————————————————————
Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian
ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika
tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –
umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu. Yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari
telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam ? apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut :
Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits
Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin
Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
َ َب ق
ال ٍ ص ُم بْنُ ُكلَ ْي ِ ال َح َّدثَنَا عَا َ َك ع َْن زَائِ َدةَ ق ِ د بْنُ نَصْ ٍر قَا َل أَ ْنبَأَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ْال ُمبَا َرQُ أَ ْخبَ َرنَا س َُو ْي
صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َ ِ ُول هَّللا ِ صاَل ِة َرس َ ت أَل َ ْنظُ َر َّن إِلَى ُ َح َّدثَنِي أَبِي أَ َّن َوائِ َل ْبنَ حُجْ ٍر أَ ْخبَ َرهُ قَا َل قُ ْل
ض َع يَ َدهُ ْاليُ ْمنَى ُ
َ ع يَ َد ْي ِه َحتَّى َحا َذتَا بِأ ُذنَ ْي ِه ثُ َّم َوQَ َت إِلَ ْي ِه فَقَا َم فَ َكب ََّر َو َرف Qُ ْصلِّي فَنَظَر َ َُو َسلَّ َم َك ْيفَ ي
ع يَ َد ْي ِه َعلَىQَ ضَ ال َو َو َ ََّاع ِد فَلَ َّما أَ َرا َد أَ ْن يَرْ َك َع َرفَ َع يَ َد ْي ِه ِم ْثلَهَا ق ِ ْغ َوالس ِ َعلَى َكفِّ ِه ْاليُس َْرى َوالرُّ س
ُش ِرجْ لَه Qَ ُر ْكبَتَ ْي ِه ثُ َّم لَ َّما َرفَ َع َر ْأ َسهُ َرفَ َع يَ َد ْي ِه ِم ْثلَهَا ثُ َّم َس َج َد فَ َج َع َل َكفَّ ْي ِه بِ ِح َذا ِء أ ُذنَ ْي ِه ثُ َّم قَ َع َد َوا ْفتَ َر
ُ
َعلَى فَ ِخ ِذ ِه َو ُر ْكبَتِ ِه ْاليُ ْس َرى َو َج َع َل َح َّد ِمرْ فَقِ ِه اأْل َ ْي َم ِن َعلَى فَ ِخ ِذ ِهQض َع َكفَّهُ ْاليُ ْس َرى َ َو َوQْاليُس َْرى
* ق َح ْلقَةً ثُ َّم َرفَ َع إِصْ بَ َعهُ فَ َرأَ ْيتُهُ ي َُحرِّ ُكهَا يَ ْدعُو بِهَا َ َّصابِ ِع ِه َو َحل َ َض ْاثنَتَ ْي ِن ِم ْن أ َ َْاليُ ْمنَى ثُ َّم قَب
Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah
mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr
–semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati):
Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’
(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin,
maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari
dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua
tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian
mereka karena udara sangat dingin)’.”
1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya
al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27
no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al
Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish
shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy
syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al
Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni
kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa
annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib
bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi
ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah
bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il
bin Hujr.
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan
Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata,
‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam
Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)
Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin
Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari
‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari
ayahnya dari Umar bin al Khaththab.
Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam,
“…dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan
dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga
dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi
wa sallam hal. 158-159.]
Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :
Kesimpulan : Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits
Shahih sebagaimana keterangan diatas.
رأى النبي صلى هللا عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من
في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنىQ رفع يديه وخوى في ركوعه وخوىQالركوع
يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابةQعلى اليسرى ووضع
“Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir ……
dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di
atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR.
Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)
Maka dijawab : Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus
melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar
tentang definisi syadz.
“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang
diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan
perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul
hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus
diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan
perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka
apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.
فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه، إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه
وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره، كان ما انفرد به شاذا مردودأ، Qبالحفظ أو أضبط
Q فإن كان عدال حافظا موثوقأ، في هذا الراوي إلمنفردQ فينظر، وإنما رواه هو ولم يروه غيره
بحفظهQ وإن لم يكن ممن يوثق، ولم يقدح االنفراد به، قبل ما انفرد به، وإتقانه وضبطه
ثم هو بعد، له عن حيز الصحيحQ له مزحزحاQ كان انفراده خارما، وإتقانه لذلك الذي انفرد به
Q فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ، ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال
وإن كان، Q استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف، المقبول تفردهQالضابط
” . . بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر
“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat
tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat
hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat
tunggalnyatidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain,
tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu
diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika
yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya
tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus
dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat
yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh
dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka
kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits
dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz
yang munkar (teringkari)”. —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–
Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus
kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz
atau tidak:
1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata,
“(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang
tsiqah lagi tsabit/kuat)”
2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah
bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu
pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak
dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan
keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”
Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk
menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini,
khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari
bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak
sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset
Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)
Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang
artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan
gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang
terjadibukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan
lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah
al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,
“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat
dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.
Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk
dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang
kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal
Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau punmengisyaratkan
kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)
حدثنا عبد هللا بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين
Q في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلىQأنها قالت صلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
قال إنما جعل اإلمام ليؤتم به فإذا ركعQ قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرفQوراءه قوم
فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut
bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan
tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat
agar shalat dalam keadaan duduk.
Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari ( ) ال يحركها,
setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu
UmarRadhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :
حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجالن عن عامر بن عبد هللا عن عبد هللا
بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا وال يحركها قال
بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى هللا عليه
Qوسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى هللا عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan
dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan,
”Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah
mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) :
Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti
itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu
Dawud no 989)
Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi,
berikut haditsnya :
د هللا بنQQامر بن عبQQد بن عجالن عن عQQاد عن محمQQبرني زيQQريج أخQQال بن جQQاج قQQدثنا حجQQح
بعه إذا دعاوالQQير بأصQQان يشQQلم كQQه وسQQلى هللا عليQQبي صQQ أن النQالزبير عن عبد هللا بن الزبير
Qيحركها
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132 :
امر بنQQد بن عجالن عن عQQاد عن محمQQبرني زيQQأخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخ
بعه إذاQQير بأصQQان يشQQلم كQQه وسQعبد هللا بن الزبير عن عبد هللا أنه ذكر أن النبي صلى هللا علي
Qدعا ال يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah
bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
حجاجHajjaj –
بن جريجIbnu Juraij –
زيادZiyad –
Dengan Lafadz : Qأن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا وال يحركها
”Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan
tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah
hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits.
Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia
meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian
hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang
tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya
riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa
riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati
tambahan Q ال يحركهاkecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-
206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)
Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam :
Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad
dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak
memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di
riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar
di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang
mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan
lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah
memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang
mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits
mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang
menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin
Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai
lafadz )عن, dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Maka dijawab : ” betul” untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
عن يحيى بن سعيد عن بن عجالن قال حدثني عامر بن عبد هللا بن الزبير عن أبيه قال كان
رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده
وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارتهQاليسرى على فخذه اليسرى
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku
Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata ,
‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud
ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas
paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan
pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu
Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Jalan Kedua :
حجاجHajjaj –
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى هللا عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى هللا
على فخذه اليسرىQ“ عليه وسلم بيده اليسرىSesungguhnya ia telah melihat Nabi
Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan
kirinya di atas paha kirinya.’ “
Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال. Sudah maklum bahwsanya Ibnu
Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan
tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i,
Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu
Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثنيmaknanya
ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia
menggunakan lafadz أخبرنيmenunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya.
Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قالmaka disamakan dengan angin yakni
tidak diterima riwayatnya
Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair
dengan tambahan lafadz ال يحركهاadalah hadits dhoif. Allahu A’lam
حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن
مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده
بإصبعه وال يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كانQ على ركبته اليسرى ويشيرQاليسرى
رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يفعله
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan
kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut
kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan
beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau
berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”.
( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi
Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata,
sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi
bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-
Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar.
Wallahu A’lam.
Kesimpulan : Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits ال
يحركهاadalah Dhoif. Allahu A’lam.
Pertanyaan : “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits ال
يحركهاseperti Imam Nawawi dalam majmu’.”
Maka dijawab : Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan
yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih
(walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka
hadits Q ال يحركهاadalah Nafi’ sedangkan hadits Qيحركهاadalah Musbit, sedangkan
sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah ” المثبت مقدم على النافيYang
menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak
ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :
كان يُشير بأصبعهQوأما حديث أبي داود ع َْن عبد هّللا بن الزبير أن النبي صلى هللا عليه وسلم
وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في،إذا دعا وال يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر
كان رسو ُل هّللا صلى هللا عليه وسلمإذا قَ َع َد: بل قال، ولم يذكر هذه الزيادة،((صحيحه))عنه
يَدَه اليُسرىQ ووضع، وفرش قدمه اليُ ْمنى، جعل قد َمه اليسرى بين فخذه وساقه،في الصالة
. وأشار بأصبعه، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى،على رُكبته اليسرى
وهو حديث، مق َّدمQوهو،ً وحديث وائل بن حُجر مثبتا،ً لكان نافيا، لو كان في الصالةQًوأيضا
.)) ذكره أبو حاتم في ((صحيحه،صحيح
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu
Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan
tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu
diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut
hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia
tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah
Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia
jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki
kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan
tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari
(telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak
menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya
sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin
Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit
didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu
Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.
Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih
dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah
bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di
Majmu’ “
Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170,
beliau mengatakan :
أبي داود ”ولوQوحديث أنه كا ن اليحركهاال يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف
كما هو معروف عند العلماءQ نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافيQثبت فهو
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah
tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di
Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan),
sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan
adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas
nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.
Maraji’ :
Tanggapan - tanggapan
1) Abu Dawud
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, akhirnya ada juga artikel yang menjelaskan bahwa hadits tahrik
dalam tasyahud tidaklah syadz. Penjelasan ini sangatlah dibutuhkan karena selama
ini yang ana lihat adalah artikel yang menjelaskan bahwa hadits ini syadz.
Dengan ini maka para pembaca Insya Allah dapat memilih pendapat yang lebih
rajih, yaitu menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud, dan ini adalah Sunnah
Rasulullah Sallaaahu ‘Alahi wassalam yang sahih.
Allahu A’lam
2) suprie
3) abumaulid
4) adawiyah
assalamu’alaikum.
5) AmruL
Assalammu’alaikum…
6) ninetriple1
7) abdi ti bandung
Assalamu’alaikum..
ana masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, mohon jawabannya akh..
1. “…ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya TIDAK
MELAMPAUI ISYARATNYA”
pertanyaannya: apakah pandangan mata kita ketika itu boleh melihat kemana saja,
asal tidak melampaui isyaratnya (telunjuk), sebagian mengharuskan melihat
telunjuk, adakah dalil yang menerangkan harus melihat telunjuk?
Wassalam…
8) Abu SHilah
kalau mau benar2 tau syadz atau tdaknya, ya semua lafadz riwayat wail bin hujr
dari masing-masing jalan dan juga hadits-hadits tentang isyarat ketika tasyahud
dari para shohabat yang lainnya harusnya ditampilkan. karena lafadznya bukan
cuma “asyaro” / isyarat saja… dan bahkan sebagian rowi mempraktekkan cara
isyaratnya dgn mengangkat telunjuk saja tanpa ada keterangan menggerak-
gerakkan…
Trus, utsman bin miqsam telah dijarh dgn jarh syadid oleh para a’immah, spt al-
imam ahmad, ibnul mubarok, ibnu ma’in, yahya bin said, an-nasai, sufyan ats-
tsauri, dll. jadi penggunaan riwayat utsman bin miqsam untuk mutaba’ah
sebaiknya ditinjau kembali.
Kemudian, asy-Syaikh al-albani menempuh jamak antara hadits2 tadi dgn cara
menggerakkannya pelaaann, seperti bergetar, tidak naik dan turun sebagaimana
yang dilakukan kebanyakan ikhwah kita yang mengamalkan hadits tahrik…
9) abu hudan
Assalamu’alaikum.
10)Abu Aufa
Terkait dengan komentar Akh Abu Shilah diatas maka ana sampaikan tanya jawab
ana melalui email dengan beliau…
kalau mau benar2 tau syadz atau tdaknya, ya semua lafadz riwayat wail bin hujr
dari masing-masing jalan dan juga hadits-hadits tentang isyarat ketika tasyahud
dari para shohabat yang lainnya harusnya ditampilkan. karena lafadznya bukan
cuma “asyaro” / isyarat saja… dan bahkan sebagian rowi mempraktekkan cara
isyaratnya dgn mengangkat telunjuk saja tanpa ada keterangan menggerak-
gerakkan…
Yup… mungkin itulah kekurangan ana… ana belum mampu untuk meneliti
seluruh jalan dari hadits Waail bin Hujr, dalam artikel tersebut ana hanya
mencoba menggabungkan beberapa ulasan dari Syaikh Albani, Ustadz Abdul
Hakim, Ustadz Ibnu Saini dan Ustadz Dqulqornain Hafidhahumullah.. dimana
sependek yang ana baca dari keterangan mereka bahwasanya hadits Waail bin
Hujr dari jalan selain Zaaidah bin Qudamah hanya menjelaskan lafadz asyaro
saja… besar harapan ana jika antum berkenan menambah perbendaharaan ilmu
ana dengan menyebutkan riwayat hadits dari jalan Waail yang menyebutkan
bahwasanya lafadz asyaro tersebut dijelaskan dengan mengangkat telunjuk saja
tanpa ada keterangan menggerak-gerakkanya. (Apakah tidak sama akh lafadz
Asyaro’ dengan mengangkat telunjuk ?) Sedangkan dari jalan selain Waail
sependek yang pernah ana baca, ana hanya mendapatkan 2 hadits Malik bin
Numair Al Khuza’i dari bapaknya yakni :
Pertama :
عن مالك بن نمير الخزاعي عن أبيه قال رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم واضعا يده اليمنى على فخده
اليمنى في الصالة ويشير بإصبعه
” Dari Malik bin Numair al Khuza’i, dari bapaknya ia berkata : aku melihat Nabi
Shollallahu Alaihi Wa Sallam meletakkan tangan kanannya diatas paha kanannya
didalam sholat, dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya .” (HR Ibnu Majah
911, An Nasaa’i 1270, Ibnu Khuzaimah 715, Al Baihaqi II/131 )
Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Ibnu Majah no 752
dan beliau berkata : ” Shahih dengan yang setelahnya (Hadits Waa’il bin Hujr).
Lihat pula kitab Shahih an Nasaa’i 1270..
Kedua :
عن مالك بن نمير الخزاعي عن أبيه قال رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم واضعا ذراعه اليمنى على فخذه
اليمنى رافعا أصبعه السبابة قد حناها شيئا
” Dari Malik bin Numair al Khuza’i, dari bapaknya ia berkata : aku melihat Nabi
Shollallahu Alaihi Wa Sallam meletakkan hasta kanannya diatas paha kanannya,
sambil beliau mengangkat jari telunjuknya, dan beliaupun menundukkan jari
telunjuknya sedikit. ” ( HR Abu Dawud 991, An Nasaa’i 1273, Ibnu Khuzaimah
716 al Baihaqi II/131 dan lain-lain)
hadits inilah yang kurang lebih sama dengan yang antum isyaratkan dalam
komentar antum (akan tetapi tidak ana katakan bahwasanya hadits inilah yang
antum maksudkan) akan tetapi Syaikh Albani mengatakan bahwasanya hadits ini
dho’if.. beliau mendhoifkan hadits ini didalam kitab Dha’if Abu Dawud 991. dan
beliau menerangkan sisi kelemahannya dikitab Tamaamul Minnah…
1. Lafadz Asyaro’
2. lafadz Tahrik
3. Lafadz tidak menggerakkan-gerakkan.
JIka antum mengetahui apa yang ana belum ketahui, maka kiranya sudi
memberikan penjelasan tentang masalah ini sehingga perbendaharaan ilmu ana
menjadi bertambah.. Jazakallahu Khoiron..
Trus, utsman bin miqsam telah dijarh dgn jarh syadid oleh para a’immah, spt al-
imam ahmad, ibnul mubarok, ibnu ma’in, yahya bin said, an-nasai, sufyan ats-
tsauri, dll. jadi penggunaan riwayat utsman bin miqsam untuk mutaba’ah
sebaiknya ditinjau kembali.
Abu Aufa berkata :
Memang setahu ana terjadi ‘permasalahan’ dalam riwayat tersebut.. akan tetapi
sesungguhnya yang menjadi asas adalah hadits Waail bin Hujr dari Jalan Zaaidah
bin Qudamah… mungkin memang lebih baik ana tidak menyertakan riwayat
tersebut… Syukron atas tambahan ilmunya.
Kemudian, asy-Syaikh al-albani menempuh jamak antara hadits2 tadi dgn cara
menggerakkannya pelaaann, seperti bergetar, tidak naik dan turun sebagaimana
yang dilakukan kebanyakan ikhwah kita yang mengamalkan hadits tahrik…
Afwan akhi… setahu ana Syaikh Albani ketika membahas permasalahan ini
dikitab beliau Tamaamul Minnah (Ana baca terjemahan) bab sifat duduk tasyahud
setelah menjelaskan Dhoifnya riwayat yang menjelaskan telunjuk tidak
digerakkan beliau berkata sebagai berikut :
Well… mungkin segini dulu akh pertanyaan dari ana.. kurang lebihnya mohon
maaf.. Jazakallahu Khoiron atas tambahan ilmu dari antum..
Akhukum
Abu Aufa..
Ana sudah mengumpulkan beberapa jalan2nya, tapi masih belum lengkap karena
ana nggak punya kitab Al-Fashl Li Washil Mudraj yg dijadikan rujukannya
Ustadz Dzulqornain. Tapi file nya nggak ada sama ana sekarang, lain kali deh…
Dari yg sudah ana kumpulkan ada beberapa lafadz lain: “rofa’a” dan “nashoba”
yg artinya “mengangkat”. Dan ada rowi hadits Wa-il ini dari jalan lainnya, seperti
al-Humaidy dan Zuhair bin Mu’awiyah (Zuhair ini lebih kuat dari pada Zaidah)
mempraktekkan cara isyarat dengan cuma mengangkat saja. kata2 “mengangkat”
ini tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil. Ada juga hadits dari shohabat
lain seperti Ibnu Umar yg lafadznya cuma “rofa’a” tanpa tahrik, tapi ana cuma
lihat sekilas di Mu’jam al-Kabir ath-Thobaroni jadi belum sempat nge-cek shohih
ndak-nya.
Dari situ sebagian ahlul ilmi mengatakan sisi syadznya lafadz “yuharrikuha”
hadits Zaidah, dan juga Zaidah bukanlah hafidz.
Kemudian ttg cara tahrik, ana pernah mendengar (bukan membaca) penjelasan
asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur atau Fatawa Jeddah (ana
agak lupa soalnya sudah agak lama, atau mungkin dikeduanya?) ketika beliau
ditanya tentang bagaimana cara tahrik ketika tasyahud. Beliau menjawab yg
intinya : “hayyin layyin (pelan2), la bi ar-rofa’ wa la bi al-khofdh (tidak naik dan
tidak turun).” [aw kama qola]
Disini beliau tidak sedang menjamak hadits Wail dengan hadits yg beliau
dho’ifkan, tapi beliau sedang menjamak antara hadits Wail itu sendiri dan juga
dengan hadits lain yang mengatakan bahwa jari telunjuk dihadapkan ke kiblat
(hadits yg ini ada di sifat sholat Nabi). Karena jika digerak2an naik turun berarti
menyimpang dari arah kiblat, yakni bolak-balik menghadap ke qiblat dan ke
tanah.
Dan juga ana pernah lihat VCD dari praktek sifat sholat dari salah serang murid
asy-Syaikh al-Albani, yakni Muhammad Ibrohim Syaqroh (sekarang beliau
menyimpang, waffaqohulloh). disana beliau menggerak2annya pelan-pelan.
Walaupun ada juga ulama yg tahriknya naik turun, seperti yg ana lihat dalam
prakteknya asy-Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili. wal hasil masalahnya khilaf sejak
dulu.
Abu SHilah
Dari yg sudah ana kumpulkan ada beberapa lafadz lain: “rofa’a” dan “nashoba”
yg artinya “mengangkat”. Dan ada rowi hadits Wa-il ini dari jalan lainnya, seperti
al-Humaidy dan Zuhair bin Mu’awiyah (Zuhair ini lebih kuat dari pada Zaidah)
mempraktekkan cara isyarat dengan cuma mengangkat saja. kata2 “mengangkat”
ini tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil. Ada juga hadits dari shohabat
lain seperti Ibnu Umar yg lafadznya cuma “rofa’a” tanpa tahrik, tapi ana cuma
lihat sekilas di Mu’jam al-Kabir ath-Thobaroni jadi belum sempat nge-cek shohih
ndak-nya.
Ana coba lihat riwayat hadits Waa’il dari jalan Zuhair bin Mu’awiyah
sebagaimana yang antum isyaratkan, ana temukan hadits berikut :
-1حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا أسود بن عامر ثنا زهير بن معاوية عن عاصم بن كليب ان
أباه أخبره ان وائل بن حجر أخبره قال قلت ألنظرن إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كيف
يصلي فقام فرفع يديه حتى حاذتا أذنيه ثم أخذ شماله بيمينه ثم قال حين أراد ان يركع رفع
يديه حتى حاذتا أذنيه ثم وضع يديه على ركبتيه ثم رفع فرفع يديه مثل ذلك ثم سجد فوضع
يديه حذاء أذنيه ثم قعد فافترش Qرجله اليسرى ووضع Qكفه اليسرى على ركبته اليسرى فخذه
في صفة عاصم ثم وضع حد مرفقه األيمن على فخذه اليمنى وقبض ثالثا وحلق Qحلقة ثم
رأيته يقول هكذا وأشار Qزهير بسبابته األولى وقبض أصبعين وحلق إلبهام على السبابة
الثانية قال زهير قال عاصم وحدثني Qعبد الجبار عن بعض أهله ان وائل قال أتيته مرة أخرى
وعلى الناس ثياب فيها البرانس وفيها Qاألكسية فرأيتهم Qيقولون هكذا تحت الثياب
][HR Imam Ahmad dalam Musnadnya
2-وحدثنا علي بن عبد العزيز ثنا أبو غسان ثنا زهير وحدثنا Qأحمد بن زهير التستري Qثنا
معمر بن سهل ثنا محمد بن إسماعيل الكوفي عن سفيان الثوري Qعن موسى بن أبي عائشة
عن عاصم بن كليب (ح) وحدثنا عبدان ثنا معمر ثنا محمد بن إسماعيل عن خالد الصفار
عن عاصم كلهم عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر رضي هللا عنه أن النبي
صلى هللا عليه وسلم Qلما تشهد أشار بسبابته وقال شعبة بمسبحته…..
][HR Imam Thobrani dalam Ad Du'a
Hanya dua hadits tersebut yang ana temukan [ jika ada yang lain mohon
disampaikan]..
Dari dua hadits tersebut, sependek yang ana tangkap bahwasanya riwayat dari
. Akan tetapi anaأشار Zuhair bin Muawiyah-pun hanya memakai lafadz
yakni :رضي هللا عنهم itu dalam riwayat Ibnu Umarرفع menemukan lafadz
حدثنا علي بن عبد العزيز ثنا حجاج بن المنهال ثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن نافع عن ابن
عمر رضي Qهللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم لما تشهد رفع إصبعه التي تلي اإلبهام
فأشار Qبها
Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan dari ana :
]?[ 1. Bagaimana Status hadits Ibnu Umar diatas [?] Shahih atau Dhoif
2. Taruhlah hadits tersebut Shahih. Coba antum bandingkan dengan hadits
Zaaidah bin Qudamah berikut :
ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها ثم جئت بعد ذلك في
زمان فيه برد فرأيت الناس عليهم الثياب تحرك أيديهم من تحت الثياب من البرد
Cermati kalimat ” Q ” رفع إصبعه فرأيته يحركهاdan bandingkan dengan lafadz Ibnu
Umar ” ” رفع إصبعه التي تلي اإلبهام فأشار بهاKalau ana lihat susunan kedua
kalimat diatas adalah selaras. Dalam riwayat Ibnu Umar secara ringkas diartikan ”
Mengangkat telunjuk dan berisyarat dengannya.” Sedangkan dalam jalan Zaaidah
bin Qudamah secara ringkas diartikan ” Mengangkat jari (telunjuk) dan
menggerak-gerakkannya” Sehingga kesimpulannya makna Asyaro dalam riwayat
Ibnu Umar ditafsirkan oleh riwayat Zaaidah yakni Menggerak-gerakkan. Atau
bisa juga dikatakan bahwa lafadz Q يحركهاadalah keterangan tambahan dari رفع
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Zaaidah bin Qudamah. Atau kalau dalam
ilmu Mustholahul Hadits dikenal dengan Istilah “Ziyadatuts Tsiqoh” sebagaimana
pernah ana baca penjelasan tersebut dalam kitab Masaail kepunyaan Ustadz Abdul
Hakim Hafidhahullah. Sehingga kalau dikatakan ” kata2 “mengangkat” ini
tentunya yg segera terpetik dalam benak adalah tanpa menggerak-gerakkan,
seandainya menggerak2an tentunya akan dinukil” maka akan dijawab bahwasanya
Riwayat Zaaidah bin Qudamahlah yang menjelaskan bahwasanya telunjuk itu
digerakkan setelah telunjuk itu diangkat (rofa’a) sebagai keterangan tambahan
dari hadits Ibnu Umar diatas.. Allahu A’lam
Kemudian ttg cara tahrik, ana pernah mendengar (bukan membaca) penjelasan
asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur atau Fatawa Jeddah (ana
agak lupa soalnya sudah agak lama, atau mungkin dikeduanya?) ketika beliau
ditanya tentang bagaimana cara tahrik ketika tasyahud. Beliau menjawab yg
intinya : “hayyin layyin (pelan2), la bi ar-rofa’ wa la bi al-khofdh (tidak naik dan
tidak turun).” [aw kama qola]
Tentang cara menggerakkan, sependek yang pernah ana baca atau penjelasan yang
sampai kepada ana bahwasanya menggerak-gerakkan jari itu tidak terlalu pelan
ataupun terlalu cepat karena hadits Zaaidah tersebut datang tanpa keterangan cara
menggerakkan jari. Sehingga kalau cara menggerakkan jarinya dengan “pelan”
atau “cepat” tentu akan dijelaskan dalam hadits.. [Ana pernah dengar
penjelasannya dari Ustadz Muhtarom] begitupun apakah jari digerakkan keatas-
bawah atau kekanan-kiri, maka yang lebih mudah dan sesuai dengan struktur jari
adalah ke atas-bawah.. Allahu A’lam.
Dan juga ana pernah lihat VCD dari praktek sifat sholat dari salah serang murid
asy-Syaikh al-Albani, yakni Muhammad Ibrohim Syaqroh (sekarang beliau
menyimpang, waffaqohulloh). disana beliau menggerak2annya pelan-pelan.
Walaupun ada juga ulama yg tahriknya naik turun, seperti yg ana lihat dalam
prakteknya asy-Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili. wal hasil masalahnya khilaf sejak
dulu.
Antum benar bahwasanya masalah ini adalah masalah khilaf, bahkan termasuk
khilaf yang mu’tabar. Ana tidak mengingkarinya. Akan tetapi tulisan dalam blog
ana tersebut merupakan pilihan ana dalam masalah khilaf ini. Itupun juga
berdasarkan keterangan yang pernah ana dengar atau baca dari Ulama dan Ahli
Ilmu. Ana hanya mempunyai andil dalam mengumpulkan tulisan-tulisan tentang
masalah ini. Dan dalam masalah ini kelihatannya ana berada dibelakang barisan
Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili Hafidhahullah. Allahu A’lam..
Akhukum
11)antosalafy
Ana pernah dengar pula Al-Ustadz Dzulqarnain menyebutkan bahwa Syaikh Al-
Albany rahimahullah menganggap syad hadits yang diriwayatkan Zaidah bin
Qudamah rahimahullah yang (hanya) menyelisihi 2 rawi yang lebih tsiqoh
darinya. Tapi sayangnya ana tidak tahu apakah di Kitab Silsilah Hadits Shahih
atau di Silsilah Hadits Dhoif. Insya Allah kalau ana ketemu, ana sampaikan. Lalu,
nanti pertanyaannya adalah mengapa Syaikh Al-Albany rahimahullah tidak
menganggap syad hadits yang diriwayatkan oleh Zaidah Bin Qudamah yang
menyelisihi 22 orang rawi tsiqoh dan lebih alim dari beliau?
Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang
artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya
adalah bahwa kata “berIsyarat” itu mempunyai dua kemungkinan:
Dari penjelasan beliau ini sebenarnya bisa diketahui bahwasanya Hadits Zaaidah
bin Qudamah itu tidak bertentangan dengan perawi lain. karena mengerak-
gerakkan (tahrik) itu lebih khusus daripada lafadz isyarat.. Atau dalam kata lain
bahwasanya hadits Zaaidah bin Qudamah menafsirkan makna isyarat yaitu
tahrik… Atau sebagai tambahan penjelasan bagi lafadz isyarat yang dalam istilah
mustholahul hadits disebut sebagai ziyadatuts tsiqoh sebagaimana ana pernah baca
keterangannya dari Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat.. Allahu A’lam
http://tinyurl.com/d9×645
TRANSKRIP :
Saya mengatakan, “tidak, hanya saja saya pernah membacanya di dalam buku
Anda, Shifat Sholâh an-Nabî, bahwa Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam biasa
menggerakkan (jari telunjuknya), maka saya pun turut menggerakkan (jari
telunjukku).” Beliau (Syaikh al-Albânî) mengatakan : “Tidak, hal ini (gerakan
yang Anda lakukan) namanya bukanlah tahrîk (menggerakkan jari telunjuk)
namun namanya adalah al-Khafdh war Raf’u (mengangkat dan menurunkan jari
telunjuk).” Namanya apa? Namanya adalah al-Khafdh war Raf’u.
Beginilah sifat tahrîk (menggerakkan) jari telunjuk sebagaimana yang pernah saya
lihat dari guru kami, al-Albânî rahmatullâhu ‘alaihi.