Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud, para ulama telah
berselisih pemahaman tentang masalah ini. Berikut dalil dan pembahasannya.
B. DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.
1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:
ض َرفَ َع يَ َد ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه
َ ض ُع ُر ْكبَت َ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه َو ِإذَا نَ َه َ للا ِإذَا
َ َس َج َد ي ُ َرأَيْتُ َر
ِ سو َل
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua
lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya
sebelum kedua lututnya”.
Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu
Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni
I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di
dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-
Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.
• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan
seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
• Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang
menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika
dia meriwayatkan sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai
hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh
Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah
yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
• Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang
menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti
Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya. [4]
Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya
tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-
lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan
syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim hanyalah
menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka
bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-
terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa darinya,
maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”[5].
2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan
Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul
Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana
dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap
jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.
3. Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:
س َج َد أ َ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْب َد ْأ بِ ُر ْكبَتَ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه َوالَ يَب ُْر ْك َكب ُُر ْو ِك ْالفَحْ ِل
َ إِذَا
“Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan kedua lututnya,
dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”.
Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
س َج َد بَ َدأَ بِ ُر ْكبَتَ ْي ِه قَ ْب َل يَ َد ْي ِه
َ أَنَّهُ َكانَ إِذَا
“Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya”.
[Hadits Dha’if]
Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100;
dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara
marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh
Yahya Al-Qaththan.
Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia
riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi
(lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if. [6]
6. “Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah,
Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke
tanah sebelum kedua tangannya”. Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai
sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan
hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian
bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka
riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.[9]