yang sah untuk menjatuhkan talak kepada istri
yang sah dijatuhkan talak masa maka akan sah talak tersebut. Jangan mencoba
coba mengucapkan kalimat talak jika memang tidak berniat untuk menalak.

5. Talak Mudhaf
Penyandaran talak ini ada di waktu yang akan datang sesuai dengan talak ucapan
suami. Misalnya kamu saya talak awal bulan Ramadhan tahun ini dan sebagainya.

Talak menjadi sah kalau waktunya sudah tiba sesuai sighat. Akan tetap talak ini
tidak berlaki untuk waktu kemarin.

Akan tetapi talak ini jika diucapkan talak untuk waktu sebelum hari esok maka
jatuhnya adalah talak munajjaz. Talak munajjaz artinya talaknya sudah sah saat itu
juga m

6. Talak muallaq
Jenis talak ini mempersyaratan suatu hal agar talak menjadi sah. Talak ini disebut
juga dengan talak taliq yang talaknya bergantung pada suatu masa mendatang.

Ucapan talaknya ini biasanya ditambah kata jika, apabila dan semisalnya. Misalnya
apabila kamu masuk rumah si fulan lagi maka kita cerai.
Atau contohnya lain adalah jika kamu bertemu dengan aldo lagi saya dan kamu
otomatis cerai. Itulah macam-macam talak dalam islam. Bagaimana pun juga talak
di benci oleh Allah SWT sekalipun diperbolehkan.

Hikmah Dibolehkannya Talak


HIKMAH DIBOLEHKANNYA TALAK

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : “Kapan wanita dinyatakan telah
tertalak ? Dan apa hikmah yang terkandung dalam perceraian ?”

Jawaban.
Wanita dinyatakan tertalak sejak suaminya menjatuhkan talak dalam keadaan
berakal serta sadar dalam menentukan pilihan dan tidak ada hal-hal yang
mengahalangi jatuhnya talak, seperti gila, mabuk dan semisalnya, dan juga wanita
tersebut dalam keadaan suci tidak dicampuri, hamil atau monopause.

Jika wanita ditalak suaminya dalam keadaan haid, nifas atau suci tetapi telah
dicampuri, menurut pendapat yang shahih talak tersebut dianggap tidak jatuh,
kecuali bila hakim menyatakan jatuh, sebab putusan hakim mampu mentetralisir
perbedaan pendapat.

Begitu pula talak tidak dianggap jatuh, bila istri mengaku dan bisa membuktikan
bahwa suami mentalaknya dalam keadaan gila, dipaksa atau mabuk serta dalam
keadaan marah yang tidak terkendali, meskipun si suami berdosa jika melontarkan
talak dalam keadaan mabuk. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

‫ والَّن اِئِم َح َّت ى َي ْس َت ْيِقَظ َو اْلَم ْج ُنوِن َح َّت ى ُي ِفْيق‬، ‫ُر ِفَع اْلَقَلُم َع ْن َث اَل َث ٍة الَّصِغْي ِر َح َّت ى َي ْب ُلَغ‬

“Hukum tidak dibebankan kepada tiga orang yaitu ; anak kecil sehingga telah
baligh, orang tidur sehingga ia bangun dan orang gila sehingga ia sadar kembali”.

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ُأ‬
‫َم ْن َكَفَر ِباِهَّلل ِمْن َب ْع ِد ِإيَماِنِه ِإاَّل َم ْن ْك ِر َه َو َقْلُبُه ُم ْط َمِئٌّن ِباِإْليَم اِن‬

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman” [An-Nahl/16 : 106]

Bila seseorang tidak bisa dianggap kafir karena dipaksa kafir sementara hatinya
tetap beriman, begitu pula orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, padahal
tidak ada niat untuk mentalak maka talaknya tidak bisa dianggap jatuh jika memang
benar yang menjadi faktor utama dalam menjatuhkan talak adalah pemaksaan.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫َال َط اَل َق َو َال َع َت اَق ِفْى ِإْغ َالِق‬

“Tidak dianggap mentalak dan memerdekakan jika pelakunya dalam keadaan


terpaksa” [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dan hadits ini
dishahihkan oleh Al-Hakim].

Dan arti ‘ighlaq‘ menurut sebagian ulama, diantaranya Imam Ahmad, adalah
dipaksa atau marah yang sangat tidak terkendali.

Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah ulama telah mengeluarkan fatwa
bahwa orang yang sedang mabuk, talaknya tidak dianggap jatuh walaupun
pelakunya berdosa.

Adapun hikmah disyariatkan talak sangat jelas sekali, karena boleh jadi dalam
kehidupan rumah tangga tidak ada kecocokan antara suami-istri sehingga muncul
sikap saling membenci yang disebabkan oleh tingkat keilmuan yang rendah,
pemahaman terhadap nilai agama yang minim atau tidak memiliki akhlak mulia atau
semisalnya. Sehingga talak merupakan jalan keluar yang paling tepat sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫َو ِإْن َي َتَفَّر َقا ُيْغ ِن ُهَّللا ُك اًّل ِمْن َسَعِتِه‬

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-
masing dari limpahan karunian-Nya” [An-Nisa/4 : 130]

SEBAB-SEBAB TERJADINYA TALAK

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Menurut pandangan Syaikh apa
saja yang menjadi penyebab terjadinya talak?

Jawaban
Yang menjadi penyebab terjadinya talak banyak sekali antara lain :
Tidak adanya kecocokan antara suami isteri, masing-masing tidak saling mencintai,
jeleknya akhlak isteri yang tidak mau mentaati suaminya dalam masalah kebaikan,
jeleknya akhlak suami yang suka menganiaya dan memperlakukan isteri secara
tidak adil, suami tidak mampu menunaikan kewajibnnya begitupula sang isteri,
serta akibat dari kemaksiatan yang dilakukan oleh suami atau isteri atau kedua-
duanya sehingga mengakibatkan terjadinya talak.

Perceraian juga bisa terjadi karena di antara para suami ada yang pecandu
narkoba atau rokok, begitu juga sebaliknya terkadang seorang isteri mempunyai
kebiasaan seperti itu, dan terkadang perceraian terjadi akibat hubungan yang tidak
harmonis antara isteri dengan orang tua suami atau kurang bijaksana dalam
mengatasi dan mensikapi permasalahan tersebut dan juga diantara penyebab
perceraian adalah penampilan isteri yang kurang menawan, tidak mau berdandan,
berhias dan kurang ceria di hadapan suaminya.

 BERCANDA ATAU TIDAKNYA KATA SAH DALAM PERNIKAHAN


Sebuah keluarga yang mengalami masalah serius dan telah berusaha untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangga secara maksimal maka seorang suami
boleh menempuh jalur terakhir yaitu berpisah cara inilah yang disebut dalam syariat
Islam dengan sebutan Talak.

Islam sekalipun memperkenankan memasuki cara ini tetapi membencinya tidak


menganjurkan dan tidak menganggap suatu hal yang baik bahkan Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

“Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah Talak. (HR. Abu Daud).

“Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, Tetapi Ia sangat membencinya, melainkan
Talak.” (HR. Abu Daud).

Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa Talak
itu diandaikan semata-mata karena darurat yaitu ketika memburuknya pergaulan
dan menghajatkan perpisahan antara suami istri tetapi dengan suatu syarat, kedua
belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum
perkawinan. Allah SWT berfirman:

“Dan jika (terpaksa) kedua suami isteri itu berpisah, Maka Allah akan memberi
kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya. (QS. An-Nisa: 130).

Sekalipun dalam keadaan darurat Talak atau cerai boleh dilakukan namun talak
yang dijatuhkan tanpa suatu alasan yang kuat adalah talak yang diharamkan dalam
Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya.” (HR. Ibnu Majah dan
Thabarani dan lain-lain).
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang yang suka berselera dan mencerai
isteri adalah suatu hal yang sama sekali tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.

“Aku tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka
kawin cerai.” (HR. Thabarani dan Daraquthni).

“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan
perempuan-perempuan yang suka kawin cerai.” (HR. Thabarani)

Abdullah bin Abbas ra mengatakan talak atau cerai itu hanya dibenarkan karena
suatu kepentingan. Sayang sekali meski dalam keadaan darurat cerai atau talak
boleh dilakukan. Pada prakteknya banyak sekali terjadi kesalahpahaman bahkan
kekeliruan di masyarakat yang harus diperhatikan agar tidak melanggar ketentuan
syariat yang ditetapkan Allah SWT.

Kata Cerai dengan Bercanda

Banyak para suami dalam sebuah keluarga mudah mengucapkan kata cerai.
Bolehkah jika kata cerai itu diucapkan hanya main-main atau bercanda tanpa dia
serius dari yang mengucapkan?

Mayoritas ulama, Siapa yang mengucapkan kata talak atau cerai walau dalam
keadaan bercanda atau main-main asalkan lafaz talak tersebut keluar secara tegas
maka talak tersebut jatuh jika yang mengucapkan talak tersebut dewasa dan
berakal. Sehingga tidak ada alasan jika ada yang berucap, ‘Saya kan hanya
bergurau’ atau ‘Saya kan hanya main-main.’ Meskipun ketika itu ia tidak berniat
untuk mentalak isterinya. Allah SWT berfirman:

“Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan dan ingatlah nikmat Allah
padamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah As Sunnah.” (Al-Baqarah: 231)

Ayat ini dipertegas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: nikah,
talak dan rujuk”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan para ulama sepakat akan sahnya talak atau cerai dari orang yang
bercanda, bergurau atau sekedar main-main asalkan ia memaksudkan tegas
dengan lafaz talak atau cerai.

Talak akan jatuh walaupun tidak disertai niat. Ucapan sudah cukup walaupun tidak
ada niat sedikit pun. Selama ucapan itu tegas seperti dalam jual beli baik ucapan itu
hanya gurauan atau serius.
Hal ini menunjukkan pula bagaimana kita harus menjaga lisan dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, Maka berkatalah yang baik dan
jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat yang mengatakan jatuhnya talak bagi orang bergurau ada manfaat di
dalamnya hal ini akan meredam tingkah laku orang yang sering bercanda. Jika
seseorang tahu bahwa bermain-main dengan talak atau cerai dan semacamnya
bisa teranggap tentu dia tidak akan nekat bergurau seperti itu selamanya. Semoga
dengan mengetahui hal ini kita lebih hati-hati lagi dalam berucap walau hanya
sekedar bercanda atau bersandiwara dengan isteri. Maka tetap jatuh talak atau
cerai terjadi meskipun itu hanya bercanda atau bergurau.

Talak atau cerai itu tidak main-main karena menyangkut keutuhan rumah tangga.
Maka masalah ini tidak bisa dilakukan dengan main-main. Lalu apa saja ucapan
yang membuat talak atau cerai itu bisa terjadi. Karena banyak sekali ucapan dalam
bahasa Indonesia yang berarti cerai. Apakah harus menggunakan bahasa tegas
sehingga talak atau cerai langsung sah? Bagaimana dengan menggunakan bahasa
kiasan atau sindiran?

Hukum talak pada dasarnya harus menggunakan ucapan. Para ulama membagi
ucapan talak atau cerai menjadi dua.

Pertama, diucapkan dengan bahasa tegas dan jelas. Talak dengan lafaz tegas
artinya, tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung dipahami
bahwa maknanya talak atau cerai. Lafaz yang digunakan adalah lafaz talak atau
cerai secara umum yang dipahami dari sisi bahasa dan adab kebiasaan.
Contohnya: Seorang mengatakan kepada isterinya, ‘Saya talak kamu!’ atau ‘Saya
ceraikan kamu!’ atau menggunakan bahasa lain ‘Tak pegat koe!’ yang artinya ‘Saya
ceraikan kamu!’. Lafaz-lafaz ini tidak bisa dipahami selain makna cerai atau talak
maka jatuhlah talak. Terjadilah cerai dengan sendirinya ketika diucapkan serius
maupun bercanda dan tidak memandang niat. Intinya jika lafaz talak atau cerai
diucapkan dengan tegas maka jatuhlah talak selama lafaz tersebut dipahami
diucapkan atas pilihan sendiri meskipun tidak disertai niat untuk mentalak atau
mencerai.

Kedua, dengan kiasan atau sindiran. Jika kiasan tidak mempunyai arti apa-apa
maka tidak bisa dimaksudkan cerai dan itu dianggap kata yang sia-sia dan itu tidak
jatuh talak sama sekali. Dan cerai pun tidak terjadi. Contohnya: Jika seorang suami
mengatakan pada isterinya ‘Pulang saja kamu ke rumah orangtuamu’ kalimat ini
bisa mengandung makna lain selain cerai. Barangkali ada yang memaksudkan agar
isterinya pulang saja ke rumah namun bukan maksud untuk cerai.

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaaq: 2)

Contoh lain jika seorang suami mengatakan kepada isterinya ‘Sekarang kita
berpisah saja’ lafaz ini pun tidak selamanya diartikan untuk talak atau cerai. Bisa
jadi maknanya kita berpisah di jalan dan bertemu dirumah. Untuk ucapan lafaz jenis
ini perlu adanya niat jika diniatkan kalimat itu untuk maksud talak atau cerai maka
jatuhlah talak dan terjadilah cerai dan jika tidak maka tidak jatuh talak dan atau
cerai tidak terjadi. Karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana hanya niat menceraikan isterinya dan tidak diucapkan? Jika talak atau
cerai hanya diniatkan dalam hati tidak sampai diucapkan maka talaknya tidak jatuh
atau ceraipun tidak terjadi. Karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memaafkan pada umatku sesuatu yang terbetik dalam


hatinya selama tidak diamalkan atau tidak diucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu talak atau cerai harus diucapkan dengan kata-kata.

Mencerai Lewat Tulisan

Zaman sekarang orang berkomunikasi tidak hanya menggunakan ucapan langsung


tapi sudah menggunakan sarana lain seperti SMS atau E-mail. Bagaimana jika
seorang suami mencerai isterinya melalui surat atau SNS atau E-mail? Apakah
cerai bisa terjadi?

Jika seseorang tidak ada di tempat lalu ia menulis surat kepada isterinya melalui
sarana-sarana tulisan maka talaknya jatuh atau cerainya terjadi itu pun jika dengan
niat.

Inilah pendapat mayoritas ulama, ‘Jika seseorang menuliskan pada istrinya kata-
kata talak atau cerai maka jatuhlah talak atau terjadilah cerai. Akan tetapi jika suami
mengingkarinya maka ia harus dimintai sumpah.

Namun untuk tulisan menggunakan perangkat elektronik, perlu ditegaskan bahwa


tulisan itu baik berupa SMS, E-mail atau Fax adalah benar-benar dari suaminya.
Jika tidak dan hanya rekayasa orang lain maka jelas tidak jatuh talak dan cerai
tidak terjadi.

Talak Saat Marah


Banyak masyarakat yang memahami bahwa talak atau cerai itu tidak boleh
dijatuhkan saat marah, benarkah demikian? Jika dalam keadaan marah, apakah
talak atau cerainya sah? Memang benar, bahwa talak dalam keadaan marah tidak
sah. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak syah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Abu Daud dan Hakim).

Tetapi yang menjadi pertanyaan, kapankah ada talak dan cerai yang dijatuhkan
tanpa kemarahan? Boleh dibilang nyaris hampir semua kasus penjatuhan talak
atau cerai itu dalam suasana emosi, marah, tidak terkontrol dan seterusnya. Jarang
sekali kita temukan kasus terjadinya talak atau perceraian dilakukan dengan riang
gembira antara kedua belah pihak. Dengan begitu kita tidak bisa memahami hadist
ini mentah-mentah.

Bagaimana cara memahami hadist ini? Tentu dengan cara membedakan dan
memilah-milah jenis marahnya. Seperti yang dilakukan para ulama.

Imam Al-Bukhari misalnya membedakan kasus ini dalam kitab shahihnya, bab talak
pada waktu marah, terpaksa, mabuk dan gila. Lalu beliau membedakan talak pada
waktu marah dengan bentuk-bentuk lainnya.

Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qaim cenderung menjadikan tolak ukur jatuh
tidaknya talak atau cerai dari sengaja atau tidaknya. Siapa yang tidak bertujuan
atau tidak berniat untuk mentalak serta tidak mengerti apa yang diucapkannya
maka di dalam kondisi marah maka tidak sah cerainya atau talaknya.

Menurut syariat Islam, Talak atau cerai itu terjadi jika diucapkan tiga kali. Apakah itu
berarti seorang suami jika menceraikan isterinya harus mengucapkan kata cerai
atau talak langsung tiga kali sekaligus?

Ini adalah kasus yang sering kita jumpai. Ada seorang suami yang langsung
mentalak atau mencerai isterinya dengan ucapan, ‘Saya talak kamu atau ceraikan
kamu tiga kali!’ atau misalnya dengan kata-kata ‘Saya cerai kamu, saya cerai kamu,
saya cerai kamu!’

Mayoritas ulama menghukumi tindakan seperti ini sebagai tindakan haram. Namun
begitu ucapan langsung tiga kali itu dianggap menjatuhkan satu talak bukan tiga
kali talak. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Talak (yang dapat kembali rujuk) dua kali.” (QS. Al-Baqarah: 229).

Yang dimaksud di sini adalah talak itu ada dua artinya talak itu tidak sekali ucap,
jika jatuh talak lalu dirujuk setelah itu ditalak lagi baru ini disebut dua kali. Artinya
ada kesempatan untuk rujuk sedangkan talak tiga dalam sekali ucap tidak berlaku
demikian. Dan berseberangan dengan aturan Allah SWT tetapkan. Suatu ketika
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah diberitahu tentang seseorang laki-
laki yang menceraikan isterinya tiga talak sekaligus kemudian Rasulullah SAW
berdiri dan marah sambil bersabda:

“Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-


tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata: ‘Ya
Rasulullah! Apakah tidak saya bunuh saja orang itu!’.” (HR. An-Nasa’i)

Jika talak atau cerai tidak boleh diucapkan tiga kali sekaligus, lalu bagaimana
sebenarnya ketentuan syariat dalam talak atau cerai yang dijatuhkan tiga kali?

Cerai atau talak harus dijatuhkan secara bertahap. Islam memberikan kepada
seorang Muslim, tiga talak atau cerai untuk tiga kali kesempatan berbeda dengan
syarat tiap kali talak atau cerai dijatuhkan oleh suami sang isteri harus dalam
keadaan suci tidak sedang haid, meski dalam keadaan suci pun harus dalam
keadaan tidak berhubungan suami isteri. Kondisi ini ada temponya atau dikenal
dengan masa iddah atau tiga kali masa haid. Kalau tampak ada keinginan suami
untuk rujuk sewaktu dalam masa iddah atau tempo maka dia boleh merujuknya
tanpa harus menikah ulang.

Sebaliknya jika jatuh tempo atau masa iddah isteri habis kemudian suami ingin
rujuk maka tetap boleh rujuk akan tetapi harus dengan menikah ulang atau akad
nikah baru. Kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali rujuk sampai akhir masa
iddah atau jatuh tempo maka si perempuan diperkenankan menikah dengan orang
lain.

Inilah aturan syariat untuk talak satu atau cerai yang dijatuhkan pertama. Lalu
kapan cerai atau talak itu jatuh dua?

Kalau suami tersebut kembali kepada isterinya sesudah talak satu tetapi tiba-tiba
terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talak kedua sementara kondisi
hubungan suami isteri semakin memburuk maka suami boleh menjatuhkan talak
kedua dengan syarat seperti jatuhnya talak atau cerai kesatu. Dan dia
diperkenankan merujuk tanpa akad baru karena masih dalam iddah atau dengan
akad baru karena sesudah habis iddah.

Dan kalau suami kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya maka ini
merupakan suatu bukti nyata bahwa perceraian antara keduanya itu harus
dilakukan sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin.

Jika talak ketiga jatuh atau cerai ketiga diucapkan maka jatuhlah talak atau cerai
permanen dalam kondisi ini suami tidak bisa lagi rujuk ke isterinya dan isteri pun
sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut. Maka seorang suami jika ingin rujuk
lagi harus melepas istrinya menikah dengan orang lain jika diceraikan orang lain
suami boleh menikah lagi dengan mantan isterinya.
Bolehkan seorang mantan isterinya berpura-pura menikah dengan orang lain dan
langsung cerai agar bisa lagi dengan suami pertamanya? Kasus seperti ini dalam
hukum disebut Nikah Muhallil yaitu Nikah yang hanya untuk menghalalkan suami
pertama agar bisa menikah lagi dengan mantan isterinya. Nikah Muhallil seperti ini
hanya digunakan sebagai alibi agar bisa kembali ke suami pertama dengan
sandiwara pernikahan. Pernikahan seperti ini hukumnya haram. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Allah melaknat orang yang menikah Muhallil.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang menikahi dan


dinikahi secara muhallil.” (HR. Tirmidzi)

Seorang suami yang telah mengucapkan talak tiga kali atau cerai tiga kali kalau
ingin kembali rujuk maka sang isteri harus menikah dengan orang lain dulu dan
telah berhubungan suami isteri dengan suami barunya. Setelah mantan isteri
diceraikan dengan suami yang baru maka boleh menikahi lagi mantan isterinya
dengan akad baru. Maka jika suami menyesali perbuatannya telah mentalak tiga
sebenarnya sangatlah sulit untuk kembali kepada mantan isterinya. Tetapi
kemungkinan berhasilnya sangatlah kecil. Lagipula menikahnya mantan isteri
dengan laki-laki lain hingga kemudian diceraikan oleh suaminya lalu dinikahi
kembali semua itu tidak boleh dilakukan secara terencana atau direkayasa. Tetapi
harus alami dan murni, mengalir bersama air kehidupan.

Oleh karena itu, pesan yang paling penting. Jangan sampai menjatuhkan talak tiga
kepada istri. Sebab jalan hidup itu satu arah. Kalau keliru tidak bisa putar balik
seenaknya.

 Terjadinya
PEMBAHAGIAN TALAQ

Talaq terbahagi kepada dua jenis iaitu:

Talaq Raj‘i, iaitu talaq yang boleh diruju‘ kembali tanpa perlu akad nikah iaitu ketika
isteri dalam waktu ‘iddah (sebelum tiga kali suci daripada haidh).
Talaq Ba’in, ia terbahagi kepada dua:

Ba’in sughra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ oleh suami kecuali diadakan akad
nikah semula iaitu perceraian sama ada melalui fasakh, khulu‘ atau talaq isteri yang
belum disetubuhi.
Ba’in kubra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ kembali dengan cara biasa
melainkan setelah syarat berikut dipenuhi:

Setelah selesai ‘iddah si isteri.


Bekas isteri berkahwin dengan suami lain.
Suami lain menyetubuhi bekas isteri itu dan berlaku perceraian.
Selesai ‘iddah dari suami yang lain itu.

FASAKH

PENGERTIAN FASAKH
Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh
kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas
berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan.

SEBAB FASAKH

Antara sebab yang boleh menyebabkan berlakunya fasakh yang menghalang


perkahwinan tersebut diteruskan seperti

1. Sebab yang merosakkan akad.

Perkahwinan antara muhrim, sama ada sebab keturunan, susuan atau


persemendaan.
Isteri orang, atau isteri yang dalam tempoh ‘iddah talaq suami pertamanya.
Pernikahan yang dilakukan semasa belum baligh (kecil) dan apabila baligh minta
difasakhkan akad itu.
Wali fasiq atau
Saksi fasiq (akad tidak sah sejak diadakan),
Murtad salah seorang daripada keduanya (akad terbatal)

2. Sebab yang mendatang selepas pernikahan.

Salah seorang daripada suami atau isteri itu murtad


Pasangan suami isteri bukan Islam semasa bernikah dan salah seorang memeluk
Islam.
Akad Nikah sah tetapi difasakhkan oleh qadhi atas tuntutan isteri sama ada kerana
suami berpenyakit (dalam kes ini perkahwinan tidak boleh dibubarkan selagi tidak
dibicarakan dan diputuskan oleh qadhi atau hakim Mahkamah Syariah),

Tidak kufu’,
Suami tidak mampu membayar mahar (pemberian wajib daripada suami kepada
isteri) atau
Suami tak mampu beri nafkah (mengeluarkan belanja kepada mereka yang berada
di dalam tanggungan) atau

Berlaku kesukaran di pihak isteri kerana suami hilang, suami dipenjara, suami
menyakiti isteri secara keterlaluan (penderaan fizikal dan mental) atau sebagainya.
Suami telah melakukan salah satu perkara yang diharamkan sebab persemendaan
seperti berzina dengan ibu mertua
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam [Negeri Melaka 2002, Seksyen 53]
menambah lagi sebab-sebab yang menyebabkan berlakunya fasakh seperti di
bawah ini:

Tempat di mana beradanya suami telah tidak diketahui selama tempoh lebih dari
setahun.
Suami cuai atau telah tidak mengadakan peruntukan nafkah bagi nafkahnya
selama tempoh tiga bulan.
Suami telah dihukum penjara selama tempoh tiga tahun atau lebih.
Suami telah tidak menunaikan tanpa sebab yang munasabah nafkah batin selama
tempoh satu tahun.
Suami mati pucuk pada masa perkahwinan dan masih lagi sedemikian dan isteri
tidak tahu pada masa perkahwinan bahawa suami mati pucuk.

Suami telah gila selama tempoh dua tahun, sedang mengidap penyakit kusta atau
sedang mengidap penyakit kelamin yang boleh berjangkit.

