Anda di halaman 1dari 25

Kok Gerak-gerak Jari Telunjuk…

26 Juli 2007 oleh Abu Aufa


Gerak Jari Telunjuk, Sunnah [?]
‫أبو أوفى السلفي‬

————————————————————

Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian
ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika
tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –
umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu. Yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari
telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam ? apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut :

Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits
Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin
Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :

َ َ‫ب ق‬
‫ال‬ ٍ ‫ص ُم بْنُ ُكلَ ْي‬ ِ ‫ال َح َّدثَنَا عَا‬ َ َ‫ك ع َْن زَائِ َدةَ ق‬ ِ ‫د بْنُ نَصْ ٍر قَا َل أَ ْنبَأَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ْال ُمبَا َر‬Qُ ‫أَ ْخبَ َرنَا س َُو ْي‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫صاَل ِة َرس‬ َ ‫ت أَل َ ْنظُ َر َّن إِلَى‬ ُ ‫َح َّدثَنِي أَبِي أَ َّن َوائِ َل ْبنَ حُجْ ٍر أَ ْخبَ َرهُ قَا َل قُ ْل‬
‫ض َع يَ َدهُ ْاليُ ْمنَى‬ ُ
َ ‫ع يَ َد ْي ِه َحتَّى َحا َذتَا بِأ ُذنَ ْي ِه ثُ َّم َو‬Qَ َ‫ت إِلَ ْي ِه فَقَا َم فَ َكب ََّر َو َرف‬ Qُ ْ‫صلِّي فَنَظَر‬ َ ُ‫َو َسلَّ َم َك ْيفَ ي‬
‫ع يَ َد ْي ِه َعلَى‬Qَ ‫ض‬َ ‫ال َو َو‬ َ َ‫َّاع ِد فَلَ َّما أَ َرا َد أَ ْن يَرْ َك َع َرفَ َع يَ َد ْي ِه ِم ْثلَهَا ق‬ ِ ‫ْغ َوالس‬ ِ ‫َعلَى َكفِّ ِه ْاليُس َْرى َوالرُّ س‬
ُ‫ش ِرجْ لَه‬ Qَ ‫ُر ْكبَتَ ْي ِه ثُ َّم لَ َّما َرفَ َع َر ْأ َسهُ َرفَ َع يَ َد ْي ِه ِم ْثلَهَا ثُ َّم َس َج َد فَ َج َع َل َكفَّ ْي ِه بِ ِح َذا ِء أ ُذنَ ْي ِه ثُ َّم قَ َع َد َوا ْفتَ َر‬
ُ
‫ َعلَى فَ ِخ ِذ ِه َو ُر ْكبَتِ ِه ْاليُ ْس َرى َو َج َع َل َح َّد ِمرْ فَقِ ِه اأْل َ ْي َم ِن َعلَى فَ ِخ ِذ ِه‬Q‫ض َع َكفَّهُ ْاليُ ْس َرى‬ َ ‫ َو َو‬Q‫ْاليُس َْرى‬
* ‫ق َح ْلقَةً ثُ َّم َرفَ َع إِصْ بَ َعهُ فَ َرأَ ْيتُهُ ي َُحرِّ ُكهَا يَ ْدعُو بِهَا‬ َ َّ‫صابِ ِع ِه َو َحل‬ َ َ‫ض ْاثنَتَ ْي ِن ِم ْن أ‬ َ َ‫ْاليُ ْمنَى ثُ َّم قَب‬
Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah
mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr
–semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati):
Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’

Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat)


kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang
dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya
di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’

Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua


tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas
kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil
mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau
letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian
beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di
antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu
beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di
atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha
kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu
jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya,
maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’

(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin,
maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari
dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua
tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian
mereka karena udara sangat dingin)’.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya
al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27
no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al
Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish
shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy
syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al
Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni
kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa
annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib
bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi
ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah
bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il
bin Hujr.

Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al


Khaththabradhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan
Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata,
‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam
Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)
Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin
Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari
‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari
ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam,
“…dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan
dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga
dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi
wa sallam hal. 158-159.]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani


dalamSifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani
dalamSifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.
4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam
Kitabnya al Istidzkaar IV/262.
5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil
Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.
6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.
7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al
Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255
8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)
9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya,
diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih
Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no.
352.

Kesimpulan : Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits
Shahih sebagaimana keterangan diatas.

Pertanyaan : “Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas


dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuha (Q‫ )يحركها‬pada hadits tersebut adalah
syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz
‫”?يحركها‬
Maka dijawab : Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut
adalah hadits syadz karena tambahan lafadz ‫يحركها‬. tidak diriwayatkan kecuali
dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya
ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan
lafadz ‫( إشارة‬Isyarat) tanpa ada tambahan ‫يحركها‬. Dua puluh dua rawi tersebut
adalah :

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465


no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro
1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu
Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany
22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li
Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35
no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195
dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392
no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib
dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912,
Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-
Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil
Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-
Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-
Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-
Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-
Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353
no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam
Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259,
Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj
1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan
Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37
no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany
22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam
Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-
Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-
Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl
Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li
Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-
Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam
Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah :

‫رأى النبي صلى هللا عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من‬
‫ في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنى‬Q‫ رفع يديه وخوى في ركوعه وخوى‬Q‫الركوع‬
‫ يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابة‬Q‫على اليسرى ووضع‬
“Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir ……
dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di
atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR.
Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Maka dijawab : Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus
melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar
tentang definisi syadz.

Pertama : Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul


Minnah tentang hadits syadz,

“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang
diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan
perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul
hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus
diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan
perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka
apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada


perselisihandengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia
meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa
keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil,
hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa
yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut”

Kedua : Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86

‫ فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه‬، ‫إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه‬
‫ وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره‬، ‫ كان ما انفرد به شاذا مردودأ‬، Q‫بالحفظ أو أضبط‬
Q‫ فإن كان عدال حافظا موثوقأ‬، ‫ في هذا الراوي إلمنفرد‬Q‫ فينظر‬، ‫وإنما رواه هو ولم يروه غيره‬
‫ بحفظه‬Q‫ وإن لم يكن ممن يوثق‬، ‫ ولم يقدح االنفراد به‬، ‫ قبل ما انفرد به‬، ‫وإتقانه وضبطه‬
‫ ثم هو بعد‬، ‫ له عن حيز الصحيح‬Q‫ له مزحزحا‬Q‫ كان انفراده خارما‬، ‫وإتقانه لذلك الذي انفرد به‬
Q‫ فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ‬، ‫ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال‬
‫ وإن كان‬، Q‫ استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف‬، ‫ المقبول تفرده‬Q‫الضابط‬
” . . ‫بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر‬
“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat
tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat
hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat
tunggalnyatidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain,
tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu
diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika
yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya
tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus
dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat
yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh
dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka
kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits
dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz
yang munkar (teringkari)”. —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus
kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz
atau tidak:

Pertama :Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh


para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua
Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,

1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata,
“(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang
tsiqah lagi tsabit/kuat)”

2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah
bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu
pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak
dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan
keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk
menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini,
khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari
bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak
sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset
Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang
artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrikbertentangan


dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan
antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.

Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan
gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang
terjadibukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan
lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah
al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat
dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk
dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang
kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal
Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau punmengisyaratkan
kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Hadits yang dimaksud adalah :

‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين‬
Q‫ في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى‬Q‫أنها قالت صلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ قال إنما جعل اإلمام ليؤتم به فإذا ركع‬Q‫ قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف‬Q‫وراءه قوم‬
‫فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا‬
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut
bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan
tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat
agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka


pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika
ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan


kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari
Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah
suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan
isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran
Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam
meriwayatkan hadits. Paraimam sepakat memberikan kesaksian atas dapat
dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Kesimpulan : Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits


syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat
dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam

Pertanyaan : “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya


Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (‫ال يحركها‬
),bagaimana penjelasannya ?”

Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (‫ ) ال يحركها‬,
setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu
UmarRadhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :

Hadits Pertama : hadits Abdullah bin Zubair, yakni :

‫حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجالن عن عامر بن عبد هللا عن عبد هللا‬
‫بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا وال يحركها قال‬
‫بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى هللا عليه‬
Q‫وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى هللا عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى‬
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan
dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan,
”Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah
mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) :
Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti
itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu
Dawud no 989)

Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi,
berikut haditsnya :

Riwayat Imam Nasa’i 3/32 :

‫د هللا بن‬QQ‫امر بن عب‬QQ‫د بن عجالن عن ع‬QQ‫اد عن محم‬QQ‫برني زي‬QQ‫ريج أخ‬QQ‫ال بن ج‬QQ‫اج ق‬QQ‫دثنا حج‬QQ‫ح‬
‫بعه إذا دعاوال‬QQ‫ير بأص‬QQ‫ان يش‬QQ‫لم ك‬QQ‫ه وس‬QQ‫لى هللا علي‬QQ‫بي ص‬QQ‫ أن الن‬Q‫الزبير عن عبد هللا بن الزبير‬
Q‫يحركها‬
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132 :

‫امر بن‬QQ‫د بن عجالن عن ع‬QQ‫اد عن محم‬QQ‫برني زي‬QQ‫أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخ‬
‫بعه إذا‬QQ‫ير بأص‬QQ‫ان يش‬QQ‫لم ك‬QQ‫ه وس‬Q‫عبد هللا بن الزبير عن عبد هللا أنه ذكر أن النبي صلى هللا علي‬
Q‫دعا ال يحركها‬
Keterangan dan Takhrij Hadits :

1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di


sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. (
‫) المصيصي حجاج بن محمد‬
2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman ( ‫زياد بن سعد بن عبد‬
‫) الرحمن‬, seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268
&Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah
mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan
bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku”(
‫) أخبرني‬. Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (‫) قال‬. Coba
lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.
4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu
Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.

Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah
bin Zubair dengan dua jalan.

Jalan pertama :

 ‫ حجاج‬Hajjaj –

 ‫ بن جريج‬Ibnu Juraij –

 ‫ زياد‬Ziyad –

 ‫ محمد بن عجالن‬Muhammad bin Ajlan -

 ‫عامر بن عبد هللا‬Amir bin Abdillah –

 Abdullah bin Zubair – ‫عبد هللا بن الزبير‬

Dengan Lafadz : Q‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا وال يحركها‬
”Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”

Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan
tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah
hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits.
Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia
meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian
hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang
tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya
riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa
riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati
tambahan Q‫ ال يحركها‬kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-
206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)

Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam :
Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad
dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak
memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di
riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar
di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.

Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang
mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan
lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah
memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang
mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits
mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang
menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin
Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai
lafadz ‫)عن‬, dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.

Pertanyaan :“Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah


meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah
menceritakan kepadaku (‫ )حدثني‬yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan
sekaligus hilanglah tadlisnya ?

Maka dijawab : ” betul” untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :

‫عن يحيى بن سعيد عن بن عجالن قال حدثني عامر بن عبد هللا بن الزبير عن أبيه قال كان‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده‬
‫ وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته‬Q‫اليسرى على فخذه اليسرى‬
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku
Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata ,
‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud
ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas
paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan
pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu
Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Pertanyaan : Adakah di hadits diatas disebut tambahan Q‫ ? ال يحركها‬jawabnya,


tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa
lafadz ‫ ال يحركها‬adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari
Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid
al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan
menunjukkan bahwasanya lafadz Q‫ ال يحركها‬tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj
dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.

Jalan Kedua :

 ‫ حجاج‬Hajjaj –

 Ibnu Juraij – ‫بن جريج‬

 ‫ عمرو بن دينار‬Amr bin Dinar –


 Amir bin Abdillah – ‫عامر بن عبد هللا‬

 Abdullah bin Zubair – ‫عبد هللا بن الزبير‬

Dengan lafadz, ‫أنه رأى النبي صلى هللا عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى هللا‬
‫ على فخذه اليسرى‬Q‫“ عليه وسلم بيده اليسرى‬Sesungguhnya ia telah melihat Nabi
Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan
kirinya di atas paha kirinya.’ “

Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan


sebelumnya

Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz ‫ قال‬. Sudah maklum bahwsanya Ibnu
Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan
tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i,
Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu
Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz ‫ حدثني‬maknanya
ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia
menggunakan lafadz ‫ أخبرني‬menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya.
Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz ‫ قال‬maka disamakan dengan angin yakni
tidak diterima riwayatnya

Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair
dengan tambahan lafadz ‫ ال يحركها‬adalah hadits dhoif. Allahu A’lam

Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar

‫حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن‬
‫مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده‬
‫ بإصبعه وال يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان‬Q‫ على ركبته اليسرى ويشير‬Q‫اليسرى‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يفعله‬
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan
kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut
kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan
beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau
berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”.
( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)

Keterangan dan Takhrij Hadits :


Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para
ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang
disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan
keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah),
makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau
penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid
telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi
Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata,
sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi
bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-
Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim


1/408,Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu
Hibbansebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243,
Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236
no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah
2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu
Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai
3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu
‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh
Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa


yuharrikuha(tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua
sebab :

1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari


Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-
Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu
Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-
Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany
dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar.
Wallahu A’lam.

Kesimpulan : Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits ‫ال‬
‫ يحركها‬adalah Dhoif. Allahu A’lam.

Pertanyaan : “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits ‫ال‬
‫ يحركها‬seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”
Maka dijawab : Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan
yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih
(walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka
hadits Q‫ ال يحركها‬adalah Nafi’ sedangkan hadits Q‫يحركها‬adalah Musbit, sedangkan
sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah ‫ ” المثبت مقدم على النافي‬Yang
menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak
ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :

Pertama : al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq


oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata :

‫ كان يُشير بأصبعه‬Q‫وأما حديث أبي داود ع َْن عبد هّللا بن الزبير أن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في‬،‫إذا دعا وال يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر‬
‫ كان رسو ُل هّللا صلى هللا عليه وسلمإذا قَ َع َد‬:‫ بل قال‬،‫ ولم يذكر هذه الزيادة‬،‫((صحيحه))عنه‬
‫ يَدَه اليُسرى‬Q‫ ووضع‬،‫ وفرش قدمه اليُ ْمنى‬،‫ جعل قد َمه اليسرى بين فخذه وساقه‬،‫في الصالة‬
.‫ وأشار بأصبعه‬،‫ ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى‬،‫على رُكبته اليسرى‬

.‫ فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصالة‬Qً‫وأيضا‬

‫ وهو حديث‬،‫ مق َّدم‬Q‫وهو‬،ً‫ وحديث وائل بن حُجر مثبتا‬،ً‫ لكان نافيا‬،‫ لو كان في الصالة‬Qً‫وأيضا‬
.))‫ ذكره أبو حاتم في ((صحيحه‬،‫صحيح‬
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu
Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan
tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu
diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut
hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia
tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah
Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia
jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki
kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan
tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya.

Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak
menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya
sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin
Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit
didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu
Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.

Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih
dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah
bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di
Majmu’ “

Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170,
beliau mengatakan :
‫ أبي داود ”ولو‬Q‫وحديث أنه كا ن اليحركهاال يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف‬
‫ كما هو معروف عند العلماء‬Q‫ نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي‬Q‫ثبت فهو‬
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah
tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di
Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan),
sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan
adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas
nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.

Kesimpulan : Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud


adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah
tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan
melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu
Wa Sallam. Allahu A’lam

Al Faqir Abu Aufa

Maraji’ :

1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin


Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab
1425 H/Agustus 2004 M.
2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani,
Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422
H/September 2001 M.
3. Al Masaail jilid ke-2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daarus Sunnah,
Jakarta
4. Kedudukan Hadits menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, Ustadz
Dzulqarnain bin Sanusi, An-Nashihah.com melalui blog akh Abu Maulid As
Salafy di http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-
menggerakkan-jari-telunjuk ketika-tasyahud/

Tanggapan - tanggapan
1) Abu Dawud

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, akhirnya ada juga artikel yang menjelaskan bahwa hadits tahrik
dalam tasyahud tidaklah syadz. Penjelasan ini sangatlah dibutuhkan karena selama
ini yang ana lihat adalah artikel yang menjelaskan bahwa hadits ini syadz.

Dengan ini maka para pembaca Insya Allah dapat memilih pendapat yang lebih
rajih, yaitu menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud, dan ini adalah Sunnah
Rasulullah Sallaaahu ‘Alahi wassalam yang sahih.
Allahu A’lam

Semoga sunnah ini tetap terjaga.

2) suprie

Terima Kasih semoga bermanfaat bagi para pembaca Amien…..!!!

3) abumaulid

Namun, kami merojihkan pendapat yang tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk


dalam tasyahud karena tahrik itu haditsnya syad (ganjil). Dan perlu diketahui
bahwa kami tetap menghormati pendapat yang berlainan tentang masalah ini. Kita
berlapang dada dalam masalah ini karena masing-masing memegangi dalil.
Barakallahu fiikum wa jazakallahu khairan

Wa fiikum Baarakallahu ya Akhy karim… shahih kita harus berlapang dada


dalam permasalahan ini, yang ada bagi kita adalah sebisa mungkin untuk
menelaah dalil-dalil dari setiap pendapat yang ada… adapun tentang hadits tahrik
adalah hadits syadz, telah berlalu penjelasannya diatas… silahkan pembaca
telaah.. Allahu A’lam..

