Anda di halaman 1dari 8

TURUN SUJUD: TANGAN ATAU LUTUT DAHULU?

Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud, para ulama telah
berselisih pemahaman tentang masalah ini. Berikut dalil dan pembahasannya.

A. DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD[1]


1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
َ َ‫ير َو ْلي‬
‫ض ْع يَ َد ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه‬ ُ ‫س َج َد أ َ َح ُد ُك ْم فَالَ يَب ُْر ْك َك َما يَب ُْركُ ْالبَ ِع‬
َ ‫إِذَا‬
“Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana
menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya”.
Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I
II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam
Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345,
Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus
Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan
bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul
Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan
beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian” [2]
2 .Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:
َ‫ َكانَ النَّ ِبي يَ ْفعَ ُل ذَلِك‬: ‫ض ُع يَ َد ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه َو قَا َل‬ ُ ُ‫قَا َل نَافِ ٌع َكانَ ابْن‬
َ َ‫ع َم َر ي‬
“Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa
menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah I/318-319,
Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254, Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-
Baihaqi II/100, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah
bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.
Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat
Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan
oleh keduanya”.[3]
3. Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’I, bahwa
dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut
mereka”.
Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu
Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.
Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan
kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla IV/129)

B. DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.
1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:
‫ض َرفَ َع يَ َد ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه‬
َ ‫ض ُع ُر ْكبَت َ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه َو ِإذَا نَ َه‬ َ ‫للا ِإذَا‬
َ َ‫س َج َد ي‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
ِ ‫سو َل‬
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua
lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya
sebelum kedua lututnya”.
Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu
Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni
I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di
dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-
Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.
• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan
seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
• Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang
menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika
dia meriwayatkan sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai
hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh
Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah
yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
• Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang
menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti
Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya. [4]
Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya
tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-
lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan
syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim hanyalah
menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka
bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-
terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa darinya,
maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”[5].
2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan
Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul
Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana
dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap
jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.
3. Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:
‫س َج َد أ َ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْب َد ْأ بِ ُر ْكبَتَ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه َوالَ يَب ُْر ْك َكب ُُر ْو ِك ْالفَحْ ِل‬
َ ‫إِذَا‬
“Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan kedua lututnya,
dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”.
Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫س َج َد بَ َدأَ بِ ُر ْكبَتَ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه‬
َ ‫أَنَّهُ َكانَ إِذَا‬
“Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya”.
[Hadits Dha’if]
Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100;
dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara
marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh
Yahya Al-Qaththan.
Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia
riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi
(lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if. [6]

4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:


