Anda di halaman 1dari 22

IBADAH MENURUT FAHAM

MUHAMMADIYAH

Oleh :
H. AHMAD SULAIMAN
PDM. KAB. PEKALONGAN
PENGERTIAN IBADAH

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah


perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah
yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-
Nya dan menjauhi larangan –Nya. ( Pusat
Bahasa, h.566; 2008 )

 Pengertian ibadah menurut Putusan Majlis Tarjih


adalah bertaqarub (mendekatkan diri) kepada
Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-
Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta
mengamalkan segala yang diidzinkan Allah.
PEMBAGIAN IBADAH

Ibadah itu ada yang khusus dan ada yang umum:


• Ibadah yang khusus (mahdhah) ialah apa yang
telah ditetapkan Allah akan perincian –
perinciannya, tingkah dan cara – caranya yang
tertentu. (PP Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet .III.
h.276,277)
• Ibadah yang umum (ghairu mahdhah) ialah
segala ‘amalan yang diidzinkan Allah.
Pandangan Muhammadiyah dalam hal Ibadah

Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:


• Al-Quran : Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW
• Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-
ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan
jiwa ajaran Islam.
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang
dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan
perubahan dari manusia.
Apa Penyebab Timbulnya Perbedaan Pendapat
dalam Ibadah?

1). Berbeda dalam memahami dan atau


mengartikan teks atau nash sumber dasarnya.
Contohnya dalam hal arti kata menyentuh
lawan jenis sebagai salah satu hal yang
membatalkan wudhu; sebagian memahami
dengan arti persentuhan kulit antara laki-laki
dan perempuan, sedang lainnya memahami
dengan arti bersetubuh.
Perbedaan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam
kitab Bidayatul Mujtahid juz 1 halaman 29, berawal dari perbedaan
dalam memahami makna “al-lamsu” dalam ayat:

َ ‫َأ ْو اَل َم ْس ُت ُم ا ّلن َس َاء َف َل ْم َت ج ُدوا َم ًاء َف َت َي َّم ُموا‬


 
ً‫ص ع ًيدا َط ّيبا‬
ِ ِ ِ ِ
 
“Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang
suci.” (An Nisa: 43).
 
Dalam bahasa Arab, kata “al-lamsu” merupakan lafadh yang
musytarak, yaitu lafadh yang dibentuk dengan memiliki makna
yang bermacam-macam. Al-lamsu dapat diartikan menyentuh, dan
dapat diartikan berhubungan badan. Sahabat Ali, Ibnu Abbas, dan
Hasan memilih makna pertama, sementara Ibnu Mas’ud, Ibn Umar,

dan Sya’bi memilih makna kedua.  


Ulama yang mengartikan al-lamsu dengan “menyentuh”, menyatakan
bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu,
sedangkan ulama yang mengartikannya dengan “berhubungan
badan”, menyatakan bahwa persentuhan saja tidak membatalkan
wudhu, sebab yang membatalkan adalah berhubungan badan.
 
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perbedaan pendapat imam
mazhab dan pengikutnya dalam menghukumi persentuhan kulit laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram, termasuk istri. Imam Abu
Hanifah dan para pengikutnya menyebutkan bahwa persentuhan
kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara
mutlak, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada
hadits riwayat Aisyah radliyallahu anha:
 
ْ ‫صاَل ة َو َلم‬
َّ ‫َسائ ه ُث َّم َخ َر َج إ َ لى ا ل‬ َ ْ َ َ َّ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َّ َّ َّ َ
ِ ِ ِِ ‫ض ِن‬
ْ َّ ‫أنا لن ِبي ص لى هللا علي ِه وسلم ق ب َلب َ َع‬
‫ي توضأ‬
 
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium beberapa istrinya
lalu keluar untuk shalat, tanpa berwudhu.” (HR. Turmudzi).
Di lain sisi, Imam Syafi’i dan para pengikutnya menegaskan
bahwa persentuhan kulit tersebut dapat membatalkan wudhu,
baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada
makna dhahir Surat an-Nisa ayat 43 di atas, yaitu firman Allah
subhanahu wata’ala:
 
َ‫َأ ْو اَل َم ْس ُت ُم ا ّلن َساء‬
ِ
 
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.”
 