4) adawiyah

assalamu’alaikum.

bagaimana dengan gerakan jarinya? apakah ada penjelasan mengenai itu?

Wa’alaikumusalam Warahmatullahi Wabarakatuh.. Hal yang cepat kita tangkap


ketika ada perintah menggerak-gerakkan jari adalah dengan menggerakkan jari ke
atas dan kebawah karena hal ini mudah untuk dilakukan.. hal ini juga sesuai
dengan struktur dari telunjuk jari.. Allahu A’lam

5) AmruL

Assalammu’alaikum…

Terima kasih atas penjelasan yg menenangkan pikiran saya, dan menghilangkan


keraguan akan permasalahan ini

6) ninetriple1

Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, terimakasih, saya menjadi tenang dgn perkara ini

7) abdi ti bandung

Assalamu’alaikum..

ana masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, mohon jawabannya akh..
1. “…ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya TIDAK
MELAMPAUI ISYARATNYA”

pertanyaannya: apakah pandangan mata kita ketika itu boleh melihat kemana saja,
asal tidak melampaui isyaratnya (telunjuk), sebagian mengharuskan melihat
telunjuk, adakah dalil yang menerangkan harus melihat telunjuk?

2. waktu sholat berjamaah, apakah gerakan isyaratnya dilakukan sampai imam


bangkit? apabila imam belum bangkit, tetapi kita sudah selesai bacaannya, apakah
tetap di gerakkan?

Syukron jazilan akh…

afwan banyak nanya, masih belajar…

Wassalam…

Wa’alaikumusalam Warahmatullahi Wabarakaatuh..

1. Sependek yang ana tahu bahwasanya perkataan “pandangannya tidak


melampaui isyaratnya” bermakna pandangan mata tidak melebihi
telunjuknya/harus melihat ke telunjuk jarinya.. hal itu sebagaimana dijelaskan
Dalam hadits riwayat Muslim dan Abu Uwanah disebutkan bahwa Nabi SAW
merenggangkan telapak tangan kiri diatas lutut kirinya. Tetapi Beliau SAW
menggenggam semua jari tangan kanannya dan mengacungkan telunjuknya ke
kiblat. Lalu mengarahkan pandangan mata ke telunjuknya. (Silahkan baca Sifat
Sholat Nabi oleh Syaikh Albani Rahimahullah)

2. Dari hadits diatas diperoleh keterangan bahwasanya menggerak-gerakkan jari


itu selama berdoa.. Allahu A’lam.

8) Abu SHilah

ana sedikit komentar ya..

kalau mau benar2 tau syadz atau tdaknya, ya semua lafadz riwayat wail bin hujr
dari masing-masing jalan dan juga hadits-hadits tentang isyarat ketika tasyahud
dari para shohabat yang lainnya harusnya ditampilkan. karena lafadznya bukan
cuma “asyaro” / isyarat saja… dan bahkan sebagian rowi mempraktekkan cara
isyaratnya dgn mengangkat telunjuk saja tanpa ada keterangan menggerak-
gerakkan…

Trus, utsman bin miqsam telah dijarh dgn jarh syadid oleh para a’immah, spt al-
imam ahmad, ibnul mubarok, ibnu ma’in, yahya bin said, an-nasai, sufyan ats-
tsauri, dll. jadi penggunaan riwayat utsman bin miqsam untuk mutaba’ah
sebaiknya ditinjau kembali.

Kemudian, asy-Syaikh al-albani menempuh jamak antara hadits2 tadi dgn cara
menggerakkannya pelaaann, seperti bergetar, tidak naik dan turun sebagaimana
yang dilakukan kebanyakan ikhwah kita yang mengamalkan hadits tahrik…
9) abu hudan

Assalamu’alaikum.

Alhamdulillah, akhirnya ana bisa mendapatkan informasi yang selama ini


terselubung, dan ini merupakan bekal untuk memperbaiki amal ibadah kita
sebagaimana kita harus bertanggung jawab kepada Allah swt, dengan sebaik dan
sesempurna amalan kita.

Barakallahu wa jazakallahu khairan atas informasi ini akh.

10)Abu Aufa

Terkait dengan komentar Akh Abu Shilah diatas maka ana sampaikan tanya jawab
ana melalui email dengan beliau…

Jawaban dan pertanyaan dari Ana buat Akh Abu Shilah :

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh..

Bagaimana Kabarnya Akhi.. ? Mudah-mudahan Rahmat dan Hidayah Allah


senantiasa menaungi antum sekeluarga.. sebelumnya ana ucapkan terima kasih
atas komentar antum dalam blog ana.. hanya saja ada beberapa hal yang ingin ana
tanyakan kepada antum terkait komentar antum tersebut..

Abu Shilah berkata :

kalau mau benar2 tau syadz atau tdaknya, ya semua lafadz riwayat wail bin hujr
dari masing-masing jalan dan juga hadits-hadits tentang isyarat ketika tasyahud
dari para shohabat yang lainnya harusnya ditampilkan. karena lafadznya bukan
cuma “asyaro” / isyarat saja… dan bahkan sebagian rowi mempraktekkan cara
isyaratnya dgn mengangkat telunjuk saja tanpa ada keterangan menggerak-
gerakkan…

Abu Aufa bertanya :