‫ت ُر ْكبَت َاهُ يَ َد ْي ِه‬ َّ ‫للا ا ْن َح‬
َ َ‫ط ِبالت َّ ْك ِبي ِْر ف‬
ْ َ‫سبَق‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
َ ‫س ْو َل‬
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya
mendahului kedua tangannya”.
Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/; Ibnu Hazm di dalam Al-
Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia
berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas.
• Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi, berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan)
dari Hafsh di dalam isnad ini “.
• Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish I/254: “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’
bin (meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”. Ibnul Qayyim
menyetujuinya.
• Setelah diketahui cacat hadits ini, maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini:
“Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi!
• Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari bapaknya di dalam Al-‘ilal I/188: “Hadits
Munkar”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang
meriwayatkan dari bapaknya (Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di
atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah yang meletakkan
dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.
Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapak-ku telah bercerita kepada kami, dia berkata: A’masy
telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim telah bercerita kepada kami, dari para sahabat
Abdullah, yaitu: ‘Alqamah dan Al-Aswad, keduanya berkata:
َ ‫صالَتِ ِه أَنَّهُ خ ََّر بَ ْع َد ُر ُك ْو ِع ِه‬
‫علَي يَ َد ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه‬ ُ ‫ع ْن‬
َ ‫ع َم َر فِ ْي‬ ْ ‫َح ِف‬
َ ‫ظنَا‬
“Kami menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia turun setelah
ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Dan cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Al-Lisan, dia berkata:
“Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang
paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari bapaknya, dari A’masy,
dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari Umar (bin Al-Khathtahb) secara mauquf (hanya
sampai sahabat Umar), inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.
Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi
hujjah, karena dua perkara:
a. Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah meletakkan kedua lututnya
sebelum kedua tangannya, karena yang disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja.
Bisa jadi yang mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya. Dengan
demikian kedua riwayat itu sesuai.
b. Jika di dalam hadits itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu
menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah menambah syari’at baru –tanpa
keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan tersebut, melarangnya –dengan yakin-, maka tidak
boleh meninggalkan yang yakin karena persangkaan yang dusta!”
4. Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:
‫ْع ْال ُر ْك َبتَي ِْن قَبْلَ ْال َي َدي ِْن‬ ُ ْ ْ َ َ‫ُكنَّا ن‬
ِ ‫ض ُع اليَ َدي ِْن قَ ْب َل ال ُر ْك َبتَي ِْن فَأ ِم ْرنَا ِب َوض‬
“Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk
meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”.
Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin
Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya,
dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.
Sebagian ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim) menyatakan bahwa
hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang meletakkan kedua lutut sebelum kedua
tangan. Tetapi pendapat mereka tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh
(dihapuskan) adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if menasakh
(menghapuskan) hadits shahih?
Hadits ini memiliki dua cacat: [7]
a. Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata: “Di dalam riwayatnya dari
bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim
tidaklah menegakkan hadits itu”.
b. Bapaknya, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang ditinggalkan), sebagaimana dikatakan
oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam
Fathul Bari: “Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya
hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan perselisihan. Tetapi
hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya
Ibnu Salamah bin Kumail dari bapaknya, sedangkan keduanya lemah”.
Syeikh Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum)
tersebut, menyatakan: “Hafizh Al-Hazimi berkata: “Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh
(penghapusan hukum) ini jauh dari kebenaran, karena dua sisi:
a. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.
b. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan, sedangkan hadits Wail
perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari pada perbuatan pada saat adanya
pertentangan. Ada lagi sisi ketiga, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari
perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang sesuai
dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan beliau yang menyelisihi
perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik,
dan Ahmad, sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”. (Al-Misykah I/282)

5. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:


ُ‫ض ُر ْكبَت َاه‬ َ ‫س َج َد فَ َكانَ أ َ َّو َل َما َو‬
ِ ‫ص َل ِإلَي اْأل َ ْر‬ َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬
َ ‫ف النَّبِي ِ ث ُ َّم‬ َ
“Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang
pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya”.
Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul
Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki
dua cacat:
a. Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi
berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.
b. Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.
[8]

6. “Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah,
Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke
tanah sebelum kedua tangannya”. Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai
sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan
hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian
bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka
riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.[9]