Mereka mengatakan, makna hakiki dari kata “al-lamsu” adalah
menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazinya adalah
berhubungan badan. Selama perkataan bisa diartikan dengan
makna hakiki, maka tidak boleh diartikan dengan makna majazi,
kecuali jika tidak mungkin menggunakan makna hakiki,
sebagaimana kaidah:
 
َُْ َ ‫َ اَل‬ ُ ْ َ
‫ا ألصلِف ي ا لك ِم ا لح ِقيقة‬
 
“Pada dasarnya, ucapan itu bermakna hakiki.”  
Berbeda dari kedua pendapat di atas, Imam Malik dan para
pengikutnya memberikan rincian; jika persentuhan itu diikuti
dengan syahwat maka membatalkan wudhu, tetapi jika tanpa
syahwat, tidak membatalkan. 
 
Mereka mencoba menggabungkan dan mencari titik temu
antara hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh kelompok
pertama, dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh
kelompok kedua. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa
persentuhan kulit yang disertai syahwat dapat membatalkan
wudhu, berdasarkan ayat tersebut, dan tidak membatalkan
wudhu jika tidak disertai syahwat, berdasarkan hadits-hadits
dimaksud. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan
Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-
Ghazali, Juz 1980, hal. 487-488).
dalam hal qadha puasa

2). Perbedaan penilaian terhadap hadits yang dijadikan


dasar pengamalan Hadits tentang mengqadhakan
hutang puasa bagi ahli waris atau walinya. Dari Aisyah
r.a. bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “
Barang siapa meninggal dunia dan dia masih
mempunyai tanggungan puasa, maka hendaklah
walinya mempuasakannya ( menyaur utangnya).
Bagi mereka yang bulat-bulat menerima hadis shahih
berdasarkan kriteria sanad, akan mengamalkan isi
hadis. Namun, bagi yang tidak mengakui kesahihan
hadis tersebut pasti tidak akan berpayah-payah
mengqadha hutang puasa yang meninggal.
Pertama
• Siapa yang meninggalkan puasa karena ada halangan, misalnya
sedang menempuh perjalanan atau sakit yang kemungkinannya
bisa disembuhkan, diwajibkan untuk meng-qadha puasa yang
ditinggalkannya itu. Jika ia meninggal dunia sebelum meng-qadha-
nya, padahal ia memiliki kesempatan untuk itu, maka puasa itu
menjadi tanggungannya, dan disunahkan bagi ahli warisnya untuk
berpuasa menggantikannya, berdasarkan hadis dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, 
ُ‫ام َع ْن ُه َول ُّيه‬
َ ‫ص‬ ٌ ‫ات َو َع َل ْيه ص َي‬
َ ‫ام‬ َ َ ْ َ •
‫من م‬
ِ ِ ِ
• “Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan menanggung
kewajiban puasa maka walinya yang berpuasa menggantikannya.” 
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1952) dan Muslim (1147)
Perbedaan disebabkan berpegang pada teks secara tekstual .)3
dan yang lainnya secara kontekstual.
Contohnya pada teks tentang memanjangkan kain sampai
menutup mata kaki sebagaimana di temukan pada hadits riwayat
Muslim. Dari Abu Dzar dari Nabi SAW beliau bersabda, “ Ada tiga
kelompok (manusia) yang Allah tidak akan berkenan berbicara
dengannya besok pada hari kiamat, tidak pula akan melihatnya,
tidak pula akan mensucikan mereka (bahkan). Mereka akan
mendapatkan siksa yang pedih. ” Beliau katakan hal itu sampai
tiga kali/ Abu Dzar berkata, “ Celaka dan rugi mereka! Siapakah
mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “al-musbil ( orang
yang memanjangkan kainnya sampai menutupi mata kaki), al–
mannan (orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya,
”.orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah dusta
Takhrih Hadits
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits di atas hasan.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz mengkritik pernyataan Imam Nawawi di atas, ia berkata, “Ini adalah
kesalahpahaman dari Imam Nawawi rahimahullah. Sanad hadits tersebut bukanlah sesuai syarat Muslim.
Bahkan hadits tersebut sebenarnya dhoif dengan dua alasan:
1- Hadits tersebut dari riwayat Abu Ja’far, ia adalah perowi yang majhul (tidak jelas).
2- Hadits ini juga dari riwayat Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Ja’far dengan periwayatan ‘an’anah. Seorang
perowi mudallis jika ia tidak menegaskan bahwa ia mendengar langsung, maka haditsnya tidak bisa
dipakai kecuali terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim).
Syaikh Al Albani rahimahullah dalam takhrij Riyadhus Sholihin juga menyatakan hadits ini dhoif
MAKNA KANDUNGANNYA

Secara tekstual, hadits tersebut menyatakan


dengan tegas salah satu dari tiga kelompok
orang yang akan mendapatkan siksa pedih
besuk pada hari kiamat. Akan tetapi sebagian
oleh orang Islam lainnya ada yang
berpendapat lain. Betulkah hanya karena
orang ketika shalat tertutup mata kakinya,
kemudian akan disiksa oleh Allah dengan
siksaan yang pedih. Tidak bakal disucikan
Allah, dan Allah tidak berkenan berbicara
dengannya. (M. Dailamy SP. Melaksanakan
Ajaran Agama.2011.h.57-58)
Dalam hal adzan shalat jumat

4). Berbeda disebabkan perbedaan landasan dasar dan


beribadah. Misalnya, Adzan Jumat dua kali
Yang pertama pada saat masuk waktu dan yang kedua
setelahnya, serta melakukan shalat dua rakaat di
antaranya . Ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah
saw, Abu Bakar, dan Umar yang mana mereka hanya
mengumandangkan adzan sekali . Sedangkan yang
dilakukan pada masa Usman, adzan tambahan dilakukan
sebelum masuk waktu dan bukan setelahnya, dan ini
dilakukan di pasar dan bukan di dalam masjid.( 1001
kesalahan dalm Ibadah Muamalah karya Dr. Musthafa
Murad halaman 416-417)
5). BERBEDA KARENA POLA FIQIH ISTINBATH DAN
FIQIH MAQASHID.

Fiqh Istinbath artinya mengeluarkan hukum dari dalil-


dalilnya. Pola fiqih seperti ini bersifat kaku
sebagaimana apa adanya bunyi nash. Cenderung
bersifat tekstualis. Kebanyakan ulama mazhab adalah
cenderung istinbath. Hasil fikih ini tidak keluar dari
hukum kepada hukum.

Fiqih maqashid diartikan fikih yang lebih mengutamakan


nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan
keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang
bersifat partikuler. Dalam perkara ini contohnya adalah
dalam hal memberi salam kepada siapapun termasuk
non muslim. Juga dalam hal pembagian waris.
6). Berbeda disebabkan mengikuti mazhab dan
yang lainnya mengikuti Rasulullah.
Bagi orang yang mengikuti mazhab, Syafei
misalkan, pada shalat subuh harus pakai
Qunut. Sedangkan yang beribadah dengan
dasar tuntunan dari Rasulullah tidak
menggunakan qunut pada waktu salat subuh ,
kecuali Qunut nazilah yang tidak hanya pada
shalat shubuh. (M. Dailamy SP. Melaksanakan
Ajaran Agama.2011.h.241)
PANDANGAN MUHAMMADIYAH TENTANG
IBADAH
1) Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam
agama Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadis.
2) Bahwa di mana perlu dalam menghadapi
soal-soal yang telah terjadi dan sangat
dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai
hal-hal yang tak bersangkutan dengan
ibadah mahdhah padahal untuk alasan
atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam
al-Qur’an atau al-Sunnah Shahihah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad
dan istinbath daripada nash-nash yang ada
melalui persamaan ‘illat.
PRINSIP IBADAH
 Ada perintah dan ketentuan, yakni dalam melaksanakan
ibadah harus ada perintah, dan dalam melaksanakan
ibadah tersebut ada ketentuan waktu, tata cara, dan
frekuensinya.
 Meniadakan kesukaran dan tidak banyak beban, yaitu:
keseluruhan ibadah dalam syari’at Islam tidak ada yang
menyukarkan, disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan manusianya masing-masing, seperti dalam
melakukan shalat.
 Hanya Allah yang berhak disembah atau untuk diibadahi,
tiada ibadah selain kepada Allah SWt.
 Dalam melakukan ibadah tidak ada wasilah atau
perantara, langsung ditujukan kepada Allah SWT.
 Niat yang tulus, hanya mengaharap ridha Allah.
KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan dalam hal tatacara


beribadah. Muhamadiyah sebagai Ormas
Islam dengan gerakan tajdid tetap
berpegang teguh pada Al Quran dan
sunnah sebagai sumber hukum Islam.
2. Tidak ada satu pun pandangan
Muhammadiyah yang menyatakan
bahwa salah satu cara beribadah lebih
benar daripada cara yang lain asal ada
sumber hukum dan perintahnya.
SARAN-SARAN

Hendaknya saling menghargai


cara beribadah golongan atau
kelompok lain dengan semangat
ukhuwah walaupun berbeda-beda
cara. Hendaknya kita jauhkan
perbedaan- perbedaan yang
bermuara pada perpecahan dan
konflik umat.

Anda mungkin juga menyukai