Yup… mungkin itulah kekurangan ana… ana belum mampu untuk meneliti
seluruh jalan dari hadits Waail bin Hujr, dalam artikel tersebut ana hanya
mencoba menggabungkan beberapa ulasan dari Syaikh Albani, Ustadz Abdul
Hakim, Ustadz Ibnu Saini dan Ustadz Dqulqornain Hafidhahumullah.. dimana
sependek yang ana baca dari keterangan mereka bahwasanya hadits Waail bin
Hujr dari jalan selain Zaaidah bin Qudamah hanya menjelaskan lafadz asyaro
saja… besar harapan ana jika antum berkenan menambah perbendaharaan ilmu
ana dengan menyebutkan riwayat hadits dari jalan Waail yang menyebutkan
bahwasanya lafadz asyaro tersebut dijelaskan dengan mengangkat telunjuk saja
tanpa ada keterangan menggerak-gerakkanya. (Apakah tidak sama akh lafadz
Asyaro’ dengan mengangkat telunjuk ?) Sedangkan dari jalan selain Waail
sependek yang pernah ana baca, ana hanya mendapatkan 2 hadits Malik bin
Numair Al Khuza’i dari bapaknya yakni :
Pertama :

‫عن مالك بن نمير الخزاعي عن أبيه قال رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم واضعا يده اليمنى على فخده‬
‫اليمنى في الصالة ويشير بإصبعه‬

” Dari Malik bin Numair al Khuza’i, dari bapaknya ia berkata : aku melihat Nabi
Shollallahu Alaihi Wa Sallam meletakkan tangan kanannya diatas paha kanannya
didalam sholat, dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya .” (HR Ibnu Majah
911, An Nasaa’i 1270, Ibnu Khuzaimah 715, Al Baihaqi II/131 )

Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Ibnu Majah no 752
dan beliau berkata : ” Shahih dengan yang setelahnya (Hadits Waa’il bin Hujr).
Lihat pula kitab Shahih an Nasaa’i 1270..

Kedua :

‫عن مالك بن نمير الخزاعي عن أبيه قال رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم واضعا ذراعه اليمنى على فخذه‬
‫اليمنى رافعا أصبعه السبابة قد حناها شيئا‬

” Dari Malik bin Numair al Khuza’i, dari bapaknya ia berkata : aku melihat Nabi
Shollallahu Alaihi Wa Sallam meletakkan hasta kanannya diatas paha kanannya,
sambil beliau mengangkat jari telunjuknya, dan beliaupun menundukkan jari
telunjuknya sedikit. ” ( HR Abu Dawud 991, An Nasaa’i 1273, Ibnu Khuzaimah
716 al Baihaqi II/131 dan lain-lain)

hadits inilah yang kurang lebih sama dengan yang antum isyaratkan dalam
komentar antum (akan tetapi tidak ana katakan bahwasanya hadits inilah yang
antum maksudkan) akan tetapi Syaikh Albani mengatakan bahwasanya hadits ini
dho’if.. beliau mendhoifkan hadits ini didalam kitab Dha’if Abu Dawud 991. dan
beliau menerangkan sisi kelemahannya dikitab Tamaamul Minnah…

Sedangkan untuk hadits bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam


tidak menggerak-gerakkan jari sependek yang pernah ana baca ya hanya dalam
artikel ana tersebut… itulah setahu ana tiga lafadz dalam hadits mengenai
permasalahan ini yakni :

1. Lafadz Asyaro’
2. lafadz Tahrik
3. Lafadz tidak menggerakkan-gerakkan.

JIka antum mengetahui apa yang ana belum ketahui, maka kiranya sudi
memberikan penjelasan tentang masalah ini sehingga perbendaharaan ilmu ana
menjadi bertambah.. Jazakallahu Khoiron..

Abu Shilah berkata :

Trus, utsman bin miqsam telah dijarh dgn jarh syadid oleh para a’immah, spt al-
imam ahmad, ibnul mubarok, ibnu ma’in, yahya bin said, an-nasai, sufyan ats-
tsauri, dll. jadi penggunaan riwayat utsman bin miqsam untuk mutaba’ah
sebaiknya ditinjau kembali.
Abu Aufa berkata :

Memang setahu ana terjadi ‘permasalahan’ dalam riwayat tersebut.. akan tetapi
sesungguhnya yang menjadi asas adalah hadits Waail bin Hujr dari Jalan Zaaidah
bin Qudamah… mungkin memang lebih baik ana tidak menyertakan riwayat
tersebut… Syukron atas tambahan ilmunya.

Abu Shilah berkata :

Kemudian, asy-Syaikh al-albani menempuh jamak antara hadits2 tadi dgn cara
menggerakkannya pelaaann, seperti bergetar, tidak naik dan turun sebagaimana
yang dilakukan kebanyakan ikhwah kita yang mengamalkan hadits tahrik…

Abu Aufa berkata :

Afwan akhi… setahu ana Syaikh Albani ketika membahas permasalahan ini
dikitab beliau Tamaamul Minnah (Ana baca terjemahan) bab sifat duduk tasyahud
setelah menjelaskan Dhoifnya riwayat yang menjelaskan telunjuk tidak
digerakkan beliau berkata sebagai berikut :

“Seandainya benar hadits ini mungkin dapat diamalkan dengan mempertahankan


makna lahir hadits Waail dan dilakukan kompromi, yakni sesekaii telunjuk
digerakkan dan pada kali yang lain tidak digerakkan atau dinyatakan yang
menetapkan didahulukan daripada yang meniadakan.”

Beliau mengatakan seandainya benar/shahih hadits tersebut-yakni tidak


menggerakkan jari telunjuk- sedangkan beliau menyatakan hadits tersebut tidak
shahih alias dhoif.. dalam bab tersebut ana tidak mendapatkan sebagaimana yang
antum isyaratkan yakni beliau mengkompromikannya dengan cara menggerakkan
secara pelan.. dikitab mana beliau berkata sebagaimana yang antum isyaratkan
(Atau mungkin dikitab tamaamul Minnah akan tetapi di bab yang lain?) lagi-lagi
ana minta tambahan ilmu dari antum…

Well… mungkin segini dulu akh pertanyaan dari ana.. kurang lebihnya mohon
maaf.. Jazakallahu Khoiron atas tambahan ilmu dari antum..

