Anda di halaman 1dari 3

A.

Definisi Khâsh

Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh menjelaskan bahwa khâsh ( ‫)الخاص‬
secara etimologi bermakna munfarid ( ‫ )المنفرد‬artinya meyendiri, terpisah. Dan secara terminologi
berarti lafal yang dari segi bahasanya menunjukkan individu tertentu secara menyendiri.[1]
Sebagian ulama mendefinisikan khâsh ( ‫ )الخاص‬dengan beberapa pengertian. Wahbah Zuhaili
dalam bukunya Ushûl al-Fiqh al-Islami memaparkan bahawasanya khâsh adalah lafal yang
ditetapkan untuk menunjukkan makna perseorangan atau individu secara menyendiri.[2] Dalam
hal ini khâsh mempunyai beberapa makna. Khâsh menunjukkan individu tertentu misalnya nama-
nama orang, seperti Zaid, Burhan, dan Muhammad. Atau menunjukkan satu macam, seperti laki-
laki, perempuan dan kerbau. Dan bisa juga menunjukkan jenis, seperti manusia. Dan khâsh juga
berarti sesuatu yang menunjukkan satuan yang terbatas, seperti sembilan, seratus dan seribu.
Definisi khâsh yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh
Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh.[3] Dalam kitab Qurrat al-‘Aini disebutkan
bahwa khâsh adalah sesuatu yang tidak mencakup dua hal atau lebih tanpa ada batas, tetapi
sesuatu yang mencakup satu hal secara terbatas.[4]

B. Hukum Khâsh

Menurut kesepakatan Imam Abu Hanifah dan mazhab yang lainnya, khâsh menunjukkan suatu
makna secara qath’i (pasti) bukan bersifat zhanni (prasangka) selama tidak ada dalil yang
memalingkannya ke makna yang lain.[5] Dan yang dimaksud qath’i disini yaitu tidak adanya
kemungkinan makna lain yang timbul. Misalnya firman Allah pada surat al-Maidah tentang
kafarat yamin:

[6].‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة َأي ٍَّام‬


ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬

Artinya: “Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian maka berpuasalah selama tiga
hari.”

Kesimpulan yang bisa diambil dari nash di atas menunjukkan wajibnya puasa tiga hari karena lafal
tiga termasuk lafal khâsh dan menunjukkan makna secara qath’i (pasti) dan tidak ada
kemungkinan untuk bertambah atau berkurang. Contoh lain firman Allah pada surat al-Baqarah
tentang perintah shalat dan zakat:

َّ ‫َوَأقِ ْي ُموْ ا ال‬


]7[.َ‫صلَوةَ و َءاتُوْ ا ال َّز َكوة‬

Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

C. Implikasi Khâsh pada Fikih


Khâsh mempunyai otoritas dalam permasalahan fikih, diantaranya sebagai berikut:[9]

Tafsir pada lafal qur`u


Menurut kesepakatan para ulama bahwasanya lafal qur`u merupakan lafal musytarak, bisa berarti
haid ataupun suci. Pernyataan ini serupa dengan apa yang disebutkan di dalam kamus al-Mu’jam
al-Wasith. Bahwa lafal qur`u artinya haid atau suci.[10] Nash dalam Al-Qur’an menyatakan
bahwasanya idah perempuan yang ditalak adalah tiga kali quru`. Firman Allah Swt. pada surat al-
Baqarah:

]11[.‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`.”

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan qur`u artinya haid, karena lafal tsalâtsah ( ‫)ثالتة‬
merupakan lafal khâsh. Jadi secara pasti menunjukkan kewajiban menunggu tiga kali quru` tanpa
tambahan atau pengurangan. Tetapi kalau kita memaknai lafal quru` itu suci seperti yang
dikemukakan oleh Ulama Syafiiyah dan Malikiyah maka waktu penantiannya bisa lebih dari tiga
kali quru`. Dan hal ini tidak boleh karena berkontradiksi dengan maksud nash.

Sesuatu yang mewajibkan adanya mahar


Ulama Hanafiyah mengatakan bahwasanya mahar diwajibkan karena akad pernikahan itu sendiri
sesuai dengan lafal ba (‫ )ب‬pada firman Allah pada surat an-Nisâ` yang berbunyi:

]12[.‫َوُأ ِح َّل لَ ُك ْم َّما َو َرآ َء َذالِ ُك ْم َأ ْن تَ ْبتَ ُغوْ ا بَِأ ْم َوالِ ُك ْم‬

Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu.”

Lafal ba (‫ )ب‬pada ayat di atas adalah lafal khâsh, maka secara (qath’i) pasti menunjukkan
bahwasanya ibtighô (permintaan atau tuntutan) yang merupakan akad itu sendiri harus
berhubungan dengan harta, karena lafal khâsh menunjukkan sesuatu secara qath’i dan tidak
boleh meyelisihinya.

Pada pokok permasalahan lain bahwasanya mufawwidhoh (perempuan yang dizinkan oleh
walinya untuk menikah tanpa menyebutkan mahar) apabila suaminya meninggal sebelum
berjimak dan sebelum adanya suatu kesepakatan ukuran mahar, maka menurut Ulama Hanafiyah
wajib bagi perempuan itu untuk mendapatkan mahar mitsli karena tidak adanya harta pada akad
tersebut.

Akan tetapi Ulama Malikiyah berpendapat tidak diwajibkan bagi perempuan tersebut untuk
mendapatkan mahar karena mahar tidak wajib dengan adanya akad tetapi mahar diwajibkan
sebab adanya jimak atau adanya ucapan (kesepakatan untuk membayar mahar).
Syarat untuk thuma’ninah dalam shalat
Thuma’ninah dalam kitab al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syujâ’ pada bab rukun shalat adalah berdiri
tegak dan berhenti dengan bertasbih.[13] Maknanya juga bisa berarti tidak gelisah.[14] Ulama
Hanafiyah (kecuali Abu Yusuf) tidak mewajibkan adanya thuma’ninah dalam shalat, sesuai dengan
firman Allah Swt. pada surat al-Hajj:

]15[.‫يََأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ ا ارْ َكعُوْ ا َوا ْس ُج ُدوْ ا‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu dan sujudlah kamu.”

Anda mungkin juga menyukai