Isteri telah dikahwinkan oleh bapa atau datuknya sebelum dia mencapai umur
enam belas (16) tahun, menolak perkahwinan itu sebelum mencapai umur lapan
belas (18) tahun dan dia belum disetubuhi oleh suaminya itu.

Walaupun empat bulan berlalu perkahwinan itu belum disatukan kerana suami atau
isteri bersengaja enggan bersetubuh.

Isteri tidak izin akan perkahwinan itu atau izinnya tidak sah sama ada dengan
sebab paksaan, kesilapan, ketidak sempurnaan akal atau lain-lain hal yang diakui
oleh hukum syara‘.

Suami atau isteri menganiayai isteri atau suaminya, iaitu antaranya:

1. Lazim menyakiti atau menjadikan kehidupannya menderita disebabkan kelakuan


aniaya.
2. Berkawan dengan perempuan-perempuan atau lelaki yang berperangai jahat
atau hidup keji mengikut pandangan hukum syara‘.
3. Cuba memaksa isteri hidup secara lucah.
4. Melupuskan harta isteri atau suami atau melarang isteri atau suami itu daripada
menggunakan hak-haknya di sisi undang-undang terhadap harta itu.
5. Menghalang isteri atau suami daripada menunaikan atau menjalankan kewajipan
atau amalan agamanya.
6. Jika suami mempunyai isteri lebih daripada seorang, dia tidak melayani isterinya
secara adil mengikut kehendak-kehendak hukum syara‘.

HIKMAH FASAKH
Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka
teraniaya.

Menyedarkan kaum suami bahawa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak
oleh suami sahaja.
Menunjukkan keunggulan syari‘at Allah subhanahu wata‘ala yang Maha
Mengetahui akan keperluan hambaNya.

KHULU’ (Tebus Talaq)

PENGERTIAN KHULU‘

Khulu‘ dari segi bahasa bererti melepas atau menanggalkan. Manakala dari segi
syara‘ pula ialah perceraian daripada suami ke atas isteri dengan tebusan yang
diterima oleh suami.

Contohnya suami berkata “Aku talaqkan kamu dengan bayaran sekian banyak”
atau isteri berkata: “Aku menebus talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian
banyak”.

Khulu’ : Ia juga dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran


perkahwinan yang diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada
suaminya dengan sesuatu benda yang berharga di mana kadar benda tersebut
adalah berdasarkan persetujuan antara suami dan isteri berkenaan atau
berdasarkan kepada keputusan qadhi. Ini dikira sebagai ganti rugi-kepada suami
berkenaan.

Hal ini adalah berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadis Rasulullah
SAW yang bermaksud: Dari Ibnu Abbas RA bahawa isteri Thabit bin Qais telah
datang berjumpa Rasulullah SAW lantas berkata “wahai Rasulullah, saya hendak
meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian terhadapnya tentang
perangainya dan keagamaannya tetapi saya bencikan sifat kekufuran yang ada
padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda Rasulullah SAW “Adakah
engkau bersedia mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu
sebagai mas kahwin?” Jawabnya: “Ya saya bersedia.” Lalu baginda menyuruh
Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka
Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (Bukhari dan an-Nasa’i)

Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik
sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri yang
diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri) takut tidak dapat
menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengenai
bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan
mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturanperaturan
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya; dan sesiapa yang melanggar
peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-
Baqarah: 229)

Secara umumnya apa sahaja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh
dijadikan bayaran khulu’. Iaitu setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat
dan ditentukan secara pasti tentang benda dan faedah yang hendak digunakan
sebagai bayaran khulu’ tersebut.

Nafkah yang wajib ke atas suami kepada isterinya atau nafkah anak kecil yang
berada di bawah jagaan ibu atau bayaran susuan dan jagaan anak dengan
ditentukan jangka waktunya juga boleh dijadikan bayaran khulu’ dari isteri. Dengan
ini nafkah yang wajib dibayar oleh suami tidak perlu lagi dibayar dan ia ditanggung
sendiri oleh isteri.

Di antara kesan khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya,
bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami
tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami
juga tidak boleh berkahwin dengan bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas
kahwin yang baru.

Iddah bagi isteri yang dikhulu’ adalah sekali haidh dan pembubaran menerusi khulu’
ini boleh dilakukan pada bila-bila masa iaitu waktu suci atau waktu isteri sedang
haidh.

Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak isteri sendiri
dan alasan yang boleh diterima oleh syarak. Namun dalam hal ini mana-mana
suami adalah dilarang menggunakan kesempatan untuk bertindak menimbulkan
kesukaran kepada isterinya bagi mendapat khulu’ daripadanya kerana dalam kes
begini ahli feqah berpendapat khulu’ adalah batal dan bayaran tebus talaq
dipulangkan kepada si isteri semula.

DALIL PENSYARI‘ATAN KHULU‘

Firman Allah subhanahu wata‘ala, maksudnya: “Talaq (yang boleh diruju‘ kembali)
hanya dua kali. Sesudah itu peganglah (ruju‘) atau lepaskan (cerai) dengan cara
yang baik. Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka (isteri yang kamu ceraikan) kecuali jika keduanya takut
tidak dapat menegakkan peraturan-peraturan hukum Allah. Oleh itu, kalau kedua-
kedua kamu khuatir maka tidaklah berdosa tentang bayaran balik (tebus talaq)
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)

SYARAT SAH KHULU‘


Suami: Baligh, berakal, mukhtar (bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.
Isteri: Hendaklah seorang yang boleh menguruskan harta dan mukallaf.
Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut dengan terang.
Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan dengan jumlah yang tertentu.

Peringatan:
Walaupun isteri mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi
Rasulullah SAW menuntut agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya.

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Mana-mana perempuan yang


memohon cerai daripada suaminya tanpa sebab yang munasabah maka haram ke
atasnya bau syurga. (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)

TA’LIQ

PENGERTIAN TA‘LIQ

Ta‘liq ialah lafaz yang diucapkan sebagai syarat untuk membatalkan pernikahan
jika berlakunya sesuatu yang bertentangan dengan ta‘liq tersebut.

Ta’liq : iaitu menggantungkan perceraian kepada sesuatu masa atau sesuatu


perbuatan seperti kata suami kepada isterinya: “Sekiranya kau pergi ke tempat
tertentu maka kau tertalaq.”

Perceraian tidak berlaku semasa suami melafazkan ta’liq tetapi hanya berlaku
sekiranya syarat yang disebut dalam lafaz ta’liq tersebut dilanggar.

Di Malaysia cerai ta’liq ini adalah suatu bentuk perceraian yang biasa diamalkan.
Selepas akad nikah seseorang suami dikehendaki melafazkan ucapan ta’liq dan
menandatangani surat ta’liq di hadapan juru nikah.

Contohnya seperti di Wilayah Persekutuan, lafaz ta’liq tersebut adalah:

“Bahawa adalah saya mengaku apabila tinggalkan isteri saya (nama) selama empat
bulan Hijrah berturut-turut atau lebih dengan sengaja atau paksaan dan saya atau
wakil saya tidak memberi nafkah kepadanya selama masa yang tersebut pada hal
atau saya melakukan sebarang mudharat kepada tubuh badannya kemudian ia
mengadu kepada Mahkamah Syariah dan memberi kepada Mahkamah Syariah
yang menerima bagi pihak saya satu ringgit maka pada ketika itu tertalak ia dengan
cara talak khulu”
[Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984, Kaedah-
kaedah Keluarga Islam (borang dan Fee) 1985 (seksyen 134(3)]

SYARAT TA‘LIQ

Suami - Hendaklah mempunyai keahlian menjatuhkan cerai dengan melafazkan


kata-kata ta‘liq.
Belum berlaku - Hendaklah ta‘liq ke atas perkara yang belum berlaku atas perkara
yang mungkin berlaku.
Isteri - Hendaklah menjadi ahli cerai (masih menjadi isteri yang sah).

Contohnya suami berkata kepada isteri: “Jika engkau keluar dari rumah ini
sepanjang ketiadaan aku, jatuhlah talaq engkau” atau “Apabila engkau pergi ke
rumah si anu, jatuhlah talaq” atau “Manakala engkau pergi ke sana tanpa izinku
jatuh talaq” atau sebagainya.

Apabila berlakunya perkara yang bertentangan dengan syarat yang dilafazkan,


maka terjatuhlah talaq menurut hukum syara‘.

PERUNTUKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI TA‘LIQ

Berdasarkan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Melaka) 2002,


Seksyen 50, seseorang perempuan yang bersuami boleh jika berhak memohon
penceraian menurut syarat-syarat ta‘liq yang dibuat selepas akad nikah.
Kandungan lafaz ta‘liq tersebut :

Meninggalkan isteri selama empat bulan berturut-turut.


Tidak memberi nafkah yang wajib selama empat bulan berturut-turut.
Menyakiti tubuh badan isteri.
Suami tidak mempedulikan isteri selama tempoh empat bulan berturut- turut.

LI’AN

PENGERTIAN LI‘AN

Li‘an berlaku apabila terjadinya qazaf iaitu suami menuduh isterinya berlaku zina
atau menafikan anak yang dikandungkan oleh isterinya sebagai anak.

Li‘an ialah sumpah seorang suami apabila dia menuduh isterinya berzina tanpa
mempunyai empat orang saksi kecuali dirinya sahaja, maka hendaklah dia
bersumpah empat kali “bahawa dia adalah orang yang benar” dan pada kali
kelimanya “bahawa dia akan dilaknati Allah jika dia berdusta”.

Sekiranya isteri menolak tuduhan tersebut, maka hendaklah dia bersumpah


sebanyak empat kali “bahawa suaminya itu berdusta” dan pada kali kelimanya
“bahawa dia akan dilaknati Allah jika suaminya benar”.

Li’an : Ianya berlaku apabila seseorang suami bersumpah menuduh isterinya


melakukan zina dan isterinya juga bersumpah menafikan tuduhan suaminya itu.

Firman Allah subhanahu wata‘ala: “Adapun orang yang menuduh isterinya berzina
sedangkan mereka tidak ada saksi (empat orang) kecuali hanya dirinya sahaja
maka persaksian bagi orang yang menuduh itu hendaklah dia bersumpah dengan
nama Allah sebanyak empat kali bahawa sesungguhnya dia adalah orang yang
benar. Dan sumpahan yang kelima bahawa laknat Allah akan menimpanya jika dia
berdusta. Dan untuk menghindarkan seksa terhadap isteri yang tertuduh itu
hendaklah si isteri bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa
sumpahan yang kelima hendaklah dia berkata kemungkaran Allah akan menimpa
dirinya.” (Surah An-Nur, 24:6-9)

KESAN LI‘AN

Berdasarkan Seksyen 51 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri


Melaka) 2002 menegaskan bahawa: “Jika pihak-pihak kepada sesuatu
perkahwinan telah mengangkat sumpah dengan cara li‘an mengikut hukum syara‘
di hadapan seorang hakim syar‘i, atas penghakiman, maka hakim syar‘i itu
hendaklah memerintahkan mereka difaraqkan dan dipisahkan dan hidup
berasingan selama-lamanya.”

Mengikut peruntukan hukum syara‘, sekiranya yang menuduh (suami) enggan


bersumpah, maka dia akan dikenakan hukuman qazaf dengan sebatan sebanyak
80 kali rotan. Manakala jika isteri yang dituduh pula tidak menolak tuduhan
suaminya, maka dia akan dikenakan hukuman sebagaimana orang yang berzina
kecuali kedua-dua mereka bersumpah dan melakukan li‘an.

Apabila kedua-duanya bersumpah dan melakukan li‘an, maka ikatan perkahwinan


mereka suami isteri akan terputus sama sekali dan mereka diharamkan berkahwin
semula buat selama-lamanya.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahawa Rasulullah telah bersabda yang bermaksud:


“Suami isteri yang melakukan li‘an apabila mereka berdua berpisah, kedua-dua
mereka tidak boleh berkumpul (berkahwin) untuk selama-lamanya.(Riwayat
Daruqutni)

ILA’

Iaitu apabila seseorang suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan
menyebut sifat Allah SWT untuk tidak bersetubuh dengan isterinya selama empat
bulan atau lebih atau dengan tidak menyebut tempoh masa. Tujuannya untuk bagi
isteri merana dan susah. Perbuatan ini haram kerana menyeksa jiwa manusia.

Firman Allah SWT yang maksudnya: “Kepada orang-orang yang bersumpah tidak
akan mencampuri isteri mereka, diberikan tempoh untuk empat bulan. Setelah itu
jika mereka kembali (mencampurinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Mengasihani. Dan jika mereka berazam hendak
menjatuhkan talaq (menceraikan isteri), maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)
Saidina Ali radiyaLlahu 'anhu berkata : Apabila seorang lelaki melakukan ila'
terhadap isterinya, talaknya tidak jatuh walaupun telah berlalunya empat bulan
selagi si suami belum memutuskan samada menceraikan isterinya atau dia menarik
balik sumpahnya (iaitu dengan rujuk kepada isterinya dan menyelesaikan
kafarahnya) (Riwayat Malik rahimahuLlah dalam al Muwatta' dalam kitab talak, bab
ila' nombor 2/556. Hadis yang seumpama ini juga diriwayatkan daripada Ibnu Umar
radiyaLlahu 'anhu.