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA


Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat
hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah
beliau!, tetapi berdasarkan penelitian penulis tidaklah demikian, inilah secara ringkas bantahan
terhadap hal tersebut: [10]
1. “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah
(meletakkan lutut lebih dahulu)”.
Bantahan : Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if,
sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.
2. Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi,
karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia
meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan
pada hadits lain.
Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan
seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima
membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.
3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).
Bantahan : Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas,
sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.
4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.
Bantahan : Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan teks yang
berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin dari satu perawi, yaitu seorang
perawi meriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap
perawi meriwayatkan teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib
(kegoncangan) ini menunjukkan lemahnya hadits.
Tetapi jika salah satu dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat daripada
yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih
(penguatan), maka yang dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits
mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita tentang hadits yang
diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.
Jika hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk hadits mudh-tharib,
karena telah diketahui mana yang lebih kuat di antara riwayat yang diperselisihkan.
5. Bahwa perawi hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak mengetahui
apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak…”
Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari
telah ma’ruf, sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat perawi
dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya dan aman dari tadlis
(penyamaran).
Ibnu Turkumani berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan
dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad)
tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata, sehingga tidak bertentangan dengan
pernyataan terpercaya oleh Nasa-i (terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.
Al-Mubarakfuri berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi II/135: “Sedangkan perkataan Al-Bukhari
bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah mengapa, karena Muhammad
bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari
hadits Ibnu Umar”.
Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar II/284.
Syeikh muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam komentarnya
terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits Abu Hurairah: “Isnad hadits ini
shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan, adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa
yang suci-Red), dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits itu
bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz
Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang (merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah
ma’ruf tidak diikuti oleh seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan
Muhammad adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H, dengan
umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.
6. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan dari Muhammad bin
Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.
Bantahan:
a. Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.
b. Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad
bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841), Nasa-I II/208, Tirmidz II/57-58 (Syakir). Perkataan
Ad-Daruquthni itu telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu. Dan
Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi, karena imam Muslim
telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya di dalam Shahih Muslim, demikian
juga imam Bukhari mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.
Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.
7. Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) memiliki riwayat-rawayat lain yang menguatkan,
sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) tidak.
Bantahan : Sesungguhnya hadits Abu Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat
shahih lain yang menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh riwayat-
rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah dipaparkan di atas. [11]
8. Syeikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka
mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara umum! Dan bahwa
pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal oleh ahli bahasa”.
Bantahan : “Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta
adalah pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun diingkari oleh
Syeikhul Islam (Ibnul Qayyim).
Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab XIV/236: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah X/216: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Ibnul Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith VII/16: “Dan setiap yang memiliki
empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.
Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla IV/129: “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan
(tangan)nya”.
Mengomentari perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah seorang
dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”, As-Saraqasbithi berkata di dalam
Gharibul Hadits II/70: “Ini adalah di dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya
sama sekali sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi hendaklah
dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua lututnya”. [Sifat Shalat Nabi,
Al-Albani]
Demikian juga hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari VII/239 dan Ahmad
IV/176: “…Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam tanah sampai mencapai
lututnya”. Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada tangannya. Sehingga Syeikhul Islam Ibnul
Qayyim tidak memiliki pegangang dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah. Dan
tempat bergantung pembahasan ini adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika telah pasti onta
mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang yang shalat untuk tidak bersujud
dengan meletakkan lututnya (dahulu sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan
kemusykilan menjadi hilang, al-hamdulillah Yang Maha Tingi”.[12]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
________
Footnote
[1]. Kami ringkaskan dari kitab Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini yang berjudul “Nahyush Shuh-bah
‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[2]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:28. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II,
Th:1412 H/1992
[3]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:41. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II,
Th:1412 H/1992
[4]. Yakni Hammam meriwayatkan secara mursal (dari sahabat), sedangkan Syarik secara marfu’
(dari Nabi)-Red
[5]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:31-32. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II,
Th:1412 H/1992
[6]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah, hal:34-35
[7]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:35-37
[8]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44
[9]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44-45
[10]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412
H/1992
[11]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah” hal:40)
[12]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, 46-47
“Dalam Shifatu Shalatin Nabiyyi SAW, Al-Albani berpendapat bahwasanya kedua tangan
diletakkan terlebih dahulu daripada kedua lutut, ketika turun untuk sujud. (HR. Ibnu
Khuzaimah I/76/1, Ad-Daruquthny dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Adz-Dzhabi) dan Al-
Marwazi (dalam Al-Masa-il telah meriwayatkan pula hal demikian dengan sanad yang shahih.
Demikian pula pendapat Al-Auza’i, Malik, Ibnu Hazm serta Hasan Al-Bashri. Kata Abu Daud:
“Itulah pendapat Ash-habul Hadits”.
Sedangkan menurut Prof. Hasby Ash Shiddiqy (Pedoman Shalat), Jumhur Ulama menyukai
supaya kita meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian pula pendapat imam
Syafi’i (Al-Umm I/98), Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad), Syeikh Abdurrahman Al-
Jibrin (Shifatus Shalah) dan Syeikh Bin Baz (Fatawa Muhimmat Tata’alaq fi As-Shalati) dan
Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf (Shahih Shifah Shalah an-Nabi). Kata Ibnu Mundzir: “Demikian
fatwaku”.
Akan tetapi Syeikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il As-Sulaimani Al-Ma’ribi menyatakan:
“Mengingat tidak adanya riwayat yang shahih dalam masalah ini, maka ada kelapangan dalam
permasalahan ini, yaitu bisa turun dengan tangan terlebih dahulu atau lutut dahulu”. (Al
Fatawa Asy-Syar’iyyah). Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai