Anda di halaman 1dari 172

TAKBIRAN MALAM IEDUL FITRI & IEDUL ADHA

6 Agustus 2013 pukul 9:22

Malam hari raya iedul fitri oleh sebagian kaum muslimin Indonesia disebut “malam walilat”,
mungkin berasal dari kata-kata walillahilhamd yang biasa dibaca bersama-sama dalam takbir
secara terus menerus semalam suntuk menjelang hari raya iedul fitri yang biasa disebut
malam takbiran.

Ada anggapan malam lebaran itu terasa hidup dan hangat dengan gema takbir dan tahlil  dari
mesjid, surau, dan mushalla. Bahkan ada yang melakukannya dengan cara berkelompok
sambil melintasi jalan-jalan tertentu. Sebagian dari mereka meyakini apa yang mereka
lakukan itu adalah ibadah, namun tidak sedikit pula yang melakukannya hanya karena senang
dan ramai.

Keyakinan dan pengamalan tersebut, sejauh pengetahuan kami, berlandaskan argumen-


argumen sebagai berikut:

Pertama, merupakan penafsiran dari keumumam firman Allah Swt. yang berbunyi:

َ‫َولِتُ ْك ِملُوا ال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوْ ا هللاَ َعلَى َما هَدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

“Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” QS. Al-Baqarah: 185

Kedua, ditafsirkan demikian karena ditemukan adanya hadis sebagai berikut

ُ ْ‫ت قَ ْلبُهُ يَوْ َم تَ ُمو‬


ُ‫ت القُلُوْ ب‬ ْ ِ‫ َم ْن أَحْ يَا لَ ْيلَةَ الف‬.
ْ ‫ط ِر َولَ ْيلَةَ األَضْ َحى لَ ْم يَ ُم‬

“Barang siapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya
di kala hati orang-orang menjadi mati.”

Kata Imam al-Haitsami, redaksi di atas diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam kitabnya al-
Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Awsath. (Lihat, Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-
Fawa’id, II:198) Namun yang kami temukan dalam al-Mu’jam al-Awsath dengan redaksi
berikut:
 

ُ ْ‫ت قَ ْلبُهُ يَوْ َم تَ ُمو‬


ُ‫ت القُلُوْ ب‬ ْ ِ‫صلَّى لَ ْيلَةَ الف‬
ْ ‫ط ِر َولَ ْيلَةَ األَضْ َحى لَ ْم يَ ُم‬ َ ‫َم ْن‬

“Barang siapa shalat pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati
orang-orang menjadi mati.” HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, I:57, No. 159

Menurut para ahli hadis, hadis ini adalah hadis Mawdhu (palsu). Artinya hadis ini dibuat atas
nama Rasulullah, karena di dalam sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Umar bin
Harun As-Tsaqafi Al-Balkhi. Di bawah ini adalah pendapat para ulama mengenai Umar bin
Harun As-Tsaqafi:

 Ali bin Al-Husain bin Al-Jundi Ar-Razi mengatakan, "Saya mendengar Yahya bin
Main mengatakan, 'Umar bin Harun itu kadzdzab (tukang dusta)’.
 Abu Thalib mengatakan, "Saya mendengar Ahmad bin Hanbal berkata,'Umar bin
Harun saya tidak meriwayatkan apapun darinya,...maka aku telah meninggalkan
hadisnya.
 Abu Zakariya mengatakan. 'Umar bin Harun Al-Balkhi kadzdzabun (pendusta),
Khabisun (buruk) hadisnya.... Aku telah membakar semua hadis-hadisnya tiada yang
tersisa kecuali satu kalimat yang ada pada sampul kitab dan akupun telah membakar
semuanya. (Lihat, Tahdzibul Kamal fi Asmair Rijal, XXI : 525-528)

Sehubungan dengan itulah Syekh al-Albani menilai hadis di atas sebagai hadis mawdhu’
(palsu). (Lihat, Shahih wa Dha’if al-Jami’ III:418)

Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi:

ُ‫وت ْالقُلُوب‬
ُ ‫ت قَ ْلبُهُ يَوْ َم تَ ُم‬ َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬، َ‫ع َْن أَبِي أُ َما َمة‬
ْ ‫ لَ ْم يَ ُم‬, ِ ‫ َم ْن قَا َم لَ ْيلَت َِي ْال ِعي َدي ِْن ُمحْ ت َِسبًا هَّلِل‬: ‫صلَّى هللا عَل ْي ِه و َسلَّ َم قَا َل‬

“Barang siapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha karena mengharapkan
(pahala) Allah, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati.” (HR. Ibnnu
Majah, Sunan Ibnu Majah, II:658)

Menurut Imam al-‘Iraqi, “Sanadnya dha’if.” (Lihat, Takhrij al-Ihya, I:328). Kata Imam al-
Haitsami, “Sanadnya dha’if karena penyamaran (tadlis) riwayat dari Baqiyyah bin al-Walid.”
Kata Syekh al-Albani, “Hadis ini sangat dha’if.” (Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa
al-Mawdhu’ah, II:11)
 

Dengan demikian ayat di atas (QS. Al-Baqarah:185) tidak tepat untuk dijadikan landasan
keyakinan dan amal bertakbiran di malam ied, bahkan pada hakikatnya tidak ada kaitan
dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai
tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan, karena hadis yang menerangkan
tentang bangun (tidak tidur) semalam suntuk sangat lemah bahkan palsu. Sampai saat ini
kami belum menemukan alasan lain yang lebih kuat selain alasan yang telah dipaparkan di
atas.

Ketiga, amaliah tabi’in

‫الزبَي ِْر َوأَبَا َسلَ َمةَ َوأَبَا بَ ْك ِر ْبنَ َع ْب ِد‬


ُّ َ‫ب َوعُرْ َوةَ ْبن‬ ِ َّ‫صالِ ُح بْنُ ُم َح َّم ٍد إِبْنُ زَ ائِ َدةَ أَنَّهُ َس ِم َع ا ْبنَ ْال ُم َسي‬
َ ‫قَا َل أَ ْخبَرْ نَا إِ ْب َرا ِه ْي ُم قَا َل َح َّدثَنِي‬
ِ ‫ط ِر فِي ْال َمس‬
‫ْج ِد يَجْ هَرُوْ نَ بِالتَّ ْكبِي ِْر‬ ْ ِ‫من يُ َكبِّرُوْ نَ لَ ْيلَةَ ْالف‬
ِ ْ‫الرَّح‬

As-Syafi’I berkata, “Ibrahim telah menghabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Shalih bin
Muhamad Ibnu Zaidah telah menceritakan kepadaku sesungguhnya ia mendengar Ibnul
Musayyab, Urwah bin az-Zuber, Abu Salamah, dan Abu Bakar bin Abdurrahman, mereka
takbir di masjid pada malam fitri dengan menjaharkan takbir itu’.”  (Lihat, Al-Umm, juz 1,
hal. 231)

Namun keterangan ini pun daif karena bersumber dari Shalih bin Muhamad bin Zaidah.
Menurut al-Bukhari, “Dia munkarul hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)”  (Lihat,
Tahdzibul Kamal, XIII:87)

Dengan demikian tidak benar bahwa mereka (para tabi’in itu) bertakbir pada malam iedul
fitri. Hal itu dibuktikan dalam keterangan lain bahwa Urwah bin az-Zuber dan Abu Salamah
bin Abdurrahman mulai bertakbir ketika berangkat ke lapang. (Lihat, Al-Umm, juz 1, hal.
231)

Dengan demikian takbiran pada malam ied yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum
muslimin itu tidak diperintahkan dan tidak pula dicontohkan oleh Nabi. Sehubungan dengan
itu, Ibnul Qayyim menjelaskan:

‫ثم نام حتى أصبح ولم يُحْ ى تلك الليلة وال ص َّح عنه فى إحياء لَيْلتَى العيدين شئ‬
“Kemudian beliau tidur hingga subuh, dan beliau tidak menghidupkan (dengan ibadah)
malam itu, dan tidak ada satu pun yang shahih dari beliau bahwa beliau menghidupkan
malam Fithri dan malam Adha.” (Lihat, Zad al-Ma’ad fii Hady Khair al-‘Ibad, I:212)

Yang dicontohkan oleh Nabi adalah bertakbir sejak dari rumah menuju dan di tanah lapang
tempat salat ied hingga imam memulai salat.

‫ط ِر َحتَّى‬ ْ ِ‫ يَوْ َم ْالف‬ ‫ال ُخرُوْ ِج ِه إِلَى ْال ِع ْي ِد‬


َ ‫صوْ تَهُ بِالتَّ ْكبِي ِْر َوالتَّ ْهلِ ْي ِل َح‬ َّ ِ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وآله وسلم َكانَ يَرْ فَ ُع‬
َ ‫يَأْتِ َي ْال ُم‬
‫صلَّى‬

Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi saw. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah)
dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi salat iedul fitri hingga sampai ke lapang.
H.r. Al-Baihaqi, Nail al-Awthar, III:355

َ ‫ فَيُ َكبِّ ُر َحتَّى يَأْتِ َي ْال ُم‬ ‫ط ِر‬


‫صلَّى‬ ْ ِ‫ صلى هللا عليه وسلم َكانَ يَ ْخ ُر ُج يَوْ َم ْالف‬ ِ‫الز ْه ِري أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
ُّ ‫َع ِن‬

Az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan
bertakbir hingga sampai di lapang” H.r. Ibnu Abu Syibah, al-Mushannaf, I:487

Sedangkan bertakbir pada iedul adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13
dzulhijjah. Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika
berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing.

ِ ‫صالَةَ ْال َعصْ ِر‬


‫آخ َر‬ َ ‫صالَةَ ْال َغدَا ِة َويَ ْقطَ ُعهَا‬ َّ ِ‫ار أَ َّن النَّب‬
َ ‫ صلى هللا عليه وسلم… َو َكانَ يُ َكبِّ ُر ِم ْن يَوْ ِم ع ََرفَةَ بَ ْع َد‬ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن َعلِ ٍّي َو َع َّم‬
ِ ‫أَي َِّام التَّ ْش ِري‬ 
‫ْق‬

Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah
salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq. H.r. Al-Hakim, al-
Mustadrak, I:439; al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, III:312.

Sunah Rasul pada iedul adha ini tampaknya mulai ditinggalkan oleh mayoritas kaum
muslimin di Indonesia ?
TAHNIAH IED
Pengertian Tahniah

Secara bahasa tahniah (ُ‫ )التَّ ْهنِئَة‬sebalik dari ta’ziyah (ُ‫ْزيَة‬


ِ ‫)التَّع‬. Maksudnya tahniah artinya ucapan
selamat, sedangkan ta’ziyah artinya ucapan bela sungkawa (berduka cita). (Lihat, Mu’jam
Maqayis al-Lughah, VI:68)

Adapun secara istilah, makna tahniah secara umum tidak berbeda dengan makna bahasa,
namun dilihat dari konteks peristiwa istilah tahniah memiliki beberapa makna spesifik
(khusus). Seperti tabriik (mendoakan berkah), tabsyiir (memberi kabar baik), tarfi’ah
(ucapan selamat nikah), dan lain-lain.

Hukum Tahniah Secara Umum

Secara umum hukum tahniah adalah mustahab (sunat), karena

 tahniah merupakan perpaduan antara tabrik dan doa dari seorang muslim kepada
sesama muslim lainnya atas perkara yang menggembirakan dan disenanginya.
 Pada tahniah terdapat mawaaddah (saling mencintai), tarahum (saling mengasihi),
dan ta’athuf (saling menaruh simpati) di antara kaum muslim.

Anjuran umum menyampaikan tahni’ah kepada sesama muslim ketika mendapatkan


kenikmatan diungkap didalam Alquran:

َ‫ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيئًا بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُون‬

(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa
yang telah kamu kerjakan", Q.s. Thur:19

Sedangkan dalam hadis diperoleh dari beberapa peristiwa, antara lain:

 
، ‫ َمرْ ِج َعهُ ِمنَ ْال ُح َد ْيبِيَ ِة‬، ‫ {إِنَّا فَتَحْ نَا لَك فَ ْتحًا ُمبِينًا} ِإلَى آ ِخ ِر اآليَ ِة‬: ‫ت َعلَى النَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم‬ ْ َ‫ أُ ْن ِزل‬: ‫ قَا َل‬، ‫س‬
ٍ َ‫ع َْن أَن‬
ِ‫ فَلَ َّما تَالَهَا َرسُو ُل هللا‬، ‫ي ِمنَ ال ُّد ْنيَا َو َما فِيهَا َج ِميعًا‬ َّ َ‫ي آيَةٌ ِه َي أَ َحبُّ ِإل‬ َّ َ‫ت َعل‬ْ َ‫ نَ َزل‬: ‫ قَا َل‬، ‫َوأَصْ َحابُهُ ُم َخالِطُو ْالح ُْز ِن َو ْال َكآبَ ِة‬
‫ فَ َما َذا يُ ْف َع ُل بِنَا ؟ فَأ َ ْن َز َل هَّللا ُ اآليَةَ الَّتِي بَ ْع َدهَا‬، ‫ك‬ َ ِ‫ قَ ْد بَيَّنَ هَّللا ُ َما يُ ْف َع ُل ب‬، ‫ هَنِيئًا َم ِريئًا‬: ‫ قَا َل َر ُج ٌل ِمنَ ْالقَوْ ِم‬، ‫صلى هللا عليه وسلم‬
َ‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا األَ ْنهَارُ} َحتَّى خَ تَ َم اآليَة‬ ٍ ‫ت َجنَّا‬ِ ‫ {لِيُ ْد ِخ َل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا‬:.

Dari Anas, ia berkata, “Telah diturunkan ayat Inna fatahnaa laka fathan mubinan (al-Fath:1)
kepada rasul ketika kembali dari Hudaibiyah, dan para sahabatnya larut dalam kesedihan.
Beliau bersabda, ‘Telah turun ayat kepadaku yang lebih aku cintai daripada dunia dan seluruh
isinya. Ketika Rasulullah saw. membacanya, seorang laki-laki dari kaum itu berkat, ‘selamat
lagi baik akibatnya, sungguh Allah telah menjelaskan apa yang akan diperbuat-Nya kepada
Anda, apa yang akan diperbuat kepada kami? Maka Allah menurunkan ayat setelahnya:
liyudkhilal mu’minina…hingga akhir ayat’. H.r. Ahmad, al-Musnad, III:252, No. 13.664,
Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VII:408, No. 36.937, Ibnu Hiban, Shahih Ibn Hiban, II:93,
No. 371, Abu Ya’la, al-Musnad, V:385, No. hadis 3045

Demikian pula peristiwa Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk, yaitu ketika
Allah swt menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang diterimanya
taubat Ka’ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah saw. dan para shahabat
segera memberi kabar gembira kepada Ka’ab bin Malik dan mereka (para shahabat)
mengucapkan selamat kepadanya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam hadis yang panjang
tentang kisah Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).

Tahni’ah Ied

Sebagaimana yang kita maklumi bahwa syariat Iedul Fitri dan Iedul Adha mulai diberlakukan
tahun ke-2 H. Bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di Madinah,
berarti beliau sempat melaksanakan syariat Iedul Fitri dan Iedul Adha sebanyak sembilan
kali. Iedul Fitri perdana, hari Senin, 1 Syawal 2 H/26 Maret 624 M. sedangkan iedul Fitri
terakhir hari Senin, 1 Syawal 10 H/30 Desember 631 M.

Meskipun demikian, secara periwayatan tentang doa tahniah ied, dari kesembilan kali ied itu,
kami hanya menemukan satu riwayat yang menerangkan bentuk doa khusus yang katanya
diucapkan oleh Rasulullah saw. ketika bertemu dengan sahabatnya di saat ied. Watsilah bin
al-Asqa’ berkata:

ُ ‫ يَوْ َم ِعي ٍد فَقُ ْل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫يت َرسُو َل هَّللا‬
َ‫ نَ َع ْم تَقَب ََّل هللا ِمنَّا َو ِم ْنك‬: ‫ فَقَا َل‬.َ‫ت تَقَبَّ َل هللا ُ ِمنَّا َو ِم ْنك‬ ُ ِ‫لَق‬
“Aku bertemu dengan Rasulullah saw. pada waktu Ied, aku mengucapkan: taqabbalallah
minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda). Beliau
menjawab,' Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-mudahan Allah menerima ibadah
kami dan anda)”. H.r. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, III:319, No. hadis 6088, dan Ibnu Adi,
al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271, dengan redaksi:

َ‫ نَ َع ْم تَقَب ََّل هللا ِمنَّا َو ِم ْنك‬: ‫ قَا َل‬، ‫ك‬


َ ‫يَا َرسُوْ َل هللاِ تَقَب ََّل هللا ُ ِمنَّا َو ِم ْن‬

“Wahai Rasulullah, taqabbalallah minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima


ibadah kami dan anda). Beliau menjawab, 'Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-
mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda)”

Kedua redaksi di atas diriwayatkan melalui Muhamad bin Ibrahim asy-Syami, dari Baqiyyah
bin al-Walid, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari Watsilah bin al-Asqa.

Namun hadis ini daif, bahkan maudhu’ (palsu), karena diriwayatkan oleh seorang pemalsu
hadis bernama Muhamad bin Ibrahim asy-Syami. Kata Ibnu Adi, “Dan ini adalah munkar,
saya tidak mengetahui yang meriwayatkan hadis itu dari Baqiyyah selain Muhamad bin
Ibrahim ini” (al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271).

Kata Ibnu Hiban, “Muhamad bin Ibrahim asy-Syami Abu Abdullah seorang kakek, dia
berkeliling/tinggal di Irak dan bertetangga dengan ‘abadan, dia memalsu hadis atas nama
orang-orang Syam. Tentang dia telah dikabarkan kepada kami oleh Abu Ya’la, al-Hasan bin
Sufyan, dan lain-lain: Tidak halal periwayatan darinya kecuali sekedar I’tibar (penelitian).
Kata ad-Daraquthni, ‘Dia pendusta’. Kata Abu Nu’aim, “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu
dari al-Walid bin Muslim, Syu’aib bin Ishaq, Baqiyyah, dan Suwaid bin Abdul Aziz’. Kata
Ibnu ‘Adi, ‘Munkar al-Hadits dan seluruh hadis-hadisnya tidak terpelihara’.” (Kitab Al-
Majruhin, II:301)

Dengan demikian, dapat diyakini bahwa tidak ditemukan satu bentuk doa khusus yang
diucapkan oleh Rasulullah saw. ketika bertemu dengan para sahabatnya di saat ied.

 
Demikian pula riwayat yang menyatakan sebaliknya, yaitu saling mengucapkan doa
taqabbalallah minnaa waminkum pada hari raya itu adalah perbuatan ahli kitab sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra, III:319, No. hadis 6091), Ibnul Jauzi
(al-Ilal al-Mutanahiyah, II:548), Ibnu Asakir (Tarikh Dimasyqa, XXXIV:97-98), melalui
Nu’aim bin Hammad, dari Abdul Khaliq bin Zaid, dari Makhul, dari Ubadah bin as-Shamith,
statusnya daif pula karena tiga sebab:

Pertama, rawi Ni’aim bin Hamad. Kata Ibnu Hajar, “Dia shaduq, banyak keliru” (Lihat,
Tahdzib at-Tahdzib, X:462)

Kedua, rawi Abdul Khaliq bin Zaid bin Waqid ad-Dimasyqi. Kata Imam al-Bukhari,
“Munkarul Hadits” (Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:320)

Ketiga, periwayatan Makhul dari Ubadah bin Shamith inqitha (terputus), karena Makhul
tidak pernah menerima hadis dari Ubadah. (Lihat, Jami’ at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, hal.
285)

Adapun periwayatan doa tahniah ied yang kami dapati adalah sebagai perbuatan para sahabat,
sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:

  ُ‫ال الحاَفِظ‬ َ َ‫ ق‬.‫ تَقَبَّ َل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬: ‫ْض‬ ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِذاَ إِ ْلتَقَوْ ا يَوْ َم ال ِعي ِد يَقُو ُل بَ ْع‬
ٍ ‫ضهَا لِبَع‬ َ ِ‫َكانَ أَصْ َحابُ َرسُو ِل هللا‬
‫إِسْنا َ ُدهُ َح َس ٌن‬.

Adalah para sahabat Rasulullah saw., apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya
ied, berkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa minkum. (Semoga Allah
menerima amal ibadah kami dan engkau). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

ِ ‫َر َو ْينَاهُ فِي ْال َم َحا ِملِيَا‬


‫ت بِإ ِ ْسنَا ٍد َح َس ٍن‬

"Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan." (Lihat, Fath al-
Bari Syarh Shahih al-Bari, II:446)

Keterangan:

Al-Mahamiliyat atau disebut juga al-ajzaa al-mahamiliyat dan Amali al-Mahamili, berisi
riwayat orang-orang Baghdad dan Asbahan, karya Abu Abdullah al-Husen bin Ismail bin
Muhamad al-Baghdadi al-Mahamili (w. 630 H). (Lihat, Kasyf azh-Zunun, I:588)
 

Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli dengan redaksi

‫تَقَب ََّل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬

Artinya: Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian” (Lihat, Hasyiah at-Thahawi
‘ala al-Maraqi, II:527.)

Dalam riwayat lain diterangkan dari Shafwan bin Amr as-Saksaky berkata:

‫ تَقَب ََّل هللاُ ِمنَّا‬: ‫ْر َو َع ْب َد الرَّحْ َم ِن ْبنَ عَائِ ٍذ َو ُجبَي َْر ْبنَ نُفَي ٍْر َو َخالِ َد ْبنَ َم ْعدَانَ يُقَا ُل لَهُ ْم فِي أَي َِّام األَ ْعيَا ِد‬ ُ ‫َس ِمع‬
ٍ ‫ْت َع ْب َد هللاِ ْبنَ بِس‬
ُ
‫ َويَقُوْ لوْ نَ َذلِكَ لِ َغي ِْر ِه ْم‬,‫ َو ِم ْن ُك ْم‬.

Aku mendengar Abdullah bin Bisr, Abdurahman bin 'Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin
Ma'dan bahwa pada hari-hari ied dikatakan kepada mereka Taqabbalallahu minna
waminkum, dan mereka pun mengucapkan seperti itu kepada yang lainnya.

Kata Imam as-Suyuthi, hadis ini diriwayatkan oleh al-Asbahani dalam at-Targhib wat Tarhib
I:251. (Lihat, Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani, hal. 66)

Demikian pula diterangkan oleh Muhamad bin Ziyad, ia berkata:

َ‫ تَقَب ََّل هَّللا ُ ِمنَّا َو ِم ْنك‬: ‫ْض‬


ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬ ِ ‫ت َم َع أَبِي أُ َما َمةَ ْالبَا ِهلِ ِّي َو َغي ِْر ِه ِم ْن أَصْ َحا‬
ُ ‫ فَ َكانُوْ ا إِ َذا َر َجعُوْ ا ِمنَ ْال ِع ْي ِد يَقُو ُل بَ ْع‬ ‫ب النَّبِ ِّي‬ ُ ‫ ُك ْن‬.

"Aku beserta Abu Umamah al-Bahili dan yang lainnya dari kalangan para sahabat Nabi Saw.
mereka itu apabila pulang dari shalat Ied saling mengucapkan "Taqabbalallahu minna
waminka". H.r. Ibnu Aqil, al-Fathurrabbani, VI:157

Sedangkan dalam riwayat Zahir bin Thahir dengan redaksi:

‫ْت أَبَا أُ َما َمةَ البَا ِهلِ ّي يَقُوْ ُل فِي ْال ِع ْي ِد ألَصْ َحابِ ِه تَقَب ََّل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬
ُ ‫َرأَي‬

"Aku melihat Abu Umamah al-Bahili di hari ied berkata pada para sahabatnya
"Taqabbalallahu minna waminkum". (Lihat, Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani, hal. 66)

 
Amal para sahabat itu diteladani oleh para tabi’in, antara lain sebagai berikut:

Syu'bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) berkata:

ُ‫ال لِي ِم ْثلَه‬ ُ ‫س ْبنَ ُعبَ ْي ٍد فَقُ ْل‬


َ َ‫ تَقَبَّ َل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْنكَ فَق‬: ‫ت‬ َ ُ‫ْت يُوْ ن‬
ُ ‫لَقَي‬.

Aku bertemu dengan Yunus bin Ubaid (w. 139 H) lalu aku berkata, "Taqabbalallahu minna
waminka", maka dia pun berkata seperti itu kepadaku. HR. at-Thabrani, Wushul al-Amani bi
Ushul al-Tahani, hal. 66

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan:

1. Pengamalan doa tahniah, baik iedul Fithri maupun iedul Adha, berdasarkan amal
sahabat
2. Pengamalan doa ini tidak hanya berlaku hari ied saja (hari itu saja)
3. Redaksi doa tahniah adalah Taqabbalallahu minna wa minka atauTaqabbalallahu
minna wa minkum. Sedangkan tambahan shiyamana wa shiyamakum tidak ditemukan
periwayatannya.
4. Doa ini saling diucapkan antara satu dengan yang lain ketika bertemu, bukan sebagai
jawaban. Sedangkan membalas doa ini dengan ucapan aamien tidak ditemukan
riwayatnya.
PEDOMAN SYARIAT DI SEPUTAR IED
Pembahasan pedoman syariat tentang Seputar Ied ini, kami sajikan dengan tiga sub topik
sebagai berikut:

I. Amal Sebelum Berangkat Ke Lapang

II. Amal Ketika di Perjalanan & di Tempat Salat Ied

III. Amal Setelah Salat Ied

I. Amal Sebelum Berangkat Ke Lapang

A. Menyalurkan Zakat Fitrah kepada mustahiq

Ibnu Umar berkata:

ْ
‫صالَ ِة‬
َّ ‫لى ال‬
َ ِ‫اس إ‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َم َر بِزَ َكا ِة الفِط ِر قَب َْل ُخر‬
ِ َّ‫ُوج الن‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar
(pergi) ke salat (hari raya). (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438)

Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:

ْ
ِ ‫ ُخر‬ ‫قَب َْل‬ ‫تُؤَ َّدى‬ ‫أَ ْن‬ ‫ ْالفِط ِر‬ ‫بِ َز َكا ِة‬ ‫أَ َم َر‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
ِ َّ‫الن‬ ‫ُوج‬
َّ ‫ال‬ ‫إِلَى‬ ‫اس‬
‫صاَل ِة‬ َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو َل‬ ‫أَ َّن‬

bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang
berangkat menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986;
Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:
174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud,
Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359)
 

Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :

ْ ِ‫صاَل ِة يَوْ َم ْالف‬


َّ ‫اج ال َّز َكا ِة قَ ْب َل ْال ُغد ُِّو لِل‬ ْ
‫ط ِر‬ ِ ‫َكانَ يَأ ُم ُر بِإ ِ ْخ َر‬

"Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri
sebelum pergi salat (hari raya)". (Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677)

Sesuai sunah Rasul bahwa waktu menyalurkan zakat fitrah itu pada hari raya, yaitu sejak
terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat. (keterangan lebih lengkap dapat
dibaca pada makalah sebelumnya)

B. Disunahkan mandi dan berparfum serta berpakaian dengan pakaian terbagus.

َ َ‫صلّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلّم فِي ْال ِع ْي َدي ِْن أَ ْن ن َْلب‬


‫س‬ َ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل أَ َم َرنَا َرسُوْ ُل هللا‬
ِ ‫ َر‬، ‫ ع َْن أَبِي ِه‬، ‫ع َْن زَ ْي ِد ْب ِن ْال َح َس ِن ْب ِن َعلِ ٍّي‬
‫َّب بِأَجْ َو َد َما ن َِج ُد‬ َ ‫أَجْ َو َد َما ن َِج ُد َوأَ ْن نَتَطَي‬

Dari Zaid bin Al-Hasan bin Ali, dari ayahnya (Al-Hasan bin Ali) Ra. “Rasulullah saw. telah
menyuruh kami pada hari ied agar memakai pakaian dan wewangian yang terbaik.” (HR. Al-
Hakim, Al-Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230, No. hadis 7560; Ath-Thabrani, Al-
Mu’jam Al-Kabiir, III: 91, No. hadis 2756)

Setelah meriwayatkan hadis itu melalui rawi Ishaq bin Barzakh, Al-Hakim berkata,
“Sekiranya Ishaq tidak majhul niscaya aku hukumi hadis itu berstatus shahih.” (Al-
Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230) Namun menurut Muhammad bin Ismail Ash-
Shan’ani, “Rawi itu tidak majhul, sungguh ia telah dinyatakan dha’if oleh Al-Azdiy dan
dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban.” (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, VI:
73)

Abdullah bin Umar berkata, “Umar pernah membeli baju besar terbuat dari sutra yang dijual
di pasar, lalu membawanya kepada Rasulullah saw. sambil berkata, ‘Ya Rasulullah, belilah
baju besar ini untuk memperindah diri di hari raya dan untuk menyambut tamu-tamu utusan!’
Rasulullah bersabda,
َ ‫إِنَّ َما هَ ِذ ِه لِبَاسُ َم ْن اَل خَ اَل‬.
ُ‫ق لَه‬

“Baju ini hanya untuk orang yang tidak memiliki bagian di akhirat” (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, III:1111, No. hadis 2889; Muslim, Shahih Muslim, III: 1639, No. hadis 2068)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa memperindah diri pada hari raya adalah sesuatu yang
biasa dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw. telah memberikan taqriir (ketetapan)
terhadap Umar. Adapun teguran beliau terhadap Umar dikarenakan membeli baju besar yang
terbuat dari sutra.

Dalam hadis lain diterangkan:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم َ َكانَ يَ ْلبَسُ بُرْ َدهُ اأْل َحْ َم َر فِي ْال ِعي َدي ِْن َو ْال ُج ُم َع ِة‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه أَن النَّبِي‬
ِ ‫عَن َجابر َر‬

Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada dua hari raya
dan hari Jumat.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Baihaqi, III: 247, No. 5778, III:280, No.
hadis 5931)

Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah, dari Abu Ja’far dengan redaksi:

‫َكانَ يَ ْلبَسُ بُرْ َدهُ اأْل َحْ َم َر يوم ْال ُج ُم َع ِة َويَ ْعتَ ُّم يَوْ َم ْال ِعي َدي ِْن‬

“Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari Jumat dan menggunakan sorban
pada dua hari raya.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, I: 481, No. hadis 5449)

Dalam riwayat Imam Asy-Syafi’I dan Al-Baihaqi dengan redaksi:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَ ْلبَسُ بُرْ دًا ِحبَ َرةً فِي ُكلِّ ِعي ٍد‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Rasulullah saw. memakai burdah Hibarah pada setiap hari raya.” (Musnad Asy-Syafi’i, hlm
74; As-Sunan Al-Kubra, III: 280, No. hadis 5932)

Meskipun hadis-hadis di atas dha’if bila dilihat secara mandiri, namun statusnya dapat
dijadikan hujjah, yaitu derajatnya menjadi hasan (di atas derajat dha’if, namun di bawah
derajat shahih) karena memiliki penguat dari riwayat lain sebagai berikut:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْلبَسُ يَوْ َم ْال ِعي ِد بُرْ َدةً َح ْم َرا َء‬
َ ِ ‫ َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬:‫س قَا َل‬
ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬

Dari Ibnu Abbas, ia berkata“Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari
raya.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, VII: 316, No. hadis 7609)

Kata Imam Al-Haitsami, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-
Awsath, dan rawi-rawinya tsiqaat.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id Wa Manba’ul Fawaa`id,
V:358)

Dengan demikian hendaknya seseorang memakai baju yang terbagus manakala keluar pada
hari raya.

C. Makan sebelum berangkat ke lapang

Rasulullah saw sangat menganjurkan orang yang akan berangkat menuju tanah lapang pada
hari raya iedul fitri untuk makan terlebih dahulu dan hal ini berbeda dengan hari raya idul
adha. Anjuran ini telah menjadi kebiasan amal beliau.

ٍ ‫طر َحتَّى يَأْ ُك َل تَ َمرا‬


ُّ‫ت أَ ْخ َر َجهُ البخاري‬ ْ ِ‫صلّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلّم الَ يَ ْغدُو يوْ َم الف‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
َ ‫ كانَ رسُو ُل هللا‬:‫س َرضي هَّللا ُ عنهُ قا َل‬

Dari Anas, ia berkata, ”Rasulullah saw. tidak berangkat salat pada hari iedul fithri sampai
beliau makan beberapa buah kurma.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:325, No. Hadis
910)

‫ط ِر َحتَّى يَأْ ُك َل َوالَ يَأْ ُك ُل يَوْ َم األَضْ َحى‬


ْ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ْغ ُدوْ يَوْ َم الف‬
َ ِ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن ب َُر ْي َدةَ َر‬
‫ رواه ابن ماجه والترمذي‬- ‫ َحتَّى يَرْ ِج َع‬-

Dari Buraidah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. tidak berangkat menuju mushala pada hari fitri
sehingga makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan terlebih dahulu untuk idul adha
sehingga kembali.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 558, No. hadis 1756; At-
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II: 426, No. hadis 542)

II. Amal Ketika di Perjalanan & di Tempat Salat Ied 


 

A. Dianjurkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat dan kembali dari
mushala

Rasulullah saw. membiasakan apabila berangkat menuju ke mushala (tanah lapang) pada
waktu ied, beliau menyengaja membedakan jalan yang ditempuh ketika berangkat menuju
mushala dengan jalan yang ditempuh ketika beliau kembali ke rumah. Hal itu sebagaimana
diterangkan pada hadis berikut ini:

َ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َكانَ يَوْ ُم ْال ِع ْي ِد خَ الَفَ الطَّ ِر ْي‬
‫ق‬ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر َر‬.

Dari Jabir r.a, ia mengatakan, “Nabi saw. apabila hari ied beliau suka membedakan jalan
(pergi dan pulang)” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I: 334, No. hadis 943)

Dan di dalam riwayat lain diterangkan,

‫ْق اَّل ِذي‬ِ ‫الع ْي ِد يَرْ ِج ُع فِي َغي ِْر الطَّ ِري‬
ِ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َخ َر َج إِلَى‬
َ ِ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن اَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫خَ َر َج فِ ْي ِه‬.

Dari Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, "Rasulullah saw. apabila keluar menuju Ied, beliau
kembali melalui jalan lain yang dilaluinya ketika berangkat." HR. Ahmad, Muslim dan At-
Tirmidzi, Bustan al-Ahbar Mukhtashar Nail al-Awthar, II:59

B. Takbiran

Rasulullah saw. mensunahkan takbiran pada hari raya, sejak keluar dari rumah untuk menuju
tempat salat, 

‫ط ِر َحتَّى‬ ْ ِ‫ يَوْ َم ْالف‬ ‫ال ُخرُوْ ِج ِه إِلَى ْال ِع ْي ِد‬


َ ‫صوْ تَهُ بِالتَّ ْكبِي ِْر َوالتَّ ْهلِ ْي ِل َح‬ َّ ِ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وآله وسلم َكانَ يَرْ فَ ُع‬
ْ
َ ‫يَأتِ َي ْال ُم‬
‫صلَّى‬

Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi saw. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah)
dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi salat iedul fitri hingga sampai ke lapang.
(HR. Al-Baihaqi, Nailul Authar III:355)

 
Dalam riwayat lain dengan redaksi:

َ ‫ فَيُ َكبِّ ُر َحتَّى يَأْتِ َي ْال ُم‬ ‫ط ِر‬


‫صلَّى‬ ْ ِ‫ صلى هللا عليه وسلم َكانَ يَ ْخ ُر ُج يَوْ َم ْالف‬ ِ‫أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬

“Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di
lapang” (HR. Ibnu Abu Syibah, al-Mushannaf, I:487)

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

َ ‫صلَّى َحتَّى إِ َذ‬


َ َ‫اجل‬
َ‫س ا ِإل َما ُم ت ََرك‬ َ ‫ فَيُ َكبِّ ُر َحتَّى يَأْتِ َى ال ُم‬، ُ‫ت ال َّش ْمس‬
َ ‫صلَّى ثُ َّم يُ َكبِّ ُر بِال ُم‬ ْ ِ‫صلَّى يَوْ َم الف‬
ِ ‫ط ِر إِ َذا طَلَ َع‬ َ ‫َكانَ يَ ْغ ُدوْ إِلَى ال ُم‬
‫ رواه الشافعي‬- .‫ التَّ ْكبِ ْي َر‬-

Ibnu Umar berangkat pagi-pagi menuju mushala (tanah lapang) pada hari iedul fitri apabila
terbit matahari, maka beliau bertakbir sehingga mendatangi mushala dan terus beliau
bertakbir di mushala itu, sehingga apabila imam telah duduk beliau meninggalkan takbir.
(HR. As-Syafi’I, Musnad As-Syafi’I, I: 73)

َ ‫ َع ْب ِد هللاِ ب ِْن ُع َم َر َو َغي ِْر ِه ِمنَ الص‬ ‫َّت بِ ِه ال ِّر َوايَةُ ع َْن‬


‫َّحابَ ِة‬ ْ ‫صح‬ ِ ‫َاولُهَا أَئِ َّمةُ اَ ْه ِل ال َح ِد ْي‬
َ ‫ث َو‬ ِ ‫ َوهَ ِذ ِه ُسنَّةٌ تُد‬: ‫ال ال َحا ِك ُم‬
َ َ‫ َوق‬.

Dan Al-Hakim Mengatakan, "Ini adalah sunah yang digunakan oleh para ahli hadis, dan sahih
tentang ini riwayat dari Abdullah bin Umar dan lain-lain dari kalangan sahabat." (Lihat, Al-
Mustadrak alas Sahihain, I : 298)

Adapun takbiran semalam suntuk pada malam Idul Fitri tidak ada dalilnya. Pada umumnya
berdasarkan penafsiran terhadap Surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi;

َ‫َولِتُ ْك ِملُوا ال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوْ ا هللاَ َعلَى َما هَدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.

Hemat kami, ayat di atas tidak tepat dijadikan landasan bertakbiran malam ied, bahkan tidak
ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling
dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan.

 
Sedangkan bertakbir pada iedul adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13
dzulhijjah.

ِ ‫صالَةَ ْال َعصْ ِر‬


‫آخ َر‬ َ ‫صالَةَ ْال َغدَا ِة َويَ ْقطَ ُعهَا‬ َّ ِ‫ار أَ َّن النَّب‬
َ ‫ صلى هللا عليه وسلم… َو َكانَ يُ َكبِّ ُر ِم ْن يَوْ ِم ع ََرفَةَ بَ ْع َد‬ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن َعلِ ٍّي َو َع َّم‬
‫ْق‬ ْ َّ َ
ِ ‫أي َِّام التش ِري‬ 

Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah
salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah).
(HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak, I:439; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:312)

Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika berkumpul di
masjid atau di rumah masing-masing atau berbagai kesempatan lainnya, sebagaimana
diamalkan oleh Ibnu Umar:

‫ تِ ْلكَ ْاألَيَّا َم َج ِم ْيعًا‬ ُ‫اط ِه َو َمجْ لِ ِس ِه َو َم ْم َشاه‬


ِ َ‫اش ِه َو فِ ْي فُ ْسط‬
ِ ‫ فِ َر‬ ‫ت َو َعلَى‬ َّ ‫تِ ْلكَ ْا ألَ يَّا َم َوخ َْلفَ ال‬  ‫ يُ َكبِّ ُر بِ ِمن ًى‬ ‫َو َكانَ ابْنُ ُع َم َر‬
ِ ‫صلَ َوا‬

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu),
di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu
seluruhnya"  (HR. Al-Bukhari)

B.1. Cara  bertakbiran

Takbir hari raya terus dilakukan sejak keluar dari rumah menuju mushala (lapangan) sebelum
dilakukan salat dan biasanya dilakukan dengan cara saling berganti, satu atau dua orang
bertakbir, dan setelah itu lalu orang bersama-sama takbir. cara bertakbir seperti ini boleh
dilakukan bahkan sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah saw. berdasarkan hadis
sebagai berikut:

ُ‫و ْال ُحيَّض‬....‫ى‬


َ ‫ط ِر َوالألَضْ َح‬ ْ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن نُ ْخ ِر َجه َُّن فِي الف‬ َ ِ‫ أَ َم َرنَا َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ت‬ْ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا قَال‬ِ ‫ أُ ِّم َع ِطيَّةَ َر‬ ‫َوع َْن‬
َ ‫ ُكنَّا نُأْ َم ُر أَ ْن نُ ْخ ِر َج ْال ُحي‬: َ‫َطيَّة‬
‫ نيل‬- .‫َّض فَيُ َكبِّرْ نَ بِتَ ْكبِي ِْر ِه ْم‬ ِ ‫ت اُ ُّم ع‬
ْ َ‫ قَال‬: ‫ي‬ ِ ‫ َولِ ْلبُ َخ‬.‫اس‬
ِّ ‫ار‬ ِ َّ‫يَ ُك ْن َخ ْلفَ الن‬
ِ َّ‫اس يُ َكبِّرْ نَ َم َع الن‬
349 : 3 ،‫ األوطار‬- 

Dari Umi Athiyah r.a, ia mengatakan,"Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk


mengeluarkan mereka pada hari raya iedul fitri dan adha....,dan perempuan-perempuan yang
haid dibelakang orang-orang, mereka bertakbir dengan orang-orang. - Adapun menurut
riwayat Al-Bukhari - Umu Athiyah telah berkata,"Kami diperintah mengeluarkan perempuan-
perempuan yang haid, maka mereka bertakbir dengan takbirnya orang-orang.” (Lihat, Nailul
Authar, III : 349)
 

Selain itu perintah untuk bertakbir itu bentuknya mutlak, artinya tidak ada batasan dan
ketentuan, pada  pokoknya bertakbir baik  sendirian, bersama-sama atau saling bergantian,
kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan membaca takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi
perintah atau anjuran bertakbir.

B.2. Lafal Takbir

Ibnu Hajar menjelaskan:

‫ َكبِّرُوْ ا هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر‬:‫ْح ع َْن َس ْل َمانَ قَا َل‬ ِ ‫صحُّ َما َو َر َد فِ ْي ِه َما أَ ْخ َر َجهُ َع ْب ُد ال َّر َّز‬
َ ‫اق بِ َسنَ ٍد‬
ٍ ‫ص ِحي‬ َ َ ‫ص ْي َغةُ التَّ ْكبِي ِْر فَأ‬
ِ ‫َوأَ َّما‬
...‫َكبِ ْيرًا‬

Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadis yang ditakhrij oleh
Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar, kabira. (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Rayan li al-
Turats, Kairo, 1986, II: 536)

Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan

‫َوقِ ْي َل يُ َكبِّ ُر ثِ ْنتَ ْي ِن بَ ْع َدهُ َما ال إله إال هَّللا و هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر وهَّلل ِ ْال َح ْم ُد َجا َء ذلِكَ ع َْن ُع َم َر َوابْنُ َم ْسعُوْ ٍد‬

“Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha
illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar
dan Ibnu Mas’ud. (Lihat, Fathul Bari, Dar al-Rayan li al-Turats, Kairo, 1986, Jilid 2, hal.
536)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal takbir (sesuai dengan amal sahabat) hanya 2
macam:

(1)   Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiran.

(2)   Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar
Walillahilhamd.

 
Sedangkan yang memakai lafal tambahan lain selain keterangan diatas, di dalam Fath al-Bari
diterangkan: Laa asla lahu (tidak mempunyai sumber sama sekali), yaitu:

 Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiira dengan tambahan wa
lillaahilhamdu
 Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallaah wahdahu laa
syariikalah
 Lafal panjang sebagai berikut

‫صينَ له ال َّد ْينَ َولَوْ َك ِرهَ ْال َكافِرُونَ اَل‬ ِ ِ‫صياًل هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر َواَل نَ ْعبُ ُد إاَّل هَّللا َ ُم ْخل‬
ِ َ‫هَّللا ُ أَ ْكبَ ُر َكبِيرًا َو ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َكثِيرًا َو ُس ْب َحانَ هَّللا ِ بُ ْك َرةً َوأ‬
‫اب َوحْ َدهُ اَل إلَهَ إاَّل هَّللا ُ َوهَّللَا ُ أَ ْكبَ ُر‬
َ ‫ص َر َع ْب َدهُ َوهَزَ َم اأْل َحْ َز‬ َ َ‫ق َو ْع َدهُ َون‬ َ ُ‫إلَهَ إاَّل هَّللا ُ َوحْ َده‬
َ ‫ص َد‬

C. Melaksanakan Salat ‘Ied

C.1. Waktu Salat ‘Ied

Awal waktu salat ‘ied ialah setelah meningginya matahari, kira-kira setinggi tombak (sekitar
jam 7 pagi), berdasarkan hadis Abdullah bin Busr, ketika beliau menegur keterlambatan
imam seraya berkata,

ِ ِ‫ قَ ْد فَ َر ْغنَا َسا َعتَنَا هَ ِذ ِه َو َذلِكَ ِحينَ التَّ ْسب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫إِنَّا ُكنَّا َم َع النَّبِ ِّى‬. 
‫يح‬

“Sesungguhnya kami dahulu bersama Nabi saw. sebenarnya sudah selesai shalat ‘ied seperti
pada waktu sekarang, yaitu pada waktu shalat sunnah.” H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I:295, No. 1135; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:418, No. 1317; Al-Baihaqi, As-Sunan al-
Kubra, III:282, No. 5943; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:434, No. 1092

ِ ‫ ِح ْينَ التَّ ْسبِي‬yakni pada waktu shalat sunnah, yaitu


Ibnu Hajar  berkata, “Ungkapannya:   َ‫ْح َو َذلِك‬
jika waktu makruh shalat sudah berlalu, dalam riwayat shahih milik ath-Thabrani disebutkan:
“Yaitu, ketika waktu shalat sunnah dhuha”. [Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
II:529].

Yang utama ialah menyegerakan shalat ‘Iedul ‘Adhha jika matahari sudah naik kira-kira
setinggi tombak [Lihat, Irwaa‘ al-Ghalil, karya al-Albani, III:100-101].
 

Hal tersebut disebabkan karena pada setiap hari raya terdapat amalan tersendiri. Amalan hari
raya ‘Iedul ‘Adhha adalah berkurban, dan waktunya setelah pelaksanaan shalat. Maka pada
penyegeraan shalat ‘Iedul ‘Adhha terkandung keluasan untuk pelaksanaan qurban. [Lihat,
al-Mughni, III:267].

C.2. Salat ‘Ied dilakukan sebelum khutbah.

ْ ‫صلُّونَ ْال ِعي َدي ِْن قَ ْب َل ْال ُخ‬


‫ َر َواهُ ْال َج َما َعةُ إاَّل أَبَا‬. ‫طبَ ِة‬ َ ُ‫ َكانَ َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم َوأَبُو بَ ْك ٍر َو ُع َم ُر ي‬: ‫ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل‬
‫ دَا ُود‬. 

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw. Abu Bakar, dan Umar melaksanakan
salat ‘Ied sebelum khutbah.” H.r. Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud

C.3. Tidak Ada Adzan dan Iqamat Dalam Shalat ‘Ied.

‫ َر َواهُ أَحْ َم ُد‬. ‫ان َواَل إقَا َم ٍة‬


ٍ ‫ْت َم َع النَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم ْال ِعي َد َغ ْي َر َم َّر ٍة َواَل َم َّرتَ ْي ِن بِ َغي ِْر أَ َذ‬
ُ ‫صلَّي‬
َ : ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َس ُم َرةَ قَا َل‬
ِّ َ
ُّ‫ َو ُم ْسلِ ٌم َوأبُو دَا ُود َوالترْ ِم ِذي‬ 

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, ”Aku salat ‘Ied bersama Rasulullah saw bukan sekali dua
kali dengan tanpa adzan dan iqamah.” (H.r. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi)

C.4. Tidak ada Salat sunat qabliyah (sebelum) dan ba'diyah (setelah) salat Ied

Ada beberapa keterangan yang katanya menunjukkan bahwa para sahabat ada yang
melaksanakan salat qabliyah atau ba'diyah salat ied, namun semua keterangan itu daif.
Sedangkan berdasarkan hadis sahih adalah sebagaimana amaliyah Rasulullah saw. sebagai
berikut:

َ ُ‫ لَ ْم ي‬ ‫صلَّى َر ْك َعتَ ْي ِن‬


- .‫ص ِّل قَ ْبلَهُ َما َوالَ بَ ْع َدهُ َما‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَوْ َم ِع ْي ٍد ف‬
َ ‫ خَ َر َج النَّبِ ُّي‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما قَا َل‬
ِ ‫س َر‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
‫ رواه الجماعة‬-
Dari Ibu Abbas r.a, ia mengatakan, "Nabi Saw. keluar pada hari ied dan beliau salat dua
rakaat yang beliau tidak salat sebelum ataupun sesudahnya” H.r.Al-Jamaah

C.5. Takbir Pada Salat ied

Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah Takbir di dalam salat Ied, ada dua macam. Ada
yang lemah dan ada pula yang kuat dan dapat dijadikan hujjah.

