Anda di halaman 1dari 4

POSISI TANGAN SETELAH BANGKIT DARI RUKU'

Oleh:
Ust. Hasbi Habibi
( Pegiat Kajian Keagamaan )

Pembahasan kali ini adalah mengenai posisi kedua tangan pada saat i'tidal (setelah
bangkit dari ruku'), apakah kedua tangan bersedekap atau dilepaskan ke bawah? Dalam
masalah ini muncul perbedaan pendapat di kalangan ahlul 'ilmi (para ulama). Masalah ini
muncul karena adanya perbedaan interpretasi para ulama terhadap teks hadits yang
dimaksud. Berikut ini penulis berupaya mengupas permasalahan tersebut.
1) Riwayat dari Abdullah bin Maslamah dari Malik Abu Hazim dari sahabat Sahl bin
Sa'ad, ia berkata:
‫َك اَن الَّناُس ُيْؤ َم ُرْو َن َأْن َيَضَع الَّرُجُل اْلَي َد اْلُيْم ٰن ى َع ٰل ى ِذَر اِع ِه اْلُيْس ٰر ى ِفي‬
1
.‫الَّص اَل ِة‬
Artinya:
Orang-orang telah terbukti diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di
bagian atas lengan kirinya pada saat shalat.
Kalimat fi ash-sholâh (pada saat shalat) maksudnya adalah pada saat berdiri ketika
shalat.
2) Riwayat dari Suwaid bin Nashr dari Abdullah dari Musa bin Umair al-Anbari dan
Qais bin Sulaim al-Anbari dari Alqamah bin Wa'il dari ayahnya (Wa'il bin Hujr), ia
berkata:
‫َر َأْيُت َر ُس ْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َك اَن َقاِئًم ا ِفي الَّص اَل ِة َقَبَض‬
2
.‫ِبَيِم ْيِنِه َع ٰل ى ِش َم اِلِه‬
Artinya:
Aku –kata sahabat Wai'l bin Hujr– pernah melihat Rasulullah SAW pada saat
berdiri ketika shalat, beliau menggenggamkan tangan kanannya pada tangan
kirinya.
Dua riwayat tersebut menjelaskan posisi kedua tangan dengan cara
menggenggamkan tangan kanan pada tangan kiri di saat berdiri setelah takbiratul ihram,
bukan berdiri setelah bangkit ruku' (saat i'tidal), karena hadits yang menerangkan tentang
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri itu bersifat mutlaq. Sehingga apabila
disamakan dengan berdiri pada saat i'tidal perlu ada dalil yang menjelaskannya, karena
masalah ini termasuk hal yang bersifat muqayyad. Adapun definisi ‘mutlaq’ dan
‘muqayyad’ dalam frame yang dimaksud adalah sebagai berikut.
‫ َم ا َد َّل اَل َع ٰل ى َش اِئٍع ِفي‬: ‫ َم ا َد َّل َع َلى َش اِئٍع ِفي ِج ْنِس ِه ؛ َو َأَّم ا اْلُم َقَّي ُد‬: ‫اْلُم ْطَل ُق‬
3
.‫ِج ْنِسِه‬
Artinya:
Definisi ‘mutlaq’ adalah lafadz yang menunjukkan pada suatu cakupan yang masih
dalam jenisnya (keadaan yang sama). Adapun definisi ‘muqayyad’ adalah lafadz
1
Al-Jami' Ash-Shahih li al-Bukhari Juz I (Kairo: Al-Mathba'ah As-Salafiyyah wa Maktabatuhâ, 1400
H.) hadits no. 87/740, hlm. 242. Lihat pula Al-Muwatha' li al-Imam Malik Juz I (Beirut: Dar Al-
Gharbi al-Islami, 1417 H/1997 M), hadits no. 437, hlm. 226.
2
As-Sunan Al-Kubra li An-Nasâi Juz I (Beirut: Muassasah ar-Risalah), hadits no. 369/963, hlm. 462.
Lihat pula Sunan Ad-Daruquthni Juz I (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 2001 M./1422 H.) hadits No. 11/1089,
hlm. 610.
3
Irsyad al-Fuhûl li asy-Syaukâni (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 164.

1
yang menunjukkan atas sesuatu yang tidak mencakup dalam jenisnya (keadaan
yang berbeda).
Sehingga terdapat kaidah yang berhubungan dengan muqayyad sebagaimana
berikut:
‫ َأِلَّن الَّتْغ ِلْي َظ ِإْل َز اٌم َو َم ا َتَض َّم َنُه‬، ‫اْلُم َقَّي ُد اَل ُيْح َم ُل َع ٰل ى ِإْطاَل ِق ِه ِإاَّل ِب َد ِلْيٍل‬
4
. ‫اِإْل ْلَز اُم اَل َيْس ُقُط ِإْلِتَز اُم ُه ِباْح ِتَم اٍل‬
Artinya:
‘Muqoyyad’ itu tidak dapat disamakan dengan ‘mutlaq’ kecuali disertai dalil,
karena penguatan dalil itu adalah hal lazim, sedangkan sesuatu yang mengandung
hal yang lazim, maka kelazimannya tidak dapat digugurkan dengan perkiraan-
perkiraan.
Dengan ini, maka meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pun bersifat mutlaq,
karena cakupannya pada keadaan berdiri setelah takbiratul ihram dan posisinya pun
masih dalam keadaan yang sama. Sedangkan ketika bangkit dari ruku' (saat i'tidal),
termasuk muqoyyad, karena telah dibatasi dengan takbir intiqol (takbir menuju gerakan
yang lain) dan keadaannya pun telah berubah, sehingga perlu ada dalil yang
menjelaskannya.
Untuk mengupas masalah posisi tangan saat setelah bangkit dari ruku', perhatikan
riwayat Imam Muslim melalui jalur Zuhair bin Harb dari 'Affan dari Hammam dari
Muhammad bin Juhadah dari Abdul Jabbar bin Wail dari Alqamah bin Wail dan maula
milik mereka bahwa keduanya telah menceritakannya dari bapaknya, Wa'il bin Hujr:
‫َأَّنُه َر َأى الَّنِبَّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َر َفَع َيَد ْي ِه ِح ْيَن َد َخ َل ِفي الَّص اَل ِة َك َّب َر‬
‫ ُثَّم َو َض َع َي َد ُه اْلُيْم ٰن ى َع َلى‬،‫َو َص َف َهَّم اٌم ِح َي اَل ُأُذ َنْي ِه ُثَّم اْلَتَح َف ِبَثْو ِب ِه‬
‫ ُثَّم َك َّب َر‬،‫ َفَلَّم ا َأَر اَد َأْن َيْر َك َع َأْخ َرَج َيَد ْي ِه ِم َن الَّث ْو ِب ُثَّم َر َفَع ُهَم ا‬،‫اْلُيْس ٰر ى‬
5
.‫ َسَج َد َبْيَن َك َّفْيِه‬، ‫َفَر َك َع َفَلَّم ا َقاَل َسِمَع ُهللا ِلَم ْن َح ِم َد ُه َر َفَع َيَد ْيِه َفَلَّم ا َسَج َد‬
Artinya:
Sesungguhnya sahabat Wail bin Hujr melihat Nabi SAW mengangkat kedua
tangannya ketika telah masuk shalat seraya bertakbir sejajar dengan kedua
telinganya –sebagaimana Hammam (perowi hadits) telah menggambarkannya.
Kemudian beliau melipatkan kedua tangannya pada bajunya, lalu meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika bermaksud hendak ruku', beliau
mengeluarkan kedua tangannya dari bajunya, kemudian mengangkat kedua
tangannya itu, dilanjutkan takbir lalu ruku'. Ketika beliau mengucapkan
'sami'allohu liman hamidah', beliau mengangkat kedua tangannya. Pada saat
sujud, beliau sujud di antara kedua telapak tangannya.
Perhatikan pula riwayat dalam Sunan Abu Dawud melalui jalur Musaddad dari
Bisyr bin Al-Mufadhal dari 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari sahabat Wa'il bin Hujr,
ia berkata:
‫ َفَق اَم‬: ‫ َقاَل‬،‫َأَلْنُظَر َّن ِإٰل ى َص اَل ِة َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك ْيَف ُيَص ِّلي‬
‫َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفاْسَتْقَبَل اْلِقْبَلَة َفَك َّبَر َفَر َفَع َيَد ْي ِه َح ّٰت ى َح اَذ َت ا‬

4
Irsyad al-Fuhûl li asy-Syaukâni, hlm. 165-166.
5
Shahih Muslim Juz I (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, t.t.), hadits No. 54/401, hlm. 301. Lihat
pula Al-Musnad Li al-Imam Ahmad Juz XIV (Kairo: Dar al-Hadits, 1995 M./1416 H.), hadits no.
18764, hlm. 288.

2
‫ُأُذ َنْيِه ُثَّم َأَخ َذ ِش َم اَلُه ِبَيِم ْيِنِه َفَلَّم ا َأَر اَد َأْن َيْر َك َع َر َفَع ُهَم ا ِم ْث َل ٰذ ِل َك ُثَّم َو َض َع‬
6
.... ‫َيَد ْيِه َع ٰل ى ُر ْك َبَتْيِه َفَلَّم ا َر َفَع َر ْأَس ُه ِم ْن الُّر ُك ْو ِع َر َفَع ُهَم ا ِم ْثَل ٰذ ِلَك‬
Artinya:
Sungguh aku benar-benar melihat shalat Rasulullah SAW berkenaan dengan cara
beliau shalat. Ia pun berkata: Rasulullah SAW berdiri menghadap kiblat, lalu
bertakbir diiringi dengan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan
kedua telinganya, lalu beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.
Kemudian ketika hendak ruku, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi
(sejajar dengan kedua telinga), lalu beliau meletakkan kedua tangannya di atas
kedua lututnya. Maka ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku (i'tidal),
beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi (sejajar dengan kedua telinga),
dst…
Dari dua periwayatan tersebut jika kita cermati redaksinya, sahabat Wa'il bin Hujr
menyebutkan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dilakukan pada saat
berdiri setelahnya mengucapkan takbiratul ihram. Adapun setelah bangkit dari ruku' (saat
i'tidal), sahabat Wa'il bin Hujr hanya memberikan informasi bahwa Rasulullah SAW
mengangkat kedua tangannya pada saat bangkit dari ruku'. Maka dari itu, seandainya
disunnahkan untuk bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada
saat i'tidal, niscaya Wa'il tidak akan luput dalam menyebutkannya secara rinci.
Sebenarnya yang menjadi titik tekan pada saat i'tidal dari aspek gerakan adalah
tuma'ninah (penuh ketenangan). Perhatikan riwayat dari Yazid bin Harun dari
Muhammad bin Amr dari Ali bin Yahya bin Khallad Az-Zuraqi dari sahabat Rifa'ah bin
Rafi' Az-Zuraqi:
7
.‫َفِإَذ ا َر َفْعَت َر ْأَس َك َفَأِقْم ُص ْلَبَك َح ّٰت ى َتْر ِج َع اْلِع َظاُم ِإٰل ى َم َفاِص ِلَها‬...
Artinya:
…apabila kamu mengangkat kepala dari posisi ruku', maka luruskanlah tulang
sulbimu, hingga tulang-tulang tersebut kembali pada persendiannya.
Kalimat hattâ tarji'a al-'idzômu ilâ mafâshilihâ (hingga tulang-tulang kembali pada
persendiannya) menunjukkan bahwa yang dituntut pada saat setelah bangkit dari ruku'
(saat i'tidal) adalah kondisi yang penuh ketenangan (tuma'ninah).