Akhukum

Abu Aufa..

Jawaban Abu Shilah :

Wa’alaikumussalam wa rohmatulloh wa barokatuh,

Lagi agak pilek nih…

Ana sudah mengumpulkan beberapa jalan2nya, tapi masih belum lengkap karena
ana nggak punya kitab Al-Fashl Li Washil Mudraj yg dijadikan rujukannya
Ustadz Dzulqornain. Tapi file nya nggak ada sama ana sekarang, lain kali deh…
Dari yg sudah ana kumpulkan ada beberapa lafadz lain: “rofa’a” dan “nashoba”
yg artinya “mengangkat”. Dan ada rowi hadits Wa-il ini dari jalan lainnya, seperti
al-Humaidy dan Zuhair bin Mu’awiyah (Zuhair ini lebih kuat dari pada Zaidah)
mempraktekkan cara isyarat dengan cuma mengangkat saja. kata2 “mengangkat”
ini tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil. Ada juga hadits dari shohabat
lain seperti Ibnu Umar yg lafadznya cuma “rofa’a” tanpa tahrik, tapi ana cuma
lihat sekilas di Mu’jam al-Kabir ath-Thobaroni jadi belum sempat nge-cek shohih
ndak-nya.

Dari situ sebagian ahlul ilmi mengatakan sisi syadznya lafadz “yuharrikuha”
hadits Zaidah, dan juga Zaidah bukanlah hafidz.

Adapun hadits yg mengatakan “telunjuk dibengkokkan” dan “tidak digerak2an”


setau ana juga dho’if.

Kemudian ttg cara tahrik, ana pernah mendengar (bukan membaca) penjelasan
asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur atau Fatawa Jeddah (ana
agak lupa soalnya sudah agak lama, atau mungkin dikeduanya?) ketika beliau
ditanya tentang bagaimana cara tahrik ketika tasyahud. Beliau menjawab yg
intinya : “hayyin layyin (pelan2), la bi ar-rofa’ wa la bi al-khofdh (tidak naik dan
tidak turun).” [aw kama qola]

Disini beliau tidak sedang menjamak hadits Wail dengan hadits yg beliau
dho’ifkan, tapi beliau sedang menjamak antara hadits Wail itu sendiri dan juga
dengan hadits lain yang mengatakan bahwa jari telunjuk dihadapkan ke kiblat
(hadits yg ini ada di sifat sholat Nabi). Karena jika digerak2an naik turun berarti
menyimpang dari arah kiblat, yakni bolak-balik menghadap ke qiblat dan ke
tanah.

Dan juga ana pernah lihat VCD dari praktek sifat sholat dari salah serang murid
asy-Syaikh al-Albani, yakni Muhammad Ibrohim Syaqroh (sekarang beliau
menyimpang, waffaqohulloh). disana beliau menggerak2annya pelan-pelan.

Walaupun ada juga ulama yg tahriknya naik turun, seperti yg ana lihat dalam
prakteknya asy-Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili. wal hasil masalahnya khilaf sejak
dulu.

Wallohu A’lam. Semoga bermanfaat.

Abu SHilah

Jawaban dan Pertanyaan Abu Aufa:

Dari yg sudah ana kumpulkan ada beberapa lafadz lain: “rofa’a” dan “nashoba”
yg artinya “mengangkat”. Dan ada rowi hadits Wa-il ini dari jalan lainnya, seperti
al-Humaidy dan Zuhair bin Mu’awiyah (Zuhair ini lebih kuat dari pada Zaidah)
mempraktekkan cara isyarat dengan cuma mengangkat saja. kata2 “mengangkat”
ini tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
‫‪seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil. Ada juga hadits dari shohabat‬‬
‫‪lain seperti Ibnu Umar yg lafadznya cuma “rofa’a” tanpa tahrik, tapi ana cuma‬‬
‫‪lihat sekilas di Mu’jam al-Kabir ath-Thobaroni jadi belum sempat nge-cek shohih‬‬
‫‪ndak-nya.‬‬

‫‪Ana coba lihat riwayat hadits Waa’il dari jalan Zuhair bin Mu’awiyah‬‬
‫‪sebagaimana yang antum isyaratkan, ana temukan hadits berikut :‬‬

‫‪ -1‬حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا أسود بن عامر ثنا زهير بن معاوية عن عاصم بن كليب ان‬
‫أباه أخبره ان وائل بن حجر أخبره قال قلت ألنظرن إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كيف‬
‫يصلي فقام فرفع يديه حتى حاذتا أذنيه ثم أخذ شماله بيمينه ثم قال حين أراد ان يركع رفع‬
‫يديه حتى حاذتا أذنيه ثم وضع يديه على ركبتيه ثم رفع فرفع يديه مثل ذلك ثم سجد فوضع‬
‫يديه حذاء أذنيه ثم قعد فافترش‪ Q‬رجله اليسرى ووضع‪ Q‬كفه اليسرى على ركبته اليسرى فخذه‬
‫في صفة عاصم ثم وضع حد مرفقه األيمن على فخذه اليمنى وقبض ثالثا وحلق‪ Q‬حلقة ثم‬
‫رأيته يقول هكذا وأشار‪ Q‬زهير بسبابته األولى وقبض أصبعين وحلق إلبهام على السبابة‬
‫الثانية قال زهير قال عاصم وحدثني‪ Q‬عبد الجبار عن بعض أهله ان وائل قال أتيته مرة أخرى‬
‫وعلى الناس ثياب فيها البرانس وفيها‪ Q‬األكسية فرأيتهم‪ Q‬يقولون هكذا تحت الثياب‬
‫]‪[HR Imam Ahmad dalam Musnadnya‬‬

‫‪2-‬وحدثنا علي بن عبد العزيز ثنا أبو غسان ثنا زهير وحدثنا‪ Q‬أحمد بن زهير التستري‪ Q‬ثنا‬
‫معمر بن سهل ثنا محمد بن إسماعيل الكوفي عن سفيان الثوري‪ Q‬عن موسى بن أبي عائشة‬
‫عن عاصم بن كليب (ح) وحدثنا عبدان ثنا معمر ثنا محمد بن إسماعيل عن خالد الصفار‬
‫عن عاصم كلهم عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر رضي هللا عنه أن النبي‬
‫صلى هللا عليه وسلم‪ Q‬لما تشهد أشار بسبابته وقال شعبة بمسبحته…‪..‬‬
‫]‪[HR Imam Thobrani dalam Ad Du'a‬‬

‫‪Hanya dua hadits tersebut yang ana temukan [ jika ada yang lain mohon‬‬
‫‪disampaikan]..‬‬

‫‪Dari dua hadits tersebut, sependek yang ana tangkap bahwasanya riwayat dari‬‬
‫‪ . Akan tetapi ana‬أشار ‪Zuhair bin Muawiyah-pun hanya memakai lafadz‬‬
‫‪ yakni :‬رضي هللا عنهم ‪ itu dalam riwayat Ibnu Umar‬رفع ‪menemukan lafadz‬‬

‫حدثنا علي بن عبد العزيز ثنا حجاج بن المنهال ثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن نافع عن ابن‬
‫عمر رضي‪ Q‬هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم لما تشهد رفع إصبعه التي تلي اإلبهام‬
‫فأشار‪ Q‬بها‬
‫‪Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan dari ana :‬‬

‫]?[ ‪1. Bagaimana Status hadits Ibnu Umar diatas [?] Shahih atau Dhoif‬‬

‫‪2. Taruhlah hadits tersebut Shahih. Coba antum bandingkan dengan hadits‬‬
‫‪Zaaidah bin Qudamah berikut :‬‬
‫ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها ثم جئت بعد ذلك في‬
‫زمان فيه برد فرأيت الناس عليهم الثياب تحرك أيديهم من تحت الثياب من البرد‬

Cermati kalimat ” Q‫ ” رفع إصبعه فرأيته يحركها‬dan bandingkan dengan lafadz Ibnu
Umar ” ‫ ” رفع إصبعه التي تلي اإلبهام فأشار بها‬Kalau ana lihat susunan kedua
kalimat diatas adalah selaras. Dalam riwayat Ibnu Umar secara ringkas diartikan ”
Mengangkat telunjuk dan berisyarat dengannya.” Sedangkan dalam jalan Zaaidah
bin Qudamah secara ringkas diartikan ” Mengangkat jari (telunjuk) dan
menggerak-gerakkannya” Sehingga kesimpulannya makna Asyaro dalam riwayat
Ibnu Umar ditafsirkan oleh riwayat Zaaidah yakni Menggerak-gerakkan. Atau
bisa juga dikatakan bahwa lafadz Q‫ يحركها‬adalah keterangan tambahan dari ‫رفع‬
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Zaaidah bin Qudamah. Atau kalau dalam
ilmu Mustholahul Hadits dikenal dengan Istilah “Ziyadatuts Tsiqoh” sebagaimana
pernah ana baca penjelasan tersebut dalam kitab Masaail kepunyaan Ustadz Abdul
Hakim Hafidhahullah. Sehingga kalau dikatakan ” kata2 “mengangkat” ini
tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil” maka akan dijawab bahwasanya
Riwayat Zaaidah bin Qudamahlah yang menjelaskan bahwasanya telunjuk itu
digerakkan setelah telunjuk itu diangkat (rofa’a) sebagai keterangan tambahan
dari hadits Ibnu Umar diatas.. Allahu A’lam

Kemudian ttg cara tahrik, ana pernah mendengar (bukan membaca) penjelasan
asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur atau Fatawa Jeddah (ana
agak lupa soalnya sudah agak lama, atau mungkin dikeduanya?) ketika beliau
ditanya tentang bagaimana cara tahrik ketika tasyahud. Beliau menjawab yg
intinya : “hayyin layyin (pelan2), la bi ar-rofa’ wa la bi al-khofdh (tidak naik dan
tidak turun).” [aw kama qola]

Tentang cara menggerakkan, sependek yang pernah ana baca atau penjelasan yang
sampai kepada ana bahwasanya menggerak-gerakkan jari itu tidak terlalu pelan
ataupun terlalu cepat karena hadits Zaaidah tersebut datang tanpa keterangan cara
menggerakkan jari. Sehingga kalau cara menggerakkan jarinya dengan “pelan”
atau “cepat” tentu akan dijelaskan dalam hadits.. [Ana pernah dengar
penjelasannya dari Ustadz Muhtarom] begitupun apakah jari digerakkan keatas-
bawah atau kekanan-kiri, maka yang lebih mudah dan sesuai dengan struktur jari
adalah ke atas-bawah.. Allahu A’lam.

Dan juga ana pernah lihat VCD dari praktek sifat sholat dari salah serang murid
asy-Syaikh al-Albani, yakni Muhammad Ibrohim Syaqroh (sekarang beliau
menyimpang, waffaqohulloh). disana beliau menggerak2annya pelan-pelan.

Walaupun ada juga ulama yg tahriknya naik turun, seperti yg ana lihat dalam
prakteknya asy-Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili. wal hasil masalahnya khilaf sejak
dulu.

Antum benar bahwasanya masalah ini adalah masalah khilaf, bahkan termasuk
khilaf yang mu’tabar. Ana tidak mengingkarinya. Akan tetapi tulisan dalam blog
ana tersebut merupakan pilihan ana dalam masalah khilaf ini. Itupun juga
berdasarkan keterangan yang pernah ana dengar atau baca dari Ulama dan Ahli
Ilmu. Ana hanya mempunyai andil dalam mengumpulkan tulisan-tulisan tentang
masalah ini. Dan dalam masalah ini kelihatannya ana berada dibelakang barisan
Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili Hafidhahullah. Allahu A’lam..

Akhukum

Abu Aufa Ath Thuwailibi

11)antosalafy

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ana pernah dengar pula Al-Ustadz Dzulqarnain menyebutkan bahwa Syaikh Al-
Albany rahimahullah menganggap syad hadits yang diriwayatkan Zaidah bin
Qudamah rahimahullah yang (hanya) menyelisihi 2 rawi yang lebih tsiqoh
darinya. Tapi sayangnya ana tidak tahu apakah di Kitab Silsilah Hadits Shahih
atau di Silsilah Hadits Dhoif. Insya Allah kalau ana ketemu, ana sampaikan. Lalu,
nanti pertanyaannya adalah mengapa Syaikh Al-Albany rahimahullah tidak
menganggap syad hadits yang diriwayatkan oleh Zaidah Bin Qudamah yang
menyelisihi 22 orang rawi tsiqoh dan lebih alim dari beliau?

Perbandingannya adalah: 2 orang saja yg menyelisihi Zaidah Bin Qudamah


rahimahullah disyadkan oleh beliau (dalam hadits lain), tapi ada 22 orang di sana
yg menyelisihi Zaidah Bin Qudamah rahimahullah tidak dianggap syad oleh
Syaikh Al-Albany rahimahullah. Wallahu a’lam.

Wa’alaikumusalam Warahmatullahi Wabarakaatuh

Tafadhol antum sampaikan penjelasan dari Syaikh Albani Rahimahullah… hanya


saja kalau kita simak penjelasan Ustadz Dzulqarnain dalam blog antum
:http://antosalafy.wordpress.com/2007/08/02/kedudukan-hadits-menggerakkan-
jari-telunjuk-ketika-tasyahud/

Bahwasanya beliau mengakui adanya 2 makna dalam kata Isyarat yakni


digerakkan dan tidak digerakkan.. berikut ana cuplikan :

Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang
artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya
adalah bahwa kata “berIsyarat” itu mempunyai dua kemungkinan:

Pertama: Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat


kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai
dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.

Kedua: Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam


maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana
letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan
tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukh ory yang berada diantara sekian
banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa
dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah
berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan.

Dari penjelasan beliau ini sebenarnya bisa diketahui bahwasanya Hadits Zaaidah
bin Qudamah itu tidak bertentangan dengan perawi lain. karena mengerak-
gerakkan (tahrik) itu lebih khusus daripada lafadz isyarat.. Atau dalam kata lain
bahwasanya hadits Zaaidah bin Qudamah menafsirkan makna isyarat yaitu
tahrik… Atau sebagai tambahan penjelasan bagi lafadz isyarat yang dalam istilah
mustholahul hadits disebut sebagai ziyadatuts tsiqoh sebagaimana ana pernah baca
keterangannya dari Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat.. Allahu A’lam

12)Abu Muhammad Herman

ُ‫اَل َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


Afwan, mungkin video ini bisa bermanfaat?

http://tinyurl.com/d9×645

TRANSKRIP :

Tahrîk al-Ishba’ (menggerakkan jari telunjuk) sebagaimana yang ditunjukkan oleh


guru kami al-Albânî rahimahullâhu. Saya pernah sholat di samping beliau pada
suatu hari, lalu aku menggerakkan jari (telunjukku) seperti ini. Saya
melakukannya seperti ini (yaitu menaikturunkan jari telunjuk. Lihat video pada
detik 0:18-0:20, pen). Lalu, setelah kami selesai sholat, beliau (Syaikh al-Albânî)
berkata kepadaku :

‫هل قرأت شيئا يوفق هذه الحركة؟‬


“Apakah Anda pernah membaca sesuatu yang mendukung gerakan seperti ini?”

Subhânallôh. Saya benar-benar terkesan dengan adab (etika) syaikh


rahimahullôhu terhadapku. Beliau tidak dengan serta merta mengkritik diriku atau
perkataanku, (dengan mengatakan) “apa yang kamu lakukan?”… tidak!!! Namun
beliau bertanya kepadaku, apakah saya memiliki sandaran/dasar di dalam
melakukan gerakan seperti ini (yaitu naik dan turun).

Saya mengatakan, “tidak, hanya saja saya pernah membacanya di dalam buku
Anda, Shifat Sholâh an-Nabî, bahwa Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam biasa
menggerakkan (jari telunjuknya), maka saya pun turut menggerakkan (jari
telunjukku).” Beliau (Syaikh al-Albânî) mengatakan : “Tidak, hal ini (gerakan
yang Anda lakukan) namanya bukanlah tahrîk (menggerakkan jari telunjuk)
namun namanya adalah al-Khafdh war Raf’u (mengangkat dan menurunkan jari
telunjuk).” Namanya apa? Namanya adalah al-Khafdh war Raf’u.

Lantas saya bertanya, “bagaimana cara saya menggerakkannya wahai guru


kami?”. Beliau menjawab “beginilah caranya”, yaitu beliau meletakkan jarinya di
atas lutut dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah kiblat, seperti ini (lihat menit
1:04, pen) lalu beliau menggerakkan jari (telunjuknya) secara kuat di tempatnya
(harokatan syadidatan fî makânihi). Bukan menggerakkannya naik turun sehingga
berpaling dari kiblat. Namun, (lakukanlah) seperti ini (lihat menit ke 1:11-1:14),
jari telunjuk mengarah ke kiblat lalu gerakkan secara kuat seperti ini (lihat menit
ke 1:14-1:17).

Beginilah sifat tahrîk (menggerakkan) jari telunjuk sebagaimana yang pernah saya
lihat dari guru kami, al-Albânî rahmatullâhu ‘alaihi.

Anda mungkin juga menyukai