Hadis yang kuat adalah takbir 7 kali pada rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram
dipermulaan) dan 5 kali pada rakaat kedua (termasuk takbir ketika bangkit dari sujud kedua
menuju rakaat kedua). Adapun hadisnya melalui sanad dari Amr bin Syua'aib, dari bapaknya,
dari kakeknya. :

ِ ‫ َس ْبعًا فِي األُوْ لَى َو َخ ْمسًا فِي‬،ً‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكبَّ َر في ِع ْي ٍد ثِ ْنت َْي َع ْش َرةَ تَ ْكبِ ْي َرة‬
‫اآلخ َر ِة‬ َّ ِ‫إِ َّن النَّب‬.
َ ‫ي‬

Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada salat Ied dua belas takbir, yaitu tujuh pada rakaat
pertama dan lima pada rakaat ke dua

Keterangan:  Amr menerima hadis dari bapaknya yaitu Syu'aib, dan Syu'aib menerima hadis
ini dari kakeknya yaitu Abdullah, sebagaimana tercatat pada kitab Abu Dawud.

Perihal hadis ini Ad-Dzahabi menerangkan bahwa Syu'aib itu sezaman dengan kakeknya
(Abdullah bin Amer bin Al-Ash) dan mendengar (belajar) daripadanya. Dengan demikian
hadis tersebut tidak mursal alias mausul (bersambung) sandanya hingga Nabi saw.

Hadis dengan matan tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dan yang
semakna (semacam) dengan itu diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ad-Daraqutni
dengan lapal sebagai berikut :

ِ ‫ط ِر َس ْب ٌع فِي األُول َى َو َخ ْمسٌ فِي‬


‫ َوالقِ َرا َءةُ بَ ْع َدهُ َما ِك ْلتَ ْي ِه َما‬،‫اآلخ َر ِة‬ ْ ِ‫ اَلتَّ ْكبِي ُر فِي الف‬: ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ق‬.

Nabi saw. bersabda, "Takbir pada salat Iedul Fitri itu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada
rakaat akhir, dan bacaan (Fatihah dan Surat lain) setelah keduanya pada keduanya."
 

Imam Ahmad dan Ali bin Al-Madini menyatakan bahwa hadis ini sahih. Dan Imam Ahmad
berkata, "Dan aku berpegang terhadap hadis ini" (Lihat, Fiqh as-Sunah, II : 270)

Sayid Sabiq menerangkan, "Bahwa takbir tujuh-lima adalah pendapat yang paling kuat dan
menjadi pendirian kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan Sahabat, Tabi'in ataupun Imam-
imam. (Lihat, Fiqh as-Sunah, III : 270)

Sedangkan apabila ada yang beramal takbir satu kali sebagaimana salat pada umumnya, maka
tidak ada dalilnya sama sekali walau sekedar yang lemah.

C.6. Bacaaan di antara Takbir Pada Salat ied

Tidak ada hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi saw membaca do‘a atau dzikir tertentu
ketika diam antara jumlah takbir shalat ‘ied. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah saw. [Lihat, Tamamul Minnah, al-Albani, 349-350].

C.7. Salat ied lebih utama di Mushala (lapang/tempat terbuka)

Rasulullah memerintahkan kepada seluruh para sahabatnya agar keluar dan mengeluarkan
siapa pun termasuk perempuan-perempuan pingitan atau yang sedang haid, agar menuju
mushala. Dan mushala yang dimaksud pada saat itu adalah sebuah tanang lapang yang ada
dipinggiran kota Madinah sebelah timur.

Tidak terdapat keterangan yang sahih bahwa selama 9 kali Rasulullah saw. mengalami iedul
fitri, beliau menjalankan salat ied di masjid. Demikian pula halnya dengan para sahabat
beliau. Ini menunjukkan bahwa salat ied di tanah lapang lebih utama karena sesuai dengan
sunah Rasul. Adapun hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. salat dimesjid karena
pada saat itu terjadi hujan hadisnya daif. Adapun redaksinya sebagai berikut.
َ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ َ‫صالَة‬
‫الع ْي ِد فِي‬ َ ‫صلَّى بِ ِه ُم النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهَ أَنَّهُ ْم أ‬
َ َ‫ ف‬، ‫صابَهُ ْم َمطَ ٌر فِي يَوْ ِم ِع ْي ٍد‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫ رواه ابو داود وابن ماجة والحاكم‬- .‫ال َم ْس ِج ِد‬.

Dari Abu Huraerah r.a, sesungguhnya Nabi saw. pernah ditimpa hujan pada hari ied, maka
Nabi saw. salat mengimami mereka salat ied tersebut di mesjid. H.r. Abu Daud, Ibnu Majah
dan al-Hakim

Hadis ini daif (lemah sekali) Adz-Dzahabi mengatakan, "Hadis ini munkar". Ibnu Hajar Al-
Asqalani mengatakan, "Pada sanadnya terdapat kelemahan" (Lihat, Fiqh as-Sunah, I: 268)

D. Menyimak Khutbah Setelah Salat Ied

Termasuk Sunnah Nabi ialah melaksanakan khutbah setelah shalat ‘ied. Dari sahabat
Abdullah bin ‘Abbas berkata (artinya), “Aku pernah ikut shalat ‘ied bersama Rasulullah saw.,
Abu Bakar, ‘Umar dan Usman. Mereka semua mengerjakan salat sebelum khutbah. [H.r. Al-
Bukhari dan Muslim]

Mendengarkan khutbah ‘ied meskipun hukumnya tidak wajib, namun alangkah ruginya
apabila tidak disimak dengan sebaik-baiknya. Dari Abdullah bin as-Sa’ib, dia berkata
(artinya), ”Aku pernah menghadiri ‘ied bersama Nabi saw, ketika selesai salat beliau
bersabda, ‘Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barangsiapa ingin duduk untuk
mendengarkannya, dipersilahkan untuk duduk’ [H.r. Abu Dawud dan Ibnu Majah].

III. Amal Setelah Salat Ied

Dianjurkan untuk saling bertahniah (ucapan selamat). Hal itu berdasarkan amaliah
(perbuatan) para sahabat sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:

ُ‫ال الحاَفِظُ إِسْنا َ ُده‬


َ َ‫ ق‬.َ‫ تَقَبَّ َل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْنك‬: ‫ْض‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِذاَ إِ ْلتَقَوْ ا يَوْ َم‬
ُ ‫العي ِد يَقُو ُل بَ ْع‬
ٍ ‫ضهَا لِبَع‬ َ ِ‫َكانَ أَصْ َحابُ َرسُو ِل هللا‬
‫ح َس ٌن‬. َ
Adalah para sahabat Rasulullah saw., apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya
ied, berkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah
menerima amal ibadah kami dan engkau).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

ِ ‫َر َو ْينَاهُ فِي ْال َم َحا ِملِيَا‬


‫ت بِإ ِ ْسنَا ٍد َح َس ٍن‬

"Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan." (Fathul Bari,
II:446)

Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli (Lihat, Hasyiah at-Thahawi ‘ala al-Maraqi, II:527)
dengan redaksi

‫تَقَب ََّل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬

(Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau)

Pembahasan tentang Tahniah Ied secara lengkap insya Allah disampaikan pada makalah
terpisah.

Ucapan: Minal ‘Aidzin Wal Faizin

Bagaimana jika doa tahniah di atas diganti dengan doa lain seperti Minal 'aidzin wal faidzin 
atau doa lain-lain ? Hingga saat ini kami belum menemukan dari mana sebenarnya lafal
Minal Aidzin Wal Faiziin atau doa – doa yang lain berasal.

Sayang sekali jika sebagian dari kita mempergunakannya dalam perayaan iedul fitri, terlebih
lagi jika disertai niat bahwa ucapan tersebut merupakan sunah, dan lebih memprihatinkan lagi
bila disangka bahwa lafal itu bermakna “Mohon Maaf Lahir & Batin” Karena itu marilah kita
masyarakatkan doa tahniah yang diamalkan para sahabat di atas agar lebih sesuai dengan
sunah Rasul saw. 
PEDOMAN ZAKAT FITRAH (BAGIAN I)
Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami
Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan
Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan
bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban
mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat Iedul
fitrinya.

Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat
183-184 surat al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya
shaum bulan Ramadhan. Tak lama kemudian, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula, tepatnya
2 hari menjelang Iedul fitri di tahun itu, mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin.
(Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh at-Tirmidzi, III:278; Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-
Maraam, III:371)

Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:

ِّ‫ير َعلَى ُكل‬ ٍ ‫صاعًا ِم ْن َش ِع‬ َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَو‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ض زَ َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ‫ُح ٍّر أَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى ِم ْن ْال ُم ْسلِ ِمين‬

“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas
orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba
sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678,
No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra,
II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadis 1494, Al-
Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No. hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu
Hibban, VIII: 94, No. hadis 3301)

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1433),
Ahmad (Musnad Ahmad, II:137, No. hadis 6214), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:112,
No. hadis 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, III:61, No. hadis 676) dengan sedikit
perbedaan redaksi.
 

Zakat ini dinamakan zakat fitri, zakat Ramadhan, atau zakat Shaum. Meskipun begitu, yang
lebih popular di masyarakat kita sebutan zakat fitrah.

Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri

A.Pengertian Zakat

Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Kata
itu mengacu pada kesucian diri yang diperoleh setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah
kebaikan hati yang dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai
harta kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.

Sedangkan secara istilah para ulama fikih telah menjelaskan pengertian zakat sebagai berikut:

‫ص لِ ُم ْستَ ِحقِّ ِه‬


ٍ ْ‫ص بِ َوضْ ٍع َم ْخصُو‬
ٍ ْ‫ال َم ْخصُو‬ ٍ ْ‫ال َّز َكاةُ ِه َي إِ ْعطَا ُء ج ُْز ٍء َم ْخصُو‬
ٍ ‫ص ِم ْن َم‬

“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan
yang khusus bagi mustahiqnya”.

Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan
tertentu pula. Firman Allah Swt.:

‫ك َس َك ٌن لَهُ ْم َوهَّللا ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم‬


َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّكي ِه ْم بِهَا َو‬
َ ‫صلِّ َعلَ ْي ِه ْم إِ َّن‬
َ َ‫صاَل ت‬

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.s. At-
Taubah:103

Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda.  Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda
mereka.
 

B. Pengertian Fitrah atau Fitri

Meski di dalam hadis-hadis Nabi Saw. penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah
zakat fitri, namun terkadang digunakan pula istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini
yang lebih populer di kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting
pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.

(a) Zakat Fitrah

Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di
antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan
manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian
tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat 30:

ِ َّ‫ق هَّللا ِ َذلِكَ الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫اس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل‬ ْ ِ‫فَأَقِ ْم َوجْ هَكَ لِلدِّي ِن َحنِيفًا ف‬ 
َ َّ‫ط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬

 “Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:

‫ْت بِ َربِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى َش ِه ْدنَا أَ ْن تَقُولُوا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة إِنَّا‬


ُ ‫ُور ِه ْم ُذ ِّريَّتَهُ ْم َوأَ ْشهَ َدهُ ْم َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَس‬ َ ُّ‫َوإِ ْذ أَ َخ َذ َرب‬
ِ ‫ك ِم ْن بَنِي آ َد َم ِم ْن ظُه‬
َ‫ُكنَّا ع َْن هَ َذا غَافِلِين‬

dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" Q.s. Al-
A’raf:172

 
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa
potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang
disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi saw. bersabda:

‫ص َرانِ ِه أَوْ يُ َم ِّج َسانِ ِه‬ ْ ِ‫َلى ْالف‬


ِّ َ‫ط َر ِة فَأَبَ َواهُ يُهَ ِّودَانِ ِه أَوْ يُن‬ َ ‫ُكلُّ َموْ لُوْ ٍد يُوْ لَ ُد ع‬

“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia
Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:465, No. hadis
1319)

Berdasarkan pemaknaan kata Fitrah di atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini
disebut zakat fitrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badannya
dan kefitrahan pada jasadnya. (Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-
Maraam, juz 4, hlm. 135)

(b)Zakat Fitri

Kata fitr makna asalnya adalah robek atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara
Naabul Ba’iir, artinya terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan
pula dalam firman Allah Swt.

ْ ‫إِ َذا ال َّس َما ُء ا ْنفَطَ َر‬


‫ت‬

“Apabila langit terbelah.” (QS. Al-Infithar, :1)

Berdasarkan pemaknaan kata Fitri di atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat
fitri karena seakan-akan orang yang shaum “merobek atau membelah” masa shaumnya
dengan makan.

Dengan demikian, zakat ini disebut zakat fitri karena yang menjadi sebab pensyariatannya
adalah berbuka dari shaum pada bulan Ramadhan, penisbatan zakat kepada kata fitri
merupakan bentuk penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab).
(Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371)

 
Ketentuan Zakat Fitrah

Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain menyebut istilah, Nabi saw. pun menetapkan beberapa
aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:

Pertama, muzakki Zakat Fitrah/yang terkena kewajiban

Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah
tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang
pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang
telah bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya,
baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya.

Di dalam hadis diterangkan:

ِّ‫صاعًا ِم ْن َش ِعي ٍْر َعلَى ْال َع ْب ِد َو ْالحُر‬


َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر اَو‬ َ ‫ط ِر‬ ْ ِ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم زَ َكاةَ ْالف‬ َ ‫ فَ َر‬: ‫قَا َل ابْنُ ُع َم َر‬
َ ِ‫ض َرسُوْ ُل هللا‬
ُ
‫صالَ ِة‬ َّ ‫اس اِلَى ال‬ ِ ْ‫ص ِغي ِْر َو ْال َكبِي ِْر ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َواَ َم َر اَ ْن تُ َؤ َّدي قَب َْل ُخرُو‬
ِ َّ‫ج الن‬ َّ ‫َوال َّذ َك ِر َواأل ْنثَ ْى َوال‬

Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau
satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan,
anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan 
sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:547, No. hadis 1432)

Dalam riwayat lain diterangkan oleh Al-Hasan Al-Bishri:

ٍ ‫ضهُ ْم إِلَى بَع‬


‫ْض‬ ُ ‫صوْ ِم ُك ْم قَا َل فَ َج َع َل النَّاسُ يَ ْنظُ ُر بَ ْع‬ َ َ‫ضانَ فَقَا َل يَا أَ ْه َل ْالبَصْ َر ِة أَ ُّدوا َز َكاة‬ َ ‫آخ ِر َر َم‬ ِ ‫اس‬ َ َّ‫س فِي الن‬ ٍ ‫ب ابْنُ َعبَّا‬ َ َ‫خَ ط‬
َ‫ص َدقَة‬َ ‫ض‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم فَ َر‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ُول‬ َ ِّ ُ ْ َ
َ ‫فَقَا َل َم ْن هَاهُنَا ِم ْن أ ْه ِل ال َم ِدينَ ِة قو ُموا فَ َعل ُموا إِ ْخ َوانَ ُك ْم فَإِنَّهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمونَ أ َّن َرس‬
ْ ُ ‫أْل‬ َّ ْ ْ
‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر َعلَى ال َع ْب ِد َوالحُرِّ َوالذ َك ِر َوا نثَى‬ َ ْ‫ير أَو‬
ٍ ‫صاعًا ِم ْن َش ِع‬ َ ْ‫اع ِم ْن بُ ٍّر أَو‬ َ َ‫ضانَ نِصْ ف‬
ٍ ‫ص‬ َ ‫َر َم‬

“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang-orang pada akhir bulan Ramadhan, lalu ia berkata,
‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-
Thawil) berkata, ‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya.’ Ibnu
Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah,
ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa
Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak, orang merdeka, laki-laki dan wanita
pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha'
kurma. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadis 3291)

Pada riwayat yang lain dengan redaksi:

‫اع ِم ْن‬
ٍ ‫ص‬َ َ‫ير َو ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ِد َوال َّذ َك ِر َواأْل ُ ْنثَى نِصْ ف‬
ِ ِ‫ير َو ْال َكب‬ ْ ِ‫ص َدقَةَ ْالف‬
ِ ‫ط ِر َعلَى الص َِّغ‬ َ ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ ‫ض‬
ٍ ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَوْ َش ِع‬
‫ير‬ َ ْ‫بُ ٍّر أَو‬

Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitri atas anak kecil dan orang dewasa, yang merdeka
dan hamba sahaya, lelaki dan perempuan, sebanyak setengah Sha' gandum atau satu Sha'
kurma atau sya'ir (jenis gandum)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, III:190, No. hadis 1580,
V:52, No. hadis 2515, As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2292; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-
Daraquthni, II:152, No. hadis 65)

Kata Ash-Shagiir (anak kecil) mencakup di dalamnya bayi yang masih berada didalam
kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat
bulan. Sehubungan dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi anak kecil, orang
dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah

ْ ِ‫ ْالف‬ َ‫ص َدقَة‬
‫ط ِر ع َِن ْال َحب ِْل‬ َ ‫ يُ ْع ِط ْي‬  َ‫أَ َّن ع ُْث َمانَ َكان‬

“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung.”
(Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432, No. 10.737)

Demikian pula dengan para sahabat lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Abu Qilabah.

‫ط ِن أُ ِّم ِه‬
ْ َ‫ص ِغي ِْر َو ْال َكبِي ِْر َحتَّى َعلَى ْال َح ْب ِل فِي ب‬ ْ ِ‫ْجبُهُ ْم أَ ْن يُ ْعطُوْ ا َز َكاةَ ْالف‬
َّ ‫ط ِر ع َِن ال‬ ِ ‫ع َْن أَبِ ْي قِالَبَةَ قَا َل َكانَ يُع‬

Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk
mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan  yang masih dalam
kandungan. (HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319, No. hadis 5788)
PEDOMAN ZAKAT FITRAH (BAGIAN II)
Kedua, besaran minimal yang diwajibkan

Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’), sebagaimana
diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

‫صاعًا ِم ْن َش ِعي ٍْر َعلَى ْال َع ْب ِد َو ْالحُرِّ َوال َّذ َك ِر َواألُ ْنثَ ْى‬
َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر اَو‬ ْ ِ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َز َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر‬ َ ‫فَ َر‬
َ ِ‫ض َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫َوالص َِّغي ِْر َو ْال َكبِي ِْر ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬

"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair
(gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan
dewasa dari kalangan muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis
1432)

Perlu diketahui bahwa Shaa’ itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, 
seperti halnya liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun
yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter
beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg, karena akan
mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya.

Adapun shaa' yang dimaksud di dalam hadis di atas ialah shaa' nabawi, yaitu shaa' yang
berlaku di zaman Nabi saw.  Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka dapat diperoleh
hasil sebagai berikut:  1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan satuan isi, maka
beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan sama.

Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat jenis, maka hasilnya dapat beragam.
Dalam konteks inilah kita dapat memahami apabila para ulama berbeda pendapat tentang
ukuran satu shaa’ sebagai berikut:

Menurut satu pendapat, satu shaa' nabawi sebanding dengan 480  mitsqaal biji gandum yang
bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan
2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul Mumti' ,
VI:176)
 

Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam, satu shaa' nabawi adalah empat
mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan
3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram,  III:178)

Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’
sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (Lihat, At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu shaa’
berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram  (3 Kg).

Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang dikeluarkan oleh muzakki pada
hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-
masing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang
lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”,
misalnya. Karena itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang
rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.

Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah (satuan harga) maka disesuaikan
dengan harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah,
besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang
berlaku saat itu.

Ketiga, apakah makanan pokok menjadi syarat sah zakat fitrah?

Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan mendapatkan bahwa zakat fitrah itu
berupa tha’aam (makanan). Adapun hadis-hadis itu sebagai berikut: 

َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَو‬
ٍ ‫صاعًا ِم ْن َش ِع‬
‫ير‬ ْ ِ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم زَ َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر‬ َ ِ ‫ض َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل فَ َر‬

Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau
satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al-Bukhari,  Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
‫صاعًا ِم ْن‬ َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَو‬ َ ‫اس‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬ ْ ِ‫ض َز َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ِ ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
ُ
َ‫ير َعلَى ُكلِّ ُح ٍّر أَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬
ٍ ‫َش ِع‬

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau
satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki,
perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Dari hadis-hadis di atas kita dapat mengetahui bahwa bahwa Rasulullah saw. menetapkan
zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum.

Apabila hadis-hadis diatas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan
menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas
jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata Tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy
tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan
terperinci) pada hadis-hadis di atas.

Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu, maka zakat fitrah dengan beras atau jagung
pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan
dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang).

Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa zakat fitrah wajib
dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?

Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya
bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish
(keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi muzakki (wajib zakat) dan
mustahiq (penerima zakat) di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan
sebagai berikut:

Pertama, dari sisi Muzakki

 
Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara
umum. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah
yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut:

‫ع ِم ْن‬ َ ْ‫ع ِم ْن تَ ْم ٍر أَو‬


ٌ ‫صا‬ َ : ‫ط ِر يَقُو ُل‬
ٌ ‫صا‬ ْ ِ‫ص َدقَةَ ْالف‬َ ‫ض‬ َ ‫ْت َرسُو َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ِحينَ فَ َر‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل‬
‫ير َم َكانَ التَّ ْم ِر‬
ٍ ‫صا َع َش ِع‬ ْ َ‫ فَ َكانَ ابْنُ ُع َم َر الَ ي ُْخ ِر ُج إِالَّ التَّ ْم َر فَفَنِ َي تَ ْم ُرهُ عَا ًما ف‬: ‫ير قَا َل‬
َ ‫أخ َر َج‬ ٍ ‫َش ِع‬

“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. ketika mewajibkan zakat
fitrah, beliau bersabda, ‘Satu sha' kurma, atau satu shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu
Umar Ra. bila berzakat tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun
ketika kurmanya rusak ia mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti kurma.” HR.
Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440)

Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi sebagai berikut:

ً‫اح َدةً فَإِنَّهُ أَ ْخ َر َج َش ِعيرا‬ ْ ِ‫أَ َّن َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ ُع َم َر َكانَ الَ ي ُْخ ِر ُج فِي َز َكا ِة ْالف‬
ِ ‫ط ِر إِالَّ التَّ ْم َر إِالَّ َم َّرةً َو‬

“Sesungguhnya Ibnu Umar Ra. dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluarkan yang lain
selain kurma kecuali satu kali, ia mengeluarkan gandum.” HR. Malik, Al-Muwatha :222, No.
778)

‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما يُ ْع ِطي التَّ ْم َر فَأ َ ْع َوزَ أَ ْه ُل ْال َم ِدينَ ِة ِم ْن التَّ ْم ِر فَأ َ ْعطَى َش ِعيرًا‬
ِ ‫فَ َكانَ ابْنُ ُع َم َر َر‬ 

“Ibnu Umar Ra. bila berzakat dia memberikannya dengan kurma. Kemudian penduduk
Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu Umar mengeluarkan gandum.” HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:549, No. 1440; As-Sunan al-Kubra, IV:160, No. 7467)

 Dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan redaksi:

َ ‫فَأ َ ْع َو َز أَ ْه ُل ْال َم ِدينَ ِة التَّ ْم َر عَا ًما فَأ َ ْعطَى ال َّش ِع‬
‫ير‬

“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma pada suatu tahun, kemudian ia
memberikan gandum.” (Lihat, Sunan Abu Dawud, II:113, No. 1615; As-Sunan al-Kubra,
IV:164, No. 7468)

Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam al-Baji berkata:


‫ط ِر ِإاَّل التَّ ْم َر ؛ أِل َنَّهُ َكانَ قُوتَهُ َوقُوتَ أَ ْه ِل بَلَ ِد ِه بِ ْال َم ِدينَ ِة فَلِ َذلِكَ َكانَ يَ َرى أَ ْن اَل يُجْ ِزيَهُ َغي َْر التَّ ْم ِر‬ ْ ِ‫قَوْ لُهُ َكانَ اَل ي ُْخ ِر ُج فِي زَ َكا ِة ْالف‬
ُ‫ض ُل ِم ْنه‬ َ ‫وت بِ ِه ؛ أِل َنَّهُ َكانَ يَ َرى أَ َّن التَّ ْم َر أَ ْف‬ ُ ُ‫ير َويَق‬ ِ ‫إخ َرا ِج ِه َويُحْ تَ َم ُل أَنَّهُ َكانَ ي ُْخ ِر ُجهُ َم َع التَّ َم ُّك ِن ِم ْن ال َّش ِع‬ْ ‫ص ُر َعلَى‬ ِ َ‫َو َكانَ يَ ْقت‬
ُ ‫ض ُل أَ ْق َواتِ ِه ْم ؛ أِل َنَّهُ اَل يَ َكا ُد يُ ْقت‬
‫َات‬ َ ‫ي أَ ْن ي ُْخ َر َج بِ ْال َم ِدينَ ِة التَّ ْم ُر َو َوجْ هُ َذلِكَ أَنَّهُ أَ ْف‬
َّ َ‫َوإِ ْن َكانَ ال َّش ِعي ُر يُجْ ِزي ِه َوقَ ْد قَا َل أَ ْشهَبُ أَ َحبُّ إل‬
‫ح فَنَا ِد ٌر‬ِ ‫ات ْالقَ ْم‬ُ َ‫فِيهَا إِاَّل التَّ ْم ُر أَوْ ال َّش ِعي ُر َوأَ َّما ا ْقتِي‬

“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluarkan yang lain
selain kurma,’ karena kurma adalah makanan pokoknya dan makan pokok penduduk
Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa zakat fitri itu tidak memadai dengan yang lain
selain kurma, dan ia membatasi zakat fitri hanya pada kurma. Dan dapat dimaknai pula
bahwa, ia mengeluarkan kurma—padahal gandum pun berkedudukan sebagai makanan
pokoknya—karena ia berpendapat bahwa kurma lebih utama daripada gandum, meskipun
dengan gandum memadai pula. Sungguh Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk
dikeluarkan di Madinah.’ Dan aspek pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok
mereka yang lebih utama, karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan
gandum. Adapun makanan pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.” (Lihat, al-
Muntaqa Syarh al-Muwatha, II:45)

Dari sini dapat diambil kesimpulan, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar, bahwa mereka (para
sahabat) dalam berzakat fitri mengeluarkan jenis makanan pokok yang paling utama, dan
kurma lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
III:376)

Pertimbangan bahwa kedua jenis makanan: kurma dan gandum, pada waktu itu lebih mudah
didapat atau biasa dimiliki secara umum lebih diperkuat dengan sejumlah data faktual yang
menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang
“ditetapkan” oleh Nabi saw.

Ibnu Umar menjelaskan:

ٍ ‫زَ بِي‬  ْ‫أَو‬ ‫ت‬


‫ب‬ ٍ ‫س ُْل‬  ْ‫أَو‬ ‫تَ ْم ٍر‬  ْ‫أَو‬ ‫ير‬ َ  ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
ٍ ‫ َش ِع‬ ‫ ِم ْن‬ ‫صاعًا‬ ْ ِ‫ ْالف‬ ‫ص َدقَ ِة‬
َ  ‫النَّبِ ِّي‬ ‫ َع ْه ِد‬ ‫فِي‬ ‫ط ِر‬ َ  ‫ع َْن‬  َ‫ي ُْخ ِرجُون‬  ُ‫النَّاس‬  َ‫َكان‬

"Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha' sya’iir
(gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau
Zabiib (anggur kering)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan
Al-Kubra, II:28, No. hadis 2295)

Abu Said al-Khudriy  menjelaskan:

َ ْ‫صاعًا ِم ْن أَقِ ٍط أَو‬


ٍ ‫صاعًا ِم ْن زَ بِي‬
‫ب‬ َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَو‬
َ ْ‫ير أَو‬ َ ْ‫صاعًا ِم ْن طَ َع ٍام أَو‬
ٍ ‫صاعًا ِم ْن َش ِع‬ ْ ِ‫ُكنَّا نُ ْخ ِر ُج َز َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر‬
“Kami mengeluarkan zakat fitrah  1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr
(kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR. Al-Bukhari,
Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Dalam redaksi lain

ُ‫ َغ ْي َره‬ ‫نُ ْخ ِر ُج‬  ‫اَل‬ ‫أَقِ ٍط‬ ‫ ِم ْن‬ ‫صاعًا‬


َ   ْ‫أَو‬ ‫ير‬ َ   ْ‫أَو‬ ‫تَ ْم ٍر‬ ‫ ِم ْن‬ ‫صاعًا‬
ٍ ‫ َش ِع‬ ‫ ِم ْن‬ ‫صاعًا‬ َ  ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو ِل‬ ‫ َع ْه ِد‬ ‫فِي‬ ‫نُ ْخ ِر ُج‬ ‫ُكنَّا‬

"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa' kurma, sa
tu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. An-
Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2518) 

Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:

‫َكانَ طَ َعا َمنَا ال َّش ِعي ُر َوال َّزبِيبُ َواأْل َقِطُ َوالتَّ ْم ُر‬

“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma)
adalah makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Sehubungan dengan itu, meskipun Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis
makanan: kurma & gandum, namun bila muzakki berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan
aqith (keju) maka penyerahan zakat mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan:

ٍ ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر أَوْ َش ِع‬


‫ير‬ َ ‫ك‬ ٍ ‫ير َو ُح ٍّر َو َم ْملُو‬ ٍ ِ‫ير أَوْ َكب‬ ْ ِ‫ أَ ْن نُ ْخ ِر َج َز َكاةَ ْالف‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَ َم َرنَا َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫ط ِر ع َْن ُك ِّل‬
ٍ ‫ص ِغ‬
ُ‫ب َواألَقِ ِط فَيَ ْقبَلُونَه‬
ِ ‫قَا َل َو َكانَ ي ُْؤتَى إِلَ ْي ِه ْم بِال َّزبِي‬

“Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan zakat fitrah atas anak
kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa' kurma atau satu shaa’
syair (gandum). Dan diserahkan kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap
menerimanya.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:175, No. 7528)

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:

 Para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq
(makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),  
 Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai  takhsis (pengkhususan), hal itu
terbukti dengan diperluas jenis makanannya,  
 Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih
berkembang daripada zaman Nabi.

Kedua, dilihat dari sisi mustahiq

Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu
sebagai thu’matan. Dalam hadis diterangkan:

ِ ‫ث َوطُ ْع َمةً لِ ْل َم َسا ِك‬


‫ين‬ ْ ِ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم زَ َكاةَ ْالف‬
ِ َ‫ط ِر طُه َْرةً لِلصَّائِ ِم ِمنَ اللَّ ْغ ِو َوال َّرف‬ َ ِ ‫ض َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫س قَا َل فَ َر‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬

Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi
yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585,
No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)

Para ulama menjelaskan:

‫َوطُ ْع َمةً َوهُ َو الطَّ َعا ُم الَّ ِذي ي ُْؤ َك ُل‬

“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan perkataan lain, thu’matan adalah
makanan mudah saji dan siap santap. (Lihat Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam, II:172)

Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit tanshish (keterangan penjelas atau
prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan
“barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1 sha’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id al-
Khudriyi mengatakan:

َ َّ‫الَ أُ ْخ ِر ُج أَبَدًا إِال‬


‫صاعًا‬

“Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitri selamanya kecuali sebesar 1 sha’.”

Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata
uang lainnya). Konversi ukuran itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana
diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

َ‫صاعًا ِم ْن تَ ْم ٍر فَأَخَ َذ النَّاسُ بِ َذلِك‬


َ ‫قَا َل إِنِّي أَ َرى أَ َّن ُم َّد ْي ِن ِم ْن َس ْم َرا ِء ال َّش ِام تَ ْع ِد ُل‬
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.”
Maka orang-orang mengambil konversi itu. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis
985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-
Kubra, IV:165, No. hadis 7490)

Atas dasar pertimbangan di atas, hemat kami, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw.,
seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh
harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham.
(lihat, Mushannaf Ibnu AbiuSyaibah, II:398)
PEDOMAN ZAKAT FITRAH (BAGIAN III)
Keempat, Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat

Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang
berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah Swt.:

‫يل‬ ِ ‫ب َو ْالغ‬
ِ ِ‫َار ِمينَ َوفِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواِب ِْن ال َّسب‬ ِ ‫ات لِ ْلفُقَ َرا ِء َو ْال َم َسا ِكي ِن َو ْال َعا ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم َوفِي الرِّ قَا‬ َّ ‫إِنَّ َما ال‬
ُ َ‫ص َدق‬
‫ضةً ِم ْن هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ‫فَ ِري‬

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60)

Menurut Imam al-‘Aini, “Kata shadaqaat pada ayat di atas maksudnya zakat.” (Lihat,
Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII:238)

Menurut Syekh ‘Athiyyah Muhammad Salim, pada ayat di atas menggunakan kata shadaqaat
(bentuk jamak), bukan shadaqah (bentuk tunggal) karena dihubungkan kepada ragam harta
yang wajib dizakati, seperti zakat ternak, uang simpanan, dan perdagangan. (Lihat, Syarh
Bulugh al-Maram, II:383)

Dengan demikian, karena zakat fitrah termasuk salah satu jenis dari  shadaqaat di atas, maka
mustahiqnya pun meliputi salah satu di antara delapan ashnaf di atas.

Petunjuk Ayat

Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris
bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam
mengungkap sasaran zakat.
 

A. Kriteria Ashnaf

1. Fuqara (Fakir)

orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya
(primer).

2. Masakin (Miskin)

orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).

3. Amilin

orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.

4. Mu'allaf

a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam

b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah 

5. Riqab

orang yang memerdekakan hamba sahaya.

6. Gharimin

orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup
membayarnya.

7. Sabilillah

orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya


kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)

8. Ibnu Sabil

orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.

B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran


 

Dalam mengungkap sasaran zakat di atas Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra
yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing
mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li  dan fie. Huruf
laam mengiringi kata

‫لِ ْلفُقَ َرا ِء َو ْال َم َسا ِكي ِن َو ْال َعا ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم‬

al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama).
Sedangkan huruf fie mengiringi kata

‫يل‬ ِ ‫ب َو ْالغ‬
ِ ِ‫َار ِمينَ َوفِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواِب ِْن ال َّسب‬ ِ ‫َوفِي الرِّ قَا‬

ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).

Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung
nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami,
penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah
para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya
sendiri.

Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan
yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang),
mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk
diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu.
Demikian pula dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata
kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah
Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan
akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran
zakat itu ada dua bagian:

Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk
dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan
bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan
semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-
riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
 

Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat
ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk
memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada
empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu
Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat
harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum.

Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu
wajibkah amil mendistribusikan zakat  atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat
kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di
antara mereka?

Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk
mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban
untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh
melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena
kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah
sebagai berikut :

 Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran
saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari, VI : 404).
 Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari
sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan
diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
 Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha,
Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabrani, Ibid.,)
 Abu Tsawr berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat,
tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana di antara sasaran itu
yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang
harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari
satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak
jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Lihat, Fiqh az-
Zakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667).

Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:

 
‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تُ ْغنِ ِه فَلَهُ أَ ْن‬، ُ‫ فَ ْال َعا ِم ُل ْالفَقِي ُر لَهُ أَ ْن يَأْ ُخ َذ ِع َمالَتَه‬، ‫ َجا َز أَ ْن يُ ْعطَى بِهَا‬، ‫ضي اأْل َ ْخ َذ بِهَا‬ِ َ‫َوإِ ْن اجْ تَ َم َع فِي َوا ِح ٍد أَ ْسبَابٌ تَ ْقت‬
‫ضي بِ ِه ُغرْ َمهُ ؛ أِل َ َّن ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْن‬ ِ ‫َار ًما أَ َخ َذ َما يَ ْق‬ ْ
ِ ‫ َوإِ ْن َكانَ غ‬، ‫َازيًا فَلَهُ أَ ْخ ُذ َما يَ ْكفِيه لِغ َْز ِو ِه‬
ِ ‫ فَإ ِ ْن َكانَ غ‬، ُ‫يَأ ُخ َذ َما يَتِ ُّم بِ ِه ِغنَاه‬
‫ فَ ُوجُو ِد َغي ِْر ِه اَل يَ ْمنَ ُع ثُبُوتَ ُح ْك ِم ِه‬، ‫ُت ُح ْك ُمهُ بِا ْنفِ َرا ِد ِه‬ ُ ‫ب يَ ْثب‬
ِ ‫هَ ِذ ِه اأْل َ ْسبَا‬

“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi)
pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu.
Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat
menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu
(sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil
bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak
mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan
hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda
sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.”
(Lihat, Al-Mughni, V:223)

Sedangkan hadis yang menyatakan:

ِ ‫ث َوطُ ْع َمةً لِ ْل َم َسا ِك‬


‫ين‬ ْ ِ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم زَ َكاةَ ْالف‬
ِ َ‫ط ِر طُ ْه َرةً لِلصَّائِ ِم ِمنَ اللَّ ْغ ِو َوال َّرف‬ َ ِ ‫ض َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫فَ َر‬

 “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-
sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-
Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)

Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis (dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah
itu dikhususkan bagi mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai
makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit takhsis
(keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish (keterangan penegas/prioritas) sesuai
dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.

Adapun hadis yang menyatakan:

‫اف فِي هَ َذا ْاليَوْ ِم‬


ِ ‫أَ ْغنُوهُ ْم ع َْن الطَّ َو‬

“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy
dan Ad-Daraquthni)

 
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. Karena pada pada sanadnya terdapat rawi
Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat,
(Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131; Nashb Ar-Raayah Fii
Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)
PEDOMAN ZAKAT FITRAH (BAGIAN IV-TAMAT)
Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu
membagikan zakat fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas
itu? Abu Sa'id Al-Khudriy berkata:

‫صاعًا ِم ْن طَ َع ٍام‬ ْ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَوْ َم الف‬


َ ‫ط ِر‬ َ ِ‫ُكنا َّ نُ ْخ ِر ُج فِي َع ْه ِد َرسُو ِل هللا‬

“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari
raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No.
hadis 1439)

Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat
fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri),
bukan pada malam hari.

Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman dari instruksi Rasulullah, sebagaimana
diterangkan oleh Ibnu Umar :

ْ
‫صالَ ِة‬
َّ ‫لى ال‬
َ ِ‫اس إ‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َم َر بِزَ َكا ِة الفِط ِر قَب َْل ُخر‬
ِ َّ‫ُوج الن‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar
(pergi) ke salat (hari raya). (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438)

Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:

ْ
ِ ‫ ُخر‬ ‫قَب َْل‬ ‫تُؤَ َّدى‬ ‫أَ ْن‬ ‫ ْالفِط ِر‬ ‫بِ َز َكا ِة‬ ‫أَ َم َر‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
ِ َّ‫الن‬ ‫ُوج‬
َّ ‫ال‬ ‫إِلَى‬ ‫اس‬
‫صاَل ِة‬ َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو َل‬ ‫أَ َّن‬

bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang
berangkat menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986;
Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:
174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud,
Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359)

Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat

ْ ِ‫أَ َم َر بِإ ِ ْخ َراج زَ َكا ِة ْالف‬


‫ط ِر‬ ِ

“memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66)

Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fitri:

ْ ِ‫ص َدقَ ِة ْالف‬


‫ط ِر‬ َ ِ‫أَ َم َر ب‬

“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri” (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No.
2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadis 2423)

Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa (Sunan Ad-
Daraquthni, II:153, No. hadis 69)

Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :

ْ ِ‫صاَل ِة يَوْ َم ْالف‬


َّ ‫اج ال َّز َكا ِة قَ ْب َل ْال ُغد ُِّو لِل‬ ْ
‫ط ِر‬ ِ ‫َكانَ يَأ ُم ُر بِإ ِ ْخ َر‬

"Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri
sebelum pergi salat (hari raya)". (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677)

Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—maka  semakin


jelaslah makna yawmal fitri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya,
tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat.

Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :

‫صالَ ِة ْالفَجْ ِر‬


َ ‫صالَ ِة ْال ِع ْي ِد َوبَ ْع َد‬
َ ‫اس إِلَى‬ ِ ْ‫صالَ ِة أَيْ قَ ْب َل ُخرُو‬
ِ َّ‫ج الن‬ َّ ‫لى ال‬ ِ َّ‫ُوج الن‬
َ ِ‫اس إ‬ ِ ‫قَ ْب َل ُخر‬
"(maksud) sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk
salat Idul Fitri dan setelah salat subuh." (Lihat, Fathul Bari, III : 439)

Kemudian Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang mendahulukan zakatnya pada "hari raya
fitri" di hadapan salatnya, karena Allah telah berfirman:

َ َ‫قَ ْد أَ ْفلَ َح َم ْن تَ َز َّكى َو َذ َك َر ا ْس َم َربِّ ِه ف‬


‫صلَّى‬

'Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya,


kemudian ia salat'." (Lihat, Fathul Bari, III : 439)

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan


zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai
salat 'ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang
kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun
sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami' zakat).

Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu 'illah (alasan,
sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadis yang
menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya
ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya
jumlah anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain,
dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat
fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk
itu”. (lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993 : 144)

Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas
mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang
menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya
telah berubah.

Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh dilakukan
pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, bahkan sehari atau dua hari
sebelum hari raya.
Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:

ْ ِ‫ْطيهَا الَّ ِذينَ يَ ْقبَلُونَهَا َو َكانُوا يُ ْعطُونَ قَ ْب َل ْالف‬


‫ط ِر بِيَوْ ٍم أَوْ يَوْ َمي ِْن‬ ِ ‫ضي هَّللا َع ْنه َما يُع‬
ِ ‫َو َكانَ ابْنُ ُع َم َر َر‬

"Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka
menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II: 549, No. hadis 1440)

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

‫ َو ْاليَوْ َمي ِْن‬ ‫بِ ْاليَوْ ِم‬ ‫ك‬


َ ِ‫ َذل‬ ‫قَب َْل‬ ‫يُ َؤدِّيهَا‬ ‫ ُع َم َر‬  ُ‫ابْن‬  َ‫فَ َكان‬

“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu 
Dawud, II: 111, No. 1610)

‫َوأَ َّن َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ ُع َم َر َكانَ يُ َؤدِّي قَ ْب َل َذلِكَ بِيَوْ ٍم َويَوْ َمي ِْن‬

“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Ibnu 
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421)‫يَوْ َم ْي ِن‬  ْ‫أَو‬ ‫بِيَوْ ٍم‬ ‫ك‬
َ ِ‫ َذل‬ ‫قَ ْب َل‬ ‫يُؤَ دِّيهَا‬  َ‫ َكان‬ ِ ‫هَّللا‬ ‫ َع ْب َد‬ ‫“ َوأَ َّن‬
Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Al-Baihaqi, As-
Sunan  Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih  Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3
299)

Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat
fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, apalagi sehari atau dua
hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah
membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?  

Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan
zakat  sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq,
namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :

ْ ِ‫ط ِر إِلَى الَّ ِذي تُجْ َم ُع ِع ْن َدهُ قَ ْب َل ْالف‬


‫ط ِر بِيَوْ َمي ِْن أَوْ ثَاَل ثَ ٍة‬ ْ ِ‫ث بِ َز َكا ِة ْالف‬
ُ ‫ع َْن نَافِ ٍع أَ َّن َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ ُع َم َر َكانَ يَ ْب َع‬
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang
mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri. (HR. Malik, Al-
Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-
Kubra, IV: 112, No. 7161)

Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits,
dari Ayyub, ia berkata:

ْ ِ‫ قَ ْب َل ْالف‬: ‫ال‬
ْ‫ط ِر بِيَوْ ٍم أَو‬ َ َ‫ َمتَى َكانَ ْال َعا ِم ُل يَ ْق ُع ُد ؟ ق‬: ‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬، ‫ إِ َذا قَ َع َد ْال َعا ِم ُل‬: ‫ َمتَى َكانَ ابْنُ ُع َم َر يُ ْع ِطي الصَّا َع ؟ قَا َل‬: ‫ت‬
ُ ‫قُ ْل‬
‫يَوْ َمي ِْن‬

"Aku bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’
Ia (Nafi) menjawab, 'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).' Aku bertanya lagi, 'Kapan amil
itu di bentuk?' Ia menjawab, 'Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri'." (HR. Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadis 2397) 

Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani
bahwa "mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari raya) lil jam'i (untuk dikumpulkan)
laa lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin)." (Lihat, Fathul Bari, III : 440-441)

Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu
bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq, tapi kepada jami zakat sebagai
amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana
yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya.

Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat
fitrah—setelah salat subuh hingga selesai salat ied setempat—adalah ketentuan yang berlaku
secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.

Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional

Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat
kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi
masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah saw., tapi
justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun
strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi
Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan
tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah
tersebut tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga
dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan
riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua
atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau
memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat
kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.

Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak
mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang lingkup
masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi
serta tugas 'amilin agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup
masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh
Rasulullah saw. Wallahu A'lam.
HAKIKAT LAILATUL QADAR (BAGIAN I)
Sebagaimana yang kita yakini bahwa bulan Ramadhan memiliki sekian banyak
keistimewaan, salah satu di antaranya terdapat lailatul qadar, suatu malam yang dinilai oleh
Al-Quran dan Sunah sebagai “malam yang lebih baik dari seribu bulan”. Nabi saw. bersabda:

ِ َ‫ق فِي ِه أَب َْوابُ ْال َج ِح ِيم َوتُغَلُّ فِي ِه ال َّشي‬


ُ‫اطين‬ ُ َ‫صيَا َمهُ تُ ْفتَ ُح فِي ِه أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة َويُ ْغل‬
ِ ‫ض هَّللا ُ َعلَ ْي ُك ْم‬
َ ‫ك ا ْفتَ َر‬
ٌ ‫ار‬ َ ‫قَ ْد َجا َء ُك ْم َر َم‬
َ َ‫ضانُ َش ْه ٌر ُمب‬
ِ ‫ُر َم خَ ي َْرهَا قَ ْد‬
‫حُر َم‬ ِ ‫ف َشه ٍْر َم ْن ح‬ ِ ‫فِي ِه لَ ْيلَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw. bersabda,
‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah
mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka
ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah
kehilangan pahala seribu bulan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu
Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418,
No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1

Ada apa dengan malam itu sehingga dinilai demikian tinggi oleh Al-Quran dan Sunah?
Sebelum menelaah lebih jauh tentang "ketinggian nilai" itu, ada baiknya apabila kita kaji
terlebih dahulu kriteria dari malam tersebut.

Pengertian Lailatul Qadar

Secara bahasa Lailatul Qadar berarti “Malam Yang Agung”, malam yang besar nilainya.
Sedangkan secara istilah Lailatul Qadar menunjukkan dua pengertian: Pertama, Lailatul
Qadar pada waktu turunnya al-Quran  secara sekaligus. Kedua, Lailatul Qadar yang
dijanjikan akan terjadi setiap bulan Ramadan.

Makna Pertama: Lailatul Qadar Ketika Turunnya Al-Quran Sekaligus

Pengertian ini merujuk kepada Firman Allah swt. sebagai berikut :


‫ـف َشـه ٍْر تَنَـ َّز ُل ال َمآلئِ َكةُ َوالرُّو ُح فِـيهَا بِـإ ِ ْذ ِن َربِّ ِه ْم‬
ِ ‫زَلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر َو َما أَ ْد َرا كَ َما لَـ ْيلَةُ القَ ْد ِر لَـ ْيلَةُ القَ ْد ِر َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬
ْ ‫إِنَّا أَ ْن‬
‫ـع ْالـفَجْ ِر‬ ْ
ِ َ‫ِم ْن ُك ِّل أَ ْم ٍر َسالَ ٌم ِه َي َحـتَّى َمطل‬

“Sesungguhnya kami telah menurunkan dia (Al-Quran) pada malam kemuliaan Dan apakah
engkau sudah mengetahui apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu, lebih utama
daripada seribu bulan. Turun malaikat dan ruh padanya dengan izin Tuhan mereka (dengan
membawa pokok-pokok) dari setiap perintah (hukum-hukum yang perlu bagi dunia dan
akhirat). Sejahteralah ia sampai terbit fajar.” QS. Al-Qadar : 1-5

ِ َ‫ت ِمنَ ْالهُدَى َو ْالفُرْ ق‬


‫ان‬ ِ َّ‫ضانَ الَّ ِذي أُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُرْ آنُ هُدًى لِلن‬
ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬

“Bulan Ramadan yang diturunkan padanya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia,
keterangan-keterangan petunjuk itu, dan pemisah antara yang haq dan yang batal.” QS. Al-
Baqarah : 185

َ َ‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُمب‬


‫ار َك ٍة‬

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada malam yang diberkahi.” QS.Ad-


Dukhan: 3

Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadar adalah satu malam di bulan Ramadhan,
sebagai waktu diturunkan Al-Quran secara menyeluruh dari lawhul mahfuzh ke Bait al-‘Izzah
di langit dunia. Malam itu disifati dengan Lailah Mubaarakah (malam yang diberkahi).