Hukum Ila'

Jika suami bersumpah tidak akan bersetubuh dengan isterinya secara mutlak atau
selama lebih daripada empat bulan, beliau telah melakukan ila' terhadap isterinya.
Terdapat beberapa hukum syarak berkaitan dengan ila' tersebut :

Hakim hendaklah memberi peluang selama 4 bulan kepada suami bermula dari hari
ia bersumpah. Ini akan memberi peluang kepada suami untuk menarik balik
sumpahnya dan membayar kafarah sumpah atau menceraikan isterinya

Jika dia tidak mahu rujuk dan tidak mahu membayar kafarah sumpah, hingga
tempoh 4 bulan tadi tamat, dan suami tetap dengan sumpahnya, maka ketika itu,
hakim berhak mengambil salah satu tindakan berikut :

Memaksa suami menarik balik sumpahnya dan kembali menyetubuhi isterinya serta
membayar kafarah sumpah, jika dia bersumpah dengan nama Allah atau
bersumpah dengan salah satu sifat Allah. Jika dia bersumpah untuk melakukan
sesuatu atau bersedekah dengan sesuatu, dia hendaklah melakukannya.
Memaksa suami menceraikan isterinya jika dia enggan menarik balik sumpahnya
dan tetap berpegang dengan sumpahnya.

Sekiranya suami enggan melakukan salah satu daripada perkara di atas, maka
hakim berhak menjatuhkan talaq satu bagi pihaknya. Itu adalah hak hakim untuk
mengelakkan kemudaratan berlaku kepada orang lain dan tidak ada cara lain
melainkan dengan hakim menjatuhkan menjatuhkan talak bagi pihaknya. Ketika itu
hakim menggantikan tempat suami dalam menjatuhkan talak. Masalah ini sama
dengan masalah membayar hutang dan menjelaskan hak-hak yang berbentuk
harta.

Tindakan tersebut dilakukan jika suami tidak mempunyai keuzuran yang


menghalangnya daripada melakukan persetubuhan. Jika suami mempunyai
keuzuran seperti sakit atau sebagainya, dia hendaklah diminta menarik balik
sumpahnya dengan lidahnya sendiri seperti ia berkata : "Jika aku mampu
bersetubuh aku akan menarik balik pendirianku dan sumpahku"

KIFARAH SUMPAH
Merdekakan seorang hamba yang mukmin, atau
Memberi makan kepada 10 orang fakirmiskin sehingga kenyang, atau
Memberi pakaian kepada 10 orang fakirmiskin, jika tidak mampu
Berpuasa tiga hari.

Sila rujuk ayat 89 surah al maaidah yang bermaksud : ...maka kafaratnya ialah
Memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan yang sederhana yang
kamu (biasa) berikan kepada keluarga kamu, Atau memberi pakaian untuk mereka,
Atau memerdekakan seorang hamba. Kemudian sesiapa yang tidak dapat
(menunaikan tiga pilihan kafarat di atas), maka hendaklah dia berpuasa tiga hari.
Yang demikian itu ialah kafarat penebus sumpah kamu...

Setiap orang miskin (yang 10 orang tu) mesti diberikan secupak beras (3/4 cupak
Malaysia). Mesti diserahkan kepada setiap orang fakir atau miskin. Tidak boleh
bawa mereka belanja makan di kedai, juga tidak boleh ditukarkan kepada wang.

ZIHAR

Iaitu apabila seseorang suami itu menyamakan belakang isterinya dengan


belakang ibunya (atau orang yang diharamkan berkahwin dengannya).

Maksudnya menyamakan isteri dengan emaknya sendiri tentang haram disetubuhi


(macam sudah cerai).

Maka jika selepas dia berkata demikian tiba-tiba dia diam tidak diringi dengan talaq
atau cerai dalam masa kira-kira sempat berbuat demikian, nescaya dinamakan
Zihar.

Hal ini dijelaskan di dalam al-Quran yang bermaksud: “Orang-orang yang ziharkan
isterinya dari kalangan kamu (adalah orang-orang yang bersalah, kerana) isteri-
isteri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah
perempuan-perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka
(dengan melakukan yang demikian) memperkatakan suatu perkara yang mungkar
dan dusta. Dan (ingatlah) Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (al-
Mujadalah: 2)

RUKUN ZIHAR

1. Suami
2. Isteri
3. Perkara yang diserupakan
4. Lafaz zihar
Untuk mensabitkan rukun ini, beberapa syarat berikut mesti difahami. Syarat yang
disepakati oleh jumhur ulama :-

Anggota-anggota yang haram dilihat oleh sesama mahram.

Contoh punggung, perut, kemaluan, tangan, kepala, kaki, rambut, dan lain-lain .

Demikian pandangan kebanyakan ulama, Ulama Hanbali dan Maliki mensabitkan


seluruh anggota sama ada haram dilihat mahupun tidak, semuanya boleh
mensabitkan zihar (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 9/7173) Pandangan yang rajih
adalah pandangan jumhur.

Mestilah anggota-anggota ini daripada wanita yang diharamkan


berkahwin dengan si lelaki samaada tahrim secara berkekalan (muabbad) atau
keturunan (nasab) atau susuan dan musoharah. Seperti Ibu, Anak, Adik beradik,
Pak cik, Mak cik dan lain-lain yang berkaitan.

Inilah pandangan mazhab utama, juga pandangan Hasan al-Basri, Ato Abi Rabah,
As-Syabi, An-Nakhaie, Al-Awzaie, at-Thawry, Ishak Rahawaih, Abu Ubaid, Abu
Thaur.

Pandangan Imam Syafie dalam 'Qawl Qadim': Tidak jatuh zihar terhadap semua
wanita kecuali ibu dan nenek sahaja kerana ayat berkenaan zihar itu ditujukan khas
untuk ibu. Tetapi 'Qawl Jadid' Imam Syafie meminda ijtihadnya dengan
mengatakanjatuh zihar kerana wanita yang diharamkan tadi menyerupai
pengharaman ibu (al-Muhazzab, As-Syirazi dan al-Majmu, 19/45)

Manakala yang tidak muabbad seperti wanita asing, adik beradik perempuan bagi
isteri dan lain-lain. Tidaklah penyerupaan dengan mereka dianggap zihar. (Lihat Al-
Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah 4/500; Ad-Dusuqi ala syarh al-Kabir 2/439; Ashal al-
Madarik 2/169; Kifayatul akhyar 2/71)

Ulama Maliki menambah bahawa binatang juga termasuk dalam kategori yang tidak
boleh disamakan. Kerana asalnya manusia tidak boleh berhubungan jenis dengan
binatang.

Ulama Maliki juga mensabitkan zihar kiranya menyamakan rambut isteri dengan
rambut ibu. Manakala jumhur tidak berpandangan sekian. (Ad-Dusuqi ala syah al-
Kabir, 2/439)

Syarat yang diperselisihkan :-

Mestilah diserupakan dengan anggota wanita.


Kiranya ditasybihkan dengan lelaki seperti Belakang atau Punggung kamu seperti
belakang atau punggung bapaku. Ulama Hanafi dan Syafie mengatakan TIDAK
JATUH ZIHAR.
Bagaimanapun Ulama Hanbali dan Maliki mengatakan JATUH ZIHAR DENGAN
SYARAT MENYAMAKAN DENGAN ANGGOTA YANG TIDAK HALAL DILIHAT
SEPERTI PERUT, PEHA, KEMALUAN, PUNGGUNG dan lain-lain yang seerti.
Kiranya menyamakan dengan kepala bapa, rambut, hidung dan lain-lain,
TIDAKLAH DIANGGAP ZIHAR (Lihat ashal al-Madarik 2/170; Juga al-Fiqh ala al-
Mazahib al-Arbaah, 4/499). Semua mazhab mempunyai dalil masing-masing.

Ulama Syafiiyyah mengatakan kiranya tasybih itu bukan pada bahagian haram
dilihat tadi, ia bergantung kepada niat, kiranya ia berniat memuliakan, bangga maka
tidaklah jatuh zihar, jika sebaliknya maka jatuh zihar. (Kifayatul akhyar, 2/70)

4. Sighah (Lafaz Zihar), Syarat lafaz untuk untuk sabit zihar adalah :-

a. Perlu kepada niat, jika ianya dibuat secara Kinayah (tidak jelas).

Sighah Sorihah (terang, jelas) seperti: Punggung Dinda benar-benar seperti


punggung bonda Kanda. Lafaz seperti di atas tidak perlu kepada niat, bahkan jatuh
zihar apabila didengari.
Sighah Kinayah (tidak jelas) pula adalah lafaz-lafaz yang boleh diandaikan
bermaksud zihar tapi mungkin juga tidak seperti: Dinda ni seperti bondaku. Lafaz
seperti ini kemungkinan bermaksud zihar kemungkinan juga bermaksud
memuliakan, hormat, penghargaan dan lain-lain. Maka ia bergantung kepada niat si
suami.

Lafaz ini telah ijma di kalangan ulama tentang sabit zihar. Demikian menurut Ibn
Munzir ( Lihat al-Majmu Imam Nawawi yang dilengkapkan oleh Syeikh Najib al-
Mutie, 19/44)

b. Tidak disyaratkan untuk sabit zihar, mesti menggunakan lafaz yang


memberi pengertian semasa.

Zihar jatuh dengan lafaz yang membawa pengertian semasa seperti : Punggung
Dinda benar-benar seperti punggung bonda Kanda
Juga jatuh kiranya diikat dengan waktu tertentu seperti : Kiranya dinda masuk ke
rumah itu maka Perut Dinda seperti perut bondaku
Jatuh zihar juga kiranya disandarkan ke zaman akan datang seperti : Awal tahun
depan Punggung Dinda mesti macam seperti bonda kanda atau Kanda yakin perut
Dinda memboyot seperti perut bonda Kanda dalam masa sebulan.

Semua lafaz tadi cukup untuk menjatuhkan hukum zihar. (Rujuk Al-Bidayah al-
Mujtahid 2/117; Matolib Uli An-Nuha 5/507 )
c. Mestilah lafaz tadi disandarkan kepada anggota tubuh wanita samada secara
juzu atau sepenuhnya.(Bahagian yang diharamkan lihat tadi tanpa boleh di ihtimal
lagi). ( Lihat BadaI as-Sanai , 5/2129 )

HUKUM SETELAH JATUH ZIHAR

Setelah cukup syarat dan sabit jatuh zihar maka beberapa hukum berikut sabit

1. Haram menyetubuhi isterinya (yang diziharkan) kecuali setelah dibayar Kifarah.


Ini adalah pandangan jumhur. Menurut tertibnya KIFARAH ZIHAR adalah

Membebaskan seorang hamba yang mukmin, jika tak mampu..


Puasa 2 bulan berturut-turut, jika tak mampu..
Memberikan makanan yang mengenyangkan kepada 60 orang fakir atau miskin,
setiap orang 1 cupak makanan,..
jika tak mampu juga makan tetaplah kifarah itu tertanggung keatas dirinya, bila ada
kemampuan wajiblah dia sempurnakan seberapa yang terupaya.

Dalilnya adalah daripada Firman Allah SWT surah al-Mujadalah ayat 58.

2. Tidak dibenarkan istimta (bersedap-sedap, berseronok-seronok), sentuh dengan


syahwat sebelum membayar kifarah juga tidak dibenarkan (Tahrim Wasail) di sisi
ulama Hanafi dan Maliki ( BadaI as-SanaI, 5/2132; Ashal al-Madarik 2/170) Tetapi
ianya harus di sisi ulama Syafie (Lihat Rawdah at-Tolibin 8/270; Fath al-Jawad
2/187; Ianah at-Tolibin 4/37)

Pandangan yang rajih adalah tidak dibenarkan dengan tahrim wasail, kerana
dibimbangi akan tergelincir ke persetubuhan. Pandangan lebih selamat bagi fatwa
untuk orang awam. Kiranya sangat yakin tidak akan tergelincir dan tidak dapat
menahan kesabaran hingga dibimbangi memudaratkan, maka ketika itu ia menjadi
rukhshoh.

Kesimpulan Jawapan Terhadap Soalan (Mengambil Pandangan yang Rajih)

Hanya jatuh (sabit) Zihar sekiranya menyamakan isteri dengan ibu,

nenek, anak dan semua wanita yang diharamkan suami berkahwin dengannya
secara kekal sama ada secara Keturunan, Susuan mahupun Musoharah.
Penyamaan anggota tertentu sahaja yang menyebabkan sabit zihar iaitu Seluruh
atau juzuk dari anggota yang haram dilihat semasa mahram. Penyamaan dengan
anggota selain itu tidaklah sabit zihar.
Tidak sabit zihar, kiranya menyamakan anggota isteri dengan mana-mana lelaki.
Hanya penyamaan dengan wanita sahaja sabit. Begitu juga menyamakan suara,
rupa dan sebagainya.
Istimta dengan isteri yang telah dizihar sebelum membayar kifarah adalah tidak
dibenarkan dengan tahrim wasail. Dibimbangi akan terlanjur.

JUSTERU, MENYAMAKAN RUPA, HIDUNG ISTERI DENGAN RUPA DAN


HIDUNG ANAK TIDAKLAH JATUH ZIHAR,

BAGIAMANAPUN MENYAMAKAN PUNGGUNG ISTERI DENGAN PUNGGUNG


ANAK PEREMPUANNYA, SABIT JATUH ZIHAR. Walaupun si suami tidak berniat.

 KETENTUAN MASA IDDAH

Dengan memperhatikan sebab dan kondisinya, maka wanita yang menjalani masa
iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi: (1) wanita yang ditinggal wafat
suami dan dalam keadaan hamil, (2) wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak
dalam keadaan hamil, (3) wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil, (4)
wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul
suami-istri, dan sudah/masih haid, (5) wanita yang dicerai tidak dalam keadaan
hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid
(menopouse), (6) wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri.
Hanya saja oleh para ulama, bagian terakhir ini seringkali tidak dimasukkan ke
dalam pembagian utama wanita yang beriddah. Pertama, wanita yang ditinggal
wafat suami dan dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah hingga melahirkan.
Tidak ada bedanya, apakah kelahirannya kurang atau lebih dari masa iddah pada
umumnya. Misalnya, seminggu setelah ditinggal wafat suaminya, sang wanita
melahirkan. Maka habislah masa iddah wanita tersebut. Hal ini berdasarkan
keumuman makna ayat yang menyatakan: ‫ َو ُأوالُت اَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأْن َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّن‬Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya, (Q.S. al-Thalaq [65]: 4). Kedua, wanita yang ditinggal
wafat suaminya dan tidak dalam keadaan hamil, atau dalam keadaan hamil namun
bukan dari suaminya yang meninggal, maka masa idahnya adalah 4 bulan 10 hari.
Tidak ada perbedaan antara wanita yang belum haid, masih mengalami haid, atau
sudah berhenti haid (menapouse). Pun tidak ada bedanya apakah sudah pernah
bergaul suami-istri atau belum. Hal ini berdasarkan ayat yang menyatakan: ‫َو اَّلِذيَن‬
‫ ُيَت َو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اجًا َي َت َر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِه َّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش رًا‬Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari, (Q.S. al-Baqarah [2]:
234). Ketiga, wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil, maka iddahnya
hingga melahirkan, sebagaimana dalam keadaan hamil yang ditinggal wafat
suaminya. Keempat, wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil,
sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, maka iddahnya adalah
tiga kali quru. ‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َي َت َر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِه َّن َث اَل َث َة ُقُروٍء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َي ْكُتْم َن َم ا َخ َل َق ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِه َّن‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
(Q.S. al-Baqarah [2]: 228). Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru.
Para ulama al-Syafi’i memaknai quru dengan masa suci. Dan masa iddah dihitung
dari masa suci saat diceraikan. Sedangkan jika diceraikan sedang haid, maka masa
iddah dihitung sejak masa suci setelah haid itu Jika mengacu kepada quru sebagai
masa suci, maka jika seorang suami menjatuhkan talak pada tanggal 1 Muharram,
maka masa iddah istrinya berakhir pada tanggal 10 Rabi‘ul Awal atau saat
dimulainya masa haid ketiga. Kelima, wanita yang dicerai tidak dalam keadaan
hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah menopouse,
maka iddahnya adalah selama tiga bulan, sebagaimana dalam Al-Qur’an: ‫َو الاَّل ِئي‬
‫ َي ِئْس َن ِمَن اْلَم ِحيِض ِمْن ِنَس اِئُك ْم ِإِن اْر َت ْب ُت ْم َفِع َّد ُتُهَّن َث الَثُة َأْش ُهٍر َو الاَّل ِئي َلْم َي ِحْض َن‬Dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid, (Q.S. al-Thalaq [65]: 4).
Adapun bulan yang menjadi patokan penghitungan adalah bulan Hijriah. Keenam,
wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul dengan suaminya, maka tidak
ada masa iddah baginya, sebagaimana firman Allah: ‫َي ا َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُن وا ِإَذ ا َنَك ْح ُت ُم اْلُمْؤ ِم َن اِت ُث َّم‬
‫ َط َّلْقُتُموُهَّن ِمْن َقْب ِل َأْن َت َمُّسوُهَّن َفَم ا َلُك ْم َع َلْي ِه َّن ِمْن ِع َّدٍة َت ْع َت ُّد وَن َه ا َفَم ِّت ُع وُهَّن َو َس ِّر ُحوُهَّن َس َر اًح ا َج ِمياًل‬Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah (pemberian) dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya, (Q.S. al-Ahzab [33]: 49).

 ketentuan Ruju’.
Disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu waTa’ala.

‫الَّط اَل ُق َمَّر َت اِن ۖ َفِإْم َس اٌك ِبَم ْع ُروٍفَأْو َت ْس ِر يٌح ِبِإْح َس اٍن‬

“Talak (yang dapat dirujuk setelah perceraiansuami istri) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk setelah perceraian suami istrilagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik”.[Al-Baqarah/2:229]

Juga adanya pensyariatan ‘iddah yakni kewajiban istri dalam masa iddah. Yaitu
masa menunggu bagi yang ditalak, seperti tersebut dalam firman-Nya:

‫َي ْخ ُرْج َن ِإاَّل‬ ‫َي ا َأُّيَه ا الَّن ِبُّي ِإَذ ا َط َّلْقُتُم الِّن َس اَء َف َطِّلُقوُهَّن ِلِع َّد ِتِه َّن َو َأْح ُصوا اْلِع َّدَةۖ َو اَّتُقوا َهَّللا َر َّب ُك ْۖم اَل ُتْخ ِر ُجوُهَّن ِمْن ُبُيوِتِه َّن َو اَل‬
‫ِبَفاِح َش ٍةُم َب ِّي َن ٍة‬ ‫َأْن َي ْأِتيَن‬

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikanisteri-isterimu, maka hendaklah kamu


ceraikan mereka pada waktu mereka dapat(menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar),
dan hitunglah waktu‘iddah itu sertabertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumahmereka, dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar, kecuali kalau merekamengerjakan perbuatan keji yang
terang.[Ath-Thalâq/65:1]
Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan istrinya satu kali yakni
mengalami hukum iddah bagi lelaki dalam islam, ia masih memungkinkan untuk
memperbaiki kembali bila dirasa hal itu perlu dan baik bagi keduanya. Semua ini
menunjukkan perhatian Islam yang sangat besar dalam pembangunan rumah
tangga yang kokoh dan awet.

Adapunsyarat sahnya rujuk setelah perceraian suami istri, di antaranya:

Rujuk setelah perceraian suami istri setelahtalak satu dan dua saja, baik talak
tersebut langsung dari suami atau darihakim.
Rujuk setelah perceraian suami istri dari istriyang ditalak dalam keadaan pernah
digauli. Apabila istri yang ditalak tersebutsama sekali belum pernah digauli, maka
tidak ada rujuk setelah perceraian suamiistri. Demikian menurut kesepakatan
ulama.
Rujuk setelah perceraian suami istri dilakukanselama masa ‘iddah. Apabila telah
lewat masa ‘iddah -menurut kesepakatan ulamafikih- tidak ada rujuk setelah
perceraian suami istri.
Dalam rujuk setelah perceraian suami istri, yakni karena penyebab talak dalam
islam, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam masa
‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuk setelah perceraian suami
istrinya, walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai)
dari masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk setelah perceraian suami istri, maka
sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan
suaminya, maka wajib diadakan nikah baru.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalamfirman-Nya :

ۚ ‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َي َت َر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِه َّن َث اَل َث َة ُقُروٍءۚ َو اَل َيِحُّل َلُهَّن َأْن َي ْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفيَأْر َح اِم ِه َّن ِإْن ُك َّن ُيْؤ ِمَّن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر‬
‫َٰذ‬
‫َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفي ِلَك ِإْن َأَر اُد وا ِإْص اَل ًح اۚ َو َلُهَّن ِم ْث ُل اَّلِذيَع َلْي ِه َّن ِباْلَم ْع ُروِف ۚ َو ِللِّر َج اِل َع َلْي ِه َّن َد َر َج ٌة ۗ َو ُهَّللا‬
‫َع ِز يٌز َح ِكيٌم‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahandiri (menunggu) tiga kali quru’.


Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yangdiciptakan Allâh dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allâh dan hariakhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujuk setelah perceraian suami istrinyadalam masa menanti itu jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah. Danpara wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yangma’ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripadaisterinya. Dan Allâh Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” [Al-Baqarah/2 : 228]

Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan tentang tips keluarga
bahagia menurut islam: “Para ulama telah bersepakat, bahwa bila orang yang
merdeka menceraikan wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik
dengan talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk setelah
perceraian suami istri kepadanya, walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak
rujuk setelah perceraian suami istri sampai selesai masa iddahnya, maka sang
wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali
dengan nikah baru”.

Cara untuk rujuk setelah perceraian suamiistri, ialah dengan menyampaikan rujuk
setelah perceraian suami istri kepadaistri yang ditalak, atau dengan perbuatan.
Rujuk setelah perceraian suami istridengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh
para ulama, dan dilakukan denganlafazh yang sharih (jelas dan gamblang),
misalnya dengan ucapan “saya rujuksetelah perceraian suami istri kembali
kepadamu” atau dengan kinayah(sindiran), seperti ucapan“sekarang, engkau sudah
seperti dulu”. Kedua ungkapanini, bila diniatkan untuk rujuk setelah perceraian
suami istri, maka sah.Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk setelah
perceraian suami istri,maka tidak sah.

Sedangkan rujuk setelah perceraian suamiistri dengan perbuatan, para ulama


masih bersilang pendapat, namun yang rajih(kuat) -insya Allâh- yaitu dengan
melakukan hubungan suami istri ataumuqaddimahnya, seperti ciuman dan
sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuksetelah perceraian suami istri.

Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dandirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu


Taimiyyah rahimahullâh dan Syaikh as-Sa’dirahimahullâh. Apabila disertai dengan
saksi, maka itu lebih baik, apalagi jikaperceraiannya dilakukan di hadapan orang
lain, atau sudah diketahui khalayakramai.

Rujuksetelah perceraian suami istri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari IbnuUmar r.a. waktu itu ia ditanya oleh
seseorang, ia berkata, “Adapun engkau yangtelah menceraikan ( istri) baru sekali
atau dua kali, maka sesungguhnyaRasulullah SAW telah menyuruhku merujuk
setelah perceraian suami istri istrikukembali” (H.R. Muslim)

Karena besarnya hikmah yang terkandung dalamikatan perkawinan, maka bila


seorang suami telah menceraikan istrinya, ia telahdiperintahkan oleh Allah SWT
agar merujuk setelah perceraian suami istriinyakembali.

Firman Allah SWT :

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu,lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka


rujuk setelah perceraian suami istriilahmereka dengan cara yang ma’ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf(pula). janganlah kamu rujuk setelah
perceraian suami istrii mereka untukmemberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka.barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh
ia Telah berbuat zalim terhadapdirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-
hukum Allah permainan, daningatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamuyaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamudengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan
bertakwalah kepada Allah sertaKetahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (Q.S.Al-Baqarah : 231)

Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 3 (talak ba’in)


Hukum rujuk setelah perceraian suami istripada talak ba’in sama dengan
pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanyamahar, wali, dan persetujuan.
Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utukperkawinan ini tidak dipertimbangkan
berakhirnya masa iddah.

Rukun rujuk

Ada suami yang merujuk atau wakilnya


Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri
Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho
Dengan pernyataan ijab dan qobul
Misalnya, “Aku rujuk engkau pada hari ini”atau “Telah kurujuk istriku yang bernama
………… pada hari ini” danlain sebagainya yang semakna.

Tatacara rujuk setelah perceraian suami istri

Pasangan mantan suami istri yang akanmelakukan rujuk setelah perceraian suami
istri harus datang menghadap PPN(Pegawai Pencatat Nikah) atau Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) yang mewilayahitempat tinggal istri dengan membawa surat
keterangan untuk rujuk setelahperceraian suami istri dari Kepala Desa/ Lurah serta
Kutipan dari BukuPendaftaran Talak/ Cerai atau Akta Talak/ Cerai.

Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

Di hadapan PPn suami mengikrarkan rujuk setelah perceraian suami istrinya


kepada istri disaksikan minimal dua orang saksi
PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri,
kemudian membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-saksi, dan
selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri
rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama
Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk setelah perceraian suami istri
PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah perceraian suami
istri dan mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan akta talak yang
bersangkutan
Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian
suami istri datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk
mendapatkan kembali Akta Nikahnya masing-masing
Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan dengan
menahan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri.

 PENGERTIAN Hadhanah dan hadin


Secara bahasa, hadhanah berasal dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau
merengkuh ke samping. Sedangkan secara istilah, hadhanah adalah pemeliharaan
anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya.
Pemeliharaan di sini maksudnya memberikan jaminan terkait urusan makanan,
pakaian, tidur, kebersihan, dan lain-lain. Hadhanah ini menjadi salah satu bentuk
penyaluran kasih sayang seorang Muslim kepada keturunannya.
Ketika seorang anak masih kecil, hadhanah lebih cocok dilakukan oleh kaum hawa.
Ini karena mereka memiliki hati yang lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar
dalam mendidik.
Namun, jika si anak sudah mencapai usia tertentu, maka hadhanah sebaiknya
dilimpahkan kepada lelaki. Sebab, ia lebih mampu menjaga dan mendidik si anak
daripada kaum wanita. Apa contoh konkret hadhanah dan bagaimana ketentuannya
dalam Islam?
Pengertian Hadhanah dan Syarat Pelaksanaanya
Mengutip buku Fiqih Islam wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-zuhaili, hukum hadhanah
adalah wajib dalam Islam. Sebab, seorang anak yang tidak dipelihara akan
terancam keselamatan jiwa dan raganya.
Ilustrasi anak dan ibu muslim. Foto: Shutter Stock
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi anak dan ibu muslim. Foto: Shutter Stock
Dalam melaksanakan hadhanah, seseorang membutuhkan sikap yang arif, penuh
perhatian, dan kesabaran. Tidak diperkenankan baginya menyumpahi anak sendiri,
karena ini tidak disukai oleh Allah Swt. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda:
"Jangan kalian menyumpahi diri kalian sendiri, janganlah kalian menyumpahi anak
kalian, janganlah kallan menyumpahi pembantu kalian, dan janganlah kalian
menyumpahi harta kalian. Janganlah kalian menyumpahi sesuatu terlebih ketika
Allah mengabulkan permintaan”
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengisahkan bahwa pada suatu hari Aus bin
Ubadah al-Anshari menghadap Rasulullah lalu bertanya:
"Ya Rasulullah, saya mempunyai banyak anak perempuan dan saya berdoa agar
mereka mati." Rasul bersabda, "Wahai Ibnu Saidah! Janganlah engkau mendoakan
jelek kepada mereka karena keberkahan itu menyertai mereka. Mereka itu
penghias ketika mendapat nikmat, menjadi penolong ketika dalam musibah, dan
menjadi perawat ketika sakit, beban mereka di atas bumi, dan rezeki mereka
ditanggung oleh Allah."
Soal siapa yang berhak mengurus hadhanah, para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hadhanah adalah haknya
hadhin dan hadhinah (orang yang memelihara). Ia berhak menggugurkan haknya
meski tanpa pengganti.
Ilustrasi ibu dan anak muslim. Foto: Shutter Stock
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi ibu dan anak muslim. Foto: Shutter Stock
Pendapat ini didukung oleh madzhab Malikiyyah dengan fatwa yang masyhur.
Namun, berbeda dengan dua ulama tadi, sebagian ulama justru berpendapat
bahwa hadhanah adalah hak orang yang dipelihara. Jika ia menggugurkannya,
maka gugurlah hak hadhanah tersebut.

Dalam praktiknya, terdapat syarat-syarat yang harus diperhatikan hadhin dan


hadhinah. Mengutip buku Fiqh Munakahat oleh Prof. Dr. Abdul Rahman, rinciannya
adalah sebagai berikut:
Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan
hadhanah dengan baik. Misalnya, hadhin terikat dengan pekerjaan yang berjauhan
tempatnya dengan tempat si anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk
bekerja.
Hendaklah ia orang yang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak terganggu
ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung
jawab, sedangkan orang yang bukan mukallaf adalah orang yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan.
Mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.
Dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan
dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti pezina,
pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.
Hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si
anak.
Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhinah adalah
orang yang membenci si anak, dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.

 Ilmu tentang Pembagian Warisan dan hukum mempelajari Ilmu Faraidh atau
Ilmu Mawaris
PEMBAGIAN WARISAN
Asal Masalah
Asal Masalah adalah: ‫أقل عدد يصح منه فرضها أو فروضها‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”
(Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II,
halaman 339). Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau
dalam ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah:
‫أقل عدد يتأتى منه نصيب كل واحد من الورثة صحيحا من غير كسر‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli
waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)
Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing bagian pasti ahli
waris yang ada.
Adadur Ru’ûs (‫)عدد الرؤوس‬
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala.
Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila
ahli warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl.
Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya
menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang
yang menerima warisan.
Siham (‫)سهام‬
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian
pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.
Majmu’ Siham (‫)مجموع السهام‬
Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham dalam menghitung pembagian
warisan:
Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan
Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki
sisa (ashabah) dan seterusnya.
Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan
seterusnya
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum unutk menjadi ahli waris.

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah
harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban
menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan
sampai pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih
piutang.Menyelesaiakan wasiat pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris
yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI) dengan ketentuan sebagaiman
berikut ini :
• Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama
diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam
dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
• Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190
KHI).
• Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179
KHI).
• Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian
(Pasal 180 KHI).

Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.

Sedangkan menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para
ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10
dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

Anak laki-laki (al ibn).


Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
Bapak (al ab).
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
Paman seibu sebapak.
Paman sebapak (al ammu liab).
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
Suami (az zauj).
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan
seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
Anak perempuan (al bint).
Cucu perempuan (bintul ibn).
Ibu (al um).
Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
Isteri (az zaujah).
Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian
apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian
1/8 apabila si pewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri berhak mendapatkan
juga bagian warisnya.

Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian waris bukan melalui pembagian
merata kepada ahli waris, akan tetapi dengan pembagian yang proporsional seperti
penjelasan diatas.

ILMU FARAIDH ATAU ILMU MAWARIS


A. Pengertian Hukum Waris atau Kewarisan

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta


benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup.
Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:

Orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan,


Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris
Ahli waris (satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati)
Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah SWT. sebagai
ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah SWT. dalam
firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama
mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah).

Warisan dalam bahasaArab disebut al-mirās merupakan bentuk masdar (infinitif)


dari katawarisa-yarisu-irsan-mirāsan yang berarti berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non harta benda.
Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-
Naml/27:16: “
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan
yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”

Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu
berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang


yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat
hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan.

Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup
masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing
dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
ketiga masalah tersebut.

Terdapat 4 syarat dalam warisan

1. Orang yang mewariskan harta benar-benar telah meninggal dunia

Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal, misalnya
dalam keadaan koma, maka harta tersebut belum dapat diwariskan kepada ahli
waris yang berhak. Ini dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian.

Selain telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan
meninggal secara hukum oleh hakim. Seperti dalam kasus seorang yang telah lama
hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak keluarga hakim
memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.

2. Ahli waris yang akan mendapat warisan benar-benar hidup, meskipun masa
hidupnya hanya sebentar saja

Jadi, meskipun tak lama setelah meninggalnya si mayit (pewaris), dalam hitungan
menit misalnya, ahli waris menyusul meninggal, maka si ahli waris ini tetap berhak
mendapatkan bagian warisan.

3. Diketahui dengan jelas hubungan ahli waris dengan si mayit

Hubungan yang dimaksud merupakan hubungan kekerabatan, pernikahan, atau


memerdekakan budak (walâ’).
4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci

Syarat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan apakah seseorang
termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak.

Misalnya, saksi mengatakan kepada hakim bahwa “orang ini adalah ahli waris”.
Hakim tidak bisa menerima kesaksian dengan ucapan begitu saja.

Dalam pernyataannya, saksi harus menjelaskan alasan kepewarisan orang tersebut


terhadap si mayit.

===========================

Rukun warisan ada 3 (tiga) yakni:

1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain
yang berhak mewarisinya.

2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit
dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.

3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah
kematiannya.

===========================

B. Hal-Hal yang Perlu Dilakukan Sebelum Pembagian Harta Waris

Zakat, jika harta waris itu sudah mencapai nisab


Biaya mengurus jenazah.
Hutang bila ada (QS. An-Nisa {4} : 12).
Wasiat, yaitu pesan sebelum seseorang meninggal (QS. An-Nisa {4} : 11

Syarat wasiat yang dilaksanakan :


Tidak boleh lebih dari 1/3, sesuai hadits nabi saw. berikut : “Wasiat itu sepertiga
dan sepertiga itu sudah banyak”Maksudnya boleh berwasiat 1/3 bagian, namun
harus diingat itu sudah banyak. Bahkan lanjutan hadits tersebut menjelaskan lebih
baik meninggalkan keluarga yang kaya dan berkecukupan dibanding keluarga yang
miskin sehingga menjadi beban orang lain.
Tidak boleh wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain ridha.
Tidak untuk maksiat.
Nazar bila ada

C. Dasar-Dasar Hukum Waris

Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur'an, kemudian As-
Sunnah (hadits)dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad
para mujtahid.

1. Al-Qur'an

Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib
berdasarkan al-Qur'an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang
mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya
firman Allah SWT. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:

Artinya:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”

Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S.
an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-
Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh
As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.

2. As-Sunnah

a. Hadits dari Ibnu Mas’ud berikut:

Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya : Bersabda Rasulullah saw.: Pelajarilah al Qur’an dan
ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada
manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan
diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang
pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak
menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada
mereka”. (HR. Ahmad).

Hadits dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:

Artinya:

“Ilmu itu ada tiga macamdan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan
saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kedua hadits di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu
kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari
mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.

3. Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi


Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta
warisan dan ahli waris.

Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi
berdasarkan Inpres No. 1

Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185
tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam.

D. Ketentuan Mawáris dalam Islam

Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang
meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang
biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh
dzawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli
waris dzawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).
Sumber : rumahfiqih/ust Sarwat

1. Syarat-syarat Mendapatkan Warisan

Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat


sebagai berikut:

a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk


mendapatkan warisan.

b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis


pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap
telah meninggal dunia.

c. Ahli waris hidup pada saat orang yang member warisan meninggal dunia. Jadi,
jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya
meninggal dunia, maka bayitersebut berhak menerima warisan dari saudaranya
yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian
saudaranya terjadi.

2. Sebab-sebab Menerima Harta Warisan

a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari
orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-
saudara beserta anak anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta
anak-anak mereka. AllahSWT. Berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap
harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya...”

b. Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri,
walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
AllahSWT. Berfirman dalam Q.S.an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak.”

Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’I selama dalam masa idah dan
ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena
sakitnya tersebut.

c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita.
Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli
waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw.
bersabda, yang
artinya: “Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (HR.al-
BukharidanMuslim).”

3. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah


sebagai berikut:

Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan
orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagai
mana sabda Nabi saw. Yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan
orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR.BukhoridanMuslim).

b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh


tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw. :
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang
dibunuhnya.” (HR.Ibnu Abdil Bar)

c. Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak
secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli
budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat
diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses
pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya),
karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian
ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisidan diwarisi
sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis
Rasulullah saw., yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya)
berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”

d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi
dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan
hadis Rasulullahsaw.: “Anak itu dinisbatkan kepada siempunya tempat tidur, dan
pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

e. Li’an. Anak suami isteriyang melakukan li’antidak dapat mewarisi dan diwarisi
bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak
dari hasil perzinaan.

4. Ketentuan Pembagian Harta Waris


1. Dzawil Furudh, ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan menurut
ketentuan yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an / Al-Hadits, yaitu :

1. Mendapat 1/2 :

a. Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa {4} : 11).

b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki.

c. Saudara perempuan tunggal sekandung (QS. An-Nisa (4) : 175).

d. Saudara perempuan tunggal sebapak.

e. Suami bila tidak ada anak/cucu (QS. An-Nisa (4) : 12).

2. Mendapat 1/4 :

a. Suami bila ada anak/cucu.

b. Istri bila tidak ada anak/cucu.

3. Mendapat 1/8 :

Istri bila ada. anak/cucu.

4. Mendapat 2/3 :

a. Dua orang anak perempuan/lebih bila tidak ada anak/cucu laki (QS. An-Nisa
(4) : 11).

b. Dua orang cucu perempuan/lebih bila tidak ada. anak/cucu Iaki-laki

c. Dua orang saudara perempuan/lebih sekandung (QS. An-Nisa’ [4] : 176).

d. Dua orang saudara perempuan/lebih sebapak (QS. An-Nisa176).

5. Mendapat 1/3,

s Ibu bila tidak ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} 1

s Dua orang saudara/lebih, baik laki-laki/perempuan yang seibu (QS. An-Nisa


(4) : 11).