‫َو َر َك َع ُثَّم اْعَتَد َل َفَلْم ُيَص ِّو ْب َر ْأَس ُه َو َلْم ُيْقِن ْع َو َو َض َع َيَد ْي ِه َع َلى ُر ْك َبَتْي ِه ُثَّم‬
‫َق اَل َس ِمَع ُهللا ِلَم ْن َحِم َد ُه َو َر َف َع َيَد ْي ِه َو اْعَت َد َل َح َّتى َيْر ِج َع ُك ُّل َع ْظٍم ِفي‬
‫َم ْو ِض ِع ِه ُم ْعَتِد اًل‬
Perhatikan pula riwayat dari Yahya bin Bukair dari Al-Laits dari Khalid dari Sa'id
dari Muhammad bin 'Amr bin Halhalah dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha berdasarkan
informasi dari sahabat Abu Hamid As-Sa'idi:

6
Sunan Abi Dawud Juz II (Beirut: Dar Ar-Risalah Al-'Alamiyyah, 1430 H/2009 M), hadits no. 726,
hlm. 47. Lihat pula As-Sunan Al-Kubra li An-Nasâi Juz II (Beirut: Muassasah ar-Risalah), hadits no.
478/1189, hlm. 60. Lihat pula Sunan Ibnu Majah Juz II (Beirut: Dar Ar-Risalah Al-'Alamiyyah, 1430
H/2009 M), hadits no. 867, hlm. 45.
7
Lihat Al-Musnad Li al-Imam Ahmad Juz XIV (Kairo: Dar al-Hadits, 1995 M./1416 H.), hadits no.
18896, hlm. 346-347. Lihat pula Shahih Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban Juz V (Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1414 H/1993 M), hadits no. 1787, hlm. 88.

3
8
.‫َفِإَذ ا َر َفَع َر ْأَس ُه اْسَتَو ى َح ّٰت ى َيُعْو َد ُك ُّل َفَقاٍر َم َك اَنُه‬...
Artinya:
…Maka ketika Nabi mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh
tulung punggungnya kembali pada posisinya.
Mengenai riwayat di atas, pakar hadits Ibnu Hajar Al-'Asqalani memberikan
penjelasan sebagai berikut:
‫ َو ِهَي اْلِع َظ اُم اَّلِتي‬،‫اْلَفَقاُر ِبَفْتِح اْلَفاِء َو اْلَقاِف َج ْم ُع َفَقاَر ٍة َو ِهَي ِع َظاُم الَّظْهِر‬
‫ ِهَي ِم َن اْلَك اِه ِل ِإَلى‬:‫ َو َق اَل اْبُن ِس يَد ْه‬، ‫ُيَقاُل َلَها َخ َر ُز الَّظْه ِر َقاَل ُه اْلَق َّز اُز‬
.‫اْلَع ْج ِب‬
Artinya:
Makna kata ‘faqâr’ dengan tanda fatah pada huruf fa' dan qof, yang bentuk
jamaknya ‘faqâroh’ berarti tulang-tulang belakang. Tulang-tulang yang dimaksud
adalah tulang-tulang punggung, sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Qazzaz.
Imam Ibnu Sîdah juga mengatakan bahwa tulang-tulang tersebut mulai dari
pangkal leher sebelah bawah sampai pada tulang ekor.
Penjelasan Ibnu Hajar tersebut dapat memperjelas gambaran bahwa kita
diperintahkan untuk mengembalikan tulang-tulang punggung pada posisinya dengan
tuma'ninah.
Dengan ini, dari pembahasan di atas dapat diambil simpulan bahwa meluruskan
tangan ke bawah pada saat i'tidal adalah sunnah, karena tidak ada dalil yang shahih
(valid) dan shorih (jelas) untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah
bangkit dari ruku. Namun penulis tetap menghargai saudara kita yang tetap memiliki
pendapat untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada saat i'tidal (bangkit dari
ruku'). Wallohu a'lam bi ash-showâb!

8
Al-Jami' Ash-Shahih li al-Bukhari Juz I (Kairo: Al-Mathba'ah As-Salafiyyah wa Maktabatuhâ, 1400
H.) hadits no. 145/828, hlm. 266-267.

Anda mungkin juga menyukai