Sehubungan dengan itu sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas menyatakan:

َ‫ { َوالَ يَأْتُونَكَ بِ َمثَ ٍل إِالَّ ِج ْئنَاك‬: ‫ك فِي ِع ْش ِرينَ َسنَةً قَا َل‬ َ ِ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ آن ُج ْملَةً َوا ِح َدةً إِلَى َس َما ِء ال ُّد ْنيَا فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ثُ َّم أُ ْن ِز َل بَعْد َذل‬
) ً‫ث َونَ َّز ْلنَاهُ تَ ْن ِزيال‬
ٍ ‫اس َعلَى ُم ْك‬ِ َّ‫ق َوأَحْ َسنَ تَ ْف ِسيرًا} َوقَ َرأَ ( َوقُرْ آنًا فَ َر ْقنَاهُ لِتَ ْق َرأَهُ َعلَى الن‬ ِّ ‫بِ ْال َح‬

“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qadar, kemudian setelah itu
diturunkan (kepada Rasul) pada masa 20 tahun. Allah berfirman: ‘Tidaklah orang-orang kafir
itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.’ (QS. Al-Furqan: 33) Dan ia membaca
ayat wa quranan faraqnahu…(QS. Al-Isra:106)” (H.r. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, VI:421,
No. hadis 11.372)

 
Dalam riwayat lain dengan redaksi:

‫صلى‬- ‫ُوم َو َكانَ هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُ ْن ِزلُهُ َعلَى َرسُولِ ِه‬ ِ ‫ َو َكانَ بِ َموْ قِ ِع ال ُّنج‬، ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ آنُ فِى لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ُج ْملَةً َوا ِح َدةً إِلَى َس َما ِء ال ُّد ْنيَا‬
َ‫فَقَا َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل َوقَالُوا (لَوْ الَ نُ ِّز َل َعلَ ْي ِه ْالقُرْ آنُ ُج ْملَةً َوا ِح َدةً َك َذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِ ِه فُ َؤادَك‬.‫ْض‬
ٍ ‫ضهُ فِى إِ ْث ِر بَع‬ َ ‫ بَ ْع‬-‫هللا عليه وسلم‬
)َ‫َو َرتَّ ْلنَاهُ تَرْ تِيال‬

“Al-Quran diturunkan pada Lailatul Qadar sekaligus ke langit dunia, dan itu sesuai dengan
masa turunnya bagian-bagian bintang, dan Allah ‘Azza wajalla menurunkannya kepada
Rasul-Nya sebagian demi sebagian. Maka Allah ‘Azza wajalla berfirman, “Dan mereka
mengatakan, ‘Lawlaa nuzzila ‘alaihil Quraanu… (QS. Al-Furqan:32)” (H.r. Al-Baihaqi, As-
Sunan Al-Kubra, IV: 306, No. hadis 8304; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, II:578,
No. hadis 3958)

Dalam riwayat lain dijelaskan:

‫ضانَ الَّ ِذي أُ ْن ِز َل‬


َ ‫ َش ْه ُر َر َم‬- ‫ك قَوْ لُهُ تَ َعالَى‬ ُ ‫ أَ َوقَ َع فِي قَ ْلبِي ال َّش‬:‫ال‬ َ َ‫س رضي هللا عنهما أَنَّهُ َسأَلَهُ َع ِطيَّةُ بْنُ االَ ْس َو ِد ق‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ُ
َّ ‫ إِنَّا أَ ْنزَ ْلنَاهُ فِ ْي لَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر َوه َذا أ ْن ِز َل فِي َشوَّا ٍل َو ِذي القَ ْع َد ِة َو ِذي ال ِح َّج ِة َوفِي ال ُم َحر َِّم َوال‬: ُ‫ َوقَوْ لُه‬- ُ‫فِ ْي ِه ْالقُرْ آن‬
،‫صفَ ِر َو َشه ِْر َربِي ٍْع‬
‫ُور َواألَي َِّام‬
ِ ‫ُوم َر َسالً فِي ال ُّشه‬ ِ ‫ضانَ فِي لَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر ُج ْملَةً َوا ِح َدةً ثُ َّم أُ ْن ِز َل َعلَى َم َواقِ ِع النُّج‬
َ ‫ إِنَّهُ أُ ْن ِز َل فِي َر َم‬:‫س‬ٍ ‫فَقَا َل ابْنُ َعبَّا‬.

Dari Ibnu Abas Ra., bahwa ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, ia berkata, ”Aku
ragu-ragu tentang firman Allah ta’ala, ‘Syahru Ramadhaanalladzii unzila fihil Quraanu’ dan
Firman-Nya, ‘Innaa anzaalnahu fii lailatil qadri.’ Apakah turunnya itu pada bulan Syawal,
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa Al-
Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah Al-Qadar secara sekaligus,
kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur
pada beberapa bulan dan hari.” (HR. Al-Baihaqi, Al-Asmaa was Shifaat, II:35, No. hadis 487)

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa Lailatul Qadar dalam pengertian pertama
menunjukkan waktu diturunkan Al-Quran secara sekaligus dari lawhul mahfuzh ke Bait
al-‘Izzah di langit dunia. Dan Lailatul Qadar dalam pengertian ini tidak akan terjadi lagi,
karena Al-Quran telah selesai diturunkan.

Sifat & Keutamaan Lailatul Qadar

 
Pada surat ini (QS. Al-Qadar : 1-5) kata Lailatul Qadar disebut sebanyak tiga kali.
Pengulangan itu untuk menunjukkan pengagungan dan agar lebih mendapat perhatian.
Sedangkan malam itu diberi nama Lailatul Qadar karena kemuliaannya atau karena pada
malam itu ditetapkan berbagi urusan, sebagaimana firman Allah:

‫ق ُكلُّ أَ ْم ٍر َح ِك ٍيم‬
ُ ‫إِنَّا أَ ْنزَ ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُمبَا َر َك ٍة إِنَّا ُكنَّا ُم ْن ِذ ِرينَ فِيهَا يُ ْف َر‬

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada malam yang diberkahi dan


sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan
yang penuh hikmah” QS. Ad-Dukhan: 3-4

Yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan
kehidupan makhluk seperti hidup, mati, rezeki, nasib baik, nasib buruk dan sebagainya.

Adapun malam itu disifati dengan “malam yang diberkahi” (QS.Ad-Dukhan: 3), karena pada
malam itu diturunkan berbagai berkah (kebaikan yang banyak) serta manfaat agama dan
dunia. (lihat, At-Tafsir al-Munir, XXX:332; Tafsir al-Bahr al-Madid, VII:60)

Pada ayat itu pula dinyatakan keutamaan malam tersebut sebagai berikut:

ِ ‫لَـ ْيلَةُ القَ ْد ِر َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬


‫ـف َشـه ٍْر‬

“Malam kemuliaan itu lebih utama daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadar : 3)

Tentang firman Allah Swt.:

ِ ‫لَـ ْيلَةُ القَ ْد ِر َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬


‫ـف َشـه ٍْر‬

Mujahid berkata:

ِ ‫صيَا ُمهَا َوقِيَا ُمهَا خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬


‫ـف َشـه ٍْر‬ ِ ‫َع َملُهَا َو‬

“Beramal, shaum, dan shalat pada malam itu lebih baik daripada seribu bulan.” HR. At-
Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, IV:649
 

Dalam riwayat lain Mujahid berkata:

‫ُور لَ ْيلَةُ ْالقَ ْد ِر‬ َ ‫ْس فِي تِ ْل‬


ِ ‫ك ال ُّشه‬ ِ ‫لَـ ْيلَةُ القَ ْد ِر خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬
َ ‫ـف َشـه ٍْر لَي‬

“Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul
Qadar.” HR. Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Katsir, IV:649

Keterangan di atas menunjukkan pengertian bahwa beramal pada satu malam itu lebih baik
daripada beramal pada seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadar.

Pengertian ini sesuai dengan penjelasan Nabi saw.:

ِ ‫ُر َم خَ ْي َرهَا قَ ْد ح‬
‫ُر َم‬ ِ ‫فِي ِه لَ ْيلَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬
ِ ‫ف َشه ٍْر َم ْن ح‬

“Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan
barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan." HR.
Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493.

Kata at-Tibrizi, “Sabda Nabi:

ِ ‫ُر َم خَ ْي َرهَا قَ ْد‬


‫حُر َم‬ ِ ‫َم ْن ح‬

“Barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan”

‫والمراد حرمان الثواب الكامل أو الغفران الشامل الذي يفوز به القائم في أحياء ليلها‬.

Maksudnya, kehilangan pahala yang sempurna atau ampunan yang lengkap, sebagai
penyebab keberuntungan orang yang menghidupkan malam itu.” (Lihat, Misykat al-
Mashabih, VI:822)
HAKIKAT LAILATUL QADAR (BAGIAN II)
Makna Kedua: Lailatul Qadar Pada Setiap Bulan Ramadan

Dalam makna kedua,  Lailatul Qadar adalah salah satu malam yang terjadi pada setiap bulan
Ramadhan. Pemaknaan ini kita peroleh dari jawaban Nabi terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh seseorang.

َ ‫ ِه َى فِى ُكلِّ َر َم‬: ‫ َوأَنَا أَ ْس َم ُع ع َْن لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر فَقَا َل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ ُسئِ َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ُع َم َر قَا َل‬
َ‫ضان‬

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. ditanya, tentang Lailatul Qadar dan aku
mendengarnya. Beliau bersabda, ‘Ia (Lailatul Qadar itu) ada pada tiap bulan Ramadhan.” HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:53, No. 1387; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307,
No. 8309; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, III:84

Dalam konteks inilah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan diri


menyambut malam yang mulia itu. Nabi saw. bersabda:

ِ ‫إِ ْلتَ ِمسُوهَا فِي ال َع ْش ِر األَ َو‬


‫اخ ِر‬

Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:714, No. 1923; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:50, No. 24.279; al-Baihaqi, As-Sunan
al-Kubra, IV:307, No. 8307; al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, I:604, No. 1596;
Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:434, No. 3676; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar,
III:88

Dalam riwayat lain dengan redaksi: 

ِ ‫فَ ْليَ ْلتَ ِم ْسهَا فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َو‬


‫اخ ِر‬

“Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir” HR. Muslim, Shahih Muslim,
II:824, No. 1165; Ahmad, Musnad Ahmad, II:75, No. 5443

َ ‫ت ََحرَّوْ ا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َوا ِخ ِر ِم ْن َر َم‬


َ‫ضان‬
“Selidikilah oleh kalian lailatul Qadar pada sepuluh (malam) terakhir di bulan Ramadhan”
HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:714, No. 1923; HR. Muslim, Shahih Muslim, II:828,
No. 1169; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:50, No. 24.279; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
III:160, No. 792;  al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No. 8310; Malik, al-Muwatha,
I:319, No. 693; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:325, No. 9525

Berdasarkan keterangan di atas kita mengetahui bahwa Lailatul Qadar yang dianjurkan untuk
dicari itu terdapat pada setiap bulan Ramadan, lebih tepatnya pada sepuluh hari terakhir bulan
itu. Meski demikian, Rasululullah tidak menerangkan secara pasti tanggal berapa. Beliau
hanya menganjurkan agar lebih diperhatikan malam-malam setelah tanggal 20 Ramadhan.
(lihat keterangan detailnya pada edisi selanjutnya)

Allah sengaja tidak memberitahukan kepada Nabi secara pasti tanggal berapa Lailatul Qadar
itu terjadi, dalam hal ini terkandung nilai tarbiyyah (pendidikan) yang amat mulia, yakni agar
tiap malam kaum muslimin mengisi malamnya dengan ibadah dan doa, terutama pada
malam-malam ganjil setelah berlalu 20 Ramadhan. Hal itu tampak jelas dari sikap Rasululah
saw. pada sepuluh hari terakhir setiap bulan Ramadan,  dengan mengajak keluarganya untuk
bangun menghidupkan malam itu lebih giat dari malam-malam sebelumnya. Aisyah
menjelaskan:

ُ‫ َوأَ ْيقَظَ أَ ْهلَه‬،ُ‫ ِإ َذا َدخَ َل ْال َع ْش ُر َش َّد ِم ْئزَ َرهُ َوأَحْ يَا لَ ْيلَه‬،‫َكانَ النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم‬

“Nabi saw. apabila memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan
sarungnya dan tidak tidur serta membangunkan keluarganya.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:711, No. 1920; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, VI:389, No. 1829

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

َ ‫ ا َذا بَقِ َى َع ْش ٌر ِم ْن َر َم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ُ‫ َوا ْعتَ َز َل ا ْهلَه‬، ُ‫ َش َّد ِم ْئ َز َره‬، َ‫ضان‬

“Rasulullah saw. apabila tersisa sepuluh hari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat
pinggangnya dan menjauhi istrinya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:66, No. 24.422

  ‫ صلى هللا عليه وسلم يَجْ تَ ِه ُد فِى ْال َع ْش ِر األَ َوا ِخ ِر َما ال يَجْ تَ ِه ُد فِى َغي ِْر ِه‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah saw. bersungguh-sungguh pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, yang tidak
beliau lakukan hal itu pada waktu lainnya.” HR. Muslim, Shahih Muslim, II:832, No. 1175;
Ahmad, Musnad Ahmad, VI:255, No. 26.231; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:161, No.
796; An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II:270, No. 3390; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:562,
No. 1767; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:342, No. 2215;  Al-Baihaqi, As-
Sunan al-Kubra, IV:313, No. 8344; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:252, No. 8691.

Penjelasan

Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat:

ُ‫َش َّد ِم ْئزَ َره‬

“beliau mengencangkan sarungnya”

Sebagian ulama memahami kalimat itu secara kinayah (kiasan) dari makna bersiap siaga
untuk ibadah. Sementara ulama yang lain mengartikannya secara hakiki juga kiasan, yaitu
menggunakan sarung dan tidak melepaskannya, menjauhi istrinya (tidak bercampur) dan
bersiap siaga untuk ibadah. Namun kata Imam ash-Shan’ani, pemaknaan kalimat itu meliputi
‘menjauhi istrinya’ tidak tepat sebab di dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi:

‫فَ َش َّد ِم ْئزَ َرهُ َوا ْعتَزَ َل النِّ َسا َء‬

“beliau mengencangkan sarungnya dan menjauhi istri-istrinya” Penggunaan huruf waw,


menunjukkan makna perbedaan.

Adapun kalimat:

 ُ‫ َوأَحْ يَا لَ ْيلَه‬،

“Dan menghidupkan malamnya.” Menunjukkan makna majazi (kiasan), yaitu tidak tidur di
malam itu.

Sedangkan kalimat:

ُ‫َوأَ ْيقَظَ أَ ْهلَه‬

“serta membangunkan keluarganya.” Maksudnya untuk salat dan ibadah yang lain.
‫‪ ‬‬

‫‪Sikap keseriusan ini lebih dikhususkan oleh Rasulullah di sepuluh malam terakhir karena‬‬
‫‪waktu untuk ibadah demikian di bulan Ramadhan akan segera berakhir. (Lihat, Subul as-‬‬
‫)‪Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:383‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Bagaimana dengan orang yang tidak sanggup melakukan itu di sepuluh malam terakhir secara‬‬
‫‪terus menerus? Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda: ‬‬

‫ضعُفَ أَ َح ُد ُك ْم أَوْ َع َج َز فَاَل يُ ْغلَبَ َّن َعلَى ال َّسب ِْع ْالبَ َواقِي‬
‫اخ ِر يَ ْعنِي لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فَإ ِ ْن َ‬
‫ْالتَ ِمسُوهَا فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َو ِ‬

‫‪"Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadhan), yakni Lailatul Qadr. Maka jika salah seorang‬‬
‫"‪dari kalian lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai terlewatkan tujuh malam terakhir.‬‬
‫‪HR. Muslim, Shahih Muslim, II:823, No. 1165; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,‬‬
‫‪III:327, No. 2183‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Dalam riwayat lain dengan redaksi:‬‬

‫ضانَ فَإ ِ ْن ُغلِ ْبتُ ْم فَاَل تُ ْغلَبُوا َعلَى ال َّسب ِْع ْالبَ َواقِي‬ ‫ْ‬
‫اطلُبُوا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َو ِ‬
‫اخ ِر ِم ْن َر َم َ‬

‫‪"Carilah Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Jika kalian tidak mampu‬‬
‫‪maka jangan terlewatkan pada tujuh hari yang tersisa." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:133,‬‬
‫‪No. 1111‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Sikap demikian itu tampak lebih jelas lagi dari ajakan dan pengumuman yang dilakukan‬‬
‫‪beliau pada sore hari setelah salat Ashar, kepada khalayak untuk berjamaah salat Tarawih di‬‬
‫‪malam-malam ganjil.‬‬

‫صلَّى الـنَّبِ ُّي‪  ‬صلى هللا‬ ‫ال‪  ‬لَ َّما َكانَ ال َع ْش ُر األَ َوا ِخ ُر إِ ْعتَ َكفَ َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم فِى ْالـ َمس ِْج ِد فَلَ َّما َ‬ ‫ع َْن أَبِى َذ ٍّر ‪ ‬قَ َ‬
‫صالَةَ ال َعصْ ِر ِم ْن يَوْ ِم ْاثـنَـ ْي ِن َو ِع ْش ِرينَ قَا َل ‪ :‬إِنَّا قَائِ ُمونَ اللَ ْيلَةَ إِ ْن َشا َء هللاُ‪َ ،‬م ْن َشا َء ِم ْن ُك ْم أَ ْن يَقُو َم فَ ْليَقُ ْم َو ِه َي لَ ْيلَةُ‬ ‫عليه وسلم َ‬
‫ص َرفَ ‪ ،‬فَلَ َّما َكانَ لَ ْيلَةَ أَرْ بَ ٍع‬ ‫ث اللَي ِْل ثُ َم ا ْن َ‬‫َب ثُلُ ُ‬ ‫صالَّهَا الـنَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم َج َما َعةً بَ ْع َد ال َعتَ َم ِة َحتَّى َذه َ‬ ‫ث َو ِع ْش ِرينَ فَ َ‬ ‫ثَالَ ٍ‬
‫ال‪  ‬إِنَّا قَائِ ُمونَ اللَّـ ْيلَةَ ِإ ْن‬ ‫صالَ ِة ال َعصْ ِر يَوْ َم أَرْ بَ ٍع َو ِع ْش ِرينَ ‪ ،‬فَقَ َ‬ ‫س َو ِع ْش ِرينَ قَا َم بَ ْع َد َ‬ ‫َو ِع ْش ِرينَ لَ ْم يَقُلْ َش ْيئًا َولَ ْم يَقُ ْم فَلَ َّما لَ ْيلَةَ خَ ْم ٍ‬
‫ت‬‫ص َرفَ فَلَ َّما َكانَ لَ ْيلَةَ ِس ٍّ‬ ‫ث اللَ ْي ِل ثُ َّم ا ْن َ‬ ‫َب ثُلُ ُ‬‫اس َحتَّي َذه َ‬ ‫صلَّى بِالنَّ ِ‬ ‫س َو ِع ْش ِرينَ فَ َم ْن َشا َء فَ ْليَقُ ْم‪  ‬فَ َ‬ ‫َشا َء هللا ُ يَ ْعنِى لَ ْيلَةَ خَ ْم ٍ‬
‫ت َو ِع ْش ِرينَ قَا َم فَقَا َل‪  ‬إِنَّا قَائِ ُمونَ إِ ْن َشا َء هللاُ يَ ْعنِى لَ ْيلَةَ‬ ‫صالَ ِة ال َعصْ ِر ِم ْن يَوْ ِم ِس ٍّ‬ ‫َو ِع ْش ِرينَ لَ ْم يَقُلْ َش ْيئًا َولَ ْم يَقُ ْم فَلَ َّما َكانَ ِع ْن َد َ‬
‫صلَّى بِنَا النَّبِ ُّي‬ ‫ال أَبُو َذرٍّ ‪  ‬فَـت ََجلَّ ْدنَا لِ ْلقِيَ ِام فَ َ‬‫ص َرفَ اِلَى قُـبَّتِ ِه ‪َ e‬سب ٍْع َو ِع ْش ِرينَ فَ َم ْن َشا َء أَ ْن يَقُو َم فَ ْليَقُ ْم قَ َ‬ ‫َب ثُلُـثَا اللَ ْي ِل ثُ َّم ا ْن َ‬
‫َحتَّى َذه َ‬
‫صلَّيْتَ َم َع إِ َما ِمكَ‬ ‫ك إِ َذا َ‬ ‫ال‪  ‬يَا أَبَا َذرٍّ إِنَّ َ‬ ‫ت لَهُ ِإ ْن ُكنَّا لَقَ ْد طَ ِم ْعنَا يَا َرسُو َل هللاِ أَ ْن تَقُو َم بِنَا َحتَّى تُصْ بِ َح‪ ،‬فَقَ َ‬ ‫فِى ْالـ َمس ِْج ِد فَقُ ْل ُ‬
‫وت لَ ْيلَتِكَ‬‫ب لَكَ قُنُ ُ‬ ‫ص َرفَ ُكتِ َ‬ ‫ص َر ْفتَ إِ َذا ا ْن َ‬ ‫َوا ْن َ‬
Dari Abu Dzar, ia berkata, ”Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw. itikaf di
masjid, ketika  salat ashar pada hari ke 22, ia bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah
malam ini, siapa di antara kamu yang akan salat pada malam itu silahkan ia salat, yakni
malam ke 23, kemudian Nabi salat malam itu dengan berjamaah setelah salat isya sampai
lewat sepertiga malam. Kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun
dan tidak mengimami, pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar, yaitu pada hari ke
24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini Insya Allah yakni pada malam ke 25,
Siapa pun yang mau ikut berjamaah silahkan’ Kemudian ia mengimami orang-orang sampai
lewat sepertiga malam. Kemudian ia pulang. Tatkala malam ke 26 ia tidak berkata apa pun
dan tidak mengimami kami, tatkala malam ke 27, beliau berdiri setelah salat ashar pada hari
ke 26, kemudian berdiri dan bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini yakni pada
malam ke 27, siapa yang akan mengikuti berjamaah silahkan ‘Abu Dzar berkata, 'Maka kami
berusaha keras untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kami sampai lewat
dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya di masjid (karena sedang
I’tikaf). saya berkata padanya, 'Bagaimana jika kami sangat menginginkan tuan mengimami
kami sampai subuh. Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar jika engkau salat beserta imammu,
dan engkau selesai (salat) ketika imam itu selesai, telah ditetapkan (pahala) untukmu
ketaatanmu pada malam itu.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V:172, No. 21.549; Ath-
Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, I:141, No. 442, Musnad asy-Syamiyin, II:92, No. 972.

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa, keagungan Lailatul Qadar dan kebesaran
nilainya tidak ada artinya bagi kaum muslimin bila pada malam itu tidur atau bangun tapi
tidak melakukan amal ibadah, sebab pada malam itu Allah memberikan kesempatan bagi
kaum muslimin untuk bangun melakukan ibadah. Karena itu, keagungan Lailatul Qadar akan
menemui orang-orang yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa dalam menyambutnya.
Hal itu tak ubahnya tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, ia tidak akan datang
menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.
Demikian juga halnya dengan Lailatul Qadar.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailatul Qadar datang
menemuinya, maka malam kehadirannya menjadi saat menentukan bagi perjalanan sejarah
hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah titik tolak guna
meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu
malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya  menuju kebaikan sampai terbitnya
fajar kehidupannya yang baru kelak di kemudian hari.

 
Inilah inti dari keagungan Lailatul Qadar yang akan terjadi setiap bulan Ramadhan. Mudah-
mudahan Allah swt. senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga
kita menjadi salah seorang yang layak ditemui oleh "Tamu Agung" Tersebut.
HAKIKAT LAILATUL QADAR (BAGIAN III-TAMAT)
Kapan Lailatul Qadar “Jilid 2” itu terjadi?

Hadis-hadis yang berhubungan dengan “waktu terjadinya Lailatul Qadar” cukup banyak, baik
dilihat dari aspek variasi sumber periwayatan maupun dari aspek variasi redaksi. Hadis-hadis
itu sebagai berikut:

Hadis Pertama:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْالتَ ِمسُوهَا فِي‬


َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما يَقُو ُل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ْت ا ْبنَ ُع َم َر َر‬ ٍ ‫ع َْن ُع ْقبَةَ َوهُ َو ابْنُ ُح َر ْي‬
ُ ‫ث قَا َل َس ِمع‬
ْ َ َ
‫ضعُفَ أ َح ُد ُك ْم أوْ ع ََج َز فَاَل يُ ْغلَبَ َّن َعلَى ال َّسب ِْع البَ َواقِي‬ ْ َ ْ
ِ ‫ال َع ْش ِر اأْل َو‬
َ ‫اخ ِر يَ ْعنِي لَ ْيلَةَ القَ ْد ِر فَإ ِ ْن‬

Dari Uqbah, yaitu bin Huraits, ia berkata, “Saya mendengar Ibnu Umar Ra. Berkata, ‘Rasulul
lah saw. bersabda, "Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadhan), yakni Lailatul Qadar. Maka 
jika salah seorang dari kalian tidak sempat atau tidak mampu, maka jangan sampai terlewatka
n tujuh malam terakhir’." (HR. Muslim, Shahih  Muslim, II:823, No. hadis 1165; Ibnu Khuzai
mah, Shahih  Ibnu Khuzaimah, III:327, No. hadis 2183 ) Hadis di atas diriwayatkan pula dari 
Aisyah sebagai berikut: ‫فِي‬ ‫ ْالقَ ْد ِر‬ َ‫لَ ْيلَة‬ ‫تَ َحرَّوْ ا‬ ‫قَا َل‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو ُل‬ ‫قَا َل‬ ‫ت‬
ْ َ‫قَال‬ ‫ َع ْنهَا‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫ض َي‬
ِ ‫ َر‬ َ‫عَائِ َشة‬ ‫ع َْن‬
ِ ‫اأْل َ َو‬ ‫ ْال َع ْش ِر‬ Dari Aisyah Ra. bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Carilah Lailatul Qa
َ ‫ َر َم‬ ‫ ِم ْن‬ ‫اخ ِر‬
َ‫ضان‬
dar itu pada sepuluh terakhir terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:82
8, No. hadis 1169; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:158, No. hadis 792)  

Pemahaman hadis:

Maksudnya, cari dari tanggal 21 sampai 29/30 Ramadhan. Hadis ini tidak menginformasikan
ketentuan harinya secara pasti, bisa jadi ke-21, 22, 23, dan seterusnya. Karena itu hadis ini
kami kategorikan sebagai hadis mujmal (keterangan secara umum) atau mutlaq (tanpa
batasan).

Hadis Kedua: 

 
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل تَ َحرَّوْ ا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فِي ْال ِو ْت ِر ِم ْن ْال َع ْش ِر اأْل َ َو‬
‫اخ ِر ِم ْن‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬
َ‫ضان‬ َ ‫َر َم‬

Dari Aisyah bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-
malam ganjil dari sepuluh terakhir terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:710, No. hadis 1913; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:308, No. hadis 8314)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan sedikit perbedaan redaksi. (Musnad Ahmad,
VI:73, No. hadis 24.489)

Dalam riwayat lain dijelaskan oleh Ibnu Umar

ِ ‫اأْل َ َو‬ ‫ ْال َع ْش ِر‬ ‫فِي‬ ‫رُؤيَا ُك ْم‬


‫اخ‬ ْ  ‫أَ َرى‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
َ  ‫النَّبِ ُّي‬ ‫فَقَا َل‬  َ‫ َو ِع ْش ِرين‬ ‫ َسب ٍْع‬ ُ‫لَ ْيلَة‬ ‫ ْالقَ ْد ِر‬ َ‫لَ ْيلَة‬ ‫أَ َّن‬ ‫ َر ُج ٌل‬ ‫ َرأَى‬ ‫ال‬
َ َ‫ق‬ ‫ ُع َم َر‬ ‫ا ْب ِن‬ ‫َع ِن‬
ْ ُ ْ
‫ ِم ْنهَا‬ ‫ال ِو ْت ِر‬ ‫فِي‬ ‫فَاطلبُوهَا‬ ‫ِر‬

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Seseorang bermimpi bahwa Lailatul Qadr terdapat pada malam
kedua puluh tujuh bulan Ramadhan. Maka Nabi saw. bersabda, ‘Aku bermimpi seperti
mimpimu, yaitu pada sepuluh malam yang akhir. Karena itu, carilah ia pada malam-malam
yang ganjil." (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:823, No. hadis 1165)

Pemahaman hadis:

Pada hadis ini terdapat qayyid (pembatas) dengan kalimat fii al-witr (pada malam-malam
ganjil) di sepuluh malam terakhir itu. Maksudnya, carilah pada tanggal 21, 23, 25, 27, atau
29.

Dengan demikian, maka hadis-hadis kedua menjadi pembatas atau keterangan terperinci dari
hadis-hadis pertama yang mutlaq.

Hadis Ketiga:

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ت ََحرَّوْ ا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فِي ال َّسب ِْع اأْل َ َو‬
‫اخ ِر‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ع َْن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر َر‬

Dari Ibnu Umar Ra., dari Nabi saw. beliau bersabda, “Carilah Lailatul Qadar itu pada 7
terakhir (bulan Ramadhan). (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:823, No. hadis 1165; Malik, Al-
Muwatha, I:320, No. hadis 694; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:53, No. hadis 1385; Al-
Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:311, No. hadis 8330)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan tambahan kalimat akhir: “Min Ramadhaan.”
(Musnad Ahmad, II:113, No. hadis 5932)

Pemahaman hadis:

Maksudnya, kalau ramadhan 30 hari, carilah dari tanggal 24 hingga 30 = 7 hari. Kalau 29,
cari dari 23 hingga 29 = 7 hari.

Hadis Keempat:

‫ضانَ لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فِي‬


َ ‫اخ ِر ِم ْن َر َم‬ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ْالتَ ِمسُوهَا فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َو‬ َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
‫َاس َع ٍة تَ ْبقَى فِي َسابِ َع ٍة تَ ْبقَى فِي خَ ا ِم َس ٍة تَ ْبقَى‬
ِ ‫ت‬

Dari Ibnu Abas Ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Carilah dia (Lailatul Qadar) pada 10 terakhir
bulan Ramadhan. Lailatul Qadar itu tetap (ada) pada malam ke-9, malam ke-7, malam ke-5.”
(HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:711, No. hadis 1917; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-
Kubra, IV:308, No. hadis 8316)

Hadis ini diriwayatkan pula dengan sedikit perbedaan redaksi oleh Ahmad (Musnad Ahmad,
I:231, No. hadis 2052; I:279, No. hadis 2520; I:365, No. hadis 3456; III:234, No. hadis
13.477; V:36, No. hadis 20.392; ), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:52, No. hadis 1381),
Abu Dawud Ath-Thayalisi (Musnad Ath-Thayalisi, I:118, No. hadis 881)

Pemahaman hadis:

Yang dimaksud dengan ungkapan yang ke-9 dari 10 akhir itu adalah malam ke-21. Maksud
yang ke-7 dari 10 akhir adalah malam ke-23. Maksud yang ke-5 dari 10 akhir adalah malam
ke-25.
 

Dengan demikian, maksud hadis itu adalah: “Carilah pada tanggal 21, 23, 25”. Keterangan ini
tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang memberi petunjuk umum, karena tidak
membatasi  hanya pada tanggal-tanggal tersebut saja yang harus dicari itu.

Hadis Kelima:

 ‫اخ ِر‬ ِ ‫اأْل َ َو‬ ‫ال َّسب ِْع‬ ‫فِي‬ ‫ ْال َمن َِام‬ ‫فِي‬ ‫ ْالقَ ْد ِر‬ َ‫لَ ْيلَة‬ ‫أُرُوا‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬ ِ ‫أَصْ َحا‬ ‫ ِم ْن‬  ‫ ِر َجااًل‬ ‫أَ َّن‬ ‫ َع ْنهُ َما‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫ض َي‬
َ  ‫النَّبِ ِّي‬ ‫ب‬ ِ ‫ َر‬ ‫ ُع َم َر‬ ‫ا ْب ِن‬ ‫ع َْن‬
‫اأْل َ َوا‬ ‫ال َّسب ِْع‬ ‫فِي‬ ‫فَ ْليَتَ َح َّرهَا‬ ‫ ُمت ََحرِّيهَا‬  َ‫ َكان‬ ‫فَ َم ْن‬ ‫اأْل َ َوا ِخ ِر‬ ‫ال َّسب ِْع‬ ‫فِي‬ ‫ت‬ ْ َ ‫تَ َواطَأ‬ ‫قَ ْد‬ ‫ر ُْؤيَا ُك ْم‬ ‫أَ َرى‬ ‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬
َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو ُل‬ ‫فَقَا َل‬
‫خ ِر‬Dari Ibnu Umar Ra. bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi saw. menyaksikan Lailatul Q
ِ
adar dalam mimpi terjadi pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Aku me
mandang bahwa mimpi kalian tentang Lailatul Qadar tepat terjadi pada tujuh malam terakhir, 
maka siapa yang mau mencarinya, lakukanlah pada tujuh malam terakhir." (HR. Al-Bukhari, 
Shahih Al-Bukhari, I:388, No. hadis 1105, II:709, No. hadis 1911; Muslim, Shahih Muslim, I
I:822, No. hadis 1165)

Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi: 

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َكانَ ُمت ََح ِّريَهَا فَ ْليَت ََح َّرهَا لَ ْيلَةَ َسب ٍْع َو ِع ْش ِرينَ َوقَا َل تَ َحرَّوْ هَا لَ ْيلَةَ َسب ٍْع‬
َ ِ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫َو ِع ْش ِرينَ يَ ْعنِي لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر‬

Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mencarinya, maka
carilah ia (Lailatul Qadar) pada malam ke-27, dan beliau bersabda, “Carilah ia pada malam
ke-27, yakni lailatul qadar.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:27, No. hadis 4808; Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, IV:311, No. hadis 8331; Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Ath-
Thayalisi, I:257, No. hadis 1888)

Hadis ini tidak membatasi bahwa terjadinya Lailatul Qadar itu hanya pada tanggal 27 saja,
namun keterangan ini termasuk salah satu bayan (penjelas) bagi petunjuk umum.

Kesimpulan:

 
Berdasarkan hasil analisa di atas, maka kita mengetahui bahwa meskipun berbeda redaksi
namun pada dasarnya hadis-hadis itu menunjukkan makna yang sama, bahwa Lailatul Qadar
itu akan terjadi di antara tanggal-tanggal berikut: malam 21, 23, 25, 27, atau 29.

Selain itu, hadis-hadis di atas juga menunjukkan bahwa setiap tahun “posisi” Lailatul Qadar
itu tidak selalu berada pada tanggal yang sama. Sehubungan dengan itu, Ibnu Hibban telah
membuat judul bab:

ِ ‫اخ ِر فِي ُكلِّ َسنَ ٍة ُدونَ أَ ْن يَ ُكونَ َكوْ نُهَا فِي ال ِّسنِينَ ُكلِّهَا فِي لَ ْيلَ ٍة َو‬
‫اح َد ٍة‬ ِ ‫ِذ ْك ُر ْالخَ بَ ِر ال َّدا ِّل َعلَى أَ َّن لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر تَ ْنتَقِ ُل فِي ْال َع ْش ِر اأْل َ َو‬

“Keterangan khabar yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir itu
akan berpindah pada setiap tahun, dan keadaannya pada tiap tahun tidak tetap di malam yang
sama.” (Lihat, Shahih Ibnu Hiban, VIII:443)

Mengapa Nabi saw. tidak Menjelaskan Secara detail?

َ‫ فَتَالَ َحى َر ُجالَ ِن ِمن‬،‫ت ِألُ ْخبِ َر ُك ْم بِلَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
ُ ْ‫ خَ َرج‬: ‫ال‬ ُّ ِ‫ خَ َر َج نَب‬: ‫ت قَا َل‬
َ ِ‫ـي هللا‬ ِ ‫ع َْن ُعبَا َدةَ ب ِْن الصَّا ِم‬
َّ ُ َ ُ
ِ ‫و َع َسى أ ْن يَكونَ َخ ْيرًا لك ْم فَالتَ ِمسُوهَا فِي الت‬،
‫اس َع ِة َوالسَّابِ َع ِة َوالخَا ِم َس ِة‬ َ َ ‫ْال ُمسْـلِ ِمينَ فَتَالَ َحى فالَ ٌن َوفالَ ٌن فَ ُرفِ َعت‬
ْ ُ ُ

Dari Ubadah bin Shamit ra, ia mengatakan, “Nabi Allah saw. keluar untuk memberi tahu
kami tentang lailatul Qadar, namun dua orang dari muslimin bertengkar. Beliau
bersabda,’Saya keluar untuk memberi tahu kalian tentang lailatul qadr, tetapi si fulan dan si
fulan bertengkar. Maka diangkatlah dariku, tetapi mudah-mudahan jadi lebih baik bagi kamu.
Maka carilah pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima." (HR. Al-Bukhari. Shahih Al-
Bukhari, I:27, No. 49, II:711, No. hadis 1919; Ath-Thahawi, Syarh Ma’aani Al-Atsaar, III:89;
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII:435, No. hadis 3679)

Lailatul Qadar yang dimaksud tidak sempat dijelaskan dengan lebih terperinci oleh
Rasulullah saw. sehinggga hal itu senantiasa dipertanyakan. Tetapi yang jelas mengenai
fadhilah dan keutamaannya tergambar pada sikap beliau ketika menghadapi sepuluh malam
terakhir bulan Ramadan, yang padanya terdapat Lailatul Qadar. Maka dapat disimpulkan
bahwa Rasululah saw. sendiri tidak diberitahu kapan tepatnya terjadi Lailatul Qadar.

Informasi tentang Lailatul Qadar diangkat kembali dengan sebab perkelahian antara dua
orang laki-laki di hadapan Rasululah saw. Hal ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadr tidak
layak hadir di antara orang yang sedang berbuat maksiat. Sehubungan dengan itu, Al-Bukhari
menetapkan judul di dalam kitab shahihnya:
ِ َّ‫ْرفَ ِة لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ِلتَاَل ِحي الن‬
‫اس‬ ِ ‫بَاب َر ْف ِع َمع‬

”Bab diangkatnya pengetahuan tentang (waktu terjadinya) Lailatul Qadr disebabkan


pertengkaran manusia” (Lihat, Shahih al-Bukhari, V:158)

Dengan demikian kita dapat mengambil pelajaran bahwa dengan tidak dijelaskannya
kepastian waktu terjadi Lailatul Qadr, Rasulullah saw. berharap bahwa hal itu akan lebih baik
untuk kita. Apa kebaikan yang dimaksud?  Menurut sebagian ulama, agar kita bersungguh-
sungguh dalam menyambutnya dengan beribadah di setiap malam pada malam-malam
terakhir itu. Andaikata waktu terjadinya itu langsung disebutkan pada malam tertentu, tentu
saja setiap orang akan bersungguh-sungguh hanya di malam itu, sementara untuk malam-
malam lainnya akan kehilangan “gairah” dan “antusias” dalam beribadah.

Orang Yang memperoleh Keagungan Lailatul Qadar

Rasulullah saw. menyebutkan syarat-syarat dan tanda-tanda orang yang akan memperoleh
“keutamaan” Lailatul Qadar sebagai berikut:

‫ال َم ْن قَا َم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
‫ضانَ إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬ َ ‫صا َم َر َم‬ َ ‫َو َم ْن‬

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda, "Barangsiapa menghidupkan Lailatul
Qadar (mengisi dengan ibadah) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya
dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan barangsiapa
melaksanakan shaum Ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya
dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya". HR. Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, II:672, No. 1802

Imam al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن يَقُ ْم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
َ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬

dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
menegakkan lailatul qodar karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu". HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:22, No. 35

 
Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi:

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن يَقُ ْم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر فَيُ َوافِقُهَا أُ َراهُ ق‬
ُ‫ال إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَه‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda, "Barangsiapa menegakkan (shalat dengan
mengharap) malam Lailatul Qadar, lalu ia mendapatinya, -menurutku ia mengatakan- dengan
penuh keimanan dan pengharapan (akan pahala dari Allah), maka ia akan diampuni." HR.
Muslim, Shahih Muslim, I:524, No. 760; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:306, No. 8307

Penjelasan Kalimat

‫َم ْن قَا َم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر‬

Kata Qaama Lailatal Qadri berarti menghidupkan malam itu dengan beribadah atau dapat
dimaknai pula menaati Allah pada malam itu (Lihat, Dalil al-Falihin Li Thariq Riyadh ash-
Shalihin, VII:13; Mir’ah al-Mafatih, XIV:302)

Kata Imam an-Nawawi:

( ‫ ) َم ْن قَا َم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر‬: ‫ضان قَ ْد يُقَال إِ َّن أَ َحده َما يُ ْغنِي ع َْن اآْل َخر َو َج َوابه أَ ْن يُقَال قِيَام‬ َ ‫هَ َذا َم َع ْال َح ِديث ْال ُمتَقَدِّم َم ْن قَا َم َر َم‬
ِ ‫ َوقِيَام لَ ْيلَة ْالقَ ْدر لِ َم ْن َوافَقَهَا َو َع َرفَهَا َسبَب لِ ْل ُغ ْف َر‬، ‫ْرفَتهَا َسبَب لِ ُغ ْف َرا ِن ال ُّذنُوب‬
‫ان َوإِ ْن‬ ِ ‫ضان ِم ْن َغيْر ُم َوافَقَ ِة لَ ْيلَة ْالقَ ْدر َو َمع‬ َ ‫َر َم‬
ُ
‫ل ْم يَق ْم َغيْرهَا‬ َ

“Hadis: ‘Barangsiapa menegakkan (shalat dengan mengharap) malam Lailatul Qadar.’ Ini
bersama hadis yang telah lalu: ‘Barangsiapa menegakkan (shalat) di bulan Ramadhan.’
Terkadang dinyatakan bahwa salah satu di antara kedua hadis itu cukup mewakili satu sama
lain. Dan jawabannya dapat dikatakan,  menegakkan (shalat) di bulan Ramadhan tanpa
mendapati malam Lailatul Qadar dan tidak mengetahuinya adalah penyebab diampuninya
dosa, dan menegakkan (shalat dengan mengharap) malam Lailatul Qadar bagi orang yang
mendapatinya dan juga mengetahuinya adalah penyebab diampuninya dosa meskipun tidak
menegakkan salat di luar malam itu.” (Lihat, Ad-Dibaj ‘ala Muslim, II:336)

Penjelasan Kalimat

‫َم ْن يَقُ ْم لَ ْيلَة ْالقَ ْدر فَي َُوافِقهَا‬


"Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan ibadah lalu ia mendapatinya”

Kata Imam an-Nawawi, “Kalimat:

‫فَي َُوافِقهَا‬

Maknanya:

‫يَ ْعلَم أَنَّهَا لَ ْيلَةُ ْالقَ ْد ِر‬

Dia mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar.” (Lihat, Syarh Shahih Muslim, III:
104)

Imam al-Iraqi berkata:

‫قلت إنما معنى توفيقها له أو موافقته لها أن يكون الواقع أن تلك الليلة التي قامها بقصد ليلة القدر هي ليلة القدر في نفس‬
‫األمر وإن لم يعلم هو ذلك‬

“Menurut saya, makna menjumpainya ialah bahwa pada hakikatnya malam itu yang ia
menghidupkannya dengan tujuan mencari Lailatul Qadar benar-benar Lailatul Qadar,
meskipun ia tidak mengetahuinya.” (Lihat, Tharh at-Tatsrib fii Syarh at-Taqrib, IV:157)

Al-Faqih Abu Hafsh Umar bin Ibrahim al-Hafizh berkata:

‫ َم ْن يُقِ ْم لَ ْيلَةَ القَ ْد ِر فَي َُوافِقهَا‬: ‫وقوله‬

‫ ومن‬،‫ يصادفها‬:‫ يوافقها ألن معنى يوافقها‬: ‫ وحينئذ يلتئم مع قوله‬، ‫و يقم في هذه الرواية يعني به يطلب بقيامه ليلة القدر‬
، ‫ أو يوافق المالئكة في دعائها‬، ‫ويحتمل أن تكون الموافقة هنا عبارة عن قبول الصالة فيها وال ّدعاء‬.‫صلى فيها فقد صادفها‬
‫ { إنما يتقبل‬: ‫ فإنه‬، ‫ يقبل‬ ‫ وال كل عمل‬، ‫أو يوافقها حاضر القلب متأهالً لحصول الخير والثواب ؛ إذ ليس كل دعاء يسمع‬
‫ وسيأتي استيفاء هذا‬، } ‫هللا من المتقين‬

"Dan sabdanya:

‫َم ْن يَقُ ْم لَ ْيلَةَ القَ ْد ِر فَي َُوافِقهَا‬

 ‘Barangsiapa menegakkan (shalat dengan mengharap) malam Lailatul Qadar, lalu ia


mendapatinya.’

Dan kata yaqum pada riwayat ini bermakna ‘siapa yang mencari Lailatul Qadar dengan
salatnya.’ Dan ketika itu bersatu dengan perkataannya yuwafiquhaa, karena kalimat
yuwafiquhaa bermakna menjumpainya, dan siapa yang melaksanakan salat pada malam
Lailatul Qadar sungguh ia telah menjumpainya. Dan kalimat yuwafiquhaa itu dapat dimaknai
pula (a) bahwa salat dan doanya maqbul (diterima), (b) sesuai dengan malaikat dalam berdoa
di malam itu, (c) menjumpainya dengan kehadiran hati yang pantas untuk memperoleh
kebaikan dan pahala, sebab tidak setiap doa diijabah dan tidak setiap amal diterima, karena
Allah hanya akan menerima dari orang-orang bertakwa.” (Lihat, al-Mufham limaa Asykala
Min Talkhis Kitab Muslim, VII:24)

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang yang menghidupkan Lailatul Qadar
dengan ibadah akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Pencapaian ini setelah
memenuhi persyaratan: karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala hanya dariNya.

Adapun tanda-tanda orang yang mendapatkan kemuliaan malam itu, kata Imam ath-Thabari,
tidak mesti melihat atau mendengar sesuatu. Karena tanda-tanda fisik seperti, kata beliau,
bukanlah suatu kemestian. (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VI:306)

Menurut sebagian ahli ilmu, tanda-tanda itu berupa “tanda” batin atau rohani, yaitu pada
malam tersebut orang mukmin yang shaleh akan merasakan lapang hati dan memiliki
kecenderungan dalam menetapi ibadah kepada Allah. Demikian itu sebagai bagian dari taufik
Allah kepada hamba-Nya yang shaleh. Wallahu A’lam. (Lihat, Syarh Kitab Ash-Siyam Min
Bulugh al-Maram, I:102)
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN (BAGIAN I)
Sebagaimana yang kita yakini bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhamad saw. melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Allah
berfirman:

ٍ ِ‫َوإِنَّهُ لَتَ ْن ِزي ُل َربِّ ْال َعالَ ِمينَ نَ َز َل بِ ِه الرُّ و ُح اأْل َ ِمينُ َعلَى قَ ْلبِكَ لِتَ ُكونَ ِمنَ ْال ُم ْن ِذ ِرينَ بِلِ َسا ٍن ع ََربِ ٍّي ُمب‬
‫ين‬

“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab
yang jelas.” (QS. As-Syu’ara:192-195)

Sebagai kitab Allah, Al-Quran menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari
seluruh ajaran Islam dan berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.  

Posisi dan fungsi Al-Quran inilah yang senantiasa diapresiasikan oleh Nabi, melalui
pengamalan dan pengajaran selama hidup di Mekah sekitar 13 tahun dan Madinah sekitar 10
tahun. (Lebih lanjut silahkan dibaca penjelasan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fii
‘Ulum al-Qur’an, I:232)

Sehubungan dengan itu, kita perlu mengetahui tentang turunnya Al-Quran agar tidak lepas
dari posisi dan fungsi Al-Quran tersebut.

Makna dan Proses Nuzulul Quran

Nuzulul Quran (Nuzuul Al-Quran) secara literal berarti turunnya Al-Quran. Kata Nuzuul
merupakan mashdar (kata dasar) bagi kata nazala yang secara etimologis memiliki dua
pengertian: Pertama, singgah atau menempati. Kedua, turun atau berjalan dari atas ke bawah.
Kedua pengertian ini, menurut Syaikh Muhammad Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, tidak tepat
untuk diterapkan pada Al-Quran. Sebab, singgah, menempati atau turun itu hanya tepat
digunakan untuk sesuatu yang bersifat material. Sedangkan Al-Quran tidaklah demikian.
 

Pakar ilmu Al-Quran itu memaknai kata Nuzuul secara majazi (konotatif), yaitu Al-I’laam
(pemberitahuan). Jadi, Nuzuul Al-Quran berarti bahwa Allah swt. memberitahukan Al-Quran
kepada Nabi Muhammad saw. (Lihat, Manahil al-‘Irfan fii ‘Ulum al-Qur’aan, I:30-31)

Sedangkan secara istilah, Nuzulul Quran, hemat kami, berarti keterangan tentang kronoligis
pemberitahuan Al-Quran kepada Nabi Muhamad saw.

