Anda di halaman 1dari 3

Rezzaq Maulana Syaputra

1606877641
Akuntansi Syariah

1.a Hadis ini tidak jarang kita dengar dalam ceramah atau kita jumpai ketika membaca
buku-buku agama. Apakah hadis tersebut adalah hadis shohih sehingga dapat diyakini
sebagai perkataan Rasulullah SAW?

Ternyata, setelah dikaji TIDAK ADA satu kitab hadis pun yang mencantumkan hadis
tersebut, baik kitab hadis induk yang disebut “al-kutub al-sittah”–yaitu 6 kitab yang
menghimpun hadis-hadis Rasulullah yang terdiri dari Shohih Bukhari dan Muslim, Sunan
Abi Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i–maupun “al-kutub at-tis’ah”–yaitu 9 kitab
induk hadis yang terdiri dari al-kutub as-sittah ditambah al-Muwatho Imam Malik, Musnad
Imam Ahmad dan Sunan Ad-Darimy.

Karena tidak adanya kitab hadis yang memuat hadis ini dengan sanad yang dapat diteliti,
maka Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullah menilainya La ashla lahu (tidak
ada sumbernya berupa sanad) (Arsip Multaqo Ahlil hadis-3, Al-Maktabah Asy-Syamilah).

Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam ceramah berjudul “Asbab ats-Tsabat ‘ala Tholibil ‘Ilmi”
menyatakan itu sebagai qaul sebagian ulama salaf. Demikian pula, Syaikh Abdurrahman al-
Faqih juga menyebutkan bahwa kemungkinan teks tersebut adalah bagian dari nasehat ulama
yang disebutkan untuk para penuntut ilmu dan BUKAN HADIS marfu’ (yang bisa
disandarkan) kepada Nabi SAW. (Arsip Multaqo Ahlil hadis-3 Al-Maktabah Asy-Syamilah).

Kesimpulan:
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teks di atas bukanlah hadis, kalau dinilai
status hadisnya adalah hadis maudhu’ (palsu) dan tidak layak untuk diklaim sebagai hadis
Nabi SAW. Oleh karena itu, kalau dianggap makna kata-kata tersebut baik untuk
disampaikan kepada khalayak, dalam ceramah atau tulisan cukup kitakan sebagai kata-kata
hikmah.

1.b Al Albani mengatakan didalam “Silsilah al Ahadits adh Dhaifah” (1/141) bahwa hadits
“Perbedaan umatku adalah rahmat” tersebut tidaklah memiliki dasar. Para ahli hadits telah
berupaya didalam meneliti tentang sanadnya namun mereka semua tidak mendapatkannya
kecuali perkataan Suyuthi didalam “al Jami’ ash Shoghir”,”Barangkali ia diriwayatkan
didalam beberapa kitab para Hufazh yang belum sampai kepada kita.” Dan ini jauh
menurutku (Al Albani) jika ada dari beberapa hadits Nabi saw yang hilang dan ini tidak
pantas diyakini oleh seorang muslim.

Al Manawiy menukil dari as Subkiy, dia mengatakan bahwa hadits tersebut tidak dikenal
dikalangan para ulama hadits dan aku tidak menemukan bahwa hadits itu memiliki sanad
yang shahih, lemah atau maudhu’. Hal itu ditegaskan oleh Syeikh Zakaria al Anshariy
didalam catatannya tentang “Tafsir al Baidhowi” (2/92). (as Silsilah adh Dhaifah juz I hal
134)

Syeikh Athiyah Saqar mengatakan bahwa hadits “Perbedaan umatku adalah rahmat”
disebutkan oleh Baihaqi ddalam “Risalah” nya dan mensanadkannya dari hadits Ibnu Abbas
didalam “al Madkhol” dengan lafazh “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.”
Dengan sanadnya yang lemah sebagaimana disebutkan al Iraqi didalam ‘takhrijnya terhadap
hadits-hadits yang ada didalam kitab “Ihya Ulumuddin” (juz I hal 25)

1.c
Beberapa ulama membolehkannya dan menjadikannya sebagai bentuk pengecualian dari
ketentuan umum yang ditunjukkan dalam Al Quran bahwa batas akhir boleh makan dan
minum bagi mereka yang akan berpuasa pada hari itu adalah ketika fajar telah terbit. Diantara
ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Baani, Syaikh Muhammad bin Shaleh ‘Utsaimiin, dan yang lainnya.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah, Beliau bersabda;

‫ َو َكانَ ْال ُم َؤ ِّذنُ يُ َؤ ِّذنُ إِ َذا بَزَ َغ‬: ‫ وزاد في رواية‬.ُ‫ض َي َحا َجتَهُ ِم ْنه‬ َ َ‫ فَاَل ي‬،‫إِ َذا َس ِم َع أَ َح ُد ُك ُم النِّدَا َء َواإْل ِ نَا ُء َعلَى يَ ِد ِه‬
ِ ‫ض ْعهُ َحتَّى يَ ْق‬
‫ أي إذا طلع‬,ُ‫ْالفَجْ ر‬

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dikumandangkan sedang ia tengah
memegang wadah makanan, maka janganlah ia meletakkan wadah tersebut hingga ia
menyelesaikan hajatnya dari apa yang telah dipegangnya itu.”. (HR. Ahmad, dihasankan oleh
syaikh Syu’aib al Arnauuth). Dalam riwayat lain, ada redaksi tambahan; “Ketika itu
muaddzin mengumandangkan adzan di saat fajar telah terbit.”. (HR. Ahmad, dinyatakan
shahih dengan syarat Muslim oleh syaikh Syu’aib al Arnauuth)

1.d
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صالة الرجل في الجماعة تضعف على صالته في بيته وفي سوقه خمسا وعشرين درجة وذلك أنه إذا توضأ فأحسن‬

‫الوضوء ثم خرج إلى المسجد ال يخرجه إال الصالة لم يخط خطوة إال رفعت له بها درجة وحط عنه بها خطيئة فإذا صلى لم‬

‫تزل المالئكة تصلي عليه ما دام في مصاله اللهم صل عليه اللهم ارحمه وال يزال في صالة ما انتظر الصالة‬

“Shalatnya seorang laki-laki secara berjamaah di masjid itu dilipatgandakan pahalanya


dibandingkan shalatnya di dalam rumahnya dan pasarnya sebanyak 25 derajat. Yang
demikian itu apabila ia berwudhu di rumahnya dan memperbagus wudhunya kemudian keluar
menuju masjid dan tidak ada niat kecuali untuk shalat saja. Maka tidaklah ia melangkah
selangkah pun kecuali akan diangkat untuknya satu derajat, dan akan digugurkan darinya satu
kesalahan. Dan apabila ia shalat di masjid maka malaikat akan terus bershalawat kepadanya
selama ia berada di tempat shalatnya. Sambil berkata, Ya Allah bershalawatlah kepadanya, ya
Allah rahmatillah ia. Dan senantiasa ia berada di dalam shalat selama ia menunggu shalat.”

1.5

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


‫ ع َْن بَي ِْع ْالعُرْ بَا ِن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual-beli ‘urbun” (HR. Malik, Abu
Daud dan Ibnu Majah)

Namun hadist ini dianggap doif jadi tidak bisa dijadikan dasar untuk hokum panjer
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam At Talkhish Al Habir (3: 968) mengatakan bahwa dalam
rowinya ada perowi yang tidak disebutkan. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, namun
dho’if.

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (9: 334) mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij terhadap musnad Ahmad mengatakan bahwa hadits ini
dho’if.

Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih (2864) mengatakan bahwa hadits ini dho’i

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata,
“Tidak mengapa memanfaatkan uang muka. Demikian pendapat yang tepat dari pendapat
ulama yang ada jika telah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam hal itu ketika
jual beli tidak terjadi.” (Fatawa lit Tijaar wal A’maal, hal. 49).

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia juga membolehkan jual beli urbun. Mereka katakan
bahwa ada amalan ‘Umar bin Khottob dalam hal ini. Imam Ahmad juga mengatakan tidak
mengapa. Ibnu ‘Umar pun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib juga berpendapat
bolehnya. Ibnu Siirin mengatakan bahwa tidak mengapa jika pembeli tidak suka pada barang
lalu ia mengembalikannya dan ia memberikan ganti rugi. Adapun hadits yang melarang jual
beli urbun adalah hadits dho’if. Hadits tersebut didhoifkan oleh Imam Ahmad dan lainnya
sehingga tidak bisa dijadikan dalil pendukung. Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 13: 133.

Anda mungkin juga menyukai