6. Mendapat 1/6 Ibu bila ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} : 11).

a. Bapak bila ada anak laki-laki/cucu laki-laki.


b. Nenek bila tidak ada. ibu (hadits).

c. Cucu perempuan bila bersama anak perempuan tunggal.

d. Kakek bila tidak ada bapak.

e. Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan(QS. An-Nisa


(4) : 11).

f. Saudara perempuan seorang/lebih bila bersama seorang saudara perempuan


sekandung.

2. Ahli waris Ashabah

yakni perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam
furud tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya.
Ahli waris ashabah yang ketentuannya mendapat sisa atau menghabiskan harta
waris dibagi tiga :

a. Ashabah binafsih ahli waris yang menjadi Ashabah dengan sendirinya. Mereka
itu adalah :

s Anak laki-laki.

s Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

s Bapak.

s Kakek dari bapak.

s Saudara laki-laki sekandung.

s Saudara laki-laki sebapak.

s Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.

s Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.

s Paman yang sekandung dengan bapak.

s Paman yang sebapak dengan bapak.


s Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.

s Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.

b. Ashabah bil ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah karena sebab orang lain
(ditarik oleh saudara laki-lakinya). Mereka itu adalah :

· Anak perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.

· Cucu perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.

· Saudara perempuan sekandung jika ditarik saudarnya yang lakilaki.

· Saudara perempuan yang sebapak jika ditarik saudaranya yang laki-laki (QS.
An-Nisa {4} : 11).

c. Ashabah ma’al ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah bila bersama ahli waris
wanita lain. Mereka itu adalah :

§ Saudara perempuan sekandung seorang/lebih bila bersama anak


perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.

§ Saudara perempuan sebapak seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu


perempuan seorang/lebih.

5. Hijab dan Mahjub

Dari ke-25 ahli waris, hanya ibu, bapak, suami/istri, anak laki-laki dan perempuan
saja yang sudah pasti mendapat bagian waris, sedang ahli waris lainnya belum
pasti. Hal ini disebabkan ada ahli waris yang kedudukannya lebih dekat dengan
yang meninggal.

Halangan untuk tidak mendapat warisan disebut “Hijab”. orangnya disebut


“mahjub”. Hijab ada dua macam yaitu :

a. Hijab Nuqsan (halangan yang sifatnya mengurangi), seperti suami bila tidak ada
anak mendapat 1/2 tapi bila ada anak maka suami mendapat¼.

b. Hijab Hirman (halangan yang sifatnya penuh/menutupi ahli waris lainnya secara
penuh) seperti cucu tidak mendapat bagian bila ada ayahnya.
E. Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan

Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan


berdasarkan syariat Islam.

1. (Contoh 1)

Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000

Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.

Maka hasilnya adalah:

Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah.

Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari
bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24.

Maka pembagiannya adalah:

Istri : 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,-

Ibu : 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,-

Dua anak laki-laki : 24 – (4+3 ) x Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,-

Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-

(Contoh 2)

Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seorang meninggal dunia,


meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2
saudara perempuan sekandung.

Maka hasilnya adalah:

Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3.

Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari
bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka
terjadi 7/6.
Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan‘aul yaitu dengan
menyamakan penyebut dengan pembilangnya.

(aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi:

Suami : 3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-

Dua saudara perempuan sekandung : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-

(Contoh 3)

Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia,


meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang
anak perempuan.

Maka hasilnya adalah:

Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2.

Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6.

Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6.

Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6.

Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan
kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya.

Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya
adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3,

maka hasilnya adalah:

Ibu : 1/4 x Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,-

Satu Anak Perempuan : 3/4 x Rp. 120.000.000,- = 90.000.000,-

F. Manfaat dan Hikmah Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris.
Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:
1. Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis.

Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling
durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri
diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling
sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi
hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.

2. Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan yang telah


diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat
berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja
muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.

Adapun hikmah ilmu waris sebagai berikut :

1. Untuk menghindari perselisihan yang mungkin terjadi antar sesama ahli waris

2. Untuk menjalin persaudaraan berdasarkan hak dan kewajiban yang seimbang

3. Menghindari keserakahan terhadap ahli waris lainnya.

4. Untuk menghilangkan pilih kasih dari orang tua.

5. Untuk melindungi hak anak yang masih kecil atau dalam keadaan lemah

G. Penerapan Perilaku Mulia

Sikap dan perilaku mulia yang harus kita kembangkan sebagai implementasi dari
penerapan hukum mawaris antara lain seperti berikut ini.

1. Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah SWT. yang paling
lengkap dijelaskan oleh al-Qur'an dan hadis Nabi;

2. Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap
muslim harus ada yang mempelajarinya.

3. Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada


meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkan, ”Berikanlah
sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-
Nasai);

4. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesanseseorang


ketika masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau tujuan
lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal (Q.S.an-
Nisa'/4:11);

5. Ayat-ayat al-Qur'an dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli waris


menempatkan urutan kewarisan secara sistimatis didasarkan atas jauh dekatnya
seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan.

Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum
waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung,
kemudian kedua orangtua mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara
yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari yang meninggal.

6. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban, karena setiap
pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak memiliki harta
benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara adil.

 Rukun dan asas pembagian warisan


Syarat Pembagian Warisan
Dalam Islam, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian
harta warisan. Keempat syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Matinya orang yang mewariskan harus bisa dibuktikan dengan baik, teliti, terdapat
saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang dapat dipercaya.
Ahli waris yang akan menerima harta haruslah dalam keadaan hidup meskipun
dalam keadaan sekarat.
Harus ada hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui kekerabatan
nasab, hubungan pernikahan, maupun pemerdekaan budak (wala’).
Adanya satu alasan secara rinci yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan
warisan. Alasan pewarisan bisa disertai dengan saksi
Rukun Pembagian Warisan
Selain empat syarat di atas, ada juga rukun pembagian warisan sebagaimana
ditulis Muhammad Ajib dalam Fiqh Hibah dan Waris (2019:44-45) seperti berikut:
Orang yang mewariskan (al-muwarrist) yaitu seorang yang meninggal dunia.
Orang yang mewarisi (al-waarist) yaitu orang yang berhak memperoleh warisan
dengan syarat-syarat yang sudah disebutkan di atas.
Pusaka yang diwarisi (al-maurust), yaitu harta peninggalan si mayit yang mungkin
diwariskan.
Perhitungan Pembagian Harta
Dikutip dari buku Pembagian Warisan Menurut Islam karya Muhammad Ali Ash-
Shabuni, perhitungan jumlah pembagian harta yang ditentukan dalam Al-Quran
untuk warisan adalah sebagai berikut:
Rukun, Syarat, dan Jumlah Perhitungan Pembagian Harta Warisan dalam Islam
Rukun, Syarat, dan Jumlah Perhitungan Pembagian Harta Warisan dalam Islam
Setengah (1/2)
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh harta warisan peninggalan
pewaris ada lima, yakni satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya dari
golongan perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan dan saudara perempuan seayah.
Seperempat (1/4)
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta
peninggalannya hanya ada dua, yakni suami dan istri.
Seperdelapan (1/8)
Ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan hanya
istri. Baik hanya seorang maupun lebih, akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya. Pembagian ini diikuti syarat bahwa suami tersebut harus
sudah mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut telah lahir atau masih dalam
kandungan istrinya yang satu maupun yang lainnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 12 yang berbunyi:
"Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah
dibayar utang-utangmu." (an-Nisa: 12)
Rukun, Syarat, dan Jumlah Perhitungan Pembagian Harta Warisan dalam Islam
Foto: shutterstock
zoom-in-white
Perbesar
Rukun, Syarat, dan Jumlah Perhitungan Pembagian Harta Warisan dalam Islam
Dua per Tiga (2/3)
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga harta peninggalan terdiri dari
empat golongan yang semuanya adalah wanita:
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih
Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih
Sepertiga (1/3)
Ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua
orang, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seperenam (1/6)
Asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam ada tujuh orang.
Mereka adalah ayah, kakek asli (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan
perempuan seibu.

 Hijab, macam macamnya, dan sebab terhijab


Hijab menurut bahasa adalah tutup atau mencegah. Sedangkan menurut istilah
ulama ahli faraidl (ilmu waris) hijab berarti tidak bisanya seseorang mendapat
warisan yang sebenarnya bisa mendapatkan dikarenakan adanya ahli waris yang
lebih dekat dengan si mayit.

Dengan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa dalam bab hijab ini
tercegahnya seseorang dari mendapatkan warisan bukan karena adanya sebab-
sebab yang menghalanginya mendapat warisan sebagaimana disebutkan pada bab
Penghalang Warisan, namun dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
posisinya dengan si mayit. Jadi sesungguhnya ahli waris yang terhalang (mahjub)
ini memiliki hak untuk mendapatkan harta waris si mayit, hanya saja karena ada
ahli waris yang lebih dekat ke mayit dari pada dirinya maka ia terhalang haknya
untuk mendapatkan warisan tersebut. Bila orang yang terhalang ini disebut dengan
“mahjub” maka ahli waris yang menghalangi disebut dengan “hajib”.

Hijab ini dibagi menjadi 2 (dua) macam yakni:

Pertama, hijab hirmân dimana orang yang mahjub benar-benar tidak bisa
mendapatkan harta waris secara keseluruhan. Misalnya seorang cucu laki-laki
sama sekali tidak bisa mendapatkan harta waris bila ia bersamaan dengan anak
laki-lakinya si mayit.

Baca juga: Tata Cara Lengkap Pembagian Harta Warisan Menurut Islam

Kedua, hijab nuqshân dimana seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan
bagian warisnya secara penuh. Seperti seorang suami yang tidak bisa
mendapatkan bagian 1/2 dan hanya bisa mendapatkan ¼ saja bila ia bersamaan
dengan anak atau cucunya si mayit.

Dari semua ahli waris yang ada hanya 6 (enam) ahli waris yang tidak bisa mahjub
dengan hijab hirmân. Keenam ahli waris itu adalah bapak, ibu, anak laki-laki, anak
perempuan, suami, dan istri.

Sedangkan ahli waris selain keenam tersebut dapat menjadi mahjub secara mutlak.
Mereka adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muhammad bin Ali Ar-
Rahabi dalam bait nadham di atas, yakni:

1. Kakek menjadi mahjub apabila bersamaan dengan bapak si mayit.


Contoh:

Ahli Waris

Bagian

Istri

Bapak

Ashabah

Kakek

Mahjub

Majmu’ Siham

2. Nenek menjadi mahjub apabila bersamaan dengan ibu si mayit.

Contoh:

Ahli Waris
Bagian

12

Istri

Nenek

Mahjub

Ibu

1/3

Kakek

Ashabah

Majmu’ Siham

Baca juga: Dua Penerima Seperempat Harta Warisan dan Syaratnya

3. Cucu laki-laki dari anak lakilaki menjadi mahjub bila bersamaan dengan anak
laki-laki si mayit.

Contoh:
Ahli Waris

Bagian

Istri

1/8

Anak Laki-Laki

Ashabah

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Mahjub

Majmu’ Siham

4. Semua saudaranya si mayit baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung,


sebapak, ataupun seibu menjadi mahjub apabila bersamaan dengan anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau bapak si mayit.

Contoh:

Ahli Waris

Bagian

4
Suami

Anak laki-laki

Ashabah

Saudara Laki-laki sekandung

Mahjub

Saudara Perempuan sebapak

Mahjub

Majmu’ Siham

Ahli Waris

Bagian

24

Istri

1/8

Kakek

1/6
4

Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Ashabah

17

Saudara perempuan sekandung

Mahjub

Saudara laki-laki seibu

Mahjub

Saudara laki-laki sekandung

Mahjub

Majmu’ Siham

24

Ahli Waris

Bagian

Ibu

1/3

Bapak
Ashabah

Saudara laki-laki sebapak

Mahjub

Saudara perempuan seibu

Mahjub

Majmu’ Siham

5. Waladul umm atau saudara seibu baik laki-laki ataupun perempuan, selain
menjadi mahjub bila bersamaan dengan ketiga ahli waris pada nomor 4 di atas juga
menjadi mahjub apabila bersamaan dengan kakek, anak perempuan, atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.

Contoh:

Ahli Waris

Bagian

Istri

1
Kakek

Ashabah

Saudara Laki-laki seibu

Mahjub

Saudara Perempuan seibu

Mahjub

Majmu’ Siham

Ahli Waris

Bagian

Suami

Anak perempuan

Saudara Laki-laki seibu

Mahjub
-

Saudara Perempuan seibu

Mahjub

Paman

Ashabah

Majmu’ Siham

Baca juga: Inilah Orang yang Menerima Warisan Jika Semua Ahli Waris Berkumpul

Ahli Waris

Bagian

24

Istri

1/8

Nenek

1/6

Cucu perempuan dari anak laki-laki

½
12

Saudara laki-laki seibu

Mahjub

Saudara perempuan seibu

Mahjub

Saudara laki-laki sekandung

Ashabah

Majmu’ Siham

24

6. Cucu perempuan dari anak laki-laki apabila bersamaan dengan anak peremupan
si mayit lebih dari satu maka menjadi mahjub.

Contoh:

Ahli Waris

Bagian

24

Istri

1/8

3
2 Anak perempuan

2/3

16

Cucu perempuan dari anak laki-laki

Mahjub

Paman

Ashabah

Majmu’ Siham

24

Namun demikian bila ada mu’ashshib-nya (ahli waris yang mengashabahkannya)


maka ia tidak jadi mahjub, namun menjadi mendapatkan bagian ashabah bil ghair.
Adapun mu’ashshib-nya adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki si mayit.

7. Saudara perempuan sebapak menjadi mahjub apabila bersamaan dengan


saudara perempuan sekandung si mayit lebih dari satu.

Namun demikian bila ada mu’ashshib-nya, yakni saudara laki-laki sebapaknya si


mayit, maka tidak mahjub namun mendapat bagian ashabah bil ghair.

Baca juga: Beberapa Hal Penghalang Tidak Menerima Warisan


Pada nadham terakhir dalam Bab Hijab ini Imam Ar-Rahabi memberikan catatan
bahwa anak laki-laki dari saudara laki-lakinya si mayit tidak bisa menjadi
mu’ashshib (mengashabahkan) perempuan siapapun baik yang setingkat
derajatnya maupun yang lebih tinggi darinya.

Hijab Nuqshân

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa selain hijab hirmân juga ada hijab
nuqshân di mana seorang ahli waris tidak bisa mendapatkan hak warisnya secara
penuh dikarenakan adanya ahli waris lain.

Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhajî-nya menyatakan bahwa hijab


nuqshân ini dapat mengenai semua ahli waris yang ada. Seorang suami yang
semestinya bisa mendapatkan bagian setengah menjadi terhalang
mendapatkannya ketika ia bersamaan dengan anak atau cucunya si mayit,
sehingga ia hanya bisa mendapatkan seerempat saja. Seorang istri yang
semestinya mendapatkan hak waris sebesar seperempat, berkurang menjadi
seperdelapan manakala ia bersamaan dengan anak atau cucunya si mayit.
Seorang ibu menjadi terhalang untuk mendapatkan bagian sepertiga ketika ia
bersamaan dengan anak atau beberapa saudaranya si mayit, maka ia hanya
mendapatkan seperenam saja.

Sementara seorang cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang mendapatkan


bagian setengah ketika ia bersamaan dengan anak perempuannya, maka ia hanya
mendapat seperenam. Seorang saudara perempuan sebapak yang semestinya
bisa mendapatkan bagian setengah menjadi hanya mendapatkan seperenam
manakala ia berbarengan dengan saudara perempuan sekandung. Sedangkan
seorang anak laki-laki menjadi berkurang bagian warisnya manakala ia bersamaan
dengan anak laki-laki lainnya. Demikian pula dengan ahli waris lainnya.

Terhalang Mendapat Warisan karena Sifat

Sebagaimana pernah di jelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang tertentu


yang semestinya menjadi ahli waris dan berhak mendapatkan warisan namun oleh
syari’at ia dicegah untuk mendapatkannya karena adanya sifat-sifat tertentu pada
diri orang tersebut.

Baca juga: Penjelasan Lengkap tentang Ashabah dalam Warisan Beserta


Contohnya

Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah orang yang membunuh si mayit,
orang kafir, dan budak. Seorang anak yang membunuh orang tuanya ia tak berhak
mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua yang dibunuhnya itu.
Sementara ahli waris yang tidak beragama Islam karena kekafirannya itu ia tidak
bisa mendapatkan warisan dari si mayit yang beragama Islam meskipun
sesungguhnya ia termasuk salah satu ahli warisnya. Adapun seorang budak karena
status budaknya itu tidak bisa mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan
tuannya.

Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhaji juz V, halaman 112 mengingatkan
satu hal yang mesti digaris bawahi, bahwa ketiga orang tersebut yang tercegah
mendapat warisan karena sifat keberadaannya tidak dapat menghalangi ahli waris
lain untuk mendapatkan warisan, baik secara hirmân maupun nuqshân.

Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang membunuh ayahnya dan ahli waris
yang ada saat itu adalah seorang istri dan anak laki-laki yang membunuh tersebut,
maka sang istri tetap mendapatkan bagian seperempat meskipun ada anak laki-laki
si mayit. Ini dikarenakan ada atau tidaknya sang anak yang membunuh dianggap
sama saja, tidak berpengaruh apapun pada ahli waris yang lain.

 KETENTUAN HARTA YANGTERKAIT WARISAN


pembagian harta warisan merupakan kewajiban yang dibebankan kepada ahli waris
sesuai bagiannya masing-masing. Pembagiannya juga diikuti dengan syarat dan
rukun serta perhitungan tertentu yang harus dipenuhi.

 ketentuan ahli waris (Dzawil Furudh dan ‘Ashobah)


Dzawil furudh merupakan satu dari dua macam ahli waris dalam Islam. Kata furudh
merupakan jamak dari fardh yang secara bahasa diartikan al qath (ketetapan yang
pasti), at taqdir (ketentuan), atau al-bayan (penjelasan).
Dijelaskan dalam buku Hukum Waris: Panduan Dasar untuk Keluarga Muslim
tulisan Asman, fardh adalah bagian dari warisan yang telah ditentukan atau bagian
yang ditentukan secara syariat untuk ahli waris tertentu. Sementara itu, kata furudh
muqaddarah dalam Al-Qur'an berarti pembagian ahli waris secara fardh yang telah
ditentukan jumlahnya.

Adapun, pengertian ahli waris secara umum ialah orang yang mempunyai
hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris seperti dikutip dari buku Hukum
Waris Islam oleh Dr Iman Jauhari Sh M Hum dan Dr T Muhammad Ali Bahar SH
MKn.

Ketentuan mengenai pembagian warisan tersemat dalam Al-Qur'an surat An Nisa


ayat 11, Allah SWT berfirman:

‫ُيوِص يُك ُم ٱُهَّلل ِفٓى َأْو َٰل ِد ُك ْم ۖ ِللَّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ ٱُأْلنَث َي ْي ِن ۚ َف ِإن ُك َّن ِنَس ٓاًء َف ْو َق ٱْث َنَت ْي ِن َفَلُهَّن ُث ُلَث ا َم ا َت َر َك ۖ َو ِإن َك اَنْت َٰو ِح َد ًة َفَلَه ا‬
‫ٱلِّن ْص ُف ۚ َو َأِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َٰو ِحٍد ِّم ْن ُهَم ا ٱلُّس ُد ُس ِمَّما َت َر َك ِإن َك اَن َلُهۥ َو َلٌد ۚ َفِإن َّلْم َي ُك ن َّلُهۥ َو َلٌد َو َو ِر َث ُهٓۥ َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه ٱلُّثُلُث ۚ َف ِإن َك اَن‬
‫َلُهٓۥ ِإْخ َو ٌة َفُأِلِّمِه ٱلُّس ُد ُس ۚ ِم ۢن َب ْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوِص ى ِبَه ٓا َأْو َد ْي ٍن ۗ َء اَب ٓاُؤ ُك ْم َو َأْب َن ٓاُؤ ُك ْم اَل َت ْد ُروَن َأُّيُهْم َأْق َر ُب َلُك ْم َن ْف ًع اۚ َفِر يَض ًة ِّم َن‬
‫ٱِهَّللۗ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًما َح ِكيًما‬

Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta.

Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,"

Apa yang Dimaksud dengan Dzawil Furudh?


Dzawil furudh adalah para ahli waris yang menurut syariat telah ditetapkan bagian-
bagian tertentunya bagi mereka mengenai 'tirkah', yakni harta atau manfaat yang
ditinggal mati seseorang, atau orang-orang yang berhak menerima waris dengan
jumlah yang ditentukan oleh syar'i.

Sementara itu, mazhab Syafi'i mengartikan dzawi furudh sebagai ahli waris yang
bagiannya telah ditentukan dalam Al-Qur'an. Bagian-bagian tersebut ditetapkan
dalam nash Al-Qur'an, yaitu setengah (½), seperempat (¼), seperdelapan (⅛), dua
pertiga (⅔), sepertiga (⅓), dan seperenam (⅙).
Baca juga:
Mengenal Pengertian Ahli Waris dalam Islam Beserta Macamnya
Baca juga:
Ayat yang Berbicara tentang Masalah Warisan dalam Al-Qur'an
Golongan Dzawil Furudh
Mengacu pada sumber yang sama, ada 12 golongan yang termasuk ke dalam
dzawil furudh dan terbagi menjadi dua jenis, yaitu dzawil furudh sababiyah dan
dzawil furudh nasabiyah.

Dzawil furudh sababiyah yaitu ahli waris yang memperoleh harta warisan karena
hubungan pernikahan, terdiri dari suami dan istri. Lain halnya dengan dzawil furudh
nasabiyah yang artinya ahli waris menerima harta warisan karena faktor nasab atau
keturunan.

Adapun, terdapat 10 pihak yang terhitung sebagai sebab nasab, antara lain sebagai
berikut:

Ayah
Ibu
Anak perempuan
Cucu perempuan dari anak laki-laki
Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan seayah
Saudara laki-laki seibu
Saudara perempuan seibu
Kakek
Nenek
Pembagian Dzawil Furudh Berdasarkan Dalil Al-Qur'an
Merujuk pada beberapa potongan ayat surat An Nisa, berikut merupakan
pembagian harta waris bagi dzawil furudh.

1. Dzawil Furudh dengan Bagian Setengah (½) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 12

‫ۚ َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َت َر َك َاْز َو اُج ُك ْم ِاْن َّلْم َي ُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد‬

Artinya: "Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak,"

Surat An-Nisa ayat 176

‫َي ْس َت ْفُتْو َن َۗك ُقِل ُهّٰللا ُي ْف ِتْي ُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِة ۗ ِاِن اْم ُرٌؤ ا َه َلَك َلْي َس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَه ا ِنْص ُف َم ا َت َر َۚك‬

Artinya: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, "Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal dan dia
tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, bagiannya
(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya,"

2. Dzawil Furudh dengan Bagian Seperempat (¼) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 12

‫َفِاْن َك اَن َلُهَّن َو َلٌد َف َلُك ُم الُّر ُبُع ِمَّما َت َر ْك َن‬

Artinya: "Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat


seperempat dari harta yang ditinggalkannya,"

Surat An-Nisa ayat 12

‫ۚ َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّما َت َر ْك ُت ْم ِاْن َّلْم َي ُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد‬

Artinya: "Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak,"

3. Dzawil Furudh dengan Bagian Seperdelapan (⅛) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 12

‫َفِاْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َف َلُهَّن الُّث ُمُن ِمَّما َت َر ْكُت ْم‬

Artinya: "Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan,"

4. Dzawil Furudh dengan Bagian Dua Pertiga (⅔) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 176

‫ۗ َفِاْن َك اَنَت ا اْث َنَت ْي ِن َف َلُهَم ا الُّث ُلٰث ِن ِمَّما َت َر َك‬

Artinya: "Akan tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan,"

Surat An-Nisa ayat 11

‫ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْث َنَت ْي ِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َك‬

Artinya: "Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan,"

4. Dzawil Furudh dengan Bagian Sepertiga (⅓) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 11

‫ۚ َفِاْن َّلْم َي ُك ْن َّلٗه َو َلٌد َّو َو ِر َثٓٗه َاَب ٰو ُه َفُاِلِّمِه الُّثُلُث‬


Artinya: "Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh
kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga,"

Surat An-Nisa ayat 12

‫َفِاْن َك اُن ْٓو ا َاْكَث َر ِمْن ٰذ ِلَك َفُهْم ُشَر َك ۤا ُء ِفى الُّثُلِث‬

Artinya: "Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang,
mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,"

5. Dzawil Furudh dengan Bagian Seperenam (⅙) Harta Waris


Surat An-Nisa ayat 11

‫ۚ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْن ُهَم ا الُّس ُد ُس ِمَّما َت َر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد‬

Artinya: "Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak,"

Surat An-Nisa ayat 12

‫َو ِاْن َك اَن َر ُجٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َلًة َا اْم َر َاٌة َّو َلٓٗه َاٌخ َاْو ُاْخ ٌت َفِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْن ُهَم ا الُّس ُد ُۚس‬
‫ِو‬

Artinya: "Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa
meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu)
atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta,"

 menghitung pembagian warisan bagi ahli waris Dzawil Furudh dan ‘Ashobah)
Waduh ini disuruh ngitung coy, udah banyak hitung2 an sama rumusnya diatas ye

-selamat ujian dan mengerjakan-

Anda mungkin juga menyukai