Para ulama sepakat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi dalam tiga tahap:

Pertama, turun ke Lawhul Mahfuzh, sebagaimana difirmankan Allah swt.:

ٍ ُ‫ح َمحْ ف‬
‫وظ‬ ٌ ْ‫بَلْ ه َُو قُر‬
ٍ ْ‫آن َم ِجي ٌد فِي لَو‬

“Bahkan yang mereka dustakan itu ialah Al-Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam
lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj:21-22)

Menurut zahir ayat di atas, pada tahap ini Al-Quran turun sekaligus. Di dalam Al-Quran dan
sunah tidak diterangkan cara dan waktu turunnya Al-Quran itu ke Lawhul Mahfuzh. Berarti
cara dan waktu turun pada tahap pertama ini hanya diketahui oleh Allah.

Kedua, Turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah  fii samaid dunya (langit dunia),
sebagaimana difirmankan Allah:

‫إِنَّا أَن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan  Al-Quran pada lailatul kadar.” (QS. Al-Qadr:1)

َ‫إِنَّا أَن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُمبَا َر َك ٍة إِنَّا ُكنَّا ُمن ِذ ِرين‬

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-
Dukhan:3)

ِ َ‫ت ِم ْن ْالهُدَى َو ْالفُرْ ق‬ ُ


‫ان‬ ِ َّ‫نز َل فِي ِه ْالقُرْ آنُ هُدًى ِللن‬
ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ ِ ‫ضانَ الَّ ِذي أ‬
َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
“Bulan Ramadhan yang Al-Quran diturunkan padanya  sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).” (QS. Al-Baqarah:185)

Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu turun sekaligus pada satu malam di bulan
Ramadhan, yaitu pada Lailatul Qadar yang disifati dengan Lailah Mubaarakah (malam yang
diberkahi).

Dengan demikian, turun yang dimaksud pada ayat-ayat ini adalah dari lawhul mahfuzh ke
langit dunia secara menyeluruh, bukan turun kepada Nabi saw. Hal itu sebagaimana
ditegaskan oleh sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas:

َ ِ‫اح َدةً إِلَى َس َما ِء ال ُّد ْنيَا فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ثُ َّم أُ ْن ِز َل بَعْد َذل‬
‫ك فِي ِع ْش ِرينَ َسنَةً َوقَ َرأَ ( َوقُرْ آنًا فَ َر ْقنَاهُ ِلتَ ْق َرأَهُ َعلَى‬ ِ ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ آن ُج ْملَةً َو‬
‫ث ) اآْل يَة‬
ٍ ‫اس َعلَى ُم ْك‬ ِ َّ‫الن‬

“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qadar, kemudian setelah itu
diturunkan (kepada Rasul) pada masa 20 tahun.” Dan ia membaca ayat wa quranan
faraqnahu…(QS. Al-Isra:106)” (H.r. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, VI:421, No. hadis
11.372)

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

‫صلى‬- ‫ُوم َو َكانَ هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُ ْن ِزلُهُ َعلَى َرسُولِ ِه‬ ِ ‫ َو َكانَ بِ َموْ قِ ِع ال ُّنج‬، ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ آنُ فِى لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ُج ْملَةً َوا ِح َدةً إِلَى َس َما ِء ال ُّد ْنيَا‬
َ‫فَقَا َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل َوقَالُوا (لَوْ الَ نُ ِّز َل َعلَ ْي ِه ْالقُرْ آنُ ُج ْملَةً َوا ِح َدةً َك َذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِ ِه فُ َؤادَك‬.‫ْض‬
ٍ ‫ضهُ فِى إِ ْث ِر بَع‬ َ ‫ بَ ْع‬-‫هللا عليه وسلم‬
ْ
)َ‫َو َرتَّلنَاهُ تَرْ تِيال‬

“Al-Quran diturunkan pada Lailatul Qadar sekaligus ke langit dunia, dan itu sesuai dengan
masa turunnya bagian-bagian bintang, dan Allah ‘Azza wajalla menurunkannya kepada
Rasul-Nya sebagian demi sebagian. Maka Allah ‘Azza wajalla berfirman, “Dan mereka
mengatakan, ‘Lawlaa nuzzila ‘alaihil Quraanu… (QS. Al-Furqan:32)” (H.r. Al-Baihaqi, As-
Sunan Al-Kubra, IV: 306, No. hadis 8304; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, II:578,
No. hadis 3958)

Dalam riwayat lain dijelaskan:


‫ضانَ الَّ ِذي أُ ْن ِز َل‬
َ ‫ َش ْه ُر َر َم‬- ‫ك قَوْ لُهُ تَ َعالَى‬ ُ ‫ أَ َوقَ َع فِي قَ ْلبِي ال َّش‬:‫ال‬ َ َ‫س رضي هللا عنهما أَنَّهُ َسأَلَهُ َع ِطيَّةُ بْنُ االَ ْس َو ِد ق‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ُ
َّ ‫ إِنَّا أَ ْنزَ ْلنَاهُ فِ ْي لَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر َوه َذا أ ْن ِز َل فِي َشوَّا ٍل َو ِذي القَ ْع َد ِة َو ِذي ال ِح َّج ِة َوفِي ال ُم َحر َِّم َوال‬: ُ‫ َوقَوْ لُه‬- ُ‫فِ ْي ِه ْالقُرْ آن‬
،‫صفَ ِر َو َشه ِْر َربِي ٍْع‬
‫ُور َواألَي َِّام‬
ِ ‫ُوم َر َسالً فِي ال ُّشه‬ ِ ‫ضانَ فِي لَ ْيلَ ِة القَ ْد ِر ُج ْملَةً َوا ِح َدةً ثُ َّم أُ ْن ِز َل َعلَى َم َواقِ ِع النُّج‬
َ ‫ إِنَّهُ أُ ْن ِز َل فِي َر َم‬:‫س‬ٍ ‫فَقَا َل ابْنُ َعبَّا‬.

Dari Ibnu Abas Ra., bahwa ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, ia berkata, ”Aku
ragu-ragu tentang firman Allah ta’ala, ‘Syahru Ramadhaanalladzii unzila fihil Quraanu’ dan
Firman-Nya, ‘Innaa anzaalnahu fii lailatil qadri.’ Apakah turunnya itu pada bulan Syawal,
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa Al-
Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah Al-Qadar secara sekaligus,
kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur
pada beberapa bulan dan hari.” (HR. Al-Baihaqi, Al-Asmaa was Shifaat, II:35, No. hadis 487)

Ketiga, Turun kepada Nabi saw.

Pada tahap ini Al-Quran turun kepada Nabi saw. itu secara berangsur-angsur, yakni:

Pertama, ketika hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 17
Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi atau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, hingga
1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya. Pada periode ini turun 86 surat atau
sekitar 4.780 ayat, dan turunnya bukan hanya di bulan Ramadhan.

Kedua, ketika hidup di Madinah setelah hijrah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, terhitung
semenjak hijrah ke Madinah sampai tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-63 dari tahun
kelahirannya. Pada periode ini turun 28 surat atau sekitar 1.456 ayat, dan turunnya bukan
hanya dibulan Ramadhan. Dalam hal ini, Ibnu Abbas menjelaskan:

َ َ‫ُوحى إِلَ ْي ِه ثُ َّم أُ ِم َر بِ ْال ِهجْ َر ِة فَه‬


‫اج َر َع ْش َر‬ َ ‫ث َع ْش َرةَ َسنَةً ي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أِل َرْ بَ ِعينَ َسنَةً فَ َم ُك‬
َ ‫ث بِ َم َّكةَ ثَاَل‬ َ ِ ‫ث َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫بُ ِع‬
ٍ ‫ِسنِينَ َو َماتَ َوهُ َو ابْنُ ثَاَل‬
َ‫ث َو ِستِّين‬

“Rasulullah saw. diutus sebagai Rasul saat beliau berusia empat puluh tahun, beliau tinggal di 
Makkah selama tiga belas tahun menerima wahyu, kemudian beliau diperintahkan untuk berh
ijrah, Maka beliau berhijrah dan (menetap di Madinah) selama sepuluh tahun hingga beliau w
afat ketika berusia enam puluh tiga tahun." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III:1416, N
o. hadis 3689) 

Dari berbagai keterangan tersebut tampak jelas bagi kita bahwa Al-Quran itu turun kepada
Nabi Muhamad melalui tahapan-tahapan, tidak secara sekaligus. Pada tahap pertama turun
dari Allah ke Lawhul Mahfuzh. Kedua, turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit
dunia, dan ketiga turun kepada Nabi secara bertahap kurang lebih selama 23 tahun.

Hikmah Turun Alquran Kepada Nabi Secara Bertahap

Penurunan Alquran secara bertahap kepada Nabi Muhammad saw. tentu bukan suatu
kebetulan atau karena ketidaksengajaan. Para ulama telah berupaya menyingkap hikmah
dibalik penurunan Alquran secara berangsur-angsur itu, di antaranya:

(1) untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW dengan cara mengingatkannya terus-menerus,

(2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Rasulullah saw,

(3) di antara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan
atau masalah yang diajukan kepada Nabi SAW sesuai dengan keperluan,

(4)  hukum-hukum Allah yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap,
dan

(5) memudahkan penghafalan.

(Lebih lanjut silahkan dibaca penjelasan Syekh Manna’ul Qathan dalam kitab Mabaahits fii
‘Ulum al-Qur’an: 107-116)
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN (BAGIAN II)
Kapan Terjadinya Nuzulul Quran?

Mayoritas kaum muslimin di Indonesia tentu akan menjawab tanggal 17 Ramadhan. Jika
pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 17 Ramadhan? Jawabannya belum tentu diketahui oleh
mayoritas kaum muslimin di Indonesia.

Sejauh pengetahuan kami, gagasan ini berawal dari Ibnu Ishaq (w. 150 H), seorang pakar
tarikh Islam. Ia menyatakan bahwa ayat Al-Quran pertama kali turun adalah pada tanggal 17
Ramadhan. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:

ِ ‫ان يَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬


‫ان َوهَّللا ُ َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬ ِ َ‫إِ ْن ُك ْنتُ ْم آ َم ْنتُ ْم بِاهَّلل ِ َو َما أَ ْن َز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا يَوْ َم ْالفُرْ ق‬

“…jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami  (Muhammad) di hari Furqan yaitu di hari bertemunya  dua pasukan.” (QS. Al- Anfal:
41).

Adapun kerangka metodologinya sebagai berikut: Furqan adalah pemisah antara yang hak
dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah hari  kemenangan kaum
Muslimin dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di perang Badar.
Bertemunya dua pasukan, muslimin dan musyrikin, itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17
Ramadhan tahun 2 H. Dan hari Furqan adalah hari ketika Al-Quran pertama kali diturunkan.
Kedua hari itu sama-sama hari Jumat dan tanggal 17 Ramadhan, tapi tahunnya berbeda.

Selain itu didasarkan pada atsar (pendapat sahabat) sebagai berikut:

ِ ْ‫ول ْالقُر‬
‫آن‬ ِ ‫ َما أَ ُش ُّك َو َما أَ ْمت َِريْ أَنَّهَا لَ ْيلَةُ َس ْب َع َع ْش َرةَ لَ ْيلَةَ نُ ُز‬:‫ت زَ ْي َد بن أَرْ قَ َم ع َْن لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر؟ فَقَا َل‬
ُ ‫ َسأ َ ْل‬:‫ي قَا َل‬
ِّ ‫ع َْن َحوْ ٍط ْال َع ْب ِد‬
ِ ‫َويَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬
‫ان‬

Dari Hawth Al-‘Abadiy, ia berkata, “Saya bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang Lailatul
Qadar?” Maka ia menjawab, “Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17
sebagai malam turunnya Al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan.” (HR. Ath-Thabrani,
Al-Mu’jamul Kabir, V:131-132, No. hadis 4939) 
 

Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Ath-Thabrani dengan
redaksi: 

ُ‫ضانَ لَ ْيلَةَ أُ ْن ِز َل ْالقُرْ آن‬


َ ‫َما أَ ُش ُّك َوالَ أَ ْمت َِري أَنَّهَا لَ ْيلَةُ َس ْب َع َع ْش َرةَ َم ْن َر َم‬

‘Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 Ramadhan sebagai malam
turunnya Al-Quran.’  

Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.”(Lihat, Fath al-Bari Syarh
Shahih Al-Bukhari, IV: 263)

Pendapat "17 Ramadhan" dipilih juga oleh Ustadz Muhammad Hudhari Bik dan Syekh
Mushthafa Al-Maragi. Syekh al-Maraghi menjelaskan, “Surat Al-Qadr menegaskan, bahwa
turunnya Al-Quran itu pada malam Lailah Al-Qadar.  Ayat dalam surat Ad-Dukhan
menguatkan dan menjelaskan, bahwa turunnya (Al-Quran) itu pada malam yang diberkahi.
Ayat yang terdapat pada surat Al-Baqarah menunjukkan bahwa turunnya al-Quran itu pada
bulan Ramadan. Dan ayat pada Surat Al-Anfal menunjukkan, bahwa turunnya Al-Quran itu
pada hari yang sama (nama harinya) dengan hari bertemunya dua pasukan besar pada perang
Badar yang pada hari itu Allah memisahkan yang haq dan yang batal. Maka jelaslah bahwa
malam itu adalah malam Jumat tanggal 17 Ramadhan. (Lihat, Tafsir Al-Maraghi, juz 10, hlm.
207)

Hemat kami, menurut pendapat ini yang dimaksud Nuzulul Quran adalah turunnya ayat Al-
Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran
pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.

Kedudukan Riwayat “17 Ramadhan”

Pendapat Ibnu Ishaq ini diterima secara meluas di Indonesia. Tapi Imam Az-Zarqani
membantah pendapat ini, walaupun ia tidak menyebutkan secara jelas tanggal berapa ayat Al-
Quran itu pertama kali turun.

 
Adapun berkenaan dengan atsar, selain status hadisnya mauquf (perkataan shahabat Nabi),
bukan sabda Nabi saw. (hadis marfu’), juga menurut para ahli hadis, hadis tersebut tidak
lepas dari kedha’ifan, sebagai berikut:

Status Hadis Zaid bin Arqam

Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama Muhammad bin Abdullah Al-
Hadhrami, dari Salm bin Junadah, dari Zaid Al-Hubbaab, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth
Al-‘Abadiy (Al-Mu’jamul Kabir, V:131) Sementara Ibnu Abu Syaibah melalui rawi Yazid bin
Harun, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy. (Al-Mushannaf, II:326). 

Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Hawth Al-‘Abadiy. Menurut Abul Fidaa
Zainuddin Qasim Quthluubugha, namanya Hawth bin ‘Abdul ‘Aziz Al-‘Abadiy. Dia
meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Arqam. Sementara yang meriwayatkan
darinya adalah Abdul Malik bin Maisarah dan Al-Mas’udiy. (Lihat, Ats-Tsiqat Mimman Lam
Yaqa’ fiil Kutub As-Sittah, IV:71)

Kata Imam Al-Bukhari:

‫ح ِديثُهُ هَ َذا ُم ْن َك ٌر‬ 


َ

“Hadisnya ini munkar.” (Lihat, Majma’ az-Zawaa`id wa Manba’ al-Fawaa`id, III:178)

Sementara dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir-nya, setelah Imam Al-Bukhari menyebutkan


riwayat “17 Ramadhan” tersebut, ia berkata:

‫َو هَ َذا ُم ْن َك ٌر الَ يُتَابَ ُع َعلَ ْي ِه‬

“Ini adalah hadis munkar, tidak ada taa’bi’ (penguat) atasnya.” (Lihat, At-Tarikh Al-Kabir,
III:91)

Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani:

‫َوالَ يُ ْد َرى َم ْن ه َُو‬


“Dan tidak diketahui siapa dia.” (Lihat, Lisaan al-Miizaan, III:307)

Status Hadis Ibnu Mas’ud

Hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan redaksi sebagai berikut: 

ِ ‫يحةُ يَوْ ِم ْالفُرْ قَا ِن يَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬


‫ان‬ ْ ‫ قَا َل‬،ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا‬
َ ‫ فَإِنَّهَا‬،َ‫التَ ِمسُوهَا لَ ْيلَةَ َس ْب َع َع ْش َرة‬:
َ ِ‫صب‬

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena
malam itu adalah permulaan siang hari Furqan sebagai hari bertemunya dua pasukan.” (HR.
Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, X:130, No. hadis 10.203) 

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq dengan redaksi
sebagai berikut: 

ِ ‫صبِي َحةُ بَ ْد ٍر يَوْ َم ْالفُرْ قَا ِن يَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬


‫ان‬ َ ‫ فَإِنَّهَا‬، َ‫ْالتَ ِمسُوا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر لَ ْيلَةَ َس ْب َع َع ْش َرة‬

“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari
Badar, sebagai hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah,
II:396, No. hadis 21; Mushannaf Abdurrazaq, II:251, No. hadis 8680) 

Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama "’Abdan bin Ahmad, dari
Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Wakii’, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-
Tsa’labiy, dari Al-Aswad bin Yazid, dari Ibnu Mas’ud (Lihat, Al-Mu’jam al-Kabir, X:13)  

Sementara Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq melalui rawi Wakii’, dari Israil dan ayahnya.
Keduanya dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Taghlabiy, dari Al-Aswad bin Ali’, dari Ibnu
Mas’ud. (Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396; Mushannaf Abdurrazaq, II:251) 

Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Abu Ishaq. Menurut Syekh Al-Albaniy, “Ini
sanad yang dha’if, Abu Ishaq adalah As-Sabii’I, ia mudallis (menyamarkan sanad) dan
mukhtalith (berubah daya hapalannya). Selain itu, hadis tersebut menyalahi riwayat yang
shahih dari Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa bahwa Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari
terakhir (dari bulan Ramadhan).” (Lihat, Dha’iif Sunan Abu Dawud, II:65-66)
 

Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka hadis Mauquf (ucapan shahabat) dalam
hal ini Zaid bin Arqam dan Ibnu Mas’ud tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah bahwa Al-
Quran itu diturunkan pada “17 Ramadhan”, karena statusnya dha’if (lemah).
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN (BAGIAN III)
Tanggal 21 Ramadhan

Ada yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi pada tanggal 21 Ramadhan. Pendapat
"21 Ramadhan" menurut sebagian kalangan dipilih oleh Syekh Shafiyyurrahman Al-
Mubarakfuriy. Beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat di antara pakar
sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5, dan
beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21 Ramadhan. Beliau
mengatakan:

ُ‫َوإِنَّ َما َرجَّحْ نَا أَنَّهُ ْاليَوْ ُم ْال َحا ِدي َو ْال ِع ْشرُوْ نَ َم َع أَنَّا لَ ْم نَ َر َم ْن قَا َل بِ ِه ألَ َّن أَ ْه َل ال ِّسي َْر ِة ُكلَّهُ ْم أَوْ أَ ْكثَ َرهُ ْم ُمتَّفَقُوْ نَ َعلَى أَ َّن َم ْب َعثَه‬
‫ُول هَّللا ِ صلى هللا عليه‬ َ ‫ث ع َْن أَبِى قَتَا َدةَ رضى هللا عنه أَ َّن َرس‬ ِ ‫صلى هللا عليه وسلم َكانَ يَوْ َم ا ِإل ْثنَ ْي ِن َويُ َؤيِّ ُدهُ ْم َما َر َواهُ أَئِ َّمةُ ْال َح ِد ْي‬
‫ى فِي ِه‬ َّ َ‫ت أَوْ أُ ْن ِز َل َعل‬ ُ ‫ت فِي ِه َويَوْ ٌم بُ ِع ْث‬ ُ ‫ك يَوْ ٌم ُولِ ْد‬ َ ‫ي وفي لفظ َذا‬ َّ َ‫نز َل َعل‬ ُ
ِ ‫ت َوفِ ْي ِه أ‬ ُ ‫صوْ ِم يَوْ ِم ا ِال ْثنَي ِْن فَقَال فِ ْي ِه ُولِ ْد‬
َ ‫وسلم ُسئِ َل ع َْن‬
َ‫ضانَ ِم ْن تِ ْلك‬ َ ‫اال ْثنَي ِْن فِ ْي َر َم‬ ِ ‫ َويَوْ ُم‬602\2 ‫ الحاكم‬, 300 , 286\4 ‫ البيهقي‬, 299 , 297\5 ‫ أحمد‬, 368\1 ‫(صحيح مسلم‬
َ‫َّح ْي َحةُ أَ َّن لَ ْيلَة‬
ِ ‫ات الص‬ ُ َ‫ت الرِّ َواي‬ ِ َّ‫ق ِإالَّ ْاليَوْ َم السَّابِ َع َوالرَّابِ َع َع َش َر َو ْال َحا ِدي َو ْال ِع ْش ِر ْينَ َوالثَّا ِمنَ َو ْال ِع ْش ِر ْينَ َوقَ ْد دَل‬ ُ ِ‫ال َّسنَ ِة الَ يُ َواف‬
‫ارنَّا بَ ْينَ قَوْ لِ ِه تَ َعالَى (إِنَّا‬ َ َ‫ضانَ َوأَنَّهَا تَ ْنتَقِ ُل فِ ْي َما بَ ْينَ ه ِذ ِه اللَّيَالِي فَإ ِ َذا ق‬ َ ‫اخ ِر ِم ْن َر َم‬ ِ ‫ْالقَ ْد ِر الَ تَقَ ُع إِالَّ فِي ِو ْت ٍر ِم ْن لَيَالِي ْال َع ْش ِر األَ َو‬
‫ب التَّ ْق ِوي ِْم ْال ِع ْل ِم ِّي فِي‬ ِ ‫اإل ْثنَي ِْن َوبَ ْينَ ِح َسا‬ ِ ‫أَ ْنز َْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر) َو بَ ْينَ ِر َوايَ ِة أَبِى قَتَا َدةَ أَ َّن َم ْب َعثَهُ صلى هللا عليه وسلم َكانَ يَوْ َم‬
‫ك ال َّسنَ ِة تَ َعيَّنَ لَنَا أَ َّن َم ْب َعثَهُ صلى هللا عليه وسلم َكانَ فِ ْي ْاليَوْ ِم ْال َحا ِدي َو ْال ِع ْش ِر ْينَ ِم ْن‬ َ ‫ضانَ ِم ْن تِ ْل‬ َ ‫ع يَوْ ِم ا ِإل ْثنَ ْي ِن فِي َر َم‬
ِ ْ‫ُوقُو‬
ً‫ضانَ لَ ْيال‬ َ ‫َر َم‬

Artinya: “Kami memilih pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak
melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar tarikh atau setidak-tidaknya
mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada ahari senin,
dan pendapat mereka diperkuat oleh riwayat para imam hadis, dari Abu Qatadah Ra., bahwa
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang shaum hari senin. Maka beliau menjawab,

َّ َ‫نز َل َعل‬ُ ُ ‫فِ ْي ِه ُولِ ْد‬


‫ي‬ ِ ‫ت َوفِ ْي ِه أ‬

“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu  kepadaku.”

Dan dalam redaksi lain:

َّ َ‫ت أَوْ أُ ْن ِز َل َعل‬


‫ى فِي ِه‬ ُ ‫ت فِي ِه َويَوْ ٌم بُ ِع ْث‬
ُ ‫ك يَوْ ٌم ُولِ ْد‬
َ ‫َذا‬

 "Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diturunkan (wahyu)
atasku" (HR. Muslim, 1/368; Ahmad, 5/297; Al-Baihaqi, 4/286, 300; dan Al-Hakim 2/602).

Dan hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan
28. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qadar tidak jatuh
kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan berpindah
di antara malam-malam itu. Jadi jika kita membandingkan antara firman Allah,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qadar (QS. Al-Qadar:1)”
dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari senin,
serta berdasarkan hisab almanac ilmiah tentang jatuhnya hari senin dari bulan Ramadhan
pada tahun itu, maka jelaslah bagi kita bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada
malam tanggal 21 dari bulan Ramadhan. (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum, Bahs fii As-Siirah
An-Nabawiyyah ‘alaa Shaahibihaa Afdhal As-Shalaatu was Salaam, hlm. 66-67)

Hemat kami, bila penjelasan Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuriy dianggap sebagai


pendapat tentang Nuzulul Quran, maka yang dimaksud adalah turunnya ayat Al-Quran untuk
pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap
ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.

Tanggal 24 Ramadhan atau Malam ke- 25

Ada juga yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi pada tanggal 24 Ramadhan atau
malam ke-25. Pendapat ini didasarkan kepada hadis-hadis yang menyatakan tentang
tanggalnya itu. Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, hadis dari Watsilah bin al-Asqa bahwa Rasulullah saw. bersabda:

‫ث‬َ ‫ضانَ َواإْل ِ ْن ِجي ُل لِثَاَل‬


َ ‫ض ْينَ ِم ْن َر َم‬ َ ‫ت َم‬ ٍّ ‫ت التَّوْ َراةُ لِ ِس‬ ْ َ‫ضانَ َوأُ ْن ِزل‬
َ ‫ص ُحفُ إِ ْب َرا ِهي َم َعلَ ْي ِه ال َّساَل م فِي أَو َِّل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َر َم‬ ْ َ‫قَا َل أُ ْن ِزل‬
ُ ‫ت‬
َ‫ضان‬َ ‫ت ِم ْن َر َم‬ ْ َ‫ضانَ َوأُ ْن ِز َل ْالفُرْ قَانُ أِل َرْ بَ ٍع َو ِع ْش ِرينَ خَ ل‬َ ‫ت ِم ْن َر َم‬ ْ َ‫َع ْش َرةَ خَ ل‬

“Lembaran-lembaran Ibrahim diturunkan pada hari pertama bulan Ramadhan. Taurat


diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari ketiga belas
bulan Ramadhan. Sedangkan Al-Quran diturunkan pada hari kedua puluh empat bulan
Ramadhan.” (H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXIV:346, No. 16.370)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Ibnu Abu Hatim, Al-
Mundziri, dan Al-Waahidiy, namun dengan penambahan redaksi:

ْ َ‫َوأُ ْن ِز َل ال َّزبُو ُر لِثَ َما ِن َع ْش َرةَ خَ ل‬


َ ‫ت ِم ْن َر َم‬
َ‫ضان‬
“Zabur diturunkan pada hari delapan belas bulan Ramadhan.” (Lihat, Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IX:188, No. hadis 18.429 dan Syu’abul Iimaan, V:263; No. hadis 1671; Ath-
Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXII:75, No. hadis 185 dan Al-Mu’jam Al-Awsath, VIII:435,
No. hadis 3882; Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Abu Hatim, VI:273, No. hadis 1671; Al-
Mundziri, At-Targhiib wat Tarhiib, II:378, No. Hadis 1818; Al-Waahidiy, Asbaabun Nuzuul:
13) 

Kedua, penjelasan Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sebagai berikut:

‫ َوأُ ْن ِز َل ال َّزبُو ُر‬، َ‫ضان‬ ِ َ‫ َوأُ ْن ِزل‬، َ‫ضان‬


ٍّ ‫ت التَّوْ َراةُ َعلَى ُمو َسى لِ ِس‬
َ ‫ت خَ لَوْ نَ ِم ْن َر َم‬ َ ‫صحُفَ إِب َْرا ِهي َم فِي أَ َّو ِل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َر َم‬
ُ ُ ‫أَ ْن َز َل هَّللا‬
‫ت‬ ْ َ‫ َوأُ ْن ِز َل ْالقُرْ آنُ َعلَى ُم َح َّم ٍد صلى هللا عليه وسلم فِي أَرْ بَ ٍع َو ِع ْش ِرينَ خَ ل‬، َ‫ضان‬ َ ‫ت ِم ْن َر َم‬ ْ َ‫َعلَى دَا ُو َد فِي إِحْ دَى َع ْش َرةَ لَ ْيلَةً خَ ل‬
َ‫ضان‬ َ ‫ِم ْن َر َم‬

“Allah menurunkan lembaran-lembaran Ibrahim pada hari pertama bulan Ramadhan. Taurat
diturunkan kepada Musa pada hari keenam bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada Dawud
di hari ketiga belas bulan Ramadhan, dan Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw. di hari
kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (H.r. Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, juz 4, hlm. 137.
No. 2190)

Penjelasan Para Ahli Hadis

(a) Hadis Watsilah bin al-Asqa  

Seluruh jalur periwayatan hadis Watsilah bin al-Asqa melalui rawi ‘Imran Abul ‘Awwaam,
dari Abu Qatadah, dari Abul Maliih, dari Watsilah bin al-Asqa, dari Raslullah Saw.

Kata Imam Al-Haitsami:

‫ أَرْ جُو‬:ُ‫ال أَحْ َمد‬ َ ، ُ‫ َوفِي ِه ِع ْم َرانُ بْنُ دَا ُو َد ْالقَطَّان‬،‫ير َواأْل َوْ َس ِط‬
َ َ‫ َوق‬، َ‫ َو َوثَّقَهُ ابْنُ ِحبَّان‬،‫ض َّعفَهُ يَحْ يَى‬ ِ ِ‫َر َواهُ أَحْ َم ُد َوالطَّبَ َرانِ ُّي فِي ْال َكب‬
ِ ‫صالِ َح ْال َح ِدي‬
ٌ َ‫ َوبَقِيَّةُ ِر َجالِ ِه ثِق‬.‫ث‬
‫ات‬ َ َ‫أَ ْن يَ ُكون‬

“Hadis itu diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabari dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-
Mu’jam Al-Awsath dan di dalam sanadnya terdapat rawi ‘Imran bin Dawud Al-Qaththan. Ia
dinyatakan dha’if oleh Yahya bin Ma’in dan dinyatakan tsiqah (kredibel) oleh Ibnu Hibban.
Dan Ahmad berkata, ‘Aku berharap ia shalih al-hadits.’ Dan para rawi lainnya tsiqat.” (Lihat,
Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, I:407) 

Menurut Syekh Al-Albaniy, “Hadis ini hasan.” (Lihat, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah,
IV:104) 

(b)hadis Jabir bin Abdullah 

Hadis Jabir diriwayatkan oleh Abu Ya’la melalui rawi Sufyan bin Wakii’, dari Wakii’, dari
Ubaidullah, dari Abu Maliih, dari Jabir bin Abdullah.

Kata Imam Al-Haitsami:

ٌ ‫ض ِع‬
‫يف‬ ٍ ‫ َوفِي ِه ُس ْفيَانُ بْنُ َو ِك‬،‫َر َواهُ أَبُو يَ ْعلَى‬
َ ‫ َوه َُو‬،‫يع‬

“Hadis itu diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan di dalam sanadnya terdapat rawi Sufyan bin
Wakii’, dan ia rawi yang dha’if.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, I:408) 

Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani, “(Susunan sanad dari Abul Maliih, dari Jabir bin Abdullah) ini
terbalik, seharusnya dari Watsilah Ra.” (Lihat, Al-Mathaalib Al-‘Aaliyyah Bi Zawaa`id Al-
Masaaniid Ats-Tsamaaniyyah, IV:350)

Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka hadis Mauquf (ucapan shahabat) Jabir
bin Abdullah tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah bahwa Al-Quran itu diturunkan kepada
Nabi pada “24 Ramadhan”, karena statusnya dha’if (lemah).

Dengan demikian, jika kita mengacu kepada penilaian Syekh Al-Albani, maka kiranya
menjadi sangat jelas bahwa atas dasar riwayat Watsilah bin al-Asqa, peristiwa turunnya Al-
Quran itu dapat disimpulkan terjadi pada 24 Ramadan atau malam ke-25 Ramadhan,
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Halimi:
َ‫س َو ِع ْش ِرين‬
ٍ ‫ي ُِري ُد بِ ِه لَ ْيلَةَ خَ ْم‬

“Yang dimaksud ialah malam ke-25.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, III:521)

Para ulama berbeda pemahaman tentang Nuzulul Quran yang dimaksud pada hadis ini.
Sebagian menyatakan bahwa turun yang dimaksud adalah ke Lawh al-Mahfuzh, bukan turun
kepada Nabi Muhammad saw. Imam al-Munawi berkata:

‫ثم إن ما ذكر من إنزاله في تلك الليلة أراد به إنزاله إلى اللوح المحفوظ فإنه نزل عليه فيها جملة ثم أنزل منه منجما ً في نيف‬
‫وعشرين سنة‬

“Kemudian apa yang dia sebutkan tentang penurunan Al-Quran di malam itu, maksudnya
penurunannya ke al-Lawh al-Mahfuzh, karena pada malam itu Al-Quran diturunkan ke sana
sekaligus. Lalu diturunkan darinya secara bertahap selama 20 tahun lebih.” (Lihat, Faidh al-
Qadir, XI:144)

Berdasarkan pendapat ini, maka Nuzulul Quran tanggal 24 Ramadhan atau malam ke-25
dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap pertama, yaitu ketika Al-Quran diturunkan ke
al-Lawh al-Mahfuzh.

Sebagian menyatakan bahwa turun yang dimaksud adalah turun kepada Nabi Muhammad
saw. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani:

‫ضانَ الَّ ِذي أُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُرْ آنُ ) َولِقَوْ لِ ِه تَ َعالَى ( إِنَّا أَ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر ) فَيَحْ تَ ِمل أَ ْن‬
َ ‫َوهَ َذا ُكلّه ُمطَابِق لِقَوْ لِ ِه تَ َعالَى ( َش ْه ُر َر َم‬
‫ ثُ َّم أُ ْن ِز َل فِي ْاليَوْ م الرَّابِع َو ْال ِع ْش ِرينَ إِلَى‬، ‫ فَأ ُ ْن ِز َل فِيهَا ُج ْملَة إِلَى َس َماء ال ُّد ْنيَا‬، ‫ك اللَّ ْيلَة‬ َ ‫َت تِ ْل‬ َ ‫تَ ُكون لَ ْيلَة ْالقَ ْدر فِي تِ ْل‬
ْ ‫ك ال َّسنَة َكان‬
) ‫اأْل َرْ ض أَوَّل ( اِ ْق َر ْأ بِاس ِْم َربِّك‬

“Dan semua ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, ‘Bulan Ramadhan yang Al-Quran
diturunkan padanya.’ (QS. Al-Baqarah:185) dan firman-Nya, ‘Sesungguhnya Kami telah
menurunkan  Al-Quran pada Lailatul Qadar.’ (QS. Al-Qadr:1). Maka dimungkinkan Lailatul
Qadar pada tahun itu terjadi pada malam tersebut, lalu pada malam itu Al-Quran diturunkan
ke langit dunia secara sekaligus. Kemudian diturunkan yang pertama ke bumi ayat ‘Iqra’
bismirrabbika..’ pada hari atau tanggal 24 Ramadhan.” (Lihat, Fath al-Bari, XIV:184)

Berdasarkan pendapat ini, maka Nuzulul Quran tanggal 24 Ramadhan atau malam ke-25
dapat dikategorikan sebagai Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran
diturunkan kepada Nabi saw. Secara berangsur-angsur, dan tanggal 24 Ramadhan merupakan
waktu permulaannya
‫)‪HAKIKAT NUZUL AL-QURAN (BAGIAN IV‬‬
‫‪Sikap Nabi saw. Terhadap Nuzulul Quran: Periode Mekah‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Di awal (Bagian I) sudah disebutkan bahwa Al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. itu secara‬‬
‫‪berangsur-angsur:‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Pertama, ketika hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 17‬‬
‫‪Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi atau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, hingga‬‬
‫‪1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya. (Lihat, Mawshu’ah al-Qur’aniyyah,‬‬
‫)‪I:326‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Berdasarkan keterangan Ibnu Abas, pada periode ini turun 86 surat atau sekitar 4.780 ayat,‬‬
‫;‪dan turunnya bukan hanya di bulan Ramadhan. (Lihat, Fadha’il al-Qur’an, II:200, No. 813‬‬
‫)‪Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, I:26; Al-Burhan fii Ulum al-Qur’an, I:193‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Surat Pertama Diturunkan‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪Surat yang pertama diturunkan adalah al-Alaq dengan jumlah 5 ayat: dari ayat 1 sampai 5.‬‬
‫‪Ketika itu Nabi Muhammad saw. Sedang berkhalwat di gua Hira, sebagaimana diterangkan‬‬
‫‪dalam hadis berikut ini:‬‬

‫ت َكانَ‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَالَ ْ‬ ‫الزبَي ِْر أَ ْخبَ َرهُ أَ َّن عَائِ َشةَ َزوْ َج النَّبِ ِّي َ‬ ‫ب أَ َّن عُرْ َوةَ ْبنَ ُّ‬ ‫س ب ِْن يَ ِزي َد قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ابْنُ ِشهَا ٍ‬ ‫ع َْن يُونُ َ‬
‫ْح ثُ َّم‬ ‫ْ‬
‫ت ِمث َل فَلَ ِ‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الرُّ ْؤيَا الصَّا ِدقَةُ فِي النَّوْ ِم فَ َكانَ اَل يَ َرى ر ُْؤيَا إِاَّل َجا َء ْ‬ ‫ئ بِ ِه َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬ ‫أَ َّو َل َما بُ ِد َ‬
‫ق الصُّ ب ِ‬
‫ت ْال َع َد ِد قَب َْل أَ ْن يَرْ ِج َع إِلَى أَ ْهلِ ِه َويَتَ َز َّو ُد‬ ‫ث التَّ َعبُّ ُد اللَّيَالِ َي َذ َوا ِ‬‫ث فِي ِه قَا َل َوالتَّ َحنُّ ُ‬ ‫َار ِح َرا ٍء فَيَتَ َحنَّ ُ‬
‫ق بِغ ِ‬ ‫ِّب إِلَ ْي ِه ْالخَاَل ُء فَ َكانَ يَ ْل َح ُ‬ ‫ُحب َ‬
‫صلى ُ‬‫هَّللا‬ ‫َّ‬ ‫هَّللا‬
‫ال َرسُو ُل ِ َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ك فَقَا َل اق َرأ فَقَ َ‬ ‫ْ‬
‫َار ِح َرا ٍء فَ َجا َءهُ ال َملَ ُ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬
‫لِ َذلِكَ ث َّم يَرْ ِج ُع إِلَى خَ ِدي َجةَ فَيَتَ َز َّو ُد بِ ِمثلِهَا َحتَّى فَ ِجئَهُ ال َح ُّ‬
‫ق َوه َُو فِي غ ِ‬
‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ئ قَا َل فَأ َ َخ َذنِي فَغَطَّنِي َحتَّى بَلَ َغ ِمنِّي ال ُج ْه َد ث َّم أرْ َسلَنِي فَقَا َل اق َرأ قُل ُ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ئ فَأخَ َذنِي فَغَطنِي‬ ‫ار ٍ‬ ‫ت َما أنَا بِقَ ِ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬ ‫ار ٍ‬‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما أَنَا بِقَ ِ‬
‫ال‬ ‫ئ فَأ َ َخ َذنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ َحتَّى بَلَ َغ ِمنِّي ْال ُج ْه َد ثُ َّم أَرْ َسلَنِي فَقَ َ‬ ‫ت َما أَنَا بِقَ ِ‬
‫ار ٍ‬ ‫الثَّانِيَةَ َحتَّى بَلَ َغ ِمنِّي ْال ُج ْه َد ثُ َّم أَرْ َسلَنِي فَقَا َل ا ْق َر ْأ قُ ْل ُ‬
‫ت إِلَى قَوْ لِ ِه َعلَّ َم اإْل ِ ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬ ‫ق ا ْق َر ْأ َو َربُّكَ اأْل َ ْك َر ُم الَّ ِذي َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ِم اآْل يَا ِ‬
‫ق اإْل ِ ْن َسانَ ِم ْن َعلَ ٍ‬ ‫ق َخلَ َ‬ ‫ك الَّ ِذي َخلَ َ‬ ‫{ ا ْق َر ْأ بِاس ِْم َربِّ َ‬
‫َب‬ ‫يجةَ فَقَا َل زَ ِّملُونِي َز ِّملُونِي فَ َز َّملُوهُ َحتَّى َذه َ‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَرْ ُجفُ بَ َوا ِد ُرهُ َحتَّى َد َخ َل َعلَى خَ ِد َ‬ ‫} فَ َر َج َع بِهَا َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫ع‬‫َع ْنهُ الرَّوْ ُ‬
Dari Yunus bin Yazid, ia berkata, “Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku bahwa Urwah
bin Zubair telah mengabarkan kepadanya, bahwa Aisyah Ra isteri Nabi saw. berkata,
‘Peristiwa awal turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. adalah diawali dengan Ar-Ru`yah
Ash-Shadiqah (mimpi yang benar) di dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi, kecuali yang
beliau lihat adalah sesuatu yang menyerupai belahan cahaya subuh. Dan di dalam dirinya
terdapat perasaan untuk selalu ingin menyendiri. Maka beliau pun memutuskan untuk
berdiam diri di dalam gua Hira, beribadah di dalamnya pada malam hari selama beberapa hari
dan untuk itu, beliau membawa bekal. Setelah perbekalannya habis, maka beliau kembali dan
mengambil bekal. Begitulah seterusnya sehingga kebenaran pun datang pada beliau, yakni
saat beliau berada di dalam gua Hira. Malaikat mendatanginya seraya berkata, ‘Bacalah.’
Maka Rasulullah saw. menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Beliau menjelaskan, ‘Lalu
Malaikat itu pun menarik dan menutupiku, hingga aku pun merasa kesusahan. Kemudian
Malaikat itu kembali lagi padaku dan berkata, 'Bacalah.' Aku menjawab, 'Aku tidak bisa
membaca.' Malaikat itu menarikku kembali dan mendekapku hingga aku merasa kesulitan,
lalu memerintahkan kepadaku untuk kedua kalinya seraya berkata, 'Bacalah.' Aku menjawab,
'Aku tidak bisa membaca.' Ia menarik lagi dan mendekapku ketiga kalinya hingga aku merasa
kesusahan. Kemudian Malaikat itu menyuruhku kembali seraya membaca, 'iqra` bismikal
ladzii khalaq, khalaqal insaana min 'alaq iqra` wa rabbukal akram alladzii 'allamal bil
qalam.. hingga 'Allamal Insaana Maa Lam Ya'lam.' (QS. Al-Alaq:1-5) Maka dengan badan
yang menggigil, akhirnya Rasulullah saw. kembali kepada Khadijah seraya berkata,
‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’ Hingga perasaan takut beliau pun hilang…” HR. Al-
Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3; IV:1894, No. 4670; Muslim, Shahih Muslim, I:139,
No. 160; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:232, No. 26.001; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IX:5,
No. 17.499; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, I:216, No. 33; Abdurrazaq, al-Mushannaf,
V:321, No. 9719; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, III:202, No. 4843, dengan
sedikit perbedaan redaksi  

Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar—sebagaimana diterangkan sebelumnya (bagian III)—kita


dapat mengetahui bahwa turunnya 5 ayat ini pada tanggal 24 Ramadhan atau malam ke-25
bulan itu.

Adapun ayat-ayat selanjutnya (6-19) dalam surat itu diturunkan kepada Nabi saw. beberapa
tahun kemudian berhubungan dengan sikap Abu Jahal, sebagaimana diterangkan pada hadis
berikut ini:

َ‫ت َو ْال ُع َّزى لَئِ ْن َرأَ ْيتُهُ يَ ْف َع ُل َذلِك‬ ْ َ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ قال قَا َل أَبُو َج ْه ٍل هَلْ يُ َعفِّ ُر ُم َح َّم ٌد َوجْ هَهُ بَ ْينَ أ‬
ِ َّ‫ فَقَا َل َوالال‬.‫ظه ُِر ُك ْم قال فَقِي َل نَ َع ْم‬
‫ُصلِّى زَ َع َم لِيَطَأ َ َعلَى‬ َ ‫ َوه َُو ي‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ فَأَتَى َرسُو َل هَّللا‬- ‫ قال‬- ‫ب‬ ِ ‫ألَطَأ َ َّن َعلَى َرقَبَتِ ِه أَوْ ألُ َعفِّ َر َّن َوجْ هَهُ فِى التُّ َرا‬
ٍ ‫ال إِ َّن بَ ْينِى َوبَ ْينَهُ لَخَ ْندَقا ً ِم ْن ن‬
‫َار‬ َ َ‫ فَقِي َل لَهُ َما ل‬- ‫ قال‬- ‫ فَ َما فَ ِجئَهُ ْم ِم ْنهُ إِالَّ َوهُ َو يَ ْن ِكصُ َعلَى َعقِبَ ْي ِه َويَتَّقِى بِيَ َد ْي ِه‬- ‫ قال‬- ‫َرقَبَتِ ِه‬
َ َ‫ك فَق‬
( ُ ‫ قال فَأ َ ْنزَ َل هَّللا‬.» ً‫ « لَوْ َدنَا ِمنِّى الَ ْختَطَفَ ْتهُ ْال َمالَئِ َكةُ عُضْ واً عُضْ وا‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬.ً‫َوهَوْ الً َوأَجْ نِ َحة‬
ْ‫صلَّى أَ َرأَيْتَ ِإ ْن َكانَ َعلَى ْالهُدَى أَو‬ َ ‫ك الرُّ جْ َعى أَ َرأَيْتَ الَّ ِذى يَ ْنهَى َعبْداً إِ َذا‬ َ ِّ‫طغَى أَ ْن َرآهُ ا ْستَ ْغنَى إِ َّن ِإلَى َرب‬ ْ َ‫َكالَّ إِ َّن ا ِإل ْن َسانَ لَي‬
‫َاصيَ ٍة َكا ِذبَ ٍة‬
ِ ‫صيَ ِة ن‬ِ ‫ ( أَلَ ْم يَ ْعلَ ْم بِأ َ َّن هَّللا َ يَ َرى َكالَّ لَئِ ْن لَ ْم يَ ْنتَ ِه لَنَ ْسفَعا ً بِالنَّا‬- ‫ يَ ْعنِى أَبَا َج ْه ٍل‬- ) ‫ب َوتَ َولَّى‬
َ ‫أَ َم َر بِالتَّ ْق َوى أَ َرأَيْتَ إِ ْن َك َّذ‬
) ُ‫ع ال َّزبَانِيَةَ َكالَّ الَ تُ ِط ْعه‬
ُ ‫ع نَا ِديَهُ َسنَ ْد‬ ُ ‫خَا ِطئَ ٍة فَ ْليَ ْد‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Abu Jahal berkata, ‘Apakah Muhammad menundukkan
wajahnya (di tanah) di tengah-tengah kalian?’ Ada yang menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Demi
Lata dan Uzza, bila aku melihatnya melakukan seperti itu, aku akan menginjak lehernya atau
aku akan benamkan wajahnya di tanah’.” Abu Hurairah berkata, “Kemudian Ia mendatangi
Rasulullah saw. saat beliau tengah shalat (di dekat Kabah), ia hendak menginjak leher beliau.
Tidak ada yang mengejutkan mereka selain ia (Abu Jahal) mundur dan melindungi diri
dengan tangan. Ada yang bertanya padanya, ‘Kamu kenapa?’ Ia menjawab, ‘Antara aku dan
dia ada parit dari api, huru hara dan banyak sayap.’ Rasulullah saw. bersabda, "Andai ia
mendekatiku, malaikat akan menyambar anggota badannya satu per satu’." Abu Hurairah
berkata, “Lalu Allah 'azza wajalla menurunkan -ayat-ayat: ‘(artinya) Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba
cukup. Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah kembali(mu). Bagaimana pendapatmu
tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan salat. Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh
bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan
dan berpaling?" (yaitu Abu Jahal) "Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian)
niscaya kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak kami akan
memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya’." (QS.
Al-'Alaq: 6-19) HR. Muslim, Shahih Muslim, IV:2154, No. hadis 2797. Dalam riwayat
Ahmad, ayat itu disebutkan sampai kalimat: wasjud waqtarib. (Musnad Ahmad, II:370, No.
8817)

Sementara dalam riwayat al-Hakim dan ath-Thabrani disebutkan:

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫آخ َر السُّو َر ِة َس َج َد‬ َ ِ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َرسُو ُل هللا‬

“Maka setelah Rasulullah saw. sampai di akhir ayat, beliau sujud.” HR. al-Hakim, al-
Mustadrak’ala ash-Shahihain, III:368, No. 5413; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,
VIII:298, No. 8691.

Keterangan di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa turunnya surat Al-'Alaq, ayat 6
sampai 19, setelah disyariatkan ibadah salat. Sementara para ulama sepakat, bahwa ibadah
salat lima waktu mulai disyariatkan sekitar 3 tahun sebelum hijrah (Lihat, Tawdhih al-Ahkam
Min Bulugh al-Maram, I:469) Jika dihitung berdasarkan tarikh, sekitar tahun 52 hingga 54
dari tahun kelahirannya.
 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa turunnya surat Al-'Alaq: 6-19 pada kisaran tahun
52- 54 dari tahun kelahirannya.

Meski dilihat dari tartiib an-Nuzuul (urutan turun) surat ini berada diurutan pertama, namun
secara tartiib as-Suwar  (urutan surat), surat ini berada pada urutan ke-96 dari 114 surat
dalam Al-Qur’an. Penempatan surat al-Alaq demikian itu berdasarkan petunjuk dari Nabi
saw., bukan ijtihad para sahabat.

Selanjutnya, jika kita perhatikan rangkaian “dua gerbong” ayat-ayat dalam surat Al-'Alaq,
yaitu “Gerbong I: ayat 1 hingga 5” dan “Gerbong II: ayat 6 hingga 19”, maka kita
mendapatkan petunjuk yang nyata bahwa “Gerbong I” diawali dengan seruan kepada
“Membaca dan Belajar” “Sementara Gerbong II” diakhiri dengan seruan kepada “Salat dan
Ibadah.” Kedua rangkaian ini hendak memberikan pesan kepada kiat agar terdapat
keselarasan antara ilmu dan amal.

Masa Fatrah Wahyu

Setelah perasaan takut Nabi saw. atas peristiwa yang terjadi di gua Hira mulai mereda—
sebagaimana dalam hadis di atas—Nabi saw. berkata kepada Khadijah:

ِ ‫ك لَت‬
‫َص ُل‬ َ َّ‫ك هَّللا ُ أَبَدًا فَ َوهَّللا ِ إِن‬
َ ‫ت خَ ِدي َجةُ َكاَّل أَب ِْشرْ فَ َوهَّللا ِ اَل ي ُْخ ِزي‬
ْ َ‫يت َعلَى نَ ْف ِسي فَأ َ ْخبَ َرهَا ْال َخبَ َر قَال‬ ُ ‫أَيْ َخ ِدي َجةُ َما لِي لَقَ ْد َخ ِش‬
ِّ ‫ب ْال َح‬
‫ق‬ ِ ِ‫ض ْيفَ َوتُ ِعينُ َعلَى ن ََوائ‬ َّ ‫يث َوتَحْ ِم ُل ْال َك َّل َوتَ ْك ِسبُ ْال َم ْعدُو َم َوتَ ْق ِري ال‬ َ ‫ق ْال َح ِد‬ ُ ‫ال َّر ِح َم َوتَصْ ُد‬

"Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku, sungguh aku merasa khawatir atas diriku
sendiri." Akhirnya, beliau pun menuturkan kejadian yang beliau alami. Khadijah berkata,
"Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-
lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung
silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang
yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu dan membela kebenaran." HR. Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3; IV:1894, No. 4670

Akhirnya Khadijah pergi dengan Nabi saw. untuk bertemu dengan Waraqah bin Naufal, ia
adalah anak pamannya Khadijah, yakni saudara bapaknya. Waraqah adalah seorang penganut
agama Nashrani pada masa Jahiliyah. Ia seorang yang menulis kitab Arab. Ia menulis dari
kitab Injil dengan bahasa Arab. Saat itu, ia telah menjadi syeikh yang tua renta lagi buta.
Khadijah berkata padanya, "Wahai anak pamanku. Dengarkanlah kabar dari anak
saudaramu." Maka Nabi saw. pun mengabarkan padanya tentang kejadian yang telah beliau
alami. Kemudian Waraqah pun berkata, "Ini adalah Namus yang pernah diturunkan kepada
Musa. Sekiranya aku masih muda, dan sekiranya aku masih hidup..." ia mengatakan beberapa
kalimat. Kemudian Rasulullah saw. bertanya, "Apakah mereka akan mengusirku?" Waraqah
menjawab, "Ya, tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu
bawa, kecuali ia akan disakiti. Dan sekiranya aku masih mendapati hari itu, niscaya aku akan
menolongmu dengan pertolongan yang hebat." HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:4, No.
3; IV:1894, No. 4670

Tidak lama kemudian, Waraqah pun meninggal, sementara wahyu terputus (fatrah) hingga
membuat Rasulullah saw. sedih.

Kata Ibnu Hajar al-Asqalani:

َ َ‫ك لِيَ ْذهَب َما َكان‬


‫ َولِيَحْ صُل‬، ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َج َدهُ ِم ْن الرَّوْ ع‬ َ ِ‫ َو َكانَ َذل‬، ‫َوفُتُور ْال َوحْ ي ِعبَا َرة ع َْن تَأ َ ُّخره ُم َّدة ِم ْن ال َّز َمان‬
‫لَهُ التَّ َش ُّوف إِلَى ْال َعوْ د‬

“Dan fatrah wahyu itu ialah keterangan tentang keterlambatan turunnya wahyu pada beberapa
masa. Demikian itu untuk menghilangkan ketakutan yang dirasakan oleh Nabi saw. dan agar
beliau tetap mengawasi (memperhatikan) kedatangannya kembali.” (Lihat, Fath al-Bari
Syarh Shahih al-Bukhari, I:27)   

Dengan demikian, kata Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan masa fatrah di sini bukan dalam
pengertian Malaikat Jibril tidak datang menemui Nabi saw. melainkan keterlambatan
turunnya Al-Quran, yaitu antara awal surat al-‘Alaq dan awal surat al-Mudattsir.

Berapa lama masa fatrah terjadi? Sebagian ulama dan para penulis kitab ilmu-ilmu Al-Quran
berpendapat bahwa masa fatrah wahyu itu selama 3 tahun. (Lihat, misalnya Muhammad
Rasyid Ridha dalam al-Wahy al-Muhammadiy:125; Muhammad Abdullah Daraz, Madkhal
Ilaa al-Qura’an al-Kariim:30; Suhbhi ash-Shalih, Mabahits fii ‘Ulum al-Quran:36; dan
Malik ben Nabi, azh-Zahirah al-Qur’aniyyah:185)

 
Pendapat mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang bersumber dari Amir asy-Sa’bi, salah
seorang ulama generasi Tabi’in yang wafat tahun 103 H.

Namun menurut ulama lainnya, keterangan yang lebih kuat menunjukkan bahwa masa fatrah
itu tidak mencapai 3 tahun, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, keterangan as-Sya’bi, dilihat dari aspek matan pada dasarnya tidak menceritakan
tentang fatrah wahyu. Sementara dilihat dari aspek sanad riwayat itu tidak kokoh menurut
ulama hadis,

Kedua, riwayat-riwayat shahih yang menerangkan fatrah wahyu tidak menyebutkan batasan
masa fatrah antara turunnya awal surat al-‘Alaq dan awal surat al-Mudattsir. Yang jelas, masa
itu tidak mencapai interval waktu yang terlalu lama. Di dalam riwayat al-Bukhari hanya
disebutkan:  

َ ِ ‫َوفَتَ َر ْال َوحْ ُي فَ ْت َرةً َحتَّى َح ِزنَ َرسُو ُل هَّللا‬


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

“Dan wahyu terputus (fatrah) hingga membuat Rasulullah saw. sedih.” HR. Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3; IV:1894, No. 4670

Ketiga, keterangan Ibnu Abbas menunjukkan bahwa masa fatrah yang dimaksud hanya
beberapa hari. (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, I:27)   

Dengan demikian, menurut pendapat yang kuat bahwa masa fatrah itu tidak lebih dari
beberapa hari atau beberapa minggu.
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN (BAGIAN V)
Surat-surat Pasca al-'Alaq

Setelah turun surat Al-'Alaq: 1-5 atau jauh sebelum turun surat Al-'Alaq: 6-19, diturunkan
lagi beberapa surat. Ibnu Abas berkata:

‫ ثُ َّم‬...‫ ثُ َّم ْالفَاتِ َحة‬، ‫ ثُ َّم يَا أَيُّهَا ْال ُم َّدثِّ ُر‬، ‫ ثُ َّم يَا أَيُّهَا ْال ُم َّز ِّم ُل‬، ‫ق ثُ َّم ن َو ْالقَلَ ِم‬ َ ِّ‫ ا ْق َر ْأ بِاس ِْم َرب‬: ‫َو َكانَ أَ َّو ُل َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬
َ َ‫ك الَّ ِذي خَ ل‬
َ‫َو ْي ٌل لِ ْل ُمطَفِّفِين‬

“Yang pertama diturunkan dari Al-Quran ialah (No. 1) iqra’ bismirabbikalladzi khalaq (QS.
Al-'Alaq: 1-5), kemudian (No.2) surat al-Qalam, lalu (No.3) surat Al-Muzammil, kemudian
(No.4) surat al-Mudattsir, lalu (No. 5) surat al-Fatihah…(Ibnu Abas menyebutkan satu
persatu sebanyak  80 surat lainnya). Kemudian terakhir (No. 86) surat al-Muthaffifin.”
Setelah itu Ibnu Abas berkata:

َ‫فَهَ َذا َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل بِ َم َّكة‬

“Inilah Al-Quran yang diturunkan oleh Allah di Mekah.” (Lihat, Fadha’il al-Qur’an, II:200,
No. 813; Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, I:26; Al-Burhan fii Ulum al-Qur’an, I:193)

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa terdapat 85 surat lainnya dalam Al-Quran
yang diturunkan di Mekah setelah surat Al-'Alaq, antara lain:

 Surat al-Qalam,

Surat ini diberi nama al-Qalam (pena), karena di dalamnya Allah bersumpah dengan alat
tulis, yakni Qalam. Dengan demikian, penamaan surat ini dengan Al-Qalam sebagai
penghormatan terhadap “Pena”, karena dalam penciptaannya itu terdapat petunjuk kepada
hikmah yan agung dan berbagai manfaat yang tidak terhingga.  Dilihat dari kandungan, kata
Imam al-Qurthubi, sebagian besar ayat dalam surat ini turun berkaitan dengan Al-Walid bin
al-Mughirah dan Abu Jahal. (Lihat, At-Ta’rif bi Suwar al-Qur’an al-Kariim, I:1; Al-
Mufashhal fii Mawdhu’at Suwar al-Qur’an al-Kariim:1299)

Dilihat dari tartiib an-Nuzuul (urutan turun) surat ini berada diurutan kedua, namun secara
tartiib as-Suwar  (urutan surat), surat ini berada pada urutan ke-68 dari 114 surat dalam Al-
Qur’an. Surat ini terdiri atas 52 ayat, diawali dengan ayat:
َ‫ن َو ْالقَلَ ِم َو َما يَ ْسطُرُون‬

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis.” QS. Al-Qalam:1

Dan diakhiri dengan ayat:

َ‫َو َما ه َُو إِاَّل ِذ ْك ٌر لِ ْل َعالَ ِمين‬

“Dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” QS. Al-Qalam:1

Meski demikian, dilihat dari aspek kronologisnya jumlah ayat sebanyak itu tidak turun
bersamaan. Hal itu dapat kita ketahui dari beberapa riwayat sebagai berikut:

Pertama, keterangan Aisyah tentang peristiwa yang dialami oleh Nabi saw. di gua Hira,
dengan turunnya surat al-Alaq:1-5. Di akhir hadis itu Aisyah mencantumkan keterangan
berikut ini:

ٍ ُ‫ َما أَ ْنتَ بِنِ ْع َم ِة َربِّكَ بِ َمجْ ن‬. َ‫ َو ْالقَلَ ِم َو َما يَ ْسطُرُون‬. ‫ {ن‬: ‫ي ِمنَ ْالقُرْ آ ِن بَ ْع َد ا ْق َر ْأ‬
‫ َوإِ َّن َلكَ ألَجْ رًا َغي َْر‬. ‫ون‬ َّ َ‫ثُ َّم َكانَ أَ َّو ُل َما نَ َز َل َعل‬
} َ‫صرُون‬ ِ ‫ فَ َستُب‬. ‫َظ ٍيم‬
ِ ‫ْص ُر َويُ ْب‬ ِ ‫قع‬ ٍ ُ‫ك لَ َعلَى ُخل‬ َ َّ‫ َوإِن‬. ‫َم ْمنُو ٍن‬

“Kemudian (Nabi saw. bersabda) Al-Quran yang pertama turun setelah iqra ialah: (artinya)
‘Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad)
sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar
yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung’.” (QS. Al-Qalam:1-4) HR. At-Thabari, Tafsir ath-Thabari, XXIV:528-529, No.
38.009

Atas dasar itulah, Ibnu Abas berpendapat seperti di atas. Demikian pula pakar Al-Quran
generasi Tabiin bernama Mujahid menyatakan:

}‫ ثُ َّم {ن َو ْالقَلَ ِم‬. }َ‫ {ا ْق َر ْأ بِاس ِْم َربِّكَ الَّ ِذي َخلَق‬: ‫ت‬
ْ َ‫إِ َّن أَو ََّل سُو َر ٍة أُ ْن ِزل‬.

“Sesungguhnya surat yang pertama turun ialah iqra bismi rabbikalladzi khalaq, kemudian
‘Nun, wal qalam’. HR. At-Thabari, Tafsir ath-Thabari, XXIV:532, No. 38.021

 
Adapun ayat-ayat selanjutnya (5-52) dalam surat itu diturunkan kepada Nabi saw. beberapa
waktu kemudian. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Jabir, Ikrimah, dan al-Hasan
al-Bishri berpendapat bahwa seluruh ayatnya di turunkan di Mekah. Sementara dalam
pandangan Ibnu Abas dan Ikrimah, turunnya ayat-ayat itu diklasifikasikan menjadi beberapa
bagian: Pertama, hingga ayat 16:

ِ ُ‫َسنَ ِس ُمهُ َعلَى ْال ُخرْ ط‬


‫وم‬

“Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(nya)” diturunkan di Mekah.

Kedua, mulai ayat 17:

َ‫اب ْال َجنَّ ِة إِ ْذ أَ ْق َس ُموا لَيَصْ ِر ُمنَّهَا ُمصْ بِ ِحين‬


َ ‫إِنَّا بَلَوْ نَاهُ ْم َك َما بَلَوْ نَا أَصْ َح‬

“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah
mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh
akanmemetik (hasil)nya di pagi hari.”

hingga ayat 33:

َ‫ك ْال َع َذابُ َولَ َع َذابُ اآْل ِخ َر ِة أَ ْكبَ ُر لَوْ َكانُوا يَ ْعلَ ُمون‬
َ ِ‫َك َذل‬

“Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka
mengetahui” diturunkan di Madinah, setelah hijrah.

Ketiga, mulai ayat 34:

ِ ‫إِ َّن لِ ْل ُمتَّقِينَ ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َجنَّا‬


‫ت النَّ ِع ِيم‬

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh


kenikmatan di sisi Tuhannya.”

hingga ayat 50:

َ‫فَاجْ تَبَاهُ َربُّهُ فَ َج َعلَهُ ِمنَ الصَّالِ ِحين‬

“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.”


diturunkan di Madinah.
Sementara ayat 51-52 diturunkan di Mekah. (Lihat, Tafsir al-Mawardi An-Nukat wa
al-‘Uyun, VI:59; Tafsir al-Qurthubi, XVIII:222)

 Surat Al-Muzammil,

Surat Al-Muzzammil, diturunkan sesudah surat Al-Qalam. Dinamai Al-Muzzammil (orang


yang berselimut), karena surat ini menceritakan tentang keadaan Nabi saw. pada permulaan
menerima wahyu, dan surat ini muncul atas perintah Allah kepada Nabi-Nya agar tidak
berselimut di waktu malam dan segera bangkit untuk menyampaikan risalah Tuhannya.
(Lihat, Al-Mufashhal fii Mawdhu’at Suwar al-Qur’an al-Kariim:1358)

Dilihat dari tartiib an-Nuzuul (urutan turun) surat ini berada diurutan ketiga, setelah al-
Qalam, namun secara tartiib as-Suwar  (urutan surat), surat ini berada pada urutan ke-73 dari
114 surat dalam Al-Qur’an. Surat ini terdiri atas 20 ayat, diawali dengan ayat:

‫يَا أَيُّهَا ْال ُم َّز ِّم ُل‬

“Hai orang yang berselimut (Muhammad),.” QS. Al-Muzammil:1

Dan diakhiri dengan ayat:

ُ‫ار َعلِ َم أَ ْن لَ ْن تُحْ صُوه‬ َ ‫ك تَقُو ُم أَ ْدنَى ِم ْن ثُلُثَ ِي اللَّي ِْل َونِصْ فَهُ َوثُلُثَهُ َوطَائِفَةٌ ِمنَ الَّ ِذينَ َم َع‬
َ َ‫ك َوهَّللا ُ يُقَ ِّد ُر اللَّي َْل َوالنَّه‬ َ َّ‫ك يَ ْعلَ ُم أَن‬َ َّ‫إِ َّن َرب‬
ِ ‫ض يَ ْبتَ ُغونَ ِم ْن فَضْ ِل هَّللا‬ ِ ْ‫ضى َوآ َخرُونَ يَضْ ِربُونَ فِي اأْل َر‬ َ ْ‫َاب َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق َر ُءوا َما تَيَ َّس َر ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َعلِ َم أَ ْن َسيَ ُكونُ ِم ْن ُك ْم َمر‬َ ‫فَت‬
‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ْق ِرضُوا هَّللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا َو َما تُقَ ِّد ُموا‬ َّ ‫َوآخَ رُونَ يُقَاتِلُونَ فِي َسبِي ِل هَّللا ِ فَا ْق َر ُءوا َما تَيَ َّس َر ِم ْنهُ َوأَقِي ُموا ال‬
‫أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ِم ْن خَ ي ٍْر تَ ِجدُوهُ ِع ْن َد هَّللا ِ هُ َو َخ ْيرًا َوأ ْعظَ َم أجْ رًا َوا ْستَ ْغفِرُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
َ َ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari


dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan
dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu,
maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-
orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman
yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang..” QS. Al-Muzammil:20

 
Meski demikian, dilihat dari aspek kronologisnya jumlah ayat sebanyak itu tidak turun
bersamaan. Gambaran umum tentang itu dapat kita ketahui dari keterangan Aisyah ketika
menjawab pertanyaan dari Sa’ad bin Hisyam bin Amir.

:‫ت‬ ُ ‫ أَلَسْتَ تَ ْق َرأُ هَ ِذ ِه السُّو َرةَ يَا أَيُّهَا ْال ُم َّز ِّم ُل ؟ قُ ْل‬: ‫ت‬ َ ِ‫ أَ ْنبِئِينِي ع َْن قِيَ ِام َرسُو ِل هللا‬، َ‫يَا أُ َّم ْال ُم ْؤ ِمنِين‬
ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ؟ فَقَال‬
ً‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوأَصْ َحابُهُ َحوْ ال‬ َ ِ‫ فَقَا َم َرسُو ُل هللا‬، ‫ض قِيَا َم اللَّ ْي ِل فِي أَ َّو ِل هَ ِذ ِه السُّو َر ِة‬َ ‫ فَإ ِ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل ا ْفتَ َر‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬، ‫بَلَى‬
ِ ‫ ثُ َّم أَ ْن َز َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل التَّ ْخفِيفَ فِي‬، ‫ َوأَ ْم َسكَ هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل َخاتِ َمتَهَا فِي ال َّس َما ِء ْاثن َْي َع َش َر َش ْهرًا‬، ‫ت أَ ْقدَا ُمهُ ْم‬
‫آخ ِر‬ ْ ‫َحتَّى ا ْنتَفَ َخ‬
‫يضتِ ِه‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَطَ ُّوعًا ِم ْن بَ ْع ِد فَ ِر‬ َ ِ‫ُول هللا‬
ِ ‫صا َر قِيَا ُم َرس‬ َ َ‫ ف‬، ‫هَ ِذ ِه السُّو َر ِة‬

“Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam Rasulullah saw.!”
Maka Aisyah berkata, "Tidakkah kamu membaca surat ini: yaa ayyuhal muzammil?” Saya
menjawab, “Benar.” Ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan salat malam pada
awal surat ini, maka Rasulullah saw. dan para sahabat beliau melaksanakan salat (setiap hari)
selama satu tahun hingga kaki-kaki mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan)
ayat terakhir dari surat itu (al-muzammil) selama 12 bulan. ayat akhir dari surat itu (al-
muzammil) ditahan di langit selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikan keringanan
dengan menurunkan ayat terakhir dari surat ini (ayat 20). (Setelah turunnya ayat ke 20 al-
Muzammil) shalat malam Rasulullah saw. itu hukumnya menjadi sunat, setelah hukumnya
wajib.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:53, No. 2431; An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, I:168,
No. 425, I:500, No. 11.627, Sunan an-Nasai, III:199, No. 1601; Ibnu Khuzaimah, Shahih
Ibnu Khuzaimah, II:171, No. 1127; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VI:292, No. 2551; al-
Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, I:358, No. 1563, III:29, No. 4588; Ad-Darimi, Sunan Ad-
Darimi, I:410, No. 1475, dengan sedikit perbedaan redaksi, dan redaksi di atas riwayat
Ahmad.

Dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi:

َ ِ‫ َو ُحب‬، ‫َت أَ ْقدَا ُمهُ ْم‬


‫س خَاتِ َمتُهَا فِي ال َّس َما ِء‬ ْ ‫ فَقَا َم أَصْ َحابُ َرسُو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َحتَّى ا ْنتَفَخ‬، ‫ت‬
ْ َ‫فَإ ِ َّن أَ َّو َل هَ ِذ ِه السُّو َر ِة نَ َزل‬
َ ‫ار قِيَا ُم اللَّي ِْل تَطَ ُّوعًا بَ ْع َد فَ ِر‬
‫يض ٍة‬ َ ‫ص‬َ َ‫ ف‬، ‫ ثُ َّم نَ َز َل آ ِخ ُرهَا‬، ‫ْاثن َْي َع َش َر َش ْهرًا‬

 “Maka sesungguhnya awal surat ini turun, maka para sahabat Rasulullah saw. melaksanakan
salat  (setiap malam) hingga kaki-kaki mereka bengkak dan ayat akhir dari surat itu (al-
muzammil) ditahan di langit selama 12 bulan. Kemudian turun ayat terakhir dari surat itu
(ayat 20). (Setelah turunnya ayat ke 20 al-Muzammil) salat itu hukumnya menjadi sunat,
setelah hukumnya wajib.” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:40, No. 1342

Aisyah dan Ibnu Abas menegaskan bahwa interval waktu turun antara ayat-ayat pertama dan
terakhir pada surat itu selama 1 tahun. Ibnu Abas berkata:

ِ ‫ َو َكانَ بَ ْينَ أَ َّولِهَا َو‬،‫ضانَ َحتَّى نَ َز َل آ ِخ ُرهَا‬


‫آخ ِرهَا نَحْ َو ِم ْن‬ َ ‫ت أَ َّو ُل ْال ُم َّز ِّم ِل َكانُوا يَقُو ُمونَ نَحْ ًوا ِم ْن قِيَا ِم ِه ْم فِي َشه ِْر َر َم‬
ْ َ‫لَ َّما نَ َزل‬
‫َسنَ ٍة‬
“Ketika awal surat al-Muzammil turun, para sahabat Rasulullah saw. melaksanakan salat
malam seperti mereka salat pada bulan Ramadhan, hingga turun ayat terakhir dari surat itu
(ayat 20). Interval waktu turun antara awal dan akhir surat itu sekitar 1 tahun. “HR. Ibnu Abu
Hatim, Tafsir Ibnu Abu Hatim, XII:344 

 Surat al-Mudattsir,

Surat al-Mudattsir, diturunkan sesudah surat Al-Muzzammil. Dinamai al-Mudattsir (orang


yang berselimut), karena surat ini menceritakan tentang keadaan Nabi saw. setelah masa
fatrah penerimaan wahyu. Maka Allah menyeru Nabi saw. dengan keadaan yang dialaminya,
yaitu berselimut. (Lihat, At-Ta’rif bi Suwar al-Qur’an al-Kariim, I:1)

Dilihat dari tartiib an-Nuzuul (urutan turun) surat ini berada diurutan keempat, namun secara
tartiib as-Suwar  (urutan surat), surat ini berada pada urutan ke-74 dari 114 surat dalam Al-
Qur’an.

Surat ini terdiri atas 56 ayat, diawali dengan ayat:

‫يَا أَيُّهَا ْال ُم َّدثِّ ُر‬

“Hai orang yang berkemul (berselimut),” QS. al-Mudattsir:1

Dan diakhiri dengan ayat:

‫َو َما يَ ْذ ُكرُونَ إِاَّل أَ ْن يَ َشا َء هَّللا ُ ه َُو أَ ْه ُل التَّ ْق َوى َوأَ ْه ُل ْال َم ْغفِ َر ِة‬

“Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah
menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan
berhak memberi ampun.” QS. al-Mudattsir:56

Meski demikian, dilihat dari aspek kronologisnya jumlah ayat sebanyak itu tidak turun
bersamaan. Gambaran umum tentang itu dapat kita ketahui dari keterangan sebagai berikut:

Surat al-Mudattsir turun beberapa hari atau beberapa minggu setelah terjadi masa fatrah.
Menurut Ibnu Katsir, al-Mudattsir adalah surat yang pertama turun setelah masa fatrah
wahyu. Ibnu Katsir berkata:

َ ‫أَ َّن أَوَّل َش ْيء نَزَ َل بَعْد فَ ْت َرة ْال َوحْ ي هَ ِذ ِه الس‬
‫ُّورة‬
“Sesungguhnya yang pertama turun setelah masa fatrah wahyu adalah surat ini” (Lihat, Tafsir
Ibnu Katsir, IV:530)

Argumentasi Ibnu Katsir di atas merujuk kepada hadis sebagai berikut:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ْت أَبَا َسلَ َمةَ ْبنَ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن يَقُو ُل أَ ْخبَ َرنِي َجابِ ُر بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ أَنَّهُ َس ِم َع َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ب قَا َل َس ِمع‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
‫ك ال ِذي َجا َءنِي‬ َّ َ ْ َ َ
ُ ‫ص ِري قِبَ َل ال َّس َما ِء فإِذا ال َمل‬ ُ َ َ
َ َ‫صوْ تا ِمن ال َّس َما ِء ف َرفعْت ب‬ ْ ً َ َ َ ً َ ِّ ْ
َ ‫يَقُو ُل ثُ َّم فَتَ َر ال َوحْ ُي َعني فت َرة فبَ ْينَا أنَا أ ْم ِشي َس ِمعْت‬
ُ ْ
‫ت زَ ِّملُونِي‬ ُ ‫ت أَ ْهلِي فَقُ ْل‬ ِ ْ‫ْت إِلَى اأْل َر‬
ُ ‫ض فَ ِج ْئ‬ ُ ‫ت ِم ْنهُ فَ َرقًا َحتَّى هَ َوي‬ ُ ‫ض فَ ُجئِ ْث‬ ِ ْ‫بِ ِح َرا ٍء اآْل نَ قَا ِع ٌد َعلَى ُكرْ ِس ٍّي بَ ْينَ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬
‫ال أَبُو‬ َ َ‫ك فَ َكبِّرْ َوثِيَابَكَ فَطَهِّرْ َوالرُّ جْ زَ فَا ْهجُرْ } ق‬ َ َّ‫زَ ِّملُونِي َز ِّملُونِي فَ َز َّملُونِي فَأ َ ْن َز َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل { يَا أَيُّهَا ْال ُم َّدثِّ ُر قُ ْم فَأ َ ْن ِذرْ َو َرب‬
‫َسلَ َمةَ الرُّ جْ ُز اأْل َوْ ثَانُ ثُ َّم َح ِم َي ْال َوحْ ُي بَ ْع ُد َوتَتَابَ َع‬

Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Saya mendengar Abu Salamah bin Abdurrahman berkata,
‘Jabir bin Abdullah telah menghabarkan kepadaku sesungguhnya ia telah mendengar
Rasulullah saw. bersabda, ‘Lalu terhentilah wahyu terhadapku, tatkala saya sedang berjalan
saya mendengar suara dari langit, lalu saya mengangkat penglihatanku ke arah langit.
Ternyata dia adalah Malaikat yang telah mendatangi saya ketika sedang di Hira. Dia duduk di
singasananya antara langit dan bumi. Maka saya merasa ketakutan yang sangat, sampai saya
tersungkur ke tanah lalu saya mendatangi istriku dan saya katakan, selimuti aku, selimuti aku,
selimuti aku, lalu selimuti aku. Lalu Allah Azza Wa Jalla menurunkan (ayat), ‘(artinya) Hai
orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah (QS. al-
Mudattsir:1-5).’ Abu Salamah berkata, “Ar-Rujzu adalah berhala. Kemudian terjagalah wahyu
dan tetap turun." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, III:325, No. 14.523

Hadis di atas menunjukkan bahwa yang pertama turun dari surat al-Mudattsir adalah ayat 1
sampai ayat 5. Sementara ayat-ayat selanjutnya turun beberapa waktu kemudian. Hanya saja
tidak didapat keterangan yang pasti berapa lama interval waktu turun ayat-ayat itu.

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara  surat al-muzzammil
dengan surat al-muddatstsir sebagai berikut:

 Kedua surat ini sama-sama dimulai dengan seruan kepada Nabi Muhammad saw.
 Surat Al-Muzzammil berisi perintah bangun di malam hari untuk melakukan salat
tahajjud dan membaca Al Quran untuk menguatkan jiwa seseorang, sedangkan surat
Al-Muddattsir berisi perintah melakukan dakwah, mensucikan diri, dan bersabar.
PEMAKNAAN HADIS SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT
(BAGIAN I)
Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, tak terkecuali Ramadhan tahun ini, banyak
pertanyaan yang disampaikan kepada kami baik dari jamaah online (OL) atau Facebooker
maupun offline (di masjid dan majelis taklim). Pertanyaan itu pada umumnya dipacu oleh
munculnya fatwa dari sebagian mubalig atau asatidz, baik “di darat” maupun “di udara”
bahwa shalat tarawih 4+4 itu dilakukan dengan salam pada setiap 2 rakaat. Sehubungan
dengan itu, makalah yang disajikan pada forum ini semoga dapat dijadikan bahan
perbandingan:

Redaksi & Takhrij Hadis Aisyah

Ummul Mukminin Aisyah pernah ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurahman:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ِزي ُد فِى‬ َ ِ‫ت َما َكانَ َرسُو ُل هللا‬ ْ َ‫ قَال‬، َ‫ضان‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِى َر َم‬َ ِ ‫صالَةُ َرسُو ِل هَّللا‬ َ ‫َت‬ ْ ‫َك ْيفَ َكان‬
‫ُصلِّى أَرْ بَعًا فَالَ تَسْأَلْ ع َْن‬ َ ‫صلِّى أَرْ بَعًا فَالَ تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َوطُولِ ِه َّن ثُ َّم ي‬ َ ُ‫ضانَ َوالَ فِى َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعةً ي‬ َ ‫َر َم‬
ََّ ‫ أَ تَنَا ُم قَ ْب َل أَ ْن تُوتِ َر؟ قَا َل يَا عَائِ َشةُ إِ َّن َع ْين‬،ِ‫ت يَا َرسُو َل هللا‬
َ‫ي تَنَا ُم َولَ ْم يَن ْم‬ ُ ‫ت عَائِ َشةُ فَقُ ْل‬ ْ َ‫ قَال‬،ً‫صلِّى ثَالَثا‬ ُ َّ ُ َّ
َ ُ‫ُح ْسنِ ِهن َوطولِ ِهن ث َّم ي‬
‫قَ ْلبِي‬

 “Bagaimana salat Rasulullah saw. pada malam bulan Ramadhan ? Ia (Aisyah) menjawab,
’Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya,
dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, dan engkau jangan bertanya tentang baik dan
panjangnya, beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik
dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat. Aisyah berkata, ‘Aku bertanya wahai
Rasulullah ! Apakah engkau tidur sebelum witir ? Beliau menjawab, ’Hai Aisyah,
sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur’.”

Keterangan Abu Salamah bin Abdurahman di atas kita peroleh melalui jalur yang sama, yaitu
Malik bin Anas. Ia menerima dari Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi. Ia menerima dari Abu
Salamah bin Abdurahman.

Dari Malik, hadis itu diriwayatkan oleh 15 orang rawi:


1. Abdurrahman bin Mahdi (HR. An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, I:165, No. 412; I:174,
No. 453; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:36, No. 24.119)
2. Ishaq bin Isa (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:73, No. 24.490)
3. Abu Salamah Manshur bin Salamah al-Khuza’I (HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
VI:104, No. 24.776)
4. Abdullah bin Yusuf (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:248, No. 1147)
5. Ismail bin Abu Uwais (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:417, No. 2013; Al-
Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, II:495, No. 4798 bersama rawi lain, yaitu Yahya bin
Yahya)
6. Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:310, No.
3569; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:40, No. 1341; Al-Baihaqi, As-Sunan al-
Kubra, VII:62, No. 13.164 bersama rawi lain, yaitu Yahya bin Yahya; Ibnu al-
Mundzir, Al-Awsath, VIII:77, No. 2535)
7. Yahya bin Yahya (HR. Malik, al-Muwatha’, I:121, No. 263; Al-Baihaqi, As-Sunan al-
Kubra, VII:62, No. 13.164 bersama rawi lain, yaitu Abdullah bin Maslamah al-
Qa’nabi)
8. Ma’an bin Isa (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II:302, No. 439)
9. Abdurrahman bin al-Qasim (HR. An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, I:160, No. 393,
Sunan an-Nasai, III:234, No. 1697)
10. Qutaibah bin Sa’id (HR. An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, I:160, No. 395, I:446, No.
1421)
11. Abdullah bin Wahab (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, I:30, No. 49,
II:192, No. 1166; Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, I:282; Abu ‘Awanah,
Musnad Abu ‘Awanah, II:59, No. 2304, No. 3052)
12. Ahmad bin Abu Bakar (HR. Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VI:186, No. 2430)
13. Bisyr bin Umar az-Zahrani (HR. Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih,
II:556, No. 1130)
14. Abdurrazaq (HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:38, No. 4711)
15. Abu Mus’ab (HR. Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, IV:4-5, No. 899)

Keterangan Abu Salamah di atas diriwayatkan pula melalui jalur lain sebagai berikut:

Pertama, riwayat Muslim dengan sanad Amr an-Naqid, Sufyan bin Sufyan, dari Abdullah bin
Abu Labid, dari Abu Salamah.

.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫صالَ ِة َرس‬ َ ‫ت أَىْ أُ َّم ْه أَ ْخبِ ِرينِى ع َْن‬ُ ‫ْت عَائِ َشةَ فَقُ ْل‬
ُ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن أَبِى لَبِي ٍد َس ِم َع أَبَا َسلَ َمةَ قَا َل أَتَي‬
‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً بِاللَّي ِْل ِم ْنهَا َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر‬
َ َ‫ضانَ َو َغي ِْر ِه ثَال‬
َ ‫صالَتُهُ فِى َشه ِْر َر َم‬ َ ‫َت‬ْ ‫ت َكان‬ ْ َ‫فَقَال‬.

Dari Abdullah bin Abu Labid, ia mendengar Abu Salamah berkata, “Saya mendatangi Aisyah,
lalu saya berkata kepada Aisyah, ‘Ibu, kabarkanlah kepadaku mengenai salat Rasulullah saw.’
Aisyah berkata, ‘Salat beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya sama tiga
belas rakaat, termasuk di dalamnya dua rakaat fajar’." HR. Muslim, Shahih Muslim, I:510,
No. 738

Kedua, riwayat Ahmad dengan sanad Sufyan, dari Ibnu Abu Labid, dari Abu Salamah

َ‫ضان‬ َ ‫صاَل تُهُ فِي َر َم‬ َ ‫َت‬ ْ ‫ت َكان‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬
َ ِ ‫صاَل ِة َرسُو ِل هَّللا‬ َ ‫ت أَ ْخبِ ِرينِي ع َْن‬ ْ ‫ت لِ َعائِ َشةَ أَيْ أُ َّم‬
ُ ‫ع َْن أَبِي َسلَ َمةَ قُ ْل‬
‫صا َم َويُ ْف ِط ُر‬ َ ُ‫ت َكانَ يَصُو ُم َحتَّى نَق‬
َ ‫ول قَ ْد‬ ْ َ‫صيَا ِم ِه قَال‬ِ ‫ت فَأ َ ْخبِ ِرينِي ع َْن‬ ُ ‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً فِيهَا َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر قُ ْل‬ َ ‫َو َغي ِْر ِه َس َوا ًء ثَاَل‬
‫صيَا ِم ِه فِي َش ْعبَانَ َكانَ يَصُو ُمهُ إِاَّل قَلِياًل‬ ِ ‫صا َم َش ْهرًا أَ ْكثَ َر ِم ْن‬ َ ُ‫َحتَّى نَقُو َل قَ ْد أَ ْفطَ َر َو َما َرأَ ْيتُه‬

Dari Abu Salamah, saya pernah berkata kepada Aisyah, "Ibu, kabarkanlah kepadaku
mengenai salat Rasulullah saw." Aisyah berkata, "Salat beliau di bulan Ramadhan dan
selainnya sama tiga belas rakaat, termasuk di dalamnya dua rakaat fajar." Lalu saya berkata,
"Kabarkanlah kepadaku mengenai shaum beliau!" (Aisyah) berkata, "Beliau rajin bershaum
hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka dan beliau juga rajin
berbuka hingga kami katakan seolah-olah beliau tak pernah shaum. Saya tidak pernah melihat
beliau shaum lebih sering pada suatu bulan dari pada shaumnya di bulan Syaban, beliau terus
melakukan shaum di bulan itu kecuali sedikit hari saja yang tidak." HR. Ahmad, Musnad
Ahmad, VI:39, No. 24.162

Ketiga, riwayat Ibnu Khuzaimah dengan dua sanad (1) Abu Hasyim Ziyad bin Ayub, (2)
Abdul Jabar bin al-‘Ala. Keduanya dari Sufyan, dari Ibnu Abu Labid, dari Abu Salamah.

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫صالَ ِة َرس‬ َ ‫ أَيْ أُ َّم ْه أَ ْخبِ ِرينِي ع َْن‬: ‫ت‬ُ ‫ت عَائِ َشةَ فَقُ ْل‬
ُ ‫ َسأ َ ْل‬: ‫ع َِن ا ْب ِن أَبِي لَبِي ٍد َس ِم َع أَبَا َسلَ َمةَ يَقُو ُل‬
ً‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬ َ َ‫ك ثَال‬ َ ‫صالَتُهُ بِاللَّ ْي ِل فِي َشه ِْر َر َم‬
َ ِ‫ضانَ َوفِي َما ِس َوى َذل‬ َ ‫َت‬ ْ ‫ َكان‬: ‫ت‬ ْ َ‫ فَقَال‬ ‫بِاللَّ ْي ِل‬

Dari Ibnu Abu Labid, ia mendengar Abu Salamah berkata, “Saya pernah berkata kepada
Aisyah, ‘Ibu, kabarkanlah kepadaku mengenai salat Rasulullah saw. Di waktu malam.’
Aisyah berkata, ‘Salat beliau di waktu malam, pada bulan Ramadhan dan selainnya tiga belas
rakaat’.” HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:341, No. 2213

Keempat, riwayat Abu Ya’la dengan sanad al-Abbas bin al-Walid an-Narsi, dari Sufyan bin
Uyainah, dari Ibnu Abu Labid, dari Abu Salamah.

، ‫ُول هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫صالَ ِة َرس‬ َ ‫ أَيْ أُ َّم ْه أَ ْخبِ ِرينِي ع َْن‬: ‫ت‬ ُ ‫ْت عَائِ َشةَ فَقُ ْل‬
ُ ‫ أَتَي‬: ‫ َس ِم َع أَبَا َسلَ َمةَ يَقُو ُل‬ ‫َع ِن ا ْب ِن أَبِي لَبِي ٍد‬
‫ أَ ْخبِ ِرينِي ع َْن‬: ‫ت‬ ُ ‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً ِم ْنهَا َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر قُ ْل‬ َ َ‫ك ثَال‬
َ ِ‫ضانَ َوفِي َما ِس َوى َذل‬ َ ‫صالَتُهُ بِاللَّ ْي ِل فِي َشه ِْر َر َم‬َ ‫َت‬ ْ ‫ َكان‬: ‫ت‬ ْ َ‫فَقَال‬
ِ ‫ط أَ ْكثَ َر ِم ْن‬
‫صيَا ِم ِه‬ ُّ َ‫صا َم ِم ْن َشه ٍْر ق‬ َ ُ‫ َولَ ْم أَ َره‬ ‫ قَ ْد أَ ْفطَ َر‬: ‫ َويُ ْف ِط ُر َحتَّى نَقُو َل‬ ‫صا َم‬َ ‫ قَ ْد‬: ‫ول‬ َ ُ‫ َكانَ يَصُو ُم َحتَّى نَق‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬ ‫صيَا ِم ِه‬ ِ
ً‫ َكانَ يَصُو ُم َش ْعبَانَ إِالَّ قَلِيال‬ ُ‫ ِم ْن َش ْعبَانَ َكانَ يَصُو ُم َش ْعبَانَ ُكلَّه‬.
Dari Ibnu Abu Labid, ia mendengar Abu Salamah berkata, “Saya mendatangi Aisyah, lalu
saya berkata, ‘Ibu, kabarkanlah kepadaku mengenai salat Rasulullah saw.’ Aisyah berkata,
"Salat beliau di waktu malam, pada bulan Ramadhan dan selainnya tiga belas rakaat,
termasuk di dalamnya dua rakaat fajar." Lalu saya berkata, "Kabarkanlah kepadaku mengenai
shaum beliau!" (Aisyah) berkata, "Beliau rajin bershaum hingga kami mengatakan seolah-
olah beliau tidak pernah berbuka dan beliau juga rajin berbuka hingga kami katakan seolah-
olah beliau tak pernah shaum. Saya tidak pernah melihat beliau shaum lebih sering pada
suatu bulan dari pada shaumnya di bulan Syaban, beliau terus melakukan shaum di bulan itu
kecuali sedikit hari saja yang tidak." HR. Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, VIII:273, No. 4860

Keempat, riwayat Al-Humaidi dengan sanad Sufyan bin Uyainah, dari Ibnu Abu Labid, dari
Abu Salamah. 

  ‫ثنا عبد هللا بن أبي لبيد وكان من عباد أهل المدينة قال سمعت أبا سلمة بن عبد الرحمن يقول دخلت على عائشة فقلت أي‬
‫أمه أخبريني عن صالة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بالليل وعن صيامه فقالت كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يصوم‬
‫حتى نقول قد صام ويفطر حتى نقول قد أفطر وما رأيته صائما في شهر قط أكثر من صيامه في شعبان كان يصومه كله بل‬
‫كان يصومه إال قليال وكانت صالته بالليل في رمضان وغيره ثالث عشر ركعة منها ركعتي الفجر‬

Dari Abdullah bin Abu Labid, dan ia termasuk ahli ibadah di antara penduduk Madinah, ia
berkata, ‘Saya mendengar Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, ‘Saya mendatangi Aisyah,
lalu saya berkata kepada Aisyah, ‘Ibu, kabarkanlah kepadaku mengenai salat Rasulullah saw.
Di waktu malam dan mengenai shaum beliau’ Aisyah berkata, ‘"Rasulullah saw. rajin
bershaum hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka dan beliau juga
rajin berbuka hingga kami katakan seolah-olah beliau tak pernah shaum. Saya tidak pernah
melihat beliau shaum lebih sering pada suatu bulan dari pada shaumnya di bulan Syaban,
beliau terus melakukan shaum di bulan itu kecuali sedikit hari saja yang tidak. Dan salat
beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya tiga belas rakaat, termasuk di
dalamnya dua rakaat fajar’." HR. Al-Humaidi, Musnad Al-Humaidi, I:92, No. 173

Dengan demikian, keterangan Abu Salamah di atas diriwayatka pula melalui jalur lain,
yaitu Sufyan bin Uyainah, dari Abdullah bin Abu Labid, dari Abu Salamah

Penjelasan Hadis:

A. Rawi Abu Salamah bin Abdurahman bin Awf

 
Para ulama berbeda pendapat tentang nama asli Abu Salamah. Sebagian berpendapat
namanya Abdullah. Sedangkan menurut yang lain, namanya Ismail.

Oleh para ulama Abu Salamah dikategorikan sebagai thabaqat tabi’in (generasi) wushtha,
yaitu generasi para rawi setelah sahabat yang wafat pada tahun 90-an hingga 198 H. Ia
dilahirkan pada tahun 20 H lebih dan wafat tahun 94 H. di Madinah pada masa kekhalifahan
al-Walid, pada usia 92 tahun. Namun menurut al-Waqidi, ia wafat tahun 104 H, dalam usia 72
tahun. (Lihat, Siyar A’lam an-Nubala, IV:287-290)

Abu Salamah termasuk salah seorang di antara tujuh ahli fiqih (al-fuqaha as-Sab’ah) di
Madinah, bendaharawan hadis di kalangan tabiin. Ia banyak menerima hadis dari sejumlah
tokoh sahabat, antara lain Aisyah.

B. Matan Hadis

Di dalam matan hadis itu disebutkan bahwa Abu Salamah bertanya kepada Aisyah. Kata
tanya yang digunakannya adalah kaifa (bagaimana), sementara masalah yang ditanyakan
adalah:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِى َر َم‬


َ‫ضان‬ َ ِ ‫صالَةُ َرسُو ِل هَّللا‬ ْ ‫َكان‬
َ ‫َت‬

“Salat Rasulullah saw. pada malam bulan Ramadhan”

Dalam menjelaskan bentuk pertanyaan ini, Imam al-Baji berkata:

ْ َ ‫صاَل تِ ِه َوهُ َو اأْل‬


‫ظهَ ُر ِم ْن ِجهَ ِة‬ َ ‫صفَ ِة‬
ِ ‫ضانَ يَحْ تَ ِم ُل ال ُّس َؤا ُل ع َْن‬َ ‫صاَل ةُ َرسُو ِل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم فِي َر َم‬ َ ‫َت‬ْ ‫قَوْ لُهُ َك ْيفَ َكان‬
َ ‫ت يَدُلُّ َعلَى َذلِكَ َج َوابُ عَائِ َشةَ َما َكانَ يَ ِزي ُد فِي َر َم‬
‫ضانَ َواَل‬ ِ ‫ُصلِّي ِم ْن ال َّر َك َعا‬ َ ‫اللَّ ْف ِظ َويَحْ تَ ِم ُل أَ ْن يَ ُكونَ َذلِكَ ُس َؤااًل ع َْن ِع َّد ِة َما ي‬
‫صفَةَ َعلَى َما يَأْتِي فِي ْال َح ِديث َوقَ ْد تَأْتِي َك ْيفَ بِ َم ْعنَى َك ْم‬ َ ِ‫ت َذل‬
ِّ ‫ك ال‬ ْ ‫فِي َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعةً فَأ َ َجابَ ْتهُ بِ ْال َع َد ِد ثُ َّم أَ ْتبَ َع‬

“Perkataannya (Abu Salamah): ‘bagaimana salat Rasulullah di bulan Ramadhan’ pertanyaan


itu mengandung makna tentang sifat atau kaifiyat salat beliau, dan makna ini yang lebih jelas
dilihat dari aspek lafal. Dan dapat pula mengandung makna tentang jumlah rakaat salat.
Pemaknaan itu diperoleh dari jawaban Aisyah, ‘’Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada
bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat.’ Makai a menjawabnya
dengan jumlah. Selanjutnya ia menyertakan sifatnya sebagaimana diterangkan dalam hadis
itu.  Dan terkadang kata kaifa bermakna pula kam (berapa).” (Lihat, Al-Muntaqa Syarh al-
Muwatha, I:227)

Adapun dalam menjelaskan maksud pertanyaan itu, Imam al-Baji berkata:

َ‫ي صلى هللا عليه وسلم َكان‬ َّ ِ‫ضانَ فَظُ َّن لِ َذلِكَ أَ َّن النَّب‬ َ ‫صاَل ِة َر َم‬َ ‫ضانَ لِ َما َرأَى ِم ْن ْال َحضِّ َعلَى‬ َ ‫ص َر ال ُّس َؤا َل َعلَى َر َم‬ َ َ‫َوإِنَّ َما ق‬
‫ضانَ لِ َما ُعلِ َم‬َ ‫صاَل ِة َر َم‬َ ‫ك بَيَانُ أَ َّن ُحصُولَنَا َعلَى‬ َ ِ‫ضانَ َو َغي ِْر ِه َس َوا ٌء َوفِي َذل‬َ ‫صاَل ٍة فَأ َ ْخبَ َر ْتهُ عَائِ َشةُ أَ َّن فِ ْعلَهُ َكانَ فِي َر َم‬
َ ِ‫يَ ُخصُّ هُ ب‬
‫ت ْال َع ِام‬
ِ ‫ض ِل أَوْ قَا‬
َ ‫ضنَا َعلَى أَ ْف‬
َّ ‫يع ْال َع ِام فَ َح‬ ِ ‫ك فِي َج ِم‬ َ ِ‫ض ْعفِنَا ع َْن إقَا َم ِة َذل‬
َ ‫ِم ْن‬

“Dan ia (Abu Salamah) membatasi pertanyaan (salat malam) di bulan Ramadhan tiada lain
sebab ia melihat terdapat anjuran salat malam di Ramadhan, karena itu ia menduga bahwa
Nabi saw. mengkhususkannya dengan suatu salat. Maka Aisyah mengabarkan kepadanya
bahwa amal Nabi di Ramadhan dan di luar Ramadhan itu sama.  Dan dalam hal itu terdapat
penjelasan bahwa kita hanya dapat mencapai salat di bulan Ramadhan, karena telah diketahui
kelemahan kita untuk melaksanakan salat itu di semua tahun. Maka Nabi saw. mendorong
kita kepada waktu yang paling utama dalam satu tahun.” (Lihat, Al-Muntaqa Syarh al-
Muwatha, I:227)
PEMAKNAAN HADIS SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT
(BAGIAN II)
Penjelasan Atas Jawaban Aisyah

Di dalam matan hadis itu disebutkan oleh Abu Salamah jawaban Aisyah terhadap pertanyaan
yang diajukannya, sebagai berikut:

Pertama:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ِزي ُد فِى َر َم‬


ً‫ضانَ َوالَ فِى َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬ َ ِ‫َما َكانَ َرسُو ُل هللا‬

“Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya,
dari sebelas rakaat.”

Dalam jalur periwayatan lain dengan redaksi:

‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً بِاللَّ ْي ِل ِم ْنهَا َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر‬


َ َ‫ضانَ َو َغي ِْر ِه ثَال‬
َ ‫صالَتُهُ فِى َشه ِْر َر َم‬ ْ ‫ َكان‬.
َ ‫َت‬

“Salat beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya sama tiga belas rakaat,
termasuk di dalamnya dua rakaat fajar.”

Di dalam jawaban Aisyah ini terdapat keterangan tambahan, selebih dari masalah yang
ditanyakan, yaitu Abu Salamah bertanya tentang salat malam Nabi saw. di bulan Ramadhan,
sementara jawaban Aisyah:   “Pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya.”

Imam al-‘Aini berkata:

‫وفيه تعميم الجواب عند السؤال عن شيء ألن أبا سلمة إنما سأل عائشة رضي هللا تعالى عنها عن صالة رسول هللا في‬
‫رمضان خاصة فأجابت عائشة بأعم من ذلك وذلك لئال يتوهم السائل أن الجواب مختص بمحل السؤال دون غيره فهو‬
‫كقوله هو الطهور ماؤه والحل ميتته لما سأله السائل عن حالة ركوب البحر ومع راكبه ماء قليل يخاف العطش إن توضأ‬
‫فأجاب بطهورية ماء البحر حتى ال يختص الحكم بمن هذه حاله‬
“Dan padanya terdapat dalil memperumum jawaban bagi pertanyaan sesuatu (yang khusus),
karena sungguh Abu Salamah bertanya kepada Aisyah khusus tentang salat Rasulullah di
bulan Ramadhan, maka Aisyah menjawab dengan jawaban yang lebih umum (di Ramadhan
dan luar Ramadhan) daripada yang ditanyakan (di Ramadhan). Demikian itu (mesti
dilakukan) agar tidak menimbulkan sangkaan pada benak  penanya bahwa jawaban itu
dikhususkan bagi kasus sesuai konteks pertanyaan (bulan Ramadhan), tidak berlaku di luar.
Jawaban demikian itu seperti sabda Nabi saw. ’Dia (laut) itu suci akirnya dan halal
bangkainya.’ Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang orang yang berlayar di lautan dengan
membawa air tawar sedikit. Jika digunakan untuk wudhu, khawatir ia kehausan. Maka Nabi
menjawab kesucian air laut (secara umum) agar hukum kesucian air itu tidak dikhususkan
bagi orang yang mengalami kasus itu (membawa air sedikit).” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh
Shahih al-Bukhari, VII:204)

Kedua, jumlah Rakaat 11 & 13

Aisyah mengatakan:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ِزي ُد فِى َر َم‬


ً‫ضانَ َوالَ فِى َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬ َ ِ‫َما َكانَ َرسُو ُل هللا‬

“Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya,
dari sebelas rakaat.”

Pada kalimat di atas, Aisyah menggunakan huruf maa yang berfungsi menegasikan atau kata
sangkalan. Hingga fragmen (petikan) ini (11 rakaat) dapat dipahami bahwa Aisyah hendak
menyatakan bahwa tidak ada tambahan dari sebelas rakaat dalam salat sunat malam, baik di
Ramadhan, Sya’ban, dan tidak pula Syawal. Fragmen ini merupakan nash, yaitu perkataan
atau kalimat yang dipakai sebagai alasan atau dasar untuk ketetapan kammiyyah (jumlah
rakaat).

Jika kita bandingan periwayatan Abu Salamah versi rawi Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi dan
Abdullah bin Abu Labid, kita mendapatkan gambaran bahwa semua periwayatan Abu
Salamah melalui jalur rawi Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi menegaskan jumlahnya tidak
lebih dari 11  rakaat:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ِزي ُد فِى َر َم‬


ً‫ضانَ َوالَ فِى َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬ َ ِ‫َما َكانَ َرسُو ُل هللا‬
“Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya,
dari sebelas rakaat.”

Sedangkan semua periwayatan Abu Salamah melalui jalur rawi Abdullah bin Abu Labid
menegaskan jumlahnya  13 rakaat (11+2 qabla subuh):

‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً بِاللَّ ْي ِل ِم ْنهَا َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر‬


َ َ‫ضانَ َو َغي ِْر ِه ثَال‬
َ ‫صالَتُهُ فِى َشه ِْر َر َم‬ ْ ‫ َكان‬.
َ ‫َت‬

“Salat beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya sama tiga belas rakaat,
termasuk di dalamnya dua rakaat fajar.”

Dengan demikian kedua jumlah itu (11 & 13) tidak bertentangan, karena kalimat

ً‫َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬

Tidak menghitung dua rakaat sebelum shubuh. Sehubungan dengan itu, al-Qasthalani dan
Muhammad Syamsul Haq Abadi menyatakan bahwa kalimat:

‫ أَيْ َغيْر َر ْك َعت َْي ْالفَجْ ر‬: ً‫َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعة‬

“dari sebelas rakaat. Yaitu selain dua rakaat sebelum shubuh.” (Lihat, Irsyad as-Sari Syarh
Shahih al-Bukhari, II:235; ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, IV:218)

Dalam mensikapi perbedaan keterangan Aisyah tentang jumlah salat malam Nabi, Imam al-
Qurthubi berkata:

‫ إنما يتم لو كان الراوي عنها واحد أو أخبرت عن وقت الصواب أن كل شيء ذكرته من ذلك‬- ‫ أي االضطراب‬- ‫وهذا‬
‫محمول على أوقات متعددة وأحوال مختلفة بحسب النشاط وبيان الجواز‬

“Dan ini—yaitu kekacauan—tercapai secara sempurna jika rawi yang meriwayatkan dari
Aisyah itu seorang atau Aisyah mengabarkan tentang satu waktu. Yang benar semua
keterangan yang disampaikannya menunjukkan waktu yang berbilang dan berbagai keadaan
yang berbeda sesuai dengan aktivitas dan penjelasan tentang hokum kebolehan.”  (Lihat,
Ta’sis al-Ahkam bi Syarh Umdah al-Ahkam, II:235)

Bantahan yang lebih “keras” disampaikan oleh Imam al-Baji:


‫ذكرت عائشة في هذا الحديث أنه كان يصلي ثالث عشرة ركعة غير ركعتي الفجر وذكرت في الحديث السابق أنه كان ال‬
‫يزيد على أحدى عشرة ركعة وقد ذكر بعض من لم يتأمل أن رواية عائشة اضطربت في الحج والرضاع وصالة النبي‬
‫صلى هللا عليه وسلم بالليل وقصر الصالة في السفر قال وهذا غلط ممن قاله فقد أجمع العلماء على أنها أحفظ الصحابة‬
‫فكيف بغيرهم وإنما حمله على هذا قلة معرفته بمعاني الكالم ووجوه التأويل فان الحديث االول إخبار عن صالته المعتادة‬
‫الغالبة والثاني إخبار عن زيادة وقعت في بعض االوقات أو ضمت فيه ما كان يفتتح به صالته من ركعتين خفيفتين قبل‬
‫االحدى عشرة‬

“Aisyah menyebutkan dalam hadis ini bahwa, ‘beliau salat tiga belas rakaat selain dua rakaat
sebelum shubuh.’ Dan ia menyebutkan pada hadis sebelumnya bahwa, ‘beliau tidak
menambah dari sebelas rakaat.’ Dan sungguh sebagian orang yang tidak berfikir secara
mendalam telah menyebutkan bahwa riwayat Aisyah itu kacau pada bab haji, penyusuan,
salat Nabi saw. di waktu malam, dan salat qashar di perjalanan. Dan ini adalah kekeliruan
dari orang yang mengatakannya, maka sungguh para ulama telah sepakat bahwa Aisyah
adalah sahabat yang paling hafal (tentang salat malam Nabi saw.), maka bagaimana dengan
selain mereka? Yang memacu munculnya pendapat demikian itu tiada lain karena minimnya
pengetahuan tentang makna pembicaraan dan berbagai aspek takwil. Karena hadis pertama
mengabarkan tentang salat yang biasanya dilakukan Nabi. Hadis kedua mengabarkan tentang
tambahan rakaat yang terjadi pada sebagian waktu lain  atau menggabungkan dua rakaat yang
beliau lakukan sebagai pembuka salat malam, sebelum melakukan 11 rakaat.” (Lihat, Tanwir
al-Hawalik Syarh Muwatha Malik, I:145)

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Aisyah mengabarkan kepada Abu
Salamah berdasarkan pengetahuan Aisyah tentang salat malam semata yang dilakukan Nabi
di rumah Aisyah. Selanjutnya, Aisyah menggabungkan keterangan dua rakaat sebelum salat
subuh pada jumlah 11 rakaat salat malam itu.

Ketiga, Sifat 11 Rakaat

Setelah Aisyah mengukuhkan kammiyyah (jumlah) 11 rakaat dengan menegasikan tambahan


dari jumlah itu, selanjutnya Aisyah menjelaskan kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan 11 rakaat
itu, sebagai berikut:

َ ‫صلِّى أَرْ بَعًا فَالَ تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َوطُولِ ِه َّن ثُ َّم ي‬
ً ‫ُصلِّى ثَالَثا‬ َ ُ‫صلِّى أَرْ بَعًا فَالَ تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َوطُولِ ِه َّن ثُ َّم ي‬
َ ُ‫ي‬،

 “Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya,
beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan
panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat.
 

Penjelasan Aisyah di atas menunjukkan bahwa:

ً ‫ صالها أربعا ً أربعا ً ثم صلى ثالثا‬،‫أنه إذا صلى إحدى عشرة‬

“Nabi saw. apabila salat malam 11 rakaat, beliau melaksanakannya 4 rakaat, 4 rakaat,
kemudian beliau salat 3 rakaat.” (Lihat, Minhah al-‘Alam Syarh Bulugh al-Maram, I:249)

Setiap selesai menyebut rincian kaifiyat, Aisyah menyatakan:

‫فَالَ تَسْأَلْ ع َْن حُ ْسنِ ِه َّن َوطُولِ ِه َّن‬

“maka engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya”

Aisyah melarang Abu Salamah menanyakan tentang hal itu karena berbagai kemungkinan:

 karena Abu Salamah dipandang tidak mampu melakukan hal yang serupa dengan
Nabi dalam hal kualitas salat dan kuantitas lamanya, sehingga tidak perlu ditanyakan,
 karena Abu Salamah dipandang sudah mengetahui hal itu karena kualitas salat Nabi
dan kuantitas waktunya sudah popular, sehingga tidak perlu ditanyakan lagi,
 Karena Aisyah tidak mampu menjelaskan sifat kualitas amal Nabi itu secara hakiki.
(Lihat, Syarh Bulugh al-Maram, I:258)
PEMAKNAAN HADIS SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT
(BAGIAN III-TAMAT)
Penjelasan Kalimat: Yushalli Arba’an

Dalam  menjelaskan kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan 11 rakaat itu, Aisyah menggunakan
kalimat:

َ ‫صلِّى أَرْ بَعًا ثُ َّم ي‬


ً ‫ُصلِّى ثَالَثا‬ َ ُ‫صلِّى أَرْ بَعًا ثُ َّم ي‬
َ ُ‫ي‬

 “Beliau salat empat rakaat, kemudian beliau salat (lagi) empat rakaat, kemudian beliau salat
tiga rakaat.”

Para ulama dari berbagai generasi dan beragama madzhab fikih telah menjelaskan maksud
perkataan Aisyah: 4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat, di atas. Dalam menjelaskan maksud
perkataan itu—hemat kami—mereka telah berupaya secara objektif, tanpa “terpengaruh”
madzhab yang dianutnya.

Sikap ini berbeda dengan sebagian kalangan yang membaca atau mempelajari penjelasan
para ulama yang bersangkutan. Di mana penjelasan dari mereka sering kali dipahami secara
tidak utuh atau tidak objektif, sehingga melahirkan suatu kesimpulan yang belum tentu
selaras dengan maksud ulama tersebut.

Demi memelihara objektifitas tersebut, di sini akan kami sajikan penjelasan dari para ulama
itu secara lengkap beserta teks aslinya, antara lain:  

Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) berkata:

‫وأما قوله يصلي أربعا ثم يصلي أربعا ثم يصلي ثالثا فذهب قوم إلى أن األربع لم يكن بينها سالم وقال بعضهم وال جلوس‬
‫إال في آخرها وذهب فقهاء الحجاز وجماعة من أهل العراق إلى أن الجلوس كان منها في كل مثنى والتسليم أيضا ومن‬
‫ذهب هذا المذهب كان معنى قوله في هذا الحديث عنده أربعا يعني في الطول والحسن وترتيب القراءة ونحو ذلك ودليلهم‬
‫ على ذلك قوله صلى هللا عليه وسلم " صالة الليل مثنى مثنى" ألنه محال أن يأمر بشيء ويفعل خالفه صلى هللا عليه وسلم‬ 
“Dan adapun perkataannya yushalli ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat), tsumma yushalli
‘arba’an, tsumma yushalli tsalaatsan, maka suatu kaum berpendapat bahwa 4 rakaat itu tanpa
salam di antaranya, dan sebagian mereka berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir
rakaat keempat.’ Sementara ahli fiqh Hijaz dan sekelompok ulama Irak berpendapat bahwa
duduk (tahiyat) di antara  4 rakaat itu pada setiap 2 rakaat, demikian pula salam. Dan orang
yang berpendapat demikian memaknai kata empat pada hadis itu dalam hal panjang (lama
rakaat), keelokan (tata cara), tertib bacaan, dan lain-lain. Dan dalil mereka atas pendapat itu
sabda Nabi saw. ‘Salat malam itu dua rakaat, dua rakaat’, karena mustahil beliau memerintah
terhadap sesuatu dan beliau berbuat sebaliknya.” (Lihat, At-Tamhid limaa fii al-Muwatha min
al-Ma’ani wa al-Asaanid, XXI:70)

Al-Qadhi Iyadh (w.544 H) berkata:

‫ لم‬: ‫ وقال اخرون‬، ‫ وكذلك األربع األخر‬، ‫ فذهب قوم إلى أنه لم يكن بين األربع سالم‬: ‫ (يصلى أربعأ أربعا) الحديث‬: ‫قولها‬
‫ وهو‬، ‫ وذهب معظم الفقهاء الحجازيين وبعض العراقين إلى التسليم بين كل اثنتين من األربع‬، ‫يجلس إال فى اخر كل أربع‬
‫والتحسن على هيئة واحدة لم يختلف الركعتان‬  ‫ وتأويل معنى ذكر أربع هنا عند بعضهم أنها كانت فى التالوة‬، ‫مذهب مالك‬
‫ ثم األربع بعدها أيضا مشتبهة فى الصفة من الترتيل والتحسين وإن لم تبلغ فى طولها قدر األول‬، ‫األوليان من االخرتين‬
)‫ (يصلى ركعتين طويلتن ثم يصلى ركعتين هما دون اللتن قبلهما‬: ‫كما قال فى الحديث االَخر‬

“perkataannya yushalli ‘arba’an ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat, 4 rakaat), maka suatu kaum
berpendapat bahwa tanpa salam di antara 4 rakaat itu, dan demikian pula 4 rakaat kedua, dan
sebagian mereka berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir tiap rakaat keempat.’
Sementara sebagian besar ahli fiqh Hijaz dan sebagian ulama Irak berpendapat bahwa
terdapat salam pada setiap 2 rakaat di antara  4 rakaat itu, dan ini pendapat Malik. Dan orang
yang berpendapat demikian mentakwil kata empat pada hadis itu dalam hal tilawah dan
pengelokan atas satu cara yang tidak berbeda antara dua rakaat pertama dengan dua rakaat
akhir, demikian pula 4 rakaat setelahnya serupa dalam sifat tartil dan tahsin meskipun ukuran
panjangnya tidak sama antara satu rakaat dengan rakaat sebelumnya, sebagaimana disebutkan
dalam hadis lain semisalnya, ‘Beliau salat dua rakaat yang panjang, lalu salat dua rakaat yang
kurang dari ukuran sebelumnya’.” (Lihat, Ikmal al-Mu’lim Syarh Shahih Muslim, III:49)

Imam al-‘Aini (w. 855 H) berkata:

‫وفي قولها يصلي أربعا حجة ألبي حنيفة رضي هللا تعالى عنه في أن األفضل في التنفل بالليل أربع ركعات بتسليمة واحدة‬
‫وفيه حجة عن منع ذلك كمالك رحمه هللا وفي قولها ثم يصلي ثالثا حجة الصحابنا في أن الوتر ثالث ركعات بتسليمة واحدة‬
‫ألن ظاهر الكالم يقتضي ذلك فال يعدل عن الظاهر إال بدليل فإن قلت قد ثبت إيتار النبي بركعة واحدة وثبت أيضا قوله‬
‫ومن شاء أوتر بواحدة قلت سلمنا ذلك ولكنه إن تلك الركعة الواحدة توتر الشفع المتقدم لها والدليل على ذلك ما رواه‬
‫البخاري حدثنا عبد هللا بن يوسف قال أخبرنا مالك عن نافع وعبد هللا بن دينار عن ابن عمر أن رجال سأل النبي عن صالة‬
‫الليل فقال رسول هللا صالة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى‬
Pada perkataan Aisyah: yushalli ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat) terdapat hujjah bagi Abu
Hanifah bahwa yang paling utama pada salat sunat waktu malam itu 4 rakaat dengan satu
salam, dan pada perkataan itu pula terdapat hujjah (bantahan) terhadap orang yang melarang
hal itu (4 rakaat dengan satu salam) seperti Malik—semoga Allah merahamatinya—dan  pada
perkataan Aisyah: yushalli tsalaatsan (beliau salat 3 rakaat) terdapat hujjah bagi para sahabat
kami bahwa witir itu 3 rakaat dengan satu salam, karena zhahir pembicaraan menghendaki
demikian. Maka tidak boleh meninggalkan makna zhahir kecuali berdasarkan dalil. Jika anda
mengatakan, ‘Sungguh terbukti Nabi witir dengan satu rakaat dan terbukti pula sabda beliau:
‘Siapa yang mau berwitirlah dengan satu rakaat.’ Saya katakan, ‘Kami menerima itu, namun
sungguh satu rakaat itu mewitirkan rakaat genap yang mendahuluinya, dan dalil atas hal itu
riwayat al-Bukhari, (ia berkata) ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami.’ Ia
berkata, ‘Malik telah mengabarkan kepada kami.’ Dari Nafi dan Abdullah bin Dinar, dari
Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi tentang salat malam. Maka
Rasulullah bersabda, ‘Salat malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka jika seseorang di antara
kamu khawatir tiba waktu subuh, ia salat satu rakaat yang mengganjilkan rakaat yang telah ia
laksanakan.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VII:204)

Al-Mula Ali al-Qari (w. 1014 H) berkata:

( ‫صلِّي أَرْ بَعًا اَل تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َوطُولِ ِه َّن‬ َ ُ‫ض ُل ِع ْن َد ) ثُ َّم ي‬ َ ‫ َوهُ َو أَ ْف‬، ‫ث يَدُلُّ َعلَى أَ َّن ُكاًّل ِمنَ اأْل َرْ بَ ِع بِ َساَل ٍم َوا ِح ٍد‬ ِ ‫ظَا ِه ُر ْال َح ِدي‬
ُ
‫ك أرْ بَعًا بِ َساَل ٍم َم َّرةً َو َساَل َمي ِْن أ ْخ َرى َج ْمعًا‬ َ َ ْ
َ ُ‫ فَيَ ْنبَ ِغي أ ْن ي‬، ‫صاَل ةُ اللَّ ْي ِل َمثنَى‬
ُ ِ‫صلِّ َي السَّال‬ َ ‫صا ِحبَ ْي ِه‬ َ ‫ َو ِع ْن َد‬، ‫أَبِي َحنِيفَةَ فِي ال َملَ َو ْي ِن‬
ْ
ِ ‫صاَّل هَا بِ َساَل ٍم َو‬
‫ َويُ َؤيِّ ُدهُ قَوْ ُل ُم ْسلِ ٍم بَ ْع َد‬، ‫اح ٍد‬ َ ُ‫ َوهَ َذا أَ ْيضًا يَدُلُّ َعلَى أَنَّه‬، ) ‫صلِّي ثَاَل ثًا‬ َ ُ‫ َو ِرعَايَةً لِ ْل َم ْذهَبَ ْي ِن ( ثُ َّم ي‬، ‫بَ ْينَ ال ِّر َوايَتَ ْي ِن‬
ٍ ‫صاَل ِة اللَّي ِْل ثُ َّم أَوْ ت ََر بِثَاَل‬
‫ث‬ َ ‫إِي َرا ِد‬

“Kalimat ‘Kemudian Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan bertanya tentang baik
dan panjangnya.’ Zhahir hadis menunjukkan bahwa setiap 4 rakaat dengan satu salam, dan
cara ini lebih utama menurut Abu Hanifah dalam al-Malawain, sementara menurut kedua
sahabatnya salat malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka layak bagi salik (murid, pengikut)
untuk salat 4 rakaat dengan satu salam pada satu waktu dan dengan dua salam pada waktu
lain sebagai upaya kompromi di antara dua riwayat dan memelihara kedua madzhab. Kalimat
‘Kemudian Beliau salat tiga rakaat,’ dan ini pun menunjukkan bahwa beliau melaksanakan 3
rakaat dengan satu salam, dan hal itu diperkuat oleh pendapat Muslim setelah menyebutkan
salat malam kemudian beliau witir dengan 3 rakaat.” (Lihat, Jam’ al-Wasa’il fii Syarh as-
Syama’il tanpa jilid dan halaman)

Imam Ash-Shan’âniy (w. 1182 H) berkata:

( ‫ُصلِّي أَرْ بَعًا‬


َ ‫صاَل ةُ اللَّ ْي ِل َم ْثنَى ) ي‬ ُ ِ‫ت َوهُ َو بَ ِعي ٌد إاَّل أَنَّهُ ي َُواف‬
َ ‫ق َح ِد‬
َ ‫يث‬ ِ َ‫ت َوهُ َو الظَّا ِه ُر َويُحْ تَ َم ُل أَنَّهَا ُم ْنف‬
ٌ ‫صاَل‬ ِ َّ‫يُحْ تَ َم ُل أَنَّهَا ُمت‬
ٌ ‫صاَل‬
‫ َم ْثنَى‬ 
“Kalimat Yushalli arba’an (Beliau salat empat rakaat).  Kata arba’an (empat rakaat)
mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, makna zhahir, yaitu menunjukkan
bersambung (empat rakaat sekaligus). Kedua, makna jauh, yaitu menunjukkan dipisah (empat
rakaat tidak sekaligus). Namun makna jauh ini sejalan dengan hadis:

‫صاَل ةُ اللَّي ِْل َم ْثنَى َم ْثنَى‬


َ

“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.” (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram,
II:275)

Muhammad Syamsul Haq Abadi (w. 1329 H) berkata:

‫ولهن ثُ َّم أَرْ بَعًا فَاَل تَسْأَل‬


َّ ُ‫ْنهن َوط‬ َّ ‫صلِّي أَرْ بَعًا فَاَل تَسْأَل ع َْن حُ س‬ َ ُ‫ ي‬: ‫صاَل ة اللَّيْل‬ َ ‫ص ِحي َح ْي ِن ِم ْن َح ِديث عَائِ َشة فِي بَيَان‬َّ ‫َو َما فِي ال‬
‫ َك َذا َذ َك َرهُ اِبْن ْالهُ َمام فِي فَ ْتح ْالقَ ِدير‬. ‫ت ثَ َمانِيًا فَاَل تَسْأَل‬
ْ َ‫ َوإِاَّل لَقَال‬، ‫ فَهَ َذا ْالفَصْ ل يُفِيد ْال ُم َراد‬. ‫ولهن ْال َح ِديث‬
َّ ُ‫ْنهن َوط‬
َّ ‫ع َْن ُحس‬
‫ شَرْ ح ْال ِهدَايَة‬.

“Dan keterangan dalam as-Shahihain (al-Bukhari-Muslim) dari hadis Aisyah dalam


menjelaskan salat malam: ‘Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan bertanya tentang
baik dan panjangnya, kemudian beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau
bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat.’ Maka pemisahan
ini  (4+4) menghasilkan yang dimaksud (4 rakaat satu salam), dan jika tidak demikian
(maknanya) niscaya Aisyah mengatakan, ‘‘Beliau salat delapan rakaat, maka engkau jangan
bertanya.’ Demikian yang diterangkan oleh Ibnu al-Humam dalam kitab Fath al-Qadier
Syarh al-Hidayah.”  (Lihat, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, IV:146-147)

Pemahaman Kami Terhadap Maksud Imam Ash-Shan’âniy

Perkataan Imam Ash-Shan’âniy oleh sebagian kalangan dijadikan rujukan bahwa salat
tarawih 4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat, masing-masing dengan satu salam memiliki landasan
ilmiah. Namun kalangan lainnya, mengganggap bahwa tidak demikian maksud dari Imam
Ash-Shan’âniy, bahkan mereka mengatakan  “banyak orang terkecoh dan terjebak dalam
memahami penjelasan Imam Muhammad as-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh
Bulûgh Al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat
sekali salam disebutkan dalam kitab itu.”

 
Untuk menghindari klaim yang tidak proporsional, mari kita pelajari bersama redaksi
perkataan Imam Ash-Shan’âniy yang sesungguhnya. Sehubungan dengan itu, kita cantumkan
kembali perkataan beliau sebagai berikut:

( ‫ُصلِّي أَرْ بَعًا‬


َ ‫صاَل ةُ اللَّ ْي ِل َم ْثنَى ) ي‬ ُ ِ‫ت َوهُ َو بَ ِعي ٌد إاَّل أَنَّهُ ي َُواف‬
َ ‫ق َح ِد‬
َ ‫يث‬ ِ َ‫ت َوهُ َو الظَّا ِه ُر َويُحْ تَ َم ُل أَنَّهَا ُم ْنف‬
ٌ ‫صاَل‬ ِ َّ‫يُحْ تَ َم ُل أَنَّهَا ُمت‬
ٌ ‫صاَل‬
‫ َم ْثنَى‬ 

“Kalimat Yushalli arba’an (Beliau shalat empat rakaat).  Kata arba’an (empat rakaat)
mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, makna zhahir, yaitu menunjukkan
bersambung (empat rakaat sekaligus). Kedua, makna jauh, yaitu menunjukkan dipisah (empat
rakaat tidak sekaligus). Namun makna jauh ini sejalan dengan hadis:

‫صاَل ةُ اللَّي ِْل َم ْثنَى َم ْثنَى‬


َ

‘Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.’ (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram,
II:275)

Bila redaksi perkataan di atas kita cermati secara jernih, tentu kita dapat memahami bahwa
“Isu sentral” yang dibicarakan oleh Imam Ash-Shan’âniy bukanlah praktik 4 rakaat itu
apakah dengan 1 kali salam atau 2 kali salam, melainkan pemaknaan kalimat Yushalli
arba’an (Beliau shalat empat rakaat) antara washal (bersambung) ataukah fashal
(dipisah), karena kata arba’an (empat) dipandang bermakna ganda.

Maka untuk mencari kejelasan makna yang dimaksud, beliau mengajukan dua perspektif:
Pertama, zhahir. Kedua, ba’iid (makna jauh).  Menurut beliau, kata empat yang dimaksud
menunjukkan bersambung (empat rakaat sekaligus). Pemaknaan demikian disebut zhahir.
Mengapa pemaknaan ini disebut zhahir? Di sini perlu sedikit dijelaskan tentang kaidah
zhahir, agar kita dapat memahami maksud Imam As-Shan’âniy dengan sebenarnya.

Yang dimaksud dengan lafal zhahir  adalah:

ِ َ‫ْث الَ يَت ََوقَّفُ فَ ْه ُم ال ُم َرا ِد ِم ْنهُ َعلَى قَ ِر ْينَ ٍة خ‬


‫ار ِجيَّ ٍة‬ ِ ‫الظَّا ِه ُر هُ َو اللَّ ْفظُ الَّ ِذي يَدُلُّ َعلَى َم ْعنَاهُ ِدالَلَةً َوا‬.
ُ ‫ض َحةً بِ َحي‬

Zhâhir ialah suatu lafaz yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas tanpa memerlukan
penjelasan dari luar. (Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, Zakî ad-Dîn Sya‘bân, hlm. 341)

 
Lafaz nash zhahir ini wajib diamalkan sesuai dengan kejelasannya. Sungguhpun demikian,
lafal zhahir dapat di-ta`wîl-kan bila terdapat qarinah (indikasi). Sebagai contoh dapat dilihat
dalam ayat:

275 :]2[ ‫ البقرة‬... ‫ َوأَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬.

Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… (QS. Al-Baqarah, 2:275)

Ayat ini begitu jelas artinya, bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba` itu haram.
Pengertian inilah yang segera dapat ditangkap oleh akal pikiran kita tanpa memerlukan
qarînah untuk menjelaskannya. Namun demikian, ayat ini bukan hanya sekedar menyatakan
bahwa jual beli itu halal dan riba` itu haram hukumnya, tetapi ayat ini untuk menyatakan dan
membantah anggapan orang-orang munafik Mekah waktu itu di mana jual-beli itu sama
dengan riba`. Padahal jual-beli itu tidak sama dengan riba`.

Sekarang kita kembali kepada kata ‘arba’an (empat). Ketika Aisyah menyatakan:

(‫ُصلِّي أَرْ بَعًا‬


َ ‫)ي‬

“Beliau shalat empat rakaat.”

Maka pengertian yang segera dapat ditangkap oleh akal pikiran kita tanpa memerlukan
qarînah untuk menjelaskannya adalah berjumlah 4 rakaat, bukan 2 rakaat, 2 rakaat. Apabila
kata “empat” dimaknai 2+2 maka pemaknaan demikian itu memerlukan qarînah eksternal
untuk menjelaskannya. Karena itulah beliau menyebutnya dengan kata ba’iid (makna jauh).

Jadi, apabila kata itu dimaknai washal maka kata itu dikategorikan zhahir. Artinya, kata
‘arba’an menunjukkan kepada pengertian empat rakaat sekaligus tanpa memerlukan
penjelasan dari luar. Sedangkan bila dimaknai fashal maka kata itu dikategorikan ba’iid
(jauh). Artinya, kata ‘arba’an dimaknai empat rakaat tidak sekaligus atau dipisah
menunjukkan pengertian jauh. Dengan perkataan lain dimaknai secara ta`wîl, yaitu
memalingkan atau mengubah arti zhahir lafal ‘arba’an (empat rakaat sekaligus) kepada arti
lain (empat rakaat dipisah).

 
Hemat kami, menurut beliau, pemaknaan demikian merupakan ta`wîl yang jauh dari arti
zhahirnya. Untuk itu diperlukan dalil yang dapat mendukung pen-ta`wîl-an tersebut. Maka
dalam hal ini beliau mengajukan dalil, yaitu sabda Nabi Saw.:

‫صاَل ةُ اللَّي ِْل َم ْثنَى َم ْثنَى‬


َ

“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.”

Sampai kalimat ini, kami tidak menangkap “sinyal” adanya pemahaman dari beliau, bahwa
“shalat Tarawih 4 Rakaat itu dilakukan dengan dua kali Salam” Apalagi “pemaksaan
fiqih” bahwa  “Shalat Tarawih 4 Rakaat Satu Salam itu merupakan kesalahkaprahan.”

Penutup

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa para ulama telah berupaya memberikan
petunjuk ilmiah untuk memahami suatu teks dalil, khususnya penjelasan Aisyah terhadap
pertanyaan tentang salat malam Nabi di bulan Ramadhan.

Dari petunjuk itu, kita diharapkan dapat meneladani mereka sehingga kita tidak tergesa-gesa
dalam menyikapi penjelasan ilmiah mereka.

Dalam memahami hadis: “4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat” kami cenderung mengikuti
perspektif pemaknaan secara zhahir, yaitu kata empat yang dimaksud menunjukkan
bersambung (empat rakaat sekaligus). Karena pengertian yang segera dapat ditangkap oleh
akal pikiran kita tanpa memerlukan qarînah (indikasi) untuk menjelaskannya adalah
berjumlah 4 rakaat, bukan 2 rakaat, 2 rakaat. 

Dengan demikian, pelaksanaan salat tarawih 4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat, dengan masing-
masing satu kali salam, memiliki pijakan ilmiah.
PEMAKNAAN HADIS: “SETAN-SETAN
DIBELENGGU”
Keterangan tentang setan-setan dibelenggu pada bulan Ramadhan kita peroleh dari beberapa
hadis sebagai sebagai berikut:

Pertama, dengan kalimat Shufidat as-Syaathiin

ُ‫اطينُ َو َم َر َدة‬ ِ َ‫َت ال َّشي‬ ْ ‫صفِّد‬ُ َ‫ضان‬ َ ‫ إِ َذا َكانَ أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َشه ِْر َر َم‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬
، ْ‫ َويُنَا ِدي ُمنَا ٍد يَا بَا ِغ َي ْالخَ ي ِْر أَ ْقبِل‬، ٌ‫ت أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة فَلَ ْم يُ ْغلَ ْق ِم ْنهَا بَاب‬ ِ َّ‫ت أَ ْب َوابُ الن‬
ْ ‫ َوفُتِّ َح‬، ٌ‫ار فَلَ ْم يُ ْفتَحْ ِم ْنهَا بَاب‬ ْ َ‫ َو ُغلِّق‬، ِّ‫ْال ِجن‬
‫ار َو َذلكَ ُكلُّ لَ ْيلَ ٍة‬ ِ ‫َويَا بَا ِغ َي ال َّشرِّ أَ ْق‬
ِ َّ‫ َوهَّلِل ِ ُعتَقَا ُء ِم ْن الن‬، ْ‫صر‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam pertama bulan
Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada
satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun pintu yang
tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada
ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-
hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’." HR. At-
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:67, No. 682; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:126, No. 2097;
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No. 1642; Malik, al-Muwatha, I:311, No. 684; al-
Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:304, No. 8284; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:42, No.
1775;  Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:222, No. 3435; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, III:188, No. 1882; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:582, No.
1532; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XVII:133, No. 326, Al-Mu’jam al-Awsath, II:157,
No. 1563, dengan sedikit perbedaan redaksi.

Kedua, dengan kalimat Sulsilat as-Syaathiin

ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ يَقُو ُل ق‬ِ ‫س َموْ لَى التَّ ْي ِميِّينَ أَ َّن أَبَاهُ َح َّدثَهُ أَنَّهُ َس ِم َع أَبَا ه َُر ْي َرةَ َر‬
ٍ َ‫ب قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ابْنُ أَبِي أَن‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
ُ‫اطين‬ ِ َ‫ت ال َّشي‬ ْ
ْ َ‫ت أب َْوابُ َجهَنَّ َم َوسُل ِسل‬َ َ
ْ َ‫ت أ ْب َوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬ ْ ‫ضانَ فُتِّ َح‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم إِ َذا َد َخ َل َش ْه ُر َر َم‬ َّ َ

Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Ibnu Abu Anas mawla at-Taymiyyiin telah mengabarkan
kepada saya, bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah
Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu
langit dibuka sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Al-
Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:672, No. 1800.

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh: An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:128, No. 2101; Ahmad,
Musnad Ahmad, II:281, No. 7767, dan Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:420, No.
1439; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:303, No. 8283; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban,
VIII:221, No. 3434; Ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyiin, I:69, No. 82.

Ketiga, dengan kalimat Tughallu fiihi as-Syaathiin

ُ ‫ض هَّللا‬
َ ‫ك ا ْفتَ َر‬
ٌ ‫ار‬
َ َ‫ضانُ َش ْه ٌر ُمب‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ ْد َجا َء ُك ْم َر َم‬
َ ِ ‫ضانُ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ض َر َر َم‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل لَ َّما َح‬
ِ ‫ف َشه ٍْر َم ْن‬
‫حُر َم خَ ي َْرهَا‬ ِ ‫اطينُ فِي ِه لَ ْيلَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬ ِ َ‫ق فِي ِه أَب َْوابُ ْال َج ِح ِيم َوتُغَلُّ فِي ِه ال َّشي‬
ُ َ‫صيَا َمهُ تُ ْفتَ ُح فِي ِه أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة َويُ ْغل‬
ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم‬
‫ُر َم‬ِ ‫قَ ْد ح‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw. bersabda,
‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah
mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka
ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah
kehilangan pahala seribu bulan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu
Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418,
No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh an-Nasai dengan kalimat:

ِ ‫ َوتُغَلُّ فِي ِه َم َر َدةُ ال َّشيَا ِط‬ 


‫ين‬

“dan setan-setan pembangkang dibelenggu” (Lihat, as-Sunan al-Kubra, II:66, No. 2416,
Sunan an-Nasai, IV:129, No. 2106)

Penjelasan Variasi Kalimat

A. Shuffidat as-Syayaathin
 

Kata Shafd, Shafad, dan Shafaad makna asalnya qayd (mengikat), dari makna itu suatu
pemberian (athiyyah) disebut shafad karena pemberian itu mengikat orang yang
menerimanya. (Lihat, al-Fa’iq fii Gharib al-Hadits, II:302)

Kata Shafd pada kalimat Shuffidat as-Syayaathin maknanya sama dengan ghalla
(membelenggu) dan salsala (merantai). Jadi, kalimat Shuffidat as-Syayaathin dapat dimaknai
syuddat bi al-Ashfaad (diikat dengan belenggu) (Lihat, Syarh Kitab ash-Shiyam min Sunan
at-Tirmidzi, I:9; I’anah al-Muslim fi Syarh Shahih Muslim, I:2). Sementara kalimat Sulsilat
as-Syayaathin dapat dimaknai syuddat bi as-Salaasil (diikat dengan rantai). (Lihat, Umdah
al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, X:270).

Dengan demikian, penggunaan kalimat Shufidat as-Syaathiin, Sulsilat as-Syaathiin, dan


Tughallu as-Syaathiin, pada dasarnya menunjukkan makna yang sama, yaitu setan-setan
diikat dengan rantai atau dibelenggu.

B. As-Syayaathin

Sebagian ulama berpendapat, bahwa kata as-Syayaathin (setan-setan) yang dimaksud pada
hadis ini menunjukkan sebagiannya, bukan semua setan, yaitu hanya al-maradah (setan-setan
pembangkang atau yang didurhaka). Qarinah (indikasi) pemaknaan ini adalah matan hadis
riwayat at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan al-Hakim melalui jalur periwayatan al-
A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Huraerah, sebagai berikut:

ِّ‫اطينُ َم َر َدةُ ْال ِجن‬ ِ ‫صفِّ َد‬


ِ َ‫ت ال َّشي‬ َ ‫إِ َذا َكانَ أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َر َم‬
ُ َ‫ضان‬

“‘Pada malam pertama bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu (yaitu) jin-jin yang jahat.”

Dan riwayat an-Nasai melalui jalur periwayatan Abu Qilabah, dari Abu Huraerah, sebagai
berikut:

ِ ‫ َوتُغَلُّ فِي ِه َم َر َدةُ ال َّشيَا ِط‬ 


‫ين‬
“dan setan-setan pembangkang dibelenggu” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari,
X:270).

Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa kata as-Syayaathin (setan-setan) yang dimaksud
pada hadis ini menunjukkan semua setan, karena pada matan hadis Abu Huraerah, melalui
jalur periwayatan yang sama, digunakan huruf waw (bermakna dan) sebagai berikut:

ِّ‫َت ال َّشيَا ِطينُ َو َم َر َدةُ ْال ِجن‬


ْ ‫صفِّد‬ َ ‫إِ َذا َكانَ أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َشه ِْر َر َم‬
ُ َ‫ضان‬

“Pada malam pertama bulan Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu” HR.
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:67, No. 682; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No.
1642; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, VI:215, No. 1705; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-
Shahihain, I:582, No. 1532; al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:217, No. 3327.

Kata Syekh al-Muhaddits Sulaiman bin Nashir al-‘Ulwan, “Perkataan:

ِّ‫ال َّشيَا ِطينُ َو َم َر َدةُ ْال ِجن‬ 

Mengandung dua makna; Pertama, struktur kalimat itu termasuk dalam topik ‘athf al-khas
‘ala al-‘am (menghubungkan kata khusus kepada kata umum). Kata umum yang dimaksud
adalah asy-syayathiin (setan-setan) dan kata khusus adalah Maradah al-jinn (jin-jin yang
jahat atau durhaka). Ini menunjukkan bahwa semua setan dibelenggu.

Kedua, struktur kalimat itu termasuk dalam topik ‘athf tafsir wa bayaan, yaitu kalimat
Maradah al-jinn yang disebut setelah asy-syayathiin berfungsi menjelaskan dan melengkapi
hukum. Artinya, ketika disebutkan bahwa yang dibelenggu itu jin-jin yang jahat atau durhaka
maka inilah rahasianya mengapa pada bulan Ramadhan tetap terjadi perbuatan dosa yang
dilakukan manusia, karena terdapat sebagian setan yang tidak dibelenggu.  Dan ketika
disebutkan bahwa yang dibelenggu itu asy-syayathiin (menunjukkan jenis setan), maka yang
dibelenggu itu bukan hanya jin yang jahat.” (Lihat, Syarh Kitab ash-Shiyam min Sunan at-
Tirmidzi, I:9)

Penjelasan Makna “Setan-setan dibelenggu”

Dalam memahami makna “Setan-setan dibelenggu” para ulama berbeda kecenderungan,


sebagaimana dalam memahami makna “Dibuka pintu surga” dan “Ditutup pintu neraka”,
sehingga melahirkan pendapat yang berbeda. Dalam hal ini terbagi menjadi dua pandapat:
 

Pertama, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara hakiki, sesuai dengan
zhahir hadis. Menurut pendapat ini, hadis itu menunjukkan bahwa ketika bulan Ramadhan
setan-setan dibelenggu dalam makna yang sebenarnya.

‫يح أَ ْب َواب ْال َجنَّة َوتَ ْغلِيق أَ ْب َواب َجهَنَّم‬ َ ِ‫ َوأَ َّن تَ ْفت‬، ‫ يَحْ تَ ِمل أَنَّهُ َعلَى ظَا ِهره َو َحقِيقَته‬: - ‫ َر ِح َمهُ هَّللا تَ َعالَى‬- ‫ضي ِعيَاض‬ ِ ‫فَقَا َل ْالقَا‬
‫ َويَ ُكون التَّصْ فِيد لِيَ ْمتَنِعُوا ِم ْن ِإي َذاء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َوالتَّه ِْويش َعلَ ْي ِهم‬، ‫ َوتَ ْع ِظي ٌم لِحُرْ َمتِ ِه‬، ‫ول ال َّشهْر‬
ِ ‫َوتَصْ فِيد ال َّشيَا ِطين َعاَل َمة لِ ُد ُخ‬

Maka al-Qadhi Iyadh berkata, “Hadis itu mengandung makna sesuai dengan zhahir dan
hakikatnya, dan sungguh dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu jahannam dan setan-
setan dibelenggu adalah tanda masuk bulan Ramadhan dan mengagungkan kehormatannya,
dan dibelenggu menunjukkan bahwa mereka (setan) terhalang untuk menyakiti orang-orang
mukmin dan mengganggu mereka.” (Lihat, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Muwatha’ Malik,
I:295)

‫صفدت (الشياطين) شدت باألغالل لئال يوسوسوا للصائم وآية ذلك تنزه أكثر المنهمكين في الطغيان عن الذنوب فيه‬
‫وإنابتهم إليه تعالى‬

“Kalimat Shuffidat as-Syayaathin maknanya syuddat bi al-Aglaal (diikat dengan belenggu)


agar mereka tidak menggoda orang yang shaum, dan tanda hal itu bahwa pada bulan
Ramadhan kebanyakan orang yang asik dalam kelaliman bersuci diri dari dosa-dosa dan
bertobat kepada Allah Ta’ala.”   (Lihat, Mashabih at-Tanwir ‘ala Shahih al-Jami’ ash-Shagir,
I:297).

Dalam pemaknaan ini timbul pertanyaan: jika setan itu dibelenggu pada bulan Ramadhan,
mengapa pada bulan itu tetap saja terjadi kejahatan dan kemaksiatan?

Imam al-Qurthubi berkata:

‫ك فَ ْال َج َواب أَنَّهَا إِنَّ َما تُ َغ ّل‬ ْ ‫صفِّد‬


َ ِ‫َت ال َّشيَا ِطين لَ ْم يَقَع َذل‬ ُ ْ‫ضان َكثِيرًا فَلَو‬ ِ ‫فَإ ِ ْن قِي َل فَ َكيْف تُ َرى ال ُّشرُور َو ْال َم َعا‬
َ ‫صي َواقِ َعة فِي َر َم‬
‫ت آدَابه‬ ْ َ‫ُوعي‬ ِ ‫ع َْن الصَّائِ ِمينَ الصَّوْ م الَّ ِذي حُوفِظَ َعلَى ُشرُو ِط ِه َور‬

“Jika dikatakan bagaimana banyak terjadi kejahatan dan kemaksiatan di bulan Ramadhan,
padahal jika setan dibelenggu hal itu seharusnya tidak terjadi? Maka jawabannya
sesungguhnya setan itu dibelenggu, tidak dapat menggoda tiada lain kepada orang yang
melaksanakan shaum dengan shaum yang memenuhi syarat-syaratnya dan memelihara adab-
adanya.”  (Lihat, Hasyiah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasai, III:30)

Al-‘Aini berkata:

‫فإن قلت قد تقع الشرور والمعاصي في رمضان كثيرا فلو سلسلت لم يقع شيء من ذلك قلت هذا في حق الصائمين الذين‬
‫ وقيل ال يلزم من تسلسلهم وتصفيدهم كلهم أن ال تقع شرور وال معصية ألن‬... ‫حافظوا على شروط الصوم وراعوا آدابه‬
‫لذلك أسبابا غير الشياطين كالنفوس الخبيثة والعادات القبيحة والشياطين اإلنسية‬

“Jika anda mengatakan, ‘Banyak terjadi kejahatan dan kemaksiatan di bulan Ramadhan,
padahal jika setan dibelenggu hal itu seharusnya tidak terjadi? Saya jawab, ‘Ini (dibelenggu)
terjadi pada hak orang-orang yang melaksanakan shaum, yang memenuhi syarat-syaratnya
dan memelihara adab-adanya.’…dan ada pula yang berpendapat bahwa semua setan
dibelenggu itu tidak memestikan  tidak terjadinya kejahatan dan kemaksiatan karena untuk
hal itu terdapat sebab-sebab lain selain godaan setan, seperti jiwa yang jahat, kebiasaan yang
jelek, dan setan-setan jenis manusia.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari,
X:270)

Kedua, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara majazi (kiasan).

Kata Abdurra’uf al-Munawi:

‫علم مما تقرر أن تصفيد الشياطين مجاز عن امتناع التسويل عليهم واستعصاء النفوس عن قبول وساوسهم وحسم أطماعهم‬
‫عن اإلغواء وذلك ألنه إذا دخل رمضان واشتغل الناس بالصوم وانكسرت فيهم القوة الحيوانية التي هي مبدأ الشهوة‬
‫والغضب الداعيين إلى أنواع الفسوق وفنون المعاصي وصفت أذهانهم واشتغلت قرائحهم وصارت نفوسهم كالمرائي‬
‫المتقابلة المتحاكية وتنبعث من قواهم العقلية داعية إلى الطاعات ناهية عن المعاصي فتجعلهم مجمعين على وظائف‬
‫العبادات عاكفين عليها معرضين عن صنوف المعاصي عائقين عنها فتفتح لهم أبواب الجنان وتغلق دونهم أبواب النيران‬
‫وال يبقى للشيطان عليهم سلطان فإذا دنوا منهم للوسوسة يكاد يحرقهم نور الطاعة واإليمان‬

 “Telah diketahui dari keterangan yang telah ditetapkan bahwa setan-setan dibelenggu itu
bermakna kiasan, yaitu setan tidak dapat menggoda dan jiwa manusia tidak dapat menerima
godaan mereka serta memutuskan ketamakan mereka terhadap bujukan. Demikian itu karena
apabila datang bulan Ramadhan, orang-orang disibukkan dengan shaum dan nafsu hewani
sebagai sumber syahwat dan emosi yang menyeru kepada macam-macam kefasikan dan
maksiat telah lemah pada mereka. Selain itu,    akal mereka telah jernih,  tabiat mereka sibuk
dengan ibadah, dan jiwa mereka seperti cermin yang saling berhadapan lagi saling mengikat,
dan terpancar dari kekuatan akal mereka pendorong kepada ketaatan dan pencegah dari
kemaksiatan. Maka kekuatan itu menjadikan mereka bersatu dalam melaksanakan ibadah lagi
menetapinya, mereka berpaling dari berbagai macam maksiat lagi membencinya. Maka
terbukalah pintu-pintu surge, tertutup pintu-pintu neraka, dan setan tidak berdaya atas
mereka. Maka jika setan mendekati untuk menggoda mereka, hampir saja cahaya taat dan
keimanan membakar setan-setan itu.”  (Lihat, Faid al-Qadier Syarh al-Jami’ as-Shagier,
I:437-438)

Al-‘Aini berkata:

‫ويقال تصفيد الشياطين عبارة عن تعجيزهم عن اإلغواء وتزيين الشهوات‬

“Ada yang berpendapat bahwa setan-setan terbelenggu itu adalah keterangan bahwa mereka
lemah dalam membujuk dan menghiasi syahwat.”   (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-
Bukhari, X:270)

Az-Zarqani berkata:

‫ويحتمل أن المراد أن الشياطين ال يخلصون من افتتان المسلمين إلى ما يخلصون إليه في غيره الشتغالهم بالصيام الذي فيه‬
‫قمع الشهوات وقراءة القرآن والذكر‬

“Dan dapat dimaknai bahwa maksudnya setan-setan tidak bebas dalam menggoda kaum
muslimin, sebagaimana halnya menggoda mereka di bulan lain,  karena mereka sibuk dengan
ibadah shaum yang di dalamnya terdapat faidah pengekangan syahwat, juga sibuk dengan
membaca Al-Quran dan zikir kepada Allah.”  (Lihat, Syarh az-Zarqani ‘ala Muwatha al-
Imam Malik, II:269)
PEMAKNAAN HADIS: “DITUTUP PINTU NERAKA”
Keterangan tentang pintu neraka ditutup pada bulan Ramadhan kita peroleh dari beberapa
hadis sebagai sebagai berikut:

Pertama, dengan kalimat Gulliqat Abwaab an-Naar

ُ‫اطينُ َو َم َر َدة‬ ِ َ‫َت ال َّشي‬ ْ ‫صفِّد‬ُ َ‫ضان‬ َ ‫ إِ َذا َكانَ أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َشه ِْر َر َم‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬
، ْ‫ َويُنَا ِدي ُمنَا ٍد يَا بَا ِغ َي ْالخَ ي ِْر أَ ْقبِل‬، ٌ‫ت أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة فَلَ ْم يُ ْغلَ ْق ِم ْنهَا بَاب‬ ِ َّ‫ت أَ ْب َوابُ الن‬
ْ ‫ َوفُتِّ َح‬، ٌ‫ار فَلَ ْم يُ ْفتَحْ ِم ْنهَا بَاب‬ ْ َ‫ َو ُغلِّق‬، ِّ‫ْال ِجن‬
‫ار َو َذلكَ ُكلُّ لَ ْيلَ ٍة‬ ‫هَّلِل‬
ِ َّ‫ َو ِ ُعتَقَا ُء ِم ْن الن‬، ْ‫صر‬ َ
ِ ‫َويَا بَا ِغ َي ال َّشرِّ أ ْق‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam pertama bulan
Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada
satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun pintu yang
tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada
ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-
hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’." HR. At-
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:67, No. 682; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:126, No. 2097;
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No. 1642; Malik, al-Muwatha, I:311, No. 684; al-
Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:304, No. 8284; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:42, No.
1775;  Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:222, No. 3435; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, III:188, No. 1882; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:582, No.
1532; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XVII:133, No. 326, Al-Mu’jam al-Awsath, II:157,
No. 1563.

Dalam riwayat ad-Darimi dengan redaksi:

ِ ‫صفِّ َد‬
ُ‫ت ال َّشيَا ِطين‬ ِ َّ‫ت أَبُوابُ الن‬
ُ ‫ار َو‬ ْ َ‫ت أَب َْوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬
ْ ‫ضانُ فُتِ َح‬
َ ‫إِ َذا َجا َء َر َم‬

‘Apabila bulan Ramadhan datang, pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka
ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, II:12, No. 1829

Ad-Darimi meriwayatkan pula dengan kalimat: Gulliqat Abwaab an-Niiraan

ُ ‫ت أَبُوابُ النِّي ِْرا ِن َو‬


ِ ‫صفِّ َد‬
ُ‫ت ال َّشيَا ِطين‬ ْ َ‫ت أَ ْب َوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬
ْ ‫ضانُ فُتِ َح‬
َ ‫إِ َذا َجا َء َر َم‬
‘Apabila bulan Ramadhan datang, pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka
ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, II:41, No. 1775

Kedua, dengan kalimat “Gulliqat abwaab Jahannam”

‫ت‬ْ َ‫ت أَ ْب َوابُ َجهَنَّ َم َوس ُْل ِسل‬


ْ َ‫ت أَب َْوابُ الرَّحْ َم ِة َو ُغلِّق‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َكانَ َر َم‬
ْ ‫ضانُ فُتِّ َح‬
ِ َ‫ال َّشي‬
ُ‫اطين‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Apabila  datang bulan Ramadhan pintu-pintu rahmat akan
dibuka , pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu’.” HR. Muslim, Shahih
Muslim, II:758, No. 1079; Ahmad, Musnad Ahmad, II:281, No. 7767, II:401, No. 9193; An-
Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:65, No. 2409, II:66, No. 2413, Sunan an-Nasai, IV:127, No.
2100; Abdurrazaq, al-Mushannaf, IV:176, No. 7384; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin
Humaid, I:420, No. 1439

Hadis di atas diriwayakan pula dengan sedikit perbedaan redaksi, sebagai berikut:

ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ يَقُو ُل ق‬ِ ‫س َموْ لَى التَّ ْي ِميِّينَ أَ َّن أَبَاهُ َح َّدثَهُ أَنَّهُ َس ِم َع أَبَا ه َُر ْي َرةَ َر‬
ٍ َ‫ب قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ابْنُ أَبِي أَن‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
ُ‫اطين‬ ِ َ‫ت ال َّشي‬ْ َ‫ت أَب َْوابُ َجهَنَّ َم َوس ُْل ِسل‬ْ َ‫ت أَ ْب َوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬ْ ‫ضانَ فُتِّ َح‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َد َخ َل َش ْه ُر َر َم‬
َ

Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Ibnu Abu Anas mawla at-Taymiyyiin telah mengabarkan
kepada saya, bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah
Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila bulan Ramadhan datang, pintu-pintu langit
dibuka, pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:672, No. 1800; Abu ‘Awanah, Musnad Abu ‘Awanah, IV:7, No. 2172 dengan
redaksi: 

ِ َ‫ َوس ُْل ِسل‬،‫ت أَ ْب َوابُ َجهَنَّ َم‬


ِ َ‫ت ال َّشي‬
ُ‫اطين‬ ْ َ‫ َو ُغلِّق‬،‫ت أَ ْب َوابُ ال َّس َما ِء‬
ْ ‫ضانُ فُتِّ َح‬
َ ‫إِ َذا َجا َء َر َم‬

Hadis di atas diriwayakan pula dengan kalimat “Yughlaqu fiihi abwaab al-Jahiim”

 
ُ ‫ض هَّللا‬
َ ‫ك ا ْفتَ َر‬
ٌ ‫ار‬
َ َ‫ضانُ َش ْه ٌر ُمب‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ ْد َجا َء ُك ْم َر َم‬
َ ِ ‫ضانُ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ض َر َر َم‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل لَ َّما َح‬
ِ ‫ف َشه ٍْر َم ْن‬
‫حُر َم خَ ي َْرهَا‬ ِ ‫اطينُ فِي ِه لَ ْيلَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬ ِ َ‫ق فِي ِه أَب َْوابُ ْال َج ِح ِيم َوتُغَلُّ فِي ِه ال َّشي‬
ُ َ‫صيَا َمهُ تُ ْفتَ ُح فِي ِه أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة َويُ ْغل‬
ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم‬
‫ُر َم‬ِ ‫قَ ْد ح‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw. bersabda,
‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah
mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka
ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah
kehilangan pahala seribu bulan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu
Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418,
No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1

Penjelasan Makna “Ditutup Pintu Neraka”

Dalam memahami makna “Ditutup Pintu neraka” para ulama berbeda kecenderungan,
sebagaimana dalam memahami makna “Dibuka pintu surga”, sehingga melahirkan pendapat
yang berbeda. Dalam hal ini terbagi menjadi dua pandapat:

Pertama, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara hakiki, sesuai dengan
zhahir hadis. Menurut pendapat ini, hadis itu menunjukkan bahwa ketika bulan Ramadhan
pintu-pintu neraka itu ditutup dalam makna yang sebenarnya.

‫يح أَ ْب َواب ْال َجنَّة َوتَ ْغلِيق أَب َْواب َجهَنَّم‬ َ ِ‫ َوأَ َّن تَ ْفت‬، ‫ يَحْ تَ ِمل أَنَّهُ َعلَى ظَا ِهره َو َحقِيقَته‬: - ‫ َر ِح َمهُ هَّللا تَ َعالَى‬- ‫اضي ِعيَاض‬ ِ َ‫فَقَا َل ْالق‬
‫ َويَ ُكون التَّصْ فِيد لِيَ ْمتَنِعُوا ِم ْن إِي َذاء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َوالتَّه ِْويش َعلَ ْي ِهم‬، ‫ َوتَ ْع ِظي ٌم لِحُرْ َمتِ ِه‬، ‫َوتَصْ فِيد ال َّشيَا ِطين َعاَل َمة لِ ُد ُخو ِل ال َّشهْر‬

Maka al-Qadhi Iyadh berkata, “Hadis itu mengandung makna sesuai dengan zhahir dan
hakikatnya, dan sungguh dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu jahannam dan setan-
setan dibelenggu adalah tanda masuk bulan Ramadhan dan mengagungkan kehormatannya,
dan dibelenggu menunjukkan bahwa mereka (setan) terhalang untuk menyakiti orang-orang
mukmin dan mengganggu mereka.” (Lihat, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Muwatha’ Malik,
I:295)

Kata Hamzah Muhammad Qasim, “Ditutup pintu-pintu jahannam secara hakiki dari orang-
orang yang melaksanakan shaum, yaitu siapa yang meninggal di antara mereka di bulan
Ramadhan, maka ia termasuk di antara orang-orang yang dibebaskan dari api neraka pada
bulan Ramadhan.” Dan dalam perkataan ‘ditutup pintu-pintu neraka’ terdapat kabar besar
yang menggembirakan bagi orang Islam yang meninggal di bulan Ramadhan dalam keadaan
menunaikan hak-hak Allah dan berbagai kewajiban yang dibebankan kepadanya.”  (Lihat,
Manar al-Qari fii Syarh Mukhtashar Shahih al-Bukhari, III:205-206)

Kedua, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara majazi (kiasan).

Imam al-Baji berkata:

ِ ‫ار بِ َم ْعنَى َك ْث َر ِة ْال ُغ ْف َرا ِن َوالتَّ َجا ُو ِز ع َْن ال ُّذنُو‬


‫ب‬ ِ َّ‫ت أَ ْب َوابُ الن‬
ْ َ‫َو ُغلِّق‬

“Perkataan ’Dan ditutup pintu-pintu neraka’ bermakna banyak pengampunan dan pemaafan
dari berbagai dosa (Lihat, Al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, II:211)

Kata Abdurra’uf al-Munawi:

‫قوله ( وغلقت أبواب جهنم ) كناية عن تنزه أنفس الصوام عن رجس اآلثام وكبائر الذنوب العظام وتكون صغائره مكفرة‬
‫ببركة الصيام‬

 “Perkataan: ‘Ditutup pintu-pintu jahannam’ adalah makna kiasan dari  kesucian jiwa orang-
orang yang shaum dari kotoran dosa kecil dan dosa besar. Dan dosa-dosanya yang kecil
dihapus oleh berkah shaum.”  (Lihat, Faid al-Qadier Syarh al-Jami’ as-Shagier, I:340)

Kata al-Qashthalani:

(‫حقيقة أو كناية عن تنزه أنفس الص ّوام عن رجس الفواحش والتخلص من البواعث على المعاصي )وغلقت أبواب جهنم‬
‫بقمع الشهوات‬

 “Perkataan: ‘Ditutup pintu-pintu jahannam’ adalah makna hakiki atau makna kiasan dari 
kesucian jiwa orang-orang yang shaum dari perbuatan jelek dan selamat dari factor-faktor
pendorong maksiat dengan mengekang syahwat.”  (Lihat, Irsyad asy-Syari Syarh Shahih al-
Bukhari, V:294)

Al-‘Aini berkata:
‫قوله وغلقت أبواب جهنم ألن الصوم جنة فتغلق أبوابها بما قطع عنهم من المعاصي وترك األعمال السيئة المستوجبة للنار‬
‫ولقلة ما يؤاخذ هللا العباد بأعمالهم السيئة ليستنقذ منها ببركة الشهر ويهب المسيء للمحسن ويجاوز عن السيئات وهذا معنى‬
‫اإلغالق‬

“Perkataan: ‘Ditutup pintu-pintu jahannam’ karena shaum itu perisai, maka pintu-pintunya
ditutup dengan sesuatu yang dapat memutuskan perbuatan maksiat dari mereka dan
meninggalkan perbuatan jelek yang menyebabkan masuk neraka. Selain itu, karena Allah
sangat sedikit dalam menyiksa hamba-hamba-Nya sebab perbuatan-perbuatan jelek mereka
untuk menyelamatkannya dengan berkah bulan Ramadhan, serta memberikan (kesempatan)
kepada orang yang berbuat jelek untuk menjadi orang yang berbuat baik dan mengampuni
dari berbagai kesalahan, dan inilah makna ighlaaq (ditutup).”  (Lihat, Umdah al-Qari Syarh
Shahih al-Bukhari, XVI:265)
PEMAKNAAN HADIS: “DIBUKA PINTU SURGA”
Keterangan tentang pintu surga dibuka pada bulan Ramadhan kita peroleh dari beberapa
hadis sebagai sebagai berikut:

Pertama, dengan kalimat Futtihat Abwaab al-Jannah

ُ‫اطينُ َو َم َر َدة‬ ِ َ‫َت ال َّشي‬ ْ ‫صفِّد‬ُ َ‫ضان‬ َ ‫ إِ َذا َكانَ أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َشه ِْر َر َم‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬
، ْ‫ َويُنَا ِدي ُمنَا ٍد يَا بَا ِغ َي ْالخَ ي ِْر أَ ْقبِل‬، ٌ‫ت أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة فَلَ ْم يُ ْغلَ ْق ِم ْنهَا بَاب‬ ِ َّ‫ت أَ ْب َوابُ الن‬
ْ ‫ َوفُتِّ َح‬، ٌ‫ار فَلَ ْم يُ ْفتَحْ ِم ْنهَا بَاب‬ ْ َ‫ َو ُغلِّق‬، ِّ‫ْال ِجن‬
‫ار َو َذلكَ ُكلُّ لَ ْيلَ ٍة‬ ‫هَّلِل‬
ِ َّ‫ َو ِ ُعتَقَا ُء ِم ْن الن‬، ْ‫صر‬ َ
ِ ‫َويَا بَا ِغ َي ال َّشرِّ أ ْق‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam pertama bulan
Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada
satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun pintu yang
tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada
ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-
hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’." HR. At-
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:67, No. 682; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:126, No. 2097;
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No. 1642; Malik, al-Muwatha, I:311, No. 684; al-
Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:304, No. 8284; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:42, No.
1775;  Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:222, No. 3435; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, III:188, No. 1882; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:582, No.
1532; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XVII:133, No. 326, Al-Mu’jam al-Awsath, II:157,
No. 1563.

Hadis di atas diriwayakan pula dengan sedikit perbedaan redaksi, sebagai berikut:

ُ ‫ض هَّللا‬
َ ‫ك ا ْفتَ َر‬
ٌ ‫ار‬
َ َ‫ضانُ َش ْه ٌر ُمب‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ ْد َجا َء ُك ْم َر َم‬
َ ِ ‫ضانُ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ض َر َر َم‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل لَ َّما َح‬
ِ ‫ف َشه ٍْر َم ْن‬
‫حُر َم خَ ي َْرهَا‬ ِ ‫اطينُ فِي ِه لَ ْيلَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬ ِ َ‫ق فِي ِه أَب َْوابُ ْال َج ِح ِيم َوتُغَلُّ فِي ِه ال َّشي‬
ُ َ‫صيَا َمهُ تُ ْفتَ ُح فِي ِه أَ ْب َوابُ ْال َجنَّ ِة َويُ ْغل‬
ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم‬
‫ُر َم‬ِ ‫قَ ْد ح‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw. bersabda,
‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah
mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka
ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah
kehilangan pahala seribu bulan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu
Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418,
No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1

Kedua, dengan kalimat “Futihat abwaab ar-Rahmah”

‫ت‬ْ َ‫ت أَ ْب َوابُ َجهَنَّ َم َوس ُْل ِسل‬


ْ َ‫ت أَب َْوابُ الرَّحْ َم ِة َو ُغلِّق‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َكانَ َر َم‬
ْ ‫ضانُ فُتِّ َح‬
ِ َ‫ال َّشي‬
ُ‫اطين‬

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Apabila  datang bulan Ramadhan pintu-pintu rahmat akan
dibuka , pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu’.” HR. Muslim, Shahih
Muslim, II:758, No. 1079; Ahmad, Musnad Ahmad, II:281, No. 7767, II:401, No. 9193; An-
Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:65, No. 2409, II:66, No. 2413, Sunan an-Nasai, IV:127, No.
2100; Abdurrazaq, al-Mushannaf, IV:176, No. 7384; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin
Humaid, I:420, No. 1439

Ketiga, dengan kalimat Futihat abwaab As-Samaa’i

ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ يَقُو ُل ق‬ِ ‫س َموْ لَى التَّ ْي ِميِّينَ أَ َّن أَبَاهُ َح َّدثَهُ أَنَّهُ َس ِم َع أَبَا ه َُر ْي َرةَ َر‬
ٍ َ‫ب قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ابْنُ أَبِي أَن‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
ُ‫اطين‬ ِ َ‫ت ال َّشي‬ ْ
ْ َ‫ت أب َْوابُ َجهَنَّ َم َوسُل ِسل‬َ َ
ْ َ‫ت أ ْب َوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬ ْ ‫ضانَ فُتِّ َح‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َد َخ َل َش ْه ُر َر َم‬
َ

Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Ibnu Abu Anas mawla at-Taymiyyiin telah mengabarkan
kepada saya, bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah
Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila bulan Ramadhan datang, pintu-pintu langit
dibuka, pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-
Bukhari, II:672, No. 1800; Abu ‘Awanah, Musnad Abu ‘Awanah, IV:7, No. 2172 dengan
redaksi: 

ِ َ‫ َوس ُْل ِسل‬،‫ت أَ ْب َوابُ َجهَنَّ َم‬


ِ َ‫ت ال َّشي‬
ُ‫اطين‬ ْ َ‫ َو ُغلِّق‬،‫ت أَ ْب َوابُ ال َّس َما ِء‬
ْ ‫ضانُ فُتِّ َح‬
َ ‫إِ َذا َجا َء َر َم‬

Dalam riwayat ad-Darimi dengan redaksi:

ِ ‫صفِّ َد‬
ُ‫ت ال َّشيَا ِطين‬ ِ َّ‫ت أَبُوابُ الن‬
ُ ‫ار َو‬ ْ َ‫ت أَب َْوابُ ال َّس َما ِء َو ُغلِّق‬
ْ ‫ضانُ فُتِ َح‬
َ ‫إِ َذا َجا َء َر َم‬
‘Apabila bulan Ramadhan datang, pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka
ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, II:12, No. 1829

Hadis diatas diriwayatkan pula Ahmad (Musnad Ahmad, II:230, No. 7148), An-Nasai (Sunan
An-Nasai, IV:129, No. 2106), al-Baihaqi, (Syu’ab al-Iman, III:301, No. 3600) dengan
kalimat:

‫تُ ْفتَ ُح فِي ِه أَب َْوابُ ال َّس َما ِء‬

Keterangan Variasi Kalimat

‫ َواأْل َصْ ُل أَب َْواب ْال َجنَّ ِة‬، ‫ف الرُّ َوا ِة‬ َ ‫ َوأَ َّما ال ِّر َوايَةُ الَّتِي فِيهَا أَ ْب َواب الرَّحْ َم ِة َوأَ ْب َواب ال َّس َما ِء فَ ِم ْن ت‬... : ‫ال ال َّزيْن بْن ْال ُمنَي ِِّر‬
ِ ُّ‫َصر‬ َ َ‫ق‬
َ ْ ُ
ِ َّ‫بِ َدلِيل َما يُقَابِلهُ َوه َُو غَلق أب َْواب الن‬
‫ار‬

Az-Zain bin al-Munir berkata, “…dan adapun riwayat yang menerangkan (dengan kalimat)
Abwaab ar-rahmah dan Abwaab as-Samaa’ maka itu bersumber dari perubahan para rawi, dan
aslinya adalah dengan kalimat Abwaab al-jannah, dengan dalil keterangan sebaliknya, yaitu
ditutup pintu neraka.”  (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:114)

Kata Ibnu Bathal:

‫المراد من السماء الجنة بقرينة ذكر جهنم في مقابلة‬

“Yang dimaksud dengan kata as-samaa’ (pada riwayat itu) adalah al-jannah (surga) dengan
qarinah (indikasi) penyebutan jahannam (neraka) dalam keterangan sebaliknya.” (Lihat,
Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XVI:265)

Kata al-‘Aini:

‫جاء في رواية أبواب الرحمة وال تعارض في ذلك فأبواب السماء يصعد منها إلى الجنة ألنها فوق السماء وسقفها عرش‬
‫الرحمن كما ثبت في ( الصحيح ) وأبواب الرحمة تطلق على أبواب الجنة لقول النبي في الحديث الصحيح احتجت الجنة‬
‫والنار الحديث‬

“Terdapat keterangan dalam satu riwayat dengan kalimat: Abwaab ar-rahmah. Maka dalam
hal itu tidak bertentangan, karena akan naik dari abwaab as-samaa’ (pintu langit) ke surga,
karena surga berada di atas langit, dan atapnya Arsy ar-Rahman, sebagaimana diterangkan
dalam hadis shahih. Sedangkan Abwaab ar-rahmah digunakan untuk pintu-pintu surga
berdasarkan sabda Nabi dalam hadis shahih:

‫َّت ْال َجنَّةُ َوالنَّا ُر‬


ْ ‫احْ تَج‬

“Surga dan neraka berhujjah.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XVI:265)

Penjelasan Makna “Dibuka Pintu Surga”

Dalam memahami makna “Dibuka Pintu Surga” para ulama berbeda kecenderungan,
sehingga melahirkan pendapat yang berbeda. Dalam hal ini terbagi menjadi dua pandapat:

Pertama, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara hakiki, sesuai dengan
zhahir hadis. Menurut pendapat ini, hadis itu menunjukkan bahwa ketika bulan Ramadhan
pintu-pintu surga itu dibuka dalam makna yang sebenarnya.

‫يح أَ ْب َواب ْال َجنَّة َوتَ ْغلِيق أَب َْواب َجهَنَّم‬ َ ِ‫ َوأَ َّن تَ ْفت‬، ‫ يَحْ تَ ِمل أَنَّهُ َعلَى ظَا ِهره َو َحقِيقَته‬: - ‫ َر ِح َمهُ هَّللا تَ َعالَى‬- ‫اضي ِعيَاض‬ ِ َ‫فَقَا َل ْالق‬
‫ َويَ ُكون التَّصْ فِيد ِليَ ْمتَنِعُوا ِم ْن إِي َذاء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َوالتَّه ِْويش َعلَ ْي ِهم‬، ‫ َوتَ ْع ِظي ٌم لِحُرْ َمتِ ِه‬، ‫َوتَصْ فِيد ال َّشيَا ِطين َعاَل َمة لِ ُد ُخو ِل ال َّشهْر‬

Maka al-Qadhi Iyadh berkata, “Hadis itu mengandung makna sesuai dengan zhahir dan
hakikatnya, dan sungguh dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu jahannam dan setan-
setan dibelenggu adalah tanda masuk bulan Ramadhan dan mengagungkan kehormatannya,
dan dibelenggu menunjukkan bahwa mereka (setan) terhalang untuk menyakiti orang-orang
mukmin dan mengganggu mereka.” (Lihat, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Muwatha’ Malik,
I:295)

Kedua, sebagian ulama cenderung memaknai kalimat itu secara majazi (kiasan).

‫اطين يَقِلُّ إِ ْغ َوا ُؤهُ ْم َوإِي َذا ُؤهُ ْم‬ِ َ‫ َوأَ َّن ال َّشي‬، ‫ارة إِلَى َك ْث َرة الثَّ َواب َو ْال َع ْفو‬ َ ‫ َويَ ُكون إِ َش‬، ‫ َويَحْ تَ ِمل أَ ْن يَ ُكون ْال ُم َراد ْال َم َجاز‬: ‫قَا َل‬
‫ت‬ ْ ‫ ( فُتِّ َح‬: ‫ َويُ َؤيِّد هَ ِذ ِه ال ِّر َوايَة الثَّانِيَة‬، ‫س‬ ٍ ‫س دُون نَا‬ ٍ ‫ َولِنَا‬، ‫ َويَ ُكون تَصْ فِيده ْم ع َْن أَ ْشيَاء دُون أَ ْشيَاء‬، َ‫صفَّ ِدين‬ َ ‫صيرُونَ َك ْال ُم‬ ِ َ‫فَي‬
‫ارة‬ َ َ‫ َويَحْ تَ ِمل أَ ْن يَ ُكون فَ ْتح أَ ْب َواب ْال َجنَّة ِعب‬: ‫ضي‬ ِ ‫َت َم َر َدةُ ال َّشيَا ِطي ِن ) قَا َل ْالقَا‬ ُ ( : ‫أَ ْب َواب الرَّحْ َمة ) َو َجا َء فِي َح ِديث آ َخر‬
ْ ‫صفِّد‬
‫صيَ ِام َو ْالقِيَام َوفِعْل ْالخَ ي َْرات‬ ِّ ‫َع َّما يَ ْفتَحهُ هَّللا تَ َعالَى ِل ِعبَا ِد ِه ِم ْن الطَّاعَات فِي هَ َذا ال َّشهْر الَّتِي اَل تَقَع فِي َغيْره ُع ُمو ًما َكال‬
‫ول ْال َجنَّة َوأَب َْوابٌ لَهَا‬ ِ ‫ َوهَ ِذ ِه أَ ْسبَابٌ لِ ُد ُخ‬، ‫ َوااِل ْن ِكفَاف ع َْن َكثِير ِم ْن ْال ُم َخالَفَات‬،
al-Qadhi Iyadh berkata pula, “Hadis itu mengandung makna kiasan dan isyarat kepada
banyak pahala dan pengampunan, dan setan-setan sedikit menggoda dan menyakiti orang-
orang beriman sehingga keadaannya seperti dibelenggu, dan dibelenggu mereka itu dari
beberapa perkara, sedangkan pada perkara lain tidak demikian, begitu pula  dalam menggoda
beberapa manusia, sedangkan pada manusialain tidak demikian. Makna ini dikuatkan oleh
riwayat kedua (dengan kalimat) dibuka pintu-pintu rahmat, dan diterangkan dalam hadis lain:
setan-setan durhaka  dibelenggu. al-Qadhi Iyadh berkata pula, “Dibuka pintu-pintu surga
dapat dimaknai pula sebagai ungkapan tentang sesuatu yang dibukakan oleh bagi hamba-
hamba-Nya, yaitu berupa berbagai ketaatan secara umum, pada bulan ini yang tidak didapati
pada bulan lain, seperti shaum, qiyam Ramadhan, perbuatan berbagai kebaikan dan
meninggalkan berbagai perbuatan yang menyimpang. Dan berbagai ketaatan ini menjadi
sebab masuknya surga dan menjadi pintu menuju surga.” (Lihat, Shahih Muslim Syarh An-
Nawawi, IV:46)
DISYARATKAN BERNIAT SHAUM
Kriteria Niat

Niat adalah maksud dan azam (ketetapan hati) untuk melaksanakan sesuatu. Seperti  berniat
safar artinya bermaksud dan berazam safar. Ibnu Qudamah menjelaskan, niat adalah:

‫ب ِجهَةَ ْالفِع ِْل ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه هللاِ تَ َعالَى َوا ْمتِثَاالً ِألَ ْم ِر ِه‬
ِ ‫تَ َوجُّ هُ القَ ْل‬.

Menghadapnya hati ke arah pekerjaan, karena mengharap rida Allah dan karena
melaksanakan perintah-Nya. (Lihat, Al-Mughni, I : 78)

Ibnul Qayyim mengatakan :

ً‫ان أَصْ ال‬ َ ُّ‫النِّيَةُ ِه َي ْالقَصْ ُد َو ْال َع ْز ُم َعلَى فِع ِْل ال َّشيِ ِئ َو َم َحلُّهَا ْالقَ ْلبُ الَ تَ َعل‬.
ِ ‫ق لَهَا بِاللِّ َس‬

“Niat adalah maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan sama
sekali niat itu tidak berkaitan dengan lisan.” (Lihat, Ighatsah al-Lahfan, I : 158)

Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa niat shaum adalah maksud
dan tekad yang bulat di dalam hati untuk melakukan shaum karena mengharap ridha Alah
swt. dan melaksanakan syariat-Nya.

Niat Shaum Wajib

Rasulullah saw. mewajibkan berniat shaum Ramadhan pada sebagian malam, paling tidak
sebelum masuk waktu Subuh. Karena itu, apabila seseorang belum berniat shaum ketika
sebelum masuk waktu Subuh dan baru berniat setelah lewat waktu subuh, shaumnya itu tidak
sah karena kesempatan untuk berniat telah terlewat. Kesimpulan hukum ini berdasarkan dalil
sebagai berikut:

ِ َ‫صيَا َم قَ ْب َل ْالفَجْ ِر فَال‬


.ُ‫صيَا َم لَه‬ ِ ِّ‫ َم ْن لَ ْم يُبَي‬:‫ َع ِن النَّبِ ِّي صلّى هللا عليه وسلّم قَا َل‬،‫صةَ أُ ِّم ْال ُمؤ ِمنِينَ رضي هللا عنها‬
ِّ ‫ت ال‬ َ ‫ع َْن َح ْف‬
ُ‫َر َواهُ ْالخَ ْم َسة‬
Dari Hafshah Ummul Mu’minin, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Barangsiapa belum
menetapkan niat shaum sejak sebelum Fajar, maka tidak ada shaum baginya.” HR. al-
Khamsah (Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah), Bulugh al-Maram:137

Kata bayyata-yubayyitu artinya dabbara bi layl (merencanakan atau mempersiapkan di waktu


malam). Seperti perkataan bayyata fulaan al-amra, artinya Polan mempersiapkan sesuatu di
waktu malam. Dan yang dimaksud pada hadis itu: “orang yang tidak merencanakan shaum
wajib, yaitu dengan niat shaum pada waktu malam, maka tidak ada shaum baginya.” (Lihat,
Tawdhih al-Ahkam Min Bulugh al-Maram, III:464)

Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi:

ِ َ‫َم ْن لَ ْم يُجْ ِم ِع الصِّ يَا َم قَب َْل ْالفَجْ ِر فَال‬


ُ‫صيَا َم لَه‬

“Barangsiapa belum menetapkan niat shaum sejak sebelum Fajar, maka tidak ada shaum
baginya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:287, No. 26.500; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
II:329, No. 2454; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:108, No. 730, An-Nasai, As-Sunan al-
Kubra, II:117, No. 2643; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:221, No. 7826

Kata yujmi’u pada hadis di atas bermakna

‫أحكم النية والعزيمة‬

“Mengukuhkan niat dan tekad” (Lihat, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, XXI:203)

Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi:

‫صيَا َم لِ َم ْن لَ ْم يُ ْف ِرضْ هُ ِمنَ اللَّيْل‬


ِ َ‫ال‬

“Tidak ada saum bagi yang tidak meneguhkannya sejak  malam hari.” HR. Ibnu Majah,
Sunan Ibnu Majah, I:542, No. 1700; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:172

Kata afradha-yufridhu pada hadis di atas bermakna qadara wa jazama. Maksudnya, tidak
meniatkan shaum pada waktu malam. (Lihat, Ta’liq Muhammad Fu’ad Abdul Baqi ‘Ala
Sunan Ibn Majah, I:542)
 

Kata min (dari) pada kalimat min al-layl menunjukkan makna tab’idh (sebagian). Dengan
demikian kalimat itu bermakna:  “pada salah satu bagian waktu  malam” Ini menunjukkan
bahwa orang yang berniat pada waktu malam bahwa besok ia akan shaum, lalu ia tertidur
hingga bangun setelah terbit fajar atau waktu subuh, maka shaumnya tetap sah.

Imam ash-Shan’ani berkata:

‫ي الصِّ يَا َم فِي أَيِّ ج ُْز ٍء ِم ْن اللَّي ِْل َوأَ َّو ُل َو ْقتِهَا ْال ُغرُوبُ َو َذلِكَ ؛‬ َ ‫ت النِّيَّ ِة َوهُ َو أَ ْن يَ ْن ِو‬
ِ ‫صيَا ُم إاَّل بِتَ ْبيِي‬ِّ ‫صحُّ ال‬ ِ َ‫َوهُ َو يَدُلُّ َعلَى أَنَّهُ اَل ي‬
ً‫َت النِّيَّةُ َواقِ َعة‬
ْ ‫ق إاَّل إ َذا َكان‬ُ َّ‫ق فَاَل يَتَ َحق‬
ُ َّ‫ص ٍل يُتَ َحق‬ِ ‫صلَ ٍة ِم ْن اللَّ ْي ِل بِفَا‬ِ َ‫ار َغ ْي ُر ُم ْنف‬ِ َ‫ت َوأَجْ َزا ُء النَّه‬ ِ ‫أِل َ َّن الصَّوْ َم َع َم ٌل َواأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ إنَّهُ إ َذا نَ َوى ِم ْن أَو َِّل ال َّشه ِْر‬: ‫ب أَحْ َم َد َولَهُ قَوْ ٌل‬ ِ َ‫ َوتُ ْشت ََرطُ النِّيَّةُ لِ ُك ِّل يَوْ ٍم َعلَى ا ْنفِ َرا ِد ِه َوهَ َذا َم ْشهُو ٌر ِم ْن َم ْذه‬، ‫فِي ج ُْز ٍء ِم ْن اللَّي ِْل‬
‫تُجْ ِزئُه‬

“Hadis itu menunjukkan bahwa tidak sah shaum kecuali dengan menetapkan niat, yaitu
berniat shaum, pada salah satu bagian waktu malam. Dan awal waktu malam itu adalah
magrib. Demikian itu karena shaum adalah suatu amal, dan amal itu disertai niat. Sedangkan
bagian-bagian waktu siang tidak terpisah dari malam dengan suatu pemisah yang dapat
dipastikan, maka tidak ada yang memastikan kecuali apabila niat itu terjadi pada pada salah
satu bagian waktu malam. Dan niat itu disyaratkan secara terpisah untuk setiap malam dan ini
pendapat yang popular dari Ahmad, dan pendapat lainnya bahwa apabila ia berniat sejak awal
bulan Ramadhan, maka memadai.” (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:306)

Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi berkata:

‫صيَام ُم ْف َرد‬
ِ ‫صيَام ُك ّل يَوْ م ِم ْن ال َّشهْر‬ ِ ‫ أِل َ َّن‬، ‫َوفِي ِه َدلِيل َعلَى أَ َّن تَ ْق ِديم نِيَّة ال َّشهْر ُكلّه فِي أَوَّل لَ ْيلَة ِم ْنهُ اَل يُجْ ِزئهُ ع َْن ال َّشهْر ُكلّه‬
‫ َوه َُو قَوْ ل ُع َمر بْن ْال َخطَّاب َو َعبْد هَّللا بْن‬، ُ‫ َوفِي الثَّالِث َك َذلِكَ اَل يُجْ ِزئه‬، ‫ فَإ ِ َذا لَ ْم يَ ْن ِو ِه فِي الثَّانِي قَبْل فَجْ ره‬، ‫ُمتَ َميِّز ع َْن َغيْره‬
‫ي َوال َّشافِ ِع ّي َوأَحْ َمد بْنُ َح ْنبَل‬
ّ ‫َب ْال َح َسن ْالبَصْ ِر‬َ ‫ َوإِلَ ْي ِه َذه‬، ‫ض َي هَّللا َع ْنهُ َما‬
ِ ‫ُع َمر َر‬

“Pada hadis itu terdapat petunjuk bahwa mendahulukan niat shaum sebulan penuh pada
malam pertama bulan itu maka tidak memadainya, karena shaum setiap hari pada bulan
Ramadhan adalah shaum yang mandiri, terpisah dari hari lainnya. Maka apabila ia tidak
meniatkan shaum di hari kedua sebelum fajar, demikian pula di hari ketiga, maka tidak
memadainya. Ini merupakan pendapat Umar bin Khatab, Ibnu Umar, al-Hasan al-Bisri, Asy-
Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.” (Lihat, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud,
XXI:203-204)  

Kesimpulan
Disyaratkan berniat shaum wajib pada waktu malam atau paling lambat sebelum fajar.

Niat Shaum Sunat

Berbeda dengan shaum wajib, maka bagi shaum sunat tidak disyaratkan berniat sejak malam
atau sebelum fajar. Berarti ketika seseorang belum makan atau minum sesuatu pun sejak
waktu fajar, boleh melakukan shaum secara mendadak walaupun telah masuk waktu fajar
atau bahkan siang hari. Hal ini sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Sebagaimana diterangkan
dalam hadis berikut ini:

‫ فَإِنِّي إِ َذ ْن‬: ‫ فَقَا َل‬.َ‫ ال‬ :‫ هَلْ ِع ْن َد ُك ْم ِم ْن َشي ٍْئ؟ فَقُ ْلنَا‬: ‫ي َرسُو ُل هللاِ صلّى هللا عليه وسلّم َذاتَ يَوْ ٍم فَقَا َل‬ َّ َ‫َخَل َعل‬
َ ‫تد‬ ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
‫رواه الجماعة إال‬- .‫صائِ ًما فَأ َك َل‬ َ َ ‫ت‬ َ َ
ُ ْ‫ أ ِرينِي ِه فَلَقَ ْد أصْ بَح‬: ‫ فَقَا َل‬، ٌ‫ي لَنَا َحيْس‬ ُ
َ ‫ ثُ َّم أَتَانَا يَوْ ًما آ َخ َر فَقلنَا يَا َرسُو َل هللاِ أ ْه ِد‬.‫صائِ ٌم‬
ْ ُ َ
‫ البخاري‬-

Dari Aisyah, ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menemuiku, beliau bertanya,
‘Apakah kalian mempunyai makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak’, Beliau bersabda, ‘Jika
demikian aku akan shaum’. Kemudian beliau mendatangi kami lagi pada hari lainnya, kami
katakan kepada beliau, ‘Kepada kami telah dihadiahkan makanan haes’. Beliau bersabda,
‘Cobalah perlihatkan kepadaku. Sesungguhnya sejak pagi aku telah shaum’. Maka beliau pun
makan’.” HR. Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari (Lihat, Bustan al-Ahbar Mukhtashar Nayl al-
Awthar, II:381)

Ditinjau dari beberapa segi, hadis ini menunjukkan shaum sunat:

Pertama, Rasulullah saw. tidak berniat shaum ketika sebelum masuk waktu subuh.

Kedua, ketika setelah pagi hari, diketahui bahwa tidak ada makanan yang dapat dimakan,
maka seketika itu beliau menetapkan niat shaumnya seraya langsung melakukannya, lalu
menjadikan belum makan dan minumnya sejak waktu subuh itu rangkaian shaum hari itu.

Ketiga,  ketika beliau sudah melaksanakan shaum sejak waktu Subuh, lalu diberitahukan
kepadanya bahwa ada hadiah makanan haes kepada mereka (istri-istri Nabi), Rasulullah
berbuka shaum dan makan.

Dalam riwayat lain Nabi bersabda:


،ُ‫ضاه‬ َ ‫ص َدقَةَ َمالِ ِه فَ َجا َد ِم ْنهَا بِ َما َشا َء فَأ َ ْم‬
َ ‫ت َر ُج ٍل أَ ْخ َر َج‬ ِ ‫ضانَ أَوْ فِي التَّطَ ُّو‬
ِ َ‫ع بِ َم ْن ِزل‬ َ ‫ إِنَّ َما َم ْن ِزلَةُ َم ْن‬، ُ‫يَا عَائِ َشة‬
َ ‫صا َم فِي َغي ِْر َر َم‬
ُ‫ َوبَ ِخ َل ِم ْنهَا بِ َما َشا َء فَأ َ ْم َس َكه‬.

“Wahai Aisyah, sesungguhnya kedudukan orang yang shaum selain Ramadan itu atau shaum
sunat itu sederajat dengan seseorang yang mengeluarkan sadaqah hartanya. Maka ia dapat
mendermakan dari harta itu sesuai keinginannya dan menjadikannya (sedekah). Dan ia pun
dapat kikir semaunya dengan harta itu, sehingga tentu ia akan menahannya.” HR. An-Nasai,
Sunan An-Nasai, IV:194, No. 23.323

Shaum sunat dengan niat mendadak dilakukan pula oleh shahabat Nabi saw.

: ‫ال‬ َ ‫ فَإِنِّ ْي‬: ‫ قَا َل‬،َ‫ ال‬: ‫ ِع ْن َد ُك ْم طَ َعا ٌم ؟ فَإ ِ ْن قُ ْلنَا‬: ‫ َكانَ أُبُو الدَّرْ دَا ِء يَقُو ُل‬: ‫ت أُ ُّم الدَّرْ دَا ِء‬
َ َ‫ ق‬،‫صائِ ٌم يَوْ ِمي ه َذا‬ ْ َ‫ َوقَال‬: ُّ‫َاري‬
ِ ‫قَا َل البُخ‬
ُ‫س َو ُح َذ ْيفُة‬ َ ْ َ
ٍ ‫ َوفَ َعلَهُ أبُوْ طَل َحةَ َوأبُوْ هُ َري َْرةَ وابْنُ َعبَّا‬ 

Al-Bukhari mengatakan, “Umu Darda berkata, ’Abu Darda bertanya, ’Apakah kalian
memiliki makanan?’ Jika kami menjawab tidak, ia akan berkata, ‘Jika demikian hari ini saya
shaum’. Ia berkata, ‘Hal itu pun dilakukan oleh Abu Hurairah, Ibnu Abas, dan Hudzaifah
r.ah.” (Lihat, Shahih al-Bhukhari, III:29, bab  

‫صوْ ًما‬ ِ َ‫بَابٌ إِ َذا ن ََوى بِالنَّه‬


َ ‫ار‬

“Bab apabila berniat shaum di siang hari”)

Dari berbagai keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa shaum sunat boleh diniatkan
secara mendadak setelah siang hari, selama sejak masuk waktu Subuh belum ada sesuatu pun
yang dimakan ataupun diminumnya. Selain itu hadis ini juga menunjukkan bahwa anjuran
sahur pada shaum sunat tidak sekuat pada shaum wajib. Dan shaum sunat diperbolehkan
dibatalkan kapan  pun dikehendaki tanpa harus meng-qadha ataupun membayar fidyah.
BID’AH HASANAH DAN KERANCUAN WAHABI
Abah aang anom
TULISAN INI SEBAGAI TANGGAPAN TERHADAP TEORI ANTI BID’AH HASANAH YANG DITULIS
OLEH SYAIKH IBNU ‘UTSAIMIN (WAHABI) DALAM KEDUA KITABNYA, SYARH AL-‘AQIDAH AL-
WASITHIYYAH DAN AL-IBDA’ FI KAMAL AL-SYAR’I WA KHATHAR AL-IBTIDA’. ARTIKEL INI
SENGAJA KAMI TULIS DALAM FORMAT DIALOG AGAR MUDAH DIFAHAMI.

SEBAGIAN TULISAN JUGA BAGIAN DARI DIALOG KAMI DENGAN SALAH SEORANG USTADZ
WAHABI DI MASJID AL-HIDAYAH MAASING MANADO, SULAWESI UTARA PADA 26 MARET 2013
YANG LALU.

SUNNI: “Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan
keniscayaan dari pembacaan terhadap sekian banyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Kami, Ahlussunnah Wal-Jama’ah membagi bid’ah menjadi dua, dan bahkan membagi bid’ah
sebanyak hukum-hukum syar’i yang lima (wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh), karena
berangkat dari sekian banyak dalil.

Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut. Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i,
mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam sebagai berikut:

)۲/١٧۲ ،‫ قواعد األحكام‬،‫ (اإلمام عزالدين بن عبد السالم‬.‫اَ ْلبِ ْد َعةُ فِ ْع ُل َما لَ ْم يُ ْعهَ ْد فِ ْي َعصْ ِر َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬.

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah
SAW”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).

Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-
Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:

ُ ‫ ِه َي إِحْ د‬.
)٣/۲۲ ،‫ تهذيب األسماء واللغات‬،‫ (اإلمام النووي‬.‫َاث َما لَ ْم يَ ُك ْن فِ ْي َع ْه ِد َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW”.
(Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ).

Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat dari hadits-hadits berikut ini:

‫ث ِكتَابُ هللاِ َوخَ ْي َر ْالهُدَى هُدَى ُم َح َّم ٍد َوشَرُّ ْاألُ ُموْ ِر ُمحْ َدثَاتُهَا‬
ِ ‫ إِ َّن خَ ي َْر ْال َح ِد ْي‬:‫ال َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
َ َ‫ال ق‬
َ َ‫ع َْن َجابِ ِر ب ِْن َع ْب ِد هللاِ ق‬
)‫ (رواه مسلم‬. ‫ضاللة‬ ُ َ َ ْ ُ
َ ‫ َوكلُّ بِد َع ٍة‬.

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab
Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara
yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan. Kemudian jangkauan hukum
hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara lain hadits berikut:

ُ‫ال قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َم ْن َس َّن فِي ْا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َده‬ َ َ‫ع َْن َج ِري ِْر ْب ِن َع ْب ِد هللاِ ْالبَ َجلِ ِّي ق‬
‫ص‬ ْ ‫ص ِم ْن أُجُوْ ِر ِه ْم ش‬
َ ُ‫َي ٌء َو َم ْن َس َّن فِي ْا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا َم ْن بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬ َ ُ‫ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
‫ رواه مسلم‬.ٌ‫َيء‬ ْ ‫ار ِه ْم ش‬ َ
ِ ‫ِم ْن أوْ َز‬
“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai
perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang
yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan
dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa
mereka.” (HR. Muslim).

Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi
dalam hadits kedua, Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai
perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang
yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan
makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi SAW
menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik
perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW,
atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”

WAHABI: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi berapapun berdasarkan hujjah
sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:

‫صحُّ أَ ْن نُقَ ِّس َم ْالبِ ْد َعةَ إِلَى‬


ِ َ‫ أَفَبَ ْع َد هَ ِذ ِه ْال ُكلِّيَّ ِة ي‬،)ٌّ‫ت ال ُّش ُموْ ِل َو ْال ُع ُموْ ِم ( ُكل‬
ِ ‫ ُم َس َّو َرةٌ بِأ َ ْق َوى أَ َد َوا‬،ٌ‫ شَا ِملَة‬،ٌ‫ عَا َّمة‬،ٌ‫ضالَلَةٌ) ُكلِّيَّة‬
َ ‫قَوْ لُهُ ( ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬
ِ َ‫ أَوْ إِلَى أَ ْق َس ٍام خَ ْم َس ٍة؟ أَبَدًا هَ َذا الَ ي‬،‫أَ ْق َس ٍام ثَالَثَ ٍة‬.
ُّ‫صح‬

“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan
dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu
kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi
bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.”
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13, dan Syarh
al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 315, cet. 5 Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1419 H).

SUNNI: “Owh, jadi Anda menolak pembagian bid’ah hasanah menjadi dua, dan lima, dengan
mengambil hujjah dari pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa dalam hadits kullu bid’atin
dhalalah terdapat lafal kullu, yang bermakna keseluruhan bid’ah itu tersesat tanpa terkecuali,
sehingga hadits berikutnya, yang kami sampaikan di atas, menurut Anda tidak membatasi
terhadap hadits kullu bid’atin dhalalah. Bagus kalau begitu. Sekarang di sini kami akan menolak
hujjah Anda dengan pernyataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga dalam kitab yang sama, Syarh
al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.

Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan logika di atas, harus
dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna
menyeluruh tanpa memiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya
berkata:

‫َي ٌء َكثِ ْي ٌر لَ ْم‬


ْ ‫ َوقَ ْد َخ َر َج ش‬،)‫َي ٍء‬ ْ ‫ت ِم ْن ُك ِّل ش‬ ْ َ‫(وأُوْ تِي‬ َ ‫ ِم ْث ُل قَوْ لِ ِه تَ َع‬، ُّ‫َي ٍء) عَا ٌّم قَ ْد ي َُرا ُد بِ ِه ْال َخاص‬
َ :ٍ‫الى ع َْن َملِ َك ِة َسبَأ‬ ْ ‫أَ َّن ِم ْث َل هَ َذا التَّ ْعبِي ِْر ( ُكلُّ ش‬
َ‫ك ُسلَ ْي َمان‬ ِ ‫َي ٌء ِم ْث ُل ُم ْل‬
ْ ‫يَ ْد ُخلْ فِ ْي ُم ْل ِكهَا ِم ْنهُ ش‬.
“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang terkadang
dimaksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah SAW tentang Ratu Saba’: “Ia
dikarunia segala sesuatu”. (QS. al-Naml : 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk
dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman AS.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh
al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 1 hal. 430).

Dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jelas sekali, bahwa kalimat kullu dalam ayat al-
Qur’an yang dibawakan oleh beliau, tidak bermakna keseluruhan, akan tetapi bermakna
sebagian. Nah, mengapa ketika menghadapi hadits kullu bid’atin dhalalah, beliau tidak konsisten
dengan kaedah yang digunakan tersebut???? Apa bedanya hadits dengan al-Qur’an??? Jadi, kalau
Anda menolak bid’ah hasanah dengan alasan lafal kullu, Anda juga tertolak dengan lafal kullu
versi Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga.

Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna hadits man sanna sunnatan seperti yang
dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagai pen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum)
hadits kullu bid’atin dhalalah.”

WAHHABI: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena
hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah redaksinya berbunyi, man
sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang,
yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”

SUNNI: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih
dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits
tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-
thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan
yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan
Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy SAW min qaulin au fi’lin au taqrir
(segala apa yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan).
Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua
Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan
dengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan
menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang
belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya
yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits
tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan
melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada
yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti
al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan,
membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat
jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits
tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah
dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-
sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan
melihat pada konteksnya yang khusus).”

WAHABI: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ah hasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah
masih diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi:

َ ‫َث فِ ْي أَ ْم ِرنَا هَ َذا َما لَي‬


‫ رواه مسلم‬.‫ْس ِم ْنهُ فَه َُو َر ٌّد‬ َ ‫ َم ْن أَحْ د‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama),
sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.

Allah SWT juga menegaskan, bahwa Islam telah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-
tambahi lagi. Dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:

ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬


‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِ ْي‬ ُ ‫اَ ْليَوْ َم اَ ْك َم ْل‬.

“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.”
(QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan
bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu
disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda tidak menjawab hujjah kami, dan berarti Anda lemah secara
logika agama. Anda tidak punya dalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru
memperkuat pandangan kami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah. Hadits tersebut berbunyi begini:

َ ‫َث فِ ْي أَ ْم ِرنَا هَ َذا َما لَي‬


‫ رواه مسلم‬.‫ْس ِم ْنهُ فَه َُو َر ٌّد‬ َ ‫ َم ْن أَحْ د‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama),
sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.

Hadits ini jelas memperkuat bid’ah hasanah. Karena dalam hadits tersebut dinyatakan secara
tekstual, “mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari
bagiannya, maka jelas tertolak”. Di sini, sangat jelas bahwa yang ditolak adalah sesuatu yang
diada-ada dan bukan bagian dari agama. Berarti secara mafhum (pemahaman), sesuatu yang
diada-ada di dalam agama, tetapi termasuk bagian dari agama, maka sesuatu tersebut tidak
ditolak. Bukankah begitu??? Bukankah ini yang namanya bid’ah hasanah???

Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan, tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah
hasanah. Karena yang dimaksud kesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan
bid’ah hasanah. Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karya al-
Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf. Sebagian ada yang
menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanya dalil-dalil halal dan haram. Sebagian
ada juga yang menafsirkan dengan penaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-
Maidah tersebut dipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanya
bid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya diambil dari
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.”

WAHABI: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidak ada dalil bid’ah hasanah.”

SUNNI: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yang membenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-
Ausath karya al-Imam al-Thabarani disebutkan:

‫ إن هللا فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه‬: ‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول‬: ‫عن أبي أمامة الباهلي قال‬
‫ { رهبانية ابتدعوها وما‬: ‫وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدوموا عليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم هللا بتركها فقال‬
‫كتبناها عليهم إال ابتغاء رضوان هللا } إلى آخر اآلية‬

“Abu Umamah al-Bahili berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah mewajibkan kepada kamu puasa Ramadhan, dan tidak mewajibkan qiyam (ibadah sunnah
pada malam harinya) pada kamu. Qiyam tersebut hanyalah sesuatu yang kamu ada-adakan,
maka teruslah melakukannya. Karena sekelompok manusia dari kaum Bani Israil membuat-buat
bid’ah, lalu Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman: “dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah, Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi
(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka
tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”. (HR al-Thabarani, al-Mu’jam al-
Ausath [7450]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad nya
terdapat Zakariya bin Abi Maryam, yang didha’ifkan oleh al-Nasa’i dan lainnya.).

Hadits di atas, meskipun sanadnya dha’if, lemah, akan tetapi maknanya benar. Ayat al-Qur’an
tersebut memberikan isyarat terhadap otoritas bid’ah hasanah. Karena Allah mencela kaum
Bani Israil bukan karena mereka mengada-adakan rahbaniyyah, akan tetapi mencela mereka
karena tidak istiqomah dan meninggalkan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan. Ayat tersebut
juga menjadi dalil, bahwa seseorang yang telah melakukan bid’ah hasanah, maka hendaklah,
istiqomah melakukan bid’ah hasanah tersebut selamanya.”

WAHABI: “Kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah
al-Bajali, di atas bukan pen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin
dhalalah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalah
al-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan. (Lihat, Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 319)”

SUNNI: “Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena dalam
kitab-kitab kamus, tidak ada yang mengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha.
Justru yang ada adalah sebagai berikut:

‫سن فُاَل ن السّنة َوضعهَا وكل من ا ْبتَدَأَ أمرا عمل بِ ِه قوم من بعده فَه َُو الَّ ِذي سنه‬
ّ

“Si fulan men-sunnahkan suatu sunnah (perbuatan), maksudnya membuatnya. Setiap orang
yang memulai suatu perkara, yang diamalkan oleh orang sesudahnya, maka dialah yang
memulainya.” (al-Mu’jam al-Wasithi, hal. 455).

WAHABI: “Syaikh Ibnu ‘Utsaimin itu seorang ulama, dan jelas lebih alim dari pada Anda. Kutipan
dari kitab Kamus yang Anda kemukakan tentu tidak ada dasar haditsnya.”
SUNNI: “Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim, akan tetapi para ulama yang kami bela, dan
menetapkan bid’ah hasanah, justru ulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu
‘Utsaimin. Mereka yang menetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin,
Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imam al-
Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perlu ada dasar dari hadits.
Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justru makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang
belum kita fahami harus kita cari di kamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu
bermakna memulai perbuatan pertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya
dalam kasus, tata cara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali
melakukan nya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi
SAW. Lalu Nabi SAW bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:

‫قد سن لكم معاذ وهكذا فاصنعوا‬

“Mu’adz telah memulai cara baru dalam shalat untuk kalian. Dan demikianlah seharunya kamu
lakukan.” (HR. Ahmad, al-Thabarani dan lain-lain.”

Nah, dalam hadits ini, jelas sekali, sanna disabdakan oleh Nabi SAW untuk tatacara makmum
masbuq yang dibuat pertama kali oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dan tentu
saja masih ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa kalimat sanna sunnatan bermakna
memulai suatu perbuatan, dari tidak ada menjadi ada.”

WAHABI: “Maaf, mungkin maksud pernyataan Khalifah Umar, itu tentang shalat tarawih, beliau
berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah, itu Anda berarti tidak tahu bro. Itu maksudnya bid’ah
lughawiyah, bid’ah secara bahasa.”

SUNNI: “Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi. Berarti Anda mengaku kalah dan takluk dengan
hujjah kami. Sekarang saya bertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar?

WAHABI: “Ya tentu saja bukan.”

SUNNI: “Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalam perkataan Khalifah Umar, sebagai
bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umar sendiri atau justru dari Anda?”

WAHABI: “Ya itu penafsiran dari golongan kami yang Anda katakan Wahabi itu lah, bukan beliau
Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”

SUNNI: “Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas, Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya,
bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas
sebagai Khalifah syar’i yang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara
syar’i, bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah SAW bersabda tentang Khalifah Umar:

‫ إن هللا جعل الحق على لسان عمر وقلبه‬:‫عن ابن عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

“Ibnu Umar berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran
melalui lidah Umar dan hatinya.” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi, hadits hasan shahih).
Seandainya pernyataan Khalifah Umar tentang shalat taraweh di atas kita artikan dengan bid’ah
lughawi, tentu sabda Nabi SAW di atas akan tersia-sia. Karena Anda akan berkata, bahwa
kebenaran yang dijadikan Allah melalui lidah Umar dan hatinya adalah kebenaran secara
bahasa/lughawi, bukan secara syar’i. Apakah begitu???”

WAHABI: “Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah, tidak seperti definisi yang dikutip oleh Anda.
Tetapi ada definisi bid’ah versi yang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom
mengatakan bahwa bid’ah adalah :

ِ ْ‫ص ُد بِال ُّسلُو‬


ُ‫ك َعلَ ْيهَا ال ُمبَالَ َغةُ فِي التَّ َعبُ ِد هللِ ُس ْب َحانَه‬ َ ‫ضا ِهي ال َّشرْ ِعيَّةَ يُ ْق‬
َ ُ‫ارةٌ ع َْن طَ ِر ْيقَ ٍة فِي ال ِّدي ِْن ُم ْخت ََر َع ٍة ت‬
َ َ‫ِعب‬

“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”

SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda beralih ke persoalan lain, dan membuktikan bahwa Anda
kehabisan hujjah. Bukti bahwa pendapat kaum Wahabi yang Anda ikuti sangat lemah dan rapuh
sekali.
Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibi yang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi
bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW
telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:

‫كل محدثة بدعة‬

“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).

Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW mendefinisikan bid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara
mutlak. Definisi bid’ah versi al-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah
versi hadits shahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti.”

WAHABI: “Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah, karena sahabat Ibnu Umar berkata:

َ ‫ " ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬:‫ قَا َل‬،‫" أَ َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر‬


ً‫ َوإِ ْن َرآهَا النَّاسُ َح َسنَة‬،ٌ‫ضاللَة‬

“Ibnu ‘Umar, berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya
sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no.
19; sanadnya hasan].

WAHABI: “Ada tiga jawaban terhadap pernyataan Anda. Pertama, dalil bid’ah hasanah adalah
ayat al-Qur’an dan hadits shahih, sebagaimana Anda tidak bisa menjawabnya tadi. Kalau sudah
ada dalil ayat al-Qur’an dan hadits shahih, mengapa harus mengutip Ibnu Umar???

Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalah bid’ah yang bertentangan dengan dalil-
dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita
artikan demikian? Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang
tidak bisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca
oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:

ِ ‫ك َو ْال ُم ْلكَ الَ ش‬


َ ‫َر ْيكَ ل‬
‫ك‬ َ َ‫ك لَكَ لَبَّ ْيكَ إِ َّن ْال َح ْم َد َوالنِّ ْع َمةَ ل‬ ِ ‫ك الَ ش‬
َ ‫َر ْي‬ َ ‫لَبَّ ْيكَ اللَّهُ َّم لَبَّ ْي‬.
َ ‫ لَبَّ ْي‬، ‫ك‬

Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:

‫ك َو ْال َع َم ُل‬
َ ‫ك َوال َّر ْغبَا ُء إِلَ ْي‬ َ ‫ك َو ْالخَ ْي ُر بِيَ َد ْي‬
َ ‫ك لَبَّ ْي‬ َ ‫لَبَّ ْيكَ لَبَّ ْيكَ َو َس ْع َد ْي‬.

Hadits tentang doa talbiyah Nabi SAW dan tambahan Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh al-
Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina
Umar juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar
menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
‫ك َمرْ ُغوْ بٌ ِإلَ ْيكَ َذا النَّ ْع َما ِء َو ْالفَضْ ِل ْال َح َس ِن‬
َ ‫لَبَّ ْي‬.

Ketiga, pernyataan Ibnu Umar juga harus dipadukan dengan pernyataan para sahabat Nabi SAW
yang lain, misalnya Sayyidina Abdullah bin Mas’ud yang menetapkan bid’ah hasanah
berdasarkan perkataan beliau:

‫َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَه َُو ِع ْن َد هللاِ َسيِّ ٌئ‬

“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal itu baik menurut Allah. Dan apa saja
yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka menurut Allah juga buruk.” (HR Ahmad dalam al-
Musnad [3600], dengan sanad hasan.”

WAHABI: “Maaf, sebagian ustadz-ustadz kami yang pakar hadits dan punya situs di internet,
berpendapat bahwa pernyataan para ulama seperti al-Imam Izzuddin bin Abdussalam, al-Imam
an-Nawawi dan lain-lain yang membagi bid’ah menjadi dua dan lima, itu bid’ah secara
bahasa/lughawi, bukan bid’ah secara syar’iy. Bagaimana jawaban Anda?”

SUNNI: “Itu sudah kami jawab dalam posting sebelumnya. Saya pikir ustadz-ustadz Anda yang
Wahabi itu sedang di alam mimpi, bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa
Imam ‘Izzuddin dan Imam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di
universitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (jangan bermimpi), bahwa
beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulama fiqih atau syari’at, dan dalam
kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus. Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas
bid’ah secara syari’at, bukan bahasa. Jadi kalau kuliah jangan tidur terus.”

WAHABI: “Apakah Anda seorang pakar hadits?”

SUNNI: “Saya hanyalah seorang santri dan pencari ilmu, bukan pakar hadits seperti seperti
ustadz-ustadz Wahabi yang kalian banggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari
persoalan inti, dan bukti kalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran Wahabi
itu lemah dan batil.”

WAHABI: “Saya memang meragukan kebenaran ajaran Wahabi. Tapi kenapa ya, hujjah kaum
kami selalu lemah menghadapi kelompok Anda, padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku
pakar hadits?”

SUNNI: “Itu karena aliran Anda Wahabi, dan mereka Cuma ngaku saja sebagai pakar hadits.
Kenyataannya ya, saya tidak tahu. Mungkin juga ngakunya karena mereka telah bermimpi
diwisuda oleh Syaikh al-Albani sebagai pakar hadits. Sedangkan kami adalah Ahlussunnah Wal-
Jama’ah, yang selalu diberi pertolongan oleh Allah SWT, karena ajaran kami benar, mengikuti
ajaran kaum salaf.”

WAHABI: “Kalau begitu, kami akan ikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah saja, keluar dari Wahabi.”

SUNNI: “Ya itu yang lebih bagus, semoga Anda semakin rajin mencari ilmu. Amin.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
BEDA SUNNI DGN SYIAH DAN BEDA SUNNI DGN WAHABI
Abah aang anom
17 PERBEDAAN SUNII (ASWAJA) DGN SYIAH DAN BEDA SUNNI DGN WAHABI

Menyikapi sebagian wahaber yang suka memfitnah..jika sunni berdalil tentang kejahatan
mereka maka wahaber mengatakan Syiah.waspada syiah dan macam macam guna membelokan
arah pembeicaraan..maka kami wajib menjelaskan bahwa Suni Dan syiah itu sangat beda.namun
walau beda syiah juga menganggap sesat wahabi.dan khusus bagi SUNNI maka keduanya SAMA
SAJA.sesat akidah semua !!

Jadi berhentilah wahaber muter muter cerita lucu bin majhul !!

Berikut Kami ambil salah satu keterangan tentang perbedaaan SUNNI VS SYIAH .Wahabi mesti
ngaca TAK USAH NIPU NIPU ORG AWAM !!

________________

17 PERBEDAAN SUNII (ASWAJA) DGN SYIAH

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah(Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah,
seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Syafi’i dengan Madzhab
Maliki.

Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar
perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton
dan tidak ikut berkiprah.

Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka
mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah(Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka
sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.

Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan
yang sebenarnya.

Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering
berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan
Madzhab Syafi’i.

Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah
Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam
Ushuul.

Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula
kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama
Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita (Ahlussunnah).

Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya
sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.

Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah


Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.

Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari
perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah (Ja’fariyah).

1. Rukun Islam

Rukun Islam Ahlussunnah kita ada 5:

1. Syahadatain

2. As-Sholah

3. As-Shoum

4. Az-Zakah

5. Al-Haj

Rukun Islam Syiah juga ada 5 tapi berbeda:

1. As-Sholah

2. As-Shoum

3. Az-Zakah

4. Al-Haj

5. Al wilayah

2. Rukun Iman

Rukun Iman Ahlussunnah ada enam:

1. Iman kepada Allah


2. Iman kepada Malaikat-malaikat Nya

3. Iman kepada Kitab-kitab Nya

4. Iman kepada Rasul Nya

5. Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat

6. Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.

Rukun Iman Syiah ada 5 :

1. At-Tauhid

2. An Nubuwwah

3. Al Imamah

4. Al Adlu

5. Al Ma’ad

3. Syahadat

3. Syahadat

.Ahlussunnah mempunyai Dua kalimat syahada, yakni: “Asyhadu An La Ilaha Illallah wa Asyhadu
Anna Muhammadan Rasulullah”.

Syiah mempunyai tiga kalimat syahadat, disamping “Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah”, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam
mereka.

4. Imamah

Ahlussunnah meyakini bahwa para imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-
imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.Karenanya
membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.

Syiah meyakini dua belas imam-imam mereka, dan termasuk rukun iman. Karenanya orang-
orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni),
maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.
5. Khulafaur Rasyidin

Ahlussunnah mengakui kepemimpinan khulafaurrosyidin adalah sah. Mereka adalah: a) Abu


Bakar, b) Umar, c) Utsman, d) Ali radhiallahu anhum

Syiah tidak mengakui kepemimpinan tiga Khalifah pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman), karena
dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at
dan mengakui kekhalifahan mereka).

6. Kemaksuman Para Imam

Ahlussunnah berpendapat khalifah (imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat
Ma’shum. Mereka dapat saja berbuat salah, dosa dan lupa, karena sifat ma’shum, hanya dimiliki
oleh para Nabi. Sedangkan kalangan syiah meyakini bahwa 12 imam mereka mempunyai sifat
maksum dan bebas dari dosa.

7. Para Sahabat

Ahlussunnah melarang mencaci-maki para sahabat. Sedangkan Syiah mengangggap bahwa


mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa, bahkan berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah
Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya
karena para sahabat membai’at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8. Sayyidah Aisyah

Sayyidah Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai oleh Ahlussunnah. Beliau adalah
termasuk ummahatul Mu’minin. Syiah melaknat dan mencaci maki Sayyidah Aisyah, memfitnah
bahkan mengkafirkan beliau.

9. Kitab-kitab hadits

Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidz, Sunan Ibnu Majah dan
Sunan An-Nasa’i. (kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin
sedunia).

Kitab-kitab hadits Syiah hanya ada empat : a) Al Kaafi, b) Al Istibshor, c) Man Laa Yah Dhuruhu
Al Faqih, dan d) Att Tahdziib. (Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut
diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah).

10. Al-Quran

Menurut Ahlussunnah Al-Qur’an tetap orisinil dan tidak pernah berubah atau diubah.
Sedangkan syiah menganggap bahwa Al-Quran yang ada sekarang ini tidak orisinil. Sudah
dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).
11. Surga

Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya. dan Neraka
diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya. Menurut Syiah,
surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang
tersebut tidak taat kepada Rasulullah. Dan neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang
memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12. Raj’ah

Aqidah raj’ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah ialah besok di akhir zaman sebelum
kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada
musuh-musuhnya.

Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah, dimana diceritakan bahwa nanti diakhir zaman, Imam
Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk
membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain. Setelah mereka
semuanya bai’at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah.
Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang
sampai ribuan kali, sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.

Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri, yang berlainan dengan Imam Mahdi yang diyakini
oleh Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.

13. Mut’ah

Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram. Sementara Syiah
sangat dianjurkan mut’ah dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah
untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di
zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14. Khamr

Khamer (arak) najis menurut Ahlussunnah. Menurut Syiah, khamer itu suci.

15. Air Bekas Istinjak

Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci, menurut ahlussunnah (sesuai dengan
perincian yang ada). Menurut Syiah air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan
mensucikan.

16. Sendekap

Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah. Menurut Syiah
meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri sewaktu shalat dapat membatalkan shalat. (jadi
shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak
sah dan batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).
17. Amin Sesudah Fatihah

Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah. Menurut Syiah
mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah dan batal
shalatnya. (Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan
Amin dalam shalatnya).

Demikian telah kami nukilkan beberapa perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan
aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Harapan kami semoga pembaca dapat
memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil
keputusan (sikap).

Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan
Muslimin berbeda segalanya).

Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat


memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga
dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).

Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta


memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab
mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh
atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu). Oleh karena itu, sebagian besar
orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu
tokoh-tokoh Syiah.

Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan


Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh
masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan
ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam
menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam
memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa kita dapat teratasi.

Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani
masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah
mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita. Semoga Allah
selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Amin.
Sumber: Albayyinat
________________________________________________
SEBAGIAN CONTOH PERBEDAAN ANTARA ASWAJA DENGAN WAHABI

Mungkin org org yang awam tidak begitu menyadari perbedaan besar antara akidah yang
dijalani Ahlusunnah wal jamaah dengan Akidah Ala wahabi. Sehingga sebagian diantarnya ada
yang berhujah dengan keduanya karna tidak bisa membedakannya dan akibatnya..terjadi
kerancuan bahkan menimbulkan kesalah pahaman yang makin besar.org org semacam
ini..hanya mengikuti saja pendapat sebagian org tanpa berfikir jauh jika ada hal yang salah
dalam pemahamnnya.

Lucunya lagi ada yang mengaku Ahlusunnah wal jama`ah..namun apa yang ia sampaikan..justru
paham paham wahabi. Ada pula wahabi wahabian..alias pengikut taglid yang sebenarnya tidak
byk paham akidah wahabi namun kemudian malah apa yang ia utarakan..justru paham paham
Ahlususnnah wal jama`ah...yang dia anggap itu ajaran wahabi.dan celakanya lagi ia ngotot
mempertahankannya dgn mengatakan “ Inilah akidah wahabi yang benar.

Untuk memahami apa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan antara ahlusunnah wal jam`ah
dgn wahabi,berikut ini penulis mencoba menjelaskan sebagian dari permasalahan itu

1 Persoalan : Maha Suci Allah daripada bersifat duduk atau bersemayam

Pendapat Aswaja : Menganggap atau mengatakan bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas
arasy atau di atas kursi Adalah suatu hal yang keliru karna yang demikian itu adalah sifat
makhluk Allah bukan sipat Allah.

DALILNYA : Firman Allah Ta’ala: "Dia(Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada
makhlukNya,baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang
menyerupaiNya"(Asyura ayat:11)

pendapat Wahabi : Wahabi menyamakan Allah dengan manusia dan juga binatang.Mereka
berkata:“Allah duduk di atas kursi”

RUJUKANNYA : lihat Kitab mereka: Fathul Majid,Karangan Abdul Rahman bin Hasan bin Mohd
bin Abdul wahab,m/s:356,Cetakan Darul Salam,Riyadh. (Arab saudi)

2. Persoalan : Maha suci Allah daripada anggota dan jisim

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala tidak sama dengan makhlukNya, Dia tidak mempunyai anggota
dan jisim sebagaimana Yang dimiliki oleh makhluk.

DALILNYA :. Firman Allah Ta’ala:_ ‫ليس كمثله شى‬


Maksudnya: "Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi
maupun dari semua segi, dan tidakada sesuatu pun yang menyerupaiNya".(Asyura ayat:11)

Pendapat Wahabi : Ibnu Baz berkata: “penafian jisim dan anggota bagi Allah adalah suatu yang
dicela”

Rujukannya : lihat Kitabnya : Tanbihat Fi Rod Ala Man Taawwal Sifat,m/s: 19, karangan Ibnu
Baz, terbitan :Riasah Ammah lilifta'Riyadh. (Arab saudi)

3.Persoalan : Maha suci Allah dari tempat

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala wujud tanpa tempat, karena Dia yang menjadikan tempat yang
mempunyai batasan batasan,kadar tertentu dan bentuk sedangkan Allah tidak bisa disifatkan
sedemikian.

Dalilnya : Sabda Nabi: "Allah wujud pada azal(adaNya tanpa permulaan),dan belum wujud
sesuatu selainNya"H.R al-Bukhari,isnad sahih

Pendapat Wahabi : Ibnu Baz mengatakan bahwa zat Allah Ta’ala itu di atas arasy

salah satu rujukannya : Lihat Majalah Haji, Nomor 49, juzuk 11 tahun 1415 hijrah,m/s :73 -74
Makkah. (Arab saudi)

4. Persoalan : tentang Abu jahal dan Abu lahab

Pendapat Aswaja : Abu jahal dan Abu lahab bukanlah dari kalangan orang Islam sebagaimana di
jelaskan dalam Alquranul kariim dan tidak bisa terbantahkan kekuatan firman Allah.

Dalilnya : Firman Allah Ta’ala mengenai Abu lahab:Maksudnya: kelak dia akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala.(Almasad ayat: 3

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa Abu jahal lebih mulia dan mengamalkan serta
peng-ESA-an tauhid mereka kepada Allah daripada orang Islam umumnya yang mengucap dua
kalimah syahadah. ( yang dimaksudkan dengan orang Islam di sini ialah mereka yang
bertawassul dengan wali-wali dan para solihin dimana pengertian tawasul menurut wahabi
seperti menyembah berhala,Batu,org mati atau sejenisnya )

Rujukan mereka : Lihat Kitab mereka: Kaifa Nafham Attauhid,Karangan Mohd Basmir,m/s: 16
Riyadh. (Arab saudi)

5.Persoalan : tentang Ulama Asya’irah dan Maturidiah

Pendapat Aswaja : Pengikut Asya’irah dan Maturidiah adalah golongan (Ahlus Sunnah wal
jama'ah)
Rujukannya : Al hafiz Murtadha Azzabidi.berkata:“ jika disebut Ahlus sunnah wal- jamaah yang
dimaksudkannya ialah Asyairah dan Maturidiah kitab: Ithaf sadatil Muttaqin

Pendapat Wahabi : Sholeh bin Fauzan (wahabi) berkata:“pengikut Asya’irah dan Maturidi tidak
layak digelar sebagai Ahlussunnah wal jamaah

Rujukannya : Kitabnya: Min Masyahir Almujaddidin Fil Islam,m/s: 32, terbitan:Riasah ‘Ammah
lilifta’Riyadh. (Arab saudi)

6.persoalan : Nabi Adam

Pendapat Aswaja : Ijma' ulama mengatakan bahawa Adam adalah nabi

Dalilnya :"dari Abi umamah, seorang lelaki bertanya nabi: "wahai

rasulullah adakah Adam itu seorang nabi"? Beliau menjawap: "ya, diturunkan wahyu
kepadanya”H.R Ibnu Hibban.

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa Adam bukanlah nabi ataupun rasul

Rujukannya : kitab mereka: Al-iman Bil Anbiya’ Jumlatan,Karangan: Abdullah bin Zaid,cetakan
Maktabah Islami, Beirut.

7.Persoalan : Pengikut pengikut Imam Asy’ari

Pendapat Aswaja : Pengikut-pengikut Imam Asy’ari adalah golongan umat Islam

dalilnya : Ahlus Sunnah wal Jama'’ah di kalangan umat Islam di seluruh dunia adalah golongan
asy’ari dan maturidi dan tidak dkatakan Islam jika mereka tidak mengucapkan dua kalimah
shahadat sebagi tanda keislaman.sedangkan perkara kadar keIman mereka hanya Allah yang
memutuskan.

Pendapat Wahabi : Wahabi berdusta dengan mengatakan bahawa kebanyakan Ahlus Sunnah

mengkafirkan pengikut asya’irah.

Rujukannya: Kitab mereka: Fathul Majid,Karangan: Abdul Rahman m/s 353 Terbitan maktabah
Darul Salam, Riyadh. (Arab saudi)

8.Persoalan : Bersholawat atas Nabi

Pendapat Aswaja : Boleh melafazkan selawat atas Rasulullah.dan hal lain yang perlu diketahui,
tidak sempurna Sholat seorang hamba Allah tanpa sholawat dan salam ketika duduk tahyat
awal/akhir dan ketika mengakhiri sholat.
Dalilnya : Lafaz selawat ini tidak terbantahkan dengan penjelasan Al-quran dan hadist

Pendapat wahabi : Ibnu Baz berkata: "lafaz selawat itu adalah syirik"

Rujukan mereka : lihat Kitab mereka: Kaifa Ihtadaitu Ila Tauhid,Karangan: Mohd Jamil Zainu,
m/s: 83 dan 89,Terbitan:Darul Fatah

9. Api neraka dan orang orang yang sunguh kafir.

Pendapat Aswaja : Api neraka tidak akan fana' ( binasa), dan azab siksaan terhadap orang-orang
kafir akan berkekalan selama lamanya

Dalilnya : Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang
menyala-nyala,mereka kekal di dalamnya selamalamanya,mereka tidak memperolehi
perlindungan maupun penolong”.(al Ahzab ayat: 65)

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa api neraka itu akan binasa dan orang-orang kafir
itu tidak diazab selama-lamanya.

Rujukannya : Kitab mereka Qaulul Mukhtar Li Fanainnar,Karangan: Abdul karim alhamid,m/s :


8, (Arab saudi)

10.Persoalan : Allah Ta’ala tidak sama dengan sesuatu yang baru

Pendapat Aswaja : Allah Ta'ala tidak menyerupai manusia kerana Dia pencipta mereka, dan
pencipta itu tidak menyamai apa yang diciptakan ( makhluk), Dia bukanlah zat yang bergambar,
berbentuk dan tidak mempunyai kadar yang tertentu.

Dalilnya : Firman Allah :_ ‫ليس كمثله شى‬

Maksudnya: "Dia (Allah)tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi
mahupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya".(Asyura ayat:11)

Pendapat Wahabi : Wahabi mendakwa bahwa Allah mencipta manusia sama dengan rupa
bentukNya.

Rujukannya : lihat asli Kitab mereka: ‘Aqidah Ahlul Iman Fi Khalq Adam Ala Suratir
Rahman,Karangan: Mahmud Al Tuwaijiri,m/s: 76(Arab saudi)

(kitab ini dipuji oleh Ibnu baz)


11. Persoalan : Lafaz Laila Ha illallah

Pendapat Aswaja : Berzikir dengan lafaz ini sebanyak byknya adalah diharuskan karna
tercantum dalam printahNya.

Dalilnya : "Wahai orangorang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang
sebanyak banyaknya".

(al Ahzab ayat: 41)

Pendapat: Wahabi berkata:“ini adalah bid’ah dari golongan yang jahil yang keluar daripada
landasan syariat kepada zikir yang mensyirikan Allah”

Dalilnya : Kitab mereka Halaqat Mamnu’ah,Karangan: Husam ‘Aqod, m/s: 25,terbitan Darul
Sahabah, Tonto.

12. Persoalan : Tarikat – tarikat sufi

Pendapat Aswaja : Tarikat-tarikat sufi adalah benar kecuali yang menyeleweng dari Al quran
dan Sunnah

Dalilnya : Nabi bersabda:: "Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam perkara yang baik
baginya pahala dan pahala bagi mereka yang beramal dengannya"H.R Muslim isnad sahih

Pendapat Wahabi : Wahabi berkata: “perangilah golongan sufi sebelum kamu memerangi
yahudi,sesungguhnya sufi itu adalah roh yahudi.

Rujukannya : Kitab mereka:Majmu’ul Mufid Min’ Aqidatit Tauhid, m/s:102, Maktabah Darul Fikr,
Riyadh(Arab saudi)

13.persoalan : Makna istiwa'

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala tidak disifatkan duduk di atas arasy

dalilnya : Setiap yang bersifat duduk di atas sesuatu itu sama sipat makhlukNya baik lebih besar
atau kecil dari, semua itu adalah sifat-sifat jisim yang mempunyai kadar yang tertentu,
sedangkan Allah Ta’ala maha suci dari perkara-Perkara tersebut. Dan tiadk mungkin sama dgn
MakhlukNya . Allah berfirman “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik
dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya".
(Asyura ayat:11)

Imam al-Syafi‘iyy rahimahullah yang wafat pada 204 Hijriyyah pernah berkata:

“Dalil bahawa Allah wujud tanpa tempat adalah Allah Ta’ala telah wujud dan tempat pula belum
wujud, kemudian Allah mencipta tempat dan Allah tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum
terciptanya tempat, maka tidak harus berlaku perubahan pada zat-Nya dan begitu juga tiada
pertukaran pada sifat-Nya.”Kenyataan Imam al-Syafi‘iyy ini dinyatakan oleh Imam al-Hafiz
Murtadha al-Zubaydiyy di dalam kitab beliau berjudul Ithaf al-Sadah al-Muttaqin ( ‫نيقتمال ةداسال فاحتإ‬
), juzuk kedua, mukasurat 36, cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

Pendapat Wahabi : Wahabi beriktikad bahwa Allah Ta’ala duduk di atas arasy.

Rujukan mereka : Kitab mereka:Nazarot Wa Ta’aqubat Ala Ma Fi kitab Assalafiah,Karangan:


Soleh Fauzan, m/s: 40 Darul Watan Riyadh.

14.Persoalan : Al Kursi

Pendapat Aswaja : Al Kursi adalah jisim yang besar berada di atas arasy, dicipta oleh Allah tanpa
berhajat kepadanya

dalilnya : “Dan kursi milik Allah itu seluas langit dan bumi”

Pendapat Wahabi : Kata Usaimin (wahabi): "Al Kursi itu adalah tempat letak kedua kaki Allah".

dalilnya Kitabnya: Tafsir Ayat, Kursi,m/s: 19, Maktabah Ibnu Jauzi. (Arab saudi)

15. Persoalan : tentang Alam

Pendapat Aswaja : Alam itu jenisnya dan afradnya (benda-benda yang terdiri
daripadanya)semua itu adalah ciptaan Allah

dalilnya : Firman Allah:_ ‫_ هلل خالق كل شى‬

Maknannya: “ Allah pencipta segala sesuatu”.(Azzumar ayat: 62)

Pendapat Wahabi : sama dengan tanggapan ahli falsafah yang mengatakan bahawa jenis alam itu
adalah azali (tidak ada permulaan). Anggapan mereka ini memberi arti bahwa sebelum
kewujudan makhluk ini ada makhluk dan sebelumnya ada makhluk yang lain dan begitulah
seterusnya tanpa permulaan.

dalilnya : Kitab: Syarah Attohawiah,Karangan: Ibnu Abil Iz,m/s132, Maktabah Islami,Beirut


(kitab ini dipuji oleh Ibnu Baz)

16.Persoalan : Bertawasul dengan kemulian nabi

Pendapat Aswaja : Orang Islam dibolehkan berdoa dengan doa ini: “Ya Allah dengankemulian‫ا‬
nabi Muhammad sembuhkanlah penyakitku”

dalilnya : Hadis doa keluar masjid: : “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dengan
berkat kebenaran orang-orang yang meminta kepada Mu"H.R Ibnu Majah

pendapat wahabi : Soleh bin Fauzan dan selainnya dari golongan wahabi mengatakan bahawa
tidak boleh betawasul dengan kemulian nabi.

Dalilnya : Kitabnya: Attauhid,m/s: 70,Riyadh. (Arab saudi)

17. Persoalan : pernikahan

Pendapat Aswaja : Perempuan muslimah boleh Menikah dengan lelaki muslim walaupun lalai
dalam Sholat.

Dalilnya : Tidak menjadi kafir mereka yang meninggalkan sembahyang berjemaah (selagi
mereka tidakmengatakan sembahyang itu tidak wajib), dan mereka boleh tetap menikah dengan
sesama mereka sesama muslim.

Pendapat Wahabi : Ibnu Baz berkata:”tidak boleh menikah dgn mereka yang meninggalkan
sembahyang berjema’ah”

dalilnya : Kitab: Fatawal Mar’ah,m/s: 103,Darul Watan, Riyadh. (Arab saudi)

18. Persoalan : Melafazkan bismillah ketika makan..

Pendapat Aswja : tidak ada larangan mengucapkan bismillah ketika mulai makan atau memulai
suatu pekerjaan.

dalilnya : tidak ada satupun hadist yang menghramkan hal demikian

Pendapat Wahabi : membaca dengan sempurna bismillahi rokhmanirokhim..

adalah salah dan adalh bida’h yang dicela dan harus dicegah.

Dalilnya : Kitab mereka:Akhto Syaiah,Karangan Mohd Zaino,m/s: 68 (Arab saudi)

19. Persoalan : Mentakwil ayatayat mutasyabihah nnas-nas Al quran yang tidak diketahui
maknanya atau mengandungi lebih dari satu makna

tetapi perlu dilihat makna yang sesuai dengan ayat tersebut)

Pendapat Aswja : Boleh mentakwilkan ayat-ayat Al quran dan hadis-hadis Nabi yang berbentuk
mutasyabihat selagi takwil tersebut tidak menyimpang dengan Al Quran dan bahasa quran itu
sendiri.
Dalilnya : Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran"H.R Ibnu Majah.(Sebahagian
ulama salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)

Pendapat Wahabi : Wahabi menyifatkan Ahlus Sunnah sebagai golongan kafir karena mentakwil
ayat-ayat mutasyabihah

dalilnya : Kitab:Qawaidul Mithly,Karangan Usaimin,m/s : 45, Riyadh (Arab saudi)

20 Persoalan : Gerak Allah

pendapat Aswaja : Allah Ta’ala tidak disifatkan dengan bergerak atau berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain.aswaja tidak boleh menduga duga hal demikian.

dalilnya : telah bersepakat para ulama non wahabi bahwa pergerakan itu adalah dari sifat
makhlukNya.

Pendapat wahabi : Wahabi mengatakan bahawa Allah bergerak. bergerak dari

sudut atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

Dalilnya : Kitab mereka: Fatawa Aqidah,Karangan Usaimin,m/s: 742. (Arab saudi)

21.Persoalan : Menziarahi kubur Nabi dan kubur muslimin bagi wanita

Pendapat Aswaja : tidak ada larangan bagi wanita menziarahi kubur nabi dan kubur orang –
orang Islam

Dalilnya : Saidatuna Aisyah bertanya kepada Rasulullah: “Apakah yang perlu dia (Aisyah)katakan
ketika menziarahi

kubur”, maka Rasulullah menjawab: "katakanlah ‫ لسال‬.. ‫ على‬.. ‫_ مسلمين __ لمؤمنين _ م _ لديا _ هل‬H.R
Muslim
Pendapat wahabi : Usaimin ( wahabi) berkata:“perbuatan menziarahi kubur bagi perempuan itu
adalah haram,dosa besar dan kafir walaupun menziarahi kubur nabi”

Dalilnya : Lihat kitab:Fatwa Muhimmah,m/s: 149-150, cetakan Riyadh. (Arab saudi)

22.Allah Ta’ala tidak diliputi oleh enam arah penjuru (atas,bawah,kiri kanan,depan dan
belakang)

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala ada tanpa diliputi oleh arah penjuru, adaNya tanpa bertempat
tidak di arasy dan tidak dilangit

Dalilnya :Rasulullah bersabda “Engkau al zohir (setiap sesuatu menunjukan akan wujudNya),
tidak ada sesuatu di atasMu, dan engkau Al Batin ( yang tidak dapat dibayangkan),tidak ada
sesuatu dibawahMu”.H.R Muslim.Jadi jikalau tidak ada sesuatu di atasNya dan di bawahNya
berarti Allah tidak berada di tempat.

Imam yang terkenal dengan karangan kitab aqidah beliau berjudul ‘Aqidah al-Tahawiyyah (
‫ ) ةيواحطال ةديقع‬bernama Imam al-Hafiz Abu Ja‘far al-Tahawiyy wafat pada 321 Hijriyyah
(merupakan ulama Salaf) telah menyatakan dalam kitab beliau tersebut pada halaman 15,
cetakan Dar al-Yaqin yang bermaksud:

“Allah tidak berada (tidak diliputi) pada enam penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan,
belakang) seperti sekalian makhluk.”.

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa zat Allah berada di atas arasy

Dalilnya : Kitab mereka:Fatawa Aqidah,Karangan Usaimin,m/s: 75.Ryad. (Arab saudi)

23 Jenggot laki laki

Pendapat Aswaja : Memendekkan janggut yang panjang agar kelihatan rapi adalah dibolehkan.

dalilnya : Ibnu Omar (sahabat Nabi) pernah suatu ketika dia menggenggamkan janggutnya dan
memotong janggut yang melebihi genggamannya itu.Riwayat: Abu Daud

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa haram memotong janggut walaupun sedikit pada
semua keadaan,sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu pemimpin mereka mereka Ibnu
Baz.

dalilnya : lihat Kitabnya:Tahqiq Wal Idhoh Likasir Min Masail Alhaj Wal Umrah wazziarah,m/s:
16. (Arab saudi)

24. Meletakkan pelepah tamar di atas kubur

Pendapat Aswaja : Meletakan pelepah tamar atas kubur orang Islam adalah dibolehkan
Dalilnya : Dalam riwayat Bukhari terdapat hadis yang menceritakan bahawa pernah satu ketika
nabi lalu di tepi dua kubur, kemudian

mengambil pelepah tamar lalu mematahkannya dan meletakkan setiap pelepah ke atas dua
kubur itu lalu bersabda:‫ لع‬- ‫له يخفف عنهما‬

"mudah-mudahan diringankan azab mereka" H.R Bukhari isnad sahih(wahabi menghukum kafir
Bukhari maka hadis ini di anggap Dlaif oleh Muhammad bin Abdul wahab pendiri wahabi)

Pendapat wahabi : Ibnu Baz berkata:”meletakan pelepah tamar di atas kubur bukanlah suatu
perkara yang disyariatkan”

dalilnya : Lihat ktab aslinya “ Ta'liq Ibnu Baz dalam kitab Fathul Bari,Darul Ma’rifah, Beirut

25.persoalan : Madzab

Pendapat Aswaja : 4 madzab adalah generasi penerus akidah Ulama Salaf sebagaimana
penjelasn sunnah Rasullullah yang menjadi pembimbing umat islam kearah yang benar menurut
sunnah Rasulullah.dan bukan syirik

dalil : ijma kebanyakan ulama sepakat

Pendapat wahabi : “Mengikut mana-mana mazhab adalah syirik.”

Dalilnya : kitabnya al-Din al-Khalis ( ‫) صالخال نيدال‬, juzuk 1, halaman 140 dan 160, cetakan Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah.

26.Persoalan.Siti hawa Istri nabi Adam

Pendapat Aswaja : Istri nabi Adam adanlah ibu seluruh bani adam dan bukan pelaku syirik
Dalilnya : Sunnah rasulullah dan Alquran Sudah jelas.

Pendapat Wahabi : “Sesungguhnya syirik itu berlaku kepada Hawwa.”.

Rujukannya : kitabnya al-Din al-Khalis ( ‫) صالخال نيدال‬, juzuk 1, .140 dan 160, cetakan Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah

27.Persoalan apakah umat muslim terhukum kafir

Pendapat Aswaja : Tidak semua bisa dihukum kafir musyrik karna lalai dalam ibadah atau karna
kesalahan yang tidak disengaja sesungguhnya manusia itu tidak luput dari sipat lalai dan
salah.kecuali dia keluar dari islam atau mendustakan Allah.

Pendapat Wahabi : Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab berkata: Aku membawa kepada kamu semua
agama yang baru dan manusia selain pengikutku adalah kafir musyrik.”

dalilnya : kitabnya al-Durar al-Saniyyah Fi al-Radd ‘Ala al-Wahhabiyyah ( ‫ةيباهوال ىلع درال يف ةينسال‬
‫) رردال‬, surat 42“

Demikian sebagian contoh yang dapat penulis kemukakan. ada byk sekali perbedaan antara
keduanya..terutama memahami perkara Bid`ah walaupun keduanya sama sama sepakat
mengakui adanya Bid`ah dan pada uraian ini hanya sekedar bahan renungan kita atas hujah
hujah para Ulama Ahlsuunnah wal jama`ah dan Wahabi.dan pada Akhirnya..silahkan anda
analisa sendiri apa yang anda anggap benar dan menyimpang dan dari uraian diatas sbenarnya
cukup terlihat.perbedaannya dalam hujah satu sisi..dgn hadist dan qur`an, disisi lain dgn kitab
Ulama pemimpin mereka yang bisa anda lihat sendiri kitab Aslinya.jika anda berada di Arab
silahkan kunjungi Perpustakaan kerajaan saudi dan buku buku agama golongan wahabi di pusat
perbelanjaan di jeddah dan syukur jika terdapat di indonesia.

Salam Ukhuwah.
LAGI SAJAK-SAJAK HAFIZ
SAJAK-SAJAK

HAFIZ AL-SYIRAZI (1320-1390 M)

Abdul Hadi W. M.

Pipi bersimbah mawar, tudung molek

Kembang bumi, ah itu sudah cukup bagiku!

Rindang bayang cemara, yang nyusut dan ngembang

Di padang, Itu saja sudah cukup bagiku.

Aku bukan pencinta kemunafikan:

Dari segala kekayaan yang dibanggakan dunia

Hanya anggur secawan kujunjung tinggi

Dan itu sudah cukup bagiku.

Bagi mereka yang harum namanya sebab bijak

Adalah istana di sorga  pahalanya

Tapi bagiku, pemabuk dan penadah rahmat Tuhan

Beri saja menara Anggur  menjulang!

Di tepi sungai  aku ‘kan duduk, beralas babut rumput


Hidup, di puncak nikmat, kubiarkan melenggang pergi

Dan hari-hari yang remeh ini tak kupeduli

Dan itu sudah cukup bagiku.

Lihat segala emas di pasar dunia

Lihat segala air mata yang disemburkan dunia

Tidakkah itu cukup bagi hatimu rindu?

Aku telah banyak kehilangan, namun banyak pula yang kudapat

Kumiliki cinta, kugenggam erat, apa lagi

Yang dapat kuperoleh? Kekayaanku adalah rasa nikmat

Bersahabat dengan dia, yang bibirnya merah merekah

Dan begitu berahi mengecup bibirku.

Kumohon jangan bawa hatiku telanjang

Dari rumah hinanya menuju sorga!

Walau langit dan bumi akan membuka gulungannya

Rohku akan terbang balik menuju rumahku

Dan di pintu kismet Hafiz pun terbaring

Tiada keluh di bibirnya – jiwanya bagai air jernih.

Sebuah lagu terdengar lalu lenyap dari telinganya

Dan itu sudah cukup bagiku

3
Kemurungan dan kegembiraan akan datang

Dengan bangga akan memamerkan rasa persaudaraannya

Tak beda milih yang satu di antara yang lainnya

Kelak kau akan tersiksa juga olehnya

Siapa tahu rahasia Tabir? Coba buka!

Sorga saja membisu dan bersama Tuhan

Menggenggam tirai itu erat-erat

Wahai pembual, hati-hatilah kau bicara

Walau hamba-hamba Tuhan kehilangan jalan dan sesat

Melalui derita akan diajarinya ia kearifan

Segala ampunan dan kasih sayang

Adalah kata-kata kosong tanpa makna

Pemabuk ini hanya inginkan anggur Telaga Kautsar

Dan Hafiz, lihat! Untukmu telah terhidang

Cawan bumi, rahmat pilihan dari Tuhan!

Tapi apa yang kauharapkan dariku

Aku ini orang mabuk, jangan harapkan dariku

Aku telah meneguk anggur dari cawannya

Sejak hari Alastu, sejak aku mengambil wuduk

Di telaga asyik masyuk


Lalu kutakbirkan empat kali

Kolong langit atas segala yang ada ini

Karena itu jika kau inginkan

Rahasia ketentuan yang menyebabkan aku linglung dan mabuk

Hidangi aku gelas putih cawan anggur cerlang

Hingga gunung menjadi lebih ringan dari nyamuk

Wahai Saqi, pemuja anggur

Biarlah mulutmu berbusa penebus nyawamu

Di taman penglihatanku kebunku tak menumbuhkan alam

Yang lebih indah dari duri di tengah bunga

Tidaklah tenteram hidup di bawah kolong langit ini

Tanpa Tuhan, tanpa anggur-Nya

Bagai sekuntum kembang layu terkulai

Disapu angin derita

Tuhan, Hafiz rindu kepada-Mu

Lebih dari nabi Sulaiman

Hafiz rindu pada-Mu walau tangannya

Tak mendapat apa-apa kecuali angin

Hafiz rindu kepada-Mu

Anda mungkin juga menyukai