0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan3 halaman
1. Ayat 221 melarang umat Islam menikahi wanita musyrik kecuali Ahlul Kitab. Perkawinan erat hubungannya dengan agama dan keturunan sehingga menikahi non-Muslim dianggap membahayakan.
2. Ayat 227 membahas sumpah tidak menyentuh istri, suami harus memutuskan kembali bersama istri atau bercerai setelah 4 bulan.
3. Ayat 232 melarang wali menghalangi mantan istri menikah kembali
1. Ayat 221 melarang umat Islam menikahi wanita musyrik kecuali Ahlul Kitab. Perkawinan erat hubungannya dengan agama dan keturunan sehingga menikahi non-Muslim dianggap membahayakan.
2. Ayat 227 membahas sumpah tidak menyentuh istri, suami harus memutuskan kembali bersama istri atau bercerai setelah 4 bulan.
3. Ayat 232 melarang wali menghalangi mantan istri menikah kembali
1. Ayat 221 melarang umat Islam menikahi wanita musyrik kecuali Ahlul Kitab. Perkawinan erat hubungannya dengan agama dan keturunan sehingga menikahi non-Muslim dianggap membahayakan.
2. Ayat 227 membahas sumpah tidak menyentuh istri, suami harus memutuskan kembali bersama istri atau bercerai setelah 4 bulan.
3. Ayat 232 melarang wali menghalangi mantan istri menikah kembali
Ini adalah pengharaman bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita- wanita musyrik, para penyembah berhala. Jika yang dimaksudkan adalah kaum wanita musyrik secara umum yang mencakup semua wanita, baik dari kalangan ahlul kitab maupun penyembah berhala, maka Allah Ta’ala telah merrngkhursurskan Ahlul Kitab, melalui firman-Nya yang artinya: “(Dan dihalalkan menikahi) yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antarra orang-orang yang diberi al-Kitab ssebelum kamu, jika kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik.” (QS. Al-Maidah: 5) Perkawinan erat hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang beragama. Mereka menyembah selain Allah. Di dalam soal perkawinan dengan orang musyrik ada batas tembok yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan bermasyarakat itu biasa saja. Sebab perkawinan, erat hubungannya dengan keturunan dan keturunan erat hubungannya dengan harta pusaka, berhubungan dengan makan dan minum dan ada hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan Islam. Perkawinan dengan orang musyrik dianggap membahayakan, maka tegras- tegas Allah melarang mengadakan hubungan perkawinan dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya dunia, dan menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat, sedang ajaran- ajaran Allah kepada kebahagiaan dunia dan masuk surga di akhirat. Ayat-ayat seperti ini diturunkan Allah kepada manusia supaya mereka selalu ingat, jangan lalai dan lengah, sebab bahaya besar, bila tidak lagi berjalan di atas rel yang benar yang telah ditetapkan Allah dalam syariat-Nya. Hikmah atau pelajaran dari ayat tersebut adalah: a. Pada ayat ini, dapat diambil pelajaran tentang larangan menikah dengan orang non muslim, meskipun dalam keadaan suka sama suka. Kecuali dengan dalih mau beriman. b. Meikahi seorang budak sesungguhnya lebih baik dan lebih mulia, daripada menikah dengan wanita non muslim. c. Terdapay kaidah berlakunya subuah hukum itu tergantung ada atau tidaknya penyebab. “sebelum mereka beriman”, hal ini menunjukkan bahwa ketika label musyrikah pada seseorang telah hilang maka ia halal dinikahi dan sebaliknya. d. Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang laki-laki atau suami adalah wali bagi dirinya. e. Mengajarkan bahwa keutamaan manusia adalah berbeda-beda dan tidaklah mereka pada derajat yang sama. f. Ancaman terhadap berkasih sayang bersama orang-orang musyrik, bergaul atau bercamour bersama mereka. Karena mereka mengajak kepada kekufuran dengan perilaku, ucapan dan perbuatan mereka dengan demikian mengajak krepada neraka. g. Wajibnya berksih sayang derngan orang-orang mukmin karena mereka mengajak ke surga. 2. Kandungan Suran Al-Baqarah Ayat 227 Ayat ini berhubungan dengan seseorang yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya, seperti: “Demi Allah, aku tidak akan bersetubuh dengan engkau lagi,” sumpah seperti ini disebut ila’. Dalam hal ini istri tentu akan tersiksa dan menderita, karena tidak digauli dan tidak pula dicerai (ditalak). Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab perbuata seperti ini adalah perbuatan zalim. Bila sudah dekat empat bulan lamanya sesudah bersumpah itu, suami harus mengambil keputusan apakah ia akan akan kembali bergaul sebagai suami istri, atau bercerai. Kalau suami mengambil keputusan kembali berbaik dengan istrinya, maka itulah yang lebih baik; tetapi dia harus membayar kafarat sumpah. Dia harus mengatur rumah tangganya kembali, mendidik anaknya dan tidak boleh diulangi lagi sumpah yang seperti itu. Tapi kalau dia bermaksud untuk menceraikan, maka ceraikanlah yang baik, jangan sampai istri itu teraniaya, sebab Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui. Dalam ayat tersebut terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhirin. Sedangkan menurut ulama lainnya, talak astu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanadnya berpredikat shahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Said ibnu Sabit. Kemudian dikatakan bahwa istri tertalak dengan lewatnya masa ila’ empat bulan dengan status talak raj’i. Demikianlah menurut pendapat Said ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi’ah. Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakim. Menurut pendapat yang lain lagi, si istri tertalak bain. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Semua pendapat yang mengatakan bahwa si sistri tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya iddah atas pihak istri. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya’sa yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada iddah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan Imam Syafi’i. Akan tetapi pendapt yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanyya karena lewtnya masa empat bulan. 3. Kandungan Surah Al-Baqarah Ayat 232 Dalam ayat yang mulia ini Allah SWT menjelaskan bahawa apabila suami yang telah mentalak istrinya denag talak satu atau dua dan telah habis masa iddahnya menginginkn untuk menikahi kembali mantan istrinya itu (dengan akad baru dan mahar), maka para wali (bapak, kakek, saudara laki-laki, paman dari bapak, dan lain-lain) dari istrinya tersebut tidak boleh melarang dan menghalang- halanginya kalau mantan istrinya tersebut mau dan keduanya bertekad untuk menjalin hubungan rumah tangga dengan baik. Ayat ini adalah larangan dari Allah SWT yang ditujukan kepada para wali mantan istri tersebut. Ayat ini adalah jawaban dari Allah SWT untuk saudara perempuan Ma’qil bin Yassar al-Muzani ra. ketika dia ingin kemali kepada mantan suaminya yang telah menceraikannya dan telah habis masa iddahnya, akan tetapi Ma’qil ra melarangnya, maka turunlah ayat ini yang melarang Ma’qil (dan para wali lainnya yang keadaannya seperti Ma’qil) menghalangi mantan suaminya untuk meniikahinya kembali. Firman Allah “ itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari akhir.” Maknanya adalah bahwa laranga ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman epada Allah dan hari akhir, beriman dengan syariatnya dan takut terhadap adzabnya di akhirat. Yaitu mereka yang hatinya hidup dn meyambut seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dengan cara menjalankan perintah denagn meningglkan larangan-Nya. Yang terakhir Allah SWT mengabarkan kepada mereka (para wali) bahwa tindakan mereka memperbolehkan anaknya dinikahi kembali oleh mantan suaminya lebih baik bagi mereka, saat ini maupun yang akan datang. Faedah dari ayat di atas adalah: a. Tidak diperbolehkan melakukan akad nikah dengan perempuan yang ditalak, sebelum habis masa iddahnya, karena akad nikah pada masa iddah adalah batil dan tidak sah. b. Diharamkannya para wali mengahalangi anak perempuan yang dalam perwaliannya menikah denga siapa yang disukainya. c. Wajibnya wali nikah bagi seorang perempuan dan bahwasanya itu adalah salah satu syarat sahnya nikah, karena ayat di atas ditujukan kepada para wali. Karena seandainya wali itu tidak disyaratkan dalam sebuah pernikahan, maka tidak ada pengaruhmya penghalangan para wali kepada anak perempuannya dari menikah lagi. d. Dibutuhkannya keridhaan/kerelaan dari calon suami maupun calon istri di dalam